Ceritasilat Novel Online

Kisah Sepasang Rajawali 7


Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali ke sana! Baik, aku akan menemanimu."

   "Akan tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?"

   "Dia harus menyetujui!"

   Ceng Ceng berkata cemberut.

   "Aku berasal dari timur sana sudah sepatutnya kalau dia mengajakku kembali ke sana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci Syanti!"

   Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberitahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu. Kakek ini terkejut, akan tetapi diapun tidak berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke timur. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri.

   Tentu saja keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapun juga dia merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu sendirian di Negara Bhutan. Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai di perbatasan, di mana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengoper tugas pengawalan. Barang-barang berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya.

   Wajah para murid itu kelihatan murung, karena mereka tahu bahwa sekali ini, gurunya pergi untuk tidak kembali lagi ke Bhutan karena gurunya sudah amat tua. Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik.

   "Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?"

   Laki-laki itu mengerutkan alisnya.

   "Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sinipun tidak akan mengalami gangguan, apalagi seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!"

   Akan tetapi, kepala penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa, sama sekali bukan pakaian orang berpangkat atau seorang perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.

   "Jangan main gila kau!"

   Bentaknya.

   "Kau kira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!"

   Orang itu memandang tajam dan tersenyum.

   "Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan sembarangan. Lebih baik kau laporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin bahwa ada seorang tamu datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup meyakinkan, katakan bahwa yang datang membawa bunga suci!"

   Ucapan ini, apalagi kalimat terakhir, membuat kepala penjaga menjadi makin marah. Dia melangkah maju dan mendorong dada orang itu sambil berkata,

   "Engkau masih banyak membantah? Pergilah!"

   Akan tetapi, kepala penjaga itu kaget sekali karena dia seperti mendorong sebuah gunung karang saja! Orang itu sama sekali tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu memukul dada laki-laki berbaju hitam itu.

   "Dukkk!"

   Bukan tubuh orang itu yang roboh terkena pukulan keras, sebaliknya kepala penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting seperti dibanting saja!

   "Kau berani melawan?"

   Dua orang penjaga menyerang dengan tombak mereka dari depan dan belakang. Namun dengan gerakan gesit sekali, laki-laki berbaju hitam itu mengelak, kedua tangannya bergerak menyambar tombak,

   Tangan kiri menangkap tombak dari depan, tangan kanan menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua orang penjaga itu terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja ringannya! Tentu saja mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka segera melayang ke depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya dapat bangkit duduk dengan kepala pening dan mata berkunang! Para penjaga yang lain datang dan segera menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga terjadilah pertandingan keroyokan di depan pintu gerbang. Laki-laki itu menghadapi mereka dengan tenang, hanya menggunakan kaki tangannya untuk menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada Panglima Jayin.

   "Tahan senjata, mundur semua!"

   Tiba-tiba terdengar suara Panglima Jayin yang sudah cepat datang ke tempat itu. Para penjaga mundur dan saling membantu karena mereka sudah menderita cidera tangan. Panglima Jayin melangkah maju, berhadapan dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura dan merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di depan dada, dengan ibu jari saling tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di depan dada ini, Panglima Jayin mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya menegur,

   "Apakah Pek-lian-kauw telah mengalihkan permusuhannya kepada Negara Bhutan?"

   Pertanyaan ini mengandung teguran dan juga tantang-an.

   "Ah, ah.... tidak sama sekali, harap tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan, untuk menyampaikan surat dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di Bhutan."

   "Hemmm.... apalagi sekali ini? Setelah dua tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan raja kami?"

   "Saya sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun suka menghadapkan saya kepada sri baginda."

   "Tidak mungkin! Sri baginda sedang sibuk...."

   "Ha-ha, dengan keberangkatan pengantin? Sayang sekali, puteri cantik harus dihadiahkan kepada...."

   "Tutup mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Hayo lekas serahkan surat itu kepadaku, atau kau boleh pergi lagi!"

   Panglima Jayin membentak marah. Orang itu tersenyum tenang saja.

   "Begitupun baik. Pokoknya surat ini akan terbaca oleh sri baginda di Bhutan."

   Dia mengeluarkan sebuah sampul panjang dan sekali dia menggerakkan tangannya, surat itu melayang ke arah Panglima Jayin. Perwira tinggi besar ini menyambut dan terkejutlah dia ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat pada saat menerima surat yang disabitkan itu. Dari ini saja dia sudah tahu bahwa orang ini memiliki sin-kang yang amat kuat dan dia bukanlah tandingan orang ini!

   "Ha-ha-ha, tai-ciangkun aku mohon diri!"

   "Haii, tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai di tempat sejauh ini!"

   Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah muncul Tan Siong Khi yang telah meloncat ke depan dan menghadang orang berbaju hitam itu. Orang itu memandang dengan tajam, kemudian mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya seperti orang mengejek. Sedangkan Panglima Jayin cepat berkata.

   "Tan-ciangkun, harap jangan ganggu dia. Dia hanyalah seorang utusan yang menyampaikan surat!"

   Panglima ini tentu saja memegang peraturan umum bahwa seorang utusan sama sekali tidak boleh diganggu, maka dia menghalangi Tan Siong Khi melarang orang itu pergi.

   "Sayang sekali....!"

   Tan Siong Khi berkata.

   "Huhh!"

   Laki-laki berjubah hitam itu mendengus lagi dan sekali meloncat, tubuhnya melayang tinggi.

   "Enak saja kau pergi....!"

   Tan Siong Khi menggerakkan kakinya dan tubuhnya mencelat ke atas, agaknya hendak menghadang tubuh orang itu yang sedang melayang. Akan tetapi, tiba-tiba orang itu berseru keras dan tubuhnya yang sedang meloncat itu berjungkir balik tiga kali dan dapat meloncat lebih tinggi melampaui kepala Tan Siong Khi! Hebat dan indah sekali gerakan ini, membuktikan kemahiran gin-kang yang luar biasa.

   "Bukan main....!"

   Jayin berkata kepada Tan Siong Khi setelah orang itu pergi jauh.

   "Dia lihai sekali, kuat sin-kangnya dan lihat gin-kangnya, merupakan lawan yang lihai."

   Tan-ciangkun tertawa.

   "Akan tetapi diapun tidak akan menganggap kita orang lemah!"

   "Apa maksudmu, Tan-ciangkun?"

   Tanya Jayin, akan tetapi Tan Siong Khi hanya tersenyum. Tadi ketika tubuh pesuruh Raja Muda Tambolon itu melayang di atasnya, dia menggerakkan kepalanya dan jenggot panjangnya melayang dan menyambar ke atas, merobek celana di selangkangan kaki orang itu. Kalau dia mau, tentu saja bukan celana yang robek, melainkan bagian tubuh yang lebih penting lagi dan yang mematikan!

   "Raja Muda Tambolon ini makin menggila saja,"

   Katanya sambil berjalan memasuki pintu gerbang bersama Tan-ciangkun.

   "Dia telah menghimpun semua kekuatan mereka yang bermaksud memberontak kepada Kerajaan Ceng, yaitu orang-orang dari Tibet, Turki dan Mo-ngol. Dia sendiri adalah peranakan Tibet dan Mongol, dan khabarnya memiliki ilmu kepandaian yang mujijat. Entah apa maksudnya kali ini, dan anehnya mengapa yang menjadi utusan adalah orang Pek-lian-kauw."

   "Agaknya perkumpulan agama yang tersesat dan menjadi tukang berontak itu kena pula dibujukkan dan menjadi sekutunya,"

   Kata Tan Siong Khi dan Jayin menganggukkan kepalanya. Memang dugaan ini tidak meleset. Di perbatasan antara wilayah Kerajaan Ceng, yaitu di luar Sin-kiang, gerombolan ini berkumpul dan makin lama menjadi kekuatan yang cukup besar.

   Pada waktu itu, baik Tibet, Turki, Mongol dan semua raja muda yang menguasai wilayah-wilayah kecil masing-masing telah ditundukkan dan dihancurkan oleh Pemerintah Ceng. Namun, ada beberapa tokoh-tokoh mereka yang belum mau tunduk dan akhirnya mereka ini dapat dihimpun oleh Raja Muda Tambolon untuk bersekutu dan bersama-sama memperkuat diri dalam persiapan mereka menyerang Kerajaan Ceng dan merampas wilayah-wilayah mereka kembali. Ketika Raja Bhutan membaca surat yang dibawa oleh Jayin, dia berkerut dan kelihatan gelisah. Akhirnya dia mengundang semua pembantu dan orang kepercayaannya untuk membicarakan hal itu. Bahkan Tan-ciangkun juga disuruh hadir karena Raja Bhutan tentu saja mengharapkan bantuan dan perlindungan dari Pemerintah Ceng yang akan menjadi besannya.

   "Isi surat dari Tambolon ini membujuk agar Bhutan tidak melanjutkan hubungan kekeluargaan dengan Pemerintah Mancu, dan mereka mengajak kami untuk bersekutu. Kami memanggil kalian bukan untuk minta pendapat mengenai permintaan mereka itu, karena sudah jelas bahwa kami tidak akan menghentikan hubungan kekeluargaan kami dengan Kerajaan Ceng dan kami tidak sudi diajak bersekutu oleh kaum pemberontak bekas orang-orang pecundang dan pelarian itu. Akan tetapi perlu kita bicarakan tentang penjagaan dan pembelaan diri yang perlu kita adakan karena mereka tentu tidak akan tinggal diam setelah kami tidak menghiraukan permintaan mereka."

   Suasana menjadi hening, dan akhirnya terdengar Tan Siong Khi berkata,

   "Harap paduka bertenang hati. Hamba mengerti bahwa pemboyongan puteri paduka pasti akan mengalami gangguan dan halangan di jalan, mungkin akan dihadang oleh mereka, akan tetapi hamba dan para pengawal akan melindungi sang puteri dengan taruhan nyawa hamba sekalian!"

   "Kami mengerti, Tan-ciangkun. Hanya, perlu diadakan perubahan, karena bukan hanya rombongan itu yang mungkin akan diganggu, akan tetapi juga Bhutan mungkin akan diserang. Karena itu, kami rasa tidak baik kalau Panglima Jayin sendiri yang mengawal. Dia perlu untuk memperkuat pertahanan di sini. Namun, pengawalan harus diperkuat. Inilah yang membingungkan hati kami."

   "Harap paduka tidak gelisah,"

   Akhirnya Panglima Jayin berkata.

   "Sudah dipersiapkan pasukan istimewa, lima ratus orang banyaknya dan hamba tidak perlu ikut karena sudah ada suhu Lu Kiong yang memperkuat pengawalan. Apalagi ada Tan-ciangkun dan para pengawal dari rombongan pemboyong. Kiranya rombongan itu sudah terkawal cukup kuat, dan kalau mereka itu berani menyerang ke sini, kitapun sudah siap untuk memukul hancur mereka! Para pemberontak itu tidak memiliki pasukan besar, kabarnya paling banyak dua ribu saja. Terlalu banyak pasukan merupakan bunuh diri bagi mereka karena tentu tidak akan kuat memberi ransum. Biarkan mereka datang hamba bersumpah akan membasmi mereka sampai habis!"

   Kata-kata penuh semangat dari Panglima Jayin ini melegakan hati sri baginda, dan mereka lalu merundingkan tentang keberangkatan sang puteri, dan penjagaan-penjagaan yang perlu diadakan. Sementara itu, Ceng Ceng yang sudah mendengar tentang kedatangan utusan pemberontak, berkata kepada Syanti Dewi,

   "Enci Syanti, betapapun juga, kurasa jauh lebih baik menjadi isteri seorang Pangeran Kerajaan Ceng daripada jatuh ke tangan pemberontak yang liar dan ganas itu. Bayangkan saja kalau kau dijodohkan dengan seorang raja pemberontak! Selalu akan hidup di medan perang, bahkan selalu menjadi orang pelarian, dan mereka itu tentu merupakan orang-orang ganas dan liar yang menyeramkan."

   Syanti Dewi mengangguk.

   "Aku akan menyesuaikan diri, adikku. Kurasa, apapun yang akan terjadi atas diriku, aku masih akan terhibur oleh kehadiranmu di sampingku."

   Bunyi musik paduan suara terompet, tambur dan canang riuh gembira diseling ledakan-ledakan merecon mengantar dan mengiringkan keberangkatan rombongan Puteri Syanti Dewi sampai di luar pintu gerbang. Ketika rombongan sudah mulai meninggalkan kota raja, dari jauh masih terdengar suara riuh gembira ini di belakang mereka. Dari dalam jolinya, Syanti Dewi mengusap air matanya yang bercucuran. Betapa tidak akan pilu hatinya meninggalkan orang tua, keluarga dan tempat kelahirannya itu untuk selamanya? Sedikit sekali kemungkinan dia akan dapat berkunjung ke Bhutan setelah dia menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong!

   Ceng Ceng yang berada sejoli dengan puteri itu menghiburnya. Berbeda dengan sang puteri, dara ini kelihatan gembira sekali, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar. Tentu saja dia girang karena memperoleh kesempatan untuk kembali ke negeri di mana dia dilahirkan, dan kepergiannya ini juga bersama kong-kongnya yang berada di luar bersama para pengawal. Joli itu tidak dipikul, melainkan merupakan kereta kecil ditarik oleh empat ekor kuda. Beberapa orang pelayan wanita pribadi naik sebuah kereta ke dua, kemudian di sebelah belakang masih ada pula sebuah kereta besar penuh dengan peti-peti bawaan sang puteri. Para pengawal mengapit tiga buah kereta itu di depan, belakang, kanan dan kiri sehingga sang puteri terkurung rapat dan aman.

   Pasukan itu megah dan gagah, dikepalai oleh panglima wakil Jayin dan ditemani oleh kakek Lu Kiong yang gagah perkasa, diiringkan pula oleh Tan Siong Khi dan teman-temannya. Mereka semua berkuda, dan di sepanjang perjalanan, rombongan ini menjadi tontonan yang mengagumkan dan
(Lanjut ke Jilid 07)
Kisah Sepasang Rajawali (Seri ke 09 - Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
mengherankan para penduduk dusun. Dan untuk menenteramkan hati sang puteri, atas perintah panglima komandan pasukan, di sepanjang jalan para perajurit itu bersama-sama menyanyikan lagu-lagu ketentaraan yang terdengar megah dan gagah. Memang megah sekali menyaksikan rombongan ini. Bendera kebesaran berkibar-kibar tertiup angin, suara nyanyian lima ratus mulut itu menggegap gempita, diseling ringkik kuda. Perjalanan selama berhari-hari dilakukan dengan aman dan selamat.

   Tidak tampak ada penghalang sedikitpun sampai mereka tiba di dekat perbatasan antara wilayah Bhutan dan Propinsi Tibet. Lima hari telah lewat dan memang perajurit itu agak lambat karena melalui Pegunungan Himalaya dan pasukan Bhutan itu agaknya ogah-ogahan melepaskan puteri junjungan mereka sehingga memperlambat perjalanan. Betapapun juga ada perasaan berat untuk melepas puteri itu ke daerah Ceng, karena setelah nanti bertemu dengan pasukan penjemput di daerah Tibet, pasukan Bhutan akan kembali ke Bhutan dan menyerahkan pengawalan itu kepada pasukan Ceng. Pada hari ke lima, rombongan tiba di kaki gunung dan tampaklah padang pasir membentang luas di depan. Diduga bahwa pasukan penjemput sudah berada dekat, di balik gunung pasir di depan.

   Karena itu, rombongan berhenti di hutan terakhir sebab lebih baik menanti datangnya pasukan penjemput di daerah yang masih sejuk ini, karena perjalanan selanjutnya akan melalui daerah pegunungan yang sukar dan berbatu-batu sampai lembah Sungai Brahmaputera di sebelah utara perbatasan Bhutan. Pasukan dihentikan dan semua turun dari kuda masing-masing. Di hutan itu terdapat mata air yang jernih, airnya mengalir menjadi sebatang anak sungai kecil menuju ke utara dan agaknya anak sungai ini akan memuntahkan airnya di Sungai Brahmaputera. Tentu saja setibanya di sungai besar itu, airnya tidak sejernih ketika keluar dari mata airnya di hutan itu. Mendengar dendang anak sungai itu, Sang Puteri Syanti Dewi turun dari jolinya dan ingin sekali membasuh mukanya dengan air yang jernih.

   Maka berjalanlah Syanti Dewi ditemani Ceng Ceng dan dikawal sendiri oleh panglima pasukan dan kakek Lu Kiong, menuju ke tengah hutan dari mana terdengar suara riak air sungai itu. Ketika mereka tiba di tengah hutan yang subur itu, mereka tertegun melihat seorang laki-laki sedang tidur di atas rumput, berbantal batu, kedua lengan bersilang depan dada dan mukanya tertutup oleh sebuah caping besar bundar. Seekor kuda yang kelihatan lelah sekali sedang makan rumput tak jauh dari laki-laki itu. Panglima pasukan dan kakek Lu Kiong yang memang di sepanjang perjalanan menduga akan datangnya penyerbuan fihak musuh, tentu saja menjadi curiga ketika melihat laki-laki itu. Akan tetapi karena merasa terlalu tinggi untuk menegur, panglima itu memanggil lima orang perajurit yang sedang duduk tak jauh dari situ dengan lambaian tangannya.

   "Usir dia pergi! Sang puteri berkenan hendak mandi di mata air ini,"

   Katanya. Lima orang perajurit itu dengan sikap gagah dan galak, langkah lebar menghampiri orang yang sedang tidur.

   "Heiii! Bangun! Sang puteri hendak mempergunakan tempat ini, kau pergi dan pindahlah tidur di lain tempat!"

   Bentak seorang di antara para perajurit itu. Akan tetapi orang itu tetap tidur, sama sekali tidak bergerak.

   "Haiiii! Tulikah engkau?"

   Bentak perajurit ke dua.

   "Apakah kau sudah mati barangkali?"

   Bentak perajurit ke tiga.

   "Tak mungkin mati, lihat lututnya bergerak-gerak!"

   Memang, orang yang tertidur itu lutut kanannya terangkat dan kini bergerak, akan tetapi terhenti lagi karena dibicarakan orang.

   "Haiii, petani....! Lekas bangun dan pergi. Apakah kau ingin diseret?"

   Bentak pula seorang perajurit. Tetap saja orang itu tidak mau bergerak. Melihat ini seorang perajurit yang berkumis tebal dan memegang sebelah kaki orang itu, lalu menarik sekuat tenaga. Akan tetapi, betapa herannya semua orang melihat bahwa si kuat ini sama sekali tidak mampu membuat orang itu bergerak, bahkan menggerakkan kaki itupun tidak mampu! Seolah-olah bukan orang yang ditarik-tariknya, melainkan patung batu yang luar biasa beratnya. Teman-temannya menjadi heran, dan juga penasaran, lalu maju bersama dan lima orang itu membetot-betot tubuh orang yang tidur itu. Terdengar mereka mengeluarkan suara ah-uh-uh ketika mengerahkan tenaga, namun tetap saja orang yang dikeroyok lima ini tidak dapat digerakkan sedikitpun juga!

   "Eh-eh, apakah engkau minta dipukul?"

   Seorang perajurit membentak dan kuda orang itu menjadi ketakutan melihat dan mendengar ribut-ribut sehingga binatang ini melarikan diri agak jauh dari tempat itu. Karena orang itu tetap tidur dengan muka ditutup caping, lima orang perajurit itu menjadi hilang sabar, malu dan penasaran. Mereka berlima tidak mampu menggerakkan orang yang tidur ini, dan jelas bahwa orang itu tidak tidur, maka mereka merasa dianggap ringan dan hina. Kini mereka berlima turun tangan menyerang dengan pukulan kalang kabut!

   "Plak-plak-plak-duk-dukkk....!"

   Aneh bukan main. Tanpa menurunkan topi yang menutupi seluruh mukanya, orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya menangkisi semua pukulan. Bukan saja pukulan-pukulan itu tertangkis, bahkan lima orang perajurit itu akhirnya mundur sambil meringis, memegangi lengan mereka yang menjadi bengkak-bengkak terkena tangkisan orang yang masih tertutup mukanya oleh caping itu!

   "Hemmm....!"

   Panglima sudah memegang gagang pedangnya, akan tetapi dia didahului oleh Ceng Ceng yang sekali melompat telah berada di dekat orang itu sambil berkata, suaranya lantang penuh teguran.

   "Kalau kau seorang gagah, tentu kau tahu bahwa tempat ini bukan milikmu seorang, dan tentu kau mempunyai kesopanan untuk menyingkir karena ada wanita hendak mandi di sini!"

   "Adik Candra.... jangan....!"

   Tiba-tiba sang puteri berseru dan sudah lari mendatangi dan berkata dengan halus kepada orang yang mukanya masih ditutupi topi itu.

   "Harap kau suka pergi dari sini dan setelah kami selesai mempergunakan mata air ini, tentu saja kau boleh menempatinya lagi."

   Tubuh itu bergerak-gerak sedikit, kemudian tangan kanannya meraba tanah, menepuknya dengan pengerahan tenaga dan tubuhnya mencelat ke atas punggung kudanya yang berada agak jauh dari situ, kemudian kuda itu membalap pergi meninggalkan suara derap kaki dan sedikit debu mengepul. Semua itu dilakukan tanpa membuat capingnya terbuka!

   "Hebat....!"

   Kakek Lu Kiong memuji dengan kagum.

   "Mungkin dia mata-mata musuh...."

   Bisik panglima komandan pasukan yang segera pergi dan memerintahkan para penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan di sekitar hutan itu. Kakek Lu Kiong mengerutkan alisnya, termenung dan meraba-raba jenggotnya, lalu berkata kepada panglima itu,

   "Dia adalah seorang Han, dan melihat gerak-geriknya, dia memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Sayang bahwa kita belum dapat melihat wajahnya sebelum dia pergi. Kurasa dia bukanlah mata-mata musuh, karena kalau dia mata-mata musuh, tentu tidak demikian perbuatannya, melainkan menyelidiki kita dengan diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Betapapun juga, dia lihai sekali dan kita harus berhati-hati."

   Juga Tan-ciangkun yang diberitahu tentang orang asing bercaping itu, termenung.

   "Saya mengenal banyak tokoh kang-ouw, dan tentu saja banyak yang bercaping dan berilmu tinggi. Mungkin saya dapat mengenalnya kalau melihat wajahnya. Akan tetapi karena jelas tidak mengganggu, bahkan dalam bentrokan itu dia tidak menewaskan seorangpun perajurit, kurasa dia tidak mempunyai niat buruk terhadap rombongan kita."

   Sementara itu, Ceng Ceng dan sang puteri mandi di mata air dan mereka juga membicarakan laki-laki yang aneh tadi.

   "Dia tentu orang jahat, kalau tadi dia tidak lekas menyingkir, tentu aku akan menghajarnya!"

   Kata Ceng Ceng yang merasa mendongkol juga karena orang asing itu dipuji-puji dan orang itu men-dapat kesempatan untuk memamerkan kepandaiannya. Memang dara ini memiliki watak yang kadang-kadang keras tidak mau kalah, dan dia paling tidak senang melihat orang memamerkan kepandaiannya.

   "Ahh, belum tentu, adik Candra. Kurasa, melihat gerak-geriknya, dia bukanlah seorang jahat. Buktinya, dikeroyok demikian banyaknya perajurit, dia tidak membunuh seorangpun di antara mereka, padahal kalau melihat kepandaiannya, tentu dengan mudah dia melakukan hal itu."

   "Hemm, dia memang sengaja hendak memamerkan kepandaiannya!"

   Bantah Ceng Ceng masih tidak puas.

   "Kalau saja aku diberi kesempatan, akan kubuktikan bahwa lagaknya itu hanya kosong belaka!"

   Maklum akan watak adik angkatnya, puteri itu hanya tersenyum dan tidak menyebut lagi perihal orang aneh itu. Juga para tokoh dalam rombongan itu tidak bicara lagi tentang orang aneh, dan orang itu hanya disebut-sebut dengan bisik-bisik di antara para perajurit.

   Namun, peristiwa itu mempertinggi kewaspadaan rombongan dan penjagaan dilakukan ketat malam itu. Karena para penjemput belum juga muncul, maka terpaksa mereka bermalam di hutan itu dengan membangun tenda-tenda darurat. Sang puteri dan Ceng Ceng, juga para pelayan wanita, tidur di dalam kereta joli. Malam itu sunyi sekali setelah lewat tengah malam. Sebagian besar perajurit yang tidak bertugas jaga, tidur nyenyak karena mereka memang sudah lelah sekali. Akan tetapi mereka yang bertugas jaga, tetap berjaga dengan penuh kewaspadaan di tempat masing-masing. Perondaan dilakukan terus-menerus dari tempat penjaga yang satu kepada tempat penjaga yang lain. Juga kakek Lu Kiong, komandan pasukan, dan Tan-ciangkun tidak dapat tidur dan mereka bercakap-cakap di dalam tenda melewatkan waktu malam yang merupakan bahaya bagi mereka itu.

   Di dalam kereta joli, Ceng Ceng dan Syanti Dewi juga tidak dapat tidur. Mereka sudah terbiasa dengan kamar yang serba lengkap, dengan pembaringan yang lunak sehingga tidur di kereta joli setengah duduk itu merupakan hal yang sukar dilakukan. Maka keduanya juga setengah berbaring sambil bercakap-cakap. Diam-diam keduanya merasakan sesuatu yang aneh dan seolah-olah ada tanda-tanda rahasia akan datangnya hal yang tidak mereka kehendaki. Setelah munculnya orang aneh siang tadi, segala sesuatu kelihatan penuh rahasia. Suara angin berdesir mempermainkan daun-daun pohon saja terdengar seperti bisikan-bisikan iblis dan siluman. Bayang-bayang pohon yang dibuat oleh sinar lentera penjagaan tampak seperti bayangan raksasa! Keadaan serba menyeramkan dan menegangkan.

   "Kulik! Kulik! Kulik!"

   Suara burung malam itu terdengar jelas sekali karena suasana yang amat sunyi. Suara itu memecah kesunyian dan Puteri Syanti Dewi menggerakkan kedua pundaknya. Tengkuknya terasa dingin meremang.

   "Ihhhh.... menyeramkan sekali....!"

   Bisiknya.

   
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Adik Candra, hatiku terasa tidak enak sekali. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan kita?"

   Ceng Ceng juga merasa seram, akan tetapi dia menghibur hati kakak angkatnya dengan senyum lebar.

   "Apa yang dapat terjadi kepada kita? Engkau dikawal oleh lima ratus perajurit pilihan, enci Syanti."

   "Lima ratus orang perajurit di tempat seperti ini tidaklah meyakinkan sekali, adik Candra. Aku mendengar bahwa di daerah perbatasan ini seringkali muncul gerombolan yang dipimpin oleh Raja Muda Tambolon yang biadab itu."

   "Siapakah Raja Muda Tambolon yang terkenal itu, enci?". Syanti Dewi bergidik.

   "Aku sendiri belum pernah melihat orangnya. Akan tetapi menurut kabar, dia adalah seorang peranakan Tibet dan Mongol, seorang laki-laki bertubuh raksasa yang amat sakti dan juga amat kejam, terutama sekali terhadap wanita."

   "Hemmm, kejam terhadap wanita? Bagaimanakah?"

   "Hihh, aku merasa ngeri baru mengingat cerita yang kudengar itu saja. Bayangkan, kalau Tambolon sudah menyerang sebuah dusun, dia akan membunuh semua laki-laki yang tidak mau menyerah, dan tidak ada seorangpun wanita yang dilepaskannya. Semua kanak-kanak dibunuh, dan wanita dari usia empat belas tahun ke atas, semua menjadi korban kebiadabannya. Kabarnya, dia sendiri akan memilih sedikitnya lima orang wanita tercantik untuk dia permainkan sampai bosan. Adapun sisanya, semua diberikan begitu saja kepada para anak buahnya dan terjadilah peristiwa yang lebih mengerikan daripada penyembelihan terhadap kaum pria dan anak-anak. Para wanita itu diperkosa di dalam rumah, di jalan-jalan, di sawah, di mana saja mereka ditemukan, bahkan di antara mayat-mayat suami dan atau saudara-saudara mereka."

   "Keparat jahanam!"

   Ceng Ceng mendesiskan kata-kata ini penuh kebencian.

   "Dan beberapa hari kemudian, wanita-wanita tua dibunuh, yang muda digiring sebagai orang tawanan atau lebih tepat lagi, sebagai alat hiburan mereka sampai kaum wanita itu mati atau bunuh diri. Anak-anak yang lahir dari perbuatan laknat ini kelak menjadi anak buah gerombolan. Kabarnya Tambolon sendiri merupakan hasil kelahiran perbuatan biadab seperti itulah."

   "Hemm, kalau begitu biarlah mereka muncul. Ingin aku memenggal leher manusia iblis itu dengan pedangku sendiri!"

   Ceng Ceng berkata lagi. Tiba-tiba, seolah-olah menjawab kata-kata Ceng Ceng, terdengar suara melengking tinggi berulang-ulang. Mula-mula suara itu datangnya dari arah barat, kemudian disusul dari selatan, timur dan utara. Suara melengking yang agaknya bukan keluar dari leher manusia, melainkan dari semacam alat tiup yang aneh. Segera terdengar teriakan-teriakan dan kegaduhan hebat di luar kereta joli.

   "Apa itu....?"

   Syanti Dewi bertanya kaget dan mukanya pucat.

   "Jangan keluar dulu, biar aku yang memeriksa!"

   Ceng Ceng sudah meloncat keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya melihat ratusan anak panah berapi datang bagaikan hujan menyerang tempat itu! Di sana-sini terjadi kebakaran pada tenda-tenda dan keadaan menjadi kacau. Para perajurit yang baru saja terbangun dari tidur dan dalam keadaan panik, lari ke sana ke mari sampai akhirnya teriakan-teriakan kakek Lu Kiong, komandan pasukan, Tan-ciangkun dan beberapa orang perwira lain dapat meredakan kepanikan. Pasukan-pasukan disusun dan dibagi empat, siap menghadapi serangan dari empat penjuru itu. Tak lama kemudian, muncullah fihak musuh yang menyerang dari empat penjuru, dan terjadi pertempuran yang amat hebat.

   Perang yang terjadi di dalam gelap itu amat kejam dan dahsyat, namun sungguh tidak menguntungkan pihak pasukan Bhutan. Mereka sebagian besar baru saja bangun tidur, masih nanar dan agaknya fihak penyerang lebih tangkas dan lebih biasa dengan pertempuran di dalam hutan yang gelap. Selain itu, segera didapatkan kenyataan yang mengejutkan bahwa jumlah musuh luar biasa banyaknya, jauh lebih banyak daripada jumlah pasukan Bhutan yang lima ratus orang itu, juga, di fihak musuh banyak terdapat orang-orang pandai dari bermacam suku bangsa. Ada pendeta Lama dari Tibet, ada orang Turki yang bersorban, orang Mongol dan juga orang Han! Perang tanding mati-matian itu terjadi sampai hampir pagi. Ceng Ceng yang siap dengan pedang di tangan melindungi Syanti Dewi yang juga memegang pedang.

   Ada beberapa orang musuh dapat menyelundup masuk dan Ceng Ceng sudah merobohkan empat orang musuh, sedangkan Syanti Dewi sendiri yang selama hidupnya belum pernah bertempur, apalagi membunuh orang, terpaksa membunuh seorang laki-laki tinggi besar yang hendak menangkapnya. Kini dengan muka pucat dan tubuh menggigil puteri itu memandang korbannya. Pedangnya tertinggal di dalam perut korban itu karena merasa terlalu ngeri untuk mencabut pedangnya! Tiba-tiba kakek Lu Kiong datang dengan muka agak pucat. Seluruh pakaian kakek itu berlumur darah, dan mukanya penuh keringat. Pedang di tangan kakek inipun berlepotan darah dan kelihatannya dia lelah sekali. Seperti juga para perajurit dan para pimpinan, kakek ini telah ikut berperang dan mengamuk seperti seekor harimau.

   "Ceng Ceng.... cepat persiapkan diri dan tuan puteri! Kita harus melarikan diri, fihak musuh terlalu kuat!"

   "Apa? Melarikan diri? Tidak, kong-kong!"

   Ceng Ceng membantah marah.

   "Biar kita melawan sampai titik darah terakhir!"

   "Hushhhhh! Kau kira kakekmu ini pengecut? Kita tidak boleh memikirkan diri sendiri, kita harus menyelamatkan sang puteri!"

   Barulah Ceng Ceng teringat. Dia menoleh dan melihat Syanti Dewi berdiri pucat memandang orang yang telah ditusuk perutnya dengan pedangnya itu. Orang itu masih berkelojotan di depan kakinya!

   "Bagaimana kita bisa melarikan sang puteri, kong-kong? Tempat ini sudah terkurung."

   "Cepat, kalian berdua pakai pakaian ini dan mari ikut dengan aku!"

   Kakek Lu Kiong memberikan dua stel pakaian petani kepada Ceng Ceng dengan nada memerintah.

   "Sekarang yang terpenting adalah menyelamat-kan tuan puteri. Ini sudah diatur oleh kami, komandan pasukan, Tan-ciangkun, dan aku sendiri. Kita berdua harus dapat mengawal dan menyelamatkan puteri keluar dari tempat ini!"

   Dua orang gadis itu tidak banyak membantah lagi, lalu mengenakan pakaian petani yang agak kebesaran itu, menutupi pakaian mereka sendiri, menguncir rambut seperti model laki-laki, kemudian tergesa-gesa mengikuti kakek itu menyelinap di antara pohon-pohon gelap. Sang puteri menyerahkan segenggam perhiasan berharga kepada Ceng Ceng untuk membantu membawanya sebagai bekal. Dengan perhiasan di kantung baju yang lebar, dan pedang disembunyikan di bawah baju, mereka bergerak di bawah pohon-pohon. Syanti Dewi telah mendapatkan kembali pedangnya setelah dicabut dari perut penyerangnya tadi dan dibersihkan darahnya pada pakaian korban.

   Akan tetapi, di mana-mana mereka bertemu dengan fihak musuh dan beberapa kali terpaksa mereka membuka jalan darah dan merobohkan musuh untuk dapat melanjutkan usaha mereka melarikan diri. Namun, kakek Lu Kiong sedapat mungkin menghindarkan diri dari pertempuran, memilih lowongan-lowoagan untuk keluar dari dalam hutan tanpa diketahui musuh. Akhirnya, setelah matahari pagi tersembul di antara daun-daun pohon, mereka bertiga telah berhasil lolos dan keluar dari dalam hutan di mana masih berlangsung perang yang amat hebat itu. Suara pertempuran masih terdengar jauh di luar hutan. Baru saja hati ketiga orang pelarian itu merasa lega karena dapat lolos, dan memasuki sebuah hutan kecil di antara gurun pasir yang hanya kadang-kadang saja menyelingi gundukan perbukitan, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan lima orang sudah berdiri di depan mereka dengan golok terhunus di tangan!

   "Ha-ha-ha, sudah kuduga tentu akan ada yang menyelinap ke sini! Eh, kakek tua, apakah kalian ini anggauta rombongan puteri.... ehhhh! Kalian berdua ini begini tampan, persis perempuan.... heiiii, bukankah kalian perempuan?"

   Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam bermata lebar menunjuk dengan goloknya ke arah muka Ceng Ceng dan Syanti Dewi.

   "Ahhhh, dia puteri Bhutan! Tidak salah lagi! Aku pernah melihatnya, dia Puteri Bhutan!"

   Tiba-tiba terdengar teriak seorang tinggi kurus bermuka kuning. Mendengar ini, lima orang itu cepat maju mengurung.

   "Ha-ha-ha, benarkah itu, kawan? Kalau begitu, kita telah berhasil menjebak kakap dalam jaring kita! Ha-haha, raja muda tentu akan memberikan hadiah banyak sekali kepada kita. Tangkap dia!"

   Teriak si muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan lima orang kasar ini. Si muka hitam dan si muka kuning sudah menggunakan golok mereka untuk menerjang kakek Lu Kiong, sedangkan tiga orang teman mereka menubruk Ceng Ceng dan Syanti Dewi.

   "Plak-plak, dess!"

   Tiga orang itu tersungkur karena Ceng Ceng sudah memukul dan menendang dua orang, sedangkan Syanti Dewi sendiri merobohkan seorang dengan sebuah tendangan kilat.

   "Tranggg....! Cringgg....!"

   Kakek Lu Kiong berhasil menangkis dua batang golok lawan, biarpun dia terkejut sekali karena ketika dia menangkis, dia merasa betapa dua kali pedangnya tergetar hebat, tanda bahwa si muka hitam dan si muka kuning itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat sekali! Melihat tiga orang temannya tersungkur dan meloncat kembali, si muka hitam tertawa.

   "Ha-ha-ha, kiranya memiliki kepandaian juga si puteri dan pelayannya....!"

   "Mulut busuk! Aku bukan pelayan!"

   Bentak Ceng Ceng marah sekali dan dia sudah menghunus pedangnya, demikian pula Syanti Dewi.

   "Ha-ha-ha, tangkap mereka, jangan sampai mereka terluka. Sang Puteri boleh untuk Raja Muda, akan tetapi si cantik liar itu untukku saja, ha-ha-ha!"

   "Keparat!"

   Lu Kiong sudah menggerakkan pedangnya menyerang dan dapat ditangkis oleh si muka hitam. Segera terjadi pertandingan yang seru sekali antara kakek Lu Kiong dikeroyok dua orang yang ternyata memiliki ilmu silat yang tangguh juga.

   Tiga orang anak buah mereka itu sudah mencabut golok dan kini menyerang Ceng Ceng dan Syanti Dewi. Akan tetapi karena mereka tidak berani melukai, sedangkan dua orang dara itu melawan mati-matian, tentu saja tiga orang itu menjadi kewalahan, betapapun lihai ilmu silat mereka. Ceng Ceng mulai mendesak dengan pedangnya dan tiga puluh jurus kemudian, dia sudah merobohkan seorang pengeroyok dengan bacokan pedangnya yang hampir memisahkan kepala dari tubuh lawan itu! Terdengar teriakan keras dan Ceng Ceng melihat kakeknya juga sudah berhasil merobohkan si muka kuning yang terbabat hampir putus pinggangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa kakeknya juga terluka parah pada pundak kirinya sehingga bajunya penuh darah.

   "Kong-kong....!"

   Teriaknya sambil menangkis dua batang golok yang menyerangnya.

   "Ceng Ceng, jaga sang puteri....!"

   Kakek itu berteriak.

   "Wuuuutttt.... singgg....!"

   Golok itu menjadi sinar terang meluncur cepat sekali dari atas membacok ke arah kepala kakek Lu Kiong. Si muka hitam ternyata marah sekali melihat saudaranya tewas dan kini dia mengerahkan tenaga untuk membalas dendam.

   "Tringggg.... augghhh....!"

   Tubuh kakek Lu Kiong tersungkur dan dia bergulingan. Ketika menangkis tadi, rasa nyeri menusuk pundak kirinya yang terluka sehingga dia kehilangan tenaga dan hanya dengan jalan menjatuhkan diri saja dia terbebas dari bacokan golok. Si muka hitam mengejar dan menghujankan bacokan, namun kakek itu dengan sigapnya bergulingan sambil mengangkat pedang beberapa kali menangkis, kemudian dengan teriakan keras dia sudah meloncat bangun dan segera terjadi pertandingan mati-matian antara kedua orang itu.

   "Kakekmu terluka.... bantulah dia, adik Candra....!"

   Syanti Dewi berkata sambil membacokkan pedangnya ke arah lawan yang dapat ditangkis oleh lawan itu.

   "Tidak, kita bereskan dulu dua ekor anjing ini!"

   Ceng Ceng berseru karena dia mengerti bahwa puteri itu bukanlah lawan kedua orang yang cukup lihai ini, maka dia cepat memutar pedangnya. Kemarahan melihat kakeknya terluka menambah semangat dara ini dan dengan putaran pedang seperti kitiran cepatnya, akhirnya dia berhasil menendang roboh seorang lawan. Tendangan dengan ujung sepatu yang tepat mengenai sambungan lutut sehingga orang itu berlutut tanpa mampu berdiri kembali.

   "Singggg....!"

   Pedang di tangan Syanti Dewi menyambar.

   "Tranggg....!"

   Orang yang sudah berlutut itu berusaha menangkis, namun karena kedudukannya yang tidak baik, tangkisannya membuat goloknya terpental dan terlempar.

   "Wuuuutttt.... crotttt....!"

   Pedang Ceng Ceng sudah menyambar dan merobek tenggorokannya. Orang itu menge-luarkan suara seperti babi disembelih dan roboh terjengkang, darah muncrat-muncrat dari lehernya yang dicobanya ditutupinya dengan telapak tangan. Melihat ini, Syanti Dewi meloncat mundur dan membuang muka dengan penuh kengerian. Hampir dia muntah-muntah menyaksikan pemandangan yang mengerikan hatinya ini. Ceng Ceng mengamuk dan menekan lawan yang tinggal seorang lagi itu. Orang itu kini menjadi panik karena kedua orang kawannya telah tewas. Setelah menangkis tiga kali dan selalu tangannya tergetar sehingga goloknya hampir terlepas, dia berteriak, meloncat ke belakang hendak lari.

   "Robohlah....!"

   Teriak Ceng Ceng. Dengan gerakan indah dia melontarkan pedangnya ke depan. Pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di punggung orang itu, menembus sampai ke dada. Dengan teriakan keras orang itu roboh terguling.

   "Kong-kong....!"

   Ceng Ceng menjerit ketika melihat kakeknya terhuyung lalu kakek itu roboh di atas mayat si muka hitam yang baru saja dirobohkan dan ditewaskan. Ternyata kakek yang kosen ini biarpun berhasil membunuh si muka hitam yang lihai, menderita luka pula karena kena bacokan golok si muka hitam yang mengenai dadanya sehingga dada itu terobek lebar!

   "Kong-kong....!"

   Ceng Ceng berlutut dan memangku kepala kakeknya. Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kegelisahan menyaksikan keadaan kakeknya yang terluka hebat dan seluruh pakaiannya berlepotan darah itu. Kakek Lu Kiong membuka matanya, memandang kepada Ceng Ceng lalu kepada Syanti Dewi yang juga sudah datang berlutut di dekat Ceng Ceng.

   "Ceng Ceng, kau.... kau selamatkan puteri.... harus, sekarang juga.... pergilah kau ke kota raja.... jumpai di sana Puteri Milana, dia sahabat mendiang ibumu lindungi puteri dengan nyawamu sebagai.... sebagai keturunan seorang bekas pengawal setia...."

   Kakek itu menghentikan kata-katanya karena napasnya telah terhenti.

   "Kong-kong....!"

   Ceng Ceng memeluk kepala kakek itu, kemudian dia mengangkat mukanya. Dia tidak menangis biarpun ada dua butir air mata di pipinya yang pucat.

   "Engkau benar, kong-kong! Kita adalah pengawal-pengawal setia sampai mati. Engkau gugur sebagai orang gagah, kong-kong! Dan aku akan melanjutkan kegagahanmu."

   Dia melepaskan pelukannya dan dengan hati-hati dia merebahkan tubuh kakeknya itu di antara mayat-mayat lima orang lawan tadi.

   "Marilah, enci. Kita harus cepat pergi dari sini sebelum musuh datang!"

   "Tapi.... tapi jenazah kakekmu...."

   "Tidak apa! Kong-kong akan tahu bahwa kita tidak sempat menguburnya. Biarlah semua orang melihat bahwa kong-kong tewas di antara musuh-musuhnya dalam tugas sebagai seorang pengawal perkasa! Marilah....!"

   Ceng Ceng menahan tangisnya karena sesungguhnya hatinya perih sekali harus meninggalkan mayat kakeknya seperti itu. Namun dia tahu bahwa kalau dia terlambat, musuh akan datang dan dia akan sukar sekali menyelamatkan sang puteri. Puteri Syanti Dewi menahan isak, mengeluarkan sehelai kalung dan sambil berlutut mengalungkan benda itu di leher kakek Lu Kiong.

   "Ini adalah kalungku sendiri, biarlah sebagai tanda terima kasihku...."

   Dia terisak dan lengannya disambar oleh Ceng Ceng lalu diajaknya puteri itu melarikan diri. Hampir saja Ceng Ceng tadi menangis melihat sikap puteri itu, dan dengan mengeraskan hati dia setengah menyeret kakak angkatnya karena kalau dia menurutkan hati dan ikut menangisi jenazah kakeknya, keadaan mereka bisa berbahaya sekali.

   Demikianlah, dengan menyamar sebagai dua orang petani yang melarikan diri karena terjadi perang, Ceng Ceng dan Syanti Dewi melewati gurun pasir, pegunungan dan hutan-hutan lebat menuju ke timur. Tentu saja perjalanan itu sukar bukan main bagi mereka berdua, seperti dua ekor ikan kecil yang dilepas di tengah lautan. Mereka tidak mengenal jalan. Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa kota raja Kerajaan Ceng berada jauh sekali di timur! Mereka membawa bekal banyak perhiasan berharga, namun apa artinya semua itu kalau mereka selama belasan hari tidak pernah bertemu dengan orang lain? Mereka terpaksa harus makan binatang buruan dan daun-daun, minum dari air sungai dan mereka selalu dalam keadaan waspada dan gelisah karena mereka maklum bahwa sebelum tiba di kota raja, mereka selalu akan terancam bahaya karena fihak musuh, yaitu orang-orang bawahan Raja Muda Tambolon tentu melakukan pengejaran.

   "Lee-ko, mari kita turun dari sini. Lihat itu sepasang rajawali kita beterbangan di atas permukaan laut, agaknya tentu ada sesuatu terjadi. Mungkin ada ikan besar terdampar ke pulau seperti dahulu!"

   Kata Kian Bu sambil menudingkan telunjuknya ke bawah puncak di mana tampak sepasang rajawali itu terbang rendah di permukaan laut.

   "Ahh, Bu-te, sekarang bukan waktunya bermain-main. Ingat, hari ini kita harus melatih sin-kang untuk menghimpun Hui-yang-sin-kang (Tenaga Sakti Inti Api) yang amat sukar."

   "Memang sukar, Lee-ko. Tidak semudah ketika kita melatih Swat-im-sin-kang."

   "Tentu saja, untuk menghimpun Swat-im-sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) kita dibantu oleh hawa dingin dan salju, sedangkan Hui-yang-sin-kang adalah sebaliknya, menyalurkan sin-kang menjadi berhawa panas. Karena sukarnya, maka kita harus giat berlatih, jangan terlalu banyak main-main. Marilah kita berlatih lagi, kurasa di guha itu sudah cukup panas, apinya sudah sejak pagi tadi menyala."

   Kian Bu menghela napas kecewa, akan tetapi tidak berani membantah kakaknya dan mereka memasuki sebuah guha di puncak itu. Kalau orang lain yang belum terlatih, baru memasuki guha itu saja tentu tidak akan kuat bertahan. Di situ dinyalakan api arang yang amat besar sehingga hawa menjadi panas luar biasa, baru masuk saja terasa kulit se-perti dibakar. Namun kedua orang pemuda yang sudah terlatih itu seolah-olah mereka tidak merasakan hal ini. Mereka berjalan masuk dan duduk bersila, mulai berlatih Hui-yang-sin-kang. Kedua orang muda putera majikan Pulau Es ini memang selalu tekun berlatih silat semenjak mereka dahulu tersesat ke Pulau Neraka dan terancam bahaya maut.

   Biarpun mereka dapat terhindar dari malapetaka, bahkan pulang ke Pulau Es membawa sepasang rajawali, namun keduanya maklum bahwa ilmu kepandaian mereka masih belum mencukupi sehingga sekali saja keluar merantau hampir celaka, maka di bawah gemblengan dan bimbingan yang amat keras dari ayah mereka, keduanya berlatih setiap hari sehingga memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Akan tetapi belum lama mereka melakukan siulian (samadhi) untuk berlatih sin-kang, tiba-tiba telinga Kian Bu menangkap suara rajawali yang melengking panjang. Dia membuka mata memandang keluar guha. Tentu saja dari dalam guha itu dia tidak melihat sepasang rajawali, akan tetapi kembali telinganya menangkap suara lengking panjang dari sepasang rajawali itu.

   "Lee-ko....!"

   Kian Lee membuka matanya memandang dengan cemberut.

   "Bu-te, mengapa kau belum juga berlatih? Apa kau ingin mendapat marah dari ayah?"

   "Lee-ko dengarkan! Sepasang rajawali kita marah-marah, tentu ada sesuatu!"

   Terpaksa Kian Lee mencurahkan perhatiannya pada pendengarannya dan tak lama kemudian dia mendengar lengking panjang dari sepasang rajawali mereka. Tak salah lagi, memang sepasang rajawali itu sedang marah-marah. Hal ini amat mengherankan karena kalau tidak terjadi sesuatu di Pulau Es, mengapa sepasang rajawali itu marah-marah?

   "Hemm, mereka marah sekali. Entah apa yang sedang terjadi...."

   Kata pemuda yang bersikap tenang ini.

   "Mendengar suara mereka, kalau tidak melihat dulu, mana bisa aku menyatukan tenaga untuk berlatih? Aku mau melihatnya dulu, Lee-ko!"

   Berkata demikian, Kian Bu sudah menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melesat keluar dari guha itu. Gerakannya memang hebat sekali karena pemuda ini sudah memperoleh kemajuan yang amat pesat.

   "Tunggu, Bu-te....!"

   Kian Lee juga meloncat dengan kecepatan yang sama. Kedua orang kakak beradik itu berlari cepat menuruni puncak dan ketika mereka tiba di pantai tampaklah oleh mereka apa yang menyebabkan sepasang rajawali itu beterbangan rendah dan mengeluarkan suara pekik kemarahan. Kiranya Pulau Es kedatangan tamu! Hal yang luar biasa sekali karena selama mereka hidup di Pulau Es, satu kali ini ada orang-orang asing datang di Pulau Es, menggunakan sebuah perahu besar yang berlabuh di tepi pantai.

   Kakak beradik itu merasa heran sekali, apalagi ketika melihat bahwa yang datang adalah orang banyak. Ada dua puluh orang yang kini sudah mendarat dan mereka itu berdiri di pantai, berhadapan dengan Suma Han dan kedua orang isterinya! Karena ayah dan ibu mereka telah hadir, kakak beradik ini tidak berani bersuara, hanya melangkah maju dan mendengarkan percakapan.yang baru berlangsung. Agaknya orang tua mereka juga baru saja datang ke tempat itu menyambut para pendatang ini. Dua puluh orang itu rata-rata telah berusia lanjut, paling muda empat puluh lima tahun sampai ada yang sudah tua sekali. Akan tetapi yang paling menarik adalah dua orang kakek yang berdiri di depan, karena mereka ini adalah yang paling aneh di antara mereka semua. Dua orang kakek ini menarik karena wajah mereka serupa benar.

   Sukarlah membedakan dua wajah itu yang bentuk dan garis-garisnya sama, bahkan rambut mereka yang panjang terurai sampai ke leher juga sama. Akan tetapi, ada perbedaan yang amat menyolok pada pakaian mereka dan warna muka mereka. Yang seorang bermuka putih, bukan pucat melainkan putih seperti dicat! Kakek ini memakai baju tebal dari bulu, akan tetapi masih kelihatan seperti orang kedinginan, bahkan mukanya yang lebar bulat itu, yang berwarna putih, agak kebiruan seperti orang menderita dingin hampir beku. Adapun kakek ke dua merupakan kebalikan dari kakek pertama ini. Kakek kedua bermuka merah, muka yang seperti orang kepanasan, dan orang kedua ini hanya memakai celana sebatas lutut dan sepatu, sama sekali tidak memakai baju sehingga tubuhnya yang agak kurus dengan tulang iga menonjol itu kelihatan.

   Anehnya, biarpun berada di Pulau Es yang dingin sekali, kakek ini masih kelihatan seperti orang kegerahan, mengipas-ngipas tubuhnya yang atas dan telanjang itu dengan sehelai saputangan yang sudah basah oleh keringatnya. Dan ini bukan hanya aksi belaka karena memang lehernya selalu basah oleh keringat! Delapan belas orang yang lain terdiri dari empat belas orang kakek yang rata-rata kelihatan aneh dan membayangkan ilmu kepandaian tinggi, dan empat orang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun yang masing-masing membawa pedang di punggung mereka. Empat orang wanita ini kepalanya dibalut dengan kain putih seperti orang berkabung dan wajah mereka angker, penuh kebencian ketika mereka memandang kepada Pendekar Super Sakti dan kedua isterinya.

   Melihat dari bentuk pakaian mereka, jelas bahwa empat orang wanita ini bukanlah wanita Han, sungguhpun wajah mereka seperti wanita Han biasa, akan tetapi pakaian mereka agak lain. Dan memang mereka itu adalah wanita-wanita dari Korea, dan tergolong tokoh-tokoh orang gagah di negeri itu. Siapakah kedua orang kakek kembar yang agaknya menjadi pimpinan rombongan yang secara tidak terduga-duga datang mendarat di Pulau Es ini? Nama mereka tidak begitu dikenal di dunia kang-ouw, karena memang kedua kakek kembar ini selama puluhan tahun pergi meninggalkan dunia kang-ouw dan merantau di luar negeri. Mereka adalah kakak beradik kembar, berasal dari Taiwan (Formosa) dan pernah mereka menjelajah ke daratan besar dan membuat nama dengan ilmu kepandaian mereka.

   Akan tetapi, mereka berbeda haluan dengan suheng mereka yang mencari kedudukan dengan menghambakan diri kepada Bangsa Mancu yang menduduki Tiongkok. Suheng mereka kemudian terkenal sebagai Koksu (Guru Negara), yaitu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun (baca SEPASANG PEDANG IBLIS). Mereka berdua merasa kecewa melihat kakak seperguruan yang mereka anggap sebagai pengganti suhu itu menghambakan diri kepada musuh, maka keduanya lalu pergi meninggalkan daratan besar dan mereka berpencar untuk meluaskan pengalaman dan memperdalam ilmu mereka. Yang tua pergi ke utara dan selama puluhan tahun bermukim di daerah Kutub Utara yang amat dingin. Adapun yang muda merantau ke selatan, ke daerah panas di mana matahari lewat tepat di atas kepala.

   Beberapa tahun yang lalu, kedua orang ini kembali ke daratan besar sebagai dua orang lihai bukan main. Setelah puluhan tahun tinggal di dekat Kutub Utara, kakek tertua menjadi putih mukanya dan selalu berpakaian tebal seperti yang biasa dipakai orang-orang Eskimo di daerah Kutub Utara. Kakek ini kemudian terkenal dengan sebutan Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dari Utara). Adapun adik kembarnya, sekembalinya dari daerah panas, menjadi merah mukanya dan selalu merasa kegerahan dan tidak pernah berbaju. Dia kini dijuluki Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dari Selatan). Biarpun baru datang beberapa tahun saja, kelihaian mereka membuat nama Siang Lo-mo (Sepasang Iblis) ini terkenal sekali,

   Terutama pada golongan yang menentang Pemerintah Mancu karena kedua orang inipun terkenal anti kepada Kerajaan Mancu. Memang aneh sekali keadaan kedua orang itu. Lajimnya, orang yang selamanya tinggal di daerah dingin seperti Kutub Utara, kalau datang ke tempat yang lebih panas tentu akan kegerahan, akan tetapi Pak-thian Lo-mo sebaliknya malah, terus-menerus kedinginan! Demikian pula dengan Lam-thian Lo-mo, puluhan tahun dia tinggal di daerah panas, semestinya kini dia akan merasa kedinginan, akan tetapi biarpun berada di Pulau Es, dia masih terus merasa panas! Sebetulnya mereka tidak pura-pura dan yang menyebabkannya demikian adalah sin-kang mereka. Di Kutub Utara, Pak-thian Lo-mo melatih diri secara liar sehingga dia dapat menghimpun inti tenaga yang mengandung hawa dingin.

   Memang hebat sekali tenaga ini, namun akibatnya karena dilatih secara liar, dia selalu merasa kedinginan dan harus memakai jubah tebal berbulu dan seringkali minum arak tanpa takaran untuk menghangatkan tubuhnya, demikian pula Lam-thian Lo-mo yang telah melatih dan menghimpun inti tenaga sakti yang amat panas sehingga tubuhnya selalu terasa terlalu panas! Ketika kakek kembar ini mendengar betapa suheng mereka telah digagalkan semua usahanya memberontak oleh Pendekar Super Sakti, bahkan kabarnya suheng mereka itu tewas di Pulau Es, tentu saja menjadi marah sekali dan menaruh hati dendam kepada Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es. Apalagi ketika mendengar pendekar yang menjadi musuh besar mendiang suheng mereka itu adalah mantu Kaisar Mancu, kebencian mereka makin meluap-luap.

   Mereka lalu mengumpulkan kawan-kawan sehaluan, yaitu mereka yang menentang Pemerintah Mancu. Di antaranya adalah keempat wanita dari Korea itu. Mereka itu adalah kakak beradik dari Jepang yang telah menikah dengan perwira-perwira Korea. Ketika suami mereka semua gugur dalam perang melawan pasukan Mancu, mereka bersumpah untuk membalas dendam dan menggabung dengan mereka yang anti Pemerintah Mancu sehingga akhirnya mereka dapat bekerja sama dengan Siang Lo-mo. Mendengar bahwa Siang Lo-mo hendak mencari Pulau Es dan menyerang Majikan Pulau Es yang menjadi mantu Kaisar Mancu, tentu saja mereka berempat menjadi girang dan segera menyatakan hendak ikut membantu. Empat belas kakek yang lainnya sebagian besar adalah tokoh-tokoh kaum sesat yang merasa dirugikan oleh Pemerintah Mancu,

   

Sepasang Pedang Iblis Eps 2 Sepasang Pedang Iblis Eps 1 Sepasang Pedang Iblis Eps 19

Cari Blog Ini