Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 5


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



Akan tetapi gerakannya tidak lurus melainkan seperti ular berlenggak-lenggok hingga tampak sinar pedangnya seperti halilintar menyambar di angkasa. Namun tubuh kakek kurus itu telah lenyap dan tahu-tahu telah berpindah tempat ke kiri. Tosu itu terkejut melihat kecepatan gerak lawan yang tidak tampak menggoyang tubuh tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke kiri, maka cepat pedangnya menyusul dan dia mengirim serangkaian serangan dengan pedangnya sehebat gelombang lautan dan terdengar suara suling nyaring mengikuti berkelebatnya sinar pedang. Thung Sik Lun memiliki bakat yang baik dalam ilmu meringankan tubuh, maka oleh majikan Pulau Es ia telah digembleng dengan ilmu gerak kilat sehingga tubuhnya dapat bergerak lebih cepat dari pada berkelebatnya sinar pedang Hok Cin Cu,

   Maka serangan-serangan itu selalu gagal karena tubuh kakek kurus ini telah mencelat ke sana-sini amat cepatnya. Semua orang yang menyaksikan pertandingan dahsyat ini melongo karena gerakan tubuh Si Kakek Kurus sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya tampak seolah-olah menjadi banyak. Hok Cin Cu menjadi penasaran sekali. Sudah belasan jurus pedangnya menyerang namun sama sekali tak pernah berhasil. Ia berseru keras dan menyerang lebih cepat. Thung Sik Lun maklum akan kelihaian lawan, maka ia pun mempercayai gerakan tubuhnya sehingga tubuhnya lenyap hanya merupakan bayangan yang kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak. Sambil mengelak ini, Thung Sik Lun kini membalas, tangan kirinya mendorong ke arah lawan dengan jari terbuka.

   "Wuuuttttt...!"

   "Aihhh!"

   Hok Cin Cu terhuyung dan berseru kaget karena dorongan tangan lawan itu mengandung tenaga yang hebat bukan main, mengandung hawa panas dan amat kuat sehingga tubuhnya bergetar dan ia terhuyung ke belakang.! Hok Cin Cu cepat meloncat ke atas dan berjungkir balik ke belakang, kemudian turun dengan wajah pucat, memandang lawannya yang masih tetap berdiri tegak dan tenang. Maklumlah tosu ini bahwa lawannya, tokoh Pulau Es ini, memiliki sinkang yang sangat luar biasa. Dia seorang yang licin dan cerdik sekali, biar pun marah dan penasaran akan tetapi tidak nekat. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu dia teancam bahaya mati. Maka ia lalu berkata.

   "Sobat dari Pulau Es, kepandaianmu hebat. Biarlah kali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi tunggulah saja, pada suatu hari aku akan datang mengunjungi Pulau Es untuk menantang pibu kepada majikan Pulau Es!"

   Setelah berkata demikian, tanpa menanti lawan menjawab dan tidak memberi kesempatan orang lain mengejeknya, tosu cerdik ini sudah meloncat jauh dan berlari cepat sekali, kemudian menghilang di pantai yang berbatu-batu.

   Kejadian ini membuat semua orang terkejut dan melongo. Hok Cin Cu yang demikian lihai ilmu pedangnya, dalam waktu cepat sekali telah mengaku kalah kepada orang kedua dari Pulau Es, padahal belum dirobohkan! Dan menurut pengintaian mereka, orang Pulau Es itu tidaklah sehebat Si Tosu, hanya memiliki gerakan cepat dan pandai mengelak saja. Mengapa tosu yang ilmu pedangnya luar biasa itu mengalah begitu saja? Hal ini membuat penasaran yang hadir, maka keluarlah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun berpakaian pendeta, berambut gondrong dengan cambang bauk mencongak ke sana-sini. Lehernya digantungi kalung yang ada kelenengannya seperti yang biasa digantungkan di leher kerbau atau sapi. Kiranya dia adalah seorang saikong yang mukanya seperti singa dan suaranya parau ketika ia berkata menggeledek.

   "Aku telah mendengar bahwa Pulau Es dikuasai oleh seorang Pendekar Siluman. Kini menyaksikan pertandingan tadi, aku baru percaya orang-orang Pulau Es pandai menggunakan ilmu siluman! Kalau kalian menggunakan ilmu silat, kiraku tidak akan mampu mengalahkan Hok Cin Cu, biar pun ilmu pedangnya hanya bagus ditonton dan enak didengar saja. Heh, orang Pulau Es, marilah kalian melawan aku, Siangkoan Cinjin dari Goa Tengkorak!"

   Setelah berkata demikian, saikong itu lalu menggoyang tubuhnya seperti tingkah seekor singa mengeringkan bulunya dan terdengarlah suara mengaum yang dahsyat dari mulutnya.

   Suara ini mengandung getaran yang amat kuat sehingga semua orang yang mendengar menjadi terkejut sekali. Untung bahwa yang kini tinggal di situ hanya orang-orang yang berilmu tinggi sehingga mereka cepat mengerahkan tenaga mereka untuk melawan pengaruh getaran suara itu, karena kalau orang tidak memiliki sinkang kuat, mendengar suara getaran ini pasti akan roboh! Mengeluarkan suara mengaum seperti singa yang dapat merobohkan lawan dan mendatangkan rasa takut dan ngeri ini adalah ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa) yang dikerahkan dengan tenaga khikang amat kuatnya. Dari teriakan dahsyat ini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya saikong ini. Kakek Siauw Lam yang semenjak tadi menyaksikan pertandingan dengan penuh perhatian, terkejut sekali mendengar digunakannya ilmu Sai-cu Ho-kang ini karena ia segera teringat akan muridnya.

   Muridnya belum memiliki sinkang yang kuat maka ilmu itu dapat mencelakakan muridnya itu. Ia tidak bernafsu lagi menonton dan mulailah ia mencari muridnya itu. Ketika ia tidak dapat melihat muridnya di antara para tokoh yang hadir, kakek ini lalu pergi ke pantai dan mengelilingi pulau untuk mencari. Kemana perginya bocah itu? Ketika tadi Bun Beng menyaksikan pertandingan dan melihat para suheng-nya kalah lalu gurunya maju menolong, dari tempat ia berdiri ia melihat rombongan koksu di kapal itu tertawa-tawa, seolah-olah menertawakan para suheng-nya yang kalah. Hatinya menjadi panas, apa lagi ketika melihat koksu itu bersama beberapa orang lain turun dari kapal dan memasuki sebuah perahu kecil yang didayung ke pulau. Ia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Ingin ia menantang koksu itu untuk melawan gurunya atau mengikuti pibu.

   Dianggapnya amat tak tahu malu orang-orang pemerintah itu yang hanya menonton dan memblokir tempat itu seperti seekor serigala yang membiarkan anjing-anjing berebut tulang. Biar pun masih kecil, dari cerita kakek Siauw Lam, Bun Beng dapat menduga bahwa kehadiran pasukan pemerintah itu pasti mengandung maksud tidak baik terhadap para tokoh. Ingin ia melihat jago-jago kerajaan itu turun gelanggang mengadu kepandaian dengan orang gagah. Maka ia lalu menuruni tebing, lupa akan gurunya, kemudian berlari menuju ke arah pantai untuk memapaki koksu negara dan pembantu-pembantunya. Yang berada di perahu kecil itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri, koksu bersama lima orang pembantunya, yaitu Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan tiga orang jenderal pasukan pengawal. Perahu di dayung oleh Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang bertenaga kuat itu sehingga sebengtar saja perahu telah mendarat.

   Setelah menyaksikan sepak terjang dua orang utusan Pulau Es, Im-kan Seng-jin menjadi tertarik sekali dan sudah "gatal-gatal tangan"

   Untuk mendekati dan kalau perlu ikut main-main dengan para orang gagah. Demikian pula dengan kedua orang hwesio Lama dari Tibet, ingin sekali mencoba kepandaian orang-orang sakti itu. Akan tetapi, baru saja mereka mendarat, seorang anak laki-laki telah menghadang mereka sambil bertolak pinggang dan memandang dengan mata melotot! Bocah ini bukan lain adalah Bun Beng! Enam orang itu heran melihat ada seorang anak kecil berada di tempat seperti itu. Sungguh tidak pernah mereka sangka! Tempat itu pada saat ini pantasnya hanya dikunjungi oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi, bukan tempat bermain anak kecil. Dan anak ini sengaja menghadang, berdiri menantang dan memandang dengan mata melotot marah!

   "Eh, bocah kurang ajar! Mau apa kau ke sini? Hayo pergi!"

   Bhe Ti Kong membentak. Akan tetapi Bun Beng tidak bergerak dari tempatnya, bahkan berkata nyaring.

   "Siapa yang kurang ajar? Aku di sini tidak melakukan apa-apa, sebaliknya kalian yang sungguh tidak patut hanya menonton dan menertawakan orang! Kalau memang kalian ada kepandaian, mengapa tidak ikut pibu saja ke sana? Ataukah beraninya hanya menertawakan yang kalah?"

   Sejenak enam orang itu terbelalak mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang bocah yang usianya kurang lebih sepuluh tahun. Bhe Ti Kong menjadi marah sekali.

   "Bocah setan!"

   Bentaknya dan tangannya bergerak menangkap pundak Bun Beng dengan maksud untuk dilemparkan agar jangan menghadang dan mengganggu.

   "Wuuuussss!"

   Tangannya luput. Hal ini makin mengherankan mereka, terutama sekali Bhe Ti Kong. Seorang bocah masih begitu kecil sudah dapat mengelak dari tangkapannya. Hal ini benar-benar mengejutkan, karena seorang dewasa sekali pun belum tentu dapat mengelak secepat itu. Ia menjadi penasaran dan menubruk ke depan, cepat sekali. Bun Beng mengerti bahwa untuk mengelak ia kalah cepat, maka ia menyambut tubrukan panglima itu dengan pukulan tangannya ke arah perut Bhe Ti Kong.

   "Aihhh!"

   Bhe Ti Kong kaget, akan tetapi ia berhasil menangkap tangan kecil yang memukul, kemudian tubuh Bun Beng diangkat hendak dibanting.

   "Bhe-goanswe, jangan!"

   Tiba-tiba terdengar suara Im-kan Seng-jin.

   "Lemparkan dia kepadaku!"

   Bhe Ti Kong menahan tangannya dan melontarkan bocah itu ke arah koksu, dan melayanglah tubuh Bun Beng. Im-kan Seng-jin menyambut tubuhnya dengan mudah dan kakek botak tinggi kurus ini meraba-raba dan mengukur-ukur kepala Bun Beng dengan jari-jari tangannya, dikilani dengan ibu jari dan telunjuk, diukur dari depan ke belakang, dari kanan ke kiri dan dari bawah ke atas, kemudian dipijit-pijit bagian-bagian kepala Bun Beng. Wajahnya menjadi girang sekali dan setelah selesai mengukur-ukur kepala anak itu, Im-kan Seng-jin lalu memeriksa mata Bun Beng dengan membuka kelopak matanya, kemudian menjepit rahang Bun Beng sehingga anak itu terpaksa membuka mulutnya, memeriksa dalam mulut, kemudian menaruh tangan kanan di dada dan jari-jari tangan kirinya memegang nadi tangan Bun Beng. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum lebar, wajahnya berseri.

   "Aaaahhhh, Ji-wi Lama, lihat, apa yang kutemukan ini! Tulangnya bersih darahnya murni, dan kepalanya....! Hebat....! Rongga otaknya luas, daya tangkapnya kuat, semangatnya besar jalan darahnya lancar, isi dadanya sempurna semua! Benar-benar seorang sin-tong (anak ajaib) yang sukar ditemukan keduanya! Wah, kalau dia sudah kuberi makan obat kuat secukupnya, dia akan dapat memenuhi syarat aku melaksanakan ilmu peninggalan guruku, I-jwe-hoan-hiat (Ganti Sumsum Tukar Darah)!"

   Tiga orang panglima itu tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat, akan tetapi Thian Tok Lama dan Thai Li Lama menjadi pucat wajahnya. Thai Li Lama memandang Bun Beng dengan sinar mata kasihan lalu menundukkan muka, sedangkan Thian Tok Lama lalu berkata perlahan.

   "Omitohud...., semoga Sang Buddha menunjukkan jalan terang bagi Koksu!"

   "Heh-heh-heh! Ji-wi Lama, kalian orang-orang beragama hanya memikirkan tentang dosa saja! Bagi orang-orang seperti kami, dosa adalah soal ke dua, yang terpenting adalah memanfaatkan segala macam demi kepentingan dan kemajuan kita. Ha-ha-ha! Eh, Sin-tong, siapa namamu?"

   "Aku bukan sin-tong, aku bernama Gak Bun Beng. Lepaskan, aku mau pergi!"

   Bun Beng meronta dari pegangan kakek itu. Anak ini pun tidak mengerti apa artinya I-jwe-hoan-hiat. Kalau dia mengerti tentu akan merasa ngeri, betapa tabah pun hatinya, karena ilmu itu ada-lah ilmu hitam yang amat keji, yaitu Si Kakek ini hendak menyedot darah dan sumsum Bun Beng dalam keadaan hidup-hidup untuk menggantikan sumsum dan darahnya sendiri yang sudah lemah dan kotor!

   "Engkau mau pergi? Nah, pergilah kalau dapat!"

   Koksu itu melepaskan pegangannya. Bun Beng menggerakkan kaki hendak berlari pergi akan tetapi.... tubuhnya tak dapat bergerak maju, kedua ka-kinya tak dapat digerakkan seolah-olah tertahan oleh sesuatu yang tidak nampak!

   "Ha-ha-ha! Engkau tidak bisa pergi, Bun Beng, karena semenjak saat ini engkau harus selalu ikut bersamaku, tidak boleh berpisah sedikitpun. Tidur pun harus di sampingku. Hayo, ikut dengan kami menonton pibu, heh-heh-heh!"

   Tubuh Bun Beng didorong dan.... kedua kakinya dapat dipakai berjalan mengikuti rombongan itu. Akan tetapi setiap kali dia hendak melarikan diri, mendadak kedua kakinya tidak dapat digerakkan! Dia mulai merasa ngeri. Tentu kakek aneh ini menggunakan ilmu iblis, pikirnya.

   "Bun Beng....!"

   "Suhu....!"

   Bun Beng berteriak girang sekali ketika ia melihat munculnya Kakek Siauw Lam di depan. Rombongan koksu itu pun berhenti ketika mendengar Bun Beng menyebut kakek itu sebagai gurunya.

   "Bun Beng, ke sinilah engkau!"

   Kakek Siauw Lam berkata kepada muridnya, hatinya gelisah melihat muridnya itu bersama rombongan koksu.

   "Teecu.... teecu tidak bisa, Suhu....!"

   Kata Bun Beng sambil berusaha menggerakkan kedua kakinya.

   "Siapa bilang tidak bisa? Majulah engkau ke sini!"

   Kakek Siauw Lam yang sudah melihat bahwa Bun Beng sebenarnya tertahan oleh hawa sin-kang yang keluar dari tangan koksu itu, menggerakkan kedua tangannya ke depan sambil mengerahkan sin-kangnya. Terdengar suara bercuitan dan.... tiba-tiba tubuh Bun Beng terdorong ke depan, ke arah gurunya.

   "Heh-heh, boleh juga tua bangka ini."

   Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa untuk menyembunyikan kagetnya, kemudian ia pun menggerakkan kedua tangan ke depan. Terjadilah tarik-menarik oleh dua kekuatan yang tidak tampak, dan Bun Beng merasa betapa tubuhnya ditarik ke depan dan ke belakang. Akan tetapi akhirnya.... ia tertarik ke belakang dan tangan koksu itu sudah menangkap pundaknya sambil tertawa-tawa. Bukan main kagetnya hati Kakek Siauw Lam. Tak disangkanya bahwa koksu itu ternyata memiliki kekuatan sin-kang yang luar biasa sekali! Maka ia cepat menjura dan berkata,

   "Mohon Paduka suka melepaskan murid hamba yang tidak berdosa, dan maafkan hamba yang tidak tahu diri berani berlaku lancang."

   "Heh-heh, engkau guru bocah ini?"
(Lanjut ke Jilid 05)

   Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
"Benar, Taijin."

   "Siapa namamu?"

   "Nama hamba Siauw Lam, seorang anggauta Siauw-lim-pai."

   Kakek itu sengaja menggunakan nama Siauw-lim-pai untuk mencari pengaruh, karena pada waktu itu, pemerintah tidak mau bermusuhan dengan partai-partai persilatan besar, terutama Siauw-lim-pai yang kuat. Tiba-tiba Thian Tok Lama mengerutkan alis dan berkata,

   "Seingat pinceng, yang bernama Siauw Lam adalah seorang hwesio terkenal di Siauw-lim-pai!"

   Kakek Siauw Lam memandang kepada hwesio Lama itu dan memberi hormat sambil berkata,

   "Saya yang berdosa dahulu adalah Siauw Lam Hwesio, akan tetapi sudah bertahun-tahun ini saya mengundurkan diri dan menjadi orang biasa, Kakek Siauw Lam pelayan Kuil Siauw-lim-pai."

   Mendengar ini, pandang mata kedua orang Lama itu memandang rendah dan alis mereka berkerut. Tak senang hati mereka mendengar betapa seorang hwesio telah mengundurkan diri dari kependetaannya, hal ini mendatangkan kesan di hati mereka bahwa kakek itu adalah seorang durhaka dan berkhianat terhadap agama!

   "Kakek Siauw Lam, kalau engkau guru dari Bun Beng ini, kebetulan sekali. Aku akan mengambil muridmu ini, aku sayang kepadanya!"

   "Tidak, Suhu, dia tidak sayang kepada teecu! Dia hendak menggunakan teecu sebagai syarat ilmunya I-jwe-hoan-hiat!"

   Im-kan Seng-jin hendak mencegah Bun Beng bicara, namun terlambat dan seketika wajah Kakek Siauw Lam menjadi pucat, matanya menyinarkan api kemarahan.

   "Taijin, harap jangan menghina murid Siauw-lim-pai. Kembalikan muridku!"

   Bentaknya. Im-kan Seng-jin pun berganti sikap, memandang marah.

   "Apa? Engkau pelayan kuil berani menentang aku? Berani melawan koksu kerajaan?"

   "Saya tidak melawan siapa-siapa, akan tetapi Bun Beng adalah muridku dan biar dewa sekalipun hanya bisa merampasnya melalui mayatku!"

   Kakek itu sudah marah sekali karena ia tahu apa artinya nasib muridnya kalau hendak dijadikan syarat orang melaksanakan ilmu iblis itu.

   "Ha-ha-ha, Ji-wi Lama, lenyapkan hwesio yang durhaka ini!"

   Im-kan Seng-jin berkata. Kedua orang Lama itu memang sudah membenci Kakek Siauw Lam, maka kini keduanya lalu menerjang maju dari kanan-kiri, mengirim pukulan-pukulan dahsyat sekali. Dari kiri Thian Tok Lama memukul dengan Ilmu Hek-in-hui-hong-ciang sehingga angin keras menyambar disertai uap hitam, adapun dari kanan Thai Li Lama juga memukul dengan pukulan sakti Sin-kun-hoat-lek! Melihat datangnya pukulan yang me-ngandung hawa sakti amat dahsyatnya itu Kakek Siauw Lam terkejut dan maklum bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang amat kuat dan harus dilawan mati-matian, terutama untuk menolong muridnya. Maka ia pun mengerahkan sin-kangnya, mengembangkan kedua lengannya ke kanan-kiri dengan jari tangan terbuka dan menerima pukulan kedua lawan itu dengan telapak tangannya.

   "Plak! Plak!"

   Telapak tangan mereka bertemu dan melekat. Tiga orang itu berdiri tak bergerak, saling beradu telapak tangan yang mengeluarkan hawa sakti dan terjadilah adu tenaga sakti yang amat dahsyat! Beberapa menit lamanya ketiga orang kakek ini berdiri tegak tak bergerak akan tetapi lambat-laun tubuh kedua orang Lama itu bergoyang-goyang, sedangkan tubuh Kakek Siauw Lam masih tegak, sama sekali tidak terguncang, hanya dari rambut kepalanya mengepul uap putih dan mukanya pucat.

   "Orang Siauw-lim-pai memang hebat....!"

   Terdengar Im-kan Seng-jin berkata perlahan. Sebetulnya, dia tidak berniat memusuhi Siauw-lim-pai akan tetapi karena dia tidak mau kehilangan Bun Beng, dia mengambil keputusan pendek. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke arah dada Kakek Siauw Lam. Angin yang keras dan panas menyambar ke depan, tenaga yang tidak nampak menghantam dada Kakek Siauw Lam yang tentu saja tidak dapat mengelak atau menangkis karena dia sedang terhimpit oleh tenaga kedua orang Lama yang sudah hampir ia kalahkan itu.

   "Uahhh....!"

   Kakek Siauw Lam tergetar tubuhnya dan dari mulutnya tersembur darah segar, akan tetapi matanya mendelik memandang Im-kan Seng-jin dan dia masih tetap mempertahankan himpitan kedua orang Lama, sedikit pun tidak berkurang tenaga sin-kangnya biarpun sudah menderita luka parah! Tiba-tiba Bhe Ti Kong mengeluarkan gerengan keras dan tubuhnya meloncat maju, tampak sinar berkilat ketika ia menggerakkan senjatanya yang istimewa yaitu sebuah tombak gagang pendek.

   "Cappp!"

   Tombak itu menusuk lambung Kakek Siauw Lam sampai tembus!

   "Suhuuu....!"

   Bun Beng menjerit, akan tetapi kedua kakinya tetap saja tak dapat digerakkan. Dengan mata terbelalak dan muka pucat ia melihat betapa suhunya roboh, mengerang perlahan lalu terdiam, tak bergerak lagi. Sejenak enam orang itu termangu-mangu, agaknya merasa tidak enak dengan adanya kejadian itu. Betapapun juga, yang mereka bunuh adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai!

   "Ambil racun penghancur, lenyapkan mayatnya!"

   Im-kan Seng-jin berkata dan dua orang panglima cepat membuka bungkusan koksu itu, mengeluarkan sebuah guci, membuka tutupnya dan menu-angkan benda cair berwarna putih perak ke atas tubuh Kakek Siauw Lam yang menjadi mayat.

   "Suhuuuu....!"

   Bun Beng masih terbelalak sambil menjerit memanggil nama suhunya sampai jari tangan Im-kan Seng-jin menyentuh lehernya dan membuat ia tak mampu menjerit lagi. Dia hanya da-pat memandang dengan mata terbelalak betapa mayat suhunya itu cepat sekali mencair.

   "dimakan"

   Benda cair putih itu dan terciumlah bau yang asam dan tajam menusuk hidung.

   Sepasang mata anak itu tak pernah berkedip melihat betapa mayat suhunya itu habis dan mencair sampai ke tulang-tulangnya, tidak ada bekasnya sedikitpun juga karena cairannya diserap oleh tanah, dan yang tinggal hanyalah tanah basah yang berbau racun itu. Dua titik air mata tanpa dirasakannya jatuh ke atas pipinya, akan tetapi Bun Beng tidak menangis. Tidak, sedikit pun dia tidak terisak, biarpun kedukaan menyesak di dada, karena kedukaannya dikalahkan rasa kebenciannya terhadap empat orang itu. Berganti-ganti sinar matanya seperti dua titik api hendak membakar tubuh Im-kan Seng-jin, Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Bhe Ti Kong. Terutama sekali Bhong Ji Kun dan lebih-lebih lagi Bhe Ti Kong. Karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itulah yang membunuh suhunya! Akan tetapi, enam orang itu tidak mempedulikannya.

   Setelah mayat Kakek Siauw Lam lenyap, bergegas mereka mengajak Bun Beng menuju ke arah lapangan yang dijadikan medan pertandingan. Kedua orang kakek utusan Pulau Es ternyata amat lihai. Berkali-kali maju orang-orang sakti yang memasuki medan laga untuk berpibu, namun kesemuanya dikalahkan oleh Kakek Yap Sun dan Kakek Thung Sik Lun! Semua orang menjadi gentar dan kini pihak Thian-liong-pang dan rombongan Pulau Neraka sudah mulai berbisik-bisik, agaknya mereka ini yang tadi nampak tenang-tenang saja sudah mulai memperbincangkan siapa yang akan mereka ajukan untuk menandingi dua orang kakek Pulau Es yang sakti itu. Agaknya pihak Thian-liong-pang yang merasa penasaran dan dua orang kakek dari pihak ini sudah melompat maju.

   "Mundur!"

   Suara ini melengking nyaring dan tiba-tiba tampak sinar yang sebetulnya adalah bayangan putih seorang manusia yang melayang turun dari atas tebing dan hinggap di depan kedua orang kakek Pulau Es tanpa mengeluarkan suara, seperti seekor burung saja. Semua orang memandang dan terbelalak melihat seorang wanita berpakaian sutera putih dengan sabuk sutera biru, bentuk tubuh yang ramping padat dan menggairahkan. Akan tetapi kepala wanita ini tertutup oleh kedok sutera putih seluruhnya, merupakan sebuah kantung yang ditutupkan di kepala sampai ke bawah leher, hanya mempunyai dua buah lubang dari mana berpancar sinar mata yang indah, bening, namun mengandung hawa dingin dan tajam seperti ujung pedang pusaka! Kulit kedua tangan yang tersembul keluar dari lengan baju, amat putih dan tangan itu sendiri kecil halus seperti tangan seorang puteri yang kerjanya setiap hari hanya merenda dan berhias!

   Akan tetapi, semua orang berhenti menduga-duga dan mengerti bahwa wanita berkedok itu tentulah ketua yang penuh rahasia dari Thian-liong-pang! Hal ini terbukti dari sikap para rombongan Thian-liong-pang yang serta merta menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah wanita berkerudung itu. Tanpa diketahui oleh para tokoh kang-ouw kini rombongan koksu telah menonton di situ, bahkan dari belakang mereka menyusul pasukan pengawal yang segera membentuk barisan yang siap menanti komando. Akan tetapi wanita berkerudung itu tidak mempedulikan semua ini. Dari balik kerudung keluar suara yang merdu dan halus, akan tetapi nyaring dan begitu dingin membuat semua orang menggigil.

   "Apakah kalian berdua ini utusan Pulau Es?"

   Yap Sun sudah mendengar akan Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa, akan tetapi seorang seperti dia pun tertegun ketika mendapat kenyataan bahwa ketua yang disohorkan memiliki ilmu kepandaian seperti iblis itu ternyata hanyalah seorang wanita, bahkan melihat bentuk tubuh dan mendengar suaranya, dia hampir berani memastikan bahwa wanita ini tentu masih muda! Akan tetapi, teringat akan majikannya sendiri yang juga hanya pemuda malah buntung kakinya, ia menyingkirkan keheranannya, kemudian menjura dan menjawab.

   "Tidak keliru dugaan Pangcu yang terhormat. Saya Yap Sun dan Sute Thung Sik Lun ini adalah utusan dari Pulau Es."

   "Bagus! Sudah cukup Pulau Es memperlihatkan kegarangannya. Sekarang robohlah!"

   Ucapan ini disusul dengan serangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh wanita ini telah menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang membawa angin halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin hebatlah karena itu menunjukkan kekuatan sin-kang yang sudah tinggi. Akan tetapi dia dan sutenya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuktikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.

   "Dukk! Dukk!"

   Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua orang kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah mereka dapat meloncat bangun dengan muka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sutenya bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.

   "Bagus! Kalian boleh juga!"

   Kata wanita berkerudung itu dan terjadilah pertandingan yang amat hebat. Kedua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka dapat dielakkan oleh Si Wanita berkerudung. Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa wanita itu mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serangan mereka! Karena penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya, juga sutenya mengim-bangi serangan suhengnya itu, dari pihak yang berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya.

   "Aiiihhhh!"

   Dan tubuhnya mencelat ke atas sehingga himpitan dua tenaga sin-kang itu luput. Ia melayang ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati. Sambil bertolak pinggang ia bertanya.

   "Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?"

   Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jerih terhadap pukulan tenaga inti api dan pukulan sutenya dengan tenaga inti es, maka ia berkata.

   "Apakah Pangcu yang terhormat jerih menghadapinya?"

   "Aihhh, sombong! Siapa takut? Majulah!"

   Kedua orang tokoh Pulau Es itu me-nerjang lagi dengan pukulan-pukulan mereka yang amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Adapun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut sekali.

   "Gak Liat adalah Ayahku....!"

   Teriaknya perlahan dan karena Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya dicengkeram tangan yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya tangan Panglima Bhe Ti Kong yang memegang.

   "Pegang dia, jangan sampai dia lari!"

   Kata Im-kan Seng-jin tidak mau terganggu karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik. Memang hebat pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar. Biarpun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil berkata.

   "Sesungguhnya aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es datang, aku tidak suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa keluar sendiri. Hayo katakan, di mana majikanmu Pendekar Siluman Si Kaki Buntung itu? Kalau dia tidak keluar, kuambil daun telingamu!"

   Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena pertandingan, diikuti suara yang bergema,

   "Siapakah mencari aku?"

   Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan tangan kiri memegang tongkat butut, meloncat turun dari punggung garuda raksasa yang berdiri gagah itu. Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, memandang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sambil berkata dengan nada melaporkan penuh penyesalan,

   "Maaf, To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon keputusan To-cu."

   Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mempedulikan, juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan mulutnya berkata penuh sesal.

   "Aku mencari dia.... ah, di manakah kalau tidak di sini?"

   Kemudian dia berteriak, suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi.

   "Hong-ji (Anak Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini....!"

   Suaranya bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu dengan Suma Han (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI), memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian pria muda buntung ini. Adapun mereka yang sudah lama mendengar nama Pendekar Siluman akan tetapi baru sekarang bertemu, memandang takjub dan terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa saja, bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar Siluman? Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biarpun rambutnya putih dan panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik ngeri.

   "Ke manakah perginya Siocia, To-cu?"

   Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.

   "Dia pergi dari Pulau Es, membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?"

   Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di antara kita yang patut menjadi pemimpin dunia persilatan!"

   Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring. Mendengar suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang mengaku Ketua Thian-liong-pang itu.

   Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah di-kalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang. Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam ujung segumpal rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berputar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat berdiri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita berkerudung. Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan bertanya, suaranya perlahan namun jelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin.

   "Engkau siapa....?"

   Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menjenguk wajah si wanita. Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api.

   "Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk mengadu ilmu di sini!"

   Akan tetapi Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan.

   "Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya bocah berandalan itu!"

   Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan ringan. Melihat ini wanita berkeru-dung itu menggerakkan sedikit pundaknya, tanda bahwa ia terkejut.

   "Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan mati!"

   Ia menggerakkan pisau belatinya.

   "Paman Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?"

   Suma Han berseru dan tangan kanannya bergerak. Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh wanita berkerudung. Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pisaunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan.

   Akan tetapi wanita itu tampak tercengang dan marah ketika melihat bahwa yang ditangkisnya itu hanyalah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung Sik Lun, ternyata kakek itu telah lenyap! Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai menyerang Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia mendorongkan tangan kanannya ke arah tubuh pembantunya, yang terlempar dan bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut! Kini semua orang yang menyaksikan terbelalak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan dalam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus dari penodongan Ketua Thian-liong-pang.

   "Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!"

   Kata Pendekar Siluman kepada dua pembantunya. Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke punggung garuda putih!

   "Haiii! Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa tidak minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?"

   Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru.

   "Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari koksu kerajaan!"

   Tangan kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya.

   Jarak antara koksu itu dengan Pendekar Siluman cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya koksu itu dan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang ia pergunakan! Suma Han hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan me-mutar ke depan. Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu jauh dan.... terdengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat membuat benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!

   "Pendekar Siluman, mau lari ke mana engkau?"

   Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.

   "Cet-cet-cet-cet....!"

   Tiga belas batang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli melempar senjata rahasia. Suma Han menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan dan.... ketiga belas batang pisau itu seolah-olah tertarik oleh besi magnit dan kesemuanya melayang menuju ke tongkat di tangan Suma Han dan menancap semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.

   "Aku tidak sempat main-main dengan kalian!"

   Terdengar Suma Han berkata, tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pemiliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat yang besar, akan tetapi dengan pukulan sin-kang,

   Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah berlutut memberi hormat kepadanya! Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap membuat debu beterbangan! Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak seorang laki-laki tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan dan tangannya melontarkan sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki burung garuda tadi.

   Betapa kaget hati semua orang ketika melihat benda itu adalah seekor ular yang pajang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh garuda! Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang berkhawatir. Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi, kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar berkuku tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang! Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali, dia memapaki pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.

   "Krekkk!"

   Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah. Sebelum laki-laki anggauta Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat. Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu dengan air laut.

   "Celaka....! Air pusaran maut!"

   Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka. Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran air.

   Namun tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat dikenal para nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut mengerikan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada artinya. Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama makin melebar! Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini sudah terbang jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghilang. Wanita berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, masih cantik jelita dan gerakannya tangkas.

   "Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini."

   Katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari mana dia tadi melayang turun, kelihatannya marah dan penasaran sekali.

   "Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!"

   Koksu berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.

   "Seperti juga Pendekar Siluman saya tidak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!"

   Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas, kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman. Majikan Pulau Es dan Ketua Thian-liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan dua orang itu bertanding silat! Kalau keduanya saling mengadu kepandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentulah mereka akan menyaksikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa! Ketika melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak.

   "Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru dunia! Setelah kini berkumpul di sini bukankah bermaksud untuk mengadu kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjutkanlah. Pemerintah tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena lawan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cu-kup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju, jangan khawatir, pertandingan melawan pangli-ma kerajaan sekali ini tidak akan dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan jaman perang, dan ini adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Bhe-goanswe, majulah!"

   Dengan wajah berseri gembira Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.

   Bhe Ti Kong adalah seorang jendral perang. Biarpun ia memiliki ilmu silat yang tinggi, namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, sebagai seorang tentara, tentu saja dia selalu akan mentaati perintah atasan, maka setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu meloncat ke tengah lapangan dan mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan runcing sekali. Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gembira sekali dan ingin tadi ia berteriak memanggil.

   Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat dibencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa bencinya! Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita berkerudung yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula! Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertandingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita berkerudung, kalau memang gagah! Akan tetapi, hatinya lega juga setelah kini ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut gendut itu. Biarpun panglima ini masih memegangi lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Pang-lima Bhe tadi.

   Agaknya panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng maka pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah? Pula, ia amat tertarik untuk menyaksikan rekannya memasuki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal! Tiba-tiba dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus tadi, yang ini tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi. Dan agaknya kini para tokoh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju, menjadi penasaran. Apalagi melihat seorang anggauta mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan.

   Mereka marah sekali, akan tetapi yang membunuh teman mereka adalah burung garuda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi sehingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka. Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apalagi koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu ini merupakan pertandingan perorangan, andaikata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut terhadap pemerintah atau siapapun juga! Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri, mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam. Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali putih. Kulitnya, dari muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.

   "Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!"

   Katanya dan tanpa menanti jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan pedangnya yang amat panjang. Gerakannya kuat dan cepat, juga aneh sekali berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak pendeknya.

   "Cringggg....!"

   Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya. Bun Beng menonton, akan tetapi pikirannya melayang-layang teringat kepada Pendekar Siluman dan wanita berkerudung yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang.

   Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut nama ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu. Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung sebagai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pendekar Siluman kepada utusannya. Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Dan setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihormati orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak memeliharanya! Ketika ia melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang dibencinya, Panglima Bhe Ti Kong, terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya.

   Akan tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sungguh mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik. Si Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh senjata tombak pendek! Mengertilah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu bermain curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri. Ia teringat akan ilmunya Sia-kun-hoat, maka ia segera menggerakkan ilmu ini secara diam-diam, kemudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.

   "Heiii....! Pergi ke mana....?"

   Panglima gendut terkejut, akan tetapi Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang telah ikut membunuh suhunya, membuat Bun Beng pada saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat dengan tombak pendeknya.

   Para pembunuh suhunya adalah empat orang yang lihai bukan main. Apalagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian Suhunya? Akan tetapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apalagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan membalas kematian suhunya, menunggu sampai kapan? Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng, maka begitu ia berhasil membebaskan diri dari pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!

   "Manusia curang! Rasakan pembalasanku!"

   Bun Beng membentak sambil meloncat dan menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut. Memang hatinya marah sekali, bukan hanya karena kematian suhunya yang dikeroyok secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini sekarang dapat mendesak lawan karena dibantu oleh koksu. Dan memang sebenarnyalah dugaan Bun Beng ini.

   Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak, oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir sekali. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu. Dia tidak menyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang orang Pulau Neraka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar dan intinya, kemudian ia memberi nasihat kepada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat mendesak lawan dengan tombaknya. Serangan seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi seorang lihai macam Bhe Ti Kong.

   Akan tetapi karena Bun Beng melakukan penyerangan selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya. Apalagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah bertahun digembleng oleh seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia mengalihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda. Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerakan cepat ia menyerang lawan dari bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang memukul ke arah kepalanya. Serangan Bun Beng mengenai tempat kosong dan tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong.

   Panglima ini berhasil mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat memutar kaki menendang ke belakang. Namun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini maka cepat anak itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan. Biarpun hanya membagi perhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar terang menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga. Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.

   "Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!"

   Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.

   "Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!"

   Ia meronta-ronta dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu ternyata lihai sekali. Biarpun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu menyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi. Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakan pedang, tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun, gerakannya ini membuat ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung kirinya.

   "Crottt....!"

   Tangan Bhe Ti Kong yang sudah biasa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam perang sehingga entah berapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak, kini secara otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet itu robek kulitnya dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat keluar! Si Muka Biru mengeluarkan gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan mengalungkan usus yang panjang itu ke lehernya, kemudian ia melanjutkan pertempuran melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya! Semua orang yang menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, terbelalak ngeri dan juga kagum, kecuali para anggauta Pulau Neraka sendiri tentunya.

   Mereka ini sejak tadi diam tak bergerak menonton pertandingan, wajah yang beraneka warna itu tidak menunjukkan sesuatu, dingin-dingin saja. Memang aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini. Keadaan mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan banyak pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang yang kulitnya berwarna aneh itu. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terkenal, akan tetapi mereka berasal dari Tibet maka tentu saja tidak mengenal orang-orang Pulau Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka bertanya kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka. Koksu Kerajaan Mancu itu mengelus jenggotnya, menarik napas panjang lalu menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung hebat.

   "Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya mendengar-dengar saja dari kabar angin. Kabarnya, di jaman dahulu, entah berapa ratus tahun yang lalu, terdapat kerajaan-kerajaan kecil di atas pulau-pulau yang banyak tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja kecil itu terdapat keluarga raja yang amat sakti, kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa-dewa, bahkan mereka menamakan dirinya keluarga dewa!"

   "Aihhh, apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti manusia dewa dan katanya datang dari Pulau Es?"

   Thai Li Lama bertanya, masih serem mengenangkan munculnya Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.

   

Pendekar Super Sakti Eps 43 Pendekar Super Sakti Eps 4 Kisah Pendekar Bongkok Eps 26

Cari Blog Ini