Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 46


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 46



"Perempuan genit, kau tidak bisa lari lagi, hi-hik-hik! Kakimu lumpuh tak bertenaga, kau robohlah....!"

   "Enci Hong Kui....!"

   Kian Bu terkejut sekali ketika melihat betapa tiba-tiba wanita kekasihnya itu terhuyung dan tentu sudah roboh kalau saja dia tidak cepat-cepat menyambarnya dan memondongnya lalu berlari lebih cepat lagi sambil memondong tubuh Hong Kui.

   "Haiii.... pemuda remaja yang tampan...! Berhentilah...., berhentilah...., jangan berlari lagi.... berhenti....!"

   Suara yang tinggi nyaring itu melengking dan bergema, akan tetapi Kian Bu tetap saja berlari terus, malah lebih cepat karena pemuda yang maklum bahwa nenek itu memiliki ilmu hitam yang luar biasa, telah menulikan telinganya dan sama sekali tidak mendengarkan suara itu melainkan berlari terus sampai akhirnya dia memasuki sebuah hutan besar dan jauh meninggalkan para pengejarnya. Dua buah lengan yang halus panjang itu merayap seperti ular dan merangkul lehernya.

   "Kian Bu, kekasihku.... kau telah menyelamatkan aku...."

   Dan Hong Kui menarik leher itu, terus menciumi Kian Bu yang terpaksa menghentikan larinya untuk menyambut ciuman kekasihnya.

   "Tempat ini sunyi dan teduh.... kita lanjutkan yang tadi terganggu orang...."

   Hong Kui yang sudah turun dari pondongan itu memeluk pinggang dan menarik Kian Bu ke atas rumput.

   "Jangan, Enci. Mungkin mereka sebentar lagi akan menyusul ke hutan ini. Kita harus lari terus sampai benar-benar terlepas dari mereka. Nenek itu mengerikan sekali. Tadinya kukira dia sudah mampus di waktu ruangan pesta Tambolon terbakar."

   Hong Kui menghela napas kecewa, akan tetapi dia tidak membantah ketika Kian Bu mengajak dia terus berjalan menyusup-nyusup hutan lebat.

   "Dia memang bukan manusia!"

   Katanya bersungut-sungut.

   "Dan aku hanya pernah mendengar namanya saja, baru sekarang aku bertemu dengan iblis tua itu. Hihh, bukan main dia! Bukan saja dapat membikin senjata rahasia peledakku tidak berdaya, akan tetapi dari jauh dia bisa memaksaku roboh hanya dengan suaranya! Dia adalah seorang manusia iblis dari See-thian, dan kabarnya di Pegunungan Himalaya banyak terdapat orang-orang ahli ilmu setan seperti dia. Namanya Durganini dan dia adalah seorang di antara guru-guru dari Tambolon."

   "Sebetulnya tidak terlalu aneh,"

   Kian Bu berkata.

   "Orang yang memiliki kekuatan sihir tidak sukar meledakkan senjatamu di udara dan tadi dia menggunakan khi-kang yang mengandung kekuatan sihir untuk merobohkanmu. Kalau kau mengerahkan sin-kang, atau kalau kau menulikan telinga tidak mendengar suaranya, tentu dia tidak akan dapat mempengaruhimu. Ahli sihir seperti dia itu kalau bertemu dengan Ayah tentu celaka!"

   Tiba-tiba Kian Bu menghentikan kata-katanya karena dia teringat bahwa tidak semestinya dia membawa-bawa nama ayahnya, apalagi memperkenalkan ayahnya kepada Hong Kui.

   Akan tetapi, pemuda int terlalu memandang rendah Hong Kui yang luar biasa cerdiknya. Semenjak Kian Bu bertekuk lutut oleh rayuan mautnya, dia selalu berusaha menyelidiki riwayat Kian Bu yang benar-benar telah merampas hatinya, yang membuat dia jatuh cinta. Akan tetapi pemuda itu selalu merahasiakan riwayatnya, dan dia hanya berhasil mengetahui bahwa pemuda ini mempunyai she (nama keturunan) Suma. Ini saja sudah menimbulkan dugaan karena dia melihat bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat dari melihat she Suma serta sikap pemuda yang ingin merahasiakan dirinya ini sudah timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda luar biasa ini tentu ada hubungannya dengan Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti yang dia tahu bernama Han dan ber-she Suma pula.

   Namun dengan cerdiknya, karena melihat pemuda itu merahasiakan riwayatnya dia pura-pura tidak menduga apa-apa. Sekarang mendengar betapa pemuda itu memandang rendah Durganini dan mengatakan bahwa ilmu sihir itu tidak ada artinya jika bertemu dengan ayah pemuda ini, dia merasa yakin bahwa tentu ayah pemuda ini adalah Pendekar Super Sakti atau juga yang disebut Pendekar Siluman karena pendekar itu memiliki ilmu sihir yang kabarnya amat mujijat! Diam-diam hati wanita ini menjadi girang bukan main. Kekasihnya adalah putera Pendekar Super Sakti! Kalau saja dia bisa menjadi mantu Majikan Pulau Es, betapa akan bangga dan bahagia hatinya. Maka, dia mengambil keputusan untuk tidak melepaskan pemuda ini dari cerigkeramannya. Tiba-tiba Kian Bu memegang tangannya.

   "Ada derap kaki kuda dari jauh menuju ke sini! Mari kita bersembunyi di sana!"

   Tanpa menanti jawaban, sambil memegang lengan wanita itu, Kian Bu melompat ke atas dan Hong Kui merasa kagum bukan main ketika tubuhnya terbawa melayang seperti terbang. Mereka bersembunyi di dalam pohon, di cabang yang tinggi di antara daun-daun lebat.

   Hong Kui merangkul dan mencium telinga Kian Bu, hatinya bangga bukan main. Dia sendiri memiliki gin-kang yang sukar dicari tandingannya, namun dibandingkan dengan pemuda kekasihnya ini, dia kalah jauh! Dan pendengaran telinga pemuda itu pun tajam bukan main. Dia sendiri belum mendengar apa-apa dan Kian Bu sudah tahu akan datangnya rombongan kuda. Setelah berada di atas pohon, baru dia mendengar suara itu, bahkan tak lama kemudian mereka melihat bahwa dari kiri tampak serombongan orang berkuda. Ada tujuh belas orang berkuda dan di belakang barisan ini terdapat dua buah kereta tertutup yang agaknya terisi muatan-muatan. Kereta pertama terhias bendera hitam yang tidak jelas gambarnya dan kereta ke dua jelas adalah kereta penuh dengan muatan barang.

   Kian Bu menjadi lega karena melihat bahwa mereka itu bukanlah para pengejar, bukan anak buah Tambolon seperti yang dikhawatirkannya tadi. Ketika dia menoleh dan memandang temannya, dia melihat wanita itu tersenyum manis.

   "Eh, kenapa kau tersenyum?"

   Dengan lagak genit Hong Kui mencolek dagu Kian Bu.

   "Kita bersembunyi di atas kereta yang terakhir itu. Tak usah capai-capai berjalan kaki dan tidak akan terlihat oleh Si Nenek Iblis kalau dia mengejar kita."

   Kian Bu mengangguk. Buah pikiran yang baik sekali. Memang atap kereta itu rata dan cukup lebar. Kalau mereka berdua rebah di atas atap yang tertutup pinggiran atap tentu tidak kelihatan dari bawah. Maka ketika kereta yang terakhir dan yang muat barang itu lewat, mereka meloncat turun sambil mengerahkan gin-kang mereka sehingga ketika kedua kaki mereka hinggap di atas atap, seperti di-tahan oleh per yang halus dan tidak menimbulkan guncangan sehingga tidak terasa sedikit pun juga oleh kusir kereta itu. Cepat mereka berdua lalu menggulingkan tubuh rebah berdampingan di atas atap kereta.

   "Hi-hik, enak di sini....!"

   Hong Kui sudah terkekeh genit, membalikkan tubuh menghadapi kekasihnya, kaki dan tangannya sudah memeluk.

   "Hishhh.... jangan di sini! Siang-siang begini.... dan malu kalau kelihatan orang!"

   Kian Bu berbisik mencela sambil bergurau, akan tetapi dia mencium pipi kekasihnya yang cemberut oleh penolakannya itu sehingga Hong Kui tersenyum lagi. Mereka lalu rebah menelungkup dan mengintai dari atas pinggiran atap ke depan.

   Tiba-tiba terdengar suara bersuit nyaring dan penunggang kuda terdepan berteriak kaget karena kaki kudanya terperosok ke dalam lubang sehingga kaki depan kuda itu patah dan kudanya roboh terjungkal. Akan tetapi, betapa kaget hati Kian Bu melihat penunggang kuda ini tidak ikut jatuh, bahkan mencelat ke atas, berpoksai di udara dan hinggap di atas punggung kuda penarik kereta pertama. Sungguh merupakan kepandaian yang mengagumkan. Akan tetapi kekagumannya berubah menjadi kekagetan dan kengerian ketika dia melihat orang itu yang melihat kudanya sekarat, dari atas kuda penarik kereta lalu menggerakkan tangan kanannya, seperti memukul ke arah kudanya yang sekarat. Serangkum hawa pukulan jarak jauh mendorong bubuk putih seperti kapur yang mengeluarkan bau busuk menyambar ke arah kuda sekarat itu. Terdengar ledakan keras dan kuda itu terbakar habis sampai menjadi abu! Tentu saja Kian Bu terkejut bukan main.

   Tak disangkanya bahwa rombongan ini terdiri dari orang-orang yang demikian lihainya, bahkan belum tentu kalah lihai dibandingkan dengan para pengejarnya, orang-orang liar dari kaki tangan Tambolon! Dia melirik ke arah Hong Kui dan dia melihat betapa kekasihnya itu hanya tersenyum saja seolah-olah tidak pernah terjadi kengerian seperti yang disaksikannya tadi. Betapa tabah hati kekasihnya yang cantik ini! Akan tetapi, perhatiannya sudah tertarik lagi oleh munculnya beberapa belas orang dibarengi tanda-tanda suitan dan ternyata yang muncul adalah rombongan perampok yang diketuai oleh seorang laki-laki bercambang bauk yang bertubuh tinggi besar. Mereka itu pun kelihatan heran dan jerih melihat betapa kuda tadi dapat terbakar habis, maka kini kepala rampok yang agaknya setelah melihat peristiwa itu bersikap hati-hati dan lunak, lalu berkata, suaranya parau dan keras,

   "Sahabat-sahabat yang lewat harap suka menolong kami orang-orang kekurangan dengan sedikit sedekah sebagai pembagian rejeki!"

   Dari kereta pertama itu tiba-tiba terdengar suara yang berat dan malas-malasan,

   "Kalian menghendaki sedekah? Nih, maju dan terimalah!"

   Kepala rampok menjadi girang, lalu meloncat dekat kereta dan ketika dari dalam kereta itu menyambar sebuah pundi-pundi, dia cepat menyambutnya. Pundi-pundi itu berat dan segera dibuka tali pengikatnya. Ketika pundi-pundi terbuka dan tampak potongan-potongan emas berkilauan, kepala rampok itu terkejut, terheran dan tentu saja menjadi girang bukan main. Dia mengelus jenggot yang lebat, mengucak-ucak matanya kemudian tertawa dan menjura ke arah kereta.

   "Aihh, kiranya kami bertemu dengan sahabat yang amat dermawan, harap suka memaafkan kami yang telah membikin kaget...."

   "Hi-hik, hendak kulihat siapa yang kaget."

   Hong Kui terkekeh dan berbisik sambil terus mengintai dan tangannya mengelus-elus tengkuk Kian Bu penuh rasa sayang. Kian Bu tidak mengerti mengapa kekasihnya berkata demikian, akan tetapi dia terus mengintai dan tiba-tiba dia terbelalak saking kaget dan herannya. Kepala rampok itu tiba-tiba mengeluarkan seruan aneh, lalu kedua tangannya menegang kemudian saling menggaruk telapak tangan, kemudian kedua tangan menggaruk mukanya, lehernya,

   Dan tak lama kemudian dia sudah berteriak-teriak dan berkelojotan di atas tanah, kedua tangan menggaruki mukanya, mencakar mukanya berkali-kali sampai kulit mukanya robek berdarah, akan tetapi terus digarukinya sambil menjerit-jerit. Pundi-pundi emas itu terjatuh ke atas tanah dan ketika sebuah lengan terjulur keluar dari tenda kereta pertama dan dengan jari-jari terbuka bergerak, tiba-tiba pundi-pundi itu seperti tersedot dan terbang ke arah tangan itu yang segera lenyap kembali ke balik tenda atau tirai kereta. Melihat demonstrasi tenaga sin-kang yang dahsyat ini, tentu saja Kian Bu terkejut bukan main. Kini anak buah perampok itu sadar bahwa kepala mereka telah terkena racun, maka dengan marah mereka berteriak-teriak dan menyerbu dengan pedang atau golok terhunus. Dan tujuh belas orang berkuda itu dengan ketenangan seperti patung-patung hidup, membiarkan para perampok itu menyerbu.

   Kemudian, mereka itu melontarkan bermacam bubuk racun yang beraneka warna, ada yang putih, ada yang merah dan ada pula yang hitam. Akan tetapi akibatnya amat mengerikan. Yang terkena bubuk putih meledak dan terbakar hidup-hidup dan yang terkena bubuk merah berkelojotan dan menggaruki tubuh seperti Si Kepala Rampok, sedangkan yang terkena bubuk hitam berkelojotan dan tubuh mereka mencair dan mengeluarkan bau yang amat busuk. Melihat pembunuhan yang amat mengerikan ini, Kian Bu menjadi marah dan hampir saja dia melon-cat turun dari atas atap kereta, akan tetapi Hong Kui merangkul lehernya dan mencegahnya. Ketika dia hendak membantah, sebelum ada suara keluar dari mulutnya, mulut itu sudah ditutup oleh bibir Hong Kui sampai lama sehingga Kian Bu menjadi nanar terbuai nafsu. Hong Kui melepaskan ciumannya dan berbisik dekat telinganya,

   "Mereka begitu lihai, sedang kita masih dikejar nenek iblis, mengapa mencari bahaya?"

   Mau tidak mau Kian Bu terpaksa membenarkan pendapat kekasihnya itu. Jelas bahwa mereka ini merupakan lawan yang amat lihai, apalagi orang yang berada di dalam kereta tadi. Sedangkan menghadapi nenek iblis itu saja amat berbahaya, kalau ditambah mereka ini tentu dia akan kewalahan. Dia terpaksa diam saja menonton akan tetapi merasa hatinya seperti diremas-remas dan ada rasa malu di dalam lubuk hatinya mengapa dia mendiamkan saja pembantaian manusia sedemikian kejamnya tanpa turun tangan sama sekali.

   Sungguh amat tidak sesuai bahkan berlawanan dengan sifat pendekar yang ditanamkan oleh ayah bundanya dalam dirinya! Pemandangan itu amat mengerikan. Empat belas orang perampok itu roboh semua dan kini Kian Bu melihat betapa para korban bubuk putih terbakar menjadi abu seperti bangkai kuda tadi, yang terkena bubuk merah menggaruk-garuk kulit daging sampai habis dan mereka mati menjadi kerangka-kerangka karena kulit dan daging mereka habis dimakan racun merah sedangkan yang terkena racun hitam tubuhnya mencair dan meleleh menjadi cairan kuning yang baunya amat busuk! Hawa dari racun-racun itu ternyata amat jahat karena pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan di dekat tempat itu menjadi layu dan daun-daunnya menjadi kuning dan rontok.

   "Lanjutkan perjalanan, Telaga Sungari tak jauh lagi!"

   Tiba-tiba terdengar suara berat dan malas dari dalam kereta. Rombongan bergerak lagi dan kini kereta yang ditumpangi Kian Bu dan Hong Kui dilarikan cepat menyusul kereta depan dan ternyata kereta ini sekarang berada di depan sendiri, di belakang dua orang penunggang kuda yang agaknya menjadi penunjuk jalan, sedangkan kereta yang ditumpangi orang lihai tadi berada di belakang.

   "Hi-hik, kebetulan sekali, Kian Bu. Mereka menuju ke Telaga Sungari juga!"

   Hong Kui berbisik, kemudian membalikkan tubuhnya rebah terlentang menatap langit yang indah sekali terbakar api
(Lanjut ke Jilid 45)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 45
merah dari sinar matahari senja. Sambil rebah dan bercumbuan tanpa mengeluarkan suara, Kian Bu dan Hong Kui mendengarkan percakapan dua orang berkuda di depan kereta itu dan dari percakapan kedua orang itu tahulah mereka bahwa mereka ini adalah kelompok anggauta perkumpulan Lembah Bunga Hitam!

   Kiranya belasan orang ini adalah ahli-ahli racun jagoan dari Lembah Bunga Hitam dan melakukan perjalanan ke Telaga Sungari dipimpin sendiri oleh Hek-hwa Lo-kwi (Iblis Tua Bunga Hitam) Thio Sek yang berada di dalam kereta itu. Kian Bu menjadi terkejut sekali. Pantas saja orang-orang ini demikian lihai, dan kakek di dalam kereta itu mengerikan sekali. Kiranya Ketua Lembah Bunga Hitam dengan para jagoannya! Dari percakapan itu Kian Bu mendengar bahwa selama beberapa bulan ini Hek-hwa Lo-kwi bersama kaki tangannya tidak tinggal di Lembah Bunga Hitam dan selalu berpindah tempat karena mereka hendak menjauhkan diri dan bersembunyi dari kejaran dan intaian dua orang musuh besar yang amat lihai.

   "Kalau Pangcu (Ketua) sudah selesai melatih diri dengan ilmu pukulan baru yang dirahasiakan, beliau tentu akan menghadapi dua orang musuh besar itu dan kita tidak perlu merantau lagi,"

   Kata yang seorang. Kian Bu tidak tahu siapakah dua orang musuh besar yang dimaksudkan oleh dua orang pembicara itu. Dan Hong Kui berbisik,

   "Musuh besar dari Ketua Hek-hwa-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bunga Hitam) adalah suhengku."

   "Hek-tiauw Lo-mo?" "Benar, mereka bermusuhan karena memperebutkan kitab curian. Justeru karena mempelajari ilmu dari kitab curiannya itulah tubuhku keracunan."

   Kian Bu mengangguk-angguk. Dia tidak tahu bahwa dugaan Hong Kui itu hanya sebagian kecil saja yang benar. Memang Ketua Lembah Bunga Hitam bermusuhan dengan Ketua Pulau Neraka, ka-rena memperebutkan kitab yang mereka curi dari Dewa Bongkok di Istana Gurun Pasir. Akan tetapi yang membuat ketua ini melarikan diri dan menghindari pertandingan dengan dua orang pengejarnya, bukanlah Hek-tiauw Lo-mo, melainkan bekas rekannya, yaitu Louw Ki Sun, kakek pelayan Si Dewa Bongkok, dan Kok Cu, murid terkasih dari Si Dewa Bongkok yang amat lihai.

   Dia tahu bahwa kedua orang itu telah menerima tugas dari Si Dewa Bongkok untuk melakukan penge-jaran dan merampas kembali kitab yang dicurinya bersama Hek-tiauw Lo-mo. Dia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi karena maklum akan kelihaian mereka, terutama murid Dewa Bongkok, dia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi korban dan di samping itu dia sedang melatih ilmu pukulan dahsyat yang dipelajarinya dari kitab curian itu. Kini, melihat bahwa telah tiba musimnya anak naga keramat akan dibawa keluar oleh induknya di permukaan Telaga Sungari, maka dia membawa anak buahnya ke telaga itu karena dengan bantuan anak naga itu, dia akan dapat menguasai ilmu pukulan yang dahsyat itu secara lebih cepat dengan hasil yang amat hebat sehingga dia tidak akan takut lagi menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun juga.

   Malam itu terang bulan dan suasana di atas kereta itu romantis dan indah sekali. Cahaya bulan keemasan langsung menimpa tubuh mereka, kadang-kadang diselimuti bayangan halus pohon-pohon di kanan kiri kereta. Kian Bu makin terpesona dan mabok melihat kulit tubuh kekasihnya yang sengaja membuka pakaian itu bermandikan cahaya bulan dan untuk kesekian kalinya dia tidak dapat menolak rayuan Siluman Kucing itu. Karena maklum bahwa mereka berdekatan dengan orang-orang pandai dan berbahaya, apalagi Ketua Lembah Bunga Hitam berada di dalam kereta di belakang mereka, Hong Kui terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan sin-kangnya untuk menahan diri sehingga dari kerongkongannya tidak terlontar suara kucing yang biasanya dilakukannya kalau dia sedang tenggelam dalam permainan cinta.

   Dia hanya merintih lirih. Kian Bu sudah tertidur pulas kecapaian, tidur dengan senyum kepuasan di bibirnya, berbantalkan lengan sendiri, sedangkan Hong Kui yang rambut dan pakaiannya masih mawut itu terlentang memandang langit yang indah dengan mata merem-melek digulung kenikmatan ketika tiba-tiba terdengar suara gerengan seperti seekor singa dan kereta itu dihentikan. Hong Kui terkejut dan miringkan tubuhnya mengangkat kepala dan memandang ke depan. Dua orang penunggang kuda sudah berhenti dan mereka melihat datangnya seorang laki-laki berkuda. Laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menunggang seekor kuda putih yang besar dan jubahnya yang lebar melambai-lambai ketika kudanya berlari congklang mencegat rombongan itu.

   "Eh, kenapa berhenti?"

   Kian Bu berbisik dan mengangkat tangannya, merangkul dada kekasihnya.

   "Ssssh...."

   Hong Kui memberi isyarat agar pemuda itu tidak ribut. Kian Bu kini terbangun dan cepat dia pun membalikkan tubuhnya, mengintai ke depan.

   "Wah.... dia....?"

   Bisiknya kaget ketika dia mengenal penunggang kuda, laki-laki tinggi besar itu yang ternyata bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, Ketua Pulau Neraka! Akan tetapi kembali Hong Kui memberi isyarat agar dia tidak bersuara, dan mereka lalu mengintai ke depan dengan lengan saling merangkul dan mereka menelungkup di atas kereta.

   "Orang she Thio, bujang hina-dina! Hayo keluar, manusia tak tahu malu. Hayo keluar dan kembalikan kitabku yang kau curi!"

   Hek-tiauw Lo-mo berteriak dengan suaranya yang nyaring dan menggetarkan hutan itu. Dari dalam kereta yang berada di belakang terdengar suara tertawa bergelak, dan berbareng dengan berkelebatnya bayangan hitam, seorang kakek tinggi kurus bermuka tengkorak dan berpakaian serba hitam telah berdiri di depan kuda yang ditunggangi Hek-tiauw Lo-mo. Kakek tinggi kurus bermuka tengkorak ini adalah Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek.

   "Ha-ha-ha, engkau maling rendah berani memaki orang! Kitab itu adalah milik bekas majikanku, Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Engkaulah yang menjadi maling! Aku telah meminjamkan sebagian kitab kepadamu, dan sekarang telah kuambil kembali karena akulah yang berhak memiliki kitab itu. Pergilah, Hek-tiauw Lo-mo, sebelum kau kutangkap sebagai maling hina!"

   Hek-tiauw Lo-mo mengeluarkan suara memekik nyaring dan dari balik pohon-pohon berserabutan keluarlah orang-orang Pulau Neraka yang tadi bersembunyi. Jumlah mereka ada lima belas orang dan mereka merupakan orang-orang pilihan yang mengawal ketua mereka. Semenjak Hek-tiauw Lo-mo gagal dalam membantu para pemberontak, dia lalu kembali ke tempat di mana berkumpul orang-orang Pulau Neraka yang telah melakukan pendaratan di daratan besar dan pada suatu malam kitabnya yang hanya sepotong, yaitu bagian yang dapat dirampasnya ketika dia dan Thio Sek mencuri kitab dari Dewa Bongkok, ternyata telah dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam itu yang telah lama menanti-nanti saat dan kesempatan itu. Tentu saja dia menjadi marah sekali dan me-lakukan penyelidikan dan pengejaran.

   Kitab milik Dewa Bongkok yang dicuri oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu adalah sebuah kitab pelajaran ilmu mujijat tentang pukulan-pukulan beracun, akan tetapi karena tadinya mereka berebutan sehingga kitab itu terobek menjadi dua, maka isi kitab yang hanya setengah itu tidak begitu banyak manfaatnya. Karena itu mereka berdua selalu bermusuhan untuk merebut setengah bagian kitab yang mereka butuhkan, dan kini dengan akal curang, selagi Hek-tiauw Lo-mo sibuk dengar mengejar kedudukan membantu pemberontak, Ketua Lembah Bunga Hitam yang dahulunya adalah pelayan Dewa Bongkok itu akhirnya dapat mencuri bagian yang ada pada Hek-tiauw Lo-mo dan yang dijaga oleh para anak buahnya, yaitu orang-orang Pulau Neraka. Kini setelah anak buahnya muncul, Hek-tiauw Lo-mo meloncat turun dari kudanya dan menerjang Hek-hwa Lo-kwi sehingga mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Adapun anak buah Lembah Bunga Hitam sudah bertempur melawan belasan orang Pulau Neraka.

   Malam yang indah di bawah sinar bulan purnama itu kini berubah menjadi menyeramkan karena pertempuran antara dua kelompok ahli racun yang lihai itu. Karena orang-orang Lembah Bunga Hitam maklum bahwa orang-orang Pulau Neraka yang bermuka menyeramkan itu adalah orang-orang yang sudah kebal tubuh mereka terhadap racun, maka mereka tidak mau menggunakan senjata-senjata beracun mereka. Dalam pertempuran-pertempuran yang lalu mereka sudah cukup maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka tentang hal racun sehingga kalau mereka mengeluarkan bubuk-bubuk racun itu jangan-jangan malah senjata makan tuan, maka kini mereka menyerbu dengan senjata tajam di tangan dan menggunakan ilmu silat untuk mengalahkan musuh besar mereka. Melihat perang tanding yang dahsyat itu, Hong Kui hendak bangkit.

   "Suheng bisa celaka kalau tidak kubantu...."

   Akan tetapi dua lengan yang kuat memeluknya dan Kian Bu berkata,

   "Hek-tiauw Lo-mo adalah bekas musuhku, kalau kau membantu dia, terpaksa aku pun akan membantu lawannya."

   "Eihhh....?"

   "Karena itu sebaiknya kita jangan mencampuri mereka, Enci."

   Hong Kui menatap wajah pemuda itu, lalu tersenyum dan merangkul kemudian menciumi kekasihnya dengan penuh nafsu. Dicumbu dan dibelai oleh wanita yang amat cantik jelita dan pandai memikat hati ini, Kian Bu kembali mabok dan tenggelam sehingga selagi di bawah kereta kedua golongan itu bertanding mati-matian, di atas atap kereta itu dua orang ini bemain cinta tanpa mempedulikan keadaan di sekitar mereka!

   "Eh, lihat ada orang....!"

   Tiba-tiba Kian Bu mendorong halus tubuh Hong Kui yang menindihnya dan menuding ke kiri. Hong Kui menengok dan benar saja. Mereka melihat sesosok bayangan manusia dengan gerakan cepat dan ringan berloncatan lalu berindap-indap menghampiri kereta di belakang tadi, kereta yang tadi ditumpangi Ketua Lembah Bunga Hitam. Kemudian bayangan yang ternyata adalah seorang kakek berambut putih itu menyelinap masuk dan tak lama kemudian dia keluar lagi membawa sebuah kitab.

   "Dia mencuri kitab!"

   Bisik Hong Kui dan tangan kiri wanita ini bergerak, sebuah benda bulat melayang ke arah kereta di belakang itu.

   "Darrrr....!"

   Kereta itu meledak dan hancur, akan tetapi kakek itu dapat meloncat ke samping menghindar. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang sedang bertanding ramai itu, cepat menengok dan melihat kakek itu, mereka terkejut sekali.

   "Dia mencuri kitab itu....!"

   Teriak Hek-hwa Lo-kwi dan seperti mendapat komando saja, mereka lalu meloncat ke depan. Kakek yang mengambil kitab dari dalam kereta itu cepat melarikan diri dan dikejar oleh dua orang datuk yang melihat betapa kitab mereka yang saling diperebutkan itu dilarikan orang.

   "Wah, jadi ramai sekarang...."

   Kata Kian Bu yang melihat betapa orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Lembah Bunga Hitam menjadi bingung melihat ketua mereka berhenti bertempur dan mengejar seorang kakek. Mereka lalu berlari pula ikut mengejar dan otomatis pertempuran pun berhenti.

   "Hayo kita nonton keramaian!"

   Hong Kui terkekeh genit, menggelung rambutnya, membereskan pakaiannya dan bersama Kian Bu dia lalu meloncat turun dari atas kereta. Sunyi di tempat itu karena tidak ada seorang pun di situ, semua telah melakukan pengejaran. Mereka lalu berlari cepat mengejar ke arah larinya semua orang itu, yaitu ke utara. Kakek tua berambut putih itu cepat sekali larinya sehingga malam lewat, belum juga dua orang datuk lihai itu dapat menyusulnya.

   Akan tetapi dia pun tidak dapat membebaskan diri dari dua orang kakek yang seolah-olah menjadi bayangannya sendiri dan selalu mengikuti ke manapun dia pergi itu. Kakek tua itu tidak berani berhenti, karena dia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan mereka berdua, dia tidak akan mampu menang. Kakek tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih itu menjadi bingung juga dan ketika dia melihat sebuah dusun di luar hutan dia cepat memasuki dusun itu dan tak lama kemudian dia sudah menyelinap memasuki sebuah warung nasi yang masih sunyi karena baru dibuka dan langsung dia bersembunyi di dalam. Pemilik warung ini hanya melihat bayangan berkelebat dan bayangan itu lenyap sehingga dia bingung dan menggosok-gosok kedua matanya, kemudian menggerakkan pundaknya dan menggeleng kepala karena mengira bahwa dia tentu salah lihat.

   Akan tetapi tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek raksasa yang wajahnya mengerikan dan sikapnya bengis muncul di depan warungnya, pemilik warung ini menjadi terkejut dan ketakutan, yakin bahwa dia kini berhadapan dengan siluman-siluman maka dengan tubuh gemetar dia lalu berlutut dan bersembunyi di balik meja! Yang muncul itu memang Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan memang wajah mereka amat menyeramkan. Hek-hwa Lo-kwi kelihatan seperti tengkorak hidup, sedangkan wajah Hek-tiauw Lo-mo memang seperti raksasa menakutkan dan mulutnya bertaring. Akan tetapi pada saat kedua orang datuk ini tiba di depan warung, pada saat yang sama datang pula dua orang yang begitu melihat mereka menjadi kaget sekali.

   Dua orang ini bukan lain adalah Ceng Ceng dan Topeng Setan! Ketika Ceng Ceng melihat dua orang kakek yang pernah dikenal dan dilawannya ini, dia menjadi terkejut sekali. Akan tetapi dasar dia seorang gadis yang tidak mengenal takut, apalagi ada Topeng Setan di situ, dia memandang rendah dua orang datuk ini dan dengan sikap angkuh dia lalu membuang muka dan hendak memasuki warung itu karena memang dia tadi mengajak Topeng Setan untuk mengisi perutnya yang lapar di warung itu. Hek-tiauw Lo-mo yang sudah sangat bernafsu untuk merampas kembali kitab yang kini telah utuh karena bagiannya dan bagian Hek-hwa Lo-kwi sudah disatukan dan yang telah dicuri dari dalam kereta oleh kakek berambut putih, tidak sabar lagi dan dia agaknya lupa dan tidak mengenal lagi kepada Ceng Ceng. Maka melihat seorang gadis cantik yang sikapnya angkuh mendahuluinya masuk ke warung, dia lalu meloncat ke pintu dan membentak,

   "Bocah hina mundurlah!"

   Tentu saja seketika perut Ceng Ceng menjadi panas mendengar sebutan "bocah hina"

   Tadi, maka melihat Ketua Pulau Neraka itu melangkah hendak mendahuluinya memasuki pintu, langsung saja dia memukul dengan tangan terbuka ke arah perut kakek tinggi besar itu. Pukulan beracun, pukulan maut! Barulah Hek-tiauw Lo-mo terkejut ketika dia merasa ada angin dahsyat menyambar dari pukulan, bukan hanya menunjukkan adanya tenaga sin-kang yang cukup kuat, akan tetapi terutama sekali hawa beracun yang hebat keluar dari telapak tangan gadis itu!

   "Aihhh....!"

   Dia berseru dan tentu saja dia pun cepat menangkis dan mengerahkan tenaganya karena baru sekarang dia teringat siapa adanya wanita ini. Ceng Ceng sendiri karena merasa benci dan mendendam kepada Hek-tiauw Lo-mo yang telah membuat nyawanya terancam maut karena pukulan beracun Hek-coa-tok-ciang yang dijatuhkan kepadanya kini menggunakan pukulan beracun yang mematikan untuk membalas dendam.

   "Dessss....!"

   Dua tangan yang sama-sama mengandung racun jahat itu saling bertemu dan akibatnya Ceng Ceng terlempar dan hampir terjengkang kalau tidak cepat lengannya disambar oleh Topeng Setan. Hek-tiauw Lo-mo yang hanya tergetar tangannya memandang kepada Ceng Ceng sambil tertawa.

   "Hah! Kiranya engkau belum mampus?"

   Dapat dibayangkan betapa marah hati dara itu. Dalam kemarahannya, dia sampai lupa diri dan berkata kepada Topeng Setan dengan suara memerintah,

   "Paman, bunuh orang ini!"

   Kelihatannya memang aneh. Orang tua bermuka buruk itu tanpa banyak cakap lagi agaknya amat mentaati perintah Si Dara muda jelita itu karena tanpa berkata apa-apa dia sudah menggerakkan tangan kanannya. Tanpa menggerakkan kakinya, tempat dia berdiri terpisah dua meter dari Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi lengan tangan kanannya yang digerakkan itu terulur ke depan, terus memanjang dan mulur seperti karet, sampai mencapai jarak dua meter itu dan jari tangannya langsung menyerang dengan totokan ke arah iga Hek-tiauw Lo-mo! Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo menjadi sangat terkejut menyaksikan hal ini dan tahulah dia bahwa orang tua bermuka buruk ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar dan dengan mengerahkan tenaga Hek-coa-tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang dilatihnya dari kitab curian, dia memapaki totokan itu dengan telapak tangannya.

   "Cuuss....! Dessss!"

   Akibat pertemuan kedua tangan yang sama besar dan sama kuatnya ini hebat sekali.

   Tubuh Topeng Setan tergetar, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah keluar dari pintu warung! Melihat ini, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut juga dan timbul kekhawatirannya. Dia memperhitungkan bahwa munculnya gadis beracun dan laki-laki tua bertopeng setan itu tentu ada hubungannya dengan Si Pencuri Kitab yang agaknya bersembunyi di dalam warung, maka karena yakin bahwa orang tua bertopeng ini tentu membela Si Pencuri, secepat kilat, dia pun menerjang maju dan menyerang Topeng Setan dengan pukulan mautnya. Topeng Setan mengeluarkan suara seperti orang menahan tawa, dan di lain saat dia telah dikeroyok dua oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang lihai. Pertandingan ini berlangsung hebat sekali, sampai bumi di sekeliling tempat pertempuran itu tergetar hebat dan angin pukulan menyambar-nyambar dahsyat.

   Hebat sekali sepak-terjang Topeng Setan, dan Ceng Ceng menonton dengan wajah khawatir akan tetapi juga takjub. Dia tahu akan kelihaian Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, akan tetapi Topeng Setan dapat menghadapi pengeroyokan mereka dengan tangguh dan sama sekali tidak kelihatan terdesak. Namun, diam-diam Topeng Setan maklum bahwa biarpun dia mampu menandingi dua orang datuk itu, akan tetapi dia pun tidak dapat mendesak mereka, apalagi mengalahkan. Kalau pertandingan dilanjutkan, akhirnya dia yang akan terancam bahaya karena tingkat kepandaian dua orang kakek ini memang sudah tinggi sekali. Tak lama kemudian, Kian Bu dan Hong Kui yang memiliki ilmu berlari cepat lebih mahir daripada para anak buah Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, telah dapat menyusul ke dusun itu dan tiba di depan warung dengan sembunyi.

   Ketika Kian Bu melihat dua orang kakek lihai itu tidak bertanding melawan kakek pencuri kitab melainkan bertanding melawan Topeng Setan, dia terheran-heran. Akan tetapi ketika dia melihat Ceng Ceng berada di situ, dia terkejut dan girang. Hampir dia membuka mulut memanggil gadis yang ternyata masih keponakannya itu karena dia sudah mendengar bahwa Ceng Ceng adalah keturunan dari Wan Keng In putera ibu tirinya dan kakek tiri dari Suma Kian Lee. Akan tetapi ketika dia teringat akan Hong Kui, teringat akan perhubungannya dengan Hong Kui, dia merasa malu dan jengah sekali, merasa sungkan untuk ber-temu dengan Ceng Ceng. Teringat akan semua perbuatannya, akan petualangannya dalam permainan cinta yang mesra dan memabokkan selama beberapa hari ini dengan Mauw Siauw Mo-li, dia bahkan merasa khawatir sekali kalau-kalau sampai terlihat oleh Ceng Ceng bahwa dia datang bersama Hong Kui.

   "Aku.... aku mau.... pergi kencing dulu...."

   Katanya kepada Hong Kui dan tanpa menanti jawaban Hong Kui yang tersenyum lebar mendengar ini, Kian Bu lalu menyelinap pergi. Sementara itu, ketika melihat betapa suhengnya dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu tidak mampu mengalahkan orang bertopeng yang amat lihai, Mauw Siauw Mo-li menjadi penasaran. Kebetulan sekali Kian Bu pergi dari sisinya, maka dia lalu meloncat tinggi ke atas dan langsung dia terjun ke pertempuran sambil mencabut pedangnya. Topeng Setan terkejut sekali dan cepat mengelak dari tusukan pedang sambil membalas dengan tendangan kaki berantai yang mengancam ketiga orang pengeroyoknya. Kini Topeng Setan menjadi makin repot.

   "Perempuan hina dan pengecut!"

   Ceng ceng membentak marah ketika melihat Topeng Setan dikeroyok tiga, dan dia pun lalu menerjang dan menggerakkan kedua tangannya melakukan pukulan beracun ke arah punggung Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini terkejut dan tidak berani menangkis karena maklum bahwa pukulan itu mengandung racun, dia hanya mengelak dan mengelebatkan pedangnya dengan cepat sehingga hampir saja pundak Ceng Ceng terbabat pedang kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke bela-kang.

   "Ceng Ceng mundurlah....!"

   Topeng Setan berteriak karena dia khawatir akan kesehatan dara itu yang belum sembuh benar. Pada saat itu, dari dalam warung meloncat seorang kakek berambut putih yang langsung menyerang Ketua Lembah Bunga Hitam tanpa mengeluarkan kata-kata. Serangannya cepat dan berat, akan tetapi pukulannya dapat ditangkis oleh Hek-hwa Lo-kwi dan kini pertandingan menjadi makin ramai.

   Ceng Ceng yang maklum bahwa luka di dalam tubuhnya bisa menjadi makin parah kalau dia mengerahkan tenaga, kini meloncat mundur dan menonton dengan penuh kekhawatiran karena biarpun dibantu oleh kakek berambut putih itu masih terdesak hebat, apalagi ketika dua orang datuk itu mulai mengeluarkan pukulan-pukulan beracun. Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li yang tadinya membantu suhengnya mendesak Topeng Setan, membalik dan pedangnya menyerang kakek rambut putih. Wanita ini memang cerdik sekali. Dia segera tahu bahwa di antara dua orang lawan itu, yang amat tinggi ilmunya adalah Topeng Setan, maka sebaiknya kalau lebih dulu merobohkan kakek rambut putih yang lebih penting dan tidak begitu kuat, apalagi yang mencuri kitab adalah kakek rambut putih itu.

   Pada saat itu, kakek rambut putih sedang terdesak hebat oleh Hek-hwa Lo-kwi, maka ketika Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui membalik dan menyerang, dia tidak mampu mengelak dan lambungnya tertusuk pedang! Melihat ini Topeng Setan mengeluarkan gerengan dahsyat yang menggetarkan tiga orang lawannya, kemudian sambil merangkul pinggang kakek rambut putih yang terluka parah itu, dia melayani serangan tiga orang dengan tangkisan lengan dan ujung lengan bajunya. Tentu saja dia menjadi repot sekali dan melihat ini Ceng Ceng juga tidak mau tinggal diam saja, terus dia terjun dan menyerang kalang-kabut untuk membantu Topeng Setan. Pada saat yang amat berbahaya bagi Topeng Setan, Ceng Ceng dan kakek berambut putih itu, tiba-tiba dari dalam warung muncul seorang nenek tua yang berkulit hitam, diiringkan oleh beberapa orang suku liar. Mereka agaknya memasuki warung itu dari pintu belakang karena tidak ada orang melihat mereka tadi masuk.

   "Heh-heh-heh, Siluman Kucing, kiranya engkau di sini!"

   Melihat munculnya nenek yang dikenalnya sebagai guru Raja Tambolon yang luar biasa lihainya itu, Hong Kui menjadi terkejut dan dia mengkhawatirkan kekasihnya yang sejak tadi belum juga muncul.

   "Kian Buuuu....!"

   Dia memekik sambil meloncat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu melarikan diri sambil mencari kekasihnya.

   "Heh-heh-heh, kalian manusia-manusia gila, saling perang sendiri tidak karuan. Heh-heh-heh....!"

   Pada saat itu, orang-orang Pulau Neraka dan Lembah Bunga Hitam yang melakukan pengejaran sudah tiba di situ dan melihat nenek itu melambai-lambai lengan bajunya yang hitam, mereka itu saling serang sendiri dengan mati-matian! Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menjadi bengong dan mereka berusaha untuk melerai orang-orangnya yang saling gempur karena terpengaruh oleh sihir nenek hitam itu! Adapun nenek itu yang bukan lain adalah Durgagini, sambil terkekeh lalu mengejar Hong Kwi yang sudah melarikan diri.

   Dua orang datuk lihai itu hanya bingung saja, tidak sampai terpengaruh hebat oleh sihir Si Nenek Hitam, akan tetapi mereka hanya sadar bahwa tidak semestinya mereka saling serang, hanya mereka seolah-olah pada saat itu terlupa akan kakek berambut putih yang telah mencuri kitab mereka. Topeng Setan yang melihat kesempatan baik ini, cepat memanggul tubuh kakek berambut putih yang sudah pingsan, dan menyambar lengan Ceng Ceng terus saja dia membawa gadis itu melarikan diri secepat mungkin meninggalkan tempat yang berbahaya itu. Sebaiknya kita tinggalkan dulu Ceng Ceng yang dibawa "terbang"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Oleh Topeng Setan yang memondong tubuh kakek berambut putih yang terluka parah itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Milana bersama Puteri Syanti Dewi karena sudah terlalu lama kita tinggalkan mereka.

   Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, dengan hati hancur Puteri Milana terpaksa meninggalkan istananya dan juga jenazah suaminya karena dia tahu bahwa pasukan pengawal diperintahkan datang dan dipimpin oleh Perdana Menteri Su sendiri untuk menangkapnya. Setelah menyelinap dan meloncat pergi melalui pintu belakang istananya, puteri yang baru saja kematian suaminya ini menahan semua perasaan marahnya, lalu menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi untuk mencuri masuk ke dalam istana Kaisar dan langsung dia menuju ke bagian puteri dan memasuki kamar Puteri Syanti Dewi yang malam itu masih duduk termenung di atas pem-baringannya. Puteri Bhutan ini terkejut sekali melihat bayangan berkelebat dari jendela dan tahu-tahu dia melihat Puteri Milana sudah berdiri di dalam kamarnya.

   "Bibi Puteri Milana....!"

   Tegurnya girang, akan tetapi dia khawatir melihat kedua pipi yang halus itu pucat dan basah air mata.

   "Bibi.... apa yang terjadi....?"

   Tegurnya sambil memegang kedua lengan puteri perkasa itu.

   "Lekas berkemas, kau ikut aku pergi dari sini sekarang juga."

   Tentu saja Syanti Dewi menjadi girang bukan main karena memang berita inilah yang dinanti-nantinya. Diam-diam dia merasa terharu karena dia menduga bahwa tentu Kian Bu yang mengusahakan ini semua. Dia merasa terharu betapa dia telah membikin pemuda itu patah hati, namun pemuda yang gagah perkasa itu masih juga menyampaikan kepada Puteri Milana sehingga dia sekarang akan dibebaskan dari tempat ini.

   Cepat dia berkemas dan karena dia seorang puteri sejati, yang disebut berkemas ini malah menanggalkan pakaian indah yang diterimanya dari Kaisar dan dia mengenakan pakaian sendiri yang lama, juga dia menanggalkan semua perhiasan. Melihat ini Puteri Milana diam-diam merasa kagum dan menjadi makin suka kepada Puteri Bhutan ini. Puteri Syanti Dewi memejam-kan matanya ketika dia dipondong dan dibawa meloncat ke atas genteng, kemudian berlarian dan berlompatan dengan cepat sekali. Dia merasa ngeri dan juga amat kagum. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan bahwa Puteri Milana, selain cantik jelita dan agung ternyata juga merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Memang pantaslah kalau pendekar sakti Gak Bun Beng menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang wanita seperti ini! Setelah mereka keluar dari daerah istana kaisar, barulah Puteri Milana melompat turun dan menurunkan Syanti Dewi dari pondongannya.

   "Sekarang kita harus pergi keluar dari kota raja, Syanti Dewi."

   "Eh, mengapa begitu? Mengapa tidak ke istana Bibi?"

   "Hemm, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Baiklah, kau dengarkan apa yang telah terjadi dengan keluargaku."

   Dengan singkat Milana lalu menceritakan bagaimana suaminya, Han Wi Kong, melakukan pembunuhan terhadap dalang pemberontak yaitu Pangeran Liong Bin Ong karena suaminya penasaran melihat bahwa Kaisar tidak mau percaya bahwa pangeran tua inilah yang menjadi biang keladi pemberontakan. Dan biarpun suaminya telah berhasil membunuh pangeran pemberontak, namun suaminya sendiri tewas oleh pengeroyokan pengawal.

   "Nah, karena itu aku harus pula pergi, Syanti, karena kalau tidak aku tentu akan ditangkap sebagai isteri seorang yang tentu dianggap berdosa."

   Ucapan ini memancing keluarnya dua buah air mata di atas pipi Milana yang pucat itu.

   "Ahhh.... Bibi....!"

   Syanti Dewi memeluk Milana sambil menangis. Dua orang wanita itu berpelukan dan tidak mengucapkan sepatah pun kata. Agaknya di dalam detik itu perasaan dan suara hati mereka sama, yaitu keduanya teringat kepada Gak Bun Beng berhubung dengan adanya peristiwa kematian suami Puteri Milana itu. Tak lama kemudian, Syanti Dewi yang terlalu halus perasaannya untuk menyinggung nama Gak Bun Beng pada saat seperti itu, bertanya,

   "Sekarang ke mana Bibi hendak membawa saya?"

   Milana menarik napas panjang.

   "Aku sendiri belum tahu ke mana aku harus membawamu, yang jelas kita harus keluar dari kota raja karena kita menjadi orang-orang pelarian. Akan tetapi sebelum kita meninggalkan kota raja untuk selamanya, aku ingin sekali lagi lewat di depan rumahku dan menengoknya."

   Syanti Dewi dapat memaklumi perasaan hati puteri perkasa itu, apalagi karena jenazah suami puteri ini masih berada di dalam istana dan puteri ini tidak dapat mengurus sendiri pemakaman jenazah suaminya. Mereka lalu berjalan melalui tempat-tempat gelap dan menuju ke istana Puteri Milana yang sudah sunyi. Akan tetapi ternyata istana itu dijaga ketat dan tak terasa lagi air mata mengalir di sepanjang pipi Milana ketika dia mendengar suara para pendeta membaca liam-keng, berdoa untuk jenazah suaminya yang berada di dalam istananya. Diam-diam dia merasa bersyukur dan maklum bahwa Perdana Menteri Su, sahabatnya yang baik itu, telah memenuhi permintaannya yang di tulisnya di atas tembok dan telah mengurus jenazah Han Wi Kong dengan baik-baik.

   "Mari kita pergi,"

   Katanya kemudian kepada Syanti Dewi yang juga memandang ke arah istana itu dengan hati terharu. Tak disangkanya sama sekali bahwa seorang puteri besar seperti Milana ini sampai tertimpa malapetaka yang demikian hebatnya.

   Kesengsaraan yang dideritanya sendiri semenjak dia meninggalkan istana ayahnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan malapetaka yang dialami oleh Puteri Milana. Milana yang berpemandangan tajam sekali, biarpun dalam keadaan berduka, masih dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang mengikuti mereka berdua dari jauh. Dia tidak merasa takut, akan tetapi juga tidak peduli dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya menuju ke benteng sebelah utara karena dia mempunyai hasrat untuk pergi mengunjungi orang tuanya di Pulau Es dan jalan terdekat adalah melalui pintu gerbang utara. Para pembesar militer di istana semua adalah sahabat Milana, dan mereka amat menghormat dan kagum kepada puteri ini, maka peristiwa yang terjadi di istana Pangeran Liong Bian Ong itu di-rahasiakan oleh mereka sehingga belum tersiar luas.

   Oleh karena itu, ketika Milana dan Syanti Dewi tiba di pintu gerbang utara, para penjaga yang mengenal Puteri Milana menjadi terkejut dan tentu saja dengan sikap hormat dan girang mereka membukakan pintu untuk puteri yang terkenal dan yang mereka hormati itu sehingga mudah saja bagi Milana dan Syanti Dewi untuk keluar dari kota raja di waktu yang sudah amat larut lewat tengah malam itu. Setelah agak jauh meninggalkan pintu gerbang itu dan mereka berdua berhenti di tempat peristirahatan di pinggir jalan untuk melewatkan malam gelap, kembali Milana melihat berkelebatnya bayangan tadi. Diam-diam dia menjadi penasaran, akan tetapi karena bayangan itu tidak melakukan sesuatu, dia pun hanya berjaga-jaga saja dan menyuruh Syanti Dewi untuk mengaso. Malam lewat dengan cepatnya dan setelah matahari mengusir sisa kegelapan malam dan Milana hendak mengajak Syanti Dewi melanjutkan perjalanan, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari jauh,

   "Adik Milana, tunggu dulu....!"

   Milana terkejut dan merasa heran sekali. Dia berdiri di depan Syanti Dewi, melindungi dara itu dan matanya tajam menatap wanita yang berlari mendatangi dengan cepat. Dia tahu bahwa wanita inilah yang sejak malam tadi membayanginya dari kota raja, atau lebih tepat mulai dari depan istananya. Kini wanita itu telah tiba di depannya. Milana tidak mengenalnya dan dia memandang penuh selidik. Seorang wanita yang cantik dan bertubuh ramping sungguhpun usianya sudah sebaya dengan dia, sudah tiga puluh tahun lebih. Sikapnya gagah dan dari sepatu dan pakaiannya yang kusut berdebu Milana dapat menduga bahwa wanita itu telah melakukan perjalanan jauh, seorang wanita kang-ouw yang kelihatannya tentu memiliki kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggungnya. Wanita itu pun memandang Milana dengan sinar mata penuh selidik, akan tetapi agaknya dia tidak ragu-ragu lagi dan mengenal puteri itu.

   "Adik Milana, girang sekali hatiku dapat bertemu denganmu di sini. Tadinya aku sudah merasa heran dan ragu mengapa engkau meninggalkan rumahmu seperti orang yang sedang melarikan diri."

   Wanita itu berkata.

   "Maaf,"

   Milana menjawab dengan hati-hati.

   "Aku tidak ingat lagi siapakah engkau?"

   "Ah, Adik Milana, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Kita adalah orang-orang senasib sependeritaan. Lupakah engkau betapa engkau dahulu bersama aku dan Lu Kim Bwee mengeroyok seorang musuh besar kita?"

   "Lu Kim Bwee....? Aihh, engkau Ang Siok Bi....!"

   Milana berseru kaget dan kini dia mengenal wanita yang baru satu kali dijumpainya dahulu, belasan tahun yang lalu ketika dia bersama wanita ini dan Lu Kim Bwee (ibu Ceng Ceng) mengeroyok Gak Bun Beng yang mereka anggap sebagai orang jahat yang telah memperkosa dua orang wanita itu(baca cerita Sepasang Pedang Iblis) . Akan tetapi dia teringat akan Ang Tek Hoat yang tentu adalah putera wanita ini, maka dengan pandang mata tajam Milana lalu bertanya,

   "Ada keperluan apakah engkau sejak di kota raja semalam?"

   "Maaf, Adik Milana, karena aku masih ragu-ragu maka aku membayangimu dan baru pagi ini aku berani memanggilmu. Aku sengaja mencarimu di kota raja setelah aku mendengar bahwa engkau telah meninggalkan Teng-bun kembali ke kota raja."

   "Ah, engkau mencariku, Enci Siok Bi? Ada keperluan apakah?"

   "Adik Milana, aku ingin minta tolong kepadamu, demi persahabatan dan persamaan nasib kita belasan tahun yang lalu.... aku mendengar bahwa engkau telah menawan seorang bernama Ang Tek Hoat...."

   "Hemm, apamukah pemuda itu?"

   "Dia itu puteraku. Ah, aku sudah mendengar bahwa dia tersesat.... bahwa dia telah membantu pemberontak.... akan tetapi demi perkenalan kita.... kuharap engkau suka mengasihaninya dan suka mengusahakan agar dia diampuni dan dibebaskan."

   Tiba-tiba Ang Siok Bi, ibu yang merasa amat khawatir akan keselamatan puteranya itu, telah menjatuhkan dirinya di depan Milana, berlutut sambil menangis! Milana cepat memegang kedua pundak wanita itu dan mengangkat bangun.

   "Jangan begitu, Enci Siok Bi. Bangkitlah dan mari kita duduk dan bicara tentang puteramu itu."

   Dengan penuh harapan Ang Siok Bi bangkit berdiri lalu mengikuti Milana untuk duduk berhadapan di dalam tempat peristirahatan di tepi jalan itu, sedangkan Syanti Dewi hanya mendengarkan dari samping. Puteri Bhutan itu ikut merasa terharu karena dia tahu siapa adanya Ang Tek Hoat, yaitu pemuda tampan dan gagah perkasa yang telah menyelamatkan dia dari tangan Pangeran Liong Khi Ong, pemuda perkasa yang mengorbankan diri demi untuk menyelamatkannya itu. Pemuda yang tak mungkin dapat dia lupakan selamanya. Dan wanita cantik dan gagah ini adalah ibunya! Maka tentu saja dia ingin sekali mengetahui kelanjutan pertemuan yang amat menarik dari dua orang wanita cantik yang agaknya sudah sejak dahulu saling mengenal itu.

   "Jadi Ang Tek Hoat itu adalah puteramu, Enci Siok Bi? Bolehkah aku bertanya kepadamu, siapakah ayahnya?"

   Pertanyaan ini diajukan secara langsung dan Milana memandang tajam penuh selidik sehingga Ang Siok Bi merasa terkejut sekali, merasa seolah-olah menghadapi serangan tusukan pedang yang langsung mengarah ulu hatinya.

   "Adik Milana! Mengapa engkau menanyakan hal itu? Apa hubungannya denganmu?"

   "Hubungannya banyak sekali dan aku baru akan suka menolong puteramu apabila engkau mengaku terus terang siapa ayahnya."

   "Betapa aneh pertanyaanmu ini! Mengapa engkau harus bertanya lagi seolah-olah engkau tidak tahu apa yang telah terjadi dan menimpa diriku, Adik Milana? Siapa lagi ayahnya kalau bukan si jahanam Gak Bun Beng itu?"

   Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Syanti Dewi mendengar ucapan ini, wajahnya menjadi pucat seketika akan tetapi dia tidak mau mengeluarkan suara, hanya memandang wanita itu dengan tajam dan mendengar penuh perhatian. Milana mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Sudah kuduga demikian.... dan engkau tentu menceritakan kepada puteramu itu bahwa orang yang bernama Gak Bun Beng adalah musuh besarmu, bukan?"

   "Adik Milana, bagaimana engkau masih juga bertanya begitu? Bukankah sudah jelas bagimu bahwa jahanam Gak Bun Beng itu...."

   "Enci Siok Bi!"

   Tiba-tiba Milana membentak dengan suara keras karena hatinya marah mendengar nama Gak Bun Beng dimaki orang.

   "Kau datang untuk minta tolong padaku tentang Ang Tek Hoat. Nah, ceritakan saja jangan banyak membantah. Apa yang telah kau pesankan kepada anakmu Ang Tek Hoat itu dan yang telah kau ceritakan tentang ayahnya dan tentang Gak Bun Beng?"

   Siok Bi memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi karena dia ingin sekali agar puteranya dapat selamat, biarpun hatinya penuh rasa penasaran, dia menjawab juga sejujurnya,

   "Aku.... aku mengatakan kepadanya bahwa ayahnya adalah.... Ang Thian Pa...."

   "Hemm, pantas dia memakai she Ang, kiranya begitu. Ang Thian Pa adalah nama Ang Lojin ayahmu, bukan?"

   Siok Bi mengangguk.

   "Dan aku katakan bahwa ayahnya itu terbunuh oleh Gak Bun Beng, akan tetapi bahwa jahanam itu telah terbunuh pula olehku. Apa salahnya dengan keterangan itu?"

   Milana menggeleng kepada dan menarik napas panjang.

   "Pantas kalau begitu.... aihh, sungguh kasihan sekali Gak-suheng....! Enci Siok Bi, jadi sampai detik ini pun engkau masih mengira bahwa puteramu itu adalah keturunan dari Gak Bun Beng, begitukah?"

   "Tentu saja! Habis mengapa?"

   "Engkau telah keliru, Enci! Kita semua telah keliru pada waktu itu, belasan tahun yang lalu. Engkau, aku, dan Enci Kim Bwee telah tertipu dan kasihan sekali Suheng Gak Bun Beng yang tidak berdosa sedikitpun juga. Ketahuilah, Enci, yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu dan diri Enci Kim Bwee dahulu itu sama sekali bukan Suheng Gak Bun Beng...."

   "Ahhh....!"

   Wajah Siok Bi menjadi pucat. Biarpun dia tidak pernah mau menyangkalnya, akan tetapi melihat wajah puteranya dia sudah merasa heran sekali karena biarpun puteranya itu tampan akan tetapi sedikitpun juga tidak ada miripnya dengan wajah Gak Bun Beng!

   "Apa.... apa maksudmu....?"

   "Maksudku adalah bahwa belasan tahun yang lalu itu kita semua salah duga. Ada orang yang menjatuhkan fitnah atas diri Gak-suheng, yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat dengan menggunakan nama Gak-suheng dan orang itulah yang telah melakukan perbuatan terkutuk terhadap dirimu dan diri Enci Kim Bwee. Coba kau ingat baik-baik ketika peristiwa terkutuk itu terjadi, apakah engkau melihat wajahnya?"

   Siok Bi menjadi pucat sekali, mengenangkan peristiwa itu, ketika pada malam hari di dalam kamar dia dipaksa dan diperkosa oleh Gak Bun Beng, di tempat gelap, dan dia hanya tahu bahwa laki-laki itu Gak Bun Beng karena laki-laki itu mengaku demikian, dan dia percaya pula kepada laki-laki tampan yang mengaku sebagai sahabat Gak Bun Beng.... ah, hampir dia menjerit. Kini dia teringat akan wajah sahabat dari Gak Bun Beng itu dan wajah puteranya mirip orang itu!

   "Kita semua telah tertipu. Bukan Gak Bun Beng yang melakukan perbuatan terkutuk itu, Enci, melainkan orang itulah, dan orang itu pula yang menjadi ayah kandung dari puteramu Tek Hoat."

   Dengan mata terbelalak dan muka pucat Ang Siok Bi memandang Milana dan berkata dengan suara gemetar dan tergagap,

   "Bagaimana.... bagaimana aku dapat percaya ceritanya ini....? Setelah belasan tahun aku percaya demikian.... bagaimana aku bisa tahu bahwa ceritamu ini benar, Adik Milana?"

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 51 Sepasang Pedang Iblis Eps 32 Pendekar Super Sakti Eps 29

Cari Blog Ini