Pendekar Super Sakti 11
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
Melihat keadaan kakanya sekarang ini, Lulu teringat akan ilmu memindahkan sinking ke tubuh orang lain untuk membantu orang itu. Maka, biarpun latihannya belum matang benar, Lulu tanpa ragu-ragu lagi duduk bersila dan menempelkan kedua telapak tangannya ke dada dan perut Han Han, kemudian ia mengheningkan cipta, bersamadhi mengumpulkan semua tenaga dalam di tubuhnya yang ia paksa keluar melalui kedua tangannya memasuki tubuh Han Han. Han Han siuman dan merasa betapa ada hawa hangat yang halus lembut memasuki dadanya. Ketika ia membuka mata dan melihat betapa Lulu bersila meramkan mata dan menempelkan kedua telapak tangan ke badannya, ia menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap adiknya ini makin mendalam.
"Cukuplah, Lulu. Jangan menyia-nyiakan sinkangmu yang masih belum kuat..."
Katanya halus sambil mendorong kedua tangan Lulu perlahan-lahan. Lulu membuka matanya akan tetapi menutup mulutnya yang sudah akan bertanya ketika ia melihat betapa kakaknya bangkit dan bersila sambil meramkan mata. Ia tahu bahwa kakaknya sedang mengerahkan tenaga untuk mengobati diri sendiri dan perlahan-lahan muka kakaknya yang tadinya berwarna dua kini menjadi pulih kembali. Hatinya menjadi lega dan mulailah dia menyapu keadaan sekeliling ruangan indah itu dengan pandang matanya.
Ruangan itu benar-benar amat indah. Di tengah ruangan terdapat tiga buah patung, yang tengah merupakan seorang laki-laki yang tampan sekali, akan tetapi bagian kepalanya, di dahi, terdapat dua buah lubang seolah-olah bagian kepala patung ini ada yang menusuknya dengan senjata dua kali. Di sebelah kiri patung pria ini adalah sebuah patung wanita, cantik jelita dengan tubuh ramping dan dengan wajah lemah lembut, akan tetapi sebelah kakinya buntung"
Adapun yang berada paling kanan adalah patung seorang wanita yang juga cantik jelita, lebih tinggi daripada wanita buntung, akan tetapi kecantikan wanita di kanan ini bercampur dengan kekerasan hati dan kekejaman yang membayangkan pada wajah cantik itu. Hanya patung inilah yang tidak ada cacadnya.
Tiba-tiba Lulu tertawa. Memang lucu melihat tingkah laku beruang es ketika itu. Binatang ini seperti kesurupan atau telah menjadi gila. Kadang-kadang ia lari dan menjatuhkan diri didepan patung pria, memeluk kaki patung itu, mengeluarkan suara seperti menangis, kemudian berlutut di depan patung wanita buntung, berdongak ke atas memandang wajah patung itu dengan wajah membayangkan rasa saying, akan tetapi selalu ia kembali ke patung sebelah kanan dan ia berlutut di depan wanita cantik tanpa cacad itu sambil mengangguk-angguk dan membentur-benturkan kepala ke lantai dan mengeluarkan suara seperti sedang ketakutan. Melihat beruang itu berlutut di depan tiga patung dengan tiga macam tingkah laku, kelihatan lucu bukan main sehingga Lulu tertawa.
Han Han membuka matanya. Ia pun terpesona akan keindahan ruangan itu dan kini tahulah ia mengapa beruang itu mengajak mereka ke situ. Dari tempat ini, suara badai mengamuk tidak terdengar lagi dan mereka memang aman daripada gangguan suara den ancaman hujan butiran es keras yang beterbangan seperti peluru. Akan tetapi, melihat beruang itu seperti gila berlutut di depan tiga buah patung itu, ia memandang terbelalak dan hatinya berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu patung-patung itu adalah patung dari para penghuni istana Pulau Es yang telah meninggalkan kesemuanya untuk dia dan Lulu. Sudah meninggal duniakah mereka bertiga itu? Ia bangkit lalu menggandeng tangan Lulu, dan berbisik.
"Lulu, jangan sembrono. Kurasa mereka itu adalah patung daripada Locianpwe yang dahulu menjadi penghuni Istana Pulau Es. Mari kita memberi hormat.."
Lulu menurut dan sambil bergandengan tangan mereka menghampiri tengah ruangan itu. Melihat betapa tiga buah patung itu menggambarkan Seorang laki-Jaki muda dan tampan dan dua orang wanita yang cantik jelita seperti puteri-puteri istana, Han Han terbelalak dan meragu. Inikah manusia-manusia sakti yang menjadi penghuni Istana Pulau Es? Akan tetapi, menyaksikan sikap beruang itu, ia tidak ragu-ragu lagi dan ia membimbing tangan Lulu dan diajaknya adiknya itu berlutut di depan ketiga patung itu sambil berkata.
"Teecu Sie Han dan Sie Lulu mohon ampun kepada Sam-wi Locianpwe bahwa teecu berdua berani mendiami Istana Pulau Es tanpa ijin Sam-wi, dan teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang ditinggalkan Sam-wi Locianpwe untuk keperluan teecu berdua."
Beruang itu kelihatann girang sekali melihat Han Han dan Lulu berlutut. Ia pun berlutut di depan patung pria itu dan mengeluarkan suara menguik-nguik seolah-olah ia pun menceritakan bahwa dua orang anak-anak itu adalah orang baik-baik dan selama ini menjadi sahabat-sahabatnya.
"Koko, mengapa aku bernama Sie Lulu?"
Lulu berbisik setelah mereka bangkit dan melihat-lihat keadaan ruangan yang indah itu.
"Habis, engkau Adikku. Kalau tidak ber-she Sie seperti aku, mau pakai she apa lagi?"
"Koko, para Locianpwe yang katanya orang-orang sakti, kenapa masih begitu muda-muda dan kelihatan seperti orang-orang lemah?"
"Hussshhh, jangan berkata demikian, Lulu. Kau lihat beruang itu mengenal majikan-majikannya, kiranya tidak salah lagi. Mereka adalah penghuni istana yang tadinya terbuka itu dapat menutup sendiri"
Tentu saja Han Han dan Lulu menjadi terkejut dan merasa seram. Adakah mahluk tersembunyi di tempat itu yang menutupkan dinding baja ini? Mereka diam-diam mengambil keputusan untuk tidak memasuki tempat rahasia itu lagi kalau tidak amat perlu, karena kehadiran mereka seolah-olah mengganggu ketenteraman dan kesunyian tiga patung yang indah itu.
Ke manakah perginya perahu Mancu yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga tahun yang laJu ketika perahu itu bertemu dengan perahu Ma-bin Lo-mo? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan licik sekali Kang-thouw-kwi dapat mengalahkan Ma-bin Lo-mo dengan anak panah-anak panah berapi sehingga perahu Ma-bin Lo-mo terbakar dan memaksa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya meloncat ke laut meninggalkan perahu yang terbakar. Si Setan Botak tertawa bergelak, suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu terbawa angin laut dan terdengar sampai jauh, seperti suara ketawa iblis taut sendiri. Adapun Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, dapat menghindari maut dengan jalan mengapungkan diri berpegangan kepada bambu-bambu yang mereka renggut putus dari perahu, yaitu bamboo-bambu pengapung yang dipasang di kanan kiri perahu yang terbakar itu.
Pada saat itu, badai mulai mengamuk dan Gak Liat bersama anak buahnya terlalu repot dan sibuk menyelamatkan perahu mereka melawan ombak membadai sehingga mereka tidak melihat betapa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya mempergunakan kekuatan tangan mereka untuk mendayung bambu-bambu pengapung itu mendekati perahu Mancu itu. Tidak melihat betapa empat orang sakti itu akhirnya berhasil menempel di tubuh perahu dan berpegang kuat-kuat sehingga betapapun badai mengamuk dan perahu itu diayun dan diguncangkan, mereka tetap menempel pada tubuh perahu seperti empat ekor lintah menempel di perut kerbau.
Setelah badai mereda, perahu itu dibawa jauh dari sekumpulan pulau-pulau itu dan terdampar di sebuah pulau kecil yang kosong. Gak Liat dan anak buahnya lalu mendarat dan para perwira Mancu itu lalu mempergunakan sebuah alat teropong untuk menyelidiki keadaan sekitar pulau itu. Tiba-tiba seorang di antara para perwira itu berseru keras dalam bahasa Mancu dan menunjukkan teropongnya ke arah utara. Sekali meloncat, Gak Liat sudah tiba di dekat perwira ini dan menyambar teropongnya. Biarpun dia memiliki ilmu tinggi dan pandang matanya jauh lebih awas daripada mata orang biasa, namun dibandingkan dengan kekuatan teropong itu ia masih kalah jauh. Ia lalu memakai teropong itu dan menujukan pandangannya ke utara, kemudian ia berkata girang.
"Tidak salah lagi"
Itulah Pulau Es"
Kita berhasil..."
Teriaknya. Tentu saja hatinya girang ketika ia melihat sebuah puJau yang putih diliputi salju dan melihat samar-samar sebuah bangunan indah di tengah pulau, dibagian yang agak tingi. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan ngeri dan empat orang perwira Mancu roboh terjungkal dan tewas seketika. Seperti iblis-iblis penghuni pulau, muncullah empat orang kakek yang pakaiannya basah kuyup, dan biarpun keadaan empat orang kakek ini cukup payah karena terendam di air laut terlalu lama, namun mereka itu dapat dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si Muka Tengkorak Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si Muka Bopeng Ouw Kian. Mereka herhasil mendarat pula dan begitu muncul, mereka berempat menyerang empat orang perwira yang roboh dan tewas seketika.
"Iblis Muka Kuda, Engkau masih belum mampus?"
Teriak Setan Sotak dengan nyaring dan terheran-heran.
"Si Botak yang buruk. Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan mampus."
Balas Ma-bin Lo-mo yang segera maju menerjang Si Setan Botak. Adapun tiga orang pembantunya sudah dikurung oleh dua puluh enam orang perwira Mancu. Pertandingan hebat din mati-matian terjadilah di pulau kosong itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo sudah disambut dengan tangkisan Kang-thouw-kwi. Dua buah lengan yang amat kuat bertemu dan keduanya terpental ke belakang. Biarpun hawa sakti yang tersalur di tangan mereka berlawanan dan amat ber beda, yang seorang adalah ahli Yang-kang dan yang ke dua adalah ahli Im-kang,
Namun karena tingkat mereka sudah amat tinggi dan seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing harus mengakui bahwa lawan tldak boleh dipandang ringan. Maka mereka segera saling menggempur dengan hati-hati sekali, karena mereka maklum bahwa satu kali saja terkena pukulan lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka. Pertandingan antara tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang dikeroyok dua puluh enam orang perwira Mancu juga berjalan dengan sengit dan mati-matian. Para perwira itu bukanlah perajurit-perajurit sembarangan, melainkan perwira-perwira pilihan yang sengaja diutus oleh kaisar untuk mencari Pulau Es di bawah pimpinan Setan Botak. Mereka mengeroyok dengan senjata golok mereka secara teratur dan tidak serampangan karena mereka pun tahu bahwa tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi.
Kalau saja tiga orang sakti itu berada dalam keadaan segar seperti biasa, biarpun dikeroyok dua puluh enam orang, tipis harapan bagi para perwira itu untuk dapat menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu telah mengalami penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh perahu yang diombang-ambingkan gelombang lautan. Gempuran-gempuran air laut membuat mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan yang mengerikan, sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga mereka tinggal setengahnya. Hal inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan terancam. Sampai puluhan jurus, mereka bertiga belum juga mampu merobohkan seorang di antara para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas dengan serangan-serangan berganda yang ganas.
Antara Gak Liat Si Setan Botak dan Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Keduanya sekali ini dapat melanjutkan pertandingan beberapa tahun yang lalu dan sungguhpun mereka itu merupakan dua di antara para datuk yang enggan untuk saling bermusuhan, apalagi saling membunuh, namun pertandingan sekali ini lain lagi sifatnya. Pulau Es sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain merupakan penghalang terbesar untuk dapat memiliki semua pusaka di pulau itu yang diidam-idamkan oleh golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum bersih maupun kaum sesat. Mereka ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es itu merupakan tempat bertapa Kaoi-lojin, seorang manusia dewa yang memiliki kesaktian luar biasa dan yang telah meninggalkan benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab pelajaran segala macam ilmu di pulau itu.
Karena ingin mendapatkan benda pusaka, kini Gak Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum bahwa sebelum berhasil menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan dapat mencapai idam-idaman hati masing-masing. Setelah lewat kurang lebih satu jam, pertandingan antara Gak Liat dan Siangkoan Lee masih berlangsung seru dan sukar untuk diduga siapa diantara mereka yang lebih unggul dan akan mencapai kemenangan. Memang sudah tentu sekali seorang di antara mereka akan kalah, akan tetapi hal ini tentu akan terjadi lama sekali, mungkin sehari penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan dapat diduga pula bahwa kalau sampai terjadi seorang di antara mereka kalah dan tewas, dia yang menang tentu takkan keluar sebagai pemenang yang utuh, sedikitnya tentu akan mengalami luka-luka parah.
Namun dalam pertempuran kurang lebih satu jam itu, telah terjadi perubahan pada pertandingan antara dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo dengan para perwira. Tiga orang sakti itu mengamuk hebat sekali, melupakan kelelahan tubuh nereka karena mereka maklum bahwa kalau mereka tidak dapat keluar sebagai pemenang, mereka akan tewas di pulau kosong itu. Swi Coan si muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, sebuah thi-pian, yaitu sebatang pecut besi yang biasanya ia libatkan di pinggang sebagai sabuk. Pecut besi itu kini menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar yang menyambar-nyambar di atas kepala para pengeroyoknya yang amat banyak jumlahnya itu.
Adapun Kek Bu hwesio tokoh Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang kelihatan sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya sendiri yang kini ia lolos dan dipergunakan sebagai senjata. Jangan dipandang ringan senjata ini, karena di tangan pendeta kosen ini, jubah itu dapat menjadi lemas dan dipakai melibat senjata lawan, juga dapat menjadi kaku seperti sebatang tongkat baja. Ouw Kian si muka bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang pedang yang lemas sekali, tipis namun amat keras dan tajam sehingga ketika di mainkan, berubah menjadi segulung sinar putih yang membentuk lingkaran-lingkaran dan melindungi tubuhnya dari atas ke bawah dari hujan golok yang dilancarkan oleh para pengeroyoknya.
Betapapun lihainya tiga orang tokoh ini dengan senjata-senjata mereka yang ampuh, namun jumlah pengeroyok terlalu banyak sehingga setiap kali senjata-senjata mereka itu menyambar, tentu akan bertemu dengan tangkisan delapan sampai sembilan batang golok di tangan para perwira Mancu yang rata-rata memiliki tenaga besar. Setelah pertandingan ini berjalan kurang lebih satu jam, mereka itu masing-masing telah menewaskan dua pengeroyok sehingga ada enam orang perwira yang roboh tewas, akan tetapi mereka bertiga pun tidak luput daripada luka-luka bacokan golok. Biarpun luka-luka itu tidak parah, hanya merobek kulit dan melukai sedikit daging, namun darah yang keluar membuat mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka merasa khawatir karena kalau dilanjutkan, agaknya mereka itu sendiri akan roboh biarpun mungkin mereka akan dapat menewaskan lebih banyak lawan lagi.
Dengan demikian, keadaan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo ini terancam bahaya, sedangkan keadaan Ma-bin Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya untuk menang masih setengah-tengah atau paling banyak dia hanya menang seusap saja. Pertandingan yang berlangsung amat serunya ini membuat mereka semua tidak sempat memperhatikan soal-soal lain yang terjadi di sekitar pulau kosong itu. Tidak tahu betapa dari sebelah belakang pulau mendarat pula sebuah perahu layar yang keadaannya pun tidak lebih baik daripada perahu Mancu, dan jelas tampak bekas-bekas amukan badai sehingga layar perahu ini sebagian kecil robek-robek, tiangnya ada sebuah yang patah. Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat turun ke darat tujuh orang yang gerakannya ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Mereka itu terdiri dari tujuh orang kakek yang usianya paling sedikit lima puluh tahun, dan di punggung masing-masing tampak menggemblok sebatang pedang yang gagangnya terukir indah dan dihias ronce-ronce beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning dan biru. Siapakah mereka ini? Para pembaca sudah mengenal mereka, karena tujuh orang kakek gagah perkasa ini bukan lain adalah Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai), jago-jago pedang dari Siauw-lim-pai yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang mereka. Seperti juga para tokoh kang-ouw yang lain, mereka ini tertarik akan Pulau Es, bahkan sekali ini atas perintah ketua Siauw-lim-pai, mereka menggunakan perahu untuk mencari pulau rahasia itu setelah mendengar bahwa pemerintah Mancu juga menaruh minat atas pulau yang mengandung benda-benda pusaka yang amat penting bagi dunia persilatan itu.
Dan seperti juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun diserang badai sehingga perahu mereka dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat berbuat sesuatu yang berarti. Tenaga manusia, betapapun kuat dan pandainya mereka, akan tampak kecil tak berarti setelah berhadapan dengan kekuasaan alam yang maha hebat. Akhirnya, tanpa mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar pada pulau kosong itu seperti juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka terdampar di pantai yang berlawanan dengan pantai di mana perahu Mancu mendarat. Siauw-lim Chit-kiam tidak membawa teropong seperti yang dimiliki para perwira Mancu, maka pandangan mata mereka tidak dapat mencapai Pulau Es yang tampak samar-samar di jauh. Karena ini, mereka tidak tahu bahwa Pulau Es yang diidam-idamkan berada tak jauh lagi dari pulau kosong ini.
Mereka lalu mendarat dan tiba-tiba mereka melihat pertandingan hebat yang sedang berlangsung di pantai yang berlawanan itu. Sebagai orang-orang gagah tentu saja mereka tertarik sekali menyaksikan pertandingan mati-matian itu, maka tanpa dikomando mereka lalu berloncatan mendekati tempat pertandingan. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang sedang bertanding itu adalah Setan Botak Gak Liat melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan Lee, dan banyak sekali perwira Mancu mengeroyok tiga orang kakek yang keadaannya telah payah dan terancam hebat. Siauw-lim Chit-kiam mengenal siapa adanya dua orang kakek sakti yang bertanding mati-matian itu, tahu bahwa mereka itu keduanya adalah datuk-datuk sesat yang berwatak aneh dan kejam luar biasa.
Bahkan mereka pun hampir saja tewas di tangan Setan Botak Gak Liat ketika Setan Botak itu membasmi anak buah Lauw-pangcu. Mereka pun tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat, yang tidak patut dijadikan sahabat maupun sekutu sungguhpun mereka tahu pula betapa kakek sakti ini membenci penjajah Mancu. Akan tetapi kini menyaksikan pertandingan itu, tidaklah sukar bagi mereka untuk memihak. Bukan sekali-kali karena mereka menaruh simpati kepada Ma-bin Lo-mo sama sekali tidak. Mereka sebagai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang bernama bersih dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pedang yang gagah, tentu saja tidak sudi bersekutu dengan manusia iblis seperti Ma-bin Lo-mo.
Akan tetapi mereka memiliki permusuhan pribadi dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Permusuhan itu timbul ketika keponakan wanita mereka, yaitu Bi-kiam Khok Khim, anak murid Siauw-lim-pai yang cantik, telah menjadi korban kekejian Gak Liat, telah diperkosa oleh Setan Botak ini. Di samping permusuhan pribadi ini, juga mereka teringat akan pembasmian anak buah Lauw-pangcu oleh Set an Botak. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira Mancu, yaitu perwira-perwira penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini memudahkan Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan serta-merta mereka mencabut pedang sambil menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee.
"Kang-thouw-kwi, bersiaplah untuk menerima hukuman atas dosa-dosamu."
Bentak Song Kai Sin yang menjadi wakil dari para sutenya. Bentakan ini pun merupakan isyarat komando karena serentak mereka bertujuh sudah mengge rakkan pedang mereka sehingga tampak sinar pedang mereka bergulung-gulung dan terdengar suara bercuitan nyaring sekali. Gak Liat terkejut bukan main melihat munculnya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini. Kalau saja dia tidak sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam. Akan tetapi di situ ada Ma-bin Lo-mo, dan dia sudah pernah bertanding melawan Siauw-lim Chit-kiam yang kalau bergabung merupakan lawan yang amat tangguh pula.
Kini melihat gulungan sinar pedang itu, ia mengeluarkan seruan keras dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga dorongan Ma-bin Lo-mo sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah meloncat ke depan Song Kai Sin yang berada paling dekat lalu mengirim pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Maklum akan lihainya pukulan ini Song Kai Sin meloncat jauh namun hawa pukulan itu masih menyerempet pundaknya sehingga ia terhuyung. Pada saat itu, enam orang sutenya sudah menyerang secara berbareng kepada Gak Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri yang tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada Setan Botak itu. Gak Liat terkejut setengah mati. Ia tahu bahwa pukulan Ma-bin Lo-mo yang paling berbahaya maka ia cepat menangkis dengan lengan kirinya.
"Dukkk."
Sekali lagi tubuh kedua orang ini terpental dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong dengan tangannya ke arah enam sinar pedang, akan tetapi biarpun ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut, pundaknya masih tergurat pedang sehingga bajunya robek dan pundak berdarah. Pada saat itu, sebuah dorongan datang lagi dari Ma-bin Lo-mo. Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya kurang cepat sehingga ia terdorong ke belakang dan kembali sebuah tusukan pedang mengenai pangkal lengan kirinya. Kakek ini mengeluarkan gerengan keras dan menggulingkan tubuhnya menjauhi para pengeroyoknya.
"Ha-ha-ha."
Ma-bin Lo-mo tertawa dan mendadak kakek ini membalik dan mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada tujuh orang Siauw-lim-pai itu. Serangan ini benar-benar amat tidak terduga sehingga kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei Kiong roboh terguling dengan muka menjadi pucat sekali. Untung bahwa pukulan itu ditangkis oleh saudara-saudara mereka sehingga tenaganya banyak berkurang. Mereka hanya terluka di sebelah dalam yang tidak terlalu parah, hanya membuat tubuh mereka menggigil kedinhinan, namun setelah bersila sebentar mengerahkan sinkang, rasa dingin itu lenyap.
Siauw-lim Chit-kiam kini bersatu dan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, tidak bergerak-gerak dan saling memandang, menanti pihak lawan bergerak lebih dulu. Mereka menjadi bingung sendiri karena maklum bahwa mereka tidak boleh saling bantu. Bagi Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka paling sulit. Kalau dibuat ukuran, di antara mereka tiga kelompok, kedudukan Siauw-lim Chit-kiam yang paling lemah. Kalau, mereka mengeroyok Gak Liat dengan bantuan Ma-bin Lo-mo, tentu mereka akan berhasil membalas dendam dan membunuh Setan Botak, akan tetapi mereka tahu bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh sehingga mereka itu akhirnya pasti akan berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang berhati palsu ini.
Kalau mereka kini menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak membantu mereka, tentu Ma-bin Lo-mo akan dirobohkan, akan tetapi mereka pun akan diserang oleh Gak Liat yang mempunyai banyak kawan perwira-perwira Mancu. Si Setan Botak Gak Liat yang tadinya merasa khawatir sekali melihat munculnya Siauw-lim Chit-kiam, kini tertawa bergelak melihat Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia maklum bahwa bukan sekali-kali hal itu dijakukan oleh Si Muka Kuda karena memiliki rasa setia kawan terhadap dirinya. Sama sekali bukan. Ia tahu bahwa Ma-bin Lo-mo menganggap bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing juga dalam memperebutkan pusaka-pusaka Pulau Es. Maka ia tertawa bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha, Iblis Muka Kuda. Kiranya engkau cerdik juga. Pulau Es sudah tampak di depan mata, kalau kita mati-matian saling gempur, akhirnya kita berdua roboh den enak sekali bagi tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita menjadi seperti dua ekor anjing tua memperebutkan tulang dan akhirnya tikus-tikus ini yang akan mendapat tulangnya. Ha-ha-ha."
Mendengar ini, Siauw-lim Chit-kiam tercengang dan jantung mereka berdebar. Pulau Es sudah di depan mata? Benarkah Pulau Es sudah dekat dengan pulau kosong ini? Adapun Ma-bin Lo-mo juga bersiap-siap.
Kalau tadi ia menyerang Siauw-lim Chit-kiam, bukan sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat. Ia melihat Gak Liat sudah terluka sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan Setan Botak itu. Ia tahu bahwa setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu tenaganya tinggal sedikit karena lelah dan Siauw-lim Chit-kiam ini bukanlah lawan yang empuk. Dan ia pun tahu bahwa mereka bertujuh ini tentu akan mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan bersama dengan Setan Botak. Kini ia meragu dan bersikap hati-hati karena kalau sampai Setan Botak dapat membujuk mereka ini menghadapinya, ia akan celaka. Pada saat itu, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang setelah mendengar disebutnya Pulau Es lalu mencari-cari dengan pandang mata mereka, tiba-tiba mereka itu melihat ke kiri dan menjadi bengong.
Melihat keadaan mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan mereka pun terkejut dan melongo. Apakah yang mereka lihat? Kiranya para perwira yang jumlahnya tinggal dua puluh orang mengeroyok tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang sudah terluka dan mulai kehabisan tenaga itu pun sekarang telah menghentikan pertempuran mereka. Akan tetapi mereka itu bukan berhenti bertempur dalam keadaan sewajarnya. Mereka itu masih dalam sikap bertanding, bahkan berhenti di tengah-tengah gerakan silat akan tetapi sudah menjadi kaku seperti berubah menjadi arca-arca batu. Tahulah orang-orang sakti yang memandang heran bahwa dua puluh orang Mancu dan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan kaku karena tertotok jalan darah mereka. Kalau dua puluh orang perwira Mancu itu sampai menjadi kaku tertotok, hal ini tidaklah amat mengherankan benar.
Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok begitu saja. Dan hebatnya, mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok dalam waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang bergerak-gerak cepat dalam pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan seperti itu? Kenyataan inilah yang membuat mereka makin terbelalak memandang ketika tampak seorang kakek yang bertubuh tegap tinggi muncul di pantai. Sebuah perahu nelayan kecil tampak di belakangnya dan kini kakek ini melangkah perlahan-l.ahan menuju ke tempat mereka. Kakek itu tidak dapat dilihat mukanya karena tertutup oleh sebuah caping nelayan yang amat lebar. Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya amat sederhana, pakaian seorang nelayan miskin.
Biarpun kini dia sudah melangkah makin dekat, sembilan orang sakti itu tetap tidak dapat melihat mukanya yang terus terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya amat tenang, namun kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo sekalipun menjadi bergidik. Siauw-lim Chit-kiam juga tidak mengenal kakek nelayan ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini yang penuh dengan ketenangan, wibawa yang seolah-olah tergetar keluar dari sikap kakek ini mengingatkan mereka akan guru mereka, Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, mereka segera tunduk dan maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang sakti yang menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai Sin, tujuh orang gagah ini menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah Song Kai Sin.
"Teecu bertujuh Siauw-lim Chit-kiam menghaturkan hormat kepada Locianpwe dan mohon maaf apabila teecu sekalian mengganggu tempat kediaman Locianpwe tanpa disengaja. Mohon Locianpwe memperkenalkan diri."
Kakek nelayan itu tetap menyembunyikan mukanya di balik caping lebar dan terdengarlah suaranya yang halus dan penuh getaran kesabaran dan welas asih,
"Chit-wi-sicu datang di pulau kosong milik alam, aku nelayan tua mana bisa mempunyai pulau ini? Jauh-jauh menempuh bahaya mencari apa? Lebih baik pulang melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi dunia dan manusia."
Sementara itu, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi yang menyaksikan keadaan kakek ini, menjadi khawatir hati mereka. Sikap kakek ini jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan berfihak kepada Siauw-lim Chit-kiam, karena itu mereka pikir lebih baik turun tangan lebih dulu selagi kakek ini tidak memperhatikan. Seperti telah bermufakat terlebih dahulu, kedua orang sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari kanan kiri. Setan Botak melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan kakek itu sedangkan dalam detik yang sama, Ma-bin Lo-mo menyerang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari kiri. Siauw-lim Chit-kiam terkejut sekali akan tetapi mereka tidak sempat lagi berbuat apa-apa, selain itu, menghadapi dua pukulan dahsyat ini, mereka dapat berbuat apakah? Akan tetapi kakek itu dengan sikap tenang sekali mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri.
"Dessss..., Desssss..."
Dorongan kedua orang kakek sakti dari kanan kiri itu bertemu dengan lengan kakek nelayan yang dikembangkan. Tenaga mukjizat yang tak tampak bertumbuk di udara dan akibatnya hebat sekali. Kakek nelayan masih berdiri tenang dan kini sudah menurunkan kembali kedua lengannya yang dikembangkan, bahkan lalu bersedakap, tetapi Setan Botak dan Iblis Muka Kuda jatuh terduduk. Muka Setan Botak menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi pucat kebiruan mukanya den tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila mengerahkan sinkang masing-masing untuk memulihkan getaran yang membuat mereka hampir tidak dapat bertahan itu karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan menyerang diri mereka sendiri. Kakek nelayan itu bersenandung, suaranya lirih namun jelas terdengar,
"Tenaga Im dan Yang adalah hebat sekali dan Ji-Wi telah dapat menguasainya. Sayang, tenaga murni sehebat itu bukan dipergunakan untuk menyebar kebaikan, melainkan untuk memupuk keburukan, sungguh sayang karena akibatnya akan menimpa diri sendiri..."
Setan Botak dan Iblis Muka Kuda itu terbelalak dan mulut mereka berseru kaget,
"Koai-lojin......"
Pada saat itu, Siauw-lim Chit-kiam yanng melihat betapa dua orang kakek iblis itu menyerang Si kakek nelayan, sudah siap dengan pedang mereka dan kini melihat kesempatan baik, tujuh sinar pedang menyambar ke arah Setan Botak yang jatuhnya lebih dekat dengan mereka. Kejadiah ini amat cepatnya sehingga Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri hanya terbelalak, tak kuasa menghindarkan diri karena dia sendiri masih lemah oleh getaran yang diakibatkan tangkisan kakek nelayan. Ia maklum bahwa nyawanya berada di ujung rambut, maka ia hanya mengeluh dan memandang terbelalak. Mendadak kakek nelayan itu mengibaskan lengan kanannya ke depan, telapak tangannya mendorong ke arah sinar pedang dan.....
"Trangggg....."
Tujuh batang pedang itu runtuh semua di atas tanah dan tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai itu meloncat ke belakang dengan muka pucat. Kembali kakek itu bersenandung, suaranya tetap halus dan tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang penting.
"Tujuh pedang lihai takkan ada gunanya kalau titik sasarannya terpencar, jika titik sasaran dipusatkan, alangkah akan kuatnya..."
Tujuh orang pendekar pedang itu terkejut dan menjadi girang sekali karena mereka mendapat petunjuk yang menjadi rahasia kekuatan ilmu pedang mereka dan yang tak pernah mereka pikirkan, maka mereka cepat mengambil pedang masing-masing dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek nelayan ini yang mereka ketahui adalah Koai-lojin, manusia dewa yang pernah mereka dengar disebut-sebut suhu mereka namun yang tak pernah mereka jumpai itu.
"Hendaknya Cu-wi sekalian kembali ke tempat asal masing-masing. Tiada gunanya memperebutkan pusaka karena pusaka yang diperebutkan melalui cucuran darah orang lain hanya akan mendatangkan kutuk. Mencari sesuatu harus dengan cucuran keringat sendiri, bukan dengan cucuran darah orang lain. Dan kalau tidak berjodoh, takkan mendapat. Hendaknya segera Cu-wi meninggalkan tempat berbahaya ini dan kiranya kepandaian Cu-wi sudah lebih dari cukup untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan manusia."
Dia berpaling ke arah Ma-bin Lo-mo dan berkata.
"Siangkoan-sicu kehilangan perahu, boleh menggunakan perahu nelayanku yang berada di sana itu. Nah, selamat berlayar."
Kakek nelayan itu sudah duduk bersila di atas tanah. Kiranya di bawah capingnya yang lebar itu terdapat tirai sutera hitam yang menyembunyikan mukanya, akan tetapi dari balik tirai sutera hitam
(Lanjut ke Jilid 11)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
itu tampak sepasang mata yang mengeluarkan cahaya lembut namun penuh wibawa sehingga mereka yang berada di situ, terrnasuk Gak Liat dan Siangkoan Lee yang biasanya ganas seperti iblis, tidak berani membantah lagi. Gak Liat bersungut-sungut dan mengumpulkan sisa para perwira Mancu yang kini tiba-tiba dapat bergerak kembali yang menandakan bahwa totokan itu memang dilakukan dengan sengaja menghentikan gerakan mereka untuk beberapa menit saja. Akan tetapi buyarlah harapan Gak Liat yang diam-diam masih hendak mencari Pulau Es ketika secara aneh sekali semua teropong yang berada di situ telah lenyap.
Mereka berbondong-bondong kembali ke perahu sambil membawa mayat teman-teman mereka, dan betapa heran dan mendongkol hati Gak Liat ketika mendapat kenyataan bahwa teropong-teropong yang disimpan di perahu juga lenyap semua. Terpaksa mereka melayarkan perahu dan mencari-cari secara ngawur saja, namun akhirnya tidak berhasil juga dan karena daerah itu banyak diserang badai, mereka akhirnya pergi ke selatan. Demikian pula dengan Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Dengan perahu nelayan kecil mereka tidak berani mengambil resiko diserang badai, maka mereka juga berlayar kembali ke selatan. Siauw-lim Chit-kiam meninggalkan pulau itu dan mereka langsung berlayar kembali ke selatan. Di waktu semua orang meninggalkan pulau, terdengar lapat-lapat suara nyanyian kakek nelayan:
Yang tidak ingin itu cukup dan puas
Yang ingin itu kurang dan kecewa
Yang tidak mencari akan mendapat
Yang mencari akan sia-sia....
Yang ada tidak dimanfaatkan
Yang tidak ada dicari-cari
Tak lama kemudian, setelah tiga buah perahu itu mulai mengecil dan hanya tampak sebagai titik hitam di kaki langit, tampak kakek nelayan ini meninggalkan pulau. Dilihat dari jauh, dia seolah-olah melayang di atas air dengan jubah berkibar-kibar tertiup angin. Akan tetapi andaikata ada yang dapat melihat dari dekat, akan tampaklah betapa kakek nelayan yang aneh ini sesungguhnya berdiri di atas dua batang bambu dan bambu itu meluncur cepat ke depan karena jubah kakek itu tertiup angin dan sengaja dikembangkan sehingga menjadi pengganti layar.
***
"Han-ko....! Sadarlah. Engkau sudah tiga hari tiga malam di situ."
Lulu berteriak sambil berdiri bertolak pinggang di pondok taman, memandang kepada Han Han yang duduk bersila tanpa sepatu di atas batu es. Sebagian tubuh dan di atas kepala Han Han penuh dengan salju membeku. Di belakangnya, beruang es sedang menggaruk-garuk salju yang menutup air, agaknya dia mencium ikan di bawah situ.
Lulu kini bukanlah Lulu enam tahun yang lalu. Ketika datang ke pulau itu terbawa perahu bersama Han Han, usianya baru sembilan tahun. Kini dia telah menjadi seorang gadis remaja berusia lima belas tahun, berwajah cantik dengan sepasang mata lebar dan indah, tubuhnya ramping kecil namun singset dan padat membayangkan tenaga sakti yang amat kuat. Adapun Han Han yang duduk bersila itu pun bukan kanak-kanak lagi sekarang. Dia kini telah berusia delapan belas tahun, telah menjadi seorang jejaka remaja yang tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap, dadanya bidang pinggangnya kecil, tubuhnya kelihatan kuat sekali dan bibirnya selalu tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan jarang ada orang akan dapat bertahan bertemu pandang dengan pemuda luar biasa itu.
Dia sedang melatih diri dan kini Han Han yang tekun berlatih menghimpun Im-kang selama enam tahun itu telah memperoleh kemajuan yang amat mentakjubkan. Tenaga sinkang yang ia kerahkan menjadi Im-kang amat dahsyat sehingga sekali dorong dengan kekuatan Im-kang, ia dapat membuat air membeku seketika menjadi gumpalan es yang besar. Dan kalau dia sedang melatih diri, dia sengaja duduk di luar, membiarkan dirinya diserang hujan salju dan ia bertelanjang kaki. Namun hawa dingin tidak lagi mengganggunya karena dengan tenaga sinkang ia telah membuat tubuhnya lebih dingin daripada yang di luar dirinya, sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi es dan salju yang melekat pada tubuhnya sampai membeku.
"Koko! Terlalu sekali kau, Masa aku kau diamkan sampai tiga hari tiga malam? Benar-benar kakak yang tidak menyayang adik."
Lulu membanting-banting kaki kanannya dengan jengkel. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mendengar ucapan adiknya ini karena dia masih tenggelam ke dalam samadhi. Alisnya berkerut, wajahnya berseri dan bibirnya yang tersenyum itu membayangkan senyum yang mengejek. Dalam keadaan terlelap itu timbul bayangan-bayangan yang menyenangkan hatinya, yaitu betapa dengan amat mudahnya ia menangkap para perwira yang dahulu membasmi keluarga orang tuanya,
Dan membawa mereka itu ke pulau ini, kemudian melaksanakan pembalasannya dengan memuaskan sekali. Ia memikirkan dan mencari-cari cara yang paling mengerikan, paling kejam dan paling menyakitkan untuk membunuh musuh-musuhnya itu sedikit demikian sedikit, untuk menyiksa mereka dengan siksaan-siksaan yang mengalahkan siksaan di dalam neraka seperti yang pernah ia baca dalam kitab-kitab. Dan ia telah mencurahkan segala perhatiannya kepada cara-cara penyiksaan ini ketika ia mulai siulian, tepat seperti cara mencurahkan perhatian dalam samadhi seperti yang pernah diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li kepadanya. Tidaklah mengherankan apabila wajahnya kini mengandung sinar yang kejam karena pemuda ini tanpa disadari telah melatih diri dengan ilmu yang amat sesat.
"Han-ko... Han-ko.... tolong..... Paman Beruang diserang ular....."
Kalau lulu hanya mengomel dan marah-marah, kiranya Han Han takkan dapat sadar dari keadaan samadhinya. Akan tetapi mendengar adiknya yang dicintanya itu menjerit minta tolong, seketika ia sadar dan membuka matanya.
Setelah pikirannya yang tadi sedang membayangkan siksaan yang paling kejam terhadap musuh-musuhnya sudah mulai terang, ia menoleh. Dilihatnya Lulu, sedang menarik seekor ular dari leher beruang yang terkapar di atas salju sambil berkelojotan. Dia merasa heran sekali mengapa beruang es yang selain bertenaga besar, juga kebal kulitnya dan dapat bergerak sigap itu kini terkapar hanya oleh gigitan seekor ular merah darah yang entah bagaimana tadi menggigit leher beruang dan membelit leher itu. Pada waktu itu, Lulu telah menjadi seorang gadis remaja yang memiliki kepandaian tinggi. Dengan pengerahan sin-kang, ia dapat merenggut tubuh ular itu terlepas dari tubuh beruang dan ular merah itu tiba-tiba melejit sehingga terlepaslah pegangan tangan Lulu karena ular itu licin dan tenaganya ketika melejit besar sekali.
Ular merah yang panjangnya ada semeter dan besarnya hanya seibu jari kaki itu kini meluncur dari bawah dan menyerang ke arah leher Lulu. Namun gadis ini sudah menyambar dengan tangannya dan dengan gerakan manis dan tepat sekali jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya sudah menangkap dan menjepit leher ular itu. Ia mengangkat tinggi-tinggi tangannya, dua buah jarinya yang kecil itu seperti sepasang sumpit menjepit, dan ular itu tidak dapat melepaskan dirinya lagi, hanya dapat meronta-ronta dan mulai melibat tangan Lulu yang menjadi jijik dan geli. Ketika merasa betapa tubuh ular yang licin dan panas itu menggeliat-geliat dan membelit-belit tangannya, bulu tengkuk Lulu berdiri dan ia sudah siap mencengkeram kepala ular dan diremas hancur dengan tangan kiri.
"Tunggu, Moi-moi. Jangan bunuh dulu."
Tiba-tiba Han Han meloncat dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah berada di depan lulu. Gerakan Han Han benar-benar luar biasa cepatnya dan ginkang yang tidak lumrah manusia biasa ini pun ia dapatkan dari hasil latihan-latihannya yang menyeleweng.
"Mau apa kau? Enak-enak saja siulian dan setelah ular jahat ini kutangkap, tidak boleh kubunuh."
Lulu mengomel.
"Jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak bagi ular keparat itu kalau dibunuh begitu saja. Lihat apa yang telah ia lakukan. Lihat Paman Beruang itu."
Han Han menunjuk ke bawah, Lulu menengok ke arah beruang dan gadis ini mengeluarkan jerit. Han Han cepat menyambar ular itu dan ia pegang pada lehernya. Dengan mudah ia melepaskan belitan tubuh ular dari tangan lulu dan gadis ini pun tidak mempedulikan lagi kepada ular itu, melainkan cepat menubruk tubuh beruang sambil memekik-mekik memanggil.
"Paman Beruang.... Paman....."
Akan tetapi beruang es itu telah mati dalam keadaan yang mengerikan karena mukanya yarig putih menjadi biru sedangkan kulit pada telapak keempat kakinya ada totol-totol merah. Sampai lama Lulu menangisi beruang yang mati itu. Kemudian baru Lulu teringat mengapa Han Han tidak ikut menangisi beruang yang mati. Ketika ia menengok, ia melihat Han Han berdiri di bawah pohon yang tidak berdaun, entah sedang melakukan apa, hanya tampak olehnya asap mengebul seolah-olah kakaknya itu sedang membakar sesuatu.
"Apa yang kau lakukan itu, Koko?"
Lulu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kakaknya. Ketika melihat apa yang dilakukan Han Han, gadis ini memandang dengan mata terbelalak. Ternyata Han Han telah mengikat leher dan ekor ular itu dengan akar halus dan menggantung binatang itu di pohon, kemudian menggunakan sebatang ranting kering yang bernyala untuk membakar ular itu sedikit demi sedikit. Ular itu menggeliat-geliat kepanasan akan tetapi Han Han tidak membakarnya terus melainkan menyentuh-nyentuh tubuh ular dengan api, menyiksanya dengan kejam sekali, seolah-olah merasa puas dan gembira menyaksikan betapa ular itu menggeliat-geliat dan berkelojotan. Andaikata ular itu dapat bersuara, tentu sudah melolong karena kesakitan.
"Han-ko, kenapa tidak kau bunuh saja dia?"
"Ha-ha, terlalu enak kalau dibunuh begitu saja, Lulu. Biar dia rasakan hukumannya dan dalam penderitaan sakit ini biar dia sadar akan dosanya telah membunuh Paman Beruang. Lihat dia menggeliat-geliat berkelojotan. Setelah dia cukup tersiksa, akan kuambil darahnya untuk kita minum."
"Ihhh, jijik. Aku tidak mau."
"Mengapa, Lulu? Ingat, ular ini kulitnya berwarna merah, dan gigitannya amat berbisa. Aku pernah membaca kitab yang menyatakan bahwa makin berbisa seekor ular, makin lezat dan makin banyak khasiat darah dan dagingnya. Selain untuk menikmati darahnya dan dagingnya, juga kalau kita makan dia, berarti kita membalaskan sakit hati Paman Beruang. Apakah kau tidak ingin membalas dendam kematian raman, Beruang?"
"Tentu saja, Biar kuhancurkan kepalanya."
"Eiiiiit, jangan. Dia harus dihukum dan kalau dibunuh sekarang, darahnya akan membeku. Darahnya akan kuambil dan kita minum, kemudian dagingnya kita bakar dan kita makan. Biar arwah Paman Beruang melihatnya dan menjadi puas. Kepalanya kita kubur bersama mayat Paman Beruang."
Berkata demikian, sinar mata Han Han bercahaya penuh kepuasan.
"Koko, kau tidak menengok... dia....?"
Lulu menuding ke arah tubuh beruang yang sudah menjadi mayat.
"Perlu apa? Dia sudah mati. Dia bukan Paman Beruang lagi, dia adalah bangkai yang akan kita kubur nanti. Nah, kau lihat, aku akan mengambil darah ular keparat ini."
Setelah berkata demikian, Han Han mengambil sebuah cawan dari dalam rumah, kemudian dengan kekuatan tangannya ia merobek kulit dan daging di bagian ekor ular itu. Binatang ini berkelojotan dan darah yang merah sekali mulai menetes-netes keluar yang segera ditadahi Han Han ke dalam cawan. Makin deras darah menetes, makin keras tubuh ular menggeliat dan makin berseri wajah Han Han. Lebih setengah jam darah itu bertetesan sampai setengah cawan, kemudian tubuh ular itu makin lemah menggeliat dan akhirnya hanya bergerak-gerak lemas, darahnya tidak menetes lagi. Han Han membawa cawan darah itu ke dekat mayat beruang di mana Lulu berlutut sambil membelai bulu beruang dengan penuh kesedihan.
"Lulu, mari kita minum darah ini di depan mayat Paman Beruang sebagai tanda pembalasan terhadap ular."
Setelah berkata demikian, Han Han minum sebagian besar darah ular itu dari cawan, kemudian menyerahkan cawan dengan sisa darahnya kepada Lulu. Lulu menerima cawan itu, mukanya berkerut dan menyeringai.
"Ihhh, aku... jijik...., Koko."
"Lulu,"
Kata Han Han sambil menjilat sedikit darah ular di bibirnya dengan lidahnya.
"Rasanya manis dan enak pula, apakah kau tidak mau menyenangkan arwah Paman Beruang? Dia saat ini mungkin sedang menggereng marah meliha ketidak-setiaanmu."
Lulu bergidik dan memandang ke kanan kiri seolah-olah mencari arwah itu, kemudian ia menengok ke arah bangkai beruang itu. Kebetulan sekali muka beruang itu menghadapnya dan beruang itu mati dengan mata terbuka. Dalam pandangan Lulu, seolah-olah mata beruang yang sudah mati itu mendelik marah kepadanya. Kembali ia bergidik, kemudian sambil meramkan matanya ia minum darah ular itu sampai habis. Memang benar ada rasa manis, akan tetapi baunya amis dan ia harus menahan diri dengan meraba leher agar jangan muntah.
"Koko.... badanku.... menjadi panas....."
"Bagus! Itu tandanya bahwa darah ular ini benar-benar besar khasiatnya, Lulu. Nah, sekarang kau bantu aku memanggang daging ular, kita makan didepan mayat Paman Beruang sebagai upacara sembahyang, kemudian kita kubur mayat Paman Beruang bersama kepala ular yang tadi menggigitnya, agar di akherat Paman Beruang dapat mengejek dan menyiksa ular yang hanya tinggal kepalanya saja."
Ular itu sudah mati dan karenanya Lulu tidak jijik lagi. Han Han menguliti ular itu setelah memenggal kepalanya yang ia putar dan patahkan begitu saja dengan jari-jari tangannya yang kuat. Kepala ular itu ia taruh ke dalam telapak kaki depan beruang, kemudian Lulu memanggang daging ular yang putih kemerahan itu.
"Upacara"
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makan daging panggang ular itu lebih menyenangkan bagi Lulu, karena ternyata bahwa daging itu benar-benar gurih dan sedap lezat sehingga sebentar saja habislah daging ular sepanjang satu meter itu. Setelah itu, mereka lalu menggali lubang sampai tampak tanah dan terus menggali sedalam satu meter lebih, kemudian mengubur mayat beruang bersama kepala ular.
Lulu menangis terisak-isak ketika mereka menguruk lubang itu. Teringat kepada beruang yang selama enam tahun menjadi kawan bermain dan kawan berlatih silat, Lulu menjadi berduka sekali den terus menangis di atas gundukan salju yang menjadi kuburan beruang. Han Han membiarkan adiknya menangis. Dia lalu pergi mencari batu untuk dijadikan batu nisan kuburan beruang es. Ia mendapatkan sebuah batu lonjong yang terpendam setengahnya dalam salju. Dengan tenaganya yang besar ia mencabut batu ini dan heranlah ia melihat betapa di bagian tengah dan bawah batu itu terdapat ukir-ukiran huruf. Cepat ia membersihkan batu itu dari tanah dan salju, kemudian membaca huruf-huruf terukir itu.
"Betapa menjemukan ular salju merah itu. Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat. Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat, Pulau Es ini pulau terkutuk, agaknya tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah. Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es.?"
Demikianlah bunyi tulisan itu dan jantung Han Han berdebar. Penulis itu bernama Suma Hoat? Teringatlah ia akan patung yang dipuja di In-kok-san, yang menurut cerita Ma-bin Lo-mo dan Kim Cu adalah sucouw mereka bernama Suma Kiat. Dan menurut cerita itu selanjutnya, Ma-bin Lo-mo mempunyai seorang suheng yang menjadi perantau, yang ilmu kepandaiannya tinggi sekali, yaitu putera tunggal sucouw itu dan bernama Suma Hoat. Kalau begitu, suheng dari Ma-bin Lo-mo itukah penghuni Pulau Es? Patung pria yang tampan itu adakah itu Suma Hoat? Akan tetapi coretan, huruf terukir di batu ini amat jauh bedanya dengan tulisan-tulisan di dinding istana yang amat indah.
Coretan ini huruf-hurufnya buruk dan kasar. Disebut pula tentang ular salju merah. Apakah ular yang telah membunuh beruang? Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan lagi. Semua yang ada hubungannya dengan In-kok-san tidak menarik hatinya, apalagi kalau ia teringat betapa ia terancam hukuman potong kaki oleh perguruan itu. Membaca tulisan Suma Hoat itu mengingatkan dia bahwa sampai kini pun tetap ia terancam bahaya hukuman itu. Cepat ia mengangkat batu itu dan meletakkannya di depan kuburan beruang, dengan ukiran huruf-huruf itu ia taruh di bawah agar tidak tampak. Ditaruhnya batu nisan di depan kuburan ini membuat Lulu menangis makin keras, sampai gadis ini tersedu-sedu. Han Han memeluknya, kemudian setengah memaksanya bangkit berdiri dan menuntunnya ke dalam pondok di taman.
"Sudahlah, Lulu, Untuk apa ditangisi lagi? Biar engkau menangis air mata darah sekalipun, Beruang tidak akan dapat hidup kembali. Ketahuilah bahwa kini mungkin dia sedang enak-enak mengganyang kepala ular yang membunuhnya""
Akan tetapi hiburan ini tidak menghentikan tangis Lulu yang karena kematian beruang jadi teringat akan kematian orang tuanya.
Gadis itu terisak-isak menangis sambil bersandar di dada Han Han. Akhirnya pemuda itu mendiamkannya saja dan tiupan angin laut membuat gadis yang berduka itu akhirnya tertidur di dalam pelukannya. Han Han merasa tubuhnya panas dan aneh sekali ada ribuan ekor semut di balik kulit tubuhnya merayap-rayap. Angin bersilir sejuk dan akhirnya ia pun tertidur sambil duduk di lantai pondok yang terbuat daripada marmer, dengan Lulu masih bersandar di dadanya. Mereka berdua tertidur seperti orang mabuk, tidur nyenyak sehingga tidak tahu betapa malam telah tiba. Malam bulan purnama clan cahaya bulan menerobos masuk ke dalam pondok yang tidak berdinding itu. Hawa udara pun amat dinginnya. Namun aneh sekali, kedua orang muda itu berpeluh.
"Han-ko..... ah, Han-ko....."
Han Han membuka matanya, jantungnya berdenyut-denyut tidak karuan, tubuhnya panas dan telinganya mendengar suara terngiang-ngiang. Suara panggilan Lulu seperti mengambang di atas lautan suara mengiang itu. Ia melihat wajah Lulu dekat sekali di atas dadanya, wajah yang cantik jelita, bersinar-sinar keemasan tertimpa sinar bulan. Sepasang mata yang lebar dan indah itu kini seperti berlinang air, memandang kepadanya dengan aneh. Cuping hidung yang kecil itu kembang-kempis, seolah-olah sukar bernapas dan mulut yang kecil itu pun terbuka, membantu pernapasan hidung. Ada apakah dengan Lulu? Dan apa yang terjadi pada dirinya? Ia merasa panas sekali.
"Lulu...."
"Han-koko....."
Suara gadis itu seperti mengerang lirih, muka mereka berdekatan, pandang mata mereka melekat dan ada dorongan aneh yang membuat Han Han menundukkan mukanya, menyentuh dahi adiknya dengan hidung. Belaian seperti ini tidaklah aneh bagi mereka.
Sudah sering kali kalau menghibur adiknya, ia mencium dahi atau pipi Lulu. Akan tetapi begitu hidungnya menyentuh dahi adiknya, jantungnya berdebar keras sekali, napasnya sesak. Ia seperti mencium bau harum yang tak pernah selamanya ia alami, dan ia terus mencium, bahkan kini dengan bibirnya, dengan mulutnya. Gilakah dia? Han Han masih sadar akan hal yang tidak semestinya ini, dan dia menjadi makin kaget ketika merasa betapa Lulu juga membalas menciumnya, tidak seperti biasa, melainkan ciuman yang penuh nafsu panas sehingga akhirnya mulut mereka bertemu dalam ciuman, mesra. Akan tetapi keduanya seperti terkejut dan keduanya merenggut muka masing-masing, saling pandang dengan mata terbelalak dan malu, kemudian Han Han melepaskan pelukannya, pura-pura tidak sadar akan apa yang baru saja terjadi.
"Aku... aku.... panas sekali...."
Dengan suara terputus-putus Han Han berkata lirih untuk menutupi hal yang baru saja terjadi.
"Aku pun.... begitu..... Koko...."
Lulu juga bicara dengan bingung sambil berusaha mengelakkan pandang mata mereka agar jangan bertemu. Han Han yang merasa betapa tubuhnya menjadi panas dan tidak karuan rasanya, menekan ketegangan yang ditimbulkan oleh ciuman tidak semestinya tadi dengan tertawa aneh.
"Heh mungkin racun ular hemmm, tidak tertahankan panasnya, lebih baik kubuka bajuku."
Karena dia sudah biasa dalam latihannya membuka baju atasnya di depan Lulu, maka ia sekarang membuka bajunya dengan maksud agar keadaan perasaannya biasa kembali. Akan tetapi kini pandang mata Lulu menatap setiap gerakannya, dan mata yang lebar itu memandangnya penuh kemesraan, memandang tubuh atasnya yang telanjang itu dengan pandang mata luar biasa.
Istana Pulau Es Eps 36 Istana Pulau Es Eps 12 Istana Pulau Es Eps 30