Istana Pulau Es 29
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
Siauw Bwee menyentuh lengan supeknya di dalam gelap ketika ia melihat bahwa orang yang mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang yang telah berhasil menimbulkan pemberontakan dan kekacauan di atas tebing dan lembah, kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin, ternyata berada di dalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang tinggi besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang jenderal lain. Di ruangan itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya sedang merundingkan siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang banyak. Di samping itu, mereka pun saling beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu dengan pesta yang meriah. Agak janggal memang kehadiran Ang-siucai di meja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee mengangguk maklum ketika supeknya berbisik,
"Di depannya itulah Bu-koksu...."
Ah, kiranya sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah diserahkan kepada koksu itu! Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera meloncat turun membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab yang dicurinya.
Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan lancang karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh lengannva sekalipun, dia tidak akan sembrono melakukan hal itu. Siauw Bwee cukup maklum bahwa orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang ringan, apalagi mereka yang duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan jago-jago dari Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh!
Kalau apa yang ia dengar di restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk mencoba sampai di mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu akan canggung gerakan mereka, saling merintangi itu. Manusia-manusia dampit itu tidak memakai pakaian militer, juga dua orang kakek yang duduk bersama mereka, akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam rombongan ini, mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka tampak kaku dan berat. Tiba-tiba Koksu yang tadinya bercakap-cakap dengan Ang-siucai dengan wajah membayangkan kepuasan hati menoleh ke kanan dan berkata,
"Hemm, kau baru muncul? Benar-benar manusia malas!"
Siauw Bwee menoleh ke arah pembesar itu memandang dan hampir saja ia mengeluarkan jerit kalau tidak cepat-cepat tangan kirinya menutup mulutnya sendiri.
Ia membelalakkan mata, napasnya terengah dan setelah menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah duduk di jendela dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan siku ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun seenaknya di lubang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki, suhengnya yang amat dirindukannya selama ini! Sejenak Siauw Bwee hampir tidak percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang mirip suhengnya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan Koksu. Akan tetapi ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar luar biasa.
Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang ajar? Dan bukan hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan sikapnya duduk di jendela seperti itu, seenaknya seolah-olah di situ tidak ada manusia lainnya, agaknya tidak mempedulikan orang ini! Ketidakwajaran yang cocok dengan ketidakwajaran kalau Kam Han Ki sekarang membantu Koksu Negara! Kam Han Ki suhengnya itu adalah seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal Koksu dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong, dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi, orang itu tentulah Kam Han Ki, dan sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa biarpun orangnya Kam Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah terjadi sesuatu yang menimpa diri suhengnya itu sehingga kehilangan ingatannya!
"Kam-taihiap! Duduklah di sini!"
Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan. Akan tetapi pemuda tampan yang duduk di jendela itu, acuh tak acuh menjawab,
"Bu-loheng, engkau dan teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan di sana itu terdapat dua orang mengintai kalian!"
Mendengar ini, semua orang terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget lagi.
"Lari....!"
Kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran mereka.
(Lanjut ke Jilid 28)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 28
Akan tetapi, ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak menuruti kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di atas ruangan itu sambil berseru,
"Suheng....!"
Siauw Bwee menjadi gelisah sekali. Jelas bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga Kam-taihiap, dan dia tidak heran kalau suhengnya yang lihai sekali itu dapat mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa suhengnya tidak mengenalnya? Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel,
"Siapa menyebutku suheng?"
"Suheng! Ini aku, Khu Siauw Bwee....!"
Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di ruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di atas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai pengawal nomor satu dari Koksu!
"Tangkap pengacau itu!"
Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya, yang duduk di sudut ruangan. Seorang di antara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali. Siauw Bwee yang menjadi makin gelisah melihat suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui pintu belakang. Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah pinggang Siauw Bwee.
Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok menyambar di sebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.
"Crot!"
Pengawal raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat keluar dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.
Biarpun hatinya marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada di guha macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan pembunuhan. Maka, mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya berurusan dengan suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai. Keputusan hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya.
Betapapun cepatnya sambaran sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja, jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah! Siauw Bwee seperti menari-nari di atas lantai, berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah dan aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia mempergunakan ilmu gerak kaki kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan. Dalam menghadapi serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling ke arah suhengnya yang masih duduk di jendela, dan betapa gelisah dan mendongkol hatinya melihat suhengnya itu masih bertopang dagu dan menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan tidak menonton seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depan hidungnya!
Pertandingan itu membuat mereka yang hadir di ruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu adalah seorang yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun dalam segebrakan saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa, bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi dara itu seenaknya saja, selalu mengelak tanpa membalas namun belum pernah golok itu menyerempet sasarannya. Bu-koksu tentu saja dapat mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah berseri. Dia merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu seperti Kam Han Ki, kalau kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam Han Ki itu suka menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa akan aman dirinya dikawal oleh kakak beradik selihai itu.
Diam-diam ia memberi tanda dan pengawal raksasa ke dua yang juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil menyeret tombaknya, tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari seratus lima puluh kati! Begitu sampai di tempat pertempuran, pengawal ini sudah menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh sakti dalam ceritaSamkok ) membantu kawannya menusuk ke arah pusar Siauw Bwee. Dara itu tadi memang sengaja mempertontonkan kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian suhengnya yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu.
Dia menjadi marah, apalagi kini melihat pengawal ke dua sudah maju. Dengan suara melengking panjang dia sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada di belakang pengawal ke dua ini. Pengawal itu cepat menyodokkan gagang tombaknya ke belakang, menggunakan pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat, akan tetapi kembali Siauw Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok menyambar, secepat kilat tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal ke dua yang memegang tombak panjang.
"Tranggg! Heiii, lihat golokmu, jangan ngawur!"
Si Pengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya.
Kini Siauw Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan mempertontonkan kelincahannya. Tusukan tombak itu yang menuju ke ulu hati, diterimanya begitu saja dan hanya setelah ujung tombak tinggal sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh ke kiri sehingga tombak itu menembus melalui celah-celah di antara dada dan lengan kanannya. Ia menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak dengan tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan sin-kang. Pengawal itu terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas maka dengan kedua tangannya ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwa-kang (luar) yang mengandalkan kekuatan otot.
"Hekkk!"
Tiba-tiba tubuhnya terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan kesempatan selagi lawan membetot tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang tidak runcing itu tepat menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas, terjengkang ke belakang dan bergulingan mengaduh-aduh. Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari belakang.
"Trangggg!"
Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan. Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat maka ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es. Tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya pun terguling roboh! Setelah melempar tombak itu ke atas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring,
"Koksu, aku mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!"
Setelah berjumpa dengan Han Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa akan maksud kedatangannya semula.
"Tidak! Kami datang pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!"
Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw Bwee.
Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu,"
Bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya.
"Biarpun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!"
Koksu memberi isyarat dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali ke kursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh. Yang seorang berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan di sekitarnya itu kecil tiada arti. Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan melebihi seorang muda. Adapun orang ke dua, berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.
"Khu-lihiap, minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda? Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!"
Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju.
"Satu lawan satu!"
Terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding. Mendengar perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya,
"Biarlah pinto menghadapi petani kotor itu!"
Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan supeknya. Kini dua orang itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya.
"Majulah, petani busuk!"
Tosu itu membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia melihat lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini pun tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan ujung lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh.
"Taijin, kami datang bukan untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan menghendaki kami memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!"
Kata Coa Leng Bu dengan suara tenang.
"Tak perlu mencari muka, sambut tanganku!"
Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari tangan kiri ke arah perut.
"Plak-plakk!"
Coa Leng Bu menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu terpental, kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung menggunakan tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan dengan telapak tangan terbuka. Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai petani busuk itu ternyata mengandung sin-kang yang amat hebat dan yang membuat kedua lengannya tergetar. Maka kini dia tidak berani memandang rendah, ketika dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat mengelak dan balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum bahwa dia akan mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa membunuh lawan.
Siauw Bwee yang merasa lega karena dalam beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa supeknya itu tidak akan kalah, kini mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung di jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak mungkin kalau suhengnya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal betul suhengnya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama suhengnya di Pulau Es. Suhengnya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati, seorang yang berhati mulia. Andaikata suhengnya itu marah kepadanya sekalipun karena dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suhengnya mengambil sikap seperti tidak kenal padanya. Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi sesuatu yang amat hebat atas diri suhengnya dan agaknya hanya koksu itu saja yang mengetahuinya!
Dugaan yang dikhawatirkan Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han Ki. Mengapa ia bersikap seperti itu dan seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya dan hanya ada reaksi kalau ditegur oleh Koksu? Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita mengikuti pengalaman Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat bekas kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan sengsara. Seperti telah diketahui, tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian bekas kekasihnya itu. Kemudian ia mengalami pukulan batin ke dua ketika dalam pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoinya, Maya sebagai seorang Panglima Mancu!
Hatinya berduka sekali karena dia tidak berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai Panglima Mancu. Memang benar bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang tuanya, Raja dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap Kerajaan Yucen dan Kerajaan Sung, dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu semata-mata untuk dapat membalas dendam itu. Akan tetapi, sakit hatinya kalau dia memikirkan betapa sumoinya yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh daripada segala keruwetan dunia, apalagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana Pulau Es, kini menjadi seorang panglima perang!
Harapan satu-satunya hanyalah Siauw Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoinya yang ke dua itu, agaknya mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali mendengar jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya kepadanya, tanpa mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut dengan dia kembali ke Istana Pulau Es, meninggalkan semua urusan duniawi, akan tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa Siauw Bwee! Betapa mungkin dia memenuhi permintaan itu? Betapa mungkin dia mendapatkan Maya dengan membuang Siauw Bwee? Dia mencinta kedua orang sumoinya itu, mencinta dengan kasih sayang besar, seperti seorang saudara tua, bahkan seperti pengganti guru dan orang tua! Memang, kadang-kadang dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu, seperti cinta kasihnya terhadap mendiang Sung Hong Kwi.
Cinta kasih yang membuat ia rindu akan kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak jatuh cinta kepada keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak berani membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat! Karena tidak dapat memenuhi permintaan Maya, maka sumoinya itu pergi membawa pasukannya dan dia sendiri tidak tahu harus mencari Siauw Bwee ke mana? Kemudian timbul keinginan hatinya untuk mencari kedua orang encinya, kedua orang kakak kandungnya yang semenjak dia dibawa pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah ia jumpai. Maka pergilah Han Ki ke pegunungan Ta-liang-san, di mana ia dahulu mendengar bahwa kedua orang encinya itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri, yaitu Kauw Bian Cinjin.
Dengan penuh harapan untuk dapat bertemu dengan kedua orang encinya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke Ta-liang-san, luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu hanyalah luka luar yang biarpun banyak akan tetapi ringan saja, maka sambil melakukan perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di Ta-liang-san, ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih penuh duka dan kecewa. Betapapun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan kecewa. Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab pertanyaannya tentang tokoh-tokoh Beng-kauw,
"Di puncak sana sudah tidak ada orang lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!"
Mendengar ini, Han Ki cepat berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu di depan pondok yang sudah rusak dan di depan sebaris kuburan yang tidak terawat lagi.
Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw di situ, dan di antaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan paman kakeknya dan membayangkan wajah paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya di waktu ia masih kecil. Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan hati tidak karuan mencari kuburan kedua encinya. Akan tetapi harapannya timbul kembali ketika ia tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui di antara mereka yang terkubur di situ. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti bahwa kedua orang encinya itu tidak ikut mati! Semua kuburan, di bawah nama masing-masing yang terkubur terdapat tulisan
"Gugur dalam mempertahankan Beng-kauw". Dia makin bingung karena tidak tahu apakah yang telah terjadi dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka kini tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk mencari petani tadi.
"Paman, mohon tanya di mana adanya kedua orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang dahulu tinggal di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?"
Kakek petani itu menghela napas panjang sebelum menjawab.
"Kau maksudkan Ji-wi Kam-kouwnio? Aihhhh.... sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu di mana mereka itu berada? Semenjak Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah yang masih hidup, lalu mereka pergi entah ke mana...."
Suara orang itu penuh duka dan keharuan.
"Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh aku heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang baik hati?"
"Paman, siapakah yang telah menjatuhkan Beng-kauw? Dan di mana sekarang pusat Beng-kauw?"
Kini petani memandang Han Ki penuh kecurigaan.
"Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana tahu tentang Beng-kauw?"
Kam Han Ki yang maklum bahwa orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang.
"Namaku Kam Han Ki, adapun kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku."
Tiba-tiba petani itu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis, Han Ki cepat membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan bercerita,
"Saya dahulu juga seorang anggauta Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Beng-kauw, merobohkan semua tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil melarikan diri. Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya beberapa orang saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri karena tidak sudi menjadi anggauta Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama itu. Ji-wi Kam-kouwnio dan beberapa orang anggauta yang setia menguburkan semua jenazah di puncak itu, kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali Beng-kauw. Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban. Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah ke mana, mungkin mencari bala bantuan dan habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang sekarang berpusat di pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama."
Han Ki menjadi makin berduka, akan tetapi juga marah sekali.
"Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat berkedok pendeta itu!"
Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang melongo dan mencari dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan bayangan Han Ki, dia lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas.
"Terima kasih kepada Thian yang agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia berhasil!"
Tanpa mempedulikan kelelahan, Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san, melakukan perjalanan cepat siang malam dengan hati penuh kemarahan.
Ia mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, membebaskan para anggauta Beng-kauw dan baru kemudian mencari kedua orang encinya yang tidak ada kabar beritanya lagi, biarpun di sepanjang jalan ia bertanya-tanya orang. Agaknya penduduk di sepanjang jalan sungkan untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah menjadi perkumpulan agama yang ditakuti orang. Akan tetapi ketika Han Ki akhirnya tiba di puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha yang dahulu menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama, kembali ia mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu bangunan-bangunan yang sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih tinggal di situ hidup sebagai petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya.
"Saudara sekalian, harap suka memberi keterangan kepadaku, di mana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?"
Begitu Han Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu langsung menyerangnya dengan cangkul mereka.
Gerakan mereka gesit dan kuat, tanda bahwa mereka bukanlah petani-petani biasa, melainkan orang-orang yang pandai ilmu silat. Tentu saja Han Ki terkejut bukan main, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua terlempar kembali ke tengah sawah dan terbanting ke dalam lumpur! Untung bagi mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga sin-kangnya karena Han Ki masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki tangan pendeta Lama itu, tentu mereka berenam itu sekarang sudah tidak dapat bangkit lagi dan tewas seketika!
"Hemm, mengapa kalian menyerangku? Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?"
Mendengar ucapan itu, enam orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap. Mereka keluar dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki sambil memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka bertanya.
"Maaf...., apakah Taihiap yang gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?"
"Sahabatnya? Dan apa kau bilang? Mendiang? Jadi manusia iblis itu sudah mati?"
Enam orang itu menarik napas lega.
"Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah kami karena tadi kami menyangka bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka kami segera menyerang. Memang dia sudah tewas, juga semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa Taihiap ini? Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap kepada Bu-tek Lo-jin?"
Han Ki sudah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu saja sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut karena dia tidak tahu siapa sedangkan she-nya mengingatkan dia akan keluarga Suma yang jahat sekali.
"Namaku Kam Han Ki, dan aku mencari kedua orang enciku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui."
"Ahhhhh...., mengapa Taihiap datang terlambat....?"
Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis! Persis seperti yang dilakukan petani bekas anggauta Beng-kauw di Tai-hang-san itu.
"Bangkitlah, jangan seperti anak kecil. Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya, bukankah kalian seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?"
Orang tertua dari mereka berkata.
"Kami adalah bekas anggauta-anggauta Beng-kauw yang dipaksa menjadi anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami berenam tinggal di sini, sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao untuk membangun kembali Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama.
Akan tetapi.... ah.... Taihiap.... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta itu, mereka.... mereka telah menjadi korban dan tewas...."
Seketika pucat wajah Kan Ki, napasnya terasa sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar amat hebat baginya, hampir saja dia roboh pingsan kalau dia tidak mengeraskan hatinya. Dengan bibir gemetar dia berkata singkat,
"Ceritakan....!"
Orang tertua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di situ hampir dua bulan yang lalu. Han Ki mendengarkan dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali ketika mendengar betapa kedua orang encinya terjebak dan terpendam di bawah tumpukan batu-batu gunung.
"Di mana mereka terpendam? Lekas tunjukkan kepadaku!"
Enam orang itu lalu menuju ke bukit di mana dahulu kedua orang wanita itu teruruk oleh batu-batu yang amat banyak. Ketika Han Ki tiba di depan gundukan batu seanak gunung itu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran.
"Pergilah kalian, jangan ganggu aku!"
Bentaknya dan enam orang itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka kasihan sekali, ketika dari jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari batu-batu itu, mereka menggeleng-geleng kepala dan mengira bahwa orang itu menjadi gila saking duka.
Akan tetapi maklum bahwa Han Ki amat lihai, mereka tidak berani mendekat, lalu kembali ke sawah mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka. Memang Han Ki seperti menjadi gila saking hebatnya penderitaan batin yang menghimpitnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, membongkari batu-batu itu dan orang akan terbelalak kagum dan terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan batu-batu besar ke dalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya merupakan sebongkah kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena dalam duka dan marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Saking tekunnya membongkar batu dan mengerahkan seluruh sin-kang, Han Ki tidak tahu betapa dari jauh terdapat beberapa pasang mata memandang ke arahnya dengan terbelalak dan penuh kekaguman. Juga ia tidak tahu betapa enam orang tadi kini telah menggeletak di tengah sawah dalam keadaan mati semua! Dia terus membongkar batu-batu yang merupakan tumpukan sebesar anak gunung itu dan menjelang senja, habislah batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis dan dengan tubuh lemas ia berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang masih berpakaian. Jelas pakaian dua orang wanita, dua orang encinya!
"Aduh, Kui-cici...., Hui-cici....!"
Ia menangis memeluk dua kerangka manusia itu, kemudian ia mengumpulkan kerangka itu, memondongnya dan membungkusnya dalam pakaian mereka, kemudian menggali lubang tak jauh dari situ dan mengubur dua kerangka itu menjadi dua gundukan tanah. Dengan pengerahan tenaga terakhir ia berhasil menggores-gores dua buah batu sebagai batu nisan, menuliskan nama kedua orang encinya dengan goresan jari, kemudian menancapkan batu nisan itu di depan dua kuburan dan ia menangis tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh terguling dalam keadaan pingsan!
"Cepat! Dia pingsan, kita dapat turun tangan sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!"
Terdengar orang berkata dan muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai setelah mereka mendengar penuturan enam orang bekas anggauta Beng-kauw kemudian membunuh mereka begitu saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu Coa-bengcu yang bermarkas di Pantai Po-hai, isterinya yang cantik bernama Liem Cun, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin.
Kedatangan mereka adalah atas usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih terhitung adik seperguruan Hoat Bhok Lama, yaitu murid Thai-lek Kauw-ong. Pat-jiu Sin-kauw yang tahu bahwa suhengnya telah merampas Beng-kauw, mengusulkan kepada Coa Sin Cu untuk mengadakan hubungan dengan suhengnya agar kedudukan mereka menjadi makin kuat. Kunjungan ke situ selain disertai ketua Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga turut pula Thian Ek Cinjin, tosu pembantu Coa Sin Cu. Untung sekali bahwa mereka tadi tidak berjumpa dengan Han Ki, melainkan dengan enam orang petani yang mengira bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka tanpa curiga mereka menceritakan keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang kematian Hoat Bhok Lama dan tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung yang mengubur dua orang encinya.
Mendengar nama Han Ki, mereka terkejut karena nama Han Ki sudah amat terkenal sebagai adik Menteri Kam yang sakti. Mereka lalu membunuh enam orang bekas anggauta Beng-kauw itu, kemudian diam-diam mereka mengintai dan menyaksikan dengan penuh takjub betapa pendekar itu membongkar batu-batu besar. Ucapan Pat-jiu Sin-kauw tadi memang benar. Biarpun Han Ki hampir kehabisan tenaga membongkar batu-batu tadi, kalau saja dia tidak pingsan, belum tentu enam orang itu akan mampu menandinginya. Kini empat orang itu berlompatan mendekati tubuh Han Ki yang pingsan tak bergerak, kelihatan mereka masih takut-takut kemudian Pat-jiu Sin-kauw hendak menotok tubuh yang pingsan itu.
"Jangan!"
Tiba-tiba Liem Cun, isteri Coa Sin Cu, mencegah.
"Orang dengan kesaktian seperti dia ini, siapa tahu tidak akan terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai akal yang lebih aman bagi kita."
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid Hoa-san-pai yang murtad itu mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan seguci arak, kemudian menuangkan arak ke dalam cawan. Setelah itu, bungkusan dibuka dan dia menjumput sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam cawan.
"Buka mulutnya, paksa obat ini masuk ke perutnya!"
Katanya. Melihat Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin ragu-ragu, Coa Sin Cu tertawa.
"Ha-ha, percayalah akan kemanjuran racun isteriku itu. Biar dia dewa sekalipun, kalau minum racun ini dalam waktu sehari semalam dia akan pingsan terus!"
Mulut Han Ki yang sedang pingsan itu dibuka dan arak itu dituangkan ke dalam mulutnya. Karena masuknya arak ini ke perut dan menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari pingsannya. Ia meronta dan melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar ke kanan kiri, akan tetapi Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa memasuki perutnya.
"Hebat, dia lihai bukan main!"
Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena dia tadi terlempar jatuh.
"Mengapa tidak dibunuh saja orang yang berbahaya ini?"
Thian Ek Cinjin berkata sambil mengerutkan alisnya, merasa ngeri menyaksikan kesaktian pendekar itu.
"Ah, dia tepat sekali bagi kita,"
Kata Coa Sin Cu.
"Dia inilah yang akan menjadi pembuka jalan, menjadi kunci ke dalam gedung Bu-koksu. Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan Totiang berdua datang menghadap Bu-koksu seperti yang kita rencanakan, menghadap begitu saja, aku masih khawatir kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan tidak mau menerima bantuan kalian. Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki sebagai tawanan, tentu dia percaya karena orang ini adalah seorang buruan, musuh pemerintah. Begitu muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini, berarti telah membuat jasa besar. Tentu Bu-koksu akan menerima kalian sebagai pengawal dan kalau sudah begitu akan lancarlah usaha kita. Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen tentu akan girang sekali mendengar bahwa kalian sudah berhasil menyelundup ke sana dan menduduki jabatan penting!"
Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan berangkatlah mereka berdua membawa Han Ki yang pingsan, dan membawa pula bekal obat merah Liem Cun. Setiap sehari semalam, mereka mencekokkan obat merah dan arak ke dalam perut Han Ki sehingga pendekar ini berada dalam keadaan pingsan terus-menerus selama sepuluh hari! Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Coa Sin Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu menjadi girang sekali ketika menerima dua orang pendeta yang membawa Han Ki sebagai tangkapan itu. Otomatis keduanya diterima dan diangkat menjadi pengawal, akan tetapi koksu yang cerdik itu tidak membunuh Han Ki atau menyerahkan kepada pengadilan kota raja untuk diadili.
Tidak, koksu ini terlalu cerdik untuk membunuh Han Ki begitu saja. Dia sudah mendengar akan kelihaian pendekar ini, bahkan sudah mendengar akan sepak terjang Han Ki ketika membasmi ribuan orang tentara Mancu, dan tahulah dia bahwa amat sukar mencari seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han Ki. Alangkah akan kuat kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat memiliki seorang pengawal seperti ini! Apalagi kalau dipikir bahwa dia dapat memetik ilmu-ilmu kesaktian dari pendekar ini. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu Kok Tai tidak kekurangan akal. Dia, di samping ilmunya yang tinggi, juga sudah lama tinggal di daerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari Himalaya, buatan seorang pendeta aliran hitam, yang disebut I-hun-tok-san.
Bubuk beracun ini dapat dicampurkan dengan makanan atau minuman, dan siapa yang meminumnya akan kehilangan ingatannya dan seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala perintah orang yang menguasainya pada pertama kali. Demikianlah, dengan menggunakan I-hun-tok-san ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada Han Ki, selama tiga hari berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan dirinya di sebuah kamar yang amat bagus dan di dekat pembaringannya duduk Bu-koksu yang dengan ramah-ramah memberitahukan bahwa koksu itu menolongnya dari keadaan pingsan dan hampir mati. Han Ki adalah seorang yang memiliki dasar watak pendekar budiman.
Seorang pendekar tidak pernah melepas budi, akan tetapi selalu ingat akan budi orang lain, maka biarpun ingatannya samar-samar dan ia sudah lupa mengapa dia pingsan di bukit dan hampir mati, kenyataannya bahwa dia berada di situ dan terawat baik membuat ia tidak meragukan lagi akan pertolongan orang lain, maka dia menghaturkan terima kasih. Demikianlah, dengan amat pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan ingatannya, bahkan memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik sendiri. Han Ki disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan yang amat langka bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal Bu-koksu yang amat setia. Namun, ada hal yang mengecewakan hati Bu-koksu.
Biarpun Han Ki tidak kehilangan ilmu kepandaiannya yang sudah mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi, namun pemuda itu sama sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda itu sudah lupa sama sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal menyebut Han Ki yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai pemuda, akan tetapi karena dia memang belum menikah dan wajahnya masih kelihatan seperti seorang berusia dua puluh lima tahun, dia masih patut disebut pemuda! Hal lain lagi yang aneh adalah bahwa Han Ki dalam keadaan tidak sadar itu tidak pernah mau mempedulikan urusan lain, bahkan tidak tahu akan sopan-santun dan segala peraturan lain. Hanya ucapan Bu-koksu seoranglah yang ditaatinya dan biarpun tanpa diminta, kalau melihat koksu itu diganggu orang, tentu dia akan turun tangan melindungi.
Seperti keadaan seekor anjing yang terlatih dan amat setia! Marilah kita kembali ke dalam ruangan kepala daerah, yang tadinya menjadi tempat pesta pertemuan dan kini menjadi medan pertandingan menguji kepandaian itu. Han Ki melenggut di atas langkan jendela, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Karena Koksu tidak memberi perintah apa-apa, dan juga tidak ada bahaya mengancam Koksu, maka Han Ki bertopang dagu lagi dengan pikiran kosong! Seperti telah diduga Siauw Bwee, pertandingan antara Coa Leng Bu melawan tosu yang bukan lain adalah Thian Ek Cinjin itu tidak berjalan terlalu lama dan kini supeknya telah dapat mendesak lawannya sehingga selalu mundur. Ketika tangan Thian Ek Cinjin terpental bertemu dengan tangan Coa Leng Bu dan kedudukan kakinya tergeser, Coa Leng Bu cepat menerjang dan melakukan tiga kali pukulan tangan kosong berturut-turut.
Thian Ek Cinjin berusaha mengelak dan menangkis, namun kalah cepat dan pundak kirinya kena terpukul telapak tangan Coa Leng Bu. Ia terjengkang dan roboh, meringis kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah seorang tokoh yang sudah berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan yang bersenjata, akan tetapi karena dia tidak ingin kesalahan tangan melakukan pembunuhan, maka ia mendahului, selagi lawan meloncat bangun, cepat ia menggerakkan tangan memukul dengan sin-kang jarak jauh. Thian Ek Cinjin tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali, tangannya menggigil dan ia tidak mampu mempertahankan lagi ketika pedangnya dirampas oleh lawannya!
"Kurasa sudah cukup Totiang!"
Kata Coa Leng Bu sambil melontarkan pedang itu ke arah pemiliknya. Thian Ek Cinjin marah sekali, menyambar pedangnya dan hendak meloncat maju lagi. Betapa dia tidak marah kalau di depan Koksu dia dikalahkan orang seperti itu?
"Mundurlah, Cinjin, biar aku yang melawannya!"
Bentakan ini keluar dari mulut Pat-jiu Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya keok. Karena dia maklum bahwa petani tak bersepatu itu cukup lihai, maka begitu menyerang ia sudah mainkan Soan-hong-sin-ciang, tubuhnya berputar seperti gasing dan angin yang keras bertiup ke arah Coa Leng Bu! Kakek ini terkejut sekali, terpaksa kini ia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Jit-goat-sin-kang. Kedua lengannya melindungi tubuh sendiri dan kadang-kadang tangannya mendorong ke depan.
"Ihhhh....! Pat-jiu Sin-kauw berteriak kaget ketika hawa pukulan yang amat panas menyambarnya dan membuat gerakan berputar menjadi agak kacau.
Tahulah dia bahwa lawannya itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka ia menjadi marah sekali dan menghentikan gerakan tubuhnya berputaran, lalu kedua lengannya bergerak mendorong atau memukul dari bawah ke arah lawan. Dari perutnya terdengar bunyi berkokok. Inilah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang mengandung tenaga sin-kang amat dahsyat! Menghadapi pukulan-pukulan dahsyat ini, Coa Leng Bu terkejut dan cepat ia pun mengerahkan Jit-goat-sin-kang, karena hanya dengan tenaga sin-kang ini sajalah ia akan mampu menghadapi lawannya yang tangguh. Mulailah dua orang kakek itu bertanding secara hebat sekali, gerakan mereka tidak cepat sekali namun setiap gerakan tangan yang memukul atau menangkis mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga angin menyambar-nyambar di sekitar ruangan itu dan terdengar suara bersuitan.
Siauw Bwee memandang kagum. Dia dapat mengukur Jit-goat-sin-kang yang dikuasai supeknya sekarang. Terasa betapa di ruangan itu hawanya menjadi berubah-ubah, kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang sejuk dingin. Itulah pengaruh dari kekuatan Jit-goat-sin-kang. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa supeknya bukanlah lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai sekali. Biarpun dengan Jit-goat-sin-kang supeknya masih dapat menahan serangan-serangan Thai-lek-kang, namun ilmu silat supeknya masih kalah jauh dan begitu pendeta rambut panjang berjubah hitam itu mainkan Soan-hong Sin-ciang, supeknya terdesak hebat. Si Sastrawan Ang Hok Ci berbisik kepada gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu mempergunakan Jit-goat-sin-kang. Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa!
"Ha-ha-ha, jadi hanya begini sajakah Jit-goat-sin-kang yang terkenal ini? Kalau hanya begini, mengapa mesti susah payah mendapatkannya?"
Mendengar ini, tahulah Siauw Bwee bahwa sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah gurunya untuk mencari kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempeiajari Jit-goat-sin-kang. Kini mendengar koksu itu mengejek karena memang kepandaian dan kekuatan Coa Leng Bu masih kalah tingkatnya oleh Pat-jiu Sin-kauw, ia merasa mendongkol. Pula, dara perkasa ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, supeknya bisa terluka karena orang macam pendeta rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan dapat dipercaya? Salah-salah supeknya akan terbunuh! Tiba-tiba terdengar bentakan Pat-jiu Sin-kauw.
"Petani busuk, menggelindinglah engkau!"
Ternyata setelah mendesak lawannya dengan hebat, pendeta jubah hitam itu tiba-tiba mengirim serangan hebat dengan Thai-lek-kang yang tak dapat dielakkan lagi oleh Coa Leng Bu sehingga terpaksa dia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Biarpun tangan mereka tidak saling sentuh, namun terjadilah pertemuan tenaga sin-kang yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu menggigil, namun dia tetap mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia maklum bahwa kalau dia mengalah dan sampai roboh ia akan celaka di tangan lawannya yang berhati kejam itu.
"Supek, mundur!"
Tiba-tiba Siauw Bwee berseru nyaring, tubuhnya sudah mencelat ke atas di antara kedua orang yang mengadu tenaga itu dan tiba-tiba dorongan tangannya dari atas memisahkan tenaga dua orang yang sedang saling dorong, bahkan tubuh mereka terjengkang ke belakang. Coa Leng Bu yang maklum bahwa dara sakti itu hendak menggantikannya, dan tahu bahwa dia bukanlah lawan pendeta jubah hitam, segera muhdur sedangkan Siauw Bwee dengan sikap tenang menghadapi Pat-jiu Sin-kauw yang sudah meloncat lagi memperbaiki posisinya. Kakek ini memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak penuh kemarahan, lalu menegur,
"Kawanmu belum kalah, engkau sudah datang mengeroyok. Aturan mana ini?"
Siauw Bwee tersenyum mengejek.
"Biarpun belum kau robohkan, Supek sudah mengaku kalah. Apakah kau belum puas kalau belum melukai atau membunuh? Anggap saja dia mengalah kepadamu dan marilah kita main-main sebentar kalau memang kau ingin memamerkan kepandaianmu!"
Pat-jiu Sin-kauw adalah seorang yang berilmu tinggi. Di depan orang banyak tentu saja dia merasa direndahkan kalau harus melawan seorang dara remaja, maka ia membentak nyaring,
"Kalau supekmu saja sudah kalah olehku, apalagi engkau keponakan muridnya. Apakah engkau gila hendak melawanku?"
Siauw Bwee menoleh ke arah Bu-koksu dan berkata nyaring,
"Koksu, begini sajakah jago-jagomu? Kalau memang takut melawan aku, mengapa mesti berpura-pura segala? Jagomu ini tidak berani melawanku, harap Koksu suka mengeluarkan jago yang lebih berani!"
Ejekan ini benar-benar hebat, membuat muka Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia tidak takut, hanya merasa segan dan direndahkan kalau harus melawan seorang gadis remaja. Mukanya menjadi makin merah lagi dan matanya terbelalak marah ketika terdengar suara Bu-koksu,
"Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut menghadapi anak perempuan itu?"
Ucapan koksu ini disambut suara kekeh tawa di sana-sini.
"Bocah setan, engkau sudah bosan hidup! Sambutlah ini!"
Dengan gerakan cepat sekali Pat-jiu Sin-kauw menggerakkan tangannya menampar ke arah kepala Siauw Bwee. Dia memandang rendah sehingga tidak menggunakan Thai-lek-kang, hanya menampar dengan sembarangan saja, namun sambil mengerahkan sin-kang.
"Plakkk!"
Tangan yang besar itu tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan akibatnya.... tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpelanting!
Semua orang berseru kaget, akan tetapi tidak lebih keras dari seruan Pat-jiu Sin-kauw sendiri. Ia cepat meloncat dan mukanya menjadi pucat saking marahnya, diam-diam ia menyalahkan diri sendiri yang memandang ringan dara ini. Sambil berteriak keras ia kini menyerang lagi dengan Ilmu Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya berputaran seperti gasing, membawa angin yang menyambar dan dari bayangan tubuh yang berputaran itu, kedua tangannya meluncur keluar dan memukul dengan pengerahan tenaga Thai-lek-kang! Inilah serangan yang amat hebat dan yang tadi membuat Coa Leng Bu kewalahan. Dengan mengeluarkan dua ilmu ini sekaligus berarti Pat-jiu Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud membunuh dara itu.
Semua orang memandang terbelalak, demikian pula Bu-koksu karena pembesar ini sudah mengenal kehebatan ilmu jagonya dan diam-diam ia khawatir kalau-kalau dara yang demikian cantik jelita itu akan celaka dan tewas. Maka ia memandang dengan mata penuh perhatian tanpa berkejap seperti juga semua orang yang berada di situ. Betapa heran hati mereka yang menonton ketika melihat dara itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, dan hanya kedua lengannya saja yang bergerak amat cepat sehingga dus lengan itu seperti berubah menjadi banyak sekali. Anehnya, semua pukulan yang dilakukan Pat-jiu Sin-kauw itu terpental, bahkan setiap kali kakek itu memukul dan tertangkis, tubuhnya terdesak mundur sampai dua tiga langkah!
Tidak ada orang yang dapat mengikuti gerak tangannya, bahkan Koksu sendiri yang lihai juga tidak mengenal gerak tangan itu karena Siauw Bwee mainkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung, dan sebagai dasar gerakan, tentu saja ia menggunakan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es dahulu dan yang kini, berkat latihan-latihan dan ilmu lain yang dipelajarinya, telah menjadi makin kuat itu. Baik gerakan tangan ilmu silat maupun tenaga sin-kang Pat-jiu Sin-kauw tentu saja tidak mampu menandingi tingkat Siauw Bwee, maka biarpun dara itu hanya menangkis saja, semua serangan kakek itu membalik dan terpental ke belakang.
Pat-jiu Sin-kauw sendiri merasa terkejut dan heran sekali. Dia tidak tahu bagaimana caranya dara itu menghadapi serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat mengikuti kecepatan gerak tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia memukul, tangannya terpental kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa yang dahsyat. Ia merasa penasaran sekali dan marah, karena kalau dia tidak dapat mengalahkan seorang dara remaja seperti itu, tentu namanya akan jatuh dalam pandangan koksu! Maka sambil berseru keras ia menerjang lagi dengan pengerahan tenaga, siap untuk mengadu tenaga sampai mati!
Akan tetapi tiba-tiba dara itu lenyap dari depannya. Cepat ia membalik dan mengayun tangan langsung menyerang setelah pendengarannya, menangkap gerakan lawan di belakangnya, akan tetapi dia hanya melihat bayangan berkelebat-kelebat dan selalu lenyap dari pandang matanya. Pat-jiu Sin-kauw terkejut dan terus mengejar ke mana saja bayangan berkelebat dengan pukulan-pukulannya, namun semua pukulannya luput dan makin lama bayangan Siauw Bwee menjadi makin banyak dan makin cepat gerakannya, membuat kepala Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening.
Bukan hanya Pat-jiu Sin-kauw yang pening kepala dan kabur pandangan matanya bahkan semua orang yang menonton pertandingan itu terbelalak memandang ke depan, berusaha mengerahkan pandang mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki Siauw Bwee yang kini berkelebatan dan amat cepatnya seperti menghilang itu. Siauw Bwee telah mainkan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung, maka gerakannya benar-benar mujijat dan cepat sekali. Setelah menganggap cukup memberi pelajaran kepada kakek yang sombong itu, tangan kiri Siauw Bwee bergerak menepuk pundak, kaki kanan menyentuh lutut dan tanpa dapat dipertahankannya lagi, Pat-jiu Sin-kauw jatuh berlutut di depan Siauw Bwee!
"Aihh, engkau orang tua terlalu sungkan, mana mungkin aku yang muda berani menerima penghormatan ini?"
Siauw Bwee berkata sambil melangkah mundur, seolah-olah dia sungkan menerima penghormatan Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya. Sejenak Pat-jiu Sin-kauw terbelalak, heran sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh berlutut. Ketika mendengar suara ketawa ditahan di sana-sini, dia marah sekali dan meloncat berdiri, siap untuk menerjang mati-matian mengadu nyawa.
"Pat-jiu Sin-kauw, cukup! Mundurlah, Nona ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai untukmu. Agaknya hanya Kam-siauwte saja yang tepat menjadi lawannya. Kam-taihiap, harap maju dan kalahkan Nona itu untukku!"
Pat-jiu Sin-kauw tidak berani membantah dan mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang duduk di jendela, ketika mendengar perintah itu, mengangkat muka memandang kepada Koksu, kemudian menoleh dan memandang Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri dan juga memandang kepadanya. Pandang mata mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee berseru,
"Suheng....!"
Akan tetapi ia tahu bahwa sia-sia saja panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya seperti pandang mata orang asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau hatinya tidak senang. Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang dan tiba di depan Siauw Bwee! Kembali mereka berpandangan, kini dari jarak dekat karena mereka berdiri saling berhadapan. Hati Siauw Bwee terharu sekali. Wajah suhengnya kini kelihatan muram ditindih duka, sinar matanya kosong, dan jelas tampak olehnya bahwa suhengnya itu sama sekali tidak bahagia. Akan tetapi dengan kaget ia pun dapat melihat bahwa suhengnya sudah siap untuk menerjangnya.
Mutiara Hitam Eps 14 Cinta Bernoda Darah Eps 3 Cinta Bernoda Darah Eps 17