Sepasang Pedang Iblis 17
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
"Hemmmm.... Soan-hong-twi.... seperti itukah?"
Ucapan Ketua Thian-liong-pang ini lirih sekali dan agaknya tidak terdengar oleh orang lain, akan tetapi Bui Beng yang sejak tadi memperhatikannya, biarpun hanya dengan pendengaran karena matanya ditujukan untuk mengikuti pertandingan, dapat menangkap kata-katanya.
Jantung Bun Beng makin berdebar. Para tokoh kang-ouw itu, termasuk Ketua Bu-tong-pai yang baru saja ditawan, semua menjadi begitu jinak dan penurut dan.... arak yang secawan saja sudah membuat dia mabok.... bukan tidak mungkin ada hubungannya! Dia baru minum secawan saja sudah pening dan seolah-olah semangatnya mengendor, dan kakek gundul itu tadi berusaha membuat dia minum lebih banyak! Kemudian, para tokoh yang saling bertanding mati-matian dan dengan bersungguh hati, Ketua Thian-liong-pang yang menonton dan memberi komentar! Hemm, seolah-olah ada sinar terang memasuki kepala Bun Beng, namun pengaruh arak membuat keningnya berdenyut-denyut sehingga sukar bagi dia untuk memutar otaknya, tidak seperti biasa.
Betapapun juga, Bun Beng mengerahkan seluruh pikirannya untuk melakukan penyelidikan, mengambil kesimpulan-kesimpulan dan mengumpulkan dugaan-dugaan. Pertandingan antara Ketua Bu-tong-pai dan tokoh-tokoh Lam-hai-pang berlangsung makin seru. Akan tetapi Bun Beng mendapat kenyataan yang menyenangkan hatinya. Ternyata ayah Ang Siok Bi, yaitu Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, biarpun kini mau saja diadu seperti jangkerik, tetap memiliki watak yang baik, sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ketua partai persilatan besar. Pemuda bertangan ganas itu jelas melakukan serangan-serangan berbahaya dan mematikan, namun Ketua Bu-tong-pai itu banyak mengalah dan biarpun terpaksa mengeluarkan jurus-jurus simpanan dari Bu-tong-pai untuk menyelamatkan diri,
Namun serangan balasannya tidak bersungguh-sungguh seolah-olah dia enggan untuk mencelakai lawan, tidak mau melukai hebat, apalagi membunuh. Hal ini tentu saja dapat ia lihat karena banyak lowongan baik tidak dipergunakan oleh kakek itu. Kalau Ang-lojin menghendaki, tentu tidak sampai tiga puluh jurus lawannya dapat dirobohkan dengan pukulan-pukulan istimewanya. Betapapun juga, tingkat pemuda itu kalah tinggi dan kini dia selalu terdesak mundur. Ketika sebuah tendangan kilat menyerempat pinggang pemuda itu dan membuatnya terhuyung miring, kalau Ang-lojin mau tentu mudah baginya menyerang dengan pukulan maut. Namun kakek ini hanya mendorong pundak pemuda itu dan membuatnya roboh terjengkang.
"Cukup!"
Teriak Ketua Thian-liong-pang.
"Tok-ciang Siucai, harap mundur dan Pek-eng Sai-kong harap maju untuk melayani Ang-lojin dengan senjata. Ang-lojin, ilmu silat tangan kosong Bu-tong-pai hebat, harap perlihatkan ilmu silatmu dengan senjata. Bukankah Siang-kiam (Sepasang Pedang) menjadi keistimewaan Bu-tong-pai? Silakan!"
Berkata demikian, Ketua Thian-liong-pang ini menggerakkan tangan kirinya dan sepasang pedang melayang ke arah Ang-lojin. Ketua Bu-tong-pai ini tidak menjawab melainkan menerima sepasang pedang itu dengan gerakan indah. Bun Beng melihat munculnya seorang pendeta berpakaian lebar dan bermuka penuh brewok telah menerima sebatang toya dari tangan kakek muka singa yang duduk di sebelah kanan Ketua Thian-liong-pang.
"Pek-eng Sai-kong, kami telah menyaksikan dan mengagumi ilmu toyamu. Harap jangan sungkan-sungkan, pergunakan jurus-jurus yang paling hebat, terutama jurus kedua puluh tujuh Pek-eng-coan-ci (Garuda Putih Menyabetkan Ekor). Hati-hati, ilmu siang-kiam Bu-tong-pai amat lihai!"
Dalam suara dari balik kerudung itu terkandung kegembiraan besar. Bun Beng makin berdebar karena di dalam otaknya yang kacau oleh pengaruh arak memabokkan, ia kini mulai dapat menyingkap tabir yang merahasiakan semua peristiwa yang aneh yang dihadapinya. Kembali terjadi pertandingan dan sekali ini lebih hebat menegangkan daripada tadi.
Sai-kong itu amat kuat, toyanya benar-benar berbahaya dan teringatlah Bun Beng akan sebuah aliran yang menamakan dirinya Pek-eng-pang (Toya Garuda Putih) yang merupakan sekelompok orang gagah yang sesungguhnya memiliki dasar ilmu toya Siauw-lim-pai namun telah dicampur-aduk dengan ilmu silat golongan hitam! Jadi saikong ini adalah seorang tokoh Pek-eng-pang! Ia memandang penuh perhatian karena diapun ingin sekali menyaksikan bagaimana ilmu toya Siauw-lim-pai yang telah dirobah itu! Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika toya bertemu dengan pedang, dan tampaklah sinar toya yang kuning bergulung-gulung menjadi satu dengan sinar pedang yang putih. Sekali ini, Ketua Bu-tong-pai harus mengerahkan seluruh kepandaiannya karena yang menjadi lawannya adalah orang terpandai dari Pek-eng-pang!
Biarpun Ketua Bu-tong-pai ini tidak mempunyai hati yang kejam tidak ingin melukai apalagi membunuh lawan, namun sekali ini mau tidak mau dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, karena kalau tidak, dia sendiri yang akan menjadi korban toya yang ganas. Bun Beng mengepal ujung lengan kursinya. Diam-diam ia telah siap sedia untuk menolong kalau Ketua Bu-tong-pai terancam bahaya. Biarpun dia kini dapat menduga bahwa saikong itu, seperti juga Ketua Bu-tong-pai, hanya berperan seperti dua ekor jangkerik aduan, namun tetap saja hatinya berpihak kepada Ang-lojin. Bukan semata-mata karena kakek itu adalah ayah Ang Siok Bi yang cantik, biarpun hal ini sedikit banyak menjadi sebab juga, akan tetapi terutama sekali karena ilmu toya Siauw-lim-pai yang telah berubah itu menurut keterangan suhunya dibawa lari oleh seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad!
"Hyaaatttt....!"
Tiba-tiba saikong itu membentak keras dan Bun Beng diam-diam terkejut sekali sehingga tanpa disadarinya ia telah meremas patah ujung lengan kursinya, siap untuk disambitkan kalau Ang-lojin terancam bahaya! Dan memang hebat sekali jurus yang kini dipergunakan oleh Sai-kong itu dalam penyerangannya. Itulah jurus dari ilmu toya Siauw-lim-pai, hal ini diketahui jelas oleh Bun Beng, akan tetapi jurus itu telah dirobah sedemikian rupa sehingga selain lihai juga menjadi ganas dan licik sekali. Toya itu menyodok ke arah pusar lawan dengan cepatnya, dan begitu Ang-lojin menangkis dengan pedang kiri,
Tiba-tiba tubuh saikong itu terguling ke depan, lalu tubuhnya menggelinding ke arah lawan, tongkat atau toya itu diputar menyerampang kaki lawan dilanjutkan dengan sodokan ke atas, mengarah mata dibarengi dengan tendangan ke arah anggauta tubuh di bawah pusar. Serangan yang mematikan! Namun Ang-lojin tidak menjadi gugup menghadapi jurus yang oleh Ketua Thian-liong-pang disebut Pek-eng-coan-ci tadi dan terpaksa dia pun mengeluarkan jurus simpanannya. Kedua pedangnya melakukan gerakan menggunting dan begitu berhasil menjepit toya, tubuhnya terangkat ke atas dengan kaki ke atas, kemudian ia berjungkir balik, melepaskan je-pitan toya dan sambil menukik turun, sepasang pedangnya melakukan gerakan menyerang dari kanan-kiri, lagi-lagi menggunting bagian leher dan pinggang lawan dengan sepasang pedang!
"Heh, itukah Siang-in-toan-san (Sepasang Awan Memutuskan Gunung)?"
Terdengar Ketua Thian-liong-pang berseru lirih namun dapat terdengar cukup jelas oleh Bun Beng. Saikong itu kaget sekali dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang sambil memutar toya membentuk lingkaran melindungi tubuh ia dapat menyelamatkan diri, akan tetapi ia terkejut dan sampai terhuyung-huyung. Kini ia berteriak lagi dan tiba-tiba tubuhnya membalik, sikapnya seperti hendak menyerang, akan tetapi tiba-tiba sambil membalik ini toyanya meluncur terlepas dari tangan, merupakan anak panah raksasa yang menyambar ke arah tubuh Ang-lojin.
"Trakkk!"
Toya itu menyeleweng dan menancap di atas lantai di depan Ang-lojin yang tadi saking tak menyangka hampir saja menjadi korban toya.
"Cukup! Harap Ji-wi kembali ke kursi masing-masing!"
Terdengar Ketua Thian-liong-pang berkata sambil memandang ke arah Bun Beng yang sudah bangkit berdiri. Semua orang Thian-liong-pang kini menoleh ke arah Bun Beng, maklum bahwa Ketua mereka marah sekali kepada tamu muda yang dengan lancang telah menimpuk toya dengan ujung lengan kursi yang dipatahkan.
"Chie Kang, berapa cawankah tamu Siauw-lim-pai itu minum arak?"
Terdengar wanita berkerudung bertanya kepada kakek gundul. Bagi orang yang tidak tahu, tentu Ketua itu apakah tamu mudanya terlalu banyak minum arak sehingga mabok dan melakukan kelancangan itu. Akan tetapi Bun Beng yang sudah dapat menduga, hanya tersenyum, apalagi ketika mendengar kakek gundul menjawab,
"Dia hanya minum secawan, menolak untuk minum lagi, Pangcu."
"Dan untung bahwa aku hanya minum secawan, kalau tidak tentu aku pun akan kau jadikan jangkerik aduan, bukan begitu, Thian-liong-pangcu?"
Bun Beng kini menghadapi Ketua itu dengan sikap tenang, sedikitpun tidak gentar, mulutnya tersenyum mengejek. Biarpun wajah itu tidak tampak, namun sepasang mata yang tampak dari kedua lubang itu mengeluarkan sinar berapi, tanda bahwa Ketua ini marah sekali. Sejenak hening di situ, hening yang penuh ketegangan, dirasakan benar oleh semua anggauta Thian-liong-pang. Kalau Ketua mereka sudah marah, tentu akan terjadi hal yang mengerikan.
"Orang muda, karena engkau adalah seorang murid Siauw-lim-pai dan kami tidak mempunyai permusuhan dengan Siauw-lim-pai, maka perbuatanmu menyerang dua pembantu kami, kami maafkan. Bahkan kami menerimamu sebagai seorang tamu terhormat, biarpun engkau masuk seperti seorang pencuri. Akan tetapi jangan mengira bahwa karena engkau seorang murid Siauw-lim-pai lalu boleh berbuat sesuka hatimu dan lancang!"
Bun Beng mengangkat dadanya dan memandang Ketua itu dengan sikap menantang.
"Thian-liong-pangcu! Aku datang bukan sebagai utusan Siauw-lim-pai, me-melainkan atas nama pribadi yang ingin mengingatkanmu bahwa perbuatanmu tidak baik dan kuminta engkau segera menghentikan perbuatanmu itu!"
"Eh, bocah sombong. Perbuatan apa yang kau maksudkan?"
Suara Ketua Thian-liong-pang mengandung keheranan karena dia benar-benar merasa bahwa di dunia ini terdapat seorang pemuda yang begini tidak tahu diri berani menentangnya secara terang-terangan, bahkan menegurnya seperti seorang dewasa menegur seorang kanak-kanak!
"Hemmm, perlukah dijelaskan lagi? Baiklah agar jangan aku dikatakan bicara mengawur dan menuduh kosong, baik kukatakan bahwa aku sudah mengetahui rahasia semua penculikan yang dilakukan Thian-liong-pang terhadap para tokoh kang-ouw. Engkau menculik mereka, termasuk Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, kemudian kau beri mereka minuman arak yang mengandung racun perampas ingatan, mungkin yang pengaruhnya hanya untuk sementara saja. Kemudian, selagi para Locianpwe yang bernasib malang ini kehilangan ingatan mereka, kau jadikan mereka jangkerik-jangkerik aduan karena engkau ingin mengetahui rahasia ilmu silat simpanan mereka yang terpaksa harus mereka pergunakan dalam pertandingan untuk menyelamatkan diri. Bukankah begitu?"
Keadaan makin tegang dan semua anggauta Thian-liong-pang menganggap pemuda lancang itu menjadi calon mayat, karena mana mungkin Ketua mereka membiarkan saja kekurangajaran seperti itu? Akan tetapi, sikap dan ucapan Bun Beng menimbulkan kekaguman di hati Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu. Memang wanita ini sebagai seorang sakti, akan selalu kagum terhadap orang yang gagah berani, yang menganggap nyawa sebagai hal yang ringan, menganggap kematian sebagai hal sepele, menganggap bahaya bukan apa-apa dalam membela kebenaran yang dipercayanya. Hanya ada keraguan di hatinya apakah pemuda ini bersikap sedemikian berani terdorong sifat gagah yang aseli, ataukah hanya untuk bersombong saja terdorong oleh nama besar Siauw-lim-pai.
"Bocah sombong! Kalau benar begitu, mengapa? Apa kehendakmu?"
"Pangcu, aku hanya memperingatkan bahwa engkau main-main dengan api! Engkau menanam permusuhan dengan seluruh dunia kang-ouw dengan perbuatanmu ini. Aku minta agar engkau menghentikan perbuatan ini dan membebaskan semua tawanan."
"Hemm, tanpa kau minta, semua sahabat yang menjadi tamuku akan kubebaskan. Kau memperingatkan agar kami menghentikan perbuatan kami. Kalau aku menolak peringatanmu ini, habis kau mau apa?"
"Terpaksa aku akan menantangmu bertanding! Aku tahu bahwa engkau sakti, Thian-liong-pangcu, akan tetapi demi membela kebenaran, demi keselamatan seluruh tokoh kang-ouw, aku siap mengorbankan nyawa!"
"Keparat cilik! Engkau sombong sekali! Pangcu, ijinkan saya membasmi bocah sombong ini!"
Tan Wi Siang sudah meloncat maju dengan marah sekali.
"Wi Siang, mundurlah!"
Ketua Thian-liong-pang membentak,
"Bocah ini mempunyai ketabahan besar, atau memang hanya seorang bocah sombong yang mengandalkan nama Siauw-lim-pai. Biar Paman Chie Kang saja yang melayani-nya!"
"Baik, Pangcu!"
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang sudah meloncat maju. Kakek gudul ini sudah sejak tadi merasa marah menyaksikan sikap Bun Beng.
"Eh, orang muda yang tidak mengenal kebaikan orang! Majulah, ingin kulihat sampai di mana kepandaianmu!"
Katanya dengan suara yang tinggi nyaring.
"Chie Kang, jangan bunuh dia, kau tahu apa yang harus kau lakukan!"
"Hemmm,"
Bun Beng mengejek.
"Aku pun tahu, Pangcu! Tentu engkau hendak mempelajari pula jurus-jurus simpanan dari Siauw-lim-pai, bukan? Ha, sekali ini engkau akan kecelik!"
Kembali Nirahai tertegun. Bocah ini selain memiliki keberanian yang luar biasa, juga amat cerdik seolah-olah mengetahui semua isi hatinya. Terhadap bocah seperti ini, dia harus berlaku hati-hati. Diam-diam ia menduga-duga siapakah gerangan bocah ini. Apakah Ketua Siauw-lim-pai yang mendengar akan penculikan-penculikan yang dilakukannya, sengaja mengirim seorang muridnya yang dapat dipercaya untuk melakukan penyelidikan? Dia maklum bahwa di Siauw-lim-pai terdapat banyak orang pandai, maka dia tidak pernah berurusan dengan Siauw-lim-pai, bahkan memesan kepada para anak buah untuk menjauhkan diri dari permusuhan dengan partai itu. Akan tetapi Ketua Siauw-lim-pai yang mengambil langkah pertama memusuhi Thian-liong-pang, hemmm, dia pun tidak takut!
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang maklum akan maksud Ketuanya dan kata-kata Bun Beng yang dengan tepat membongkar niat Ketuanya membuat ia makin marah. Sambil menggereng ia telah menerjang maju, sengaja mengeluarkan jurus berbahaya untuk memaksa lawan muda itu mengeluarkan jurus simpanan dari Siauw-lim-pai agar dapat dilihat oleh Ketuanya. Memang apa yang dilontarkan oleh Bun Beng sebagai tuduhan tadi tepat sekali. Nirahai sengaja menculik tokoh-tokow kang-ouw, kemudian membius mereka dengan arak beracun, mengadu mereka untuk dapat mempelajari gerakan yang aseli dari jurus-jurus terlihai semua partai yang hanya dikenalnya bagian teorinya saja. Dia ingin memperdalam ilmu silatnya sedemikian rupa dalam persiapannya menghadapi suaminya, Suma Han atau Pendekar Siluman, juga Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es!
Menghadapi terjangan kakek gundul, Bun Beng terkejut. Hebat bukan main serangan lawannya yang menubruk dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dari atas dan bawah dengan getaran hawa yang membuktikan tenaga sin-kang kuat. Untuk menggunakan ilmu silat Siauw-lim-pai dia tidak mau, karena dia tidak ingin kalau Ketua Thian-liong-pang yang amat lihai itu "mencuri"
Jurus-jurus pilihan dengan melihat dia mainkan jurus itu. Akan tetapi terjangan kakek gundul yang menjadi lawannya benar-benar amat berbahaya. Maka ia cepat mengerahkan gin-kangnya dan hanya mengelak ke sana ke mari tanpa mainkan jurus pilihan Siauw-lim-pai! Untung bahwa dalam hal gin-kang, dia dapat mengatasi gerakan kakek itu sehingga sampai belasan jurus ia mampu menghindarkan semua terjangan kakek itu dengan hanya mengandalkan illmunya meringankan tubuh!
"Heh, kau masih keras kepala, ya?"
Chie Kang mendengus marah menyaksikan lawannya itu benar-benar tidak mengeluarkan jurus Siauw-lim-pai dan hanya mengelak ke sana-sini. Ia merobah serangannya, kini dia mengerahkan sin-kang dan menyerang dengan gerakan lambat, namun kedua tangannya mendatangkan angin yang bergulung-gulung menghadang semua jalan keluar Bun Beng! Pemuda itu terkejut, maklum bahwa menghadapi penyerangan seperti itu tidak mungkin baginya untuk hanya mengandalkan gin-kang saja. Maka ia berseru keras, tubuhnya melakukan gerakan aneh sekali, tubuhnya menyeruduk ke depan, kedua tangannya membentuk lingkaran-lingkaran aneh sekaligus menghalau semua serangan lawan dan berbalik kedua tangannya yang seolah-olah berubah menjadi banyak sekali itu mengirim pukulan dari semua penjuru!
"Aihhhh....!"
Chie Kang berteriak, berusaha mengelak namun tetap saja pundaknya terkena tangan Bun Beng sehingga ia terhuyung ke belakang, Bun Beng mendesak ke depan untuk mengirim pukulan yang akan merobohkan lawan. Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat, kedua tangan Bun Beng tertolak ke samping, dan sebelum Bun Beng sempat menjaga diri, tahu-tahu ia telah terguling roboh. Tubuhnya jatuh terlentang dan tahu-tahu kaki kiri Ketua Thian-liong-pang telah menginjak dadanya! Bun Beng merasa betapa kaki yang kecil itu seperti gunung beratnya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi, dan maklumlah pemuda ini bahwa sekali wanita itu mengerahkan tenaga, dadanya akan pecah! Namun dia tidak takut dan memandang dengan mata melotot.
"Bocah sombong! Dari mana engkau mempelajari ilmu tadi?"
Biarpun dia sudah tidak berdaya dan hanya menanti maut yang berada di telapak kaki wanita itu, namun Bun Beng merasakan kegirangan dan kepuasan besar karena ia mendapat kenyataan bahwa wanita sakti ini tidak mengerti jurusnya tadi!
"Ha-ha-ha-ha! Thian-liong-pangcu, mau bunuh, lekas bunuhlah. Siapa takut mati dan siapa takut padamu? Engkau memang pandai seperti iblis, akan tetapi juga menyeleweng dan jahat seperti iblis. Memang engkau iblis, kalau tidak, tentu engkau tidak akan menyembunyikan mukamu di belakang kerudung! Akan tetapi, biarpun engkau iblis sendiri yang masih belum puas dan ingin mencuri ilmu silat seluruh orang kang-ouw, tetap saja engkau tidak menang melawan Pendekar Siluman dari Pulau Es! Ha-ha-ha, engkau akan dipermainkan lagi seperti dulu di Sungai Fen-ho, seperti yang telah kusaksikan sendiri. Ha-ha-ha!"
Bun Beng merasa betapa kaki itu makin berat menindih dadanya. Ia memejamkan mata, menanti datangnya maut, akan tetapi kaki itu tidak menginjak terus, bahkan turun dari dadanya dan tiba-tiba rambutnya yang dikuncir itu terjambak, tubuhnya terangkat dan dipaksa bangkit. Ia kini berdiri di depan wanita itu, melihat sepasang mata di balik kerudung yang seolah-olah hendak memba-karnya.
"Siapa engkau? Siapa....?"
Wanita itu membentak, kini suaranya tidak halus merdu lagi, melainkan melengking nyaring penuh kemarahan.
"Aku akan mati, perlu apa menyembuyikan nama? Aku Gak Bun Beng...."
"Ya Tuhan....!"
Bun Beng mendengar suara ini dari atas anak tangga, akan tetapi dia tidak tahu siapa yang berseru kaget itu karena Ketua Thian-liong-pang di depannya tiba-tiba tertawa menghina.
"Hi-hik, kiranya anak haram, keturunan Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak datuk kaum sesat? Pantas.... pantas....! Engkau jahat, melebihi Ayahmu yang tidak sah. Manusia macammu ini tidak layak hidup!"
Nirahai mengangkat tangan kanannya, siap menghantam kepala Bun Beng. Sekali ini, karena Bun Beng sudah berdiri dan tidak seperti tadi, diinjak tak mampu berkutik, tentu saja tidak sudi mam-pus begitu saja tanpa melawan.
"Plakkk!"
Hantaman dengan telapak wanita itu berhasil dia tangkis dengan jurus Sam-po-cin-keng dan biarpun tubuhnya terlempar sampai lima meter jauhnya, ia berhasil menangkis dan tidak terluka. Dia sudah meloncat bangun lagi, siap melawan mati-matian.
"Pangcu....!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan berkelebatlah tubuh kakek bermuka singa menghadang tubuh Nirahai yang sudah berjalan menghampiri Bun Beng dengan mata berkilat penuh penasaran.
"Sai-cu Lo-mo, minggirlah engkau! Bocah ini harus kubunuh!"
Bentak ketuanya.
"Pangcu, ampunkanlah.... dia cucu keponakan saya, satu-satunya keturunan saya, bagaimana Pangcu tega untuk membasmi keturunan saya? Ampunkanlah, atau Pangcu bunuh saya sekalian!"
Mendengar ini, tiba-tiba lemaslah tubuh Nirahai dan ia memandang wajah pembantunya yang berlutut di depan kakinya. Bu Beng berdiri memandang dengan mata terbelalak! Dia cucu keponakan kakek bermuka singa itu?
"Sudahlah! Tidak dibunuh pun tidak mengapa, akan tetapi harus suka menjadi anggauta kita."
"Apa? Aku menjadi anggauta Thian-liong-pang, membantu kalian menculiki orang-orang gagah untuk dicuri kepandaiannya? Terima kasih, lebih baik mati!"
Bun Beng membentak sambil membanting kakinya penuh kemarahan. Sai-cu Lo-mo cepat meloncat ke depan Bun Beng sambil membentak penuh teguran.
"Gak Bun Beng, engkau tidak boleh berkata begitu! Engkau adalah cucu keponakanku sendiri, harus mentaati kata-kataku."
Bun Beng memandang kakek itu penuh perhatian.
"Locianpwe, sejak kapankah aku menjadi cucu keponakanmu dan siapakah Locianpwe?"
"Aku adalah Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, mendiang Ibumu Bhok Khim, adalah keponakanku."
Diam-diam Bun Beng merasa terharu. Baru sekali ini dia bertemu dengan orang yang ada hubungan keluarga dengannya, akan tetapi dia bertanya penuh rasa penasaran.
"Kalau benar demikian mengapa baru sekarang Locianpwe mengaku sebagai Paman Kakekku?"
Sai-cu Lo-mo menarik napas panjang.
"Engkau tidak tahu, Bun Beng. Aku telah berusaha merampasmu dengan mengirim anak buah Thian-liong-pang dahulu ke kuil tua, dekat Sungai Fen-ho, akan tetapi usahaku gagal, engkau dirampas oleh Pendekar Siluman dan diberikan kepada orang Siauw-lim-pai. Sekarang kebetulan sekali kita dapat berkumpul, engkau menurutlah, tinggal di sini menjadi anggauta kami, mempelajari ilmu dari Pangcu dan membuat jasa."
"Maaf, Kakek, hal ini tidak dapat kulakukan. Bukan sekali-kali aku tidak memandang perhubungan keluarga antara kita. Aku tahu engkau seorang yang baik dan telah berusaha menyelamatkan aku, akan tetapi untuk menjadi anggauta Thian-liong-pang aku tidak sudi. Terserah kepada Thian-liong-pangcu, hendak membebaskan aku bersama para tokoh kang-ouw di sini atau hendak membunuhku!"
"Sai-cu Lo-mo, mengingat dia cucu keponakanmu, aku tidak membunuhnya. Akan tetapi dia harus menjadi anggauta kita atau mati!"
Terdengar Nirahai berkata, suaranya dingin dan mengandung keputusan yang tidak dapat dibantah lagi. Sai-cu Lo-mo menjadi bingung sekali. Dia ingin menyelamatkan keturunannya ini, akan tetapi maklum bahwa pemuda ini memiliki keberanian dan kenekatan yang sukar ditundukkan dan ia maklum pula bahwa kalau Pangcunya marah, tidak ada seorang pun berani membantahnya. Lalu ia mendapatkan akal dan berkata.
"Pangcu, ampunkan saya dan ampunkan dia yang masih muda. Kalau dia tidak mau, biar dia kita tawan dan perlahan-lahan saya akan membujuknya."
Terdengar jawaban dengan suara kesal,
"Sesukamulah....."
Sai-cu Lo-mo menjadi girang sekali.
"Bun Beng, dengarlah betapa baiknya Ketua kita. Engkau menurutlah, Cucuku!"
"Maaf, aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang! Biarpun Ayahku yang tidak pernah kukenal itu disebut seorang datuk kaum sesat, namun aku bukanlah orang sesat!"
"Bocah bandel, kalau begitu aku akan menawanmu!"
Sai-cu Lo-mo membentak dan menubruk ke depan hendak menangkap Bun Beng. Akan tetapi, Bun Beng sudah mengelak cepat dan ketika kakek itu menyusul dengan serangan totokan untuk merobohkannya, dia cepat menangkis.
"Plak-plak!"
Bun Beng terpental ke belakang dan Sai-cu Lo-mo terhuyung. Diam-diam Bun Beng terkejut, maklum bahwa orang yang mengaku kakeknya ini memang memiliki kepandaian dan tenaga lebih hebat daripada kakek gundul yang berhasil ia kalahkan tadi. Di lain pihak, Sai-cu Lo-mo juga kagum. Kiranya cucu keponakannya ini benar tangguh, pantas saja sutenya kalah.
"Gak Bun Beng, berani engkau melawan kakekmu sendiri?"
"Aku tidak melawan seorang kakekku, melainkan melawan orang-orang Thian-liog-pang."
Jawab Bun Beng tegas.
"Engkau benar tak tahu diri dan sombong!"
Sai-cu Lo-mo kini menerjang dengan hebatnya. Bun Beng terpaksa menggerakkan kaki tangan melawan dan kembali dia menggunakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng. Begitu ia mainkan jurus-jurus aneh ilmu silat ini, Sai-cu Lo-mo mengeluarkan seruan kaget dan kakek ini terdesak hebat! Melihat gerakan pemuda itu Nirahai menjadi kagum dan tertarik sekali. Dia telah melihat dan mempelajari banyak macam ilmu silat tinggi, akan tetapi belum pernah ia me-nyaksikan ilmu silat tangan kosong seperti yang dimainkan pemuda itu. Sungguhpun gerak kaki pemuda itu mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang sudah matang, namun jurus itu bukanlah jurus ilmu silat Siauw-lim-pai.
"Wi Siang kau bantulah Lo-mo menangkap bocah itu, pancing sedapatmu agar dia mengeluarkan seluruh ilmunya,"
Bisiknya dengan tertarik sekali sambil duduk kembali ke atas kursinya untuk menon-ton dan mempelajari jurus-jurus yang dimainkan Bun Beng. Tang Wi Siang kini sudah mengenal Bun Beng sebagai anak yang dahulu pernah menolongnya ketika ia bertanding melawan Thai Li Lama di pulau Sungai Huang-ho dan hampir celaka oleh ilmu sihir Lama itu.
Dia meloncat dan menyerang Bun Beng dengan gerakan lincah sekali. Bun Beng terkejut. Dia maklum bahwa wanita ini memiliki gerakan yang cepat luar biasa dan mungkin lebih lihai daripada Sai-cu Lo-mo. Dan memang dugaannya benar, Tang Wi Siang menjadi orang yang paling disayang dan dipercaya oleh Nirahai di antara para pembantunya, maka wanita itu dia beri pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi daripada pembantu-pembantu lain, bahkan Tang Wi Siang telah dia beri Ilmu Silat Yancu-sinkun (Ilmu Silat Burung Walet) yang mengandalkan gerakan gin-kang tinggi sekali. Menghadapi Sai-cu Lo-mo saja dia sudah merasa berat, bukan hanya karena kakek itu lihai sekali, juga ia merasa enggan untuk melukai orang tua paman ibunya ini. Sekarang ditambah lagi dengan Tang Wi Siang, dia benar-benar menjadi terancam hebat.
Gerakan penyerangan Wi Siang demikian cepatnya seolah-olah kedua lengan wanita itu berubah menjadi enam dan karena Bun Beng harus menjaga jangan sampai ia tertawan oleh kakek itu, sebuah totokan tangan kiri wanita itu ke arah lehernya tak dapat ia elakkan lagi. Akan tetapi, ternyata tangan itu tidak dilanjutkan menotok, hanya mendorong pundaknya sehingga ia terpental dekat anak tangga. Ia meloncat lagi dan sekilas pandang ia melihat muka berkerudung Ketua Thian-liong-pang yang sedang memandangnya penuh perhatian, ia menjadi terkejut sekali dan sadar bahwa Tang Wi Siang yang turun membantu Sai-cu Lo-mo tentu hanya mendesaknya agar dia mengeluarkan semua jurus ilmunya, yaitu Sam-po-cin-keng dan Si Ketua itu hendak menyaksikan dan mencuri ilmu itu dengan jalan melihat gerakan-gerakannya!
Bun Beng adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu bahwa betapapun juga, dia takkan mampu menang karena kalau Si Ketua sendiri turun tangan, betapapun dia melawan akan percuma saja, maka dia mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan ilmunya agar tidak dicuri oleh Ketua itu. Tak mungkin engkau akan dapat mencuri jurus-jurus simpanan Siauw-lim-pai dan Sam-po-cin-keng, pikirnya dan kini ia melawan dengan gerakan sederhana sehingga dalam belasan jurus saja ia telah roboh tertotok oleh Sai-cu Lo-mo. Nirahai menjadi terkejut, penasaran, dan marah. Dia pun mengerti bahwa pemuda bandel itu sengaja tidak memperlihatkan jurus-jurus aneh itu, dan sengaja membiarkan dirinya tertangkap!
"Lempar dia ke dalam penjara di bawah tanah!"
Bentak Ketua Thian-liong-pang.
"Jangan keluarkan sebelum dia mentaati perintah!"
Sai-cu Lo-mo terkejut dan memandang Ketuanya. Akan tetapi sinar mata ketuanya jelas menyatakan tidak mau dibantah. Terpaksa Sai-cu Lo-mo diam saja melihat tubuh pemuda itu diseret oleh dua orang petugas yang membawa ke tempat tahanan di bawah tanah yang letaknya di sebelah belakang kompleks bangunan-bangunan sarang Thian-liong-pang. Biarpun tubuhnya sudah lemas tertotok, ketika ia diseret pergi, Bun Beng masih mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang,
"Lanjutkan pesta dan pertandingan!"
Dia merasa puas dapat menangkap kemarahan dan kejengkelan dalam suara itu. Dia telah kalah, dia telah gagal menolong para tokoh kang-ouw, namun sedikitnya dia telah berhasil membuat Ketua Thian-liong-pang kecewa, terhina dan marah-marah! Tahanan di bawah tanah itu amat menyeramkan.
Dua orang petugas yang kini menggotong tubuh Bun Beng, membawa pemuda itu memasuki lorong bawah tanah yang menurun melalui anak tanga batu. Lorong yang gelap dan di tiap tikungan terdapat pintu besi yang terjaga oleh dua orang anggauta Thian-liong-pang. Setelah melalui tujuh pintu, sampailah mereka di sebuah kamar tahanan dan tubuh Bun Beng dilempar ke dalam kamar ini. Bun Beng tidak memperhatikan tempat itu, juga tidak peduli ketika pintu kamar itu ditutup dari luar. Dia sibuk mengatur pernapasan, dan berusaha membebaskan totokan agar jalan darahnya mengalir normal kembali. Dia maklum bahwa tanpa usaha ini pun, akhirnya totokan itu akan punah, akan tetapi, hal itu akan makan waktu beberapa jam lamanya.
Akhirnya dia berhasil memulihkan kembali jalan darahnya dan ia bangkit duduk, bersila dan menghimpun tenaga karena mulai saat itu dia harus berlaku hati-hati dan tenaganya harus pulih untuk meghadapi segala kemungkinan. Kurang lebih sejam lamanya dia ber-siulian, tidak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Setelah tenaganya pulih dan batinnya tenang kembali, barulah Bun Beng menghentikan samadhinya dan membuka mata. Mula-mula yang ia dapati adalah bahwa kamar itu agak gelap, remang-remang dan lembab. Kemudian setelah membiasakan matanya dalam cuaca yang remang-remang itu, ia bangkit berdiri dan mulai menyelidiki kamar tahanan. Sebuah kamar berdinding batu yang lebarnya tiga meter persegi, langit-langitnya juga batu, tingginya dari lantai ada empat meter.
Tidak ada jendelanya, hanya terdapat sebuah pintu dari mana dia dilempar masuk. Pintu ini kecil hanya cukup dimasuki satu orang, dan terbuat dari baja tebal yang masuk ke dalam dinding batu. Kokoh kuat pintu itu, tak mungkin dibongkar. Bun Beng menarik napas panjang karena sekali pandang saja dia maklum bahwa tidak mungkin lolos dari tempat ini menggunakan tenaga membongkar pintu atau menjebol dinding. Harus mencari akal. Namun, andaikata dia dapat keluar, bagaimana ia dapat lolos dari Thian-liong-pang? Lorong itu saja mempunyai tujuh buah pintu yang terjaga, belum lagi diingat bahwa kalau dapat keluar dari lorong bawah tanah, di atas sana masih ada tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang lihai, terutama sekali Ketuanya!
"Aku harus bersabar dan melihat perkembangan selanjutnya,"
Akhirnya ia menghibur diri sendiri. Betapapun juga dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh, karena selain Sai-cu Lo-mo mengaku sebagai kakeknya itu tidak suka melihat keturunannya terbunuh, juga Ketua Thian-liong-pang agaknya ingin sekali mendapatkan ilmu silatnya, terutama sekali Sam-po-cin-keng! Betapapun, dia masih memiliki ilmu sebagai "modal"
Untuk hidup! Dengan pikiran ini, hatinya menjadi lebih tenang dan Bun Beng lalu mencari tempat duduk di lantai yang enak. Akan tetapi, mana ada tempat duduk yang enak? Lantai itu terbuat dari batu pula, kasar dan agak basah karena selalu ada air menitik turun dan di atas lantai tampak rangka-rangka manusia berserakan! Bun Beng mengerutkan keningnya. Ada tujuh buah tengkorak manusia di dalam kamar mereka itu.
Siapa tahu mungkin lebih banyak lagi, tersembunyi di balik batu-batu berlumut. Dia tidak peduli, akan tetapi, rangka-rangka manusia di situ memperingatkannya bahwa kalau dia tidak mentaati perintah Ketua Thian-liong-pang dan tidak mau menjadi anggautanya, tanpa dibunuh pun dia akan mati di tempat ini, seperti rangka-rangka itu! Akan tetapi, mungkinkah kakek muka singa yang telah berani mati membelanya itu akan membiarkan dia mati? Tidak! Dia tidak boleh mati kelaparan di tempat ini. Dia harus berusaha untuk keluar dari neraka ini. Mulailah Bun Beng melakukan penyelidikan. Mula-mula dia memeriksa pintu itu dan mencoba tenaganya. Namun segera mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin ia menjebol pintu yang amat kuat itu. Dia lalu memeriksa dinding batu. Dinding yang amat kokoh, batu bertumpuk dengan tanah yang keras.
Kokoh kuat tak mungkin dibongkar dengan tangan kosong. Siapa tahu, akan ada penjaga datang menyerahkan makanan, pikirnya. Kalau mereka, terutama kakek muka singa, tidak menghendaki dia mati, tentu mereka akan mengirim makanan dan minuman. Dia merasa yakin bahwa dia tidak akan dibiarkan mati begitu saja sebelum dlbujuk. Maka ia menghentikan pemeriksaannya dan kembali duduk di sudut kamar itu, bersila dan bersamadhi. Teringat ia akan semua pengalamannya di waktu kecil. Sudah berkali-kali, semenjak terseret oleh pusaran maut air Su-rgai Huang-ho, dia terancam bahaya maut, bahkan terpaksa harus hidup di antara sekumpulan monyet, dibawa terbang burung raksasa dan jatuh terlepas ke atas laut, namun selalu dia tertolong! Kalau Thian menghendaki, sekali ini pun dia tentu akan selamat.
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Teringat akan kekuasaan Tuhan, Bun Beng menjadi tenang. Manusia hidup tergantung dari kekuasaan Tuhan, mutlak dan seluruhnya! Tanpa kekuasaan Tuhan, manusia tak mungkin dapat hidup. Detak jantung yang memompa darah ke seluruh bagian tubuh, pernapasan yang memberi makan darah, semua berjalan otomatis tanpa dikuasai manusia. Dalam tidur sekalipun, detak jantung dan pompa paru-paru tetap bekerja, siapa yang mengerjakannya kalau bukan kekuasaan Tuhan? Dalam keadaan sunyi gelap menghadapi ancaman maut ini, perasaan Bun Beng makin dekat dengan kekuasaan Tuhan. Teringatlah ia akan wejangan-wejangan gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, akan kekuasaan Tuhan dan betapa lemahnya manusia, betapa tidak ada artinya. Ingin ia tertawa karena geli hatinya kalau teringat akan wejangan suhunya dahulu.
Bagaimana pula yang dikatakan gurunya itu akan kelemahan manusia? Orang yang merasa dirinya pandai dan berkuasa adalah sebodoh-bodoh orang, demikian antara lain gurunya pernah berkata. Manusia memiliki puluhan ribu rambut dan bulu di tubuhhya, namun mengatur pertumbuhan sehelai rambut atau bulunya saja dia tidak mampu! Jangankan mengatur pertumbuhan kuku, mengatur detak jantung, menentukan mati hidupnya! Hanya oleh kehendak dan kekuasaan Tuhan sajalah manusia dapat hidup dan mati! Pelajaran seperti ini memperkuat batin Bun Beng, memperbesar kepercayaannya kepada Tuhan sehingga dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya maut, karena ia sudah merasa yakin sepenuh-nya, bahkan sudah berkali-kali mengalaminya dalam hidup, bahwa apa pun yang terjadi, baru dapat terjadi apabila Tuhan menghendaki.
Kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat menghin-darkannya dari kematian. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki dia hidup, juga tidak ada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membuat dia mati! Apalagi hanya kekuasaan manusia, biar dia sesakti Ketua Thian-liong-pang sekalipun. Teringat akan semua ini Bun Beng tertawa. Ingin dia bertanya kepada Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu apakah dia mampu mengatur pertumbuhan rambut-rambutnya, tidak usah semua, sehelai saja! Betapapun juga, Tuhan takkan menolong manusia yang tidak berusaha menolong dirinya sendiri. Usaha atau iktiar merupakan kewajiban manusia yang sekali-kali tidak boleh dihentikan selama dia hidup. Adapun akan jadinya, terserah kepada kekuasaan Tuhan, akan tetapi dia harus berusaha menyelamatkan diri.
Kalau Tuhan menghendaki dia mati akan matilah dia. Mati dibunuh Ketua Thian-liong-pang, atau mati kelaparan di situ, atau mati dalam usahanya menyelamatkan diri, semua itu hanya dijadikan lantaran atau jalan, dipilih oleh Tuhan sebagai penyebab kematiannya. Pikiran ini membuat Bun Beng menjadi tenang sekali, sedikit pun dia tidak merasa khawatir karena hatinya telah bebas daripada keinginan hidup atau mati, sudah ia serahkan seluruhnya kepada keputusan Thian. Ia hanya memutar otaknya mencari jalan keluar, bagaimana harus menggunakan akal. Setelah keadaan di dalam kamar tahanan itu gelap pekat, tanda tentu di luar ada api penerangan yang dipadamkan, Bun Beng merebahkan dirinya, terlentang di atas lantai batu yang lembab dan tertidurlah dia karena hatinya tenang.
Sinar yang membuat keadaan gelap pekat itu menjadi remang-remang membangunkannya. Ia menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena cahaya yang kini sedikit menerangi kamar itu berbeda dengan cahaya semalam, cahaya matahari yang putih dengan cahaya lampu kemerahan. Sebuah kepala nampak di balik jeruji baja di bagian atas pintu. Kepala Sai-cu Lo-mo! Kemudian, tangan kakek itu diulurkan di antara jeruji, membawa dua potong roti kering yang panjang dan seguci air. Bun Beng dapat menangkap getaran suara penuh haru dan harap dalam kata-kata kakek itu. Ia menahan kilas pikiran untuk menangkap kedua lengan kakek yang diulur masuk melalui jeruji besi. Apa gunanya? Dia tidak akan dapat memaksa kakek ini, dan tidak dapat pula mencelakakannya. Ia menerima roti dan guci air.
"Terima kasih."
Tanpa berkata-kata lagi pemuda ini makan roti kering. Dua potong roti itu cukup baginya untuk mengenyangkan perutnya, kemudian ia minum air jernih yang menyegarkan tubuhnya. Selesai makan dan minum, Bun Beng yang melihat kakek itu masih berdiri di luar pintu dan sejak tadi memandangnya bertanya.
"Sampai berapa lama aku akan ditahan di sini? Apakah makanan dan minuman diberi racun perampas ingatan agar aku suka membuka rahasia ilmu silat untuk dipelajari Pangcumu?"
Sai-cu Lo-mo menggeleng kepalanya.
"Tidak, Bun Beng. Engkau adalah cucuku, engkau dianggap sebagai orang sendiri, tidak perlu Pangcu mempelajari ilmumu yang kelak akan ditukar dengan ilmu yang lebih tinggi oleh Pangcu sendiri. Bun Beng, tidak tahukah engkau bahwa kami bermaksud baik kepadamu? Engkau cucuku, hanya satu-satunya, maka engkau tidak akan dibunuh. Kalau engkau suka menjadi anggauta Thian-liong-pang, engkau malah akan memperoleh kedudukan tinggi, sesuai dengan kepandaianmu."
Bun Beng menggeleng kepala. Biarpun dia harus berusaha meloloskan diri, akan tetapi tak pernah terpikir olehnya menukar keselamatannya dengan merendahkan diri menjadi anggauta Thian-liong-pang yang ia anggap amat jahat dan keji!
"Percuma saja engkau membujuk. Aku tidak akan suka menjadi angauta Thian-liong-pang, hanya untuk menyelamatkan nyawaku. Kalau aku berhasil keluar dari sini, aku tetap akan menentang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw."
"Ahhh, engkau tidak tahu, Bun Beng. Pangcu adalah seorang yang bijaksana, sama sekali bukan orang jahat. Bahkan dia telah merobah Thian-liong-pang dari kesesatannya, kembali ke jalan benar. Kalau dia melakukan penculikan atas diri tokoh-tokoh kang-ouw itu sekali-kali bukan dengan niat mencelakakan mereka, melainkan hendak mempelajari dan menyaksikan jurus-jurus rahasia mereka yang telah diketahui Pangcu bagian teorinya saja. Kemudian mereka dibebaskan kembali. Pangcu adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat!"
"Hemmm, kalau memang sakti, mengapa masih ingin mencuri ilmu orang-orang lain?"
"Pangcu tidak akan menggunakan ilmu-ilmu itu, hanya ingin menghimpun, kemudian menciptakan ilmu baru untuk menandingi kehebatan To-cu Pulau Es."
Bun Beng mengerutkan keningnya.
"Justeru itulah yang aku tidak suka! Aku kagum dan suka kepada Pendekar Siluman yang aku yakin adalah seorang yang selain sakti, juga amat bijaksana. Kalau Pangcumu memusuhi Pendekar Siluman, sudah pasti sekali aku berpihak kepada Majikan Pulau Es itu!"
Sai-cu Lo-mo kelihatan berduka.
"Aihh, Bun Beng. Mengapa engkau menyusahkan hati seorang tua seperti aku? Apa perlunya engkau mencampuri segala urusan yang tiada sangkut-pautnya denganmu? Engkau menyerah dan taatlah, dan aku bersumpah bahwa kelak engkau tidak akan menyesal. Akan kau lihat sendiri kebaikan Thian-liong-pang!"
"Maaf, aku tetap tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang."
"Bun Beng, engkau tidak akan dapat keluar dari sini. Jalan satu-satunya adalah mentaati Pangcu dan aku hanya diperbolehkan membujukmu selama tiga hari. Kalau selama itu engkau belum menurut, engkau akan menjadi tahanan di sini selamanya! Dan engkau.... engkau akan mati dengan sia-sia...."
"Menyesal sekali. Aku lebih memilih bahaya mati daripada harus menuruti kehendak Pangcumu yang seperti iblis itu!"
Kakek itu menghela napas panjang, kemudian pergi dengan muka berduka. Selama tiga hari terus-menerus datang dan membujuk, namun tetap saja Bun Beng tidak mau menuruti bujukannya. Bahkan pemuda itu kini tekun dengan penyelidikannya. Dibongkarnya batu-batu di lantai di antara tulang-tulang rangka manusia dan ia menemukan sebuah kapak bergagang panjang. Tentu ini merupakan senjata dari seorang di antara mereka yang telah menjadi rangka itu.
Kemudian ia memeriksa dinding, dinding di sebelah kanan pintu lebih berlumut dan dingin sekali. Kalau ia menempelkan telinganya di situ, mendengar bunyi air berkerosok. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa tentu dinding ini yang paling tipis sehingga dia dapat mendengar bunyi air bergerak. Akan tetapi mengapa ada air di balik dinding ini? Setelah hari ke tiga dan kakek muka singa menghabiskan bujukannya dengan sia-sia, kakek itu tidak muncul lagi. Setiap malam ada seorang penjaga melemparkan roti kering dan guci air ke dalam kamar tahanan. Dan mulailah Bun Beng bekerja. Dengan kapak gagang panjang itu dimulai membongkar batu dinding kanan sekuat tenaga. Dia bekerja setelah penjaga melemparkan makanan. Setelah menghabiskan roti dan air, mulailah dia menghantami dinding batu dengan kapaknya. Dia mempunyai waktu sehari semalam lamanya.
Besok malam, barulah ada penjaga datang untuk memberi makanan dan minuman. Dia harus berhasil selama sehari semalam ini, karena kalau tidak, tentu penjaga akan melihatnya dan dia akan ketahuan, yang berarti gagal! Bun Beng bekerja dengan semangat menyala-nyala. Tak pernah sedetikpun ia berhenti dan dia tidak mempedulikan kedua telapak tangannya yang sudah lecet-lecet dan otot-otot lengannya yang menggelepar-gelepar di dalam daging. Ia terus menghantamkan kapaknya dan satu demi satu batu dinding dapat ia bongkar, batu itu keras sekali dan semalam suntuk dia hanya dapat membongkar sedalam satu meter. Namun belum tampak tanda-tanda bahwa dinding itu telah menipis! Pada keesokan harinya Bun Beng masih terus bekerja, dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, seluruh pikiran, perhatian, dan tenaga dikerahkan untuk menghantami batu-batu dengan kapaknya.
Dia tidak tahu berapa lama dia bekerja, hanya bahwa dia harus berlomba dengan waktu. Betapapun juga, hatinya mulai risau ketika dinding yang tadinya jelas itu mulai tampak suram tanda bahwa hari telah mulai sore dan sebentar lagi malam akan tiba dan berarti Si Penjaga akan datang mengantar roti dan air. Dia akan ketahuan dan akan gagal! Teringat akan ini, Bun Beng memperhebat ayunan kapaknya, menghantam dinding batu yang kini sudah ia gali sedalam dua meter lebih, tingginya seukur-an tubuhnya. Batu-batu berserakan di dalam kamar itu, ia tendang-tendangi sehingga bertumpuk di kanan-kiri dan belakangnya. Malam tiba. Kegelapan cuaca kini diterangi seberkas cahaya kemerahan, sinar lampu penerangan seperti biasa. Tak lama lagi penjaga tentu muncul.
Bun Beng menghentikan kapaknya yang menjadi panas karena terus menerus menghantam batu keras. Dia terduduk, terengah-engah dan menghapus peluh sambil mengasah otak. Bagaimana sekarang? Dinding terkutuk itu tidak juga dapat ia tembus, agaknya setebal perut gunung! Dan Si Penjaga sebentar lagi datang! Akan terbuang sia-sialah usahanya yang mati-matian selama sehari semalam! Tubuhnya penat sekali, perutnya lapar dan kerongkongannya kering, haus. Lapar dan haus! Teringat akan ini, Bun Beng meloncat bangun dan lari ke pintu, menempelkan tubuhnya ke pintu yang lebarnya hanya sebesar orang. Kedua lengannya ia keluarkan dari celah-celah jeruji baja, mukanya ia tempelkan pada jeruji dan matanya mengerling ke arah datangnya penjaga. Ketika ia melihat penjaga datang membawa roti dan guci air, Bun Beng berteriak-teriak memaki,
"Penjaga keparat! Mengapa begitu lama? Aku sudah kelaparan dan hampir mati kehausan! Hayo cepat bawa roti dan air itu ke sini! Keparat jahanam engkau!"
Penjaga itu berhenti dan tertawa.
"Ha-ha-ha, orang muda. Jangan kira aku tidak tahu akan akal bulusmu!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bun Beng mendengar ini. Ia makin merapat pada jeruji pintu, menutupi seluruh celah jeruji uengan kedua lengan di kanan-kiri mukanya.
"Apa.... apa maksudmu?"
Kembali penjaga itu tertawa dan berdiri agak jauh sehingga Bun Beng tidak akan mampu menjangkau dengan tangannya.
"Ha-ha-ha, apa kau kira aku bodoh? Engkau tentu ingin agar aku mendekat sehingga engkau dapat menangkapku dan membunuhku, bukan?"
Rasa lega menyelubungi hati Bun Beng. Ia membentak,
"Memang aku ingin sekali mencekik lehermu dan mematahkan tulang punggungmu!" "Jangan mimpi, aku lebih cerdik dari-mu. Begitu melihat engkau di pintu, aku sudah curiga karena biasanya engkau tidak mengacuhkan roti dan air yang kubawa untukmu. Tentu engkau hendak menggunakan akal, pikirku, maka aku tidak mau mendekat. Nah, nih, kau tangkap roti dan airmu. Ha-ha-ha!"
Penjaga itu melemparkan roti dan guci air ke arah kedua tangan Bun Beng. Dengan sengaja Bun Beng bergerak lambat. Roti dapat ditangkapnya, akan tetapi guci air itu luput dan jatuh ke atas lantai di luar pintu, airnya tumpah.
"Jahanam, lekas ambilkan air untukku. Aku haus sekali!"
Bun Beng berteriak-teriak akan tetapi penjaga itu tertawa.
"Rasakan kau!"
Katanya sambil berjalan pergi! Bun Beng cepat mengambil kapaknya dan lupa makan. Dia mulai lagi bekerja, hatinya lega. Dia telah dapat memperpanjang waktu usahanya sehari semalam lagi! Batu-batu itu mulai mudah dibongkar karena tanahnya lembek dan basah, bahkan kini ada air menetes-netes memasuki kamar. Dia menggali terus penuh semangat. Pada keesokan harinya lewat pagi, air yang menetes makin banyak, bahkan kini jelas terdengar bunyi riak air. Bun Beng mengapak terus, tampak ada batu bergerak, kapaknya terayun ke arah batu itu dan....
"krasak-krasak byuuuurrrr."
Bun Beng cepat meloncat ke samping, melempar kapaknya dan mepet pada dinding dekat lubang yang kini tiba-tiba pecah menjadi lebar terdorong oleh masuknya air seperti dituang. Bun Beng berdiri mepet dinding dengan muka pucat. Bahaya yang datang mengancamnya ini tidak kalah mengerikan. Memang benar dia telah berhasil membobol dinding, akan tetapi ternyata di belakang dinding itu adalah air yang entah berapa banyaknya, yang kini membanjiri kamar tahanan.
Bun Beng tidak mau panik, dan otaknya bekerja cepat. Kalau dia menerobos lubang itu, tidak mungkin dia kuat menghadapi tenaga air yang menerjang masuk, maka ia hanya mepet dinding dekat lubang sambil mencengkeram dinding batu dengan kedua tangannya. Dia maklum bahwa kalau kamar itu telah penuh, air akan terus menerobos keluar melalui celah-celah jeruji pintu. Akan tetapi, mengingat bahwa lubang itu tidak begitu besar dan air yang menerobos tidak banyak, maka tekanan air dari luar lubang dinding tentu tidak begitu besar. Maka dengan kenekatan luar biasa, Bun Beng menanti sampai kamar itu penuh, air naik dengan cepatnya sampai ke leher, dia memejamkan mata dan mengum-pulkan napas sepenuh paru-parunya sambil menanti. Bun Beng memang cerdik.
Kalau dia panik dan berusaha keluar dari lubang dinding selain air menerjang masuk, tentu dia akan terseret dan terbanting kembali sehingga membahayakan keselamatannya. Sebentar saja air menjadi penuh dan Bun Beng yang telah tenggelam di dalam air itu merasa betapa dorongan air dari lubang dinding yang jebol itu tidak begitu kuat lagi. Cepat ia melepaskan cengkeraman tangannya pada dinding, berenang ke arah lubang dengan tangan meraba-raba karena ketika ia membuka matanya, dia tidak dapat melihat apa-apa, air itu keruh dan akhirnya ia dapat meraba dinding yang jebol. Ia merangkak, berpegangan pada pinggiran lubang, terus merayap keluar lubang itu. Ketika ia meluncur ke depan, tubuhnya terdorong ke atas dan tahulah dia bahwa dia berada di air yang dalam, entah telaga, sungai atau laut!
Tak mungkin lautan, pikirnya, karena air tidak asin. Dia membiarkan dirinya meluncur ke atas, bahkan membantu dengan kaki tangannya karena dia harus dapat tiba di permukaan air. Dadanya seperti akan meledak karena sudah terlalu lama dia menahan napas! Betapa girang hati Bun Beng ketika akhirnya kepalanya tersembul di permukaan air. Ia membuka mulut dan menghisap napas banyak-banyak sampai dadanya terasa nyeri. Ia terengah-engah, berganti napas dan membuka kedua matanya. Kiranya ia telah tiba di permukaan sebuah sungai yang amat lebar, sungai yang selain lebar juga dalam, dan airnya keruh. Demikian lebarnya sungai itu sehingga dari tempat ia muncul, yaitu di tengah-tengah, ia melihat kedua tepinya jauh sekali.
"Aduhh....!"
Tiba-tiba secara otomatis Bun Beng mengerahkan sin-kang membuat kakinya keras karena kakinya terasa digigit sesuatu dari bawah. Ia dapat menahan gigitan itu dengan sin-kangnya yang membuat kaki kirinya kebal, akan tetapi kini mahluk yang menggigitnya itu meronta dan hendak menyeretnya ke bawah. Bun Beng menjadi marah. Cepat ia menarik kakinya dan tampaklah seekor ikan menggigit kakinya itu. Ikan yang besar sekali, sebantal besarnya.
"Ikan keparat!"
Bun Beng membentak dan menendangkan kakinya. Ikan itu mencelat karena gigitannya terlepas dan karena dia tidak dapat tahan lama di atas permukaan air. Akan tetapi kini Bun Beng melihat suara hiruk pikuk di kanan-kirinya, air berguncang dan suaranya berkecipak, tampaklah kepala-kepala dan ekor-ekor banyak ikan besar mengurungnya dan menyerangnya dari depan, kanan-kiri dan belakang! Bun Beng makin mendongkol. Dia mengenal ikan-ikan ini, semacam ikan lele yang tidak bersisik, kulitnya licin halus, kepalanya bulat mengkilap dan matanya seperti mata orang yang licik, gerakannya cepat sekali.
Biasanya ikan macam ini merupakan bahan hidangan yang lezat, baik dipanggang maupun dimasak atau digoreng sekalipun. Biasanya melihat seekor ikan seperti ini di darat menimbulkan selera. Akan tetapi pada saat itu, agaknya selera ikan-ikan itulah yang timbul melihat tubuh Bun Beng! Dan ikan-ikan ini, berbeda dengan yang biasanya dilihat Bun Beng, amatlah besarnya. Belum pernah ia melihat ikan lele sedemikian besarnya, biasanya hanya sebesar betis. Mungkin bukan ikan-ikan lele, karena tidak mempunyai kumis! Bun Beng tidak memusingkan ikan apa-apa yang mengeroyoknya dan dia mulai mengamuk. Dengan tangan kanan, ia memukul seekor ikan yang menyerangnya dari depan sehingga tubuh ikan itu terlempar jauh di atas air, kemudian kaki tangannya bekerja memukul dan menendang ikan-ikan itu.
"Aupp....!"
Karena lupa bahwa dia bukan sedang berada di darat, maka begitu dia main silat di air, tubuhnya tenggelam dan dia gelagapan. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya dan kini setelah tubuh atasnya timbul, ia hanya menggunakan kedua tangan saja untuk memukul dan mendorong ikan-ikan itu, sedangkan kedua kakinya dia pergunakan untuk menahan tubuhnya agar tidak tenggelam. Bun Beng adalah seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi, dan kalau hanya dikeroyok oleh ikan-ikan seperti itu saja, agaknya dia akan dapat mengalahkan para pengeroyoknya dengan mudah. Akan tetapi itu kalau di darat. Kalau di air, dialah yang repot sekali.
Kepandaiannya berenang di air amat terbatas, bukan termasuk ahli, tentu saja dibandingkan dengan ikan-ikan yang memang hidupnya di air dia kalah jauh dan sebentar saja Bun Beng menjadi gelagapan dan sudah beberapa kali tubuhnya terkena gigitan ikan-ikan kelaparan itu. Celaka, keluhnya. Baru saja terbebas dari kamar neraka, dia sudah diancam bahaya air, dan baru saja dia terbebas dari ancaman itu, kini dia kembali menghadapi maut di mulut ikan lele! Benar-benar menyebalkan bahaya yang sekali ini mengancamnya. Betapa tidak menyebalkan kalau dia harus mati di mulut ikan-ikan lele! Padahal, semestinya ikan-ikan lele itulah yang mati di mulut manusia. Betapa memalukan, seorang pendekar mati dikeroyok ikan lele! Tidak, dia tidak mau mati begitu remeh! Bun Beng melawan sedapatnya sambil berusaha berenang ke tepi sungai itu.
Tiba-tiba terdengar lengking nyaring disusul suara berkelepaknya sayap. Bun Beng mendengar ini, akan tetapi dia tidak dapat mengalihkan perhatiannya terhadap pengeroyokan ikan-ikan itu. Sekali ia memutar tubuh menghantam seekor ikan dengan tangan kanannya, membuat ikan itu terlempar dalam keadaan mati karena kepalanya pecah. Tiba-tiba saja, seperti munculnya tadi, ikan-ikan itu menyelam dan lenyap, kecuali beberapa ekor yang telah menjadi bangkai. Dan sebelum Bun Beng sempat sadar akan datangnva bahaya lain, tahu-tahu pundaknya terasa nyeri dan tubuhnya melayang ke atas! Bun Beng terkejut sekali. Tubuhnya melayang tinggi dan di atas terdengar kelepak sayap burung! Ia memandang ke atas dan tepat seperti yang ia duga dan khawatirkan, pundaknya telah dicengkeram oleh kaki seekor burung rajawali yang besar dan ia dibawa terbang tinggi sekali!
"Sialan!"
Bun Beng menyumpahi dirinya. Terlepas dari mulut ikan lele, kini masuk ke dalam cengkeraman rajawali raksasa yang buas! Mengapa dirinya selalu ditimpa kemalangan dan diancam bahaya maut yang mengerikan? Teringat ia akan pengalamannya dahulu ketika ia diterbangkan seekor burung dan dia bersembunyi di dalam keranjang.
Dia memandang penuh perhatian dan keningnya berkerut. Celaka! Burungnya yang itu, itu juga! Burung rajawali milik Pulau Neraka! Tak salah lagi, dia mengenal modelnya. Wah, wah, kalau burungnya ada, tentu pemiliknya ada. Bocah laki-laki menjemukan itu, bocah iblis yang keji dan sadis! Sekarang tentu sudah menjadi seorang pemuda, dan tentu lebih kejam daripada dahulu. Hampir saja Bun Beng memukul kalau saja dia tidak ingat bahwa dia bukan di atas tanah. Ia melirik ke bawah dan menjadi ngeri. Burung itu terbang tinggi sekali sehingga sungai yang besar itu kini tampak jelas seperti seekor naga jauh di bawah. Dan burung itu tidak lagi berada di atas sungai. Kalau dia memukul dan terlepas dari cengkeraman, tentu dia akan jatuh terbanting ke atas tanah dan remuk semua tulangnya!
Pendekar Super Sakti Eps 16 Pendekar Super Sakti Eps 30 Kisah Pendekar Bongkok Eps 10