Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 54


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 54



"Benarkah? Jangan salah, Tambolon, aku sudah gelisah, duri-duri ini tidak enak sekali mencakar-cakar kaki!"

   Nenek itu mengomel lagi. Diam-diam Kian Bu makin berhati-hati. Nenek ini boleh jadi sudah pikun, akan tetapi ternyata masih memiliki kepekaan seorang ahli silat tinggi yang biarpun tidak mendengar dengan telinganya, mampu menangkap dengan kepekaannya. Kembali dia mengikuti sampai agak jauh, makin lama makin mendalam di hutan yang amat lebat.

   "Ssssttt....!"

   Tiba-tiba Tambolon mengeluarkan suara desis ini. Mereka berdua mendekam dan Tambolon menuding ke depan. Dari jauh Kian Bu melihat hal ini, maka dia cepat mendaki pohon besar, tidak berani meloncat, khawatir kalau-kalau melanggar daun kering. Dia mendaki tanpa mengeluarkan suara dan dari atas dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tambolon. Jantungnya berdebar tegang. Tak salah lagi, wanita cantik jelita yang menuruni jalan menurun ke arah sumber air itu, yang pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan namun masih tampak luar biasa cantiknya, adalah Syanti Dewi yang dicari-carinya. Dara bangsawan itu menuruni jalan berbatu yang licin sambil membawa sebuah periuk air butut dari tanah, sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya mengancam di belakangnya.

   Tentu saja Tambolon menjadi girang sekali melihat Puteri Bhutan ini. Puteri ini merupakan orang yang sangat berharga baginya, karena kalau puteri ini berada di tangannya, seolah-olah dia memegang kekuasaan atas Raja Bhutan di dalam tangannya. Maka dia lalu berjalan berindap-indap menuruni jalan itu, lupa kepada gurunya yang ditinggalkan begitu saja dan Nenek Durganini yang pikun itu telah mulai melenggut dan mengantuk di tempatnya karena dia memang sudah lelah sekali. Bagaikan seekor harimau yang mengintai dan mendekati calon mangsanya, Tambolon berjingkat-jingkat mendekati, kemudian mengambil ancang-ancang dan diterkamnyalah Puteri Syanti Dewi yang sedang mengambil air dengan periuk butut itu.

   "Bresss....!"

   "Aihhhh....!"

   Yang menjerit itu adalah Syanti Dewi ketika tiba-tiba dia mendengar gerakan orang dan ketika menoleh dia melihat Tambolon menubruknya. Akan tetapi pada saat itu dari samping juga meloncat seorang pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu sehingga bertemulah pemuda ini dengan Tambolon di tengah udara. Tubuh Tambolon terbanting ke samping dan raja liar ini terkejut bukan main ketika melihat bahwa yang menghalangihya adalah pemuda tampan yang sudah diketahuinya amat lihai itu.

   "Keparat, berani engkau menghalangiku?"

   Bentaknya.

   "Tambolon, manusia kejam! Sekali ini aku akan membunuhmu!"

   Bentak Suma Kian Bu.

   "Bu-koko....!"

   Syanti Dewi berseru girang ketika dia mengenal pemuda itu, akan tetapi dia khawatir sekali. Cepat diraihnya periuk yang sudah terisi air itu dan dia men-jauhkan diri dari mereka yang sudah saling serang dengan dahsyatnya itu.

   "Syanti Dewi, kau larilah cepat....!"

   Kian Bu berseru sambil mengelak ketika pedang Tambolon menyambarnya, dan secepat kilat dia menghantam dengan pengerahan Swat-im Sin-kang yang amat dingin. Tambolon terkejut, tidak berani menerima pukulan yang dahsyat dan berhawa dingin itu, mengelak sambil menyabetkan pedangnya dari samping, juga menggerakkan tangan kirinya mencengkeram. Namun kembali Kian Bu dapat mengelak dengan mudah karena baginya, semua gerakan Tambolon masih terlampau lambat.

   Dengan marah pemuda itu terus mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat tinggi mutunya. Sebagai putera tersayang dari Puteri Nirahai, tentu saja dia banyak mewarisi ilmu-ilmu silat tangan kosong yang banyak dikenal ibunya. Sebentar dia mainkan Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), lalu dirubah dengan jurus-jurus dari Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang telah digabung dengan Pat-sian-kun (Silat Delapan Dewa). Dengan ilmu-ilmu silat tinggi yang diubah-ubah ini, biarpun dia memegang pedang, Tambolon yang kasar itu menjadi bingung dan beberapa kali dia kena ditendang dan digampar, dan hanya mengandalkan tubuhnya yang kekar dan kebal itu saja maka dia masih belum roboh. Akan tetapi beberapa kali tamparan tangan Kian Bu yang mengandung Swat-im Sin-kang membuat dia menggigil dan jerihlah raja liar ini.

   "Subo, tolong....! Subo....!"

   Akan tetapi nenek itu tidur mendengkur dengan mulut terbuka, giginya ompong semua sehingga ilernya tidak ada yang menahan lagi, mengalir turun melalui ujung bibirnya.

   "Suboooo....!"

   Tambolon berteriak.

   "Desss....!"

   Tubuhnya terpental dan terguling-guling terkena tendangan Kian Bu dan raja liar ini terus sengaja menggulingkan dirinya ke dekat subonya, tidak peduli pakaiannya menjadi kotor semua.

   "Subo.... Subo.... bangun, bangun...., tolonglah aku!"

   Kini dia mengguncang-guncang tubuh subonya.

   "Aaaahhhh, plak-plak! Aduh....!"

   Memang sedang sialan Tambolon sekali ini. Karena terkejut dibangunkan secara keras, Nenek Durganini terbangun dalam keadaan bingung dan tanpa memilih bulu lagi kedua tangannya menampar sehingga kedua pipi Tambolon kena ditampar sampai bengkak-bengkak!

   "Subo, ini aku....! Itu di sana musuhku....!"

   Tambolon berteriak sambil memegangi mukanya yang bengkak dan terasa nyeri bukan main. Hampir copot giginya oleh tamparan nenek itu.

   "Apa....? Heeii...., kau kah itu? Siapa? Mana....?"

   Nenek itu masih bingung karena semangatnya masih tertinggal di luar setengahnya.

   "Itu dia musuh kita, Subo. Bunuhlah dia!"

   Tambolon menuding. Kini Nenek Durganini dapat melihat Kian Bu. Timbullah kemarahannya karena dia merasa terganggu tidurnya yang amat menyenangkan tadi, terbongkok-bongkok menghampiri Kian Bu.

   "Keparat, kau berani mengganggu tidurku, ya? Kau sudah bosan hidup barangkali?"

   Nenek itu menggerakkan tongkatnya.

   "Wirrr.... siuuut....!"

   Tongkat itu menghantam ke arah kepala Kian Bu. Pemuda ini sudah mengerti bahwa nenek ini amat lihai dan pandai ilmu sihir, maka dia cepat menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kiang.

   "Plakkk!"

   "Aihhh.... dingin.... dingin bukan main....!"

   Nenek itu menggigil, kemudian dia berkemak-kemik dan melontarkan tongkatnya.

   "Coba kau lawan ini, orang muda yang banyak tingkah!"

   Kian Bu sudah tahu bahwa nenek ini adalah seorang ahli sihir, maka dia sudah mengerahkan sin-kangnya. Ayahnya sendiri adalah seorang yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman, memiliki kekuatan gaib, akan tetapi kekuatan gaib ayahnya itu bukanlah ilmu yang dapat diturunkan kepada orang lain, melainkan kekuatan pembawaan yang tidak dapat diajarkan.

   Namun, sebagai seorang putera pendekar sakti, tentu saja dia tahu bahwa dengan pengerahan sin-kang dia dapat melawan pengaruh sihir. Dia sudah mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi ternyata dia masih kalah kuat dan terpengaruh juga. Tongkat yang dilontarkan itu tiba-tiba berubah menjadi seekor naga hitam yang mulutnya mengeluarkan api dan matanya mencorong menakutkan. Kalau orang lain, tentu sudah lemas dan tidak berani melawan. Akan tetapi Kian Bu, biarpun kalah kuat dan matanya masih melihat tongkat sebagai naga, sama sekali tidak menjadi gentar dan dia menyambut terkaman naga itu dengan hantaman kedua tangannya yang mengandung tenaga Hwi-yang Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) di tangan kanan dan tenaga Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) di tangan kiri.

   "Blarrr.... darrrr....!"

   Bukan main hebatnya gabungan dua tenaga ini yang merupakan inti dari ilmu orang-orang Pulau Es. Biarpun naga itu hanyalah jadi-jadian dan hasil ilmu sihir dari Nenek Durganini, namun karena nenek itu tidak kuat menghadapi penggabungan tenaga sakti itu, naga itu lenyap dan ternyata tongkat hitam itu telah terbanting ke atas tanah dalam keadaan patah-patah!

   "Aihhhh....!"

   Nenek itu menjerit dengan suara tinggi sekali sehingga terdengar amat tajam seperti mengiris jantung.

   "Bocah lancang...., lihat ini....!"

   Kian Bu yang menjadi besar hati karena melihat pukulannya memusnahkan ilmu sihir tadi, memandang dan inilah kesalahannya. Dia disuruh memandang dan dia memandang, maka seketika dia terkejut sekali karena melihat nenek itu seperti bukan lagi Nenek Durganini, melainkan Puteri Nirahai, ibunya sendiri!

   "Ibu....!"

   Dia berteriak, meng-gosok-gosok matanya.

   "Hi-hik, aku memang ibumu. Ke sinilah, Nak....!"

   Kian Bu lari menghampiri.

   "Desss....!"

   Pemuda itu terpelanting dan kepalanya terasa pening ketika dia menerima hantaman tangan kurus yang bertenaga mujijat itu. Untung dia tadi dalam kagetnya karena "ibunya"

   Memukul, masih sempat miringkan kepalanya sehingga yang terkena hanya tengkuknya, bukan kepalanya. Kian Bu kaget dan bingung. Mengapa ibunya memukulnya sedemikian rupa? Dia memandang dan masih saja ibunya yang berdiri di situ.

   "Ibu....!"

   "Hayo berlutut kau!"

   Ibunya berkata dan Kian Bu berlutut.

   "Subo, pergunakan pedangku!"

   Tambolon berteriak dan melemparkan pedangnya, diterima oleh Nenek Durganini yang oleh Kian Bu masih kelihatan sebagai ibunya itu. Pemuda ini bingung. Mengapa Tambolon menyebut ibunya subo? Pada saat itu, tiba-tiba turun hujan dari atas langit. Memang sejak tadi cuaca sudah mendung dan beberapa air hujan pertama menimpa kepala Kian Bu.

   "Cessss....!"

   Dingin sekali rasanya air hujan itu menimpa kepalanya dan mata Kian Bu terbelalak. Kiranya yang disangka "ibunya"

   Itu adalah Nenek Durganini yang buruk dan yang kini sudah meng-angkat pedang hendak membacok kepalanya. Otomatis Kian Bu mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan sambil melompat dia mengirim pukulan.

   "Blarrr....!"

   Pedang di tangan nenek itu terpental dan nenek itu sendiri terhuyung ke belakang. Kian Bu meloncat ke belakang dan siap menghadapi dua orang lawannya itu. Sementara itu, hujan turun dengan derasnya. Dan tiba-tiba nenek itu menangis.

   "Aduhh.... hu-hu-hu.... celaka.... Tambolon.... Tambolon....! Mana payung? Mana payung? Wah, aku bisa masuk angin kehujanan.... huuuuhhh, bisa kumat penyakit tulangku.... hu-huuhhh...."

   Terseok-seok nenek itu lari mencari tempat untuk meneduh, di bawah sebatang pohon besar!

   Suma Kian Bu tidak memperhatikan guru dan murid itu lagi. Dia mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian dia lari mengejar ke arah larinya Syanti Dewi dengan hati penuh kekhawatiran terhadap dara bangsawan itu. Hujan masih turun dengan derasnya dan akhirnya dia melihat sebuah kuil bobrok di tengah-tengah hutan. Cepat dia menghampiri kuil rusak itu dan berindap-indap masuk, lalu dia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik pilar. Apa yang dilihatnya? Di sana, di sebelah dalam kuil tua itu, dilihatnya Tek Hoat rebah terlentang, agaknya menderita sakit. Pundak dan lehernya dibalut, dan Syanti Dewi dengan sikap mesra dan penuh kasih sayang sedang memberi minum kepada pemuda itu!

   "Dewi.... ah, kau bilang Tambolon dan Durganini....? Ah.... aku harus melawan mereka.... aku harus melindungimu...."

   Terdengar Tek Hoat berkata dan pemuda itu hendak bangkit. Akan tetapi Syanti Dewi memegang pundaknya.

   "Jangan, Tek Hoat, engkau baru saja sembuh, tenagamu belum pulih, mana mungkin engkau melawan mereka? Sama dengan membunuh diri. Biarlah, kita bersembunyi di sini. Kalau Thian menghendaki, mereka tentu tidak akan mampu menemukan kita. Kalau memang dikehendaki bahwa kita akan mati di tangan mereka, biarlah kita mati bersama...."

   Penglihatan dan pendengarannya di waktu itu seperti ujung pedang tajam meruncing menusuk-nusuk jantungnya. Kian Bu menjadi makin patah hati. Kiranya Syanti Dewi menolak cintanya karena puteri itu mencinta Tek Hoat! Dia lalu keluar lagi dan lari ke tempat tadi. Tidak! Syanti Dewi tidak akan dapat diketemukan mereka! Tidak seorang pun di dunia ini boleh mengganggu kebahagiaan puteri itu. Dilihatnya nenek itu masih mengeluh panjang pendek kehujanan di bawah pohon dan Tambolon sedang duduk bersila mengumpulkan tenaga dan luka-lukanya akibat pertandingan berturut-turut melawan orang-orang muda yang perkasa, yaitu melawan Tek Hoat kemudian menghadapi Kian Bu tadi.

   "Iblis keji, kalian harus mampus!"

   Kian Bu berteriak seperti orang gila karena dia dilanda kekecewaan, patah hati yang membuat dia marah bukan main, apalagi dianggapnya dua orang ini mengancam keselamatan Syanti Dewi. Dengan terjangan kilat dia membuat Nenek Durganini dan Tambolon yang tidak menduga-duga itu terlempar ke belakang dan terguling-guling. Melihat kedahsyatan pemuda ini, Tambolon dan Nenek Durganini menjadi jerih dan mereka lalu melarikan diri tunggang langgang. Tadinya Tambolon hendak melawan, mengandalkan gurunya. Akan tetapi nenek itu sudah habis semangatnya bertempur tertimpa hujan basah kuyup, seperti batang kering tertimpa hujan, menjadi lemas dan dia hanya mengomel panjang pendek sambil melarikan diri pontang-panting bersama muridnya, meninggalkan hutan itu jauh-jauh sambil berteriak-teriak memanggil anak buah mereka.

   Kian Bu tidak mengejar. Sejenak pemuda yang patah hati ini berdiri tegak seperti patung, tidak peduli akan turunnya hujan deras yang menyiram tubuhnya. Lalu dengan langkah gontai dia bergerak, tersaruk-saruk dan pergi tanpa tujuan tertentu. Hanya satu hal yang terasa di dalam dadanya, hatinya tertekan hebat. Tidak dipedulikan pula kulit-kulitnya lecet akibat pertempuran dan akibat duri-duri runcing merobek celana di pahanya, pahanya berdarah. Dibiarkannya saja darah bercampur air hujan, seolah-olah darah itu mengucur dari dalam hatinya. Semangatnya melayang-layang dan dia merasa kesedihan yang luar biasa menguasai hatinya, membuat dua butir air matanya keluar dan bercampur dengan air hujan mengalir terus ke dagunya.

   Kilat menyambar-nyambar dan hujan yang turun deras itu menimbulkan suara aneh, seperti bisikan, seperti nyanyian, mungkin terdengar riang gembira bagi yang sedang bersuka, namun bagi Kian Bu terdengar amat menyedihkan. Bukanlah cinta kasih kalau menimbulkan duka dan kecewa. Bukanlah cinta kasih kalau merupakan pengejaran nikmat dan suka. Bukan cinta kasih kalau mengandung dendam dan benci, marah, iri dan dengki. Hati yang patah bukanlah karena cinta, melainkan karena tidak tercapai apa yang diinginkannya, karena kecewa, karena itu bukanlah cinta namanya yang menimbulkan hati yang patah dan luka. Lalu apakah cinta kasih itu? Kalau kesemuanya itu tidak ada di dalam batin, kalau kita bebas dari semua itu, bersih dari semua itu, bukan dibebaskan atau dibersihkan, melainkan bebas karena kesemuanya itu sudah diinsyafi benar-benar, di dalam kebebasan itulah cinta kasih baru mungkin ada!

   "Paman, kenapa engkau meninggalkan aku?"

   Ceng Ceng menegur Topeng Setan ketika akhirnya dia dapat menyusul orang itu. Topeng Setan diam saja, tidak menjawab, melainkan menarik napas panjang dan melangkah terus dengan lebar. Karena kakinya panjang langkahnya pun lebar sehingga sibuklah Ceng Ceng harus mengimbangi kecepatannya. Satu langkah dari kaki Topeng Setan berarti dua langkah dari Ceng Ceng, kadang-kadang malah tiga langkah karena langkahnya kecil-kecil.

   "Paman, kenapakah? Apakah Paman marah kepadaku?"

   Ceng Ceng bertanya lagi, kini dengan khawatir dia memegang lengan Topeng Setan. Mereka sudah pergi jauh dan tiba di tempat sunyi. Topeng Setan berhenti dan memandang Ceng Ceng, agaknya sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia menjawab,

   "Bagaimana aku bisa marah kepadamu, Ceng Ceng? Tidak, aku hanya ingin meninggalkanmu, karena aku insyaf bahwa tempatmu di sanalah, bersama mereka itu. Engkau seorang gadis terhormat, seorang gadis perkasa, engkau tidak semestinya bersama dengan aku."

   "Aih, Paman, mengapa? Bukankah selama ini kita bersama-sama? Kita bersusah-payah bersama, menghadapi maut bersama dan engkau.... engkau telah melakukan segala itu untukku? Mana mungkin aku dapat kau tinggalkan begitu saja. Tidak, ke mana pun engkau pergi, aku ikut, Paman. Aku tidak mau tinggal dengan siapapun juga."

   "Eh, aku mendengar tadi kau.... kau hendak diambil mantu oleh jenderal tadi...."

   "Jenderal Kao? Ah, dia itu orang yang jujur dan terbuka. Mungkin dia hanya berkelakar saja."

   Tiba-tiba Topeng Setan memegang lengan gadis itu.

   "Ceng Ceng, tahukah kau siapa putera sulung jenderal itu?"

   "Entah, aku tidak tahu dan aku tidak mau tahu! Apakah aku ini seekor anjing, kucing atau kuda saja mau dijodohkan secara demikian mudah dengan orang yang tak pernah kulihat? Tidak, aku tidak sudi, biarpun dia itu putera Jenderal Kao yang kuhormati dan kusayang itu. Dan aku tidak mau berpisah dari engkau, Paman."

   "Ehh....? Aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku orang miskin dan perantau yang sengsara, masa engkau seorang gadis muda akan menjadi seorang terlantar seperti aku?"

   "Tidak! Mari kuajak kau ke barat, Paman. Kita ke Bhutan. Puteri Syanti Dewi juga sudah pulang ke Bhutan, dan aku adalah adik angkatnya. Setidaknya, di sana aku masih mempunyai rumah peninggalan kakekku. Marilah kita ke sana, Paman...."

   "Dan bagaimana dengan.... dia....?"

   "Dia siapa?"

   "Musuh besarmu!"

   "Ohhh...., dia? Kalau aku dapat bertemu dengan dia, kubunuh dia!"

   "Kalau tidak bertemu?"

   "Sudah saja, kuanggap dia sudah mampus."

   "Ceng Ceng, engkau benar-benar tidak dapat menerima uluran cinta kasih dari Pangeran Yung Hwa?"

   Ceng Ceng menggeleng kepala.

   "Aku sudah tidak berharga lagi, dan sudah kuceritakan kepadamu, Paman. Aku mau hidup sendirian saja, ah, maksudku dengan Paman kalau Paman sudi menganggap aku sebagai anak sendiri."

   "Hemmm...."

   "Bagaimana, Paman? Sukakah Paman mengantar aku ke Bhutan?"

   "Ke mana pun engkau pergi, aku akan mengantarmu, Ceng Ceng."

   "Paman amat baik kepadaku, hanya karena aku mengingatkan Paman akan.... wanita itu? Apakah Paman tidak dapat melupakan dia?"

   "Sampai mati pun aku tidak akan melupakan dia, Ceng Ceng."

   "Kenapa Paman membunuhnya?"

   Topeng Setan menunduk dan Ceng Ceng menyesal telah mengajukan pertanyaan itu.

   "Maaf, Paman. Tak perlu dijawab pertanyaanku itu."

   "Aku telah gila, aku telah mabok.... tidak sadar, akan tetapi penyesalan seumur hidup terasa, Ceng Ceng...."

   Suara Topeng Setan gemetar dan Ceng Ceng ikut terharu.

   "Marilah kita melanjutkan perjalanan. Dunia begini indah, mengapa kita harus mengenang yang sudah-susah?"

   Di sepanjang perjalanan Ceng Ceng berusaha untuk bersikap gembira. Dia lalu menceritakan pengalaman ketika ditawan oleh Tambolon.

   "Ketika itu, aku memiliki tenaga yang amat dahsyat, Paman. Entah mengapa, akan tetapi sekarang telah berkurang kedahsyatan tenaga itu. Betapapun, masih jauh lebih kuat daripada sebelum itu. Paman lihat!"

   Ceng Ceng menghampiri sebongkah batu dan mengayun tangannya yang halus.

   "Darrr....!"

   Batu itu pecah berkeping-keping! Topeng Setan mengangguk-angguk.

   "Itu adalah berkat khasiat anak ular naga, Ceng Ceng. Untung sekali, engkau kehilangan racun di seluruh tubuhmu yang kau dapat dari Ban-tok Mo-li dan sebagai gantinya engkau memperoleh kekuatan sin-kang yang dahsyat dari khasiat anak ular naga itu."

   "Kau ajarkan aku ilmu silat agar aku kelak dapat membantumu kalau ada musuh kuat menentang kita, dan agar aku dapat melawan musuh besarku yang juga amat lihai itu, Paman."

   "Baik, Ceng Ceng, perlahan-lahan akan kuajarkan segala ilmuku kepadamu."

   Topeng Setan tidak mau menceritakan akan ilmu baru yang belum lama ini dikuasainya, yaitu tenaga Sin-liong-hok-te dan Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat. Ketika pada suatu hari Ceng Ceng menyatakan keheranannya melihat sinar mata Topeng Setan yang kini berbeda dari biasanya, mencorong dan berapi, dia menjawab sederhana,

   "Mungkin hanya penglihatanmu saja, Ceng Ceng, atau mungkin karena aku kehilangan lenganku."

   Biarpun dia sedang menuju ke barat, akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah menghentikan kebiasaannya mencari musuh besarnya dengan cara bertanya-tanya kepada para pemilik warung atau rumah penginapan, para pelayan yang diajaknya bercakap-cakap. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, bahkan kadang-kadang menyimpang untuk menikmati suatu tempat di pegunungan yang terkenal indah pemandangannya.

   Pada suatu hari, selagi Ceng Ceng dan Topeng Setan duduk makan di warung makan, kembali Ceng Ceng menggunakan kesempatan ini untuk bertanya-tanya tentang seorang pemuda tinggi besar bernama Kok Cu, barangkali para pelayan dan pemilik warung itu ada yang pernah melihatnya. Akan tetapi tidak ada di antara mereka yang pernah melihatnya, dan pemilik warung yang melihat dara cantik jelita itu demikian ramah dan tidak pemalu, berani mengajak mereka bercakap-cakap dengan sikap manis, menjadi suka sekali dan dia lalu bercerita bahwa ada berita bahwa besok pagi rombongan pasukan Jenderal Kao akan lewat di dusun itu. Ceng Ceng pura-pura tidak mengenal nama ini sungguhpun diam-diam dia menjadi girang pula.

   "Siapakah jenderal itu dan mengapa pasukannya mau lewat di sini?"

   Tanyanya, sedangkan Topeng Setan juga mendengarkan dengan penuh perhatian sungguhpun dia tidak ikut bicara.

   "Saya sendiri pun tidak tahu jelas urusannya, hanya mendengar berita saja,"

   Jawab pemilik warung itu. Selanjutnya dia menceritakan tentang berita itu karena semua orang di dusun ini mengenal baik siapa adanya Jenderal Kao yang dahulu seringkali memimpin pasukan mengadakan pembersihan di daerah ini dan membasmi gerombolan-gerombolan jahat pengganggu rakyat. Menurut berita itu, karena jasa-jasanya membasmi pemberontak, Jenderal Kao diangkat menjadi panglima perang. Akan tetapi sebelum berkedudukan di kota raja sebagai panglima besar itu,

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jenderal ini lebih dulu akan mentertibkan kembali pasukan-pasukan yang menjaga tapal batas, di samping memimpin sendiri pembersihan dan penumpasan sisa-sisa kaki tangan pemberontak yang melarikan diri ke pedalaman. Selagi Ceng Ceng dan pemilik warung itu enak mengobrol didengarkan oleh Topeng Setan, tiba-tiba terdengar derap langkah orang dan dari luar warung itu masuklah seorang pemuda tampan yang bertubuh jangkung. Melihat wajah pemuda ini, Ceng Ceng seketika menjadi pucat wajahnya dan dia bangkit berdiri. Juga Topeng Setan yang melihat pemuda itu kelihatan kaget sekali. Muka Ceng Ceng yang pucat seketika berubah merah sekarang, matanya terbelalak seperti mengeluarkan sinar bernyala penuh kebencian, tangan kanannya menekan dan mencengkeram ujung meja tanpa disadarinya. Terdengar bunyi berkerotokan dan meja itu hancur.

   "Ah-ehh-ehh....!"

   Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan mereka dan oleh Ceng Ceng diundang duduk semeja, terguling dan jatuh tunggang-langgang ketika terdesak meja yang miring dan matanya terbelalak melihat mejanya itu remuk.

   "Keparat....!"

   Ceng Ceng mengeluarkan suara lirih seperti menggereng dan tubuhnya sudah melesat ke pintu bagaikan kilat. Hati siapa tidak akan marah ketika dia melihat munculnya orang yang selama ini dicari-carinya? Pemuda yang baru masuk itu bukan lain adalah si pemuda laknat, pemuda tinggi yang dulu telah memperkosanya!

   Pemuda yang telah merusak hidupnya. Biarpun pemuda itu kini agak kurus, tidak setegap dulu, akan tetapi dia tidak akan pangling melihat wajahnya! Pada saat tubuh Ceng Ceng melesat ke pintu, sesosok bayangan lain juga meluncur lebih cepat lagi. Ceng Ceng sudah menyerang ke arah pemuda itu, serangan yang amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba tangannya yang sudah terulur ke depan itu tiba-tiba menjadi lemas dan tubuhnya terbanting ke kiri seperti dilanda ombak yang menghantamnya dari samping kanan. Hampir saja dia jatuh tunggang-langgang, akan tetapi bayangan yang amat cepat dan yang menyerangnya itu kini telah menyambarnya dan merangkulnya sehingga dia tidak terbanting jatuh. Ceng Ceng marah bukan main, marah dan heran melihat bahwa yang menyerang dan kini merangkul-nya itu bukan lain adalah Topeng Setan sendiri!

   "Eh, kau....?"

   Keheranan lebih menguasai hatinya melihat kenyataan betapa orang yang paling dipercayanya, yang selama ini membantunya, bahkan pembantunya mencarikan musuh besarnya itu, kini malah menghalang-halanginya menyerang dan membunuh musuh besarnya itu!

   "Tenanglah, tenang dan telitilah lebih dulu, Ceng Ceng,"

   Bisik Topeng Setan.

   "Lihatlah baik-baik, jangan sampai kau kesalahan membunuh orang lain!"

   "Siapa bilang aku salah lihat? Dialah orang itu! Tak salah lagi, wajah itu sampai mati pun aku tidak akan lupa!"

   "Hemm, nanti dulu. Aku pernah kau suruh melukis orang itu, katamu usianya sudah dewasa, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi pemuda itu.... hemm, masih remaja! Dan seingatku, kau bilang bibirnya agak tebal, tidak setipis bibir pemuda ini, lihatlah dulu yang benar...."

   Ceng Ceng memandang lagi dengan penuh perhatian ke arah pemuda itu yang tadi menjadi kaget dan heran menyaksikan seorang wanita cantik ribut-ribut dengan seorang laki-laki yang mukanya buruk sekali. Dan baru sekarang dia harus membenarkan pendapat Topeng Setan, karena memang bukan pemuda remaja inilah pemuda yang memperkosanya dahulu.

   "Akan tetapi dia juga tinggi, dan wajahnya.... wajahnya...."

   Ceng Ceng tiba-tiba terbelalak dan tidak melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang pemuda lain masuk pula, seorang pemuda tinggi kurus yang wajahnya juga mirip sekali dengan gambar dari musuh besarnya itu. Pemuda ini melangkah tenang ke arah meja di mana sudah duduk pemuda pertama dan pemuda yang ke dua ini masuk bersama dengan seorang kakek rambut putih panjang terurai yang kakinya cuma satu, akan tetapi gerakannya gesit sekali seolah-olah kakinya tidak buntung sebelah.

   "Itu.... dia...."

   Ceng Ceng menjadi beringas memandang pemuda ke dua yang baru masuk. Badannya gemetar, tangannya otomatis bergerak memukul. Topeng Setan terkejut sekali. Karena tidak disangka-sangkanya dan gerakan gadis itu cepat sekali, kini gadis ini benar-benar memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat, dan pukulan yang diarahkan kepada pemuda itu dengan tangan terbuka amat dahsyatnya. Sin-kang mujijat yang timbul dari khasiat anak ular naga itu memang ajaib sehingga ketika Ceng Ceng mengerahkan tenaga memukul, dari tangannya yang terbuka itu menyambar uap dan angin pukulannya mengeluarkan suara bersuitan!

   "Hemmm....!"

   Suara ini keluar dari mulut kakek rambut putih yang kakinya buntung sebelah. Dia menengok ke arah Ceng Ceng, mengangkat tangan kiri ke atas dan.... bukan main anehnya, uap dan angin pukulan dahsyat dari tangan Ceng Ceng itu menyeleweng dan "tersedot"

   Ke arah kakek ini dan seolah-olah amblas menghilang ke lubang lengan baju kakek itu! Ceng Ceng menjerit kaget dan menarik kembali tangannya. Semua orang yang menyaksikan hal ini terkejut, tak terkecuali Topeng Setan karena dia maklum bahwa kepandaian kakek buntung kakinya ini benar-benar amat hebatnya, sukar diukur tingginya. Dan dia tahu pula bahwa kakek sakti ini bukan orang sembarangan, biarpun jelas bahwa Ceng Ceng melakukan serangan maut kepada pemuda yang datang bersamanya, kakek itu ternyata hanya memunahkan saja pukulan Ceng Ceng tanpa kekerasan sama sekali.

   "Sabarlah.... kau.... salah lagi,"

   Topeng Setan memegang lengan Ceng Ceng.

   "Lihat baik-baik, dia itu malah lebih jauh berbeda lagi dari orang yang kugambar itu...., juga lebih muda.... jauh sekali. Kau ingatlah baik-baik...."

   Topeng Setan berkata berbisik-bisik. Ceng Ceng terbelalak memandang pemuda yang kini bersama kakek itu pun berhenti melangkah dan memandang kepadanya. Setelah pemuda itu menoleh dan memandangnya, baru Ceng Ceng mengakui bahwa memang bukan ini pemuda laknat musuhnya itu. Akan tetapi wajah itu....!

   "Tapi.... tapi.... ahhh, bagaimana ini....? Paman.... aku.... aku bingung...."

   Dia merintih dengan penuh kekecewaan dan rasa penasaran. Badannya menjadi limbung dan lemas, seluruh tenaganya habis karena kecewa mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu memang benar bukan pemuda laknat yang dicari-carinya, keringat dingin mengalir keluar dan dia mengeluh panjang lalu jatuh pingsan!

   Topeng Setan menjadi bingung tidak karuan. Kalau Ceng Ceng pingsan terkena pukulan, dia tentu akan bersikap tenang dan dapat menolongnya cepat-cepat. Akan tetapi dia tahu bahwa gadis ini pingsan karena tekanan batin dan dia bukanlah seorang tabib yang dapat menyembuhkan dan mengobati penderita itu. Dengan bingung dia merebahkan tubuh Ceng Ceng di atas bangku panjang dan menggoyang-goyang tubuhnya. Pada saat itu, selagi semua orang merubung Ceng Ceng dengan bingung, muncul seorang nenek yang agaknya masih serombongan dengan dua orang pemuda yang menimbulkan kegemparan di hati Ceng Ceng tadi, akan tetapi yang masuknya belakangan. Melihat banyak orang merubung seorang gadis yang pingsan, nenek ini segera mendekati.

   "Aihh, kenapa ada orang menderita begini semua orang hanya merubung saja?"

   Nenek itu mengomel dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng dan membawanya ke dalam.

   "Apakah ada kamar di sini?"

   Tanyanya sambil melangkah masuk. Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan jatuh kerengkangan kini cepat menghampiri.

   "Ada.... ada.... mari, silakan, Toanio,"

   Katanya mengantar. Topeng Setan melihat cara nenek itu memondong dan melangkah, tahulah dia bahwa nenek itu pun bukan orang sembarangan. Dia khawatir akan keadaan Ceng Ceng dan melangkah untuk mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya disentuh tangan orang. Ketika dia menengok, dia melihat kakek berambut putih panjang dan berkaki satu itu berkata tenang dan halus kepadanya.

   "Jangan kau khawatir, biarkan isteriku mengurusnya. Isteriku lebih ahli dalam hal itu. Aku ingin bicara denganmu, Sobat."

   Topeng Setan menjadi tidak enak hati untuk memaksa. Tidak baik memperlihatkan kecurigaan kepada orang-orang yang berniat baik itu, apalagi dia maklum bahwa kakek dan nenek itu bukanlah orang sembarangan.

   Maka dia mengangguk dan duduk di bangku terdekat, tanpa mengeluarkan kata-kata. Dua orang pemuda yang mukanya mirip pemuda laknat musuh besar Ceng Ceng itu adalah putera-putera Jenderal Kao Liang yang ikut dengan rombongan ayahnya. Mereka itu adalah Kao Kok Tiong, dan adiknya yang bersama Kao Kok Han, biarpun masih remaja namun memang tubuh mereka tinggi-tinggi seperti ayah mereka, dan sejak kecil putera-putera Jenderal Kao Liarg ini tentu saja telah terdidik dan memiliki ilmu silat yang lumayan. Adapun kakek berambut putih yang buntung sebelah kakinya itu bukan lain adalah Si Pendekar Super Sakti, sedangkan nenek yang menolong Ceng Ceng itu adalah isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu.

   Kebetulan saja suami isteri pendekar dari Pulau Es ini bertemu dengan pasukan Jenderal Kao dalam perjalanan mereka mencari putera mereka, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu yang sudah terlalu lama meninggalkan Pulau Es tanpa ada beritanya. Ketika suami isteri pendekar sakti ini sudah mendengar banyak keterangan tentang dua orang putera mereka yang berjasa dalam membantu pemerintah membasmi pemberontak, mereka girang sekali dan kemudian menjadi gelisah juga ketika mendengar tentang halnya puteri mereka, yaitu Puteri Milana yang kini melarikan diri dari istana. Juga bahwa dua orang puteranya mungkin sedang menuju ke barat pula untuk menyelamatkan Puteri Syanti Dewi yang akan dipulangkan ke Bhutan. Ketika suami isteri ini hendak melanjutkan pencarian mereka, kedua orang putera Jenderal Kao Liang yang juga hendak mendahului pasukan melihat-lihat ke dusun di depan,

   Segera mengajak suami isteri yang mereka hormati dan kagumi itu untuk mengadakan perjalanan bersama. Untuk menghormati Jenderal Kao, Pendekar Super Sakti tidak keberatan maka demikianlah, kakek dan nenek sakti ini datang ke dusun itu bersama dua orang putera Jenderal Kao. Topeng Setan hanya mendengarkan saja penjelasan Pendekar Super Sakti. Pendekar yang berpemandangan tajam sekali ini dapat menduga bahwa orang di balik topeng ini adalah seorang yang luar biasa, yang memiliki kepandaian mujijat, kentara dari sinar matanya yang mencorong. Akan tetapi dia dapat menduga pula bahwa orang ini sedang dilanda tekanan batin yang amat hebat sehingga lebih senang menyembunyikan diri di balik topeng setan itu.

   Topeng Setan merasa tidak tenang dan resah menghadapi Pendekar Super Sakti yang sinar matanya seolah-olah dapat menembus hatinya dan menjenguk isi hatinya itu. Belum pernah dia bertemu orang yang sinar matanya seperti ini. Gurunya memiliki sinar mata mencorong, akan tetapi pendekar buntung kaki ini sinar matanya seperti dapat menembus segala sesuatu! Sebentar-sebentar dia melirik ke arah dua orang kakak beradik putera-putera Jenderal Kao Liang dan kadang-kadang dia menengok ke pintu di mana nenek tadi memasuki kamar bersama Ceng Ceng. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan Topeng Setan segera meloncat berdiri. Nenek itu tersenyum dan biarpun usianya sudah hampir enam puluh tahun, ternyata Nenek Lulu ini masih jelas membayangkan betapa cantiknya dia di waktu mudanya.

   "Apakah engkau suaminya....?"

   Secara langsung nenek itu bertanya kepada Topeng Setan. Ditanya secara langsung seperti itu, Topeng Setan merasa seperti ditodong ujung pedang yang runcing dan dia gelagapan.

   "Anu.... anu.... itu.... eh, benar... ah, bukan....!"

   Sungguh aneh sekali. Orang yang biasanya tenang dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang lihainya bukan kepalang itu kelihatan tergagap menghadapi pertanyaan ini. Pendekar Super Sakti sendiri menjadi terheran-heran dan timbul kecurigaannya. Dia dapat menduga bahwa orang di balik topeng buruk itu masih belum tua, akan tetapi mengapa menyembunyikan mukanya di balik topeng? Mengapa segala macam rahasia itu? Dan mengapa pula orang ini kelihatan tertekan batinnya dan sekarang dalam menjawab pertanyaan yang mudah itu menjadi gagap?

   "Jangan khawatir,"

   Nenek itu berkata.

   "Dia cuma menderita kaget dan bingung, keselamatannya tidak akan terancam, sungguhpun menyesal sekali bahwa kandungannya gugur karena memang telah mati beberapa hari yang lalu. Katakan saja kepada suaminya agar dia beristirahat dan menjaga diri baik-baik, jangan biarkan terlalu lemah...."

   Topeng Setan terkejut bukan main, suaranya menggigil ketika dia memotong,

   "Apa.... apa.... maksud Locianpwe....?"

   Pendekar Super Sakti tersenyum. Menghadapi keadaan yang bagaimana pun, bagi kakek ini wajar dan biasa saja, dan dia selalu tenang.

   "Isteriku hanya ingin mengatakan bahwa karena sesuatu hal yang tidak kami ketahui, kandungan wanita muda itu telah gugur, akan tetapi kesehatannya baik-baik saja. Yang penting adalah kesehatan calon ibu itu, bukan?"

   Nenek Lulu tersenyum dan mengangguk.

   "Ya Tuhan....!"

   Topeng Setan berteriak dan kakek dan nenek itu saling pandang ketika melihat Topeng Setan melesat ke dalam kamar itu seperti kilat cepatnya. Kecepatan Topeng Setan itu demikian hebatnya, hampir secepat Ilmu Soan-hong-lui-kun dari kakek yang amat terkenal sukar dicari tandingannya itu. Nenek Lulu yang melihat ini menggeleng-geleng kepalanya saking kagum.

   "Suamiku, aku berani bertaruh bahwa engkau tentu akan menemui kesukaran jika seandainya harus bentrok dengan dia. Kulihat kepandaiannya tidak di sebelah bawah tingkat Bun Beng. Padahal dia masih begitu muda!"

   "Engkau benar, isteriku. Heran, siapakah dia? Mari kita lihat."

   Nenek Lulu menggeleng kepala.

   "Urusan mereka mana boleh kita tahu? Biar kita menanti di sini sambil memesan makan minum. Bukankah kita masuk ke warung ini untuk makan? Lihat, dua orang muda Kao sudah menanti-nanti kita."

   Mereka lalu menghampiri meja di mana Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han sudah duduk dan memandang peristiwa itu dengan penuh keheranan. Sementara itu, dengan tubuh menggigil dan jantung berdebar tidak karuan, Topeng Setan sudah memasuki kamar itu.

   "Ceng Ceng.... ah, Ceng Ceng....!"

   Dia berseru. Gadis itu sudah duduk di pinggir pembaringan, mukanya pucat sekali memandang kepada gumpalan-gumpalan darah menghitam di atas lantai depan pembaringan. Ketika mendengar suara Topeng Setan, dia menengok dan memandang.

   "Paman....!"

   Dia bangkit berdiri dan menubruk Si Buruk Rupa itu.

   "Paman, aku.... aku bingung sekali.... aku.... aku...."

   Dia menangis. Topeng Setan gemetar menahan perasaan.

   "Ceng Ceng, sungguh tak kusangka.... kau.... kau mengandung sampai keguguran.... ya Tuhan....!"
(Lanjut ke Jilid 53)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 53
"Akan tetapi aku telah tertolong, Paman. Nenek yang baik itu menolongku, katanya keguguran ini sudah terjadi beberapa hari dan kini tinggal keluar saja. Sekarang aku ingat.... agaknya khasiat anak ular naga...."

   "Ya Tuhan...., betapa hebat penderitaanmu, Ceng Ceng...."

   Dalam suara Topeng Setan terdengar isak tertahan.

   "Tidak apa, Paman. Malah kebetulan! Siapa sih yang sudi mempunyai anak dari manusia biadab itu? Andaikata tidak gugur karena anak ular naga itu.... andaikata aku tahu bahwa aku telah mengandung selama beberapa bulan, tentu akan kugugurkan sendiri!"

   "Ahhh, jadi kau.... kau sendiri tidak tahu bahwa.... bahwa kau.... mengandung, Ceng Ceng?"

   "Tidak, Paman. Bagaimana aku tahu?"

   Jawab dara ini yang memang masih bodoh dalam hal itu dan semenjak kecil tidak ada yang memberi tahu kepadanya karena dia hidup hanya dengan kakeknya.

   "Jangan khawatir.... jangan sedih.... mari kutunjukkan padamu pemuda yang kejam dan bejat moralnya itu. Mari kuajak kau mencarinya sampai dapat. Aku bersumpah, sampai dapat!"

   Topeng Setan melepaskan rangkulannya, merobek sebagian lebar jubahnya, kemudian dia menggunakan jubah itu untuk mengambil gumpalan-gumpalan darah di lantai sampai bersih. Melihat ini, Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran.

   "Aihhh, Paman. Kotor itu....! Mengapa kau lakukan itu? Untuk apa....?"

   Topeng Setan membungkus rapi gumpalan darah kental yang menghitam itu, lalu menyimpannya di dalam saku jubah, suaranya sungguh-sungguh dan agak gemetar,

   "Ceng Ceng, bagaimanapun juga ini adalah calon manusia, bukan? Dan dia sama sekali tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan si jahanam keji, maka dia patut dikuburkan sebagai calon manusia yang tidak berdosa...."

   Tiba-tiba Ceng Ceng terisak, menutupi mukanya dan berbisik,

   "Kau benar.... dia itu.... senasib dengan aku.... hanya aku berhasil menjadi manusia dan dia tidak, gara-gara anak ular naga...."

   "Sudahlah, Ceng Ceng. Aku bersumpah akan mengajak engkau mencari si jahanam itu sampai dapat. Akan tetapi lebih dulu mari kuperjumpakan engkau dengan.... keluargamu."

   "Apa....? Siapa....?"

   Ceng Ceng tentu saja terkejut sekali mendengar ini.

   "Pendekar Super Sakti, kakekmu, dan.... nenek tadi adalah isterinya. Mereka berada di luar...."

   "Nenek tadi....? Dia.... dia.... nenekku sendiri....?"

   "Kau tanyalah sendiri kepada mereka, Ceng Ceng. Kau berhak bertemu dengan keluargamu."

   "Tidak....! Tidak, Paman. Aku malu bertemu dengan keluargaku, atau dengan siapa pun, sebelum.... sebelum aku bertemu dengan si laknat itu...."

   "Kalau begitu, mari kau ikut aku bersamaku, akan kubawa engkau bertemu dengan dia, agar engkau puas dan dapat membunuhnya sesuka hatimu!"

   Setelah berkata demikian, Topeng Setan memondong tubuh Ceng Ceng yang masih lemah itu dan melesat keluar melalui jendela kamar itu. Bagaikan seekor burung garuda, Topeng Setan sudah melesat ke atas genteng, akan tetapi begitu dia berada di atas genteng warung itu, tahu-tahu di depannya telah berdiri Pendekar Super Sakti dengan sikap tenang dan sinar mata tajam!

   "Hemmm, beginikah caranya orang baik-baik pergi, seperti pencuri-pencuri saja atau seperti orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat?"

   Dengan suara halus Pendekar Super Sakti menegur. Topeng Setan kaget bukan main. Dia tahu bahwa memang cara mereka pergi tanpa pamit ini amat tidak patut, dan hal ini dia lakukan hanya untuk menghindarkan pertemuan dan pembicaraan yang berkepanjangan. Siapa kira, Pendekar Super Sakti itu demikian hebatnya sehingga tahu-tahu telah menghadang di atas genteng.

   "Harap.... harap Locianpwe maafkan kami.... eh, maafkan saya, sesungguhnya sama sekali saya tidak bermaksud buruk...."

   Ceng Ceng melorot turun dari pondongan Topeng Setan lalu langsung menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar kaki satu itu.

   "Harap Locianpwe sudi mengampuni kami kalau-kalau dianggap bersalah. Akan tetapi, karena tergesa-gesa dengan suatu urusan pribadi yang amat penting, kami mengambil jalan ini, karena tidak ingin mengganggu Locianpwe sekalian. Saya.... saya berterima kasih kepada Nenek.... kepada Locianpwe yang menolong saya tadi...."

   Pendekar Super Sakti tersenyum. Kalau dia tadi menghadang adalah karena dia merasa curiga dan dia mengira bahwa Topeng Setan manusia aneh penuh rahasia itu hendak memaksa si gadis yang baru keguguran itu lari, khawatir kalau-kalau manusia aneh itu menggunakan kekerasan terhadap si wanita muda. Kini melihat bahwa wanita muda itu sendiri yang bicara dia menjadi lega dan maklum bahwa pelarian mereka berdua itu adalah kehendak mereka berdua. Dia mengelus jenggotnya dan tersenyum lebar. Tertarik sekali hatinya terhadap dua orang ini yang merupakan sepasang manusia aneh penuh rahasia!

   "Sudahlah, kalau kalian tidak ingin bertemu dan bicara dengan kami pun tidak mengapa. Akan tetapi karena aku sudah menghadang di sini dan bertemu kalian, aku ingin bertanya apakah kalian pernah bertemu dengan puteraku yang bernama Suma Kian Lee?"

   Topeng Setan dan Ceng Ceng tentu saja tahu siapa pemuda yang dimaksudkan itu. Topeng Setan tidak menjawab, akan tetapi Ceng Ceng yang menjawab,

   "Saya sudah mengenalnya dengan baik, Locianpwe. Bahkan dia telah pernah menolong saya."

   "Bagus! Tahukah engkau di mana dia sekarang? Dan meninggalkan pulau dengan adiknya, Suma Kian Bu. Aku sudah mendengar bahwa Suma Kian Bu pergi ke barat menyusul dan melindungi Syanti Dewi, akan tetapi tidak ada yang tahu ke mana perginya Kian Lee."

   "Maaf, Locianpwe. Saya sendiri pun tidak tahu ke mana dia. Pertemuan kami yang terakhir adalah di kota raja."

   "Hemm...., sayang...."

   "Ceng Ceng, mari kita pergi."

   Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Si Pendekar Super Sakti, kemudian menggandeng tangan gadis itu dan diajak meloncat turun lalu pergi dari situ dengan cepatnya. Sampai lama Pendekar Super Sakti berdiri di atas genteng, termangu-mangu, bukan hanya kecewa bahwa dia tidak dapat mendengar tentang Kian Lee, akan tetapi juga terheran-heran melihat dua orang muda itu. Ceng Ceng memandang dengan terharu dan juga terheran-heran ketika dia melihat saja Topeng Setan mengubur bungkusan gumpalan darah itu dan menimbuninya dengan tanah. Dia melihat betapa Topeng Setan termenung di depan gundukan tanah kecil itu, kemudian Topeng Setan kelihatan beringas dan dengan kepalan tangannya dia menghantam batu karang di sebelah kanannya.

   "Darrr....!"

   Batu karang itu hancur lebur dan debu mengepul tinggi.

   "Paman....! Ada apakah, Paman?"

   "Si keparat! Si jahanam keji! Aku akan menunjukkan dia kepadamu, Ceng Ceng. Kau benar, dia harus disiksa sepuas hatimu!"

   "Paman, ke mana kita akan mencari dia? Sudah sekian lamanya, berbulan-bulan semenjak peristiwa itu aku mencarinya, namun sia-sia belaka."

   "Satu-satunya tempat untuk kita mencarinya adalah di utara, di Istana Gurun Pasir, di tempat gurunya. Bukankah kau menceritakan bahwa dia itu murid Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir? Nah, kita ke sana!"

   Sebetulnya, hati Ceng Ceng sudah mulai reda untuk mencari pemuda itu.

   Hatinya sudah mulai tawar dan ingin dia beristirahat, ingin dia hidup tenang tenteram bersama Topeng Setan, satu-satunya sahabatnya yang setia dan dapat dipercaya itu. Akan tetapi dia pun tahu bahwa sebelum dia bertemu dengan pemuda laknat itu, hidupnya akan selalu diselimuti mendung dan kegelapan, dia akan selalu merasa menjadi orang yang kotor dan hina dan ternoda. Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah pemuda laknat itu, dengan nyawa pemuda jahanam itu! Mulailah mereka dengan perjalanan jauh itu. Akan tetapi karena kini setelah kandungan Ceng Ceng yang diam-diam tak diketahuinya selalu merupakan gangguan itu telah keguguran, kesehatannya cepat pulih kembali. Diam-diam gadis ini merasa girang juga bahwa kandungannya yang sama sekali tidak dikehendakinya itu telah keguguran.

   Andaikata dia tahu bahwa dia mengandung, tentu dia akan merasa makin tersiksa! Keparat! Benar Topeng Setan, pemuda laknat itu benar-benar harus disiksa sampai mampus! Ke-sehatannya telah pulih dan semua racun yang mengeram di tubuhnya akibat latihan dari Ban-tok Mo-li telah bersih dari tubuhnya, berkat khasiat anak ular naga, akan tetapi khasiat itu pun selain menggugurkan kandungannya, juga mendatangkan kekuatan sin-kang yang cukup dahsyat, yang takkan dapat diperolehnya dalam latihan selama sepuluh tahun! Maka perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat dan setelah mereka tiba di sebelah utara kota raja, mulailah Ceng Ceng bertemu dengan tempat-tempat yang membuat dia terkenang akan semua pengalamannya ketika mencari Syanti Dewi dahulu itu.

   "Paman, apakah engkau tahu, di mana adanya Istana Gurun Pasir?"

   Topeng Setan mengangguk.

   "Perjalanan itu sukar sekali, melalui gurun pasir selama tiga hari tiga malam. Paling sukar adalah kalau bertemu dengan badai, oleh karena itu, kita harus membawa perbekalan cukup."

   Membayangkan kesukaran perjalanan itu, Ceng Ceng bergidik. Entah bagai-mana, kini berkurang banyak gairahnya untuk mencari pemuda laknat itu. Kalau dulu, dia tidak akan berpikir dua kali, biar harus menyeberangi lautan api umpamanya, akan ditempuhnya juga asal dia dapat menemukan musuh besarnya itu. Sekarang dia agak ragu-ragu, apalagi mengingat bahwa si pemuda laknat itu saja sudah demikian lihainya, apalagi di sana ada gurunya dan mungkin orang-orang lain!

   "Sebelum kita menyeberangi gurun pasir, aku ingin melihat-lihat tempat-tempat yang pernah kukunjungi dulu, Paman. Lebih dulu, aku ingin pergi menengok sumur maut di mana aku dulu ketika menolong Jenderal Kao terjungkal, kemudian menjadi murid mendiang Ban-tok Mo-li di neraka bawah tanah. Setelah itu, aku ingin pergi dulu ke tempat-tempat lain, antaranya mengunjungi benteng di mana dulu Jenderal Kao tinggal."

   Topeng Setan tidak menjawab, hanya mengangguk. Agaknya bagi orang aneh ini, perintah Ceng Ceng merupakan pegangan hidupnya! Tidak pernah dia membantah kehendak gadis itu! Agaknya Topeng Setan mengenal betul daerah ini, lebih kenal daripada Ceng Ceng yang baru satu kali berkunjung ke situ. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di sumur maut yang berada di tengah lautan pasir itu. Sunyi senyap tempat itu dan seperti dahulu, banyak tulang berserakan di sekitar tempat itu. Ceng Ceng mendekati sumur itu dan melongok ke bawah. Gelap dan hitam pekat. Dia bergidik.

   Pantas saja dia dianggap mati oleh Jenderal Kao setelah terjungkal ke dalam tempat seperti itu. Bulu kuduknya berdiri ketika dia mengenangkan betapa dia terjungkal ke dalam sumur dan diselamatkan oleh seekor ular besar. Ceng Ceng duduk di dekat sumur, mengenangkan segala peristiwa masa lalu. Tempat ini merupakan tempat yang bersejarah baginya. Sunyi senyap mele-ngang, tidak ada kehidupan tampak di sekitar mereka berdua. Hanya pasir-pasir yang bergerak seperti berlumba lari berhembus angin semilir. Topeng Setan juga duduk agak jauh dari Ceng Ceng, kelihatannya termenung seolah-olah tempat itu merupakan tempat yang mempunyai kenangan tersendiri baginya. Ceng Ceng bangkit dan mengitari sumur di mana terdapat tumpukan batu-batu besar. Tiba-tiba dia melihat sesuatu.

   "Heiii, apa ini? Ada tulisan orang!"

   Mendengar ini, Topeng Setan mengangkat mukanya dan bangkit lalu menghampiri. Bersama-sama mereka lalu membaca tulisan-tulisan yang agaknya belum lama dibuat orang itu.

   "Kenyataan lebih pahit daripada bayangan, lebih kejam daripada kenangan, cinta hanya mendatangkan penderitaan!"

   "Ohhh....!"

   Ceng Ceng berseru ketika membaca tulisan itu.

   Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hemm, ada orang laki-laki yang pernah datang di sini, mungkin tinggal beberapa hari di sini dan menuliskan sajak-sajak ini...."

   Topeng Setan berkata perlahan. Ketika mereka memeriksa lebih teliti, kiranya banyak diantara batu-batu yang berserakan itu bekas ditulisi yang semua bernada keluh-kesah tentang cinta tak sampai.

   "Heiii.... ini.... seperti gambarmu, Ceng Ceng!"

   Tiba-tiba Topeng Setan berteriak heran. Ceng Ceng melompat mendekat dan mereka berdua memandang coretan wajah seorang wanita di atas permukaan batu kapur putih yang rata itu. Coretan itu menggunakan batu kemerahan dan biarpun hanya merupakan coretan kasar, akan tetapi mudah dilihat dan dikenal sebagai bentuk wajah Ceng Ceng.

   "Benarkah gambar ini seperti aku?"

   Ceng Ceng bertanya ragu.

   "Tak salah lagi, dan dia pandai benar melukis!"

   "Kalau begitu engkau mendapat saingan, Paman!"

   Ceng Ceng menggoda.

   "Aku....? Ah, banyak benar dia menulis...."

   Topeng Setan meneliti semua tulisan yang semua membayangkan kegagalan cinta itu. Akan tetapi Ceng Ceng sudah duduk termenung di depan sajak pertama. Lama ia termenung, kemudian dia berseru.

   "Ah, ini tentu dia....!"

   Topeng Setan kaget, menengok.

   "Dia?"

   "Ya, siapa lagi kalau bukan dia yang kita cari-cari!"

   "Ohhh....! Tapi.... tapi...."

   Topeng Setan tidak melanjutkan kata-katanya dan Ceng Ceng kembali membaca sajak itu. Mukanya berubah merah sendiri. Kalau begitu, dia.... dia cinta padaku?

   Demikian pikirnya dengan bingung dan dia membayangkan kembali, mengenangkan kembali peristiwa di dalam guha itu. Pemuda yang gagah dan tampan itu mukanya beringas, jelas bahwa tidak sewajarnya, seperti ke-racunan hebat. Pemuda itu menubruknya di luar kesadarannya! Dan pemuda itu jatuh cinta kepadanya? Mana mungkin! Dugaan Ceng Ceng itu membuat dia merasa makin bingung. Dia membenci pemuda itu dan pemuda itu mencintanya? Akan tetapi benarkah dia membenci pemuda itu? Setiap kali mengenang peristiwa di guha itu, dia seperti terlena, seperti terbuai, seperti.... seperti timbul perasaan rindu ingin bertemu dengan pemuda itu! Akan tetapi perasaan halus yang samar-samar ini segera ditutupnya dengan kemarahan dan kebencian, dengan dendam dan sakit hati.

   "Kalau begitu, kita sudah memperoleh jejaknya, Paman! Dia tentu tidak jauh lagi dan berada di sekitar tempat ini. Dugaan Paman benar bahwa kita harus mencari ke sini!"

   Ceng Ceng berteriak, jantungnya berdebar. Aneh, debar jantungnya itu menunjukkan kegirangan! Girang bahwa dia akan dapat membalas dendam, ataukah girang karena dia akan dapat berjumpa dengan pemuda itu?

   Mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke benteng di mana dahulu Jenderal Kao Liang tinggal dan di mana dahulu Ceng Ceng tinggal pula. Ketika mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, mereka mendengar berita bahwa baru setengah bulan yang lalu ketika para suku liar merampok desa itu, datang seorang bintang penolong yang amat lihai, seorang pemuda yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena pemuda itu datang mengamuk, membasmi para perampok liar dan lenyap lagi. Akan tetapi, di waktu malam orang melihat pemuda itu sebagai sesosok bayangan yang berjalan sendirian di luar dusun sambil meniup suling, atau kadang-kadang juga suka bernyanyi, menyanyikan lagu-lagu yang bernada sedih. Mendengar ini, Ceng Ceng lalu bertanya kepada kepada kampung terpencil itu di mana pemuda itu tinggal.

   "Mengapa Ji-wi (Anda Berdua) mencari in-kong (tuan penolong) itu?"

   "Kami adalah sahabatnya,"

   Jawab Ceng Ceng. Jawaban ini membuat Kepala Kampung cepat menghormat mereka dan dia sendiri lalu mengantarkan mereka berdua keluar kampung di mana terdapat sebuah gubuk di tepi sungai yang membelah padang rumput itu. Akan tetapi pemuda itu tidak ada lagi. Yang ada hanya bekas-bekasnya, coret-coretan yang sama dengan di sumur maut, akan tetapi di sini terdapat juga bekas-bekas pemuda itu berlatih silat yang amat hebatnya. Beberapa batang pohon tumbang dan hangus, dan batu-batu besar pecah berantakan. Tempat sekitar gubuk itu seperti bekas diamuk gajah.

   "Hebat.... dia hebat...."

   Topeng Setan mengangguk-angguk. Ceng Ceng memegang tangan Topeng Setan.

   "Sudah kukatakan dia berilmu tinggi, Paman. Apakah kiranya engkau akan mampu melawannya? Membantuku menghadapinya?"

   "Dia siapa?"

   "Siapa lagi kalau bukan pemuda laknat itu!"

   "Hemm.... kita lihat sajalah nanti."

   Karena jelas bahwa pemuda yang mereka cari itu sudah pergi dari situ dan tidak ada orang tahu ke mana perginya, Ceng Ceng dan Topeng Setan berpamit dari orang-orang dusun itu kemudian melanjutkan perjalanan ke benteng pertahanan terakhir dari tentara kerajaan di perbatasan itu. Ketika Topeng Setan dan Ceng Ceng muncul di pintu gerbang, beberapa orang penjaga yang ternyata adalah bekas anak buah Jenderal Kao, terkejut bukan main. Mereka memandang dengan mata terbelalak ketika gadis cantik yang muncul itu tersenyum dan berkata,

   "Apakah paman-paman masih ingat kepadaku? Aku Ceng Ceng!"

   Mereka yang ingat kepadanya tentu saja terkejut sekali dan bahkan ketakutan, mengira bahwa yang datang adalah setan atau roh gadis yang telah mati di dalam sumur maut itu. Apalagi kedatangannya bersama dengan seorang manusia berwajah setan!

   "Nona.... Nona.... bukankah dahulu sudah.... eh.... tewas di sumur maut?"

   Seorang penjaga tua memberanikan diri bertanya, telunjuknya yang menuding kepada gadis itu menggigil. Ceng Ceng tertawa.

   "Memang aku di-sangka mati, akan tetapi untung Thian masih melindungiku dan aku tidak mati, Paman. Aku masih hidup. Dan aku ingin mampir ke benteng ini. Siapakah yang menjadi komandan di sini sekarang?"

   "Bukan Jenderal Kao lagi, Nona...."

   "Aku tahu, belum lama ini aku berjumpa dengan Jenderal Kao di barat. Siapa yang menjadi komandan di sini?"

   "Thio-goanswe (Jenderal Thio),"

   Jawab penjaga itu.

   "Hemm, siapakah dia?"

   "Dia adalah Panglima Thio Luk Cong yang kini menggantikan kedudukan Jenderal Kao."

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 17 Pendekar Super Sakti Eps 44 Pendekar Super Sakti Eps 31

Cari Blog Ini