Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 57


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 57



"Hi-hikk...."

   Syanti Dewi menutupi mulutnya.

   "Tek Hoat, kau kenapa? Apakah kau masih dalam mimpi?"

   Puteri itu menegur sambil tersenyum.

   "Kau meman-dang aku seperti selama hidup baru sekali ini kita saling bertemu."

   Tek Hoat tersadar, menarik napas panjang akan tetapi tidak mampu melepaskan pandang matanya yang melekat pada wajah itu.

   "Kau.... kau cantik jelita luar biasa, Dewi...."

   Katanya dengan sejujurnya. Warna merah menjalar naik dari leher yang berkulit putih halus itu, terus menjalar ke pipi dan akhirnya seluruh muka puteri itu menjadi kemerahan.

   "Ihh! Kau memang perayu!"

   Celanya sambil jalan menghampiri.

   "Kau sekarang sudah kelihatan sehat, Tek Hoat. Mukamu sudah merah, tidak pucat lagi seperti kemarin."

   Tek Hoat tersenyum dan turun dari atas jerami kering yang ditumpuknya di situ dan selama ini dijadikan tempat tidurnya, sedangkan tempat tidur Sang Puteri berada di sebelah dalam sehingga dia dapat menjaganya. Dia menggerak-gerakkan kedua lengannya dalam gerakan silat sehingga terdengar suara angin menyambar-nyambar dahsyat.

   "Aku memang sudah sembuh, berkat perawatanmu yang amat teliti, Dewi. Ah, betapa besar budimu dan entah bagaimana aku akan da-pat membalasnya. Kalau dalam kehidupan sekarang aku tidak akan mampu membalasmu, biarlah dalam kehidupanku yang lain kelak, aku akan menjilma menjadi anjing atau kuda untuk mengabdi kepadamu."

   Syanti Dewi tertawa dan menutup mulutnya.

   "Wah, lagu lama itu! Apakah kau percaya bahwa di dalam kehidupanmu yang lain kelak engkau akan menjelma menjadi anjing atau kuda? Bagaimana kalau kau menjelma menjadi.... tikus misalnya? Bagaimana kau akan mengabdi kepadaku dalam bentuk tikus?"

   "Wah, ini.... repot kalau jadi tikus!"

   Tek Hoat menggaruk belakang telinganya karena bingung.

   "Binatang itu hanya pandai merusak!"

   "Kalau begitu, lebih baik jangan janji apa-apa. Tek Hoat, kau tidak perlu berpikir yang bukan-bukan. Engkau sudah berkali-kali menolong dan menyelamatkan aku, bahkan dengan pengorbanan dirimu sampai hampir tewas. Engkau sekarang baru saja sembuh dari luka-luka yang kau derita justeru ketika engkau menolongku, dan sekarang engkau bicara tentang budi?"

   Tek Hoat menghela napas dan menatap wajah yang jelita itu dengan pandang mata mesra.

   "Dewi, betapapun juga aku hanyalah seorang...."

   "Cucu dari Pendekar Super Sakti!"

   "Hemm.... kalau betul cerita itu, dan itu pun hanya cucu tiri dan putera seorang penjahat pemerkosa! Sedangkan engkau.... seorang puteri raja, puteri bangsawan luhur dan agung...."

   "Tek Hoat, apakah semua yang keluar dari mulutmu dalam kereta dahulu itu, yang keluar di waktu kau dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak mungkin kau buat-buat, apakah semua itu palsu belaka...."

   "Aihh, tidak....!"

   "Kalau begitu, apakah cinta kasih itu mengenal tingkat, mengenal kedudukan, mengenal kaya miskin?"

   "Aku cinta padamu! Hal ini tidak dapat kusangkal lagi, Dewi. Aku cinta padamu dan aku rela mati untukmu, akan tetapi kau...."

   Syanti Dewi menarik napas panjang dan membalikkan tubuhnya.

   "Sudahlah, aku tidak senang kalau kau bersikap seperti ini. Kau mandilah sana, aku akan mencari buah di sebelah kanan kuil...."

   Dan puteri itu lalu berlari kecil meninggalkan Tek Hoat yang termenung sejenak, kemudian pemuda ini pun keluar dari kuil melalui pintu belakang, menuju ke sumber air di belakang kuil. Setelah membersihkan diri dia kembali ke dalam kuil.

   "Dewi.... pujaan hatiku...."

   Tiba-tiba dia terbelalak kaget. Ketika dia mema-suki kuil, dia melihat bayangan wanita dan mengira dia Syanti Dewi, akan tetapi ketika dia menegur dengan mesra dan wanita itu membalik, ternyata wanita itu sama sekali bukan Syanti Dewi, melainkan Puteri Milana! Sang Puteri perkasa ini memandangnya dengan marah! Memang marahlah hati Puteri Milana. Dia baru saja mendengar dari Bun Beng bahwa adiknya, Suma Kian Bu, jatuh cinta kepada Syanti Dewi.

   Sebagai seorang kakak perempuan, tentu saja dia mengharapkan agar adiknya bahagia dan benar-benar kelak dapat mempersunting Syanti Dewi yang dianggapnya memang sudah cukup patut menjadi isteri adiknya itu. Akan tetapi di hutan ini dia mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan oleh Tek Hoat. Dia sudah tahu pemuda macam apa adanya Tek Hoat, yang pernah menjadi kaki tangan pemberontak, bahkan yang telah merusak nama Gak Bun Beng dengan perbuatan-perbuatan jahat dan menggunakan nama Si Jari Maut alias Gak Bun Beng. Kini, dia menemukan mereka dan begitu pemuda itu masuk, dia mendengar Tek Hoat mengeluarkan kata-kata seperti itu yang tentu ditujukan kepada Syanti Dewi yang sedang keluar memetik buah-buahan. Tentu saja Milana menjadi marah bukan main, marah dan cemburu demi adiknya!

   "Keparat, engkau memang manusia busuk!"

   Puteri Milana memaki dan memandang tajam. Tek Hoat adalah seorang yang berhati keras pula. Dia sudah merasa bahwa dia memang bukan orang baik-baik, akan tetapi dia tidak mau merendah karena kenyataan itu, dan dia tidak mau orang lain menekan-nekan soal itu yang amat menyakitkan hatinya.

   "Sang Puteri, kalau sudah tahu aku seorang manusia busuk, kenapa paduka datang ke sini? Aku tidak mengundangmu."

   "Jahanam, kau keturunan Wan Keng In, malah lebih jahat daripada ayahmu! Manusia macam kau memang tidak patut dikasihani lagi!"

   "Kalau paduka berpendapat begitu, dan mau membunuhku, silakan, aku pun tidak takut terhadap siapa pun, dan tidak takut untuk mati!"

   Tek Hoat menjawab sambil melangkah keluar dari dalam kuil yang sempit. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi, maka dia harus mencari tempat yang lebih luas. Ucapan Tek Hoat itu diterima oleh Milana yang sedang marah mengingat betapa pemuda ini menculik puteri yang dicinta adiknya, sebagai suatu tantangan, maka dengan cepat dia meloncat keluar pula dan langsung menerjang Tek Hoat dengan pukulan yang amat dahsyat.

   "Plak.... desss....!"

   Keduanya terhuyung ke belakang. Milana terkejut. Tangkisan pemuda itu benar-benar amat hebat, dan tingkat tenaga pemuda itu tidak di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Hal ini membuat dia makin penasaran dan wanita perkasa ini sudah menerjang dengan hebat sekali, gerakannya cepat laksana burung walet dan dahsyat seperti seekor naga betina mengamuk.

   "Manusia busuk....!"

   Milana berteriak keras saking penasaran karena belasan jurus kemudian belum juga dia memperoleh kemenangan, maka dia lalu menge-rahkan Swat-im Sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es dan dengan pengerahan tenaga mujijat ini dia menghantam. Jurus yang dilakukan oleh Milana ini memang dahsyat sekali sehingga tidak dapat dielakkan lagi, maka terpaksa Tek Hot menangkisnya kembali dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang dilatihnya dari kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka.

   "Bresss....!"

   Kembali keduanya terpental. Tek Hoat agak menggigil karena merasa betapa hawa dingin menyusup ke dadanya, namun dengan pengerahan sin-kang, dia berhasil mengusirnya, sedangkan Milana terhuyung-huyung saking hebatnya getaran yang menyambut pukulan dahsyatnya. Jelas bahwa dalam pertemuan tenaga hebat ini, keadaan Puteri Milana kalah unggul!

   "Sumoi, minggirlah!"

   Tiba-tiba terdengar suara Gak Bun Beng. Pendekar ini tentu saja marah sekali melihat Tek Hoat bertanding dengan kekasihnya, dan pertandingan itu saja sudah meyakinkan hatinya bahwa tentu Tek Hoat telah menculik Syanti Dewi, kalau tidak tentu Milana tidak akan menyerangnya. Sementara itu, ketika Tek Hoat melihat Gak Bun Beng, kebenciannya yang telah ditanamkan oleh ibunya sejak kecil, timbul kembali. Sejak kecil dia sudah yakin benar bahwa Gak Bun Beng inilah musuh besarnya, pembunuh ayahnya! Biarpun akhir-akhir ini dia mendengar hal yang sama sekali berbeda dari keterangan Syanti Dewi, namun dia masih belum dapat menerima sepenuhnya dan kini melihat Gak Bun Beng membela Milana menghadapinya, timbul kebenciannya dan wajahnya berubah beringas!

   "Bagus, memang saat inilah yang kutunggu-tunggu!"

   Tek Hoat menggereng dan dia segera menerjang ke depan dengan kedua lengan didorongkan, telapak tangan terbuka dan dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan Inti Bumi yang amat dahsyat ke arah Bun Beng. Bun Beng pernah mengenal hawa pukulan dari kedua tangan Tek Hoat, maka dia pun tidak berani memandang rendah. Dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan kedua tenaga Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang, tiga tenaga mujijat digabung menjadi satu, disalurkan kepada dua lengannya dan dia pun menangkis.

   "Blarrr....!"

   Dua tenaga mujijat yang jauh lebih kuat daripada ketika Tek Hoat melawan Milana tadi bertemu dan akibatnya tubuh Tek Hoat terjengkang, sedangkan Bun Beng hanya melangkah mundur dua tindak. Dalam keadaan biasa pun tingkat Tek Hoat masih belum mampu menandingi tingkat Bun Beng, apalagi dalam keadaan baru saja sembuh dari luka-luka hebat. Akan tetapi Tek Hoat yang merasa dadanya sesak itu sudah meloncat bangkit kembali dengan mata mendelik saking marahnya. Pada saat itu, terdengar seruan nyaring,

   "Paman Gak Bun Beng....!"

   Bun Beng menoleh dan berseru girang,

   "Dewi....!"

   Syanti Dewi menjatuhkan buah-buah yang dibawanya, lalu berlari-larian sambil air matanya bercucuran akan tetapi mulutnya tersenyum lebar menghampiri Bun Beng yang saking girangnya melihat puteri itu selamat juga sudah menyambut dengan kedua lengan terbuka.

   "Paman....!"

   Syanti Dewi menubruk dan mereka berangkulan, Syanti Dewi terisak di atas dada Bun Beng dan pendekar ini mengusap-usap rambut kepala Sang Puteri.

   Rasa gembira yang spontan memang tak dapat dipikirkan lebih dulu sehingga Bun Beng dan Syanti Dewi lupa bahwa di situ terdapat dua orang lain yang memandang pertemuan mesra dan bahagia ini dengan hati.... mendongkol! Puteri Milana sudah maklum betapa Syanti Dewi pernah jatuh cinta kepada Gak Bun Beng, maka terasa agak panas juga perutnya melihat kekasihnya berpelukan itu, se-dangkan Tek Hoat tentu saja merasa dadanya seperti dibakar, apalagi melihat bahwa yang dipeluk oleh puteri yang dicintanya itu adalah musuh besarnya! Kalau Milana diam saja melihat adegan itu karena dia pun maklum bahwa tidak ada apa-apa yang tidak wajar dalam pertemuan antara dua orang itu, sebaliknya Tek Hoat tak dapat menahan kemarahannya.

   "Gak Bun Beng manusia pengecut! Hayo kau lawan aku!"

   Mendengar ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan melepaskan pelukannya, menoleh dan memandang Tek Hoat dengan mata terbelalak.

   "Tek Hoat, jangan gila kau....!"

   Akan tetapi kata-kata Syanti Dewi ini seperti merupakan minyak yang menyiram api kemarahan di hati Tek Hoat, karena dianggapnya Syanti Dewi membela dan memihak kepada Gak Bun Beng. Maka begitu melihat Syanti Dewi sudah terlepas dari Bun Beng, serta merta dia menyerang dengan dahsyat dan ganas. Tentu saja Bun Beng yang telah waspada itu cepat meloncat mundur, akan tetapi Tek Hoat terus mengejar dan menyerangnya dengan dahsyat seperti seekor kerbau gila mengamuk sehingga mau tidak mau Bun Beng terpaksa harus me-layaninya dan mereka pun saling pukul dan saling tangkis!

   "Paman Gak.... jangan bunuh dia.... ja-ngan lukai dia.... dia telah menyelamatkan aku dari bahaya...."

   Syanti Dewi berteriak-teriak dan kelihatan gelisah sekali melihat pertempuran antara dua orang itu. Milana memandang tajam kepada Syanti Dewi dan naluri kewanitaannya membuat dia melihat sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Kiranya Puteri Bhutan ini jatuh cinta kepada Tek Hoat, pikirnya. Kenyataan ini amat pahit baginya karena dia maklum bahwa adiknya tidak mempunyai harapan. Dan kabenciannya kepada Tek Hoat mereda ketika mendengar pengakuan Syanti Dewi bahwa pemuda itu tidak menculiknya, bahkan malah menolongnya. Demikian pula Gak Bun Beng segera meloncat ke belakang.

   "Orang muda, tahan dulu!"

   "Lebih baik mati!"

   Tek Hoat yang masih marah itu tidak peduli, melihat Gak Bun Beng meloncat mundur dia pun segera menerjang lagi dan mendesak dengan pukulan-pukulan maut.

   Terpaksa Bun Beng melayaninya dengan bingung. Andaikata tidak ada seruan-seruan yang meminta kepadanya agar jangan melukai Tek Hoat, tentu Bun Beng dapat merobohkan lawannya dengan pukulan-pukulan sakti, akan tetapi kini Bun Beng tidak mau melakukan hal itu, hanya menjaga diri, menangkis atau mengelak tanpa membalas. Tentu saja dia mulai menjadi kewalahan karena pemuda itu telah menjadi nekat dan agaknya hendak mengadu nyawa. Memang Tek Hoat telah menjadi nekat. Tadinyapun dia sudah merasa tidak berharga berdekatan dengan puteri yang dicintanya, kini munculnya dua orang pendekar hebat itu membuat dia merasa makin tidak berharga lagi, ditambah panasnya hati menyaksikan wanita yang dicintanya berpelukan demikian bahagia dengan orang yang dibencinya.

   Ketika pertandingan itu masih berlangsung dengan serunya, datang pasukan yang dipimpin oleh Jayin, yang mendengar bahwa Sang Puteri telah ditemukan. Jayin dan pasukannya menjadi bingung melihat dua orang itu bertanding, akan tetapi atas isyarat Puteri Syanti Dewi, mereka mundur lagi dan tidak berani mencampuri. Berkali-kali Syanti Dewi minta kepada Tek Hoat untuk menyudahi serangannya, namun pemuda yang sudah nekat ini seperti tidak mendengar suaranya. Melihat ini, diam-diam Puteri Milana melolos sabuknya dan pada saat untuk ke sekian kalinya Tek Hoat mengadu tenaga dengan Bun Beng dan pendekar ini menggunakan tenaga saktinya untuk membuat kedua tangan pemuda itu melekat pada tangannya, tiba-tiba Milana menggerakkan sabuknya dan sabuk itu seperti hidup membelit-belit dan mengikat tubuh dan kedua tangannya sehingga Tek Hoat tidak mampu bergerak lagi.

   "Lepaskan aku dan kita bertempur sampai mati! Atau bunuh saja aku!"

   Tek Hoat meronta-ronta.

   "Gak Bun Beng manusia busuk! Engkau yang telah membuat ibuku menderita selama hidupnya! Terkutuk engkau....!"

   Syanti Dewi menubruk dan memegang kedua lengan Tek Hoat.

   "Tek Hoat, ingat. Siapa aku? Aku minta kau diam dan mendengarkan penjelasan. Ke manakah perginya sifatmu yang baik itu? Apakah kau ingin membuat aku berduka, Tek Hoat?"

   Pemuda itu memandang wajah Sang Puteri, mukanya menjadi pucat, dua titik air mata meloncat turun dan dia menunduk.

   "Dewi...."

   Dia memejamkan matanya dan menggigit bibirnya. Mereka kini duduk di dalam kuil, sedangkan Jayin dan pasukannya menanti di luar. Dengan sabar dan tenang Gak Bun Beng bercerita kepada Tek Hoat yang telah dilepas ikatannya dan lengannya dipegang oleh Syanti Dewi. Pegangan puteri ini sebetulnya malah lebih kuat daripada ikatan sabuk Puteri Milana, karena Tek Hoat menjadi jinak dan tidak mengamuk lagi. Dia menunduk dan mendengarkan penuturan Gak Bun Beng dengan hati tidak karuan rasanya. Setelah Gak Bun Beng menceritakan bahwa dia bukanlah musuhnya seperti yang diduga oleh Ang Siok Bi, ibunya, Milana juga lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ang Siok Bi dan betapa ibunya kini pun sudah insyaf akan kekeliruannya yang amat besar dan mendatangkan akibat yang hebat itu.

   "Akan tetapi.... masa ibuku begitu bodoh sehingga mudah saja ditipu oleh penjahat yang bernama Wan Keng In itu....?"

   Tek Hoat membantah dengan ragu-ragu.

   "Tek Hoat, kau lihat aku!"

   Puteri Milana tiba-tiba berkata.

   "Kau sedikit banyak sudah mengenal aku, bukan? Apakah aku seorang yang mudah ditipu? Dan aku masih terhitung saudara tiri dari Wan Keng In, juga aku adalah masih sumoi dari Gak-suheng. Akan tetapi toh aku juga tertipu seperti ibumu sehingga aku sendiri, bersama ibumu dan wanita lain yang juga menjadi korban Wan Keng In, kami mengeroyok Gak-suheng sehingga Gak-suheng terjerumus ke dalam jurang dan disangka mati oleh ibumu. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali, tak pernah bertemu dengan kami sehingga belum juga tahu akan kekeliruan sangka itu. Sampai engkau muncul dan melakukan tindakan yang menjadi akibat fitnah itu."

   "Tek Hoat, sudah kukatakan kepadamu bahwa Paman Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berhati mulia, tidak mungkin melakukan kekejaman seperti itu. Kau telah salah sangka dan ibumu pun demikian...."

   Kata Syanti Dewi. Tiba-tiba Tek Hoat menutupi mukanya, lalu menjambak-jambak rambutnya.

   "Dan aku.... aku telah.... menodai namanya...., persis seperti yang dilakukan oleh ayahku yang jahanam itu!"

   Dia bangkit dan melotot.

   "Aku tidak layak hidup! Dewi, aku tidak layak hidup, apalagi berdekatan de-nganmu."

   "Tek Hoat....!"

   Melihat pemuda itu seperti orang beringas, Syanti Dewi menubruknya.

   "Tek Hoat, jangan.... jangan nekat.... kau.... adalah sebaik-baiknya orang bagiku...."

   "Tidak, Dewi. Aku orang jahat...."

   Dia masih meronta. Bun Beng bangkit dan memegang kedua pundak pemuda itu, mengguncangnya dan berkata dengan nada keras,

   "Tek Hoat, beginikah sikap seorang jantan? Begini pengecutkah engkau sehingga kau menjadi putus harapan? Semua orang di dunia ini pasti pernah melakukan penyelewengan. Siapakah di antara kita yang tidak pernah keliru dalam tindakan dalam hidup kita? Yang penting adalah menyadari kesalahan itu, karena hanya kesadaran saja yang akan mendatangkan perubahan. Bersikaplah gagah, tenagamu yang muda masih dibutuhkan oleh manusia dan dunia, dan terutama sekali, kau lihat, Puteri Syanti Dewi amat membutuhkanmu."

   Tek Hoat terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng, kemudian menoleh ke arah Syanti Dewi, dan lemaslah seluruh tubuhnya. Dia mengangguk-angguk, menarik napas panjang.

   "Baiklah.... baiklah...., aku menyerah dan menurut.... akan tetapi aku harus mendengar sendiri keterangan itu dari ibuku...."

   Bagaikan seekor harimau yang telah berubah menjadi seekor domba jinak, Tek Hoat menurut saja diajak keluar menemui Jayin dan pasukannya, dan dia tidak pernah membantah ketika diajak oleh Syanti Dewi untuk menemui ayahnya yang menanti dengan cemas di dalam perkemahannya di hutan.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan ini tiba di perkemahan Raja Bhutan. Mendengar bahwa puterinya telah ditemukan dalam keadaan selamat, Raja Bhutan menjadi girang dan tergopoh-gopoh dia keluar dari tendanya menyambut sendiri. Syanti Dewi menjerit dan lari menghampiri ayahnya. Mereka berpelukan dan Syanti Dewi tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, sedangkan Sri Baginda juga mengusap air matanya dan mengelus-elus kepala puterinya, mendekapnya ketat seolah-olah takut kehilangan puterinya lagi. Setelah mendengar penuturan Panglima Jayin bahwa tiga orang dari timur itu, ialah Puteri Milana, Gak Bun Beng, dan Ang Tek Hoat telah banyak berjasa dalam menyelamatkan Puteri Syanti Dewi, Sri Baginda Kerajaan Bhutan berterima kasih sekali.

   Dengan wajah berseri dia menghaturkan terima kasih dan mengundang mereka bertiga untuk berkunjung dan menjadi tamu kehormatan di Kerajaan Bhutan. Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari Raja Bhutan yang amat berterima kasih itu, Gak Bun Beng dan Puteri Milana merasa sungkan untuk menolak, sedangkan Tek Hoat yang hanya tunduk kepada pandang mata Puteri Syanti Dewi juga tidak banyak cakap lagi. Pada keesokan harinya, berangkatlah rombongan Raja Bhutan ini, hendak kembali ke kota raja, diiringkan oleh tiga orang tamu itu. Gak Bun Beng dan Puteri Milana saling bemufakat untuk singgah beberapa hari di kota raja Bhutan dan kemudian melanjutkan usaha mereka mencari Kian Bu yang lenyap jejaknya itu, kemudian setelah dapat bertemu dengan adik itu, bersama-sama akan pergi menghadap ke Pulau Es.

   Akan tetapi, jauh di luar dugaan mereka dan dugaan Raja Bhutan sendiri, perjalanan yang diliputi kegembiraan karena Sang Puteri telah bertemu dengan ayahnya itu ternyata menghadapi ancaman yang hebat! Rombongan yang megah ini sedang bergerak perlahan dan tidak tergesa-gesa melalui sebuah daerah terbuka, dan Raja Bhutan yang berkuda di sebelah puterinya itu, tiba-tiba terkejut melihat datangnya seorang perajurit yang berlari-larian dari depan dan serta merta menjatuhkan diri berlutut di tengah jalan menghadang rombongan itu! Mula-mula Panglima Jayin yang meng-hampiri dan marah-marah menegur perajurit Bhutan yang membawa tombak itu, akan tetapi begitu mendengar pelaporan perajurit yang ternyata merupakan seorang kurir atau utusan dari komandan pasukan penjaga kota raja, Panglima Jayin terkejut sekali dan membawa kurir itu menghadap Sri Baginda sendiri.

   "Mohon paduka mengampunkan hamba yang datang mengganggu tanpa dipanggil,"

   Utusan itu berlutut dan menjawab pertanyaan Sri Baginda.

   "Hamba diutus oleh komandan untuk mengabarkan bahwa kota raja kini sedang dikurung oleh pasukan-pasukan besar dari para kepala suku liar dan dipimpin sendiri oleh Tambolon. Jumlah pasukan mereka besar sekali dan kota raja telah dikurung sehingga rombongan paduka hendaknya tidak melanjutkan perjalanan ke sana karena pintu masuk telah dikurung semua oleh pihak musuh."

   "Hemm, Si Tambolon keparat!"

   Sri Baginda berseru marah.

   "Apa kehendaknya sekali ini?"

   "Maaf, Sri Baginda. Dengan terang-terangan Tambolon menyatakan bahwa dia menuntut agar Sang Puteri diserahkan kepadanya."

   "Ayah.... kedatanganku ternyata hanya mendatangkan malapetaka saja....!"

   Syanti Dewi berseru kaget.

   "Hemm, jangan kau berkata demikian, anakku. Jayin, hentikan rombongan dan kumpulkan semua panglima dan perwira, juga undang tiga orang tamu agung kita untuk diajak berunding."

   Rombongan berhenti dan perkemahan didirikan di tempat itu. Kemudian Raja Bhutan mengadakan perundingan dengan para panglimanya, juga dihadiri oleh Puteri Syanti Dewi, Puteri Milana, Gak Bun Beng dan Tek Hoat. Dengan wajah serius Sri Baginda membicarakan ancaman bahaya yang me-ngepung Bhutan itu, kemudian berkata kepada tiga orang tamunya,

   "Untuk menyelamatkan kerajaan, kami sangat mengharapkan bantuan Anda bertiga."

   "Bibi Milana, Paman Gak Bun Beng, saya harap Bibi dan Paman dapat membantu Ayah,"

   Syanti Dewi juga berkata dengan suara khawatir melihat ayahnya begitu gelisah. Puteri Milana adalah seorang yang ahli dalam hal perang, maka dengan tenang dia lalu bertanya kepada Panglima Jayin,

   "Menurut pelaporan, berapakah kira-kira jumlah para pengepung dan bagaimana keadaan kekuatan para penjaga di kota raja?"

   "Menurut pelaporan, para pengepungan berjumlah banyak sekali dan sudah menduduki empat penjuru menutup pintu-pintu gerbang yang menghubungkan kota raja dengan daerah luar,"

   Jawab Panglima Jayin.

   "Sayang bahwa Panglima Sangita juga berada di sini mengawal Sri Baginda sehingga para pasukan di kota raja kehilangan panglima tertinggi. Oleh karena itu, biarlah saya akan berusaha menyelundup ke kota raja agar dapat memimpin pasukan di sebelah dalam."

   "Usul itu tepat,"

   Kata Panglima Sangita yang tua.

   "Biarpun pasukan yang sekarang mengawal Sri Baginda tidak besar, namun ini merupakan pasukan pengawal istimewa. Dengan menggempur mereka dari luar dan dalam, biarpun jumlah pasukan kita kalah besar, akan tetapi tentu akan dapat mengacaukan mereka."

   "Kalau menurut pendapat saya, yang terpenting adalah menjamin keselamatan keluarga Sri Baginda dan pertahanan kota raja."

   Puteri Milana berkata dengan tenang.

   "Kehadiran Sri Baginda di kota raja amat diperlukan, karena hal itu tentu akan menambah semangat para pasukan. Maka, jika usul saya dapat diterima, kita harus mengusahakan agar Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi dapat diselundupkan masuk ke dalam kota raja sehingga dapat memperbesar semangat pasukan."

   "Akan tetapi, hal itu tentu akan terlalu berbahaya bagi keselamatan Sri Baginda!"

   Panglima Sangita membantah dengan nada khawatir.

   "Tidak lebih berbahaya daripada berada di luar kota dan hanya dikawal oleh pasukan sebanyak ini,"

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gak Bun Beng berkata.

   "Baiknya pihak musuh belum tahu bahwa Sri Baginda dan Sang Puteri berada di luar kota raja, kalau tahu, saya kira mereka sekarang pun sudah mengerahkan barisan untuk mengepung dan menyerbu. Tanpa adanya benteng yang melindungi, menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih besar sungguh berbahaya sekali. Saya setuju sekali dengan usul Puteri Milana untuk menyelundupkan Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi memasuki kota raja."

   Panglima Jayin dan Panglima Sangita hanya saling pandang dengan ragu-ragu, karena mereka tahu betapa berbahaya menerobos kepungan musuh mengantar Sri Baginda memasuki kota raja yang terkepung itu. Akan tetapi Sri Baginda yang kelihatan termenung itu segera dipeluk oleh puterinya dan berkata,

   "Ayahanda harus menaruh kepercayaan yang sepenuhnya kepada Bibi Puteri Milana dan Paman Gak Bun Beng. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang saya percaya dapat melakukan apapun juga."

   Sri Baginda menghela napas panjang.

   "Baiklah, kami hanya mengandalkan bantuan Anda bertiga untuk membantu kami."

   Dia tidak melewatkan Tek Hoat karena dia pun sudah mendengar bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa pula.

   "Bagaimana sebaiknya diatur hal ini, Puteri Milana?"

   Puteri Milana mengerutkan alisnya dan memejamkan mata, membayangkan keadaan kota raja Bhutan yang terkepung musuh yang dipimpin oleh Tambolon, raja liar itu. Dia belum tahu bagaimana letak dan keadaan kota raja Bhutan, maka sukarlah dia membayangkan cara bertahan yang paling baik. Akhirnya dia berkata,

   "Kita menanti sampai malam ini, dan saya sendiri bersama Gak-suheng dan Panglima Jayin akan menyelundupkan paduka dan Puteri Syanti Dewi ke dalam kota raja. Adapun pasukan pengawal dipimpin oleh Panglima Sangita dan Tek Hoat diam-diam melakukan pengawalan sambil bersembunyi. Syukur kalau penyelundupan ke dalam kota raja itu tidak ketahuan musuh. Andaikata sampai ketahuan, pasukan pengawal harus cepat menyerbu dan membikin kacau untuk memecah perhatian musuh sehingga memudahkan kita masuk ke kota raja."

   "Akan tetapi setiap pintu gerbang sudah dikepung musuh, bagaimana kita dapat masuk?"

   Sri Baginda menyatakan kekhawatirannya.

   "Paduka akan saya pondong, dan biarlah Puteri Syanti Dewi dipondong oleh Sumoi dan kami bawa paduka berdua meloncat tembok benteng."

   "Wah, begitu tingginya....?"

   Sri Baginda terkejut.

   "Ayah, percayalah kepada Paman Gak dan Bibi Milana. Mereka memiliki kepandaian seperti dewa,"

   Kata Syanti Dewi gembira, sedikit pun tidak merasa takut.

   "Dan dengan adanya pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, kita boleh berbesar hati, Ayah. Kita pasti dapat memasuki kota raja dengan selamat."

   Tek Hoat tadinya ingin mengajukan keberatan karena dia tidak ingin mencampuri urusan Kerajaan Bhutan, apalagi setelah dia kini melihat kenyataan bahwa sungguh tidak mungkin baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya terhadap seorang puteri seperti Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan yang tercinta dan berkedudukan amat tinggi. Kalau menurut keinginan hatinya, dia ingin mencari ibunya, ingin kembali kepada ibunya dan mendengar sendiri dari ibunya tentang riwayat ibunya yang sebenarnya. Akan tetapi, mendengar ucapan Syanti Dewi dan terutama sekali ketika mereka bertemu pandang, Tek Hoat tidak mungkin dapat menolak dan dia hanya berkata,

   "Hamba akan membela dengan taruhan nyawa hamba."

   "Akan tetapi engkau tidak boleh nekat, Tek Hoat,"

   Milana berkata mendengar ucapan pemuda itu.

   "Engkau sudah pernah memimpin pasukan ketika terjadi keributan di utara, maka aku percaya bahwa engkau tentu akan dapat membantu Panglima Sangita mengatur pasukan pengawal itu menjadi barisan terpendam dan hanya bergerak kalau perlu saja. Menyerbu mati-matian padahal jumlah musuh jauh lebih banyak hanya merupakan perbuatan nekat yang konyol."

   Tek Hoat tidak menjawab, akan tetapi mengangguk. Maka bersiaplah mereka dan setelah malam tiba, berangkatlah lima orang itu berindap-indap melalui tempat-tempat gelap menuju ke kota raja yang masih agak jauh letaknya dari tempat itu.

   Sangita dan Tek Hoat memimpin pasukan yang disebar dan melakukan pengawalan rahasia dari kanan kiri dan belakang dan Tek Hoat sendiri mendahului perjalanan untuk mengadakan penyelidikan tentang keadaan penjagaan musuh yang mengepung kota raja. Setelah Milana dan Gak Bun Beng yang mengawal raja dan puteri, ditemani Panglima Jayin tiba dekat dengan tembok kota raja, Tek Hoat menyambut mereka dengan laporan bahwa menurut penyelidikannya, tidak mungkin melakukan penyelundupan dekat pintu gerbang yang sudah dikurung ketat dan di setiap tempat dekat pintu gerbang musuh sudah memasang barisan yang terdiri dari regu anak panah dan bahkan regu alat-alat peledak yang tentu akan membahayakan keselamatan raja dan puterinya.

   "Akan tetapi di sepanjang tembok benteng di selatan, melalui sungai yang curam, pengepungan tidaklah begitu ketat karena daerah itu amat terjal dan sukar sehingga selain melelahkan bagi musuh juga agaknya mereka anggap tidak penting. Saya kira hanya melalui tembok selatan itulah penyelundupan dapat dilakukan dengan lebih aman."

   Puteri Milana mengangguk-angguk.

   "Tek Hoat, bagus sekali laporanmu ini. Kau cepat mengerahkan barisan pendam di sekitar tembok selatan dan kau lihat saja. Kalau kau melihat kami dalam kesukaran, baru kau boleh menggerakkan pasukan untuk mengacau musuh dan membagi perhatian serta kekuatan mereka. Kalau tidak perlu, jangan sekali-kali bergerak."

   "Baik,"

   Kata Tek Hoat dan dia memandang ke arah Puteri Syanti Dewi yang seperti juga Sri Baginda dan yang lain telah menyamar sebagai orang-orang biasa. Sejenak, di bawah sinar bintang-bintang di angkasa yang samar-samar, mereka saling pandang, kemudian Syanti Dewi lalu digendong oleh Milana dan Raja digendong oleh Gak Bun Beng. Tembok benteng itu bertingkat-tingkat, dan di tingkat paling atas terdapat penjaga-penjaga yang selalu siap dengan anak panah mereka. Sedangkan tembok di bagian selatan ini terlindung oleh sebatang sungai yang amat curam, dan karena sukarnya tempat ini, maka pasukan anak buah Tambolon yang mengurung kota raja hanya menjaga di tepi-tepi sungai sambil bersembunyi.

   Oleh karena itu, maka dengan mudah Gak Bun Beng dan Milana yang menggendong raja dan puterinya menyusup dan menuruni sungai yang curam itu mendekati tembok, diikuti oleh Panglima Jayin yang berkepandaian tinggi itu. Akhirnya mereka tiba juga di dekat tembok dan dengan bingung Panglima Jayin memandang ke atas. Tembok benteng itu demikian tingginya, bagaimana mungkin membawa Raja dan puteri naik ke atasnya tanpa diketahui oleh pihak musuh? Dia sendiri tidak akan sanggup untuk meloncat ke bagian tembok yang paling rendah saja, apalagi sampai ke tingkat paling tinggi. Sunyi sekali tampaknya di sekeliling tempat itu, akan tetapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana maklum bahwa di belakang mereka, di sungai curam yang kelihatan gelap dan sunyi itu, tentu ter-dapat pihak musuh yang siap menyerbu dan menyerang mereka dengan anak panah kalau sampai kehadiran mereka diketahui.

   "Sumoi, biar aku membawa Sri Baginda naik lebih dulu dan kau melindungi aku dari belakang. Kalau dilakukan secara berbareng, tentu tidak dapat kita melakukan perlindungan dengan sempurna."

   "Memang aku pun berpikir begitu, Suheng. Nah, aku sudah siap. Syanti Dewi, kau bersembunyi dulu di sini bersama Panglima Jayin sementara kami menyelamatkan ayahmu ke dalam benteng."

   Panglima Jayin lalu mengajak Syanti Dewi untuk bersembunyi di dalam rumpun alang-alang agak menjauh dari tempat itu. Dari tempat persembunyian ini mereka mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan.

   "Sudah siap, Sumoi?" "Sudah, Suheng,"

   Kata Milana sambil mencabut keluar pedangnya. Tak lama kemudian Gak Bun Beng yang menggendong Raja Bhutan meloncat ke atas tembok pertama, disusul oleh Milana yang memegang pedang. Bayangan mereka nampak seperti dua ekor burung terbang dan dengan penuh kagum Jayin dan Syanti Dewi melihat betapa mereka telah berhasil hinggap dan berdiri di atas tembok pertama.

   Dengan sigap seperti dua ekor kucing saja, dua orang sakti itu kembali bergerak meloncat ke atas ke tembok tingkat dua. Tiba-tiba kelihatan sinar api dari atas tembok tingkat empat dan terdengar ribut-ribut para penjaga yang telah melihat bayangan mereka dan tentu saja para penjaga itu mengira bahwa mereka adalah pihak musuh yang hendak menyelundup masuk. Terdengar tanda bahaya dipukul dan di atas benteng muncul kepala banyak orang yang menjenguk ke bawah. Keributan ini agaknya terlihat oleh pihak musuh. Segera tampak kesibukan di luar tembok dan anak-anak panah mulai meluncur secara gencar dari luar tembok, ditujukan kepada dua bayangan itu karena pihak pengepung maklum bahwa ada orang yang akan menyelundup ke dalam benteng.

   "Hati-hati, Suheng. Aku menjaga serangan dari belakang!"

   Milana berseru dan pedangnya sudah diputar cepat dan semua anak panah yang menyerang dari pihak musuh dapat ditangkisnya dengan mudah. Sedangkan Bun Beng sendiri juga sudah cepat menggerakkan kedua lengan bajunya untuk menangkis anak panah yang sudah datang pula dari atas dan depan, yaitu dari pihak penjaga Bhutan! Mereka diserang dari depan dan belakang!

   "Sumoi, cepat meloncat ke tingkat tiga!"

   Bun Beng berseru dan dengan pengerahan tenaga gin-kangnya, dia sudah melayang ke atas diikuti oleh Milana yang memutar pedangnya.

   "Trang-tranggg....!"

   Bun Beng berhasil tiba di atas tembok tingkat tiga dengan Raja Bhutan di gendongannya. Milana tetap menjaga di belakangnya dan karena kini datangnya anak panah dari bawah amat lebat, puteri ini sibuk juga mclindungi Raja yang berada di punggung Bun Beng.

   "Haiii.... para penjaga! Yang datang adalah raja kalian!"

   Bun Beng berteriak ke atas akan tetapi karena di tingkat paling atas itu para penjaga gempar dan bising, maka teriakan Bun Bung ini tidak terdengar nyata dan dari atas kini datang pula serangan anak panah dan batu! Dengan tangkas Bun Beng menangkisi semua senjata itu, dan Raja Bhutan sendiri menyumpah-nyumpah.

   "Betapa tololnya mereka!"

   Dia memaki.

   "Mereka tidak tahu bahwa paduka yang datang, Sri Baginda. Biarlah saya merayap ke atas, harap paduka berpegang kuat-kuat."

   "Naiklah, Suheng. Aku akan melindungimu dari belakang."

   Milana berkata.

   "Cepat, karena serangan dari bawah makin gencar dan aku melihat mereka itu sudah keluar dari tempat persembunyian mereka."

   Gak Bun Beng tidak berani meloncat ke tingkat paling atas, karena selain tingkat itu tinggi, juga di situ sudah siap para penjaga yang tentu akan menyerang dengan membuta dan hal ini amat berbahaya. Maka dia lalu menggunakan sin-kangnya, dan mulailah pendekar ini memanjat tembok itu seperti seekor cecak!

   Puteri Milana dengan pedang di tangan tetap melindunginya dan menangkisi semua senjata yang meluncur dari bawah, sedangkan para penjaga di atas menjadi bingung dan tidak dapat melihat Bun Beng yang merayap mepet di tembok. Dari atas mereka itu hanya menyerang Puteri Milana sehingga Sang Puteri harus memperlihatkan kehebatan permainan pedangnya yang menangkisi hujan anak panah yang datang dari bawah dan atas. Ketika tiba di tingkat paling atas benteng itu, Gak Bun Beng menghadapi ujung-ujung tombak dan pedang yang sudah nampak dari bawah! Karena suara hiruk-pikuk para penjaga di atas dan teriakan-teriakan para musuh di bawah, maka seruan Raja Bhutan sendiri tidak terdengar oleh para penjaga.

   Pada saat itu terdengarlah bentakan-bentakan nyaring dari bawah. Puteri Milana terkejut ketika melihat ada bayangan orang yang meloncat ke atas tembok tingkat pertama dengan gerakan yang ringan dan gesit seskali, terus orang itu berloncatan ke tingkat dua dan agaknya hendak mengejar Gak Bun Beng. Karena dia dihujani anak panah dari atas dan bawah, dia tidak dapat mencegah orang itu yang kini dengan loncatan-loncatan cepat telah mengejar Bun Beng yang masih merayap sambil menggendong Raja Bhutan! Akhirnya Puteri Milana dapat juga memukul runtuh semua anak panah dan cepat dia pun meloncat ke arah bayangan itu. Namun terlambat, karena bayangan orang kurus itu telah melayang ke arah Gak Bun Beng yang masih merayap seperti cecak sambil berseru,

   "Bunuh Raja Bhutan!"

   Bun Beng terkejut, maklum bahwa ada lawan menyerangnya sambil meloncat ke udara, serangan yang ditujukan kepada tubuh Sang Raja di atas punggungnya. Maka dia pun cepat menoleh dan pada saat itu dia mendengar teriakan Milana,

   "Suheng, lemparkan beliau ke sini!"

   Bun Beng maklum akan bahaya serangan orang yang agaknya cukup lihai itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memegang kedua lengan Raja Bhutan yang merangkul lehernya, melepaskan rangkulan dan melemparkan tubuh Raja ke arah Milana. Raja itu tentu saja terkejut sekali dan mengeluarkan keluhan panjang, karena kalau tubuhnya sampai terjatuh ke bawah sana, tentu akan hancur lebur. Akan tetapi, sepasang lengan yang kecil kuat, dengan tangan yang halus, menerima tubuhnya dengan mudah dan tahu-tahu dia sudah berdiri di atas tembok tingkat tiga, dipegangi oleh Puteri Milana. Tubuh Raja menggigil.

   "Harap paduka tenang...."

   Milana berkata dan pedangnya menyampok beberapa batang anak panah. Sementara itu, orang kurus yang me-nyerang tadi telah disambut oleh dorongan tangan Bun Beng.

   "Desss....!"

   Begitu tangan mereka bertemu, orang itu terpental dan terdengar dia mengeluarkan lengking kematian yang mengerikan ketika tubuhnya terlempar ke bawah yang gelap dan amat dalam itu. Bun Beng terpaksa melanjutkan usahanya merayap ke atas. Dia dipapaki tombak dan pedang namun dengan mudah dia menangkis semua senjata itu sehingga runtuh dan dia cepat berseru,

   "Kami adalah orang-orang sendiri! Kami menghantar Sri Baginda naik ke benteng, harap bantu beliau naik!"

   Mendengar ini, barulah terkejut para penjaga.

   Tadinya mereka juga terheran-heran melihat ada orang berani naik ke benteng seperti itu dan melihat betapa yang berusaha naik itu diserang oleh anak panah musuh juga. Gak Bun Beng lalu meloncat turun lagi untuk menjemput Sri Baginda dan kini dari atas benteng dihujankan senjata ke arah musuh yang menyerang dari bawah. Hujan anak panah ini membuat serangan dari bawah mereda dan dengan mudah Bun Beng membawa Sri Baginda ke atas tembok yang disambut dengan sorak girang oleh para penjaga. Milana sudah meloncat turun, disusul oleh Bun Beng yang sudah berhasil menyelamatkan Raja Bhutan. Kini Syanti Dewi dipondong oleh Milana, dan dilindungi oleh Gak Bun Beng yang membantu Jayin naik pula ke tembok benteng. Berkat perlindungan Bun Beng, semua anak panah dari bawah dapat diruntuhkan dan akhirnya mereka semua berhasil tiba di atas benteng dengan selamat.

   Sorak sorai gemuruh menyambut kedatangan Raja, puteri dan Panglima Jayin di atas benteng dan bangkitlah semangat semua perajurit Bhutan, apalagi setelah menyaksikan kelihaian Puteri Milana dan Gak Bun Beng. Malam itu juga Sri Baginda lalu mengajak dua orang tamu agungnya itu berunding, dan pimpinan bala tentara diserahkan kepada Puteri Milana yang memang ahli dalam soal perang. Panglima Jayin menjadi pembantunya dan Milana lalu mengatur bagaimana penjagaan harus dilakukan menghadapi pengepungan pihak musuh. Dia juga minta kepada Panglima Jayin agar melepas mata-mata dan penyelidik untuk mengetahui keadaan musuh, di bagian mana adanya pengepungan yang paling kuat dan di mana pula yang paling lemah, berapa banyak adanya kekuatan musuh dibandingkan dengan kekuatan sendiri.
(Lanjut ke Jilid 56)

   Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 56
Kerajaan Bhutan adalah sebuah kerajaan yang beragama Buddha, maka banyak pendeta Buddha yang bertugas di istana. Mereka ini oleh Milana dimanfaatkan untuk menghibur para penduduk kota raja, dan juga semua laki-laki yang berada di kota raja diharuskan ikut pula menjadi tentara suka rela, sedangkan yang wanita diharuskan mengatur agar ransum yang terdapat di kota raja dapat dihemat pemakaiannya. Pendeknya, segala persiapan untuk menghadapi musuh yang telah mengurung benteng kota raja dipersiapkan dengan teliti oleh Puteri Milana dan diatur malam hari itu juga. Ternyata berita bahwa Raja Bhutan dan puterinya secara luar biasa malam tadi dapat menyelundup ke dalam kota raja, terdengar pula oleh Tambolon yang kehilangan seorang pembantu cakap yang semalam tewas ketika berusaha menghalangi Bun Beng dan raja liar ini menjadi marah bukan main.

   Dia sendiri lalu memimpin pasukan-pasukannya, mendekati pintu gerbang utama dan berteriak-teriak menantang perang kalau Raja Bhutan tidak mau menyerahkan puterinya. Tentu saja Sang Puteri itu hanya untuk menjadi alasan saja, sedangkan tentu saja Tambolon sebetulnya ingin menguasai Bhutan! Dari atas menara benteng, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, juga Panglima Jayin dan para panglima lain, memandang ke bawah. Mereka melihat bahwa Tambolon masih disertai dua orang pembantunya yang setia, yaitu Si Petani Maut Liauw Ki, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, di samping ada pula di situ Hek-tiauw Lo-mo. Dan biarpun tidak nampak, Milana dan Gak Bun Bung dapat menduga bahwa tentu guru dari Tambolon, Nenek Durganini yang akhir-akhir ini selalu muncul membantu muridnya, ada pula di antara barisan musuh itu.

   Karena pihak musuh menantang untuk mengadakan perang terbuka di luar tembok kota raja, tentu saja pihak Kerajaan Bhutan tidak dapat menolak, maka Gak Bun Beng sendiri bersama Panglima Jayin dan beberapa orang panglima memimpin pasukan keluar dari pintu gerbang untuk menyambut musuh. Puteri Milana yang memimpin pertahanan itu tetap berada di menara benteng untuk melihat keadaan dan mengatur kendali gerakan barisan Bhutan dari tempat tinggi itu. Beberapa orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Dalam puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini roboh dari kuda mereka. Panglima Jayin dengan marah, setelah mendapat perkenan Gak Bun Beng, maju sendiri.

   Dia menangkan beberapa orang panglima musuh, akan tetapi ketika berhadapan dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja pundaknya sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan tewas pula! Bun Beng menjadi penasaran dan marah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng mempermainkan mereka. Bahkan ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun Beng mengamuk hebat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sendiri terdesak hebat. Ketua Pulau Neraka itu terkejut bukan main. Apalagi ketika beberapa kali dia mengadu tenaga, dia memperoleh kenyataan betapa pendekar ini memiliki tenaga Hui-yang Sin-kang, Swat-im Sin-kang dan juga tenaga mujijat Inti Bumi!

   "Kau siapakah?"

   Bentaknya berulang-ulang. Sudah banyak dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia melihat seorang yang memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemi-kian sempurnanya, seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!

   "Hemm, Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari Tambolon si pemberontak!"

   Gak Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan yang dipukulkan oleh Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara

   "krakkk!"

   Dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan meloncat mundur.

   "Namaku adalah Gak Bun Beng."

   Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini.

   "Apamukah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?"

   "Beliau boleh dibilang adalah guruku!"

   Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak tangannya membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung. Pada saat itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba saatnya memberi perintah menyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk binatang.

   Terdengarlah perintah penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang terluka pundaknya, menyerbulah bala tentara Bhutan dan terjadilah perang campuh yang hebat. Gak Bun Beng kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari kedua pihak yang berani mendekati dua orang ini, karena sambaran hawa pukulan dari tangan mereka sedemikian hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas. Hek-tiauw Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang Gak Bun Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapinya. Tombak tulang ikan itu ditangkisnya begitu saja dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul tombak itu sehingga patah menjadi empat potong!

   "Keparat!"

   Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah dan dia mencabut senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat tebal dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng dapat menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok.

   "Mampuslah!"

   Tiba-tiba Hek-tiauw Lomo berseru, tangan kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu membebaskan diri dari jala tipis itu.

   "Ha-ha-ha, baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!"

   Ketua Pulau Neraka itu tertawa, goloknya bergerak menyambar.

   "Haiiit....!"

   Gak Bun Beng mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw Lo-mo tidak kuat mempertahankan tali jalanya yang ikut terbawa bergulingan. Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan lengking panjang, terdengar suara keras dan.... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat keluar dari dalam jala. Hek-tiauw Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki tingkat yang amat tinggi dalam pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mujijat ini sehingga dapat dibikin putus. Dengan marah Gak Bun Beng meloncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan yang didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang.

   "Trakkk....!"

   Golok gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu, tangan kiri Hek-tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah kesalahan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau dia mempergunakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji ini. Akan tetapi dia berhadapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti yang selain telah memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga memiliki pengalaman yang luas, maka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan telapak tangan sambil mengerah-kan Swat-im Sin-kang. Ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk menghadapi pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena hawa beracun membeku begitu bertemu dengan Tenaga Inti Salju ini.

   "Desss....!"

   Hek-tiauw Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Pada saat itu, Tambolon menerjang maju dengan pedangnya disertai dua orang pembantunya.

   Akan tetapi tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan Bhutan harus mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun Beng terkejut dan cepat dia pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk mundur, meninggalkan pasukan musuh yang mengejar sambil bersorak-sorak. Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera ditutup rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu dihujankan keluar sehingga pihak musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali. Bun Beng segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah karena ternyata bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan induk berperang di luar, di empat penjuru benteng pihak musuh berusaha menyerbu.

   Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat penjagaan sehingga usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak panah dan batu-batu. Ketika dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang tewas atau tertawan musuh. Biarpun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah terkurung dan tidak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng di timur terlalu jauh letaknya, sedangkan negara-negara tetangga tidak ada yang mau mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaln Bhutan tidak pernah berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu mereka.

   "Besok harus ada penentuan,"

   Puteri Milana berkata ketika mereka berunding.

   "Kalau dibiarkan musuh mengepung lebih lama, tentu mereka akan dapat memperkuat keadaan, mendatangkan bala bantuan dan hal itu akan berbahaya sekali. Yang penting, Tambolon harus dapat ditewaskan. Dialah yang menjadi biang keladi. Kalau tidak ada orang yang mempunyai wibawa dan pengaruh besar di antara suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar."

   "Akan tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak," Gak Bun Beng berkata.

   "Karena itu, besok kita harus mengerahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan perhatian musuh."

   "Bagaimana dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?"

   Bun Beng mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoinya itu. Milana tersenyum.

   "Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan pagi-pagi sekali, selagi mereka kacau-balau, kita menyerbu. Mudah-mudahan saja sergapan selagi mereka kacau itu akan mampu menghancurkan jumlah mereka yang lebih besar."

   Malam itu sunyi. Pihak musuh memang beberapa kali mencoba untuk menerobos melalui berbagai jurusan, namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha mereka gagal dan banyak di antara mereka yang menjadi korban anak panah dan batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka berusaha melepas anak panah berapi ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelumnya. Malam itu, para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya mengaso sambil duduk di tempat masing-masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak Bun Beng keluar dari kamar dan dua orang sakti ini lalu mementang gendewa.

   Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali sinar kemerahan meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang mereka berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka, untuk turun tangan. Sesudah itu mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar keributan di bawah sana, di luar tempok kota raja dan mulailah nampak api besar bernyala-nyala dan asap di dalam sinar api merah membubung ke angkasa. Makin lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan pengawal istimewa yang dipimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak! Puterl Milana tersenyum memandang keluar.

   "Pemuda itu memang hebat,"

   Bisiknya lirih akan tetapi cukup terdengar oleh Bun Beng.

   "Tidak mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu...."

   Kata pula Bun Beng dan mereka bersiap-siap bersama para penglima untuk menyerbu ke luar bersama pasukan mereka begitu saatnya tiba. Kita tinggalkan dahulu kota raja Bhutan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang terdiri dari suku-suku bangsa Nomad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga terkumpul menjadi barisan yang amat besar jumlahnya dan yang mengancam keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.

   Setelah terbukanya topeng yang menutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa dan sekaligus membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadanya yang telah berkorban untuknya, yang dipercaya dan disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang memperkosanya, yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyaplah segala arti kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga merupakan penolong yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya.

   Ceng Ceng menjadi seorang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka hidup! Keinginannya hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya, di mana dia dibesarkan dan untuk.... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota raja Bhutan, bekas tempat tinggal kakeknya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li, gadis cilik yang nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Suma Han Majikan Pulau Es. Sungguh merupakan kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat menjadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum,

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 24 Pendekar Super Sakti Eps 31 Pendekar Super Sakti Eps 39

Cari Blog Ini