Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 12


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Apakah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan nama dan apa keperluannya menggali tanah kuburan?"

   Melihat sinar mata gurunya penuh selidik, Can Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan jelas apa yang telah ia alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu sambil membentak.

   "Haii! Engkau tentu maling yang hendak merampok isi kuburan!"

   "Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa engkau?"

   Can Ji Kun juga membentak marah. Laki-laki bongkok itu menunda pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan mata terheran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak di tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring.

   "Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain, jangan di tempat keramat ini!"

   Dan dia melanjutkan pekerjaannys menggali, tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau itu tidak melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun membentak,

   "Maling kurang ajar, pergilah!"

   Ia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok

   "Dukk!"

   Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat keras karena dia terlatih semenjak kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa nyeri. Melihat suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras,

   "Maling hina! Berani kau merobohkan suhengku?"

   Anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.

   "Plakk! Aduh....!"

   Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri. Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masihbelum kapok, bahkan kini keduanya mengambil sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.

   "Hemm.... anak-anak nakal!"

   Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu, kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka.

   "Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!"

   "Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?"

   Kata Ok Yan Hwa. Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kelau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil, bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok itu membongkar tanah kuburan keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan berkata,

   "Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja, jangan sekali-kali lancang mencampuri."

   Dua orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan mereka tadi.

   Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun tidak jauh dari kuburan raja Khitan. Ia memperhatikan orang itu. Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, wajahnya buruk dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja Khitan?

   "Sobat, apa yang kau lakukan di sini?"

   Ia menegur. Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia tidak senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah biarpun kurus dan agak pucat, ia menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki-laki gagah itu, Ia menjawab singkat.

   "Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasihati murid-muridmu agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut pautnya denganmu. Pergilah, aku sedang sibuk!"

   Tang Hauw Lam mengerutkan keningnya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan memandang rendah kepadanya.

   "Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!"

   Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan.

   "Hemm.... siapa yang melarangnya?"

   "Aku yang melarangnya!"

   Hauw Lam berkata tegas. Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang.

   "Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di sini, engikau mau apa?"

   Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali.

   "Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!"

   "Hemm, kau kira akan gampang saja? Cobalah!"

   Kalau isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani Si Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan pemarah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak.

   "Manusia sombong! Pergilah!"

   Sambil membentak demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan kanannya untuk mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan Pek-kong-ciang yang amat ampuh, dan kuat, mengandung tenaga sin-kang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh. Si Bangkok itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya.

   "Desss....!"

   "Ahhh....!"

   Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat tanda bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat hebat karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat, ia telah memperoleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga untuk masa itu, jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto Tang Hauw Lam suami Mutiara Hitam ini.

   tetapi, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat kuatnya dan mengandung tenaga mujijat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki ke pandaian sehebat ini? Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut sekali, dan baru tahu bahwa orang yang dilawannya bukanlah orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa orang ini tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya menghalanginya karena sebab yang remeh seperti mengalahkan dua orang muridnya. tadi.

   "Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah majikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya abu jenazah ini di sini!"

   Dengan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak minta maaf dan mengajukan alasan mengapa dia bersikeras hendak mengubur abu jenazah di situ. Tang Hauw Lam belum pernah mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab.

   "Dan aku pun mempertaruhkan nyawaku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapapun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya dikuburkan di tempat ini!"

   Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu bertanya.

   "Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?"

   "Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!"

   Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup,

   "Mutiara Hitam....?"

   Hauw Lam mengangguk.

   "Isteriku!"

   Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua orang muridnya karena di luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu jenazah, memeluknya dan berkata terisak-isak.

   "Hamba Gu Toan mohon ampun.... harap Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah dari.... majikan hamba.... mendiang Menteri Kam Liong....!"

   Wajah Hauw Lam menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi abu jenazah.

   "Apa? Kanda, Kam Liong.... mati....? Benarkah....?"

   "Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid majikan hamba.... mereka tewas dalam menolong adik beliau, Kam Han Ki-taihiap...."

   "Ahhh....!"

   Tang Hauw Lam menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih,

   "Tidak dinyana.... Kam Liong Twako....!"

   Sambil berlutut, Gu Toan lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya. Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu jenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu.

   Tang Hauw Lam mendengarkan penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main, makin tersayat rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya. Raja Talibu saudara kembar isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluargaberikut kerajaannya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya, tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya!Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya!

   "Aihhh. Gu Toan.... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu, dan kaumaafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang isteriku...."

   Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang Hauw Lam menceritakan keperglan isterinya.

   Mendengar ini, Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya menyembahyangi kuburan baru itu. Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang bergabung menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet dan tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan datang bahaya.

   Lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan agar jangan sembarangan bicara atau bergerak. Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda, sikap mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali, sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi besar. Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.

   "Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!"

   Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia berkata,

   "Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol mencari aku?"

   Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dari kamandan itu lalu memberi hormat secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat,

   "Kami melaksanakan perintah raja kami untuk pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami seorang pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!"

   Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan maksud membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu berkhawatir akan nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak,

   "Apa yang terjadi dengan isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Di mana Mutiara Hitam dan apa yang telah terjadi?"

   "Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!"

   Panglima Mongol itu mengambil sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya, melompat turun dari kudanya dengan sigap kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk, menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam. Dengan kedua tangan agak gemetar dan jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian menurunkan bungkusan dan hendak membukanya.

   "Tang-taihiap, kami telah melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol."

   "Tunggu dulu!"

   Hauw Lam tidak melanjutkan niatnya membuka bungkusan, melompat berdiri dan berkata,

   "Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!"

   "Tang-taihiap, kami tidak berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang berada di dalam bungkusan. Selamat tinggal!"

   Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu bergerak cepat, kuda mereka membentuk barisan yang rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak debu mengebul tinggi menutupi barisan yang pergi dengan cepatnya. Tang Hauw Lam masih berdiri termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus,

   "Tai-hiap, hidup memang banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman hidup yang amat berguna."

   Tang Hauw Lam membalikkan tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir tidak berani membuka bungkusan itu.

   Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat hatinya dengan hawa murni, kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai membuka bungkusan kain kuning, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam. Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan.

   Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggu-tunggu dan duga-duga. Ternyata bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan.... setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam! Betapapun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula, dan terdengar keluhnya,

   "Lan-moi.... isteriku....!"

   Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu menubruk dan memeluk tempayan itu, tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa, kini pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.

   "Kwi Lan....!"

   Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan kesadarannya.

   "Subo....!"

   Can Ji Kun berseru sambil menangis.

   "Subo....!"

   Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak,

   "Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!"

   "Aku juga!"

   Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar, rombongan pasukan Mongol.

   "Ji Kun, Yan Hwa! Berhenti....!"

   Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh.

   "Apa yang hendak kalian lakukan?"

   Kedua orang anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan.

   "Subo telah mereka bunuh....!"

   Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.

   "Subomu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!"

   Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam, dan dengan wajah pucat, pipi basah air mata namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca isinya.

   Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja Mongol itu. Surat yang menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam, yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di tangan!

   "Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam,"

   Demikian penutup surat yang panjang lebar itu.

   "Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa."

   "Kwi Lan....!"

   Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu dan wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu Toan yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya. Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan isterinya. Setelah lewat sebulan, dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata,

   "Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku."

   "Jangan khawatir, Tai-hiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba."

   "Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan."

   "Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Tai-hiap."

   Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya,

   ".... andaikata aku tewas dalam tugas pribadiku ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, suamiku."

   Biarpun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata,

   "Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat tinggal!"

   Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.

   Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri guha besar yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia temukan di dalam guha keramat terlarang itu.

   Biarpun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?

   Guha itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan. Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Guha itu ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang longsor. Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.

   "Inilah yang kucari!"

   Serunya girang.

   Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara mereka dapat membaca. Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu.

   
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu. Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu, para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.

   Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi semua! Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan!

   Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apabila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah
(Lanjut ke Jilid 12)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai! Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja yang terbebas dari maut. Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin menyambar ke arah kepalannya.

   Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas. Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti.

   "Trik-cringgg....!" "Ayaaa....!"

   Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang. Kini, di antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang.

   Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada para penghuni Pulau Nelayan. Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya karena orang kembar itu, berbeda dengan kakek botak yang menguji kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di dalam guha yang gelap karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak dapat bergerak leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat, agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.

   "Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh....!"

   Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari. Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak. Tiba-tiba, seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh,

   "Mataku.... ahhh.... silaunya....!"

   Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan seringkali menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!

   "Aduh.... silau....!"

   "Tak dapat melihat...."

   Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah menjadi korban api!

   Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang menolongnya. Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula. Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat pertempuran tadi. Akan tetapi ketika ia tiba di luar guha, tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan guha. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoinya itu dibelenggu!

   "Eh.... aku.... aku tidak melakukan apa-apa...."

   Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoinya kalau mereka itu berniat buruk.

   "Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!"

   Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.

   "Akan tetapi.... dia.... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk....! Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau Es!"

   Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi,

   "Kami tidak mengerti apa yang kaukatakan itu, Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran, mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat."

   "Akan tetapi mereka.... lihai sekali!" "Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoimu harus meninggalkan pulau ini!"

   "Akan tetapi....!"

   Han Ki membantah.

   "Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni pulau?"

   Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak munkin di bantah.

   "Baiklah, kami akan pergi besok pagi."

   "Sekarang juga!"

   "Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?"

   Han Ki mengangguk.

   "Baiklah. Mari kita pergi!"

   Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan tenaga saktinya sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum menyaksikan betapa mereka semua, laki-laki dan perempuan, juga kanak-kanak, menuruni tebing membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu lepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang Sumoinya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan berkata kepada kakek botak.

   "Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di guha yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam guha. Adapun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kapandaian mereka itu hebat sekali, kalau mereka kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!"

   Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam amat gelap. Dia menanti sempai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai, obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular merayap naik.

   Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air. Dua orang gadis ciiik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan, apalagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju. Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari, melewati sekumpulan pulau kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.

   "Tak salah lagi, itulah Pulau Es!"

   Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan. Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain daripada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan ujung bangunan itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit karang.

   "Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?"

   Tanya Maya.

   "Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,"

   Kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.

   "Tidak mungkin,"

   Jawab Han Ki.

   "Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana."

   Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja. Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan es yang amat beSar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguhpun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali.

   "Pulau Es ini kosong, tidak ada mahluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!"

   Han Ki berseru, gembira dan kagum.

   "Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti ini?"

   Maya mencela,

   "Tidak ada tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan di sini!"

   "Aduh, dinginnya bukan main!"

   Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan. Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena untuk dapat melawan hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sin-kang yang kuat.

   "Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar."

   Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini, darah mereka mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang, akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya, berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi, karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.

   "Mari kita masuk!"

   Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya,

   "Suheng.... jangan-jangan ada orangnya di...."

   "Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andaikata ada penghuninya sekalipun kita takut apa?"

   Maya mencela dengan suara nyaring.

   "Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan berani mengganggu. Marilah!"

   Han Ki bergandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan di antara kedua orang sumoinya itu. Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali karena selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan.

   Ruangan yang lebar, lantainya dari pintu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat daripada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata, biasanya dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!

   Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana. Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan disitu terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdpat beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya.

   Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat daripada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoinya lebih baik, dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis tubuh manusia biasa itu. Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhengnya yang agaknya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan secukupnya.

   "Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci?"

   Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada sucinya yang tadi takut kelaparan berada di pulau itu.

   "Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, ke mana kita akan mencarinya?"

   Maya mempertahankan kehkhawatirannya.

   "Kita bisa mencari ikan di laut,"

   Kata Siauw Bwee.

   "Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali, hawanya di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat ini."

   Melihat betapa kedua orang sumoinya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,

   "Sudahlah, Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian. berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta seyur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang, lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan peninggalan Suhu untuk mengisi perut."

   Dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoinya melupeken perbantahan mereka, kemudian mereka berdua kembali berlumba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya.

   Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoinya. Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah mau kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah terhadap sucinya. Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua arang anak perempuan itu, dalam hal mempelajari ilmu silat.

   Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan hal ini amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoinya merupakan "murid-murid"

   Yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapapun lelahnya, seorang di antara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, dan akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau beristirahat akan tertinggal jauh, Keduanya sama tekun dan sama cerdik, kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah pengawasan dara bimbingan Han Ki mereka "sikat"

   Satu demi satu! Tentu saja mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat.

   Juga Han Ki sendiri sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoinya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhunya. Dengan, dasar yang telah dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih tinggi. Akan tetapi, di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apalagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.

   "Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!"

   Pada suatu malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya.

   "Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, beum lega hatiku!"

   Karena maklum bahwa sumoinya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk.

   "Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi."

   Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ignin melihat sucinya itu untuk kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya,

   "Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak sehingge kau hendak membasminya semua?"

   "Musuh-mushku?"

   Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki memandang kagum. Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun seolah-olah mengeluarkan api!

   "Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua kelak!"

   Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoinya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoinya ini akan lebih "ngotot"

   Lagi, maka dia diam saja. Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau "kalah"

   Begitu saja dan ia langsung mencela,

   "Aihhh, Suci. Pandanganmu itu keliru sekali!"

   "Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?"

   Biarpun Maya menyebut "sumoi yang manis"

   Namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan menantangnya untuk berdebat. Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana pandangan kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian.

   "Suci,"

   Jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya.

   "Engkau tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban, ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak mendendamkepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan kaki-tangannya."

   "Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas. Ini merupakan dendam ini keluarga juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas."

   Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya,

   "Semua cita-cita adalah benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi,dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu, Khu-sumoi?"

   Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya, maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak berkeras hendak membantah Maya. Maka jawabnya,

   "Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka"

   Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan.

   "Suheng, engkau sendiri mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?"

   Pertanyaan. itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama! Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab.

   "Masih bergema di telingaku nasihat dan wejangan Siansu."

   Han Ki kadang-kadang menyebut Suhunya "siansu".

   "Yaitu bahwa dendam timbul dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar kehendakNya, takkan ada terjadi sesuatu!"

   

Cinta Bernoda Darah Eps 14 Cinta Bernoda Darah Eps 29 Cinta Bernoda Darah Eps 13

Cari Blog Ini