Sepasang Pedang Iblis 24
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Apalagi kini ibunya sendiri menghina pemuda itu, dia merasa penasaran sekali dan rasa kasihan di dalam hatinya makin mendalam. Melihat hati ibunya yang rela menderita dan memaksa memisahkan diri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti, melihat sepak terjang Thian-liong-pang menculiki tokoh-tokoh kang-ouw sungguhpun kini usaha itu telah dihentikan ibunya dan semua tokoh telah dibebaskan, Milana merasa bosan tinggal di situ dan dia ingin sekali bertemu dengan Bun Beng, melakukan perjalanan bersama pemuda itu. Tiba-tiba ia teringat akan musuh-musuh Bun Beng, teringat pula betapa pedang Hok-mo-kiam terampas oleh Tan-siucai dan Maharya, teringat pedang Lam-mo-kiam yang terampas oleh putera Pulau Neraka. Betapa banyak tugas yang dihadapi Bun Beng. Akan senang sekali kalau ia dapat membantu pemuda itu.
Pada keesokan harinya, Nirahai tak melihat puterinya. Milana telah pergi dari situ tanpa pamit dan biarpun Nirahai menyebar anak buahnya untuk mencari, usahanya sia-sia belaka, Milana tetap lenyap tanpa memberi tahu ke mana perginya dan apa tujuannya. Nirahai hanya dapat menarik napas panjang dan menyesali sikapnya yang terlalu memanjakan anak itu. Hanya dia tidak khawatir karena maklum bahwa tingkat kepandaian puterinya itu sudah cukup tinggi sehingga takkan mudah diganggu orang jahat. Mengapa puterinya tidak berterus terang saja kalau ingin merantau? Tanpa pamit begini, sedikit banyak membuat dia tidak tenang. Pendekar Super Sakti Suma Han dan Giam Kwi Hong keponakannya juga muridnya, berdiri di pantai laut. Sebuah perahu layar putih, perahu Pulau Es yang menjemput mereka, telah menanti.
"Kwi Hong, pedang itu tidak patut kau bawa-bawa. Engkau tidak layak memegang senjata laknat seperti itu."
Pendekar Super Sakti berkata halus sambil memandang pedang Lam-mo-kiam yang tergantung di punggung keponakannya. Kwi Hong mengerutkan alisnya.
"Akan tetapi, bukankah seluruh tokoh kang-ouw mencari Sepasang Pedang Iblis? Bahkan Paman sendiri dahulu pernah menyatakan kepadaku akan mencari Sepasang Pedang Iblis sampai dapat? Setelah sekarang sebatang di antaranya berada di tanganku, mengapa Paman berkata demikian? Harap beri penjelasan karena saya tidak mengerti."
Pendekar Super Sakti menarik napas panjang dan berdiri menekan tongkatnya.
"Memang semua pendekar, baik dari golongan bersih maupun kotor, ingin sekali memperoleh sepasang pedang yang ampuh dan mujijat itu, tentu saja dengan maksud agar sepasang pedang itu dapat membantu mereka mengangkat nama, mengandalkan keampuhannya. Akan tetapi aku mencari pedang itu dengan maksud untuk kulenyapkan selama-lamanya agar tidak menimbulkan keributan lagi di dunia."
Tangan kanan Kwi Hong mengelus sarung pedangnya, alisnya berkerut.
"Mengapa, Paman? Mengapa hendak dilenyapkan?"
"Engkau tidak mengerti. Riwayat Sepasang Pedang Iblis itu busuk sekali. Sungguhpun yang membuatnya adalah atas perintah mendiang pendekar wanita Mutiara Hitam, namun sepasang pedang itu telah dimasuki pengaruh roh jahat dari pembuat-pembuatnya berdasarkan ilmu hitam sehingga sepasang murid Mutiara Hitam pun menjadi korban saling bunuh. Akulah yang mula-mula menemukan mereka saling bunuh, kasihan mereka...."
Suma Han termenung, teringat akan masa lalu di waktu dia masih kecil dan mendapatkan Sepasang Pedang Iblis (baca cerita Pendekar Super Sakti). Akan tetapi bukan kakek dan nenek murid Mutiara Hitam yang terbayang olehnya, melainkan wajah Lulu, adik angkatnya, juga wanita yang paling dicintanya, yang sekarang menjadi Majikan Pulau Neraka, dia menghela napas panjang.
"Aku menguburkan jenazah mereka berikut Sepasang Pedang Iblis. Kemudian sepasang pedang itu lenyap dan kini yang sebatang terjatuh di tanganmu. Bagaimana hatiku akan tenang kalau engkau bersenjata pedang jahat itu?"
"Akan tetapi, Paman, bukankah Paman pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang baik atau jahat? Saya rasa demikian pula dengan senjata. Baik atau jahatnya tergantung daripada si pemakai, bukankah demikian? Kalau pedang ini dipergunakan untuk kejahatan, maka jahatlah dia, kalau dipergunakan untuk kebaikan, apakah juga jahat namanya? Maaf, Paman, bukan sekali-kali saya hendak membantah kehendak Paman. Kalau Paman menghendaki, saya akan menanggalkan pedang ini dan terserah hendak Paman apakan pedang ini. Akan tetapi, pedang ini adalah pemberian Bun Beng, dan...."
Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya dan menundukkan mukanya. Suma Han memandang tajam, kemudian menarik napas panjang dan berkata,
"Ah, hampir aku lupa bahwa engkau bukan kanak-kanak lagi, Kwi Hong. Engkau telah dewasa, sudah terlalu dewasa malah. Anak baik, apakah engkau mencinta Bun Beng?"
Kwi Hong tidak menjawab, mukanya merah sekali, kemudian ia mengangkat muka berkata tanpa berani menentang pandang mata pamannya,
"Saya tidak tahu, Paman. Hanya.... saya pikir.... tidak baik kalau menyia-nyiakan pemberian orang, apalagi kalau dilenyapkan begitu saja.... dan dia sudah begitu baik kepada saya ketika bertemu dengan Tan-siucai dan Maharya, rela mengorbankan diri terluka hebat. Aihhh, mungkin sekarang dia.... dia.... dia telah.... mati...."
"Jangan khawatir. Mati hidup manusia berada di tangan Tuhan. Kalau dia sampai di Pulau Neraka dan menyerahkan suratku, saya yakin dia akan tertolong. Nah, biarlah sementara ini kau bawa pedang itu, apalagi engkau harus menjaga keamanan Pulau Es. Aku hendak pergi mencari Tan-siucai dan Maharya, perlu kuambil kembali Hok-mo-kiam, karena kalau ada pedang itu padaku, aku tidak khawatir lagi kalau-kalau Sepasang Pedang Iblis akan menimbulkan bencana. Nah, berangkatlah dan hati-hati menjaga pulau."
Kwi Hong berangkat naik perahu dan setelah perahu itu berlayar menuju ke utara sampai jauh sekali dan hanya tampak sebagai sebuah titik yang kadang-kadang lenyap oleh naik turunnya ombak,
Pendekar Super Sakti lalu membalikkan tubuhnya dan melesat pergi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk menjodohkan Kwi Hong dengan Bun Beng. Dia melihat anak keturunan Gak Liat itu mempunyai watak yang baik sekali. Dia tidak mengingat akan keburukan watak ayah Bun Beng, karena bukankah ayah Kwi Hong sendiri, perwira Mancu, Giam Cu, tidak lebih baik daripada Si Setan Botak Gak Liat? Akan tetapi, ia tahu bahwa pikiran itu terlalu jauh melayang karena keadaan Bun Beng sendiri belum diketahui bagaimana keadaannya, sedangkan lukanya amat berbahaya. Pada waktu itu, Kerajaan Mancu yang mendirikan Wangsa Ceng, mengalami kemajuan amat pesatnya, menjadi sebuah negara besar yang amat kuat.
Bintang Kerajaan Mancu ini mulai naik dengan pesat, menjadi cemerlang ketika pemerintahannya berada di tangan Kaisar Kang Hsi (1663-1722). Kaisar ini ternyata adalah seorang yang berbakat dan ahli untuk menjadi pemimpin. Dia seorang jendral perang yang amat pandai mempergunakan tenaga-tenaga ahli, sehingga semua perlawanan rakyat, baik dari kaum patriot yang mempertahankan tanah air dari penjajahan bangsa Mancu, sampai gerombolan-gerombolan bersenjata yang sebetulnya hanyalah perampok-perampok yang berdalih perjuangan, dapat dihancurkan satu demi satu. Daerah Se-cuan yang dipertahankan oleh Bu Sam Kwi yang gigih melawan bangsa Mancu, juga dapat direbut dan semua perlawanan dipatahkan dalam tahun 1681.
Setelah Se-cuan jatuh, maka kerajaan Mancu boleh dibilang menguasai seluruh Tiongkok, bahkan jauh lebih luas lagi daripada wangsa yang sudah-sudah. Bangsa Mongol yang dahulunya membantu penyerbuan bangsa Mancu ke selatan, merasa kecewa oleh politik Bangsa Mancu dan merasa kurang diberi bagian keuntungan, lalu memberontak. Namun, pemberontakan-pemberontakan yang amat gigih dan kuat itu pun dapat dihancurkan oleh pemerintah Ceng di bawah Kaisar Kang Hsi dan akibat perang ini seluruh Mongolia jatuh dan dikuasai bangsa Mancu. Bahkan dalam mengejar sisa-sisa pasukan Mongol bala tentara Mancu memasuki daerah Tibet dan menguasai pula. Makin luaslah daerah kekuasaan Kerajaan Ceng.
Batas-batasnya sampai di seluruh Mancuria, Mongolia luar, Sin-kiang, Tibet dan seluruh daerah selatan Tiongkok. Bahkan di dalam perang-perang perbatasan yang mendatang, Kerajaan Ceng ini telah menaklukkan negara-negara tetangga, di antaranya Afganistan, Kasmir, Nepal, Birma, Muangthai, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. Negara-negara ini mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Tiongkok dan menyatakannya dengan membayar upeti! Kaisar Kang Hsi bukan hanya pandai dalam hal kemiliteran, juga dalam urusan politik dan sipil dia ternyata seorang ahli. Kaum koruptor diberantas sehingga pemerintahannya bersih dari perbuatan korupsi dan penyuapan, hal yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya, yang tak pernah dapat diberantas oleh kerajaan-kerajaan yang lain.
Pemerintahan yang sehat dan jujur disusun, kaum penjilat dienyahkan, hukuman-hukuman berat dikenakan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Di sarnping ini, Kaisar Kang Hsi menghargai kebudayaan Tiongkok. Kebudayaan itu diperkembangluaskan, bahkan dia mengundang sasterawan-sasterawan dan ahli-ahli pikir untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan-nya. Tentu saja undangan dan sikap Kaisar ini mendapat sambutan yang hangat dari kaum terpelajar, dan sekaligus merobah pandangan mereka yang tadinya benci akan penjajahan terhadap bangsa Mancu ini. Membanjirlah kaum sasterawan dari pelbagai daerah ke Pe-king yang menjadi kota raja, dan mereka diterima oleh Kaisar Kang Hsi, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian masing-masing.
Bukan hanya kaum sasterawan yang mendapat kedudukan, juga Kaisar yang bijaksana ini memberi kesempatan kepada kaum kang-ouw, kepada ahli-ahli silat yang pandai, untuk membantu pemerintahnya, menerima mereka dan memberi kedudukan-kedudukan yang menjamin kemewahan dan kecukupan hidup mereka. Inilah sebabnya mengapa Kaisar ini mempunyai barisan yang amat kuat, yang bukan hanya terdiri dari pasukan-pasukan Mancu yang sudah tergembleng oleh perang, juga dibantu oleh orang-orang pandai dari dunia kang-ouw. Setelah keadaan dalam negeri menjadi aman, semua pemberontak telah ditumpas dan orang-orang kang-ouw banyak menggabung dan mengabdi kepada kerajaan baru ini,
Mulailah Kaisar Kang Hsi memperhatikan persoalan dalam istana. Sudah lama dia merasa tak senang dengan hilangnya puterinya, yaitu Nirahai yang pernah berjasa besar ketika Kerajaan Mancu sedang berhadapan dengan banyak orang pandai yang memberontak. Dan semua itu adalah gara-gara seorang pendekar bernama Suma Han, yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Setelah Pulau Formosa dikalahkan dan diduduki oleh Kerajaan Ceng, Kang Hsi mulai memikirkan hal ini dan berkeinginan hendak mengirim pasukan menyerbu Pulau Es, menangkap Suma Han yang dianggap telah memperkosa dan mencemarkan nama dan kehormatan Kerajaan Ceng, dan menarik kembali Puteri Nirahai ke lingkungan istana.
Selain ini, Kaisar yang mempunyai banyak sekali pembantu terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini, mendengar akan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu dan Koai-lojin, yang kabarnya berada di Pulau Es. Pada suatu hari, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, yaitu orang yang diangkat menjadi koksu dalam urusan pengumpulan orang-orang kang-ouw, menghadap Kaisar bersama dua orang tamu. Bhong Ji Kun ini adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi kurus dan berkepala botak, seorang peranakan India yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dialah yang menjadi "orang pertama"
Di antara jagoan istana, bahwa dia pula yang membentuk barisan pengawal kaisar istana. Koksu ini mempunyai dua orang pembantu yang lihai pula, yaitu Thian The Lama dan Thian Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang jarang dapat menemukan tanding.
Ketika Kaisar menerima kunjungan Koksunya, Kaisar memandang dengan wajah tertarik kepada dua orang yang datang bersama Bong Ji Kun itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, berwajah tampan dan bersikap halus berpakaian sebagai sasterawan, bersama seorang kakek India yang berpakaian sederhana, seperti biasa kaum pertapa India, hanya kain panjang yang dibelit-belitkan tubuh, bertelanjang kaki, dan bersorban. Ketika Kaisar mendengar bahwa kakek India itu yang bernama Maharya adalah paman guru Sang Koksu sendiri, bukan main girang hati Kaisar ini dan segera memerintahkan Bhong Ji Kun untuk menerima Maharya sebagai tamu agung dan memberi segala pelayanan, juga apabila dikehendaki mengangkatnya sebagai penasehat dalam urusan keamanan.
Juga murid pendeta itu yang diperkenalkan sebagai Tan Ki, seorang siucai yang selain ahli dalam hal ilmu silat, juga ahli sastera, diberi kedudukan, mencatat dan mengurus keperluan semua pasukan pengawal. Tentu saja guru dan murid ini merasa girang sekali dan berlutut menyembah menghaturkan terima kasih. Dengan masuknya Maharya menjadi pembantu kerajaan, tentu saja kedudukan kerajaan menjadi makin kuat, apalagi selain Maharya dan Tan-siucai, banyak pula orang pandai dari pelbagai aliran dan golongan masuk menjadi pengawal-pengawal dan panglima-panglima pengawal. Setelah mendapat bantuan Maharya, Bhong Ji Kun baru merasa besar hatinya dan dia menerima perintah Kaisar dengan penuh kepercayaan, untuk menyerbu Pulau Es. Tadinya dia selalu menangguhkan niat Kaisar ini dengan alasan bahwa Pendekar Siluman dari Pulau Es amatlah saktinya dan pelayaran menuju ke pulau itu berbahaya sekali.
Namun, kini dengan bantuan paman gurunya yang dalam ilmu kepandaian bahkan lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan dia sendiri, dia menyanggupi perintah itu, lalu mempersiapkan pasukan yang amat kuat, terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dikepalai panglima-panglima pilihan pula. Dari barisan armada lautan, koksu menerima beberapa buah kapal yang cukup besar dan kuat, ditangani oleh anak buah yang ahli dalam pelayaran. Berangkatlah pasukan yang terdiri dari tiga ratus orang itu, selain dipimpin oleh para panglima pilihan, juga dikepalai sendiri oleh Bhong Ji Kun, Maharya, Tan-siucai, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan beberapa orang pandai yang menjadi pembantu koksu itu. Lima buah kapal besar melayarkan mereka menuju ke utara, seolah-olah sebuah armada yang hendak menyerbu daerah musuh!
Perintah Kaisar adalah, menawan Pendekar Super Sakti Suma Han berikut semua anak buahnya, atau membunuh kalau mereka melawan, menduduki Pulau Es, dan merampas semua pusaka yang berada di pulau itu! Tidaklah mudah bagi kapal-kapal perang Ceng itu untuk dapat menemukan Pulau Es, akan tetapi anak buah kapal-kapal itu dipimpin oleh nakhoda kapal yang berpengalaman, dan kapal-kapal itu menjelajah ke utara, di antara pulau-pulau yang banyak terdapat di sana. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah terlalu jauh ke utara sehingga di utara pulau-pulau itu terdapat Pulau Neraka yang namanya menggetarkan dunia orang gagah! Pulau Neraka hanya kelihatan sebagai sebuah pulau menghitam yang menyeramkan, dengan batu-batu karang menonjol di permukaan laut sekitar pulau sehingga amat berbahaya bagi kapal atau perahu yang berani mendekatinya.
Namun, karena yang mereka cari adalah Pulau Es, maka lima kapal itu tidak memperhatikan pulau-pulau lain, hanya meneliti kalau-kalau terdapat pulau yang berwarna putih, yang permukaannya tertutup es dan salju. Setelah hilir mudik sampai tiga pekan lamanya, pada suatu malam, sewaktu kapal-kapal itu terpaksa membuang jangkar dan melewatkan malam yang dingin di bawah sinar bulan purnama, tiba-tiba terdengar teriakan dari atas tiang di mana terdapat penjaga-penjaga yang mempergunakan teropong. Pada waktu itu, teropong merupakan barang baru yang telah dimiliki oleh pasukan Kerajaan Ceng. Mendengar teriakan ini panglima pengawal Bhe Ti Kong yang kebetulan malam itu mengepalai penjagaan, cepat meloncat dan memanjat tangga tali menuju ke atas.
"Apa yang kau lihat?"
Tanyanya.
"Ciangkun, harap periksa di sebelah timur itu!"
Si penjaga berkata, menyerahkan teropongnya. Bhe Ti Kong menerima teropong dan mengarahkan alat itu ke timur. Dia berseru kaget dan heran!
"Lekas beritahu kepada Koksu!"
Penjaga itu cepat menuruni tangga tali dan melapor kepada Bhong Ji Kun yang sedang duduk makan minum dan bercakap-cakap dengan para pembantunya di ruangan kapal besar.
"Hamba melapor kepada Taijin bahwa di sebelah timur kelihatan benda mencorong yang aneh sekali. Hamba diutus Bhe-ciangkun untuk melapor kepada Taijin."
Mendengar ini, Im-kan Seng-jin, diikuti oleh Maharya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan-siucai bergegas keluar menghampiri tiang besar yang ujung atasnya dipergunakan untuk tempat penjaga memeriksa keadaan dengan teropong. Bergantian Bhong Ji Kun, Maharya, dan kedua orang Lama meloncat dan melayang ke atas untuk memeriksa benda aneh di timur itu dengan teropong, sedangkan Tan-siucai terpaksa naik seperti yang dilakukan Bhe Ti Kong tadi, yaitu dengan melalui tangga tali. Hanya bedanya, kalau Bhe Ti Kong memanjat biasa, adalah siucai itu naik cepat sekali, seperti berloncatan dibantu oleh tangga itu.
"Ahh, tak salah lagi. Tentu itulah Pulau Es!"
Kata. Im-kan Seng-jin setelah turun kembali. Benda yang tampak oleh mereka itu adalah benda besar panjang yang mencorong tertimpa sinar bulan, berkilauan putih seperti kaca. Hanya pulau yang tertutup es sajalah yang dapat mengeluarkan pantulan sinar bulan seperti itu. Kalau siang tidak tampak karena sinar matahari terlaiu terang. Akan tetapi, sinar bulan yang lembut membuat cuaca remang-remang dan karena itu pantulan sinar bulan dapat tampak.
"Besok pagi kita menuju ke sana. Kalau benar di sana letak Pulau Es, setelah mendekati, lima kapal harus dipencar dan mengurung pulau. Pasukan dibagi dan dari sekarang kita harus mengatur rencana,"
Kata Bhong Ji Kun yang segera mengumpulkan semua pembantu dan para panglima pemimpin pasukan.
Malam itu juga dia membagi pasukan menjadi lima bagian dipimpin oleh komandan masing-masing, juga masing-masing pembantunya mengepalai pasukan sekapal. Kapal pertama dipimpin oleh koksu sendiri, ke dua oleh Maharya, ke tiga dan ke empat oleh kedua orang Lama, sedangkan kapal terakhir oleh Tan-siucai. Malam itu juga, mereka yang ditugaskan pindah ke kapal masing-masing dan semua pasukan mempersiapkan diri, yang tidak tugas jaga diperbolehkan tidur agar besok menjadi segar jika menghadapi pertempuran. Kwi Hong yang berlayar di atas perahunya, mengaso di dalam bilik perahu, membiarkan perahu-perahu itu dilayarkan oleh lima orang anak buah Pulau Es. Ketika perahu itu tiba di tepi pantai, sebuah perahu kecil meluncur cepat menyambutnya.
Perahu ini didayung oleh seorang pemuda tampan bertubuh tinggi besar, dan di dalam perahu penuh dengan ikan besar. Pemuda ini adalah Thung Ki Lok, putera dari Thung Sik Lun tokoh Pulau Es, sute dari Yap Sun. Usianya sudah dua puluh lima tahun, tampan dan gagah perkasa, mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Di punggungnya tergantung sebatang golok besar yang tajam mengkilap, dan tangannya memegang sebuah jala ikan. Melihat perahu itu dan melihat Kwi Hong berdiri di kepala perahu, dia melempar jala di atas ikan-ikannya, kemudian mendayung perahunya cepat sekali menyambut. Ketika perahu besar yang ditumpangi Kwi Hong menempel di darat, pemuda itu meloncat ke atas perahu, membawa seekor ikan yang besarnya sepaha orang, ikan yang kulitnya keemasan dan amat gemuk sehingga dalam keadaan mentah saja sudah kelihatan enak!
"Selamat datang, Nona. Sungguh besar sekali untungmu, begitu pulang aku berhasil mendapatkan seekor kakap merah yang lezat. Nah, kupersembahkan ikan ini kepadamu, Nona!"
Kata Thung Ki Lok sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan bersih. Hati Kwi Hong yang sedang kesal karena selalu memikirkan Bun Beng yang dikhawatirkan keadaannya, menjadi makin sebal melihat penyambutan yang amat ramah ini. Dia tahu bahwa sudah bertahun-tahun pemuda putera pembantu pamannya ini menaruh hati kepadanya. Sungguhpun Ki Lok tidak pernah membuka rahasia hatinya dengan kata-kata, namun dari gerak-geriknya, dari pandang matanya, dari suaranya, jelas menyatakan bahwa pemuda tinggi besar dan gagah perkasa ini jatuh cinta kepadanya. Anehnya, hal ini membuat Kwi Hong selalu merasa jengkel dan tidak senang!
"Terima kasih, Lok-ko. Aku lelah dan ingin mengaso, malas untuk masak-masak,"
Katanya sambil melompat ke darat. Sejenak Ki Lok melongo, namun dengan senyum yang tak pernah meninggalkan mukanya, dia meloncat pula mengikuti dan menghadang di depan Kwi Hong sambil berkata,
"Biarkan kumasakkan untukmu, Nona. Engkau suka ikan panggang, bukan? Akan kupanggang untukmu, kuberi bumbu yang enak. Harap kau jangan makan dulu, tunggu sampai ikan ini matang dan...."
"Sudahlah, Lok-ko, kau makan sendiri ikan yang dengan susah payah kau tangkap itu, kau makan bersama ayahmu. Aku tiada nafsu makan. Terima kasih!"
Kwi Hong lalu meloncat ke depan dan berlari ke tengah pulau. Tinggal Ki Lok yang berdiri dengan ikan di tangan, dipondong di atas kedua lengannya, dan berdiri melongo memandang bayangan gadis itu yang lenyap di antara pohon-pohon.
"Thung-kongcu, wanita itu seperti burung dara, kalau didiamkan mendekat, kalau didekati terbang menjauh. Lihatlah...."
Seorang di antara anak buah Pulau Es menuding ke arah pulau. Ki Lok sadar, mukanya menjadi merah dan ia menengok ke tengah pulau itu. Musim ini, di mana banyak sinar matahari, pulau itu ditumbuhi beberapa macam pohon sehingga kelihatannya lebih hidup daripada di musim dingin yang membuat pulau itu gundul sama sekali. Di antara pohon-pohon ia melihat Kwi Hong sedang berhadapan dengan seorang pemuda, bercakap-cakap. Ki Lok membalikkan tubuhnya, meloncat ke dalam perahu, melempar ikan kakap merah di antara tumpukan ikan-ikan lain lalu mendayung perahunya menjauhi perahu yang baru tiba.
Lima orang tukang perahu itu hanya menghela napas panjang karena mereka pun maklum bahwa seolah-olah terjadi perebutan antara Thung Ki Lok dan Kwee Sui, seorang pemuda tampan anak keluarga Pulau Es yang diambil murid oleh Phoa-toanio, yaitu Phoa Ciok Lin wakil majikan Pulau Es untuk urusan dalam. Namun semua orang maklum bahwa terhadap kedua orang muda yang seolah-olah bersaing memperebutkan cinta gadis cantik murid Pulau Es itu, Kwi Hong bersikap acuh tak acuh, bahkan kadang-kadang memperlihatkan dengan jelas bahwa dia tidak senang menghadapi rayuan mereka. Pemuda yang kini menyambut kedatangan Kwi Hong itu adalah Kwee Sui. Dia berusia dua puluh enam tahun, tubuhnya tidak tinggi besar seperti Ki Lok, akan tetapi sedang dan wajahnya tampan sekali, juga dalam hal bicara dan mengambil hati,
Dia lebih pandai daripada saingannya yang agak kaku. Memang sifat kedua orang pemuda itu jauh berlainan, sungguhpun keduanya sama tampan dan sama gagah. Semenjak kecil, Ki Lok suka bekerja di luar, yaitu mencari ikan menentang panasnya matahari dan melawan serangan ombak laut, berjuang melawan alam di samping mempelajari ilmu silat dari ayahnya. Wataknya terbuka dan jujur, pemberani dan agak kaku. Sebaliknya, Kwee Sui yang menjadi murid Phoa Ciok Lin, dapat mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi karena gurunya adalah wakil Pendekar Super Sakti, bahkan Phoa Ciok Lin adalah murid dari iblis betina Toat-beng Ciu-sian-li yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw. Di samping ilmu silat, Kwee Sui juga suka belajar ilmu sastera dan ia selalu mengenakan pakaian bersih dengan potongan seorang sasterawan.
"Hong-moi, engkau baru pulang? Dan di mana Pamanmu, Suma-Taihiap, mengapa tidak ikut pulang?"
Demikian Kwee Sui menyambut dengan sikap ramah. Sebagai murid Phoa Ciok Lin, dia lebih dekat dalam pergaulannya dengan Kwi Hong dan menyebutnya moi-moi (adik), tidak seperti Ki Lok yang menyebutnya nona. Adapun semua anggauta Pulau Es, menyebut Taihiap (pendekat besar) kepada Suma Han yang tidak pernah suka disebut To-cu (majikan pulau) atau pangcu (ketua perkumpulan).
(Lanjut ke Jilid 23)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
"Paman masih banyak urusan, aku disuruh pulang lebih dulu."
"Ahh, engkau tentu lelah. Biar kusuruh koki menyediakan makanan yang paling kausukai, Hong-moi. Inginkah kau mandi air hangat? Biar kusuruh pelayan menyediakan...."
"Terima kasih, Sui-ko, tak usah repot-repot, kalau aku perlu, aku akan menyuruh sendiri,"
Jawab Kwi Hong singkat, mulai tak senang hatinya. Datang-datang dia disambut oleh rayuan-rayuan kedua orang pemuda itu, betapa menyebalkan!
"Eh, engkau mendapatkan pedang baru, Hong-moi? Bukan main indahnya sarung pedang itu.... ihh, bolehkah aku melihatnya?"
Kwi Hong meraba gagang pedangnya dan menghunusnya separuh.
"Ayaaaa....!"
Kwee Sui meloncat ke belakang sampai tiga meter lebih dan mukanya berubah. Matanya silau ketika tadi melihat pedang yang baru dihunus setengahnya, dan ia bergidik setelah Kwi Hong menyarungkan kembali pedangnya. Gadis itu tersenyum, setidaknya dia girang betapa pemuda itu terkejut dan kagum bukan main melihat Li-mo-kiam. Dia merasa bangga akan pedang itu.
"Bukan main, Hong-moi. Pedang pusaka apakah itu? Luar biasa sekali, baru sinarnya saja agaknya sudah dapat membunuh orang!"
"Hemm, tentu saja ampuh. Pedang ini adalah Li-mo-kiam, sebuah di antara Siang-mo-kiam."
"Sepasang Pedang Iblis....?"
Kwee Sui terbelalak dan matanya lebar memandang ke arah pedang yang tergantung dalam sarung pedang di pinggang Kwi Hong.
"Yang sebatang lagi mana, Hong-moi? Apakah dibawa Taihiap?"
Kwi Hong hanya menggeleng kepala.
"Tidak perlu banyak bertanya, Sui-ko. Sudahlah, aku ingin bertemu Bibi Phoa kemudian beristirahat."
Gadis itu lalu meninggalkan Kwee Sui yang masih berdiri terlongong.
"Sepasang Pedang Iblis...."
Pemuda itu berbisik dan bergidik, akan tetapi hatinya ingin sekali melihat dan memegang pedang yang amat terkenal dan yang ia dengar diperebutkan oleh seluruh orang gagah di dunia kang-ouw itu. Setelah bertemu dengan Phoa Ciok Lin, Kwi Hong berkata,
"Bibi, dalam pelayaranku pulang, aku melihat dari jauh lima buah kapal perang, tentu milik pemerintah dan entah apa yang mereka cari di daerah ini. Harap Bibi suka perintahkan anak buah melakukan penjagaan lebih ketat, aku amat lelah ingin beristirahat."
Phoa Ciok Lin mengerutkan alisnya mendengar penuturan ini.
"Lima buah kapal perang pemerintah? Apa gerangan yang dicarinya di daerah ini?"
"Subo, biarlah teecu pergi menyelidiki!"
Tiba-tiba terdengar suara Kwee Sui yang ternyata menyusul masuk dan mendengar percakapan gurunya dengan Kwi Hong itu.
"Baiklah, lakukan penyelidikan dan usahakan untuk mengetahui apa kehendak mereka mendatangi daerah ini. Akan tetapi, jangan kau lancang memancing keributan dengan mereka. Taihiap tidak menghendaki kita terlibat dalam permusuhan dengan pihak manapun juga."
"Baik, Subo, teecu mengerti."
Setelah Kwee Sui berangkat, Phoa Ciok Lin lalu mengumpulkan tokoh-tokoh Pulau Es terutama sekali Yap Sun dan Thung Sik Lun, juga Thung Ki Lok, untuk mengatur penjagaan yang lebih ketat menjaga di sekitar pulau, kalau-kalau ada pihak musuh yang akan mendarat. Maka sibuklah semua penduduk Pulau Es, mereka melakukan penjagaan dan siap menghadapi segala kemungkinan selagi majikan mereka tidak berada di pulau.
Sementara itu, Kwee Sui seorang diri mendayung perahu kecil, meninggalkan pulau melalui celah-celah rahasia yang hanya diketahui oleh penghuni Pulau Es, biarpun pemuda ini tidak sepandai Ki Lok dalam hal mendayung perahu, namun karena semenjak kecil dia berada di atas pulau yang dikelilingi lautan dan karena tenaga sin-kangnya amat kuat, maka perahu itu meluncur cepat sekali ketika ia menggerakkan dayungnya. Dia tidak melihat adanya perahu besar atau kapal di situ, maka setelah mengelilingi pulau sehingga malam tiba, Kwee Sui mendayung perahunya ke pinggir, kemudian turun ke laut sebelah barat yang sunyi lalu tertidur dalam perlindungan dua buah batu besar. Dia pulas dan mimpi bertemu dengan Kwi Hong yang dalam mimpi itu suka menyambut rayuan cinta kasihnya. Hal ini terjadi karena sebelum tidur hatinya penuh kekecewaan akan sikap gadis itu yang belum pernah sedikit pun mau menghargai sikap manisnya.
Kadang-kadang timbul iri hatinya karena mengira bahwa dia kalah bersaing dengan Ki Lok, akan tetapi ketika tadi ia dalam persembunyiannya menyaksikan betapa sikap Kwi Hong juga dingin saja bahkan menolak mentah-mentah pemberian ikan oleh pemuda itu, hatinya menjadi lega dan harapannya timbul kembali. Kwee Sui enak mimpi sehingga dia tidak tahu bahwa malam telah terganti pagi, dan tidak tahu pula bahwa di depannya telah berdiri seorang pendeta berkepala gundul dan bertubuh gendut bundar. Pendeta ini bukan lain adalah Thian Tok Lama yang amat lihai. Dia mendapat tugas memimpin kapal yang mendekati Pulau Es di pagi hari itu dari sebelah barat dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dengan dua potong papan diikatkan di bawah sepatunya, pendeta sakti ini dapat mendarat tanpa diketahui oleh seorang pun penjaga Pulau Es!
Para penjaga hanya melihat betapa lima buah kapal itu mendekati dan mengurung pulau, akan tetapi tidak berani mendarat. Tentu saja tak seorang pun di antara mereka menyangka ada orang dari kapal yang dapat "berjalan"
Di atas air seperti yang dilakukan Thian Tok Lama dengan bantuan dua potong papan di bawah kakinya. Apalagi pendeta Lama ini mendarat ketika cuaca masih gelap. Melihat seorang pemuda tidur pulas di pantai dan sebuah perahu kecil terikat di situ, Thian Tok Lama merasa girang sekali. Dia memang ingin menangkap seorang penghuni Pulau Es untuk ditanyai keterangan dan dipaksa menjadi petunjuk jalan, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menotok jalan darah di belakang leher Kwee Sui.
Pemuda ini terkejut, terbangun, akan tetapi tidak dapat bergerak lagi karena kedua pasang kaki tangannya lumpuh dan dia tidak dapat mengeluarkan suara! Thian Tok Lama memanggul tubuh pemuda itu kemudian meloncat ke air dan "meluncur"
Dengan ayunan tubuhnya sehingga kedua potong papan di kakinya itu seperti dua buah perahu kecil yang diinjaknya. Tenaga ayunan kedua lengannya yang digerakkan amat kuat sehingga dia meluncur cepat, kalau dilihat dari jauh tentu membuat orang menduga bahwa pendeta ini berlari di atas air! Kwee Sui sendiri terbelalak penuh keheranan menyaksikan kepandaian pendeta yang amat luar biasa ini. Jantungnya berdebar dan otaknya yang cerdik segera bekerja. Ia dapat menduga bahwa tentu pendeta ini datang dari kapal-kapal itu, tentu seorang tokoh kerajaan yang berilmu tinggi.
Kalau yang datang itu adalah musuh dan memiliki orang-orang yang begini sakti, tentu akan celakalah penghuni Pulau Es, pikirnya. Apalagi pada waktu itu, Pendekar Super Sakti tidak berada di atas pulau. Dia harus berlaku cerdik dan akan menyaksikan dulu bagaimana perkembangannya karena itu ia masih belum mengerti mengapa pendeta lihai ini menawannya. langsung kepada Im-kan Seng-jin Bong Ji Kun. Ketika Kwee Sui melihat koksu yang berpakaian indah gemerlapan, melihat para panglima pengawal dan pasukan pengawal di kapal besar yang bertopi besi berpakaian perang dan bersenjata lengkap, hatinya menjadi gentar. Biarpun ilmu kepandaiannya cukup tinggi, namun pemuda ini belum ada pengalaman bertempur, pula, melihat kepandaian Thian Tok Lama, dia sudah menjadi ketakutan.
Kalau sebuah kapal saja mempunyai pasukan yang lebih dari lima puluh orang jumlahnya, dan ada orang-orang yang berilmu begitu tinggi, apalagi kalau lima buah kapal itu datang menyerang semua. Dapat dipastikan bahwa Pulau Es akan hancur! Koksu menggerakkan tangan dan hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan menyambar ke arah pundak Kwee Sui dan.... pemuda ini merasa betapa totokan di tubuhnya terbebas. Bukan main kagetnya. Ilmu semacam ini, gurunya sendiri pun tidak mampu melakukannya, kecuali barangkali Pendekar Super Sakti. Tahulah dia bahwa pembesar yang berpengaruh dan berwibawa ini tentu memiliki kepandaian lebih tinggi lagi daripada Si Pendeta yang menghormat ketika menceritakan betapa di pantai barat itu sunyi tidak tampak penjaga, dan hanya bertemu dengan pemuda yang sedang tidur lalu ditangkapnya itu.
"Berlututlah engkau!"
Seorang pengawal membentak dan menodongkan tombaknya di punggung Kwee Sui.
"Engkau berhadapan dengan Koksu Pemerintah yang Mulia!"
Sebagai seorang terpelajar, tentu saja Kwee Sui mengerti apa artinya kedudukan koksu ini. Seorang yang amat berkuasa, boleh dibilang nomor dua sesudah raja di bidang keamanan, tentu saja seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Maka tanpa ragu-ragu ia lalu menjatuhkan diri berlutut. Pemuda ini banyak membaca tentang sejarah dan kesusasteraan, diam-diam dia ingin sekali menggunakan kepandaiannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan, menjadi seorang berpangkat yang dihormati ribuan orang, hidup serba mewah dan penuh kesenangan! Maka, begitu kini berhadapan dengan Koksu Negara, tentu saja dia bersikap hormat sekali.
"Harap Taijin sudi mengampunkan hamba yang entah telah melakukan kesalahan apa sehingga dihadapkan kepada Taijin,"
Katanya dengan bahasa yang teratur baik.
"Ha-ha-ha-ha!"
Bhong Ji Kun mengelus jenggotnya dan ketika kepalanya bergerak naik turun, botaknya yang kelimis itu mengkilap tersinar cahaya matahari yang masuk melalui jendela di ruangan kapal itu.
"Tadinya kusangka bahwa penghuni-penghuni Pulau Es adalah manusia-manusia setengah liar, atau seperti siluman-siluman sehingga pemimpinnya dijuluki Pendekar Siluman. Kiranya orang muda ini cukup tampan, berpakaian baik dan bersikap sopan dengan bahasa yang terpelajar. Eh, orang muda, engkau siapakah dan apa kedudukanmu di Pulau Es?"
"Nama hamba Kwee Sui, hamba hanyalah seorang biasa saja yang kebetulan mendapat kehormatan menjadi murid dari Subo Phoa Ciok Lin, wakil Taihiap untuk urusan pulau."
"Eh, kiranya engkau orang penting juga! Tentu kepandaianmu cukup hebat kalau engkau murid kuasa pulau. Akan tetapi mengapa ketika ditangkap engkau tidak melawan?"
Bhong Ji Kun membentak curiga.
"Hamba memang telah mempelajari sedikit ilmu, akan tetapi mana mungkin hamba dapat melawan Losuhu yang lihai ini? Selain hamba sedang tidur sehingga dapat ditotoknya, juga andaikata hamba tahu bahwa Losuhu adalah utusan Taijin, bagaimana hamba berani melawan?"
"Hemm, engkau pandai bicara. Katakan, mengapa engkau tidak berani melawan utusanku?"
"Setelah mengetahui bahwa Taijin adalah Koksu Negara, sampai mati pun hamba tidak akan berani melawan. Untuk apa hamba mempelajari sedikit kepandaian? Bukan lain hanya untuk memenuhi idam-idaman hati hamba, yaitu apabila ada kesempatan, hamba ingin mengabdikan diri kepada pemerintah."
Bhong Ji Kun membuka lebar matanya, kemudian mengangguk-angguk.
"Hemm, demikiankah sesungguhnya? Nah, tentang kedudukan untukmu boleh kita bicarakan kemudian, sekarang yang terpenting, hendak kulihat apakah engkau benar-benar ingin mengabdikan diri. Apakah Pendekar Siluman berada di pulau?"
"Tidak, Taijin. Taihiap sedang bepergian, entah ke mana."
Wajah Koksu itu kelihatan girang. Tanpa adanya Pendekar Super Sakti yang ditakuti, tentu mudah menaklukkan penghuni pulau itu. Kelak, menghadapi Pendekar Siluman sendirian saja tanpa anak buah, tentu akan lebih mudah. Dan pemuda ini kelihatannya amat ingin memperoleh kedudukan, maka tentu akan dapat membantunya dengan baik.
"Siapa yang sekarang berada di Pulau Es? Siapa tokoh-tokohnya yang menjaga keamanan di sana dan berapa banyak penghuninya?"
"Selain Subo Phoa Ciok Lin, juga tentu saja di sana terdapat Paman Yap Sun, Paman Thung Sik Lun, puteranya yaitu Thung Ki Lok, dan terutama sekali, di sana ada juga murid Taihiap, atau keponakannya sendiri, Nona Giam Kwi Hong. Hanya merekalah yang menjadi tokoh-tokoh terpandai di Pulau Es, selebihnya hanyalah anak buah yang jumlahnya laki perempuan dan tua muda kurang lebih seratus orang. Belasan orang di antara mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Subo dahulu sebelum menjadi penghuni Pulau Es, yaitu menurut Subo, adalah murid-murid Toat-beng Ciu-sian-li."
"Ah-ah! Murid-murid In-kok-san yang memberontak?"
Kata Koksu dengan kaget.
"Benar, Taijin. Akan tetapi sekarang, tidak ada sedikit pun niat memberontak dalam hati para penghuni Pulau Es. Bolehkah hamba mengetahui, mengapa Taijin membawa pasukan ke Pulau Es?"
Bhong Ji Kun memandang tajam kepada pemuda itu. Sekarang ujian terakhir bagi Kwee Sui dan Koksu itu sudah siap untuk mengirim pukulan apabila pemuda itu memperlihatkan sikap memberontak.
"Kami hendak menangkap Pendekar Siluman dan pembantu-pembantunya, dan kami hendak menduduki Pulau Es."
"Ahhhh....!"
Kwee Sui terkejut bukan main, dan kalau saja dia tidak sangat cerdik, tentu dia sudah mengamuk. Akan tetapi, pemuda ini hanya memperlihatkan kekagetan, kemudian bertanya, hati-hati.
"Maaf, Taijin. Akan tetapi.... apakah kesalahan kami? Apakah dosa para penghuni Pulau Es?"
"Tak perlu kau tahu, ini adalah perintah Kaisar! Kalau mereka melawan, akan dibunuh! Bagaimana pendapatmu?"
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Taijin, hamba kira tidak akan ada yang melawan, kecuali kalau Taihiap berada di Pulau. Kalau sampai mereka melawan.... aihhh, hamba tidak dapat membayangkan akibatnya. Subo memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, juga kedua Peman Yap Sun dan Thung Sik Lun amat lihai, belum lagi belasan orang saudara seperguruan Subo. Dan terutama sekali Nona Kwi Hong.... ahhh, Taijin tidak tahu, dia luar biasa lihainya, telah mewarisi ilmu dari Suma-Taihiap. Lebih lagi, baru-baru ini dia telah memperoleh Li-mo-kiam sebatang di antara Sepasang Pedang Iblis."
"Sepasang Pedang Iblis?"
Hampir semua tokoh yang hadir dalam kapal itu berseru, yaitu yang berada di kapal koksu itu adalah Sang Koksu sendiri, Thian Tok Lama yang menghadap, dan para panglima.
"Bagus sekali! Kami akan menundukkan atau membunuh mereka, pedang itu dan semua pusaka di Pulau Es harus dirampas untuk kerajaan!"
Tiba-tiba Kwee Sui memberi hormat dan berkata,
"Mohon Koksu sudi mempercaya hamba. Hamba sanggup membantu, sehingga pasukan-pasukan pemerintah tidak mengalami kesukaran memasuki Pulau Es yang tidak mudah diserbu, dan hamba akan mencuri Li-mo-kiam dari tangan Nona Giam Kwi Hong, kemudian membantu Taijin menghadapi mereka yang melawan, dan akan membujuk agar mereka tidak melawan dan menyerah saja, akan tetapi hamba mohon janji Taijin."
"Ha-ha-ha, orang muda. Aku mengerti, jangan khawatir, kalau berhasil penyerbuan ini dan jasamu besar, tentu aku akan melapor kepada Kaisar dan engkau akan memperoleh anugerah pangkat sesuai dengan kepandaianmu."
"Hamba percaya akan hal itu, Taijin, akan tetapi ada satu hal yang hamba minta kepada Taijin sebelum Taijin mengerahkan pasukan menyerbu Pulau Es...."
"Hemmm, apa permintaanmu? Katakanlah, akan kami pertimbangkan."
"Hamba.... hamba mencinta Giam Kwi Hong, karena itu.... harap dia jangan dilukai apalagi dibunuh.... jika menjadi tawanan supaya diserahkan kepada hamba.... hamba akan berterima kasih sekali dan selamanya akan menyerahkan jiwa raga hamba mengabdi kepada pemerintah di bawah pimpinan Taijin."
Koksu itu tertawa bergelak dan tanpa banyak tanya lagi dia mengerti akan isi hati pemuda itu. Tak salah lagi, pikirnya, tentu cinta pemuda ini ditolak oleh murid Pendekar Siluman. Sungguh kebetulan sekali dan amat menguntungkan terlaksananya tugasnya karena andaikata tidak ada persoalan itu, belum tentu pemuda ini mau membantunya demikian mudah. Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dari bawah kapal dan seorang pemuda tinggi besar yang pakaiannya basah semua, dengan sebatang golok besar di tangan kanan, telah berdiri di situ memandang ke arah Kwee Sui dengan mata terbelalak marah, kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Kwee Sui sambil membentak.
"Manusia she Kwee yang berbudi rendah! Seekor anjing yang setiap hari diberi makan dan dipelihara, masih memiliki kesetiaan. Akan tetapi engkau ini manusia lebih hina daripada anjing, setelah segala kebaikan yang kau terima dari Majikan Pulau Es, sekarang pada kesempatan pertama hendak mengkhianatinya! Bedebah!"
Para pengawal sudah mengurung pemuda itu, dan Thian Tok Lama sudah melangkah maju, akan tetapi Im-kan Seng-ji Bhong Ji Kun berseru,
"Tahan dan jangan serang dia!"
Lalu Koksu ini menoleh kepada Kwee Sui,
"Kwee-sicu, siapakah dia itu dan kenapa dia marah-marah kepadamu?"
Muka Kwee Sui sudah merah sekali saking malu dan marahnya. Tak disangkanya bahwa saingannya itu berada di sini dan mendengarkan ucapannya tadi. Sudah kepalang, pikirnya. Tentu saingannya menyelidiki kapal dengan jalan berenang karena memang dia seorang ahli renang yang luar biasa.
"Taijin, dia itulah Thung Ki Lok putera Paman Thung Sik Lun. Dia memang membenci hamba karema dia pun jatuh cinta kepada Giam Kwi Hong."
"Ha-ha-ha!"
Bhong Ji Kun tertawa bergelak, di dalam hatinya dia mengejek Pendekar Siluman. Kiranya Pulau Es hanya dihuni oleh pemuda-pemuda macam ini, karena tergila-gila kepada seorang wanita, telah melakukan hal-hal yang bodoh, pikirnya.
"Kwee-sicu, setelah engkau berjanji untuk membuat jasa kepada kerajaan. Nah, kuperintahkan engkau menghadapi dia!"
Kwee Sui melompat berdiri dan Thian Tok Lama menyerahkan pedangnya yang tadi dirampas oleh pendeta Lama itu. Dengan pedang di tangan, Kwee Sui menghampiri Ki Lok dan berkata,
"Ki Lok, engkau memang sudah bosan hidup. Telah lama ingin sekali aku memenggal batang lehermu, akan tetapi karena di pulau, tidak ada kesempatan bagi kita mengadu nyawa. Sekarang, kita hanya berdua di sini, mari kita tentukan siapa di antara kita yang hendak hidup!"
"Hemm, manusia hina! Karena engkau telah menjadi anjing penjilat musuh, maka berani bicara besar! Apa kau kira aku takut menghadapi macammu dan para majikan barumu?"
"Tutup mulutmu yang busuk!"
Kwee Sui marah sekali dan sudah menerjang dengan pedangnya. Ki Lok menangkis dengan goloknya.
"Tranggg....!"
Tangan Kwee Sui tergetar dan memang dia maklum akan besarnya tenaga yang dimiliki Ki Lok, namun dia tidak gentar karena dia memiliki gerakan yang lebih cepat dan gesit. Segera ia menyerang lagi menggerakkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa sehingga pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar dan menyerang Ki Lok. Karena Kwee Sui digembleng oleh Phoa Ciok Lin yang lihai, tentu saja ilmu silatnya lebih lihai daripada Ki Lok.
Tingkatnya lebih tinggi, terutama sekali gin-kangnya. Akan tetapi Ki Lok memiliki keberanian yang luar biasa, membuatnya selalu tenang dan biarpun gerakan goloknya tidak secepat gerakan pedang di tangan lawan, namun karena dia menggerakkannya dengan tenang dan dengan tenaga yang besar maka dia dapat melindungi tubuhnya dengan baik. Bhong Ji Kun menonton pertandingan ini dengan hati girang. Dia mendapat kenyataan bahwa Kwee Sui memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, lebih tinggi kalau dibandingkan dengan kepandaian para panglimanya, bahkan lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Panglima Bhe Ti Kong yang dipercayanya. Boleh juga, pikirnya. Pemuda ini akan merupakan pembantu yang boleh diandalkan, hampir setingkat dengan kepandaian Tan-siucai! Dan pertandingan ini merupakan ujian terakhir bagi pemuda itu!
Kalau pemuda she Kwee itu benar-benar bertekad bulat untuk menghambakan diri kepada kerajaan, tentu tidak akan segan-segan membunuh kawannya sendiri, kawan sepulau! Pertandingan berlangsung mati-matian dan seru karena Ki Lok juga berusaha untuk membunuh Kwee Sui, bukan semata-mata karena memperebutkan Kwi Hong, sama sekali tidak. Demi nona itu yang diperebutkan cintanya, dia tidak akan begitu rendah untuk mengadu nyawa dengan Kwee Sui. Kalau dia sekarang berusaha membunuhnya adalah karena melihat kenyataan bahwa Kwee Sui hendak mengkhianati Pulau Es. Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan mulailah Ki Lok terdesak oleh sinar pedang Kwee Sui, dan ia hanya dapat menangkis dan mengelak tanpa dapat balas menyerang. Ki Lok mundur terus sampai di pinggir kapal, kakinya tersangkut tali dan ia terjengkang. Saat itu, dua kali sinar pedang berkelebat.
"Crat-crat!"
Darah mengucur keluar dari pangkal lengan kanan dan dada kiri Ki Lok. Pemuda ini terjengkang ke belakang, goloknya terpental dan tubuhnya tarlempar keluar kapal. Air muncrat ke atas dan tubuh pemuda tinggi besar itu tenggelam dan lenyap. Yang tampak hanya sedikit air laut yang berwarna merah oleh darahnya. Sejenak Kwee Sui memandang ke air, sambil menyimpan kembali pedangnya. Ketika mendengar suara Bhong Ji Kun tertawa, dia membalik dan menjatuhkan diri lagi berlutut di depan koksu itu.
"Bagus! Kepandaianmu lumayan dan engkau telah membuktikan kesetiaanmu. Nah, sekarang bagaimana baiknya menurut rencanamu agar kami dapat mendarat?"
"Perkenankan hamba kembali ke pulau. Hamba akan memberi tanda-tanda dengan sobekan-sobekan kain putih yang menunjukkan jalan masuk yang aman, bebas dari jebakan-jebakan. Akan hamba coba untuk membujuk mereka agar menyerah, akan tetapi kalau mereka tidak mau, terserah kalau Taijin hendak membunuh mereka yang melawan. Hamba akan berusaha mencuri Li-mo-kiam dan harap Taijin jangan lupa agar jangan membunuh Nona Kwi Hong andaikata dia nekat melawan."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Kalau dia melawan akan kami tawan dia untukmu. Akan tetapi selain pedang Li-mo-kiam, kau harus mengumpulkan pusaka-pusaka Pulau Es agar jangan sampai mereka sembunyikan atau hancurkan. Kelak engkau akan diberi anugerah besar dan kedudukan yang cukup tinggi." "Baik, Taijin. Hamba mohon sebuah perahu kecil agar hamba dapat mendarat lebih dulu."
"Kau beri tanda dari lima penjuru, agar pasukan-pasukan kami yang terbagi lima dapat menyerbu dengan aman."
"Baik!"
Kwee Sui lalu meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang sudah diturunkan oleh pasukan, kemudian mendayung perahu itu ke darat dengan jantung berdebar. Biarpun dia telah berhasil membunuh Ki Lok, namun hatinya merasa tidak enak sekali. Dia telah bermain dengan api, dan kalau dia teringat kepada Pendekar Super Sakti, dia bergidik. Tidak apa, pikirnya, menghibur diri sendiri. Kalau serbuan itu berhasil dan dia tinggal di kota raja, membantu koksu yang memiliki banyak orang pandai, dia tentu aman dari pembalasan Pendekar Super Sakti. Dan Kwi Hong, si cantik manis yang membuatnya tergila-gila itu, setelah ditawan dan diserahkan kepadanya, hemm.... dia akan memaksanya menjadi isterinya, mau atau tidak!
Kalau dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi, aman dan terjamin keselamatannya, sudah memperoleh diri Kwi Hong yang dicintanya, mau apa lagi? Jauh lebih baik daripada "mati kering"
Di tempat dingin itu, di Pulau Es, hanya dapat memandang Kwi Hong dengan penuh rindu hati yang menyiksa perasaan. Setelah mendapatkan perahunya Kwee Sui cepat memasang tanda-tanda kain putih di tempat-tempat tertentu sebagai petunjuk jalan masuk pulau sebagaimana yang telah ia janjikan kepada Koksu. Sambil memasang kain putih dia memasuki pulau dan langsung menghadapi gurunya yang masih berunding dengan Kwi Hong bagaimana sebaiknya menghalau musuh kalau memang kapal-kapal yang mendekati pulau itu benar-benar musuh yang berniat buruk.
"Wah, lama benar engkau melakukan penyelidikan, sampai kusuruh Ki Lok pergi menyusulmu. Di mana Ki Lok?"
Begitu dia datang, gurunya menegurnya.
"Celaka sekali, Subo."
Tiba-tiba Kwee Sui menjatuhkan diri berlutut dan mengusap air matanya.
"Eh, ada apakah?"
Phoa Ciok Lin membentak marah melihat muridnya begitu cengeng.
"Lekas ceritakan!"
"Liok-te telah tewas mereka bunuh....!"
"Apa....?"
Seruan ini keluar dari mulut Thung Sik Lun, ayah Ki Lok yang tentu menjadi terkejut sekali mendengar bahwa putera tunggalnya telah tewas dibunuh orang.
"Bagaimana terjadinya?"
Suaranya gemetar, akan tetapi kakek yang gagah perkasa ini sudah dapat menekan batinnya, hanya mukanya saja yang pucat sekali dan pandang matanya mengeluarkan kilat. Karena khawatir kalau-kalau kebohongannya dapat dilihat oleh ayah Ki Lok, Kwee Sui kembali menghadapi gurunya sambil melirik ke arah Kwi Hong yang terbelalak kaget sampai tidak bisa bicara apa-apa ketika mendengar betapa pemuda yang menjadi sahabatnya sejak kecil itu telah terbunuh musuh.
"Teecu dapat mendekati sebuah di antara kapal mereka dan semalam suntuk teecu bersembunyi sambil berpegang pada rantai jangkar. Baru pagi tadi teecu dapat merayap naik dah selagi teecu hendak mencuri pembicaraan mereka, tiba-tiba tampak Lok-te meloncat naik ke kapal, dan mencaci-maki, mengusir kapal-kapal itu supaya menjauhi Pulau Es."
"Ahhh.... dia selalu keras hati dan terlalu berani...!"
Terdengar Thung Sik Lun mengeluh sambil menggunakan kepalan tangannya mengusap dua titik air mata.
"Ahhh, kasihan Lok-ko. Kita harus membalas dendam atas kematiannya!"
Kwi Hong mengepal tinju, suaranya nyaring penuh kemarahan dan sakit hati.
"Lanjutkan ceritamu. Mereka itu siapakah?"
Phoa Ciok Lin mendesak muridnya.
"Celaka sekali, Subo. Lima buah kapal itu adalah kapal pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Koksu Negara yang amat sakti! Dia membawa tentara yang banyak sekali, ada tiga ratus orang-orang lihai sekali. Teecu menyaksikan sendiri betapa dalam satu jurus saja Lok-te telah roboh dan terlempar ke laut! Dari kata-kata Koksu itu kepada Lok-te teecu mendengar sendiri akan ancamannya untuk menduduki Pulau Es dan akan membunuh semua penghuninya apabila berani melawan. Maka teecu mengharap kebijaksanaan Subo dan Hong-moi agar mempertimbangkan, apakah perlu melawan pasukan besar yang dipimpin orang-orang sakti itu."
"Pengecut!"
Phoa Ciok Lin membentak marah.
"Kau sebagai muridku mengusulkan agar kita menakluk saja dan menyerahkan Pulau Es tanpa perlawanan?"
"Ohhh, tidak.... tidak.... mana teecu berani? Teecu hanya menyampaikan hasil penyelidikan teecu dan mohon pertimbangan Subo. Segala keputusan Subo dan Hong-moi tentu saja teecu taati dan teecu siap membantu dengan taruhan nyawa teecu!"
Phoa Ciok Lin hilang kemarahannya dan ia percaya kepada muridnya itu. Ia menoleh kepada Kwi Hong sambil bertanya,
"Hong-ji (Anak Hong), karena Taihiap tidak ada di sini, bagaimana pendapatmu?"
Kwi Hong mengerutkan alis dan meraba gagang pedang Li-mo-kiam.
"Bagaimana pendapatku? Adakah pendapat lain lagi setelah Lok-ko mereka bunuh, Bibi? Pendapat kita satu-satunya hanyalah mempertahankan pulau, melawan mati-matian! Bagaimana Paman Yap Sun dan Paman Thung?"
Dua orang kakek itu mengangguk.
"Tidak ada jalan lain lagi,"
Jawab Yap Sun.
"Saya siap untuk mengorbankan nyawa demi membela pulau kita, seperti yang telah dilakukan anakku!"
Kata Thung Sik Lun terharu.
"Bagus, kita harus mengatur persiapan dan kuserahkan kepada Bibi!"
Kata Kwi Hong penuh semangat. Phoa Ciok Lin yang lebih berpengalaman daripada Kwi Hong karena dia adalah seorang bekas pejuang, cepat berkata,
"Kita bagi anak buah menjadi empat. Aku sendiri memimpin anak buah menjaga pantai barat, engkau memimpin anak buah menjaga pantai timur, Hong-ji. Kau Sui-ji (Anak Sui), memimpin penjagaan di utara, Paman Thung memimpin penjagaan di selatan. Adapun Paman Yap memimpin sisa anak buah untuk menghadapi serbuan kapal ke lima, darimanapun datangnya. Kebetulan kita di sini berlima, jadi tepat untuk memimpin anak buah menghadapi lima buah kapal itu yang agaknya telah mengurung pulau. Mari kita berjuang membela pulau sampai titik darah terakhir!"
Mereka lalu keluar dari Istana Pulau Es dan mengumpulkan anak buah, membagi menjadi lima dan segera berangkat ke tempat penjagaan masing-masing. Ketika Kwi Hong sedang sibuk mengatur pasukannya, tiba-tiba Kwee Sui mendekatinya dan berkata,
"Hong-moi, maafkan segala kesalahanku yang sudah-sudah. Sekarang kita menghadapi musuh yang kuat dan entah kita akan dapat saling berjumpa lagi atau tidak. Maka sebagai ucapan selamat berpisah dan selamat berjuang, aku lebih dulu mohon kau suka memaafkan semua kesalahanku."
Kwi Hong tersenyum. Hatinya lega. Baru sekali ini pemuda itu tidak mengeluarkan kata-kata merayu dan mengambil hatinya, dan agaknya dalam ancaman bahaya ini Kwee Sui bersikap sungguh-sungguh, maka dia berkata halus,
"Sui-ko, mengapa engkau berkata demikian? Tentu saja aku suka memaafkan kalau engkau bersalah, akan tetapi kau tidak bersalah apa-apa. Pula, siapa bilang bahwa kita akan kalah? Lihat saja kita akan hancurkan mereka semua!"
"Mudah bagimu, Moi-moi, karena engkau memiliki ilmu kepandaian setinggi langit. Juga mudah bagi Subo dan kedua Paman. Akan tetapi aku? Ah, tingkat kepandaianku masih amat rendah. Sedangkan, Lok-te saja demikian mudah terbunuh apalagi aku? Kalau saja aku mempunyai pusaka seperti pedangmu itu, Hong-moi, agaknya aku akan dapat mengamuk dan tidak akan mudah dikalahkan musuh!"
"Hemm, yang penting adalah orangnya, bukan pedangnya, Sui-ko."
"Kalau begitu, apakah engkau sudi meminjamkan pedangmu itu kepadaku? Percayalah aku akan menjaganya dengan nyawaku, dan dengan pedang itu di tangan, aku tidak takut menghadapi koksu sendiri sekalipun!"
Kwee Sui berkata penuh semangat.
"Pula, engkau telah memiliki Pek-kong-kiam pemberian Taihiap."
Kwi Hong ragu-ragu sejenak, akan tetapi karena dia menganggap ucapan pemuda itu tak dapat disangkal kebenarannya, dengan ramah ia lalu melepaskan sarung pedang Li-mo-kiam dan menyerahkannya kepada Kwee Sui.
"Demi mempertahankan pulau, aku rela meminjamkan pedang ini kepadamu, Sui-ko. Akan tetapi hati-hatilah terampas musuh. Aku percaya, dengan pedang yang ampuh dan mujijat ini, kelihaianmu akan menjadi lipat ganda."
"Terima kasih.... terima kasih, engkau baik sekali, Hong-moi. Selamat berpisah, mudah-mudahan kita akan saling dapat berjumpa pula."
Kwee Sui menerima Li-mo-kiam lalu lari menghampiri pasukannya dan dipimpinnya pasukan itu menuju ke pantai utara seperti yang ditugaskan subonya. Diam-diam ia tersenyum lega. Pasti kita akan saling berjumpa lagi, Moi-moi, berjumpa sebagai suami isteri baik engkau mau atau tidak! Setelah membawa pasukannya ke utara dan menyuruh mereka berjaga sambil bersembunyi, Kwee Sui diam-diam meloloskan diri dan mulai bekerja sibuk memberi tanda kain putih di pantai itu, kemudian ia menyusup ke timur dan ke selatan untuk memberi tanda-tanda robekan kain putih.
Kisah Pendekar Bongkok Eps 15 Pendekar Super Sakti Eps 7 Pendekar Super Sakti Eps 22