Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 10


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Koko.. aku takut... api itu akan membakar kita.."

   Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah nanusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya, ombak makin membesar dan langit makin gelap.

   "Lulu, lekas berdiri contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api."

   Kata Han Han sambi angkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu. Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sin-kang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman. Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum terlanjur terbakar. Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya.

   "Hayo kita meloncat ke air."

   Teriak Han Han.

   "Tidak mau.., Aku takut..."

   Kata Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu. Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin,

   "Apakah kau ingin terbakar api?"

   Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.

   "Hujan.."

   Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi.

   Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik dan biarpun perahu masih terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar keluar perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han. Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.

   Entah berapa lamanya badai mengamuk, Han Han tak dapat mengira-ngira. Cuaca selalu gelap sehingga tidak ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama. Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah. Badai itu mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya sebentar-sebentar mengerang lalu "tertidur"

   Lagi. Namun Han Han tetap sadar. Ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali, keadaan amat tenangnya, Han Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri semua. Tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk dan Lulu merintih perlahan.

   "Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti,"

   Bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.

   "Han-ko., apakah kita sudah.. sudah mati..? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit.."

   Han Han merasa kasihan sekali.

   "Kita masih hidup, Lulu."

   Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat daripada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biarpun terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan anak itu biarpun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah kemudian berkata,

   "Perutku lapar.."

   Han Han tertawa dan pada saat itu ja pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biarpun roti ini sudah basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah kematian karena kelaparan. Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai keluar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi.

   Han Han berusana mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk. Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas daripada ancaman manusia-manusia iblis itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum, dan selain perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang dekat. Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri daripada ancaman maut ini.

   Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan keluar lagi dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi, nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membebaskannya daripada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput. Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biarpun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut. Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu.

   Kedua orang anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun, pada malam harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang sudah mengering dan membengkak. Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung. Han Han dan Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil ber bisik dengan suara gemetar.

   "Kita mati, Koko.. kita mati.. akan tetapi jangan tinggalkan aku.. kita bersama."

   Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han.

   Apapun yang akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran biarpun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan melindungi adiknya ini. Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu. Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.

   "Lulu, badai sudah berhenti lagi. mari. mari kita keluar.."

   Kata Han Han dengan suara lemah. Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dinina-bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka matanya.

   "Lulu.. mari kita keluar... kita harus berusaha, untuk mendarat.."

   "Oohhh.. lebih senang begini, Koko..."

   Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya. Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu. Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras.

   "Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus berusaha. Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu."

   Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan berkata.

   "Koko, kitab-kitabmu tercecer.."

   Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu. Yang sebuah adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan SepasangPedang Iblis. Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu.

   Yang sebuah berjudul "Menghimpun Tenaga Im-kang"

   Dan yang ke dua berjudul "Berlatih Samadhi dan Lwee-kang", keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo. Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari bilik. Ketika mereka muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang. Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih. Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ diliputi salju.

   "Pulau Es"

   Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.

   "Pulau Es..! Lulu, kita berada di Pulau Es ."

   Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu. Lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian. Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga ketika mereka bergulingan jatuh, mereka tidak terluka. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.

   "Kita selamat. Kita mendarat..."

   Seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah. Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah, telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala kesengsaraan dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini, setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan keluar karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi sukar. Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya, terlepas.

   
"Koko..! Han-ko...! Ah, Han-ko, bangunlah.."

   Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak. Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.

   "Han-ko..! Jangan mati, Han-ko.., jangan tinggalkan aku..."

   Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.

   "Gerrrrr..."

   Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas.

   Tidak ada suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal. Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor beruang yang berbulu putih. Beruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing. Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.

   "Ohhhhh, tidak.. jangan."

   Lulu menggeleng kepalanya.

   "

   Jangan mengganggu Han-ko.."

   Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak angkatnya. Andaikata tidak ada kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini, melihat beruang itu mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir beruang itu dengan suara dan gerakan tangan.

   Namun, beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang lengan manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang masih pingsan. Lulu terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak menggigit Han Han, tidak menganggunya, malah memondong dan seperti hendak menolongnya. Ia pun lalu bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang tertinggal di situ, kemudian berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju tanpa mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan keselamatan kakaknya.

   Beruang putih atau beruang es itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya akan keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat lemah itu, kini dapat berjalan terus mengikuti beruang itu sampai ke tengah pulau. Padahal tadi, melangkah setidak pun sudah terasa amat berat, bagi tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan hebat itu. Alangkah heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah bangunan itulah beruang besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya, tentu ada orangnya"

   Orang macam apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti beruang itu yang membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo.

   Bangunan itu amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang itu membawa Han Han masuk kesebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal. Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah. Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas, tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan beruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan. Beruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja.

   Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian, binatang itu mengambil dua batang pedang pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian. Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat betapa beruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.

   "Cringgggg..."

   Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan bernyalalah kayu itu di dalam tungku dan beruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu. Beruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar. Lulu seperti baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han.

   "Koko..! Koko.! Bangunlah.. Ada, ada binatang aneh..."

   Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya. Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena beruang itu sudah kembali memasuki kamar, mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu. Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat men gerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah jahat.

   "Apakah kehendakmu?"

   Katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri beruang itu. Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat daripada petak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya. Teringat akan hal ini, cepat dia mengambil panci itu dan membawanya ke depan beruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara

   "arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh"

   Ia menunjuk ke perapian. Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga, mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali. Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba beruang yang besar itu melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.

   "Paman beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?"

   Beruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan beruang itu mengangguk-angguk. Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.

   "Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Beruang?"

   Beruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut beruang yang gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Beruang itu mengeluarkan suara ngak-ngak-nguk-nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu"

   Bocah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini tinggal sedikit, beruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih, sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya. Hatinya girang sekali karena biarpun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu,

   Lulu memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang bubur encer dan mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat bergerak namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han. Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh beruang es yang luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han telah sembuh daripada sakitnya. Dengan terheran-heran setelah sadar benar, Han Han mendengarkan cerita Lulu tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan.

   Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh beruang putih. Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang indah dan lengkap, adapula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah "taman"

   Yang aneh karena disitu bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat hidup karena disitu selali diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.

   Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah beruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman. Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang. Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah"

   Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dengan melihat keadaan beruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai. Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka
(Lanjut ke Jilid 10)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri.

   Kamar pertama adalah kamar yang paling besar, perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain mengandung filsafat yang dalam dan pandangan yang amat luas dan bijaksana, juga ditulis amat indah. Di bagian lain dari dinding tertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya :

   "Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang berkepentingan."

   Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain daripada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun itu.

   Betapa ingin mata memandang mesra
Betapa ingin jari tangan membelai sayang
Betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata,
Bebaskan dirimu daripada ikatan nafsu
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang, dunia takkan pernah tercipta
Betapapun juga, cinta segi tiga membahagiakan
Menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
Akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
Ikatan persaudaraan dilupakan
Akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu bahwa sengsaralah buah daripada nafsu

   Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka. Adapun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam. Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.

   Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas "petunjuk"

   Beruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini, juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Adapun untuk keperluan daging, amat mudah didapat berkat bantuan beruang es. Binatang ini adalah seekor mahluk yang amat ahli menangkap ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing daripada dunia ramai. Mulailah Han Han menggembleng diri sendiri dan adiknya dengan pelajaran ilmu dari kitab-kitab yang banyak terdapat di situ. Kitab pelajaran melatih lweekang, bersamadhi dan dasar-dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi Han Han sendiri terdapat kesulitan.

   Begitu membuka dan mempelajari kitab-kitab yang di tinggalkan oleh manusia sakti penghuni Pulau Es, kepalanya menjadi pening dan hatinya mendingin, sama sekali ia tidak tertarik. Sebaliknya, ketika ia membaca dua buah kitab yang ia temukan di dalam perahu, kitab tulisan Ma-bin Lo-mo, ia dapat melatihnya dengan mudah. Selain itu, ketika ia mulai membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis, ia menjadi bingung dan terheran-heran karena kitab itu ditulis dengan huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya. Huruf-hurufnya amat aneh, dengan coretan-coretan yang tak dapat dibaca sama sekali. Akan tetapi Han Han memiliki kecerdikan yang tidak wajar. Ia mengingat pesan kakek Pedang Iblis Jantan, mengingat kembali kata-kata yang dibisikkan di dekat telinganya.

   Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun. Ia membuka dua kitab yang disatukan itu, memeriksa huruf-hurufnya dan mengingat bisikan itu. Sebentar saja Han Han sudah tersenyum kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa memiliki kuncinya, takkan dapat dibaca orang. Dengan mengingat kuncinya, maka setiap huruf dapat ditambah atau dibuang titik maupun coretannya dan akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf itu. Dengan tekun Han Han lalu mulai membaca kitab-kitab itu, kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, bahkan lalu mulai melatih diri dengan cara-cara yang tersebut dalam kitab-kitab peninggalan para datuk golongan sesat ini.

   Karena pada dasarnya Han Han melatih diri dengan ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia lebih mudah menggembleng diri dengan ilmu sesat dan tanpa disadarinya, dia telah mengisi dirinya dengan ilmu dari manusia-manusia sesat dan yang ternyata amat cocok dengan dirinya yang sebenarnya telah menjadi tidak normal sebagai akibat ketika ia disiksa para perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding sedangkan perasaan hati dan pikirannya menghadapi peristiwa malapetaka hebat yang menimpa keluarganya. Adapun Lulu yang juga mulai belajar ilmu karena bercita-cita untuk membalas kematian keluarganya, dibimbing oleh Han Han, namun anak yang masis "bersih"

   Ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan ilmu yang didapat dari kitab-kitab peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es.

   Hanya sukar sekali baginya karena kitab-kitab itu mengandung ilmu-ilmu yang amat tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama sekali tidak memiliki dasar apa-apa. Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh Lauw-pangcu maka biarpun amat terbatas dan secara meraba-raba dan ngawur, sedikit banyak dapat juga Lulu memperoleh kemajuan. Mula-mula, Han Han mencari di antara kitab-kitab dalam perpustakaan dan menemukan kitab pelajaran siulian dan berlatih napas yang sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia lalu menyuruh Lulu melatih diri melalui kitab ini. Untung bahwa Lulu sebagai puteri seorang perwira, sejak kecil sudah diajar membaca sehingga lebih mudah bagi Han Han untuk membimbingnya. Dan didasari hati mendendam karena kematian orang tuanya, ditambah pula dengan meniru watak Han Han yang keras hati dan tak mengenal jerih payah,

   Lulu berlatih dengan tekun sekali sehingga biarpun bakatnya dalam ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa, dapat juga ia merasakan hasilnya. Biasanya, semenjak berdiam di pulau yang amat dingin itu, Lulu melindungi tubuhnya dengan pakaian-pakaian dari bulu yang terdapat dalam kamar yang ditempatinya. Akan tetapi berkat latihan-latihannya, setelah dua tahun, anak itu dapat mengerahkan sinkang yang mulai terkumpul di tubuhnya untuk melawan hawa dingin. Hanya kalau hawa luar biasa dinginnya, ia terpaksa masih mengenakan baju bulu yang hangat. Setelah tubuhnya menjadi kuat dan gerakannya menjadi lincah, Han Han mulai memberi petunjuk kepadanya tentang pelajaran memasang kuda-kuda dan gerakan langkah kaki.

   Mulailah Lulu belajar silat dari sebuah kitab yang mengajarkan ilmu silat tangan kosong. Ilmu silat ini amat tinggi tingkatnya seperti juga semua kitab yang berada di situ. Tentu saja karena dasar yang dimiliki Lulu terlampau rendah, maka dia hanya dapat menguasai gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya dapat ia petik sebagian kecil. Kemajuan Lulu menggirangkan hati anak itu sendiri yang mengira bahwa kini dia telah menjadi seorang "ahli silat"

   Dan yang kelak, kalau mereka berhasil keluar dari tempat terasing ini, dapat ia pergunakan untuk membalas dendam. Adapun Han Han yang melatih diri dengan penggabungan ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, Sepasang Pedang Iblis, dicampur dengan latihan-latihannya ketika ia "mencuri"

   Ilmu dari Kang-thouw-kwi, menjadi tersesat tidak karuan dan secara ngawur ia telah dapat melatih dirinya sehingga memperoleh kemajuan yang aneh dan mengerikan.

   Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang berdasarkan pengerahan tenaga sakti di tubuh yang dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah membenamkan diri dalam cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri dengan menggunakan hawa dingin sebagai ujian. Sebetulnya, dengan inti dari Ilmu Hwi-yang Sin-kang yang ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han Han dapat membuat tubuhnya terasa panas untuk mengatasi hawa dingin di pulau itu, sungguhpun hal ini akan merupakan sebuah cara yang berbahaya karena ia seolah-olah melawan dingin dengan kekuatan sinkangnya. Kalau dia menang, dia tidak akan kedinginan, akan tetapi kalau sampai kalah, dia yang menggunakan Yang-kang secara ngawur akan terancam bahaya maut. Untung bahwa dia tidak sampai terancam bahaya ini karena dia memulai latihannya dengan menggunakan kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan Sepasang Pedang Iblis.

   Kitab Ma-bin Lo-mo mengajarkan tentang menghimpun tenaga Im-kang dan karena di dalam diri Han Han telah terkandung tenaga sakti, begitu ia bersamadhi dan mulai melatih diri, sebentar saja ia dapat menghimpun tenaga "dingin"

   Ini. Berlatih menghimpun tenaga dingin, di dalam hawa yang dinginnya seperti Pulau Es itu, pada hari-hari pertama merupakan siksaan hebat pada tubuhnya. Darahnya seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han beberapa kali terancam maut kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau sudah melihat kakaknya menggigil kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu cepat turun tangan, menyelimuti tubuh kakaknya dengan baju bulu, atau membuat api unggun di dekat kakaknya, atau mengguncang-guncang tubuh Han Han sehingga terpaksa Han Han menyudahi latihannya menghimpun tenaga dingin. Akan tetapi Han Han memiliki kekerasaan hati yang tidak lumrah manusia biasa.

   Dia tidak pernah merasa kapok dan selalu berlatih Im-kang di waktu hawa sedang dinginnya sehingga akhirnya ia dapat membuat keadaan tubuhnya lebih dingin daripada hawa dingin di luar tubuhnya. Dengan begini, karena dia membuat suhu tubuhnya lebih dingin daripada suhu di luar tubuh, setelah latihannya matang, ia malah merasa bahwa hawa yang amat dingin, yang bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin. Setelah berlatih tiga tahun lamanya, di waktu hawa di Pulau Es itu amat dingin, Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan pakaiannya. Demikianlah, dengan ditemani beruang es yang merupakan teman bermain bahkan teman berlatih silat amat tangguh dari Lulu, kedua orang anak itu hidup terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu aneh tanpa bimbingan sehingga kepandaian yang mereka peroleh amatlah aneh bagi umum.

   Setelah tinggal di Pulau Es selama tiga tahun, Han Han dan Lulu menganggap pulau itu seperti milik mereka sendiri dan makin banyak mereka mengenal istana itu, makin tebal keyakinan mereka bahwa dahulu tempat ini merupaan tempat tinggal orang-orang sakti dan bahwa kemudian terjadi hal-hal yang amat hebat di situ sehingga kemudian ditinggalkan para penghuninya. Akan tetapi selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak pernah menemukan sesuatu yang menceritakan tentang para penghuni itu. Tulisan-tulisan di dinding hanya merupakan sajak-sajak yang selain mengandung filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan kepahitan dan penderitaan batin si penulisnya namun tidak pernah menyinggung soal nama maupun riwayat mereka yang dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.

   "Ah, Paman Beruang. Kalau saja engkau mampu bicara, tentu ceritamu tentang para penghuni istana Pulau Es ini amat menarik hati,"

   Kata Han Han sambil mengelus bulu putih lengan binatang itu.

   "Mungkin dia sudah berkali-kali bercerita kepada kami dengan gerakan-gerakannya. Sayang kita yang tidak mengerti,"

   Kata Lulu sambil tertawa.

   "Boleh jadi."

   Kata pula Han Han, juga tertawa setelah memandang wajah adik angkatnya penuh kagum. Kini Lulu telah menjadi seorang gadis cilik dan jelas tampak betapa manis dan cantik anak ini, matanya yang lebar itu bersinar-sinar, mulutnya kelihatan manis dengan lesung pipit di pipi kiri.

   "Benarkah, Paman Beruang? Apa sih yang hendak kau ceritakan kepada kami tentang manusia-manusia sakti yang telah melimpahkan kebaikan kepada kami sehingga kami ditinggali segala kemewahan ini?"

   "Nguk-nguk ger-gerrrrr..."

   Lulu meniru suara beruang itu dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. dengan lagak seperti beruang itu sehingga Han Han menjadi tertawa geli. Mendadak beruang itu menggereng, kemudian menyergap hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan tetapi dengan sigap sekali Lulu miringkan tubuhnya sehingga cengkeraman itu luput.

   "Ihhh, salah sangka selalu kau, Paman Beruang, Aku tidak ingin mengajak kau berkelahi."

   Kata Lulu dan melihat gadis cilik itu tidak balas menyerangnya, beruang itu pun hilang semangatnya dan tidak menyerang terus. Mendadak terdengar desir angin yang amat keras sampai salju-salju beterbangan dan dari tempat yang agak tinggi itu tampak air laut dari jauh bergelombang besar. Lulu dan Han Han memandang ke arah laut sambil melindungi muka dari hantaman salju tipis yang terbawa angin. Keduanya teringat akan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika mereka diombang-ambingkan perahu yang menjadi permainan badai. Angin cepat sekali berubah makin membesar dan suaranya berdesir menakutkan.

   "Agaknya badai akan mengamuk lagi.."

   Kata Han Han dan biarpun mereka tidak perlu mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di tengan Pulau Es, namun teringat akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu merasa ngeri juga. Mendadak beruang es itu mengeluarkan bunyi pekik yang belum pernah mereka dengar selama ini. Pekik ini seperti suara yang mengandung kecemasan dan tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut karena binatang besar itu telah menyambar tangan mereka dan menarik mereka memasuki istana.

   "Paman beruang, bukan waktunya untuk main-main."

   Lulu berusaha untuk merenggutkan tangannya.

   Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dia tidak main-main, Lulu. Dia ketakutan dan mengajak kita masuk. Tentu ada sebabnya. Hayo kita ikut dia masuk."

   Kata Han Han dan berlari-larianlah mereka memasuki istana. Akan tetapi beruang itu sambil mengeluarkan suara mengeluh panjang mendorong-dorong untuk terus masuk dan menuruni anak tangga yang membawa mereka ke dalam gudang di bawah tanah, yaitu gudang tempat penyimpanan bahan makanan. Setelah mereka tiba di gudang bawah tanah ini, beruang es itu lalu berjingkrak-jingkrak seperti mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding ke arah dinding sebelah belakang sambil membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua lengannya ke arah dinding.

   "Apa maksudnya?"

   Tanya Han Han.

   "Aneh sekali, dia seperti minta kita mendorong dinding. Padahal kalau memang begitu, tenaganya yang amat besar tentu lebih berhasil daripada kita,"

   Jawab Lulu dan anak ini lalu menghampiri dinding, mengerahkan tenaga dan berusaha mendorong seperti yang diperlihatkan dengan gerakan oleh binatang itu. Akan tetapi dinding itu tetap tidak bergerak.

   "Eh, Paman Beruang. Kalau memang harus didorong, kau bantulah aku."

   Kata Lulu rnendongkol karena tidak mengerti maksud binatang itu. Han Han menghampiri dinding itu mencoba untuk mendorongnya, membantu Lulu. Akan tetapi tiba-tiba beruang itu memegang pundaknya dan menariknya ke belakang, lalu menggereng-gereng dan menggeleng-celeng kepala, kemudian membuat gerakan mendorong lagi dari jauh sambil menuding-nuding ke arah Han Han. Mereka telah tiga tahun bergaul dengan binatang itu dan sedikit banyak sudah dapat mengerti bahasa gerakan ini.

   "Han-ko, agaknya Paman Beruang minta engkau yang mendorong dinding."

   Kata Lulu. Han Han mengerutkan kening.

   "Tidak, aku tadi mendorong dia tarik ke belakang. Ah, jangan-jangan dinding ini ada rahasianya dan harus didorong dengan hawa sinkang dari jarak jauh. Mundurlah, Lulu."

   Ketika mendengar ini dan melihat Lulu mundur, beruang itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara seperti kalau dia sedang bersenang hati.

   Makin yakin hati Han Han dan ia lalu mundur. Dalam jarak satu meter ia lalu menekuk kedua lututnya, memusatkan perhatian, menahan napas, mengerahkan hawa sin-kang di dasar perut dan disalurkan ke arah kedua lengannya lalu mendorong ke arah dinding. Karena setiap hari selama tiga tahun ini ia melatih hawa sakti Im-kang, tentu saja ketika mempergunakan dorongan ini ia pun otomatis mempergunakan Im-kang. Kemajuan yang diperoleh Han Han selama berlatih tiga tahun ini amatlah hebatnya. Hawa dingin yang amat dahsyat menyambar dari kedua tangannya yang mendorong itu dan dinding yang terbuat dari baja itu tergetar hebat, akan tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Yang sebelah kirinya tergetar keras, akan tetapi yang sebelah kanan tidak tergoyang sedikit pun.

   "Bagus! Sudah tergetar, Koko. Coba lagi, lebih kuat."

   Kata Lulu setengah berteriak, mengharapkan untuk membuka rahasia tempat ini dan ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi. Sementara itu, suara badai mengamuk di luar istana terdengar amat santer dan angin malah masuk sampai ke tempat itu.

   Dapat dibayangkan betapa hebatnya badai mengamuk kalau anginnya dan suaranya sampai memasuki ruangan di bawah tanah itu. Han Han sudah siap untuk mencoba lagi, akan tetapi beruang itu menggereng-gereng marah dan menggerak-gerakkan kedua kaki depan tanda tidak setuju, akan tetapi masih tetap membuat gerakan mendorong-derong dinding. Han Han tidak jadi mendorong lagi, lalu mempergunakan pikirannya. Memang dia harus mendorong, akan tetapi agaknya keliru cara menggunakan sinkang. Kalau dorongan ini hanya membutuhkan tenaga kasar, tentu binatang itu sendiri akan sanggup melakukannya, karena dalam hal tenaga kasar, beruang itu jauh lebih menang dibandingkan dia. Tentu harus menggunakan sinking, akan tetapi mengapa salah?

   Tiba-tiba ia teringat. Ah, dia melatih sin-kangnya berdasarkan ilmu-ilmu dari Ma-bin Lo-mo yang ia gabungkan dengan ilmu dari kitab Sepasang Pedang Iblis, yaitu mempergunakan Im-kang. Inilah agaknya yang menjadi kesalahannya. Tentu saja ilmu dari penghuni istana di Pulau Es ini berbeda sinkangnya dengan Ma-bin Lo-mo. Akan tetapi, tenaga sinkang ada dua macam, kalau tidak hawa sakti dingin tentu hawa sakti panas, yaitu Yang-kang. Dia sudah mencuri ilmu ini dari Kang-thouw-kwi, akan tetapi sudah tiga tahun ia tidak pernah melatih Yang-kang. Betapapun juga, Han Han masih belum melupakan untuk mempergunakan tenaga yang keluar dari hawa sakti itu. Latihan-latihannya dengan batu bintang dan dengan nyala api tulang manusia sudah cukup matang.

   "Apakah dengan tenaga Yang-kang?"

   Ia bertanya kepada diri sendiri, sedangkan Lulu hanya memandang, tidak berani mengganggu karena maklum bahwa kakaknya sedang berusaha keras untuk membuka rahasia dinding ini. Han Han kembali menekuk kedua lututnya, kemudian ia berdiam sampai lama, berusaha mengobarkan hawa Yang-kang di tubuhnya. Memang amat sukar dan sebentar saja peluh membasahi muka dan lehernya, akan tetapi ternyata ia berhasil karena kedua tangannya mulai menjadi panas, bahkan mengepulkan asap. Lulu terbelalak kagum dan beruang itu meloncat ke belakang ketakutan. Memang luar biasa sekali anak ini. Keadaan jasmaninya yang tidak wajar lagi menimbulkan kekuatan mukjizat dan kekuatan kemauannya bukan main besarnya sehingga hawa sakti di tubuhnya itu lebih dikuasai kemauannya daripada kematangan latihannya.

   Setelah merasa kedua lengannya menggetar-getar dengan hawa panas seperti dahulu kalau ia berlatih secara diam-diam di daerah terlarang belakang istana Pangeran Ouwyang Cin Kok, Han Han lalu melakukan gerakan mendorong untuk kedua kalinya ke arah dinding itu. Kembali dinding itu tergetar hebat seperti tadi. Akan tetapi, sekali ini yang tergetar hebat adalah bagian dinding di sebelah kanannya, sedangkan di sebelah kiri sama sekali tidak bergerak, menjadi sebaliknya daripada tadi. Beruang itu mulai "mengomel"

   Lagi dan membanting-banting kaki belakang seperti orang marah, lalu menuding-nuding Han Han lagi sambil menggunakan gerakan mendorong-dorong. Han Han menjadi bingung. Kalau dengan Im-kang dan Yang-kang keduanya gagal, habis cara bagaimana ia harus mendorong dinding itu? Sementara itu, kini angin yang masuk dengan santer membawa pula butiran-butiran es yang keras sehingga mengejutkan mereka.

   "Han-ko, apa bedanya doronganmu yang pertama dengan yang ke dua?"

   Tiba-tiba Lulu yang sejak tadi memperhatikan itu bertanya.

   "Yang pertama menggunakan hawa sakti dingin, yang kedua menggunakan hawa sakti panas."

   Lulu bertepuk tangan dan wajahnya berseri.

   "Ah, sekarang aku mengerti. Ketika engkau menggunakan Im-kang yang pertama tadi, dinding sebelah kiri yang terguncang hebat sedangkan yang kanan tidak bergerak. Sebaliknya, ketika kau menggunakan Yang-kang, dinding di kanan yang tergetar sedangkan yang kiri tidak. Sekarang, kau doronglah dengan kedua hawa sakti Im dan Yang. Kalau lengan kirimu mendorong dengan Im-kang ke sebelah kiri dinding dan lengan kananmu mendorong dengan Yang-kang ke sebelah kanan, tentu akan terbuka rahasia ini"

   "Agaknya engkau benar, akan tetapi betapa mungkin menggunakan dua hawa sakti yang berlawanan secara berbareng?"

   "Mengapa tidak mungkin Koko? Kita pernah membaca kitab tentang ilmu silat Im-yang-kun yang berada diperpustakaan. Bukankah ilmu itu pun mempergunakan dua macam sinkang?"

   "Benar, dan sepasang kitab Suhu dan Subo yang diberikan kepadaku pun mengandung tenaga yang berlawanan. Akan tetapi hal itu dimainkan oleh dua orang, tentu saja dapat. Kalau aku seorang diri harus mengerahkan tenaga yang berlawanan, betapa mungkin? Aku belum pernah belajar tentang itu."

   "Koko, engkau seorang yang paling cerdik dan pandai di seluruh dunia ini. Apa yang tidak mungkin bagimu? Cobalah, engkau tentu bisa. Lihat, badai makin hebat mengamuk. Butiran-butiran es seperti peluru dan aku harus selalu menangkis, akan tetapi butiran-butiran itu hancur kalau mengenai tubuhmu dan kau seperti tidak merasakan. Koko, aku dapat menduga bahwa tentu ada tempat persembunyian rahasia dan Paman Beruang agaknya hendak mengajak kita bersembunyi di tempat itu."

   Han Han menoleh dan melihat betapa beruang itu repot menutupi mukanya agar jangan terkena hantaman butiran-butiran es yang kalau mengenai matanya atau hidungnya tentu akan mengakibatkan luka. Binatang ini ketakutan dan mengeluarkan bunyi seperti anak kucing. Harus kucoba, pikirnya dan mulailah ia menekuk kedua lututnya, menghadapi dinding dan mulailah ia mengatur hawa sinkang yang disalurkan dari pusarnya, naik ke atas dan dia mencoba untuk membaginya menjadi dua hawa sakti Im dan Yang. Sesungguhnya, hanya orang yang sinkangnya sudah amat tinggi saja yang akan dapat mengerahkan Im-kang dan Yang-kang secara berbarengan. Di luar kesadarannya, Han Han telah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi karena dia belum pernah berlatih di bawah bimbingan ahli, maka ia repot sekali membagi sinking ini.

   Kedua tangan sakti itu menarik-narik, kadang-kadang menjadi Im-kang semua yang amat hebat sehingga tubuhnya menggigil kedinginan, kadang-kadang Yang-kang menang kuat dan semua tenaga menjadi hawa sakti yang panas membuat kepalanya mengepulkan asap. Ia merasa tersiksa sekali, dadanya sampai terasa nyeri dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi ketika ia hendak membatalkan usahanya yang sia-sia ini dan melirik ke arah Lulu, ia melihat adiknya itu memandang kepadanya penuh kekaguman dan penuh kepercayaan. Hal ini memberi kekuatan luar biasa kepadanya dan cukup memberi dia kenekatan untuk berusaha sampai berhasil biarpun dia akan menderita sampai mati sekalipun. Memang hebat sekali tenaga kemauan hati Han Han. Tenaga mukjizat inilah yang membuat ia memiliki kekuatanpada matanya sehingga tanpa belajar ia telah mempunyai kepandaian menundukkan kemauan dan semangat orang lain.

   Kini tenaga kemauannya ini ia tujukan ke dalam dan biarpun ia belum pernah melatih untuk mengendalikan sinkang, kini ia berusaha lagi untuk "mencegah"

   Sinkangnya menjadi dua macam, sekali ini dia berhasil. Akan tetapi keadaannya seperti seorang yang mengendalikan dua ekor kuda yang berlawanan larinya, sehingga ia harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada melawan sinkang sendiri agar jangan sampai menyeleweng ke kanan atau ke kiri. Kembali ia mendorong dengan kedua lengan yang berlawanan hawa saktinya. Dinding itu tergetar hebat, terdengar keras sampai mengeluarkan suara dan disusul suara berderit aneh kemudian.. dinding itu terpecah menjadi dua bagian dan terbuka seperti ada tenaga rahasia mendorongnya ke kanan kiri.

   "Kau berhasil, Han-ko..."

   Lulu bersorak akan tetapi kegirangannya segera berubah menjadi kaget ketika melihat tubuh Han Han roboh terguling. Lulu cepat melompat dan berhasil memeluk tubuh kakaknya sehingga Han Han tidak sampai terbanting. Beruang itu pun berseru girang, akan tetapi ia lalu menyambar tubuh Han Han, dipondongnya dan ia menunjuk-nunjuk ke bawah di mana terdapat anak tangga dari batu, memberi isyarat kepada Lulu untuk menuruni anak tangga sedangkan dia sendiri sambil memondong tubuh Han Han, mengikuti dari belakang dengan wajah takut-takut.

   Lulu yang menjadi cemas melihat kakaknya pingsan, segera menuruni anak tangga tanpa ragu-ragu, karena ingin segera dapat menolong kakaknya yang dipondong beruangnya. Melihat kakaknya dipondong beruang itu, teringatlah ia beberapa tahun yang lalu ketika mula-mula mereka datang, hanya bedanya, kalau dahulu dia yang mengikuti binatang itu, sekarang dialah yang berjalan di depan. Anak tangga itu amat dalam, dua kali lebih dalam daripada anak tangga yang menuju ke gudang bawah tanah. Dan ketika ia sampai di dasar anak tangga, Lulu menjadi bengong. Tentu ia sudah bersorak gembira kalau saja tidak ingat akan keadaan kakaknya. Ruangan yang berada di dasar tangga itu benar-benar mempesonakan sekali, jauh lebih indah daripada semua ruangan di atas"

   Benda-benda yang berada di situ berkilauan, terbuat daripada emas dan perak.

   Beruang itu sudah menurunkan tubuh Han Han ke atas lantai yang terbuat daripada batu putih bersih dan mengkilap, kemudian beruang itu berlari ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga buah patung yang terbuat daripada batu pualam. Berlutut sambil mengeluarkan suara seperti menangis. Biarpun merasa heran sekali, akan tetapi Lulu tidak lagi memperhatikan binatang itu, tidak pula memperhatikan ruangan yang indah karena semua perhatiannya telah ia curahkan kepada Han Han yang menggeletak terlentang di atas tanah. Ia berlutut di dekat kakaknya dan memeriksa. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kulit muka kakaknya itu berwarna dua macam. Yang kanan berwarna hitam seperti terbakar gosong, adapun yang kiri berwarna putih kebiruan seperti muka mayat. Han Han rebah tak bergerak, dan napasnya tinggal satu-satu.

   "Koko., Han-ko... ahhh, Koko..."

   Lulu memeluk tubuh kakaknya dan menjadi kebingungan. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa kakaknya tentu menderita luka di sebelah dalam, akibat dari pengerahan sinkang yang dibagi menjadi dua hawa sakti tadi. Ia sudah banyak membaca kitab tentang latihan sinkang, bahkan dia sendiri sudah melatih diri di bawah bimbingan kakaknya. Yang ia latih adalah sebuah kitab dari perpustakaan di istana Pulau Es itu yang sesuai dengan latihan yang pernah dipelajari Han Han dari Lauw-pangcu. Tanpa mereka sadari, kalau Han Han menggembleng diri dengan ilmu kaum sesat, adalah Lulu malah melatih diri dengan ilmu kaum bersih.

   

Istana Pulau Es Eps 8 Kisah Pendekar Bongkok Eps 24 Istana Pulau Es Eps 32

Cari Blog Ini