Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 41


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 41



Gak-suheng adalah seorang laki-laki sejati, pikirnya, tepat seperti yang dikatakan Syanti Dewi, dan suhengnya itu tidak menerirna Syanti Dewi sehingga dara jelita ini merubah cintanya menjadi cinta seorang anak kepada ayahnya atau seorang murid kepada gurunya. Aih, betapa dia amat tidak berharga! Seorang yang sudah setengah tua seperti suhengnya saja mampu merebut hati seorang dara seperti Syanti Dewi, mengapa dia yang jauh lebih muda tidak mampu? Apakah dia kurang tampan? Kurang gagah? Mungkin kurang jantan! Pikiran demi pikiran bergelombang dan mengaduk-aduk hati Kian Bu ketika dia kembali ke istana encinya. Senja telah lewat, malam mulai tiba dan Kian Bu langsung menuju ke kamarnya, hampir tidak melihat dan tidak menjawab penghormatan para pengawal yang berjaga di depan istana encinya itu.

   Ketika dia memasuki kamarnya, langsung saja dia melempar tubuhnya ke atas pembaringan, telentang dan menatap langit-langit kamar.

   "Bu-te, bagaimana....?"

   Kian Lee mendekati, duduk di tepi pembaringan dan memandang wajah adiknya yang pucat dan tidak bersemangat itu. Kian Bu tadi juga tidak melihat bahwa kakaknya termenung di dalam kamar itu, kini melihat kakaknya mendekatinya, dia bangkit dan mereka berdua duduk di tepi ranjang.

   "Lee-ko.... aku menyesal sekali tentang.... Lu Ceng...."

   Kian Bu berkata dengan suara halus penuh iba. Kian Lee menggeleng kepala.

   "Jangan pedulikan aku, Bu-te. Bagaimana dengan engkau? Sudahkah kau...."

   "Sudah, dan dia.... dia ternyata tidak cinta kepadaku, Lee-ko...."

   "Ahhh....?"

   Kian Lee hampir tidak percaya dan dia menatap wajah adiknya penuh selidik.

   "Dia sudah mencinta orang lain...."

   "Hemmm....?"

   "Dia mencinta Gak-suheng."

   "Hehhh....?"

   Kian Lee mengeluarkan seruan heran dan kaget sambil meloncat turun.

   "Gak-suheng?"

   Melihat wajah kakaknya seperti orang penasaran dan marah, Kian Bu cepat menjelaskan.

   "Dia telah berterus terang bahwa dia mencinta Gak-suheng, akan tetapi Gak-suheng tidak mencintanya sehingga dia merubah cintanya sebagai cinta anak terhadap ayah, atau murid terhadap guru...."

   "Aahhhh.... sungguh aneh, dan Gak-suheng baru saja pergi tanpa pamit."

   "Pergi ke mana? Mengapa tanpa pamit?"

   "Entah, Enci Milana yang memberi tahu dan kulihat mata Enci Milana merah bekas tangis, mukanya pucat dan sinar matanya layu, mengandung kedukaan besar. Entah mengapa aku tidak tahu."

   "Hemm, mengapa timbul peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan di antara kita bersaudara ini?"

   Kian Bu menunduk dan tertekan batinnya.

   "Engkau tidak mengajak dia pergi dari istana untuk menghindarkan pernikahan itu?"

   Kian Lee bertanya.

   "Dia tidak mau karena katanya aku melakukan itu karena cinta. Dia tidak dapat membalas cintaku dan dia hanya minta agar aku menyampaikan permohonannya kepada Enci Milana supaya ditolong."

   Kian Lee merangkul adiknya.

   "Aih, adikku.... mengapa kita semua gagal dalam bercinta? Mengapa kita harus menghadapi kekecewaan ini?"

   "Lee-ko...."

   Kakak beradik itu saling peluk dan memejamkan mata, karena pantang bagi kedua orang pemuda gagah perkasa ini untuk mencucurkan air mata kedukaan.

   "Bu-te, kuatkan hatimu. Dan kau sampaikan nanti kepada Enci Milana bahwa aku pun terpaksa harus pergi lebih dulu, sekarang juga."

   Kian Bu memandang muka kakaknya yang muram dan tidak ada sinarnya itu.

   "Lee-ko.... kau.... kau tenggelam dalam kedukaan!"

   "Tidak lagi, Bu-te, aku harus.... dan kau juga, harus dapat mengatasi ini semua, jangan biarkan diri kita tenggelam oleh kegagalan cinta. Aku akan pergi mencari Hek-tiauw Lo-mo, harus kubalas jahanam itu yang telah memukul.... Ceng Ceng dengan pukulan beracun sehingga nnengancam keselamatan nyawanya."

   "Lee-ko, aku ikut...."

   "Jangan Bu-te. Sebaiknya kita berpisah dulu. Kita masing-masing perlu untuk mengembalikan ketenangan batin.... dalam keadaan begini aku lebih suka menyendiri dulu, Bu-te. Sebetulnya sudah tadi aku hendak pergi, akan tetapi aku menanti kau kembali. Lihat, pakaianku sudah kusiapkan."

   Kian Lee lalu mengambil buntalan pakaiannya dan setelah menepuk-nepuk pundak adiknya dengan mata merah karena menahan turunnya air mata, dia lalu pergi meninggalkan Istana itu dengan cepat. Kian Bu duduk termenung, merasa kasihan sekali kepada kakaknya dan aneh, begitu dia merasa kasihan kepada kakaknya, penderitaannya sendiri terlupa dan dadanya terasa ringan! Dia tidak tahu bahwa duka timbulnya dari pikiran, dari ingatan yang membayang-bayangkan segala kekecewaan dan segala macam hal yang terjadi dan yang tidak menyenangkan dirinya.

   Begitu ingatan ini tidak ada, begitu pikiran beralih ke lain hal, maka dengan sendirinya duka pun lenyap dan baru akan muncul lagi kalau ingatan kembali ditujukan kepada hal-hal yang mengecewakan atau tidak menyenangkan tadi. Jelaslah bahwa Si Pembuat Duka adalah pikiran kita sendiri. Segala peristiwa yang terjadi adalah suatu fakta yang wajar, tidak membawa duka maupun suka, dan suka atau duka adalah hasil permainan pikiran kita scndiri. Maka, bebas dari pikiran berarti bebas pula dari duka! Bebas dari ingatan berarti bebas dari masa lalu, tidak mengingat-ingat lagi hal-hal yang telah lalu atau telah terjadi, baik hal itu menguntungkan atau merugikan diri pribadi. Kian Bu teringat akan suhengnya yang katanya pergi tanpa pamit, dan akan encinya yang menurut kakaknya tadi seperti orang yang berduka, maka dia lalu bangkit dan keluar dari kamarnya, menuju ke kamar encinya. Pintu kamar itu tertutup dan dia mengetuknya.

   "Siapa di luar?"

   Terdengar suara Milana setelah agak lama Kian Bu mengetuk pintu kamar itu.

   "Aku, Enci Milana."

   "Oh, Bu-te. Kau masuklah!"

   Kian Bu mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu. Dia melihat encinya sedang rebah di atas pembaringan dan di bawah sinar penerangan, dia melihat wajah encinya pucat seperti orang sakit.

   "Enci Milana, kau kenapakah? Sakitkah?"

   Kian Bu menghampiri dan duduk di atas bangku dekat ranjang. Milana bangkit duduk dan menggeleng kepala lemah.

   "Tidak, Bu-te. Engkau sudah kembali? Bagaimana dengan Syanti Dewi?"

   Kian Bu menunduk. Tak disangkanya bahwa encinya juga agaknya sudah tahu bahwa dia tadi pergi mengunjungi Syanti Dewi, dan memang Milana mendengar akan hal ini dari Kian Lee.

   "Dia.... dia menyampaikan pesan untuk mohon pertolongan darimu, Enci, agar dia dapat keluar dari istana karena dia tidak suka akan keputusan pernikahannya itu."

   Milana memandang tajam dan tentu saja dia melihat wajah muram adiknya itu. Sampai lama mereka berdua diam saja, Milana memandang penuh selidik sedangkan Kian Bu lebih banyak menunduk.

   "Bu-te, engkau.... cinta kepada Syanti Dewi?"

   Kian Bu makin menunduk, dia merasa malu dan juga sedih. Akhirnya dia mengangguk dan berkata,

   "Akan tetapi dia.... dia tidak cinta padaku.... dia mencinta orang lain...."

   Milana diam-diam menarik napas panjang, maklumlah dia siapa yang dicinta oleh Puteri Bhutan itu.

   "Tenangkan hatimu, adikku. Kiraku sebaiknya begitulah, lebih baik mencinta namun tidak terbalas dan dengan demikian menginsyafkan kita, bahwa cinta kita salah alamat, daripada saling mencinta akan tetapi tidak dapat berjodoh. Saling mencinta akan tetapi harus saling berpisah. Engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki kegagahan. Ditolak cintamu oleh seorang gadis tidak perlu menurunkan semangat dan merendahkan diri, bahkan kau harus berterima kasih dan bersyukur bahwa Syanti Dewi bersikap jujur kepadamu."

   Kian Bu mengangguk-angguk. Sedikit nasihat itu dirasakannya tepat sekali dan sudah merupakan obat yang manjur baginya.

   "Enci Milana, aku mendengar dari Lee-ko bahwa Gak-suheng sudah pergi. Ke manakah dia dan mengapa tidak memberitahukan Lee-ko dan aku?"

   "Entahlah.... dia sudah pergi. Kau tahu orang aneh seperti dia....!"

   Milana tidak mau banyak bicara tentang Bun Beng, juga memang dia tidak sanggup bicara banyak tentang pria itu karena hal ini hanya akan menusuk perasaannya saja.

   "Enci, Lee-ko juga sudah pergi, dia minta agar aku memberitahukan kepadamu."

   "Ehh?"

   Milana terkejut,

   "mengapa anak itu? Ke mana dia pergi?"

   "Enci, agaknya kau tidak tahu. Sebetulnya.... Lee-ko juga mengalami patah hati."

   "Heiii? Patah hati bagaimana?"

   "Dia sesungguhnya amat mencinta Ceng Ceng, kemudian terdapat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakannya sendiri."

   "Aihhh....!"

   Milana terbelalak, diam-diam perasaannya makin tertusuk. Mengapa begini kebetulan? Mereka bertiga, anak-anak dari Pendekar Super Sakti, dalam waktu yang bersamaan semua menderita patah hati karena cinta gagal?

   "Dia bilang hendak mencari Hek-tiauw Lo-mo yang telah melukai Ceng Ceng, hendak membalas dendam kepada kakek Pulau Neraka itu. Karena semua sudah pergi, aku pun akan pergi sekarang juga, Enci."

   "Eh, anak nakal! Engkau pula? Hendak ke mana kau?"

   "Aku hendak menghibur hati dan pergi malam ini juga.... mungkin aku terus kembali ke Pulau Es.... atau ke mana saja, pokoknya jauh dari sini...."

   Milana menarik napas panjang. Dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh adiknya ini yang setelah kekecewaannya dalam kegagalan cintanya kini ingin secepat mungkin pergi sejauh mungkin meninggalkan wanita yang menjadi sebab kepatahan hatinya itu.

   "Kenapa tidak besok saja, Adikku....?"

   "Tidak, Enci Milana. Sekarang juga aku pergi, dan harap sampaikan maafku kepada Ci-hu (kakak ipar).... selamat tinggal, Enci."

   Dia lalu berlari ke luar untuk mengambil pakaiannya dan malam itu juga dia pergi meninggalkan istana encinya. Milana mengerutkan alisnya, termenung dan membayangkan semua peristiwa yang telah menimpa dirinya, mengikuti bayangan Gak Bun Beng yang pergi dalam keadaan patah hati dan semangatnya, dan bayangan Kian Lee dan Kian Bu yang juga mengalami kegagahan dalam cintanya. Tak terasa lagi, puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa ini meruntuhkan air mata, terisak-isak menangis di atas pembaringannya. Gak Bun Beng, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, tiga orang laki-laki gagah perkasa itu semua patah hati dan menderita sengsara karena wanita.

   Betapa banyaknya peristiwa seperti itu terjadi di dunia ini, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang. Sejak jaman dahulu, banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa laki-laki yang gagah perkasa, satria-satria dan pahlawan-pahlawan, pendekar-pendekar sakti yang sukar menemukan tandingan, akhirnya roboh oleh wanita! Banyak pula dalam sejarah tercatat betapa kaisar-kaisar, raja-raja besar, panglima-panglima dan pemimpin-pemimpin gemblengan, seorang demi seorang roboh tak berdaya di bawah telapak kaki halus seorang wanita. Bahkan di dalam dongeng-dongeng kuno dari bahasa apa pun, tentu terdapat peristiwa di mana para dewata yang memiliki kesaktian dan kekuatan, dapat pula roboh karena wanita.

   Siapa pula yang tidak mengenal cerita tentang manusia pertama, Adam yang juga runtuh karena bujuk rayu Hawa, seorang wanita pula? Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah itu bahwa mereka, para pria yang jatuh itu, raja-raja yang kehilangan tahtanya, pahlawan-pahlawan yang kehilangan kepahlawanannya, pendekar-pendekar yang kehilangan kegagahannya, semua jatuh karena kesalahan wanita? Wanitakah yang bersalah sehingga kaum pria runtuh oleh kelembutan mereka? Tidak! Kiranya tidaklah tepat kalau kita berpendapat demikian. Wanita pun banyak yang menjadi korban karena hubungannya dengan pria. Hampir semua wanita yang terperosok ke dalam lembah kehinaan, yang umumnya dinamakan pelacur, tentu akan dapat menceritakan riwayat masing-masing yang hampir semua adalah akibat dari perbuatan pria, atau menjadi korban hubungan mereka dengan pria.

   Juga dalam hal mereka ini, tidak dapat dipersalahkan kepada kaum pria. Bukan wanita dan bukan pria yang bersalah dengan terjadinya semua kegagalan hidup itu. Yang bersalah adalah yang disebut cinta antara pria dan wanita, yang sesungguhnya bukankah cinta sejati, melainkan cinta yang diciptakan oleh nafsu belaka. Cinta nafsu tentu saja menimbulkan bermacam peristiwa, yang menimbulkan kenikmatan dan kesenangan hebat, namun di lain saat bisa mendatangkan derita dan kedukaan yang hebat pula. Karena cinta nafsu adalah penonjolan dari diri pribadi dalam bentuk yang paling nyata, dan selama diri pribadi ditonjolkan, sudah pasti yang ada hanyalah suka dan duka, nikmat dan derita!

   Tiada Yang Senikmat Cinta
Sorgaloka Turun Ke Dunia
Membuai Dan Membius Manusia!
Tiada Yang Selucu Cinta
Manusia Menjadi Badut-Badut
Dibuatnya
Segala Kepalsuan Dilakukannya!
Tiada Yang Secelaka Cinta
Mendatangkan Derita Tiada Taranya
Dunia Berubah Menjadi Neraka!
Akan Tetapi....,
Tiada Yang Seindah Cinta Sejati
Dalam Tawa Remaja Puteri
Dalam Sinar Matahari Pagi
Yang Terkandung Dalam Tangis Bayi
Dalam Lautan Danau Dan Sungai
Dalam Semua Isi Langit Dan Bumi
Dalam Segala Yang Hidup Dan Mati
(Lanjut ke Jilid 40)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 40
Cinta Mulia Dan Suci
Tetap ADA Dan Kekal Abadi
Apabila AKU TIADA Lagi.

   "Apa kau bilang....?"

   Puteri Milana meloncat dengan kaget sekali mendengar laporan dari seorang pengawalnya dengan muka pucat bahwa suaminya, Han Wi Kong, sedang membuat huru-hara di istana Pangeran Liong Bin Ong dan kini sedang dikeroyok oleh para pengawal pangeran itu.

   "Hamba.... hamba dengar.... Pangeran Liong Bin Ong telah dibunuhnya...."

   Milana menahan jeritnya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari depan pengawal yang melaporkan peris-tiwa hebat itu. Bagaikan bayangan siluman saja saking cepatnya, Milana berlari ke istana Pangeran Liong Bin Ong dan ketika dia melayang naik ke atas genteng istana itu, dia sudah mendengar suara ribut-ribut di bagian belakang istana. Cepat dia melayang turun. Dua orang pengawal berteriak dan menghadang, akan tetapi dua kali tangannya bergerak, dua orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri seperti disambar petir. Milana terus lari ke dalam dan ketika dia tiba di tempat yang luas di ruangan bela-kang menuju ke pintu taman, dia terkejut bukan main.

   Pangeran Liong Bin Ong telah menggeletak di atas lantai dengan dada tertusuk pedang yang dia kenal sebagai pedang suaminya! Pangeran tua itu mati dan melihat meja yang penuh hidangan, agaknya tadi pangeran itu sedang menjamu tamu yang agaknya suaminya itulah! Dan tak jauh dari situ dia melihat suaminya dikepung dan dikeroyok oleh belasan orang pengawal, dan di antaranya terdapat seorang kakek yang tidak berbaju. Kakek ini memegang sebatang gendewa besar dan kelihatan lihai sekali sungguhpun melihat pakaian dan sikapnya dia itu sepantasnyalah seorang pekerja di dapur atau tukang kebun di taman! Han Wi Kong sudah luka-luka dan dengan gagah berani panglima ini membela diri dengan tangan kosong. Ketika dia melihat isterinya muncul di situ, dia terkejut sekali.

   "Milana...., pergilah kau....!"

   "Dess....!"

   Sebatang toya menghantam pundak panglima itu ketika dia menoleh kepada isterinya. Han Wi Kong terhuyung, kemudian dia meloncat ke arah Milana.

   "Cepat.... pergi dari sini.... tiada jalan lain aku membunuh pemberontak itu...."

   "Wirrr-wirrr-wirrr....!"

   "Awas panah....!"

   Milana menjerit kaget.

   "Cep-cep-ceppp....! Aughhhh....!"

   Tiga batang anak panah yang dilepas oleh kakek telanjang baju dari jarak dekat dengan gendewanya yang besar itu telah menancap di lengan dan punggung Han Wi Kong. Panglima itu mengeluh, terbelalak karena dua batang anak panah yang menancap di punggung menancap dalam sekali, sedangkan lengannya tertembus sebatang anak panah.

   "Milana.... maafkan aku.... lekas pergi.... surat di atas mejaku.... kau berikan dia...."

   Setelah berkata demikian, Han Wi Kong roboh terguling dan tewas di saat itu juga karena dua batang anak panah yang menancap di punggungnya itu menembus jantung.

   "Aihhhh....!"

   Milana terbelalak memandang mayat suaminya sambil menutup mulut dengan punggung tangan kanan. Kemudian dia mengangkat muka, memandang kakek telanjang itu dan para pengawal yang sudah maju menghampiri dan mengurungnya, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api, cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi nyaring yang menggetarkan semua pengawal, suara lengking mengerikan yang keluar dari mulut kecil Puteri Milana, dan tampak bayangan merah dari jubahnya yang lebar berkelebat ke depan. Para pengawal terkejut dan mengangkat senjata, namun terdengar suara keras dan empat orang di antara mereka terpental, terbentur pada dinding dan tewas seketika dengan kepala pecah!

   Para pengawal itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dipelihara oleh Liong Bin Ong untuk mengawal dirinya. Mereka adalah orang-orang kepercayaan pemberontak itu, maka biarpun mereka tahu akan kelihaian Puteri Milana, mereka menganggap puteri ini sebagai musuh majikannya. Bahkan laki-laki memegang gendewa itu adalah seorang tokoh hitam yang bekerja di situ menyamar sebagai tukang masak, padahal dia pun merupakan seorang pengawal dalam yang dipercaya dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Tadi sore Han Wi Kong datang secara baik-baik, dan resminya adalah untuk mengucapkan berduka cita atas kematian Pangeran Liong Khi Ong. Akan tetapi Liong Bin Ong yang cerdik itu menyambut ucapan dukacita itu dengan tertawa.

   "Dia mati karena ulahnya sendiri. Siapa suruh dia memberontak terhadap pemerintah yang sah?"

   Kata Liong Bin Ong.

   "Sudah sering aku memberi nasihat, akan tetapi tidak diturutnya. Sekarang dia tewas, itulah hukumannya, dan kita tidak perlu berdukacita!"

   Untuk memperlihatkan bahwa dia "tidak ada hubungan"

   Dengan adiknya yang memberontak itu, Liong Bin Ong memperlihatkan kegembiraan,

   Bahkan dia lalu menjamu makan kepada suami Puteri Milana yang diam-diam merupakan lawan tangguh dan musuh besarnya itu. Milana terhitung keponakan pangeran ini, maka Han Wi Kong juga masih merupakan keluarga dekat, yaitu mantu keponakan. Mereka makan minum di ruangan belakang dan dijaga oleh dua belas orang pengawal kepercayaan Pangeran Liong Bi Ong. Akan tetapi, dengan tidak tersangka-sangka sama sekali, ketika tuan rumah dan tamu itu sudah minum sampai setengah mabok tiba-tiba saja Han Wi Kong mencabut pedang dan menusuk pangeran tua itu dari depan, tepat mengenai dadanya dan Pangeran Liong Bin Ong roboh dan tewas seketika. Tentu saja peristiwa yang tidak tersangka-sangka ini tidak dapat dicegah oleh para pengawal yang kini menjadi marah dan mengepung serta menyerang Han Wi Kong.

   Keributan ini terdengar dari luar sehingga sampai juga ke istana Puteri Milana sehingga seorang pengawal cepat melaporkan kepada puteri itu. Kini Milana mengamuk. Kedukaan dan kemarahan bercampur menjadi satu membuat puteri ini menjadi luar biasa berbahayanya. Gelang di tangan kirinya yang terbuat dari emas itu telah berlepotan darah dan dalam waktu singkat saja, delapan orang pengawal telah roboh oleh wanita sakti ini. Tinggal empat orang pengawal bersama kakek telanjang baju yang masih melawannya, akan tetapi biarpun kakek itu memiliki kepandaian tinggi dan gerakan gendewa sebagai senjatanya itu amat kuat, namun sudah dua kali dia terhuyung kena diserempet hawa pukulan dari tangan lembut Puteri Milana.

   "Serr-serr-serrr....!"

   Tiga batang anak panah meluncur, dilepas oleh kakek itu dari jarak dekat.

   "Bedebah....!"

   Milana memaki karena panah-panah ini mengingatkan dia akan kematian suaminya. Cepat tangannya menyambar dan tiga batang anak panah itu telah dapat disambarnya di udara, kemudian dia memekik dan tiga batang anak panah itu dilontarkan dengan kecepatan kilat ke arah kakek itu. Kakek itu terkejut sekali melihat betapa wanita itu dapat menangkap tiga batang anak panahnya dan kekagetannya inilah yang mencelakakan dia karena ketika dia melihat berkelebatnya tiga sinar kilat menyambarnya, dia kurang cepat mengelak sehingga sebatang di antara tiga anak panah itu menyambar tenggorokannya.

   "Arrgghhhh....!"

   Kakek itu mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, kemudian dia menubruk dengan nekat, menggunakan gendewanya untuk melakukan serangan terakhir. Namun, Milana sudah meloncat ke samping, kakinya menendang dan tubuh kakek itu roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang pengawal menjadi jerih, dan hendak lari, namun tahu-tahu ada bayangan berkelebat melewati mereka dan ketika mereka memandang, Puteri Milana sudah berdiri di depan mereka!

   "Tidak ada yang kubiarkan hidup!"

   Milana membentak dan begitu dia bergerak, kaki tangannya sudah menyerang dan berturut-turut robohlah empat orang pengawal itu. Baru puas rasa hati Milana dan dia cepat meloncat ke dekat mayat suaminya, mencabuti tiga batang anak panah itu lalu memanggul mayat itu dan meloncat pergi, terus melarikan diri ke dalam istananya sendiri. Dia merebahkan mayat suaminya di atas pembaringan, teringat akan pesan suaminya dia menoleh ke atas meja. Benar saja, di situ terdapat dua buah sampul surat kuning yang ketika dibacanya, yang sebuah dialamatkan kepadanya dan yang sebuah lagi dialamatkan kepada Gak Bun Beng! Dengan jari-jari tangan gemetar Milana membuka sampul surat untuknya, membaca dengan muka pucat dan perlahan-lahan air matanya yang tadi tertahan oleh kemarahan mulai menetes-netes ke atas surat yang dibacanya, melunturkan tintanya. :

   Milana isteriku tercinta,

   Hanya ada satu jalan bagi kita semua, juga bagi keselamatan negara, yaitu aku harus membunuh Liong Bin Ong. Percayalah, aku bukan melakukan bunuh diri dengan membuta, melainkan sudah kupertimbangkan masak-masak, demi keselamatan negara dan terutama sekali demi kebahagiaan hidupmu. Kau bawalah suratku dan berikan kepada Gak Bun Beng, dia patut menerima cinta kasihmu.

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selamat tinggal.

   Suamimu, juga sahabatmu,
Han Wi Kong

   "Ahhhh....!"

   Milana menubruk ke pembaringan dan berlutut sambil menangis di depan mayat suaminya. Dia maklum, dia mengerti mengapa suaminya melakukan perbuatan ini. Suaminya sudah tahu bahwa dalam membunuh Pangeran Liong Bin Ong, dia pasti akan tewas. Dan memang harus diakui bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan negara dari bahaya ancaman pangeran yang palsu hatinya itu, hanyalah dengan cara membunuhnya, karena Kaisar terlampau sayang dan terlam-pau percaya kepada saudaranya itu. Dan Han Wi Kong telah sengaja melakukan itu untuk memberi kesempatan kepada dia dan Gak Bun Beng.

   "Han Wi Kong, harap kau sudi meng-ampunkan aku. Di dunia ini aku tidak bisa menjadi isterimu, biarlah di dalam kehidupan lain kelak aku akan suka menjadi apa saja untuk melayanimu."

   Tiba-tiba para pengawal berlari masuk dan dengan terengah-engah melaporkan bahwa Perdana Menteri Su sendiri dengan para petugas keamanan istana telah datang, dan pasukan itu mendapat perintah, untuk menangkap Puteri Milana!

   "Jangan melawan!"

   Kata Milana dan cepat dia menyimpan dua buah surat itu ke saku bajunya, kemudian dia menggunakan pit untuk membuat corat-coret di atas tembok kamar suaminya karena dia sudah tidak mempunyai waktu untuk menulis surat dengan baik-baik. Kemudian, dia cepat mengumpulkan beberapa perhiasan dan pakaian, membuntalnya dengan kain kuning, menyambar pedangnya dan mengikatkan pedang dan buntalan di pundak, kemudian dia meloncat melalui jendela kemar itu ketika mendengar derap kaki banyak orang mendatangi ke arah kamar itu. Ketika Perdana Menteri Su dan para pasukan memasuki kamar, pembesar ini hanya melihat mayat Han Wi Kong dan coretan-coretan di atas tembok yang berbunyi :

   "Milana akan berterima kasih sekali kepada Perdana Menteri Su jika sudi mengurus jenazah Han Wi Kong dengan sepatutnya.

   Tertanda : Puteri Milana.

   Perdana Menteri Su menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Biarpun dia tadi terkejut sekali mendengar akan peristiwa pembunuhan Pangeran Liong Bin Ong, namun dia mengerti mengapa Han Wi Kong melakukan perbuatan nekat itu dan diam-diam dia bersyukur karena dibunuhnya Pangeran Liong Bin Ong itu terbebaslah negara dari ancaman bahaya besar. Maka dia lalu menghampiri jenazah Han Wi Kong dan tanpa ragu-ragu lagi pembesar tinggi yang sudah tua ini menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sebagai penghormatan dan mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada Han Wi Kong yang disebutnya sebagai seorang pahlawan bangsa! Mudah saja dia akan membujuk Kaisar dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi hanyalah pertikaian pribadi antara keluarga Milana dan Liong Bin Ong, sehingga dengan demikian Han Wi Kong tidak akan dianggap sebagai seorang musuh negara.

   "Hei, kenapa kalian bengong saja?"

   Setelah dia berdiri lagi dia membentak pasukan yang dipimpin oleh seorang panglima itu.

   "Hayo lekas cari dan tangkap Puteri Milana!"

   Pasukan itu lalu lari cerai-berai. Hanya lagaknya saja Perdana Menteri Su berkata demikian, akan tetapi diam-diam dia maklum bahwa tidak ada seorang pun di antara pasukan itu yang akan berani menyentuh ujung jubah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati.

   Maka lenyaplah Puteri Milana dan berbareng dengan menghilangnya puteri ini dari kota raja, hilang pula Puteri Syanti Dewi dari kamarnya tanpa ada yang tahu ke mana Puteri Bhutan itu pergi. Hanya Perdana Menteri Su yang mengangguk-angguk dan menduga bahwa pasti Puteri Milana yang melakukan hal itu, sengaja mengajak Puteri Syanti Dewi lari dari istana karena tidak setuju Puteri Bhutan itu dikawinkan dengan Pangeran Yung Hwa. Perdana Menteri Su merasa heran sekali dan tidak mengerti mengapa Milana melakukan hal itu. Maka didatanginyalah Pangeran Yung Hwa dan betapa herannya pembesar yang bijaksana dan setia ini melihat Pangeran Yung Hwa kegirangan luar biasa mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah melarikan diri!

   "Paman Menteri, saya girang sekali, ahh, saya bersyukur sekali bahwa dia telah pergi, karena kalau tidak, tentu aku yang akan pergi lagi."

   "Eh, kenapa begitu, Pangeran?" "Aku tidak suka diharuskan menikah dengan puteri Bhutan."

   Perdana Menteri Su memandang heran dan mengerutkan alisnya.

   "Ingatlah, Pangeran Muda, dahulu engkau marah-marah dan melarikan diri dari istana karena permintaanmu untuk menikah dengan puteri Bhutan ditolak Sri Baginda. Sekarang keinginanmu itu dituruti, engkau malah menolak. Apa artinya ini?"

   Pangeran Yung Hwa tersenyum.

   "Artinya, Paman, bahwa dulu itu cintaku adalah cinta yang mentah, cinta monyet, cinta kanak-kanak karena yang kucinta adalah bayangan seorang gadis yang muncul karena cerita-cerita indah tentang dirinya. Dahulu aku mencinta seorang dara yang belum pernah kulihat, cinta bayangan saja. Sekarang, saya telah tahu apa artinya cinta, saya telah men-cinta seorang dara dari darah daging, bukan bayangan kosong belaka. Biar dia gadis biasa, aku cinta padanya dan setelah Syanti Dewi pergi, saya pun akan pergi untuk mencari dara yang saya cinta itu. Saya girang dapat bebas dari Puteri Bhutan!"

   Pangeran Yung Hwa bergembira dan bersenandung! Perdana Menteri Su meninggalkan pangeran itu sambil menggeleng-geleng kepalanya yang penuh uban.

   Heran dia melihat ulah orang-orang muda dan makin kagum hati kakek itu menyaksikan kekuatan cinta yang menguasai hampir seluruh kehidupan manusia. Tanpa cinta, matahari akan kehilangan sinarnya, bunga-bunga akan kehilangan keharumannya dan madu akan kehilangan manisnya! Dengan hati-hati dan cerdik, perdana menteri ini akhirnya dapat pula meredakan kemarahan Kaisar dan mengajukan alasan-alasan masuk akal bahwa peristiwa itu terjadi karena pertikaian pribadi antara keluarga Puteri Milana dan Pangeran Liong Bin Ong, sama sekali tidak menyangkut urusan negara, maka hendaknya Kaisar tidak mencampurinya. Adapun tentang kehilangan Puteri Syanti Dewi, Perdana Menteri berjanji akan menyebar orang untuk mencarinya dan mengusulkan bahwa seyogianya urusan perjodohan itu ditunda saja.

   "Dahulu Paduka melamar Puteri Bhutan untuk mendiang Pangeran Liong Khi Ong, dan kalau sekarang suami untuk Puteri itu ditukar tanpa mengadakan perundingan lebih dulu dengan Kerajaan Bhutan, hamba kira hal itu malah akan menanamkan sakit hati seolah-olah Paduka kurang menghargai Kerajaan Bhutan. Sebaiknya dinanti sampai ada kabar tentang puteri itu, baru mengajukan usul perubahan ikatan jodoh itu dengan Kerajaan Bhutan."

   Semua alasan yang kuat diajukan oleh Perdana Menteri Su dan akhirnya Kaisar dapat dibujuk sehingga tidak meributkan lagi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu. Malah Kaisar juga tidak keberatan ketika mendengar betapa Perdana Menteri Su mengurus jenazah Han Wi Kong dan menguburkan jenazah itu di dalam kuburan keluarga Kaisar tingkat dua, karena betapapun juga, Han Wi Kong adalah mantu cucu dari kaisar sendiri.

   Maka terlaksanalah apa yang menjadi permohonan Milana kepada Perdana Menteri Su. Duka timbul dari kecewa. Kecewa timbul dari tidak tercapainya nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah hasrat pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan dari si aku. Si aku timbul dari pikiran. Si aku adalah pikiran sendiri. Pikiran adalah ingatan yang mengenang masa lalu, ingin mengejar lagi kenangan yang menyenangkan dan menjauhi yang tidak menyenangkan. Kebahagiaan hidup, baru mungkin ada apabila bebas dari nafsu keinginan, tidak lagi mencari-cari, tidak lagi mengejar sesuatu seperti yang kita inginkan. Bebas dari pikiran yang membanding-bandingkan, berambisi, berkhayal. Bebas dari si aku. Kebebasan ini menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran bahwa segala sesuatu ini adalah indah dan sempurna, tidak ada kecualinya.

   Yang ada hanyalah kenyataannya, apa adanya dan ini adalah wajar dan mutlak. Bukan suka bukan pula duka, bukan puas bukan pula kecewa, bukan nikmat dan bukan derita karena banding-membanding dan semua kebalikan-kebalikan ini adalah permainan pikiran yang memilih-milih sehingga timbullah konflik-konflik batin yang kemudian meledak menjadi konflik-konflik lahir. Kebahagiaan terletak di atas segalanya itu, di atas dan bebas dari pikiran. Kekurangan dan kekecewa-an hanya diderita oleh mereka yang tidak mengenal kecukupan. Maka hanya mereka yang tidak membutuhkan apa-apa lagi salah yang dapat menyentuh kebahagiaan! Hawa udara panas sekali. Terik matahari seolah-olah hendak membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Sinar matahari yang langsung menimpa bumi, terpantul kembali menciptakan hawa yang gerah.

   Seorang pemuda yang duduk di bawah sebatang pohon besar dalam hutan itu membuka kancing bajunya dan meniupi leher dan dadanya. Pemuda ini berwajah tampan dan rambutnya mengkilap hitam, dikuncir panjang berjuntai di belakang pundak kanan. Pakaiannya sederhana, jubahnya yang hitam kebiruan lebar dan panjang, menutupi baju dan celana sehingga membuat dia makin kegerahan. Pemuda ini adalah Suma Kian Bu yang telah melakukan perantauan seorang diri, pergi dari kota raja di mana hatinya untuk pertama kali mengalami pecah berantakan akibat cinta gagal. Akan tetapi, karena dasar wataknya memang gembira, setelah merantau sebulan lebih, luka di hatinya itu hanya tinggal bekasnya saja, tidak terasa nyeri lagi.

   "Uihhhh, panasnya....!"

   Dia mengeluh. Hutan yang penuh pohon itu masih belum mampu melawan hawa panas yang datang dari gurun. Daerah sekitar hutan itu adalah daerah pegunungan yang diselang-seling padang rumput dan padang pasir.

   Tadi, sebelum memasuki hutan, Kian Bu melewati padang pasir yang luar biasa panasnya. Matanya silau melihat sinar matahari menimpa pasir-pasir yang berkilauan, dan terasa benar olehnya hawa yang panas menyerangnya dari bawah. Maka ketika dia memasuki hutan itu, hawa terasa sejuk dan nyaman sehingga dia menjatuhkan diri di bawah pohon besar itu sambil meniupi lehernya. Tubuhnya lelah sekali dan betapa nikmatnya duduk di bawah pohon, terlindung dari sengatan terik matahari. Angin sepoi-sepoi semilir meniupi muka dan lehernya, membuat matanya menjadi berat dan mengantuk. Betapa enak rasanya dilanda kantuk! Sudah pasti bahwa tidak ada yang lebih nikmat di duia ini daripada tidur bagi orang yang mengantuk, seperti juga makan bagi orang yang lapar dan minum bagi orang yang haus.

   "Dukk....!"

   Kepalanya membentur batang pohon.

   "Heh-heh, pemalas!"

   Kian Bu mengomel sambil tertawa ketika dia tersadar karena ketika dia melenggut tadi, kepalanya terbanting ke belakang dan membentur batang pohon. Agaknya sudah tidak berbekas lagi kepatahan hati pemuda yang berwatak gembira ini. Dia bangkit berdiri, memandang ke sekeliling. Hutan itu liar dan lebat, sunyi bukan main.

   Dia ingin sekali tidur barang sejenak, akan tetapi jangan-jangan ada binatang buas dan berbisa di hutan asing ini datang mengganggunya di waktu dia tertidur nyenyak. Maka dia lalu berdongak ke atas dan di lain saat pemuda yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah melesat ke atas pohon, memilih tempat yang enak di atas cabang pohon yang besar, duduk mepet di pangkal cabang, melingkar seperti seekor monyet dan tak lama kemudian pemuda ini sudah tertidur pulas! Tidur merupakan berkat bagi tubuh manusia. Tidur dengan pikiran kosong tanpa mimpi, biar hanya sekejap saja, sudah sanggup memulihkan kesegaran tubuh, dan tidur pulas sejam saja sudah terasa amat lama. Sebaliknya, yang membuat tidur merupakan suatu kemalasan yang bahkan melelahkan adalah jika pikiran bekerja terus di waktu tidur sehingga timbul mimpi-mimpi buruk.

   "Clekittt....!" "Auwwww....!"

   Kian Bu terbangun dan cepat menggaruk-garuk pinggulnya.

   "Sialan.... semut merah!"

   Gerutunya ketika dia merogoh ke balik celananya dan jari-jari tangannya menjepit seekor semut merah. Pinggulnya sudah bintul dan terasa gatal sekali. Kiranya semut itu menyelinap masuk melalui pakaiannya dan entah mengapa, menggigit pinggulnya.

   "Huh, tentu semut betina!"

   Gerutunya lagi.

   "Kalau jantan mana mau mencubit pinggul? Sialan!"

   Dia menggaruk-garuk pinggulnya, makin digaruk makin gatal. Tiba-tiba dia berhenti menggaruk pinggul. Ada suara derap kaki kuda! Kiranya hutan liar ini bukannya tidak ada manusianya seperti yang dia kira semula. Makin lama makin jelas suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu dan tak lama kemudian dia melihat dua orang penunggang kuda yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat dan bertubuh tegap-tegap dan kuat-kuat seperti tubuh orang-orang yang biasa hidup mengandalkan kekuatan tubuhnya. Di punggung mereka terselip golok telanjang yang mengkilap tajam. Ketika tiba di bawah pohon itu, mereka menahan kuda mereka. Dua ekor kuda itu meringkik dan mengangkat kaki depan, hidung mereka mendengus-dengus dan mulut mereka mengeluarkan busa.

   "Sudah jelaskah bahwa dia itu mata-mata?"

   Tanya yang bercambang tebal.

   "Tak salah lagi, dia mengejar kita dan kepandaiannya hebat. Kita harus cepat pulang dan melaporkan ini kepada pimpinan. Siapa tahu dia diikuti oleh pasukan musuh."

   "Baiknya kita berpencar di sini, dan kalau kita dapat terbebas dari dia, berkumpul di dusun Ma-cin,"

   Kata pula yang bercambang tebal.

   "Baik!"

   Dua orang itu lalu berpisahan, yang seorang membalapkan kuda membelok ke kiri, dan yang seorang lagi ke kanan. Keadaan menjadi sunyi kembali setelah derap kaki dua ekor kuda itu menghilang dan tak terdengar lagi. Sunyi yang menegangkan. Kian Bu duduk di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun lebar sambil termenung. Jelas bahwa dua orang itu merupakan anggauta suatu kelompok atau pasukan atau gerombolan. Perkumpulan apakah yang agaknya menguasai daerah ini? Siapa mereka itu dan siapa ketua mereka? Dan siapa pula orang-orang yang mereka bicarakan tadi, yang disangka mata-mata musuh? Dia menanti sampai lama karena mengira bahwa orang yang dibicarakan mereka berdua tadi, yang katanya mengejar mereka, tentu akan muncul pula. Akan tetapi, sampai satu jam lebih dia menanti, tidak juga tampak ada yang datang mengejar.

   "Huh, pengejar yang lambat dan bodoh seperti itu mana akan mampu menyusul buruan?"

   Dia sudah mengomel karena merasa kesal juga menanti sebegitu lamanya di atas pohon, dan merasa mendongkol karena dia telah terganggu dari kenikmatan tidur siang terayun-ayun di cabang itu. Kini dia harus berjaga dengan penuh ketegangan, namun yang dinanti-nanti tidak kunjung muncul. Siapa tidak menjadi gemas?

   "Uuuhhh, pengejar tolol....!"

   Habis kesabarannya dan selagi dia hendak meloncat turun, tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Sayup-sampai suaranya, akan tetapi makin lama makin jelas. Suara seorang wanita bernyanyi. Merdu bukan main! Suara itu bening, halus dan pulen, terbawa angin semilir memasuki telinganya mendatangkan perasaan nyaman dan sedap! Kian Bu terbelalak heran. Suara wanita begitu merdu di hutan liar dan sunyi ini? Jangan-jangan suara siluman itu! Yang dinantikannya adalah seorang pengejar yang bengis, bukan seorang yang suaranya mengalahkan biduanita yang pernah didengarnya bernyanyi di kota raja! Dan isi nyanyian itu! Dia mendengarkan penuh perhatian.

   Pada usia delapan tahun aku mencuri pandang di dalam cermin, dan aku sudah dapat menghitami alis mataku!
Pada usia sepuluh aku pergi ke pesta sincia dengan baju baru berkembang bunga teratai!
Pada usia dua belas aku belajar meniup suling,hiasan kuku tak pernah lepas dari jari tanganku!
Pada usia empat belas aku tak berani bertemu pria, menduga-duga akan segera dijodohkan.
Pada usia lima belas aku menangis di dalam musim bunga, dan menyembunyikan mukaku di balik pintu taman....

   Kian Bu tertegun. Tentu saja dia mengenal sajak nyanyian itu. Kian Bu telah diberi pelajaran sastra oleh ibunya dan banyak sajak-sajak ciptaan sastrawan-sastrawan kuno hafal olehnya. Dia ingat bahwa nyanyian itu diambil dari sajak ciptaan pujangga Li Shang Yin yang hidup di abad ke sembilan (812-858).

   Li Shang Yin terkenal dengan tulisan sajaknya, terutama sajak Tujuh Sajak Cinta dan yang dinyanyikan suara merdu itu adalah saja ke tiga! Kian Bu menjadi penasaran karena sampai lama orangnya belum juga muncul. Kalau penyanyi itu berjalan kaki, tentu jalannya lambat sekali, apalagi kalau naik kuda. Agaknya kudanya itu berjalan sambil makan rumput di sepanjang jalan! Akan tetapi, wanita dengan suara seperti itu tidak pantas kalau berjalan kaki atau naik kuda di hutan liar ini, pantasnya naik kereta. Akan tetapi dia tidak mendengar suara roda kereta! Kian Bu merayap turun dari atas pohon. Kalau yang muncul seorang wanita bersuara semerdu ini, dia tidak perlu lagi bersembunyi. Sebaliknya malah, dia ingin menemui wanita itu dan melihat apakah orangnya juga seindah suaranya! Dengan tergesa-gesa dia merayap turun, lalu meloncat ke bawah.

   "Heiiitttt.... eihhhh....!"

   Kian Bu meloncat ke samping menghindarkan kakinya yang hampir menginjak sebuah kepala orang! Dia memandang dengan mata terbelalak dan tengkuknya berdiri karena merasa serem. Kepala itu berambut panjang sudah putih semua, kepala yang kecil, kepala seorang tua renta, seorang kakek kurus yang sedang tidur mendengkur di bawah pohon, kepalanya berbantalkan akar pohon itu.

   Kian Bu melongo. Bagaimana dan bila mana orang ini bisa berada di bawah pohon tanpa diketahuinya? Mustahil! Kalau sudah lama, pasti tampak oleh dua orang berkuda tadi. Kalau baru saja, bagaimana sampai dia tidak tahu? Jangan-jangan ini bukan orang, melainkan setan, iblis hutan yang menjaga hutan itu! Dan jangan-jangan suara merdu tadi itu pun suara peri atau siluman yang suka menjadi perempuan cantik. Dia bergidik akan tetapi dilawannya dengan keyakinan bahwa menurut dongeng-dongeng manapun juga, setan dan iblis tidak muncul di siang hari! Dan sekarang masih siang. Kata yang empunya dongeng, semua mahluk halus takut akan sinar matahari. Bukan kalau begitu, bukan iblis! Kalau manusia, tentu luar biasa sekali kepandaian kakek ini!

   Kiranya hanya orang dengan kepandaian setingkat kakaknya atau dia sendiri yang akan mampu datang tanpa suara seperti itu! Kian Bu menjadi khawatir, dan melihat orang itu tidur mendengkur, dia lalu melayang lagi ke atas, sembunyi di dalam daun-daun sambil mengintai ke bawah. Kalau kakek itu berniat buruk kepadanya, tentu sudah dilakukannya dari tadi, tidak tidur mendengkur dulu di bawah pohon. Kini terdengar bunyi kerincingan. Masih lirih tanda bahwa suara itu masih jauh akan tetapi suara kerincingan itu bening sekali. Tang-ting-tang-ting dan crang-cring-crang-cring seperti perak dipukul. Dan kini terdengar lagi suara wanita bernyanyi, suara yang merdu tadi, kini diiringi suara kerincingan tang-ting-tang-ting itu, seolah-olah yang-kim (kecapi) yang hanya mempunyai dua macam nada. Suaranya yang merdu itu kini bernada gembira dan jenaka.

   Hujan Musim Rontok,
Hujan Musim Rontok!
Tiada Bulan, Tiada Malam.
Berintik-Rintik, Bercucuran Deras!
Lampunya Padam, Kasurnya Dingin,
Kesepian Yang Menjemukan.
Si Cantik Jelita Berduka Merana!
Angin Barat Semilir Meniup Bambu Di Jendela,
Berhenti Sebentar Dan Mulai Lagi,
Dua Butir Air Mata Seperti Mutiara
Bergantung Di Sepasang Pipi Dingin.
Betapa Sering Kakanda Berjanji,
Apabila Angsa Liar Terbang Datang....
Kakanda Melanggar Janji,
Angsa Liar Telah Datang,
Namun Kakanda Tidak....

   Saking kagumnya karena dia pun mengenal sajak indah ini, Kian Bu meloncat turun lagi, lupa bahwa di bawah itu ada orang tidur. Untung rambut putih itu tampak olehnya sehingga dia cepat ber-jungkir balik dan turun di balik pohon besar. Sialan, pikirnya. Kamu mengejek aku, ya! Dia baru, saja mengalami kegagalan cinta dan sejak tadi suara itu bernyanyi tentang cinta gagal! Tapi kakek ini agaknya menanti yang bersuara itu. Kian Bu menyelinap di balik batang pohon besar, tak jauh dari situ, menanti dan siap untuk membantu kalau kakek seperti setan ini nanti menyerang si penyanyi yang tentu saja seorang wanita.... dan sepatutnya cantik pula. Suara seperti itu sepantasnya keluar dari bibir yang mungil, mulut yang basah kecil dan segar! Mau dia mempertaruhkan.... kucirnya kalau tidak begitu!

   Suara berkerincing tadi makin jelas dan dari balik tempat sembunyinya, Kian Bu memandang ke depan, sama sekali lupa dia sudah akan kehadiran kakek yang tadi tidur mendengkur di bawah pohon. Hatinya berdebar tegang karena ingin sekali dia melihat orang yang mempunyai suara indah itu. Mula-mula yang tampak adalah kuda putih kecil seperti keledai muncul di tikungan jalan. Kuda itu mungkin keturunan keledai, pendek dan telinganya panjang seperti telinga keledai. Leher kuda itu dipasangi kalung yang terbuat dari kerincingan-kerincingan kecil itu sehingga selalu mengeluarkan bunyi ketika kuda setengah keledai itu berjalan. Akan tetapi, kuda atau keledai Kian Bu tidak peduli, yang penting adalah penunggangnya! Seorang dara remaja yang.... aduhai! Cantik manis, jelita remaja, dengan bentuk tubuh yang meranum, duduk seenak-nya di atas punggung keledai sehingga Kian Bu mendengar hatinya berbisik,

   "Aku juga mau menjadi keledai itu!"

   Dara itu memegang sebatang payung yang terbuka dan payung itu bergerak-gerak terkena angin, akan tetapi tetap dipertahankan menjaga mukanya yang manis itu dari sengatan sinar matahari. Seperti orang terpesona, Kian Bu lupa bahwa dia harus bersembunyi. Tahu-tahu dia sudah melang-kah keluar dari pohon besar itu, memandang kepada dara ayu beraksi dengan payungnya di atas keledai itu sambil tersenyum, memasang "senyum mautnya"

   Karena kini sudah pulih kembali Kian Bu, menjadi seperti Kian Bu yang dahulu, jenaka gembira dan paling suka berhadapan dengan wanita jelita!

   "Selamat siang, Nona. Wahai.... suaramu tadi, nyanyianmu tadi, hebat bukan main...."

   Kian Bu menegur ramah. Dara itu menahan keledainya, berhenti di depan Kian Bu tanpa menurunkan payungnya, memandang penuh selidik, kemudian terdengar dia bertanya, suaranya serak-serak basah tidak seperti nyanyian yang bening tadi, akan tetapi malah terdengar makin menarik bagi "telinga keranjang"

   Kian Bu.

   "Apanya yang hebat? Apakah engkau mengerti nyanyian tadi?"

   Agaknya dara itu menduga bahwa Kian Bu hanyalah seorang pemuda gunung yang mencari kayu bakar di hutan itu.

   "Kesemuanya hebat dan indah! Sajak ke tiga dari Lagu Tujuh Cinta karangan Li Shang Yin di jaman Tong-tiauw itu hebat, akan tetapi sajak Yen Sian di jaman Sung-tiauw tadi pun indah. Dan terutama sekali.... suaramu amat merdu, Nona...."

   Dara itu membelalakkan matanya, sekali lagi tangannya bergerak,

   "Treppp!"

   Payung itu telah tertutup dan sekali pinggangnya yang ramping dan pinggulnya yang melengkung itu bergerak, dia sudah meloncat turun dari punggung keledai. Kian Bu makin kagum melihat gadis itu sudah berdiri. Kiranya bentuk tubuhnya juga hebat, seperti yang diduganya, setelah kini dara itu berdiri, akan tetapi untuk memuji tubuh orang dia tidak berani, maka biarpun sepasang matanya memandang tubuh dara itu, mulutnya memuji keledai,

   "Keledaimu putih mulus dan bentuknya mempesona!"

   "Apa, keledai? Buka matamu baik-baik, sobat. Engkau pandai mengenal sajak, akan tetapi tidak dapat mengenal binatang keramat!"

   "Hahh....?"

   Kian Bu baru sekarang memandang keledai itu penuh perhatian karena disebutnya binatang keramat oleh dara itu. Dia mendekati dan melihat dengan teliti dari moncong sampai ke ekor, dari ujung telinga sampai ujung kaki, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang aneh pada binatang "keramat"

   Ini.

   "Kau melihat sesuatu yang aneh?"

   Dara itu bertanya. Kian Bu menggeleng kepalanya.

   "Ini hanya seekor keledai biasa, hanya bulunya putih dan...."

   "Engkaulah yang bodoh melebihi keledai!"

   Gadis itu mencela.

   "Ini bukan keledai melainkan seekor kuda."

   "Hah? Kuda? Memang mukanya tidak sebodoh keledai, akan tetapi telinganya panjang dan kakinya pendek...."

   "Agaknya engkau seorang kutu buku yang hanya tahu tentang sajak,"

   Gadis yang amat lincah dan galak itu mengomel.

   "Ini adalah keturunan dari kuda Han-hiat-po-ma (Kuda Keramat Berkeringat Darah) dan seekor keledai. Masih keturunan yang ke tiga puluh sembilan dari kuda tunggangan Kaisar Jenghis Khan di jaman dahulu!"

   "Ahhhh....!"

   Kian Bu mengangguk-angguk.

   "Tentu hebat sekali!"

   "Tentu saja hebat!"

   Dara itu lalu mengalungkan gagang payung yang bengkok itu ke sebuah di antara telinga keledai itu dan.... telinga itu menegang dapat menahan payung!

   "Ha-ha, kiranya bisa juga dipakai sebagai tempat menyimpan payung!"

   Kian Bu tertawa.

   "Kau menertawakan kuda keramat ini? Hemm, dasar engkau tolol. Akan tetapi sudahlah, aku mau bertanya padamu."

   "Tanya? Tanyalah!"

   Kian Bu tertarik sekali. Gadis remaja ini lincah, gembira dan jenaka, begitu bebas dan terbuka, akan tetapi juga memperlihatkan keberanian luar biasa, tidak malu-malu seperti kebanyakan gadis biasa.

   "Aku mau bertanya, apakah engkau tadi melihat orang lewat di sini?"

   "Orang lewat? Dua orang laki-laki penunggang kuda?"

   "Ih, bukan! Siapa yang mencari laki-laki? Cihh!"

   Kian Bu tersenyum, lalu dia teringat akan kakek yang mendengkur itu. Wah, sudah pasti kakek itu yang dicari. Gadis manis jenaka dengan keledai aneh ini pantasnya memang berkawan dengan kakek aneh itu.

   "Apakah kau mencari dia....?"

   Kian Bu menoleh dan menuding ke bawah pohon di mana dia tidur tadi.

   "Ehhhh....? Heeee, ke mana dia....?"

   Kian Bu tertegun karena di bawah pohon itu tidak ada apa-apanya, jangankan seorang kakek tidur, seekor cacing pun tidak nampak. Kian Bu mencari-cari dengan pandang matanya, ke kanan kiri, ke atas bawah, depan belakang, namun tidak kelihatan lagi bayangan seorang kakek.

   "Wah, ke mana dia....? Apakah aku mimpi....?"

   Gadis itu juga menoleh ke kanan kiri dan dia tertawa geli melihat sikap Kian Bu yang kebingungan. Dia tertawa dengan manis sekali, mengeluarkan suara ketawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan, akan tetapi karena jari-jari tangan yang dipakai menutupi mulut itu merenggang, jadi masih nampak deretan gigi putih seperti mutiara di balik belahan bibir merah.

   "Hi-hi-hik, kau mencari apa?"

   "Kakek tua renta...."

   "Aku juga tidak butuh kakek-kakek! Yang kucari adalah seorang wanita!"

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kian Bu memandang dara itu.

   "Seorang wanita?"

   "Ya, seorang wanita cantik sekali, pakaiannya indah menyala, mukanya bundar telur, dagunya runcing, matanya seperti bintang kejora, berkedip-kedip dan lirikannya tajam seperti gunting, hidungnya agak terlalu mancung, pipinya merah, bibirnya lebih merah lagi dan senyumnya manis melebihi madu lebah. Pakaiannya indah dan dari sutera mahal, jubahnya berwarna merah muda, ikat pinggangnya kuning dan celananya biru, rambutnya digelung ke atas seperti puteri istana. Hemm, pendeknya seorang wanita cantik dan kaya, dan dia amat genit, genit memikat hati. Kau melihat dia?"

   Kian Bu melongo. Bukan karena penuturan itu, akan tetapi melongo mengikuti gerakan bibir yang tiada hentinya bergerak ketika bicara panjang lebar itu. Bibir yang gerakannya menggemaskan, mencas-mencos akan tetapi manis sehingga Kian Bu merasa seolah-olah pandang matanya melekat pada bibir itu, bibir bawah yang mempesona itu. Gadis ini benar-benar genit menarik, dan dia masih dapat mengatakan orang lain genit memikat! Melihat usianya tentu tidak akan lebih dari lima belas tahun, seperti tersebut di dalam nyanyiannya tadi. Akan tetapi "bocah"

   Ini sudah pandai bicara, pandai mainkan bibir dan gerak bola mata, bahkan sudah pandai pula menilai wanita lain!

   "Yang bagaimana sih yang disebut genit memikat itu?"

   Kian Bu menggoda, akan tetapi sikapnya seolah-olah dia mengingat-ingat barangkali dia pernah bertemu dengan wanita yang digambarkan oleh dara itu.

   "Genit memikat saja kau tidak tahu? Waahh, sungguh bocah gunung yang ter-belakang kau! Genit memikat adalah.... aihhh.... bagaimana, ya?"

   Dara itu kelihatan tersipu, agaknya sukar juga baginya untuk memberi penjelasan.

   "Pendeknya, sikap yang genit, yang centil, yang mempunyai daya pikat, terhadap pria terutama. Masa kau tidak mengerti?"

   Kian Bu yang merasa suka sekali kepada sikap dara ini, mulai menggodanya.

   "Apakah kau maksudkan, genit memikat hati itu seperti sikap ini?"

   Kian Bu lalu bergaya, meliak-liukkan tubuhnya, melerok dan menjulurkan lidahnya seperti orang menakut-nakuti anak kecil.

   "Beginikah genit memikat?"

   "Hi-hi-hik!"

   Dara itu tertawa geli, menggeleng kepalanya keras-keras.

   "Ah, sama sekali bukan!"

   "Apakah begini?"

   Kian Bu merubah gayanya, melotot cemberut seperti nenek-nenek marah.

   "Bukan! Bukan....! Ihh, menakutkan gitu mana bisa disebut memikat?"

   "Habis bagaimana? Coba kau beri contoh biar aku mengerti!"

   Gadis itu menjadi gemas akan kebodohan pemuda itu.

   "Dasar engkau tolol! Nah, dengarkan baik-baik, dan lihat baik-baik, buka telinga dan matamu lebar-lebar. Wanita yang genit memikat itu adalah seorang wanita yang pandai bergaya palsu, tidak wajar, seperti seorang pemain sandiwara, kau pernah melihat wayang? Nah, dia beraksi di depan pria untuk memikat hati pria itu, langkahnya dibuat-buat...."

   Gadis itu lalu melangkah hilir-mudik di depan Kian Bu, lenggangnya dibuat-buat dan karena memang bentuk tubuhnya ramping dan lekuk-lengkungnya penuh dan padat dalam keranumannya, belum masak benar akan tetapi tubuhnya lunak dan lemas sekali, maka ketika dia melenggang dengan gaya dibuat-buat itu, pinggangnya berliuk seperti batang yang-liu tertiup angin, pinggulnya seperti dua benda hidup bergerak ke kanan kiri dan lehernya yang panjang menoleh kanan kiri!

   "Selain lenggangnya menarik, dia pun menggerak-gerakkan bibirnya dan mata-nya menyambarkan kerling maut, seperti ini...."

   Kian Bu berdiri bengong, matanya terbelalak, mulutnya ternganga sehingga kalau banyak lalat di situ mungkin mulutnya akan kemasukan lalat tanpa disadarinya, seluruh perhatiannya terbetot dan semangatnya terseret karena dia sudah terpikat benar-benar oleh peniruan sikap genit memikat dari gadis itu! Kini dia mengikuti gerak bibir yang mencap-mencep, dasar bibirnya berbentuk bagus sekali, merah membasah, yang bawah penuh berkulit dan penuh berkulit tipis seperti mudah sekali pecah, kadang-kadang digigit oleh giginya yang putih, dilepaskan lagi, dijebikan, pendeknya setiap gerak bibir itu menimbulkan kemanisan tersendiri. Semua ini ditambah oleh matanya yang bening itu mengerling penuh daya pikat sehingga Kian Bu merasa seolah-olah disedot dan ingin dia melangkah mendekati gadis itu, seperti besi ditarik semberani!

   "Lenggang dan gerak bibir dan mata ini tentu saja ditambah dengan sentuhan-sentuhan memikat untuk menjatuhkan hati pria, begini contohnya...."

   Kini gadis yang melenggang hilir-mudik di depan Kian Bu itu mendekat dan sambil lewat kini telunjuknya bergerak, mencubit lengan, menowel dagu Kian Bu. Hampir saja Kian Bu tidak kuat bertahan lagi. Bau sedap harum yang keluar dari dara itu ketika mendekat, sentuhan halus telunjuk ke dagunya yang mengirim getaran sampai ke ujung kaki dan ubun-ubun kepalanya, benar-benar membuat gadis itu amat menarik dan memikat. Hampir saja dia lupa diri dan memeluk dengan gemas. Akan tetapi tentu saja ditahannya keinginan ini dan dia makin bingung, makin melongo dan bengong terpesona. Dara itu tertawa cekikikan dengan geli hati ketika melihat betapa pemuda tampan itu plonga-plongo seperti seorang tolol ketika melihat dia bergaya tadi.

   "Eh, kau kenapa sih?" Kian Bu sadar kembali dan dia tersenyum, mengusap kepalanya seolah-olah hendak mengusir kepeningan otaknya.

   "Wah, engkau hebat sekali, Nona. Eh, sebetulnya siapa sih yang kau cari itu? Dan mengapa kau mencarinya?"

   Gadis itu duduk di atas akar pohon, membiarkan kuda keramatnya itu terlepas begitu saja. Kian Bu juga duduk di depannya dan gadis itu memandang wajah Kian Bu penuh selidik, baru dia berkata,

   "Wajahmu mendatangkan kepercayaan di hatiku, tidak seperti wajah orang-orang yang kutemui sebelum ini."

   Kian Bu mengusap mukanya.

   "Wajahku kenapa sih?"

   

Pendekar Super Sakti Eps 29 Sepasang Pedang Iblis Eps 5 Pendekar Super Sakti Eps 39

Cari Blog Ini