Kisah Pendekar Bongkok 19
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
"Matanya.... ah, begitu jeli seperti bintang kejora!" "Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihat, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak membikin gemes!"
"Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang.... ha-ha, seekor monyet!"
"Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha!"
"Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!"
"Atau saudaranya!"
"Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?"
Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk.
Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat. Dia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali. Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apalagi mencintanya! Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar atau suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka itu benar dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok! Ingin ia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu! Akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya takkan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan panyabar. Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh semua ejekan itu, seolah-olah tidak pernah mandengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walaupun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, iapun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.
"Liong-ko, kedai di sini cukup enak tempatnya, ya? Entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!"
Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling dan dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu. Di antara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka, jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dangan sikap berani dan berandalan. Mendengar ucapan Ling Ling, seorang di antara mereka terkekeh.
"Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!"
Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
"Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suaranya. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!"
Kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.
"Ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?"
"Akur....!"
Seru teman-temannya pula. Ling Ling tak dapat menahan lagi kemarahannya walaupun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.
"Hei, bung pelayan, ke sinilah!"
Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah di mana tiga orang pemuda berandal itu duduk.
"Bung pelayan, kalau engkau tidak mau mangusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!"
Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan kini terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot kepada pemuda berpakaian kuning, seorang di antara mereka bertiga itu. Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan. Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata.
"Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!"
Pada saat itu, Sie Liong bangkit berdiri karena dia khawatir kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.
"Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kamipun tidak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai di sini saja."
Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu.
"Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja! Nona ini harus minta maaf kepada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!"
Sie Liong mangerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.
"Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan."
"Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan danganmu! Hayo ke sini rasakan hajaran kami!"
Kata si baju kuning. Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, namun nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.
"Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!"
Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah.
Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut. Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkannya. Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, tiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.
"Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!"
Si baju kuning langsung mangayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.
"Dukkkk!"
Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, bukan yang punya kepala yang kesakitan melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan seperti remuk rasanya semua buku tulang jari tangannya. Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah.
Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan, tiga orang pemuda berandalan itu mengepung. Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan. Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan. Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biarpun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.
"Wuut-wuut-wuuut....!"
Tiga batang golok menyambar.
"Trang-trang-trangggggg....!"
Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar dan lepas dari tangan para peme-gangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting! Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu dan kini pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.
"Kim-sim-pai....!"
Terdengar orang berbisik-bisik. Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (perkumpulan Hati Emas), semua orang terkejut dan semua orang sudah tahu bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama. Sudah terkenal sekali bahwa anggauta pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Ketika mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, kini memandang dengan maka pucat dan nyali mereka terbang entah ke mana.
"Ha-ha-ha, kalian cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa atau kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?"
"Baik...., baik...."
Tiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke dalam hio-louw yang besar itu. Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tidak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.
"Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harganya nyawa kalian!"
"Maafkan kami, hanya itulah milik kami,"
Kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti dua orang kawannya.
"Sudahlah,"
Kata pengumpul derma itu.
"Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!"
Para tamu saling pandang dan mereka semua sudah mendengar bahwa apabila permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai ini tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya.
Maka, bangkitlah para tamu itu dan merekapun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang ke dalam hio-louw. Biarpun tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanah, memberi derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu. Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang telah mendapatkan malu besar di depan para tamu dan terutama sekali penghinaan yang dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.
"Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan dana, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?"
Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak malakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling. Mendengar permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.
Sementara itu, biarpun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, namun sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi beser itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, dia sudah tertarik sekali. Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto yang membantu Thai-yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun. Menurut pengakuan Cia Kiu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama!
Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang di antara anak bush Kim Sim Lama! Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah dia akan dapat memperoleh keterangan yang amat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya. Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin me-ngambil hati si pemungut dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka kepada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis. Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu ber-loncatan.
"Brakk! Hei, onta bongkok! Apakah telinganu juga sudah tuli?"
Sie Liong adalah seorang penyabar, akan tetapi sakarang dia dan terutama sekali Ling Ling diganggu orang selagi makan. Dia mejnoleh dan memandang kepada si baju kuning.
"Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!"
"Keparat, kau berani melawanku?"
Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu. Melihat ini, Sie Liong menaanggalkan kesabaranhya. Tangan kanan yang memegangi sumpit bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.
"Tukkk!"
Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada.
Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang lalu terguling-guling! Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Akan tetapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itupun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika. Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum. Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya.
Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biarpun hatinya menjadi benar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganyam, namun Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, iapun melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali. Terlalu tenang, sambil tak dapat ditahannya ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum. Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu dan diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali. Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik,
"Liong-ko, awas.... dia datang....!"
Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan ke arah mejanya.
Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan mendatangkan keseraman, seolah-olah ada seekor biruang besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong. Sie Liong hanya sejenak saja memandang, lalu dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walaupun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok.
Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet. Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apa lagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik! Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka dapat membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok maupun terhadap si gadls manis!
"Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!"
Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipakna bertelanjang bulat di depan meraka, juga si bongkok! Akan tetapi kalau wajah Ling Ling berubah merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksaaa yang berdiri jangkung di depannya itu.
"Lo-suhu, engkau seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?"
Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ.
"Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Biruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Kalau kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan dengan paksa menelanjangi kalian di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!"
"Ha-ha-ha!"
Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning.
"Lo-suhu, kalau bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!"
"Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!"
Kata yang lain. Kedua pipi Sie Liong mulai berubah merah dan diapun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah di depan anggauta Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba berhadapan dengan seekor biruang! Semua tamu memandang gelisah, bahkan Ling Ling juga agak pucat, khawatir kalau-kalau "jagonya"
Sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.
"Lo-suhu, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, mendekatkan diri dengan Tuhan dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu seperti ini? Sebanarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!"
Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggauta Kim-sim-pang itu terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya! Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran. Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu, di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!
"Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau berani berkata seperti itu kepada Biruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!"
Berkata demikian, Si Biruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya dun terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.
Sie Liong bersikap tenang saja. Dia tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.
"Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga."
"Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona ini kepada tiga orang pemuda ini!"
Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan, gerakannya memang mirip seekor biruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga dan dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri sehingga tubrukan itu luput.
"Hyaaaaahhhhh....!"
Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput dan dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi menjulur ke depan, segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram ke arah dada dan muka Pendekar Bongkok. Karena serangan susulan ini amat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.
"Desss....!!"
Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sin-kang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting dan jatuh terbanting menimpa meja! Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Seperti harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan! Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlumba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.
"Pengecut-pengecut busuk!"
Sie Liong membentak marah, tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah. Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak telah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas! Ling Ling yang marah bukan main kepada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu.
Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol! Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawan, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat. Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggauta Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.
"Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!"
Bentak orang itu dan dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi. Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal bahkan tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng diapun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Namun, ketika dipakai menyerang, tongkat itu berputar den lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan! Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka, diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia mengerahkan tenaganya dan kedua tangannya mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.
"Krakkkk!"
Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi anggguta Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah mendorongnya dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).
"Plakkk!"
Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada dekat pundak lawan, namun akibatnya sungguh hebat.
Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan! Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sin-kang yang amat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya. Kalau dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu la-wannya takkan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika. Orang itu yang berjuluk Biruang Hitam, bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
"Kau.... kau.... yang berjuluk Pendekar Bongkok....!"
Akhirnya dia bertanya. Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk. Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela na-pas panjang.
"Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai di sini saja!"
Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan diapun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.
"Biruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak prabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!"
Kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah. Biruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata,
"Nah, terimalah ini!"
Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong! Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong, juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang. Namun, dengan tangan kirinya, Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Biruang Hitam sambil berseru.
"Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!"
Hio-louw itu melayang ke arah Biruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong. Biruang Ritam terhuyung dan biarpun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi diapun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.
"Pendekar Bongkok....!"
Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar. Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit kemudian dihajar kepala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, kini merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.
"Taihiap, harap, ampunkan kami...."
Katanya.
"Ampun, taihiap, mata kami seperti buta tidak melihat seorang pendekar sakti...."
Kata yang ke dua.
"Taihiap.... Siocia (nona).... kami tidak berani lagi...."
Kata pemuda yang ke tiga. Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.
"Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!"
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong yang menimbulkan kekaguman kepada semua orang. Kalau tadi se-mua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan juga gentar! Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu.
"Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!"
Bentaknya. Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan. Sie Liong memanggil pengurus rumah makan.
"Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan."
Dia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari situ. Dengan bangga sekali Ling Ling me-megang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya. Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling. Pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya. Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang.
Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat! Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling walaupun hal itu akan menghancurkan hatinya. Daripada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling! Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang. Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya.
Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini. Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik kepada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan diapun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.
"Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!"
Demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lasha.
Dan begitu masuk kota itu, dalam rumah makan tadi, kembali mereka telah mengalami gangguan yang timbul karena Ling Ling berdekatan dengan dia! Andaikata Ling Ling memasuki rumah makan itu bersama seorang pria yang sepadan, seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak mungkin timbul keributan tadi. Tentu tidak akan ada yang mengejek. Peristiwa itu membuat dia semakin teguh dalam nintnya untuk memisahkan diri dari Ling Ling. Dia sedang menunaikan tugas yang amat berbahaya. Banyak lawan yang lihai berada di depannya. Kalau dia diikuti oleh Ling Ling, hal itu tentu akan mendatangkan bahaya besar mengancam diri Ling Ling.
"Kita sekarang ke mana, Liong-ko?"
Tanya Ling Ling dengan sikap manis.
"Kita ke rumah penginapan dulu, Ling-moi. Engkau perlu beristirahat dan nanti aku akan pergi sebentar untuk melakukan penyelidikan, melaksanakan tugasku. Hanya kuminta agar engkau tidak keluar dari kamarmu sebelum aku pulang, karena seperti engkau lihat sendiri tadi, di sini juga banyak berkeliaran orang jahat."
Mereka memilih sebuah rumah penginapan dan menyewa dua buah kamar yang berdampingan. Setelah mendapatkan dua buah kamar, Sie Liong sekali lagi memesan kepada Ling Ling agar jangan keluar dari dalam kamar sebelum dia kembali.
"Baik, Liong-ko. Kalau aku tidak boleh ikut denganmu, aku akan menanti dalam kamar ini sampai engkau pulang. Biar setahun akan kunanti!"
Katanya setengah bergurau, lalu disambungnya cepat.
"Akan tetapi, Liong-ko, kau nanti jangan terlalu lama, ya?"
Sie Liong mengangguk, kemudian meninggalkan kamar itu setelah menyuruh Ling Ling menutupkan daun pintu rapat-rapat. Sie Liong lalu pergi kembali ke rumah makan tadi. Pengurus rumah makan menyambutnya dengan ramah dan penuh hormat.
"Ah, taihiap datang kembali? Apakah yang dapat kami bantu untuk taihiap?"
Tanya pemimpin rumah makan itu.
"Dapatkah aku bicara empat mata denganmu, toako?"
Tanya Sie Liong kepada pemilik rumah makan yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu. Pemilik rumah makan itu memandang heran, akan tetapi dia mengangguk dan mempersilakan Sie Liong masuk ke bagian belakang rumah makan itu yang merupakan rumah tinggalnya bersama isteri dan dua orang anaknya.
"Begini, toako. Aku berani bicara denganmu karena engkaulah satu-satunya orang yang kukenal di Lasha ini, walaupun barn sekali kita bertemu yaitu ketika terjadi keributan tadi. Engkau sudah mengenal siapa aku dan kuharap engkau suka membantuku. Engkau sudah melihat nona yang datang bersamaku tadi?"
Pcmilik rumah makan itu mengangguk, dan semakin heran.
"Ia adalah seorang sahabat baikku, akan tetapi ia yatim piatu dan hidup sebatangkara, juga ia seorang gadis yang lemah. Aku sedang melaksanakan tugas penting dan tidak mungkin membawanya terus karena hal itu akan menimbulkan bahaya seperti yang kaulihat sendiri dalam peristiwa tadi. Mengertikah engkau, toako?"
Pemilik rumah makan itu mengangguk, akan tetapi mengerutkan alis karena dia tetap tidak mengerti mengapa pendekar ini menceritakan itu semua kepadanya.
"Sebelum aku melanjutkan, aku hendak memperkenalkan diri kami lebih dahulu, toako. Namaku Sie Liong dan seperti engkau mendengar tadi, aku dijuluki orang Pendekar Bongkok. Adapun sahabatku itu bernama Sam Ling, biasa disebut Ling Ling. Ia yatim piatu dan menjadi tanggung jawabku. Nah, sekarang aku akan mencarikan sebuah tempat tinggal yang aman bagi Ling Ling, sebuah keluarga yang dapat kupercaya untuk ditumpangi gadis itu. Untuk sementara waktu saja, sampai aku menyelesaikan tugasku, entah berepa hari lamanya. Dan tentu saja aku akan membayar semua biaya yang dikeluarkan selama Ling Ling mondok pada keluarga itu. Demikianlah, toako, dapatkah engkau menolong kami?"
Pemilik rumah makan itu adalah seorang keturunan Han Tibet, seperti juga Ling Ling. Dia menarik napas panjang.
"Taihiap, semua orang di Lasha tahu bahwa aku adalah seorang pemilik rumah makan ini sejak ayahku dahulu dan bahwa kami adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan jujur. Aku dapat mengerti keadaan taihiap dan nona itu, dan seandainya tidak terjadi peristiwa tadi, tentu dengan senang hati aku menerima nona Ling Ling untuk tinggal di rumah kami sementara waktu. Akan tetapi.... setelah peristiwa tadi terjadi, amatlah berbahaya kalau ia tinggal bersama kami, taihiap. Tentu semua orang akan tahu bahwa ia mondok bersama kami dan kalau hal ini terdengar oleh tiga orang pemuda berandalan tadi, kemudian terdengar oleh Kim-sim-pai, tentu kami sekeluarga akan celaka! Taihiap tidak menghendaki kami sekeluarga celaka, bukan?"
Sie Liong menghela napas. Dia dapat mengerti alasan yang dikemukakan pemiliki rumah makan itu.
"Tentu saja kami tidak menghendaki demikian. Akan tetapi barangkali engkau dapat menunjuk keluarga lain yang kiranya dapat kutitipi Ling Ling untuk sementara waktu...."
Pemilik rumah makan itu mengingat-ingat, kemudian dia memandang pendekar itu dengan senyum cerah.
"Ah, memang ada dan tepat sekali, taihiap. Seorang bibiku yang sudah tua hidup seorang diri di kota ini, di sudut kota dan dalam kampung yang tersembunyi dan sepi. Bibi Cili tentu akan suka menerima nona Ling Ling untuk sementara tinggal bersamanya. Ia bibiku sendiri, taihiap dan boleh percaya!"
Wajah Sie Liong berseri gembira.
"Bagus! Sungguh aku berterimakasih sekali kepadamu, toako. Dapatkah kita sekarang pergi menemui bibi Cili untuk membicarakan masalah ini?"
Pemilik rumah makan itu dengan senang hati mengantar Sie Liong mengunjungi janda Cili dan benar saja seperti yang dikatakan pemilik restoran itu. Janda itu dengan senang hati menerima kehadiran Ling Ling di rumahnya berarti ia mempunyai seorang teman. Janda berusia lima puluh lima tahun ini ramah dan juga nampak sehat. Rumahnya tidak terlalu besar namun bersih dan pantas, karena janda ini hidup dari tunjangan para keponakannya, antara lain dari pemilik rumah makan itu. Malam itu juga Sie Liong mangajak Ling Ling untuk pindah ke rumah janda Cili.
"Akan tetapi kenapa kita harus pindah kamar malam ini juga, Liong-ko?"
Tanya Ling Ling ketika berkemas.
"Bukan kita, Ling-moi, melainkan engkau sendiri."
Tangan yang tadinya sibuk mengemasi pakaian berhenti bergerak dan sepasang mata Ling Ling terbelalak menatap wajah Sie Liong.
"Aku sendiri? Dan engkau....?"
"Aku harus melakukan penyelidikan melaksanakan tugasku, Ling-moi, engkau akan tinggal bersama bibi Cili untuk sementara waktu sampai selesai tugasku dan...."
"Tidak, Liong-ko, tidak..... Aku tidak mau berpisah.... aku tidak mau kautinggalkan! Aku ikut bersamamu, Liong-ko, ke manapun engkau pergi....!"
Gadis itu memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan. Sie Liong tersenyum dan memegang tangannya, tangan yang dingin dan gemetar, tangan seorang yang jelas amat membutuhkan perlindungannya.
"Tenanglah, Ling-moi. Tidak mungkin engkau ikut denganku selama aku mengadakan penyelidikan. Terlalu berbahaya. Ingat saja tadi, di rumah makan, sudah muncul ancaman bahaya. Apalagi kalau aku melakukan penyelidikan dan bertemu dengan banyak lawan yang tangguh...."
"Aku tidak takut, koko! Aku tidak takut! Biar sampai mati sekalipun aku rela asal dekat denganmu. Bersamamu, aku tidak takut menghadapi apapun juga, anal kita jangan saling berpisah...."
"Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Ling-moi, akan tetapi akulah yang khawatir. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, aku akan selamanya menyesal. Karena itu, biarlah untuk sementara ini engkau tinggal bersama bibi Cili, seorang janda yang ramah. Nanti setelah tugasku selesai, aku akan menjemputmu. Bagaimanapun, engkau harun dapat membiasakan diri, Ling-moi. Tak mungkin kita akan selamanya berkumpul...."
"Liong-koko.... Aku ingin selamanya berkumpul denganmu.... ah, aku.... aku.... jangan tinggalkan aku, koko...."
Dan Ling Ling menangis! Sie Liong mengerutkan alisnya, hatinya seperti diremas. Dia maklum akan isi hati gadis itu. Akan tetapi, dia harus mengeraskan hatinya. Demi kebahagiaan Ling Ling di kemudian hari. Sekarang ini, demi keamanan Ling Ling.
"Ling-moi! Apakah engkau mulai sekarang membantah keinginanku? Apakah engkau ingin membuat aku bingung dan susah?"
Tangis itu seketika berhenti dan gadis itu mengangkat mukanya, menatap wajah Sie Liong dengan muka pucat. Tangisnya terhenti akan tetapi mata yang terbelalak itu kemerahan dan masih berlinang air mata.
"Maaf.... maafkan aku, koko. Aku tidak ingin membuatmu bingung dan susah.... aku taat.... aku patuh, aku hanya ingin selalu berada di sampingmu. Mati bukan apa-apa bagiku, akan tetapi berpisah dari sampingmu.... ah, tak dapat aku membayangkan itu...."
Ia menutupi mukanya, tidak menangis lagi melainkan seolah-olah hendak menutupi penglihatan bayangan yang menakutkan dan menyedihkan. Sie Liong membiarkan gadis itu menguasai dirinya kembali. Dia memang sudah menduga sebelumnya bahwa keputusannya yang disampaikan kepada Ling Ling tentu akan diterima dengan kaget dan sedih oleh gadis itu. Setelah dia melihat gadis itu menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Sie Liong tersenyum kepadanya, senyum yang membesarkan hati, senyum yang ramah dan penuh pengertian.
"Ling-moi, kita manusia hidup di dunia ini harus selalu siap untuk menghadapi segala macam peristiwa tanpa menilainya sebagai suka dan duka. Semua adalah wajar saja, karena kita yakin bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini, Ling-moi. Pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan, hanya waktu saja yang berbeda dan menentukan, oleh karena itu, kita selalu harus siap siaga menghadapinya. Kalau aku mengambil keputusan agar engkau tinggal dulu bersama bibi Cili, hal itu hanya karena aku ingin melihat engkau berada dalam keadaan yang aman, tidak terbawa ancaman bahaya seperti kalau engkau ikut denganku."
"Tapi.... tapi.... hanya untuk sementara, bukan, Liong-ko? Kalau sudah selesai tugasmu, engkau tentu akan menjemputku, bukan? Dan memperbolehkan aku hidup di sampingmu?"
Sie Liong menarik napas panjang. Dia merasa belum waktunya baginya untuk berterus terang kepada gadis ini akan perasaan rendah dirinya, akan keputusan hatinya bahwa gadis ini tidak akan menemukan kehidupan yang cerah kalau menjadi jodohnya, akan selalu menghadapi cemoohan dan penghinaan dari orang lain. Kelak saja, kalau perlu, setelah selesai tugasnya, dia akan memberitahu isi hatinya. Sekarang ini, Ling Ling sudah terlampau sedih oleh perpisahan sementara sehingga dia tidak tega untuk menambah lagi beban penderitaan batinnya dengan pengakuan yang akan menghancurkan hati gadis itu.
"Aku berjanji, Ling Ling, bahwa setelah selesai tugasku, aku tentu akan menjemputmu di rumah bibi Cili."
Mendengar janji ini, seketika wajah yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan dan cerah kembali. Senyumnya muncul bagaikan matahari setelah awan gelap tercurah menjadi hujan.
"Liong-ko, katakanlah, berapa lama aku harus menanti di rumah bibi Cili?"
Pertanyaen ini tidak disangka-sangka oleh Sie Liong sehingga dia menjadi agak bingung karena tidak tahu berapa lama dia akan dapat menyeleaaikan tugas itu.
Dia hanya mendengar pengakuan Coa Kiu, orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto bahwa Tibet Ngo-houw, lima orang yang harus diselidikinya itu merupakan tokoh-tokoh utama di Tibet, bahkan merupakan pendukung dari Kim Sim Lama yang menjadi pemimpin pemberontak terhadap Dalai Lama di Tibet! Dia tidak tahu berapa lama dia akan mampu menyelesaikan tugasnya. Mungkin seminggu, sebulan dan bukan tidak mungkin pula setahun baru selesai atau bahkan belum selesai! Apalagi kalau yang diselidikinya itu menyangkut soal pemberontakan! Melihat pemuda pujaan hatinya itu nampak ragu-ragu untuk menjawab, Ling Ling merasa khawatir sekali.
"Bagaimana, koko? Berapa lama aku harus menanti engkau datang menjemputku? Seminggu?"
"Aih, Ling-moi, urusan yang kuhadapi ini bukan mudah, membutuhkan waktu yang lebih lama. Kiranya tidak mungkin kalau hanya seminggu...."
"Kalau begitu, satu bulan? Satu bulan amat lama, koko. Tentu paling lama sebulan engkau akan datang menjemputku, bukan?"
Mendengar betapa suara gadis itu mengandung kegelisahan dan harapan, Sie Liong merasa tidak tega untuk me-ngecewakan hatinya. Andaikata selama sebulan dia belum dapat menyelesaikan tugasnya, setidaknya dia akan dapat berkunjung ke rumah bibi Cili dan mengabarkan keadaannya kepada Ling Ling, mengatakan bahwa tugasnya belum selesai. Maka diapun mengangguk.
"Akan kucoba untuk menyelesaikan tugasku selama sebulan."
Wajah itu nampak lega dan tersenyum kembali, dan keharuan menyelinap di dalam hati Sie Liong. Melihat senyum itu saja, ada perasaan melekat dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia akan tega meninggalkan gadis yang agaknya telah menyerahkan seluruh harapan hidupnya kepadanya itu?
"Aku akan sabar menanti, koko."
Hati Sie Liong juga merasa lega. Setidaknya, walau belum terlepas benar dari gadis itu, dia sudah dapat memisahkan diri. Hal ini mengandung dua keuntungan. Pertama, dia dapat melakukan penyelidikan tanpa dibebani perlindungan kepada Ling Ling yang tentu kalau ikut dengannya akan merupakan halangan dan hambatan yang amat merepotkan, juga membahayakan. Ke dua, biarlah mereka saling berpisah untuk sementara waktu agar gadis itu memperoleh kesempatan untuk berkenalan dan bergaul dengan pemuda lain,
Pemuda yang tidak cacat, yang pantas menjadi pendamping gadis itu. Diam-diam dia sudah berpesan kepada bibi Cili agar memberi kesempatan kepada "adik angkatnya"
Itu untuk berkenalan dengan pemuda-pemuda yang baik karena dia ingin adiknya memperoleh seorang calon suami yang baik. Juga dia mengancam bahwa kalau terjadi sesuatu yang tidak baik terhadap diri adiknya, dia kelak akan membuat perhitungan, sebaliknya kalau janda itu menjaga Ling Ling dengan baik, dia akan memberi hadiah yang layak. Pada hari itu juga, pergilah Sie Liong meninggalkan Ling Ling di rumah janda Cili, dan keberangkatannya diantar pandang mata sayu namun dengan senyum penuh kepercayaan, yang membuat langkah Sie Liong terasa berat sekali.
Bi Sian memasuki kota Lasha dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit. Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet. Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal akan tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih!
Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lasha saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan diapun kagum dan bangga. Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan mulutnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan bagaikan menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya! Dia jatuh cinta kepada gadis ini dan biarpun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, namun gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.
Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apalagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu berahinya membakar dirinya, dan dia tidak berani apa-apa, menyentuhpun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya! Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lasha, Bong Gan mengerutkan alisnya, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong
(Lanjut ke Jilid 19)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap di antara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.
"Ada apakah, sute?"
Tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain.
"Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang."
Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena ia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Ia tadipun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.
"Hemm, mengapa tidak baik, sute?"
Tanyanya, suaranya mengandung teguran. Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang,
"Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kauceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri ketika kauserang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andaikata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui."
Bi Sian menarik napas panjang.
"Ah, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali, kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana."
Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sutenya.
Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tihang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu. Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, make Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruangan itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ.
Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum. Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian. Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik, akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, kemudlan pandang matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk. Jantungnya superti berhenti berdetak untuk beberapa saat la-manya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun dapat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya.
Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yalah wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih daripada cantik! Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya barbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut. Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat dan lemah gemulai, pinggangnya yang ramping itu seperti pohon yang-liu tertiup angin, lenggangnya mempesona, seperti lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggul menari-nari,
Istana Pulau Es Eps 24 Istana Pulau Es Eps 29 Istana Pulau Es Eps 34