Ceritasilat Novel Online

Pendekar Super Sakti 7


Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Teecu Sie Han menerima kebaikan suhu untuk memberi bimbingan."

   "Heh-heh-hiyeeehhhhh....! Anak baik, lekas ceritakan riwayatmu. Tunggu dulu, mari kita keluar dan kau Kim Cu, kumpulkan semua saudaramu agar mengenal muridku yang baru, Sie Han."

   Han Han mengikuti mereka keluar dari pondok dan ternyata di luar pondok itu adalah tanah datar berumput yang luas sekali. Dari jauh tampak awan putih berkelompok seperti sekelompok domba berbulu putih. Hawanya dingin sekali dan di sekeliling tempat itu tampak halimun tipis seperti sutera putih yang jarang. Seperti juga tadi, Kim Cu memasukkan dua buah jari tangan ke mulut lalu bersuit nyaring beberapa kali. Terdengar suitan-suitan balasan dari empat penjuru dan tak lama kemudian datanglah berlari-larian lima belas orang anak-anak yang sebaya dengan Kim Cu, sekitar sepuluh sampai tiga belas tahun usianya. Jumlah semua murid, termasuk Han Han, ada lima orang anak perempuan dan empat belas orang anak laki-laki, kesemuanya sembilan belas orang.

   Dengan mata terbelalak Han Han melihat bahwa tiga orang laki-laki di antara mereka cacad, yang seorang buntung kaki kirinya, seorang buntung lengan kirinya dan seorang lagi buntung kedua daun telinganya"

   Namun gerakan mereka sama cepatnya dengan yang lain. Bahkan Si Buntung kaki itu pun dapat berlari cepat dibantu sebatang tongkat. Ma-bin Lo-mo duduk di atas sebuah batu hitam yang halus permukaannya, kemudian menarik tangan Han Han dan menyuruh anak itu duduk di dekatnya sambil mengelus-elus kepala anak itu. Diam-diam Han Han merasa agak terharu. Benarkah guru barunya ini adalah seorang yang kejam? Sentuhan tangan pada kepalanya mendatangkan perasaan haru karena semenjak ia tidak berayah ibu lagi, belum pernah ada orang mencurahkan kasih sayang seperti kakek ini. Namun hanya sebentar saja ia sudah dapat menguasai keharuan hatinya.

   "Nah, berceritalah, muridku."

   "Jangan sungkan-sungkan dan banyak aturan, Han Han sute (Adik Seperguruan)."

   Kata Kim Cu gembira.

   "Di sini kita berada di antara keluarga sendiri."

   "Benar, Benar sekali."

   Teriak anak-anak itu dan mereka pun duduk membentuk lingkaran kipas menghadapi Han Han dan guru mereka. Timbul kegembiraan di hati Han Han. Agaknya, guru dan murid-muridnya ini merupakan orang-orang yang amat baik. Maka lenyaplah keraguan dan kesungkanan hatinya dan ia pun mulai bercerita.

   "Namaku Sie Han dan kedua orang tuaku, seluruh keluarga terbunuh oleh tentara Mancu...."

   "Aaahhh, aku juga, begitu....."

   "Orang tuaku juga."

   "Keluargaku juga terbunuh tentara Mancu....."

   Han Han tercengang. Semua anak itu, delapan belas orang banyaknya, termasuk Kim Cu, berteriak-teriak mengatakan bahwa orang tua dan keluarga mereka pun terbasmi oleh tentara Mancu. Mengapa begini kebetulan? Ataukah kakek muka kuda itu memang sengaja mengumpulkan murid-murid dari keluarga yang terbasmi orang Mancu? Betapapun juga, ia menjadi terharu dan baru kini terbuka matanya bahwa bukan dia seorang saja yang bernasib buruk, kehilangan orang tua dan keluarga yang menjadi korban keganasan orang Mancu. Baru sekarang yang berkumpul di In-kok-san saja sudah ada begini banyak, belum yang tidak ia ketahui.

   "Seorang diri aku mengembara merantau tak tentu arah tujuan. Kemudian aku bertemu dengan Lauw-pangcu dan menjadi muridnya hampir setengah tahun."

   "Kau maksudkan Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang?"

   Ma-bin Lo-mo tiba-tiba bertanya.

   "Benar, suhu."

   "Hemmm, apa saja yang ia ajarkan kepadamu?"

   "Dalam waktu lima bulan lebih teecu hanya belajar memasang kuda-kuda dan langkah-langkah kaki saja, di samping belajar bersamadhi dan mengatur pernapasan."

   "Bagus, coba kau berlatih langkah-langkah kaki menurut ajaran Lauw-pangcu."

   Han Han mulai tertarik kepada kakek ini. Berbeda dengan Lauw-pangcu, agaknya guru baru ini penuh perhatian terhadap dirinya, maka sekaligus timbul kegairahan hatinya untuk belajar. Ia lalu melangkah ke depan, kemudian memainkan gerak-gerak langkah yang pernah ia pelajari dari Lauw-pangcu, atau lebih tepat dari Sin Lian karena anak perempuan itulah yang lebih banyak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya. Ia sudah siap untuk bersikap sabar apabila murid-murid yang lain akan mentertawakannya karena ia tahu bahwa mereka itu rata-rata, seperti Kim Cu, tentu telah memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi ternyata mereka itu tidak ada yang tertawa, hanya memandang penuh perhatian. Setelah selesai mainkan langkah-langkah itu, Han Han kembali duduk di dekat gurunya yang mengangguk-angguk.

   "Baik sekali. Dasar-dasar langkah yang diajarkan Lauw-pangcu tepat dan memudahkan engkau mempelajari ilmu selanjutnya. Sekarang lanjutkan ceritamu."

   "Kemudian muncul Kang-thouw-kwi yang membasmi Pek-lian Kai-pang dan dia memaksa aku ikut pergi bersamanya dan menjadi kacung di gedung Pangeran Ouwyang Cin Kok di Tiong-kwan. Aku dipaksanya melayani semua keperluan dia dan Ouwyang Seng yang berlatih ilmu silat di sana. Sampai setahun lamanya aku menjadi kacung mereka, lalu mereka mengajak aku melakukan perjalanan menuju ke kota raja dan akhirnya bertemu dengan suhu di sini...."

   "Nanti dulu, Han Han. Selama setahun engkau bekerja kepada Gak Liat. Apakah dia mengajar silat kepadamu?"

   "Sama sekali tidak, suhu."

   "Hemmm, kalau tidak sama sekali, bagaimana engkau bisa melakukan pukulan Hwi-yang Sin-ciang?"

   "Pukulan Hwi-yang Sin-ciang?"

   Han Han memandang gurunya yang baru ini penuh keheranan.

   "Teecu sama sekali tidak mengerti dan tidak bisa...."

   "Perlihatkan lenganmu."

   Han Han mengangsurkan kedua lengannya. Ma-bin Lo-mo memegang tangan muridnya ini dan menekan. Rasa dingin menjalar ke dalam tangan Han Han, membuat kedua lengannya menggigil. Makin lama makin dingin dan karena ia merasa tidak tahan, terpaksa ia mengerahkan hawa dari pusarnya untuk melawan hawa dingin ini. Hawa panas yang timbul karena latihan-latihan secara diam-diam di tempat latihan Setan Botak merayap keluar melalui kedua lengannya dan kedua lengan itu menjadi hangat kembali. Ma-bin Lo-mo melepaskan kedua lengan anak itu dan berkata, alisnya berkerut.

   "Han Han, awas jangan engkau membohong. Apakah engkau minta dihukum?"

   Ketika kebetulan Han Han mengerling ke arah Kim Cu, ia melihat wajah anak perempuan itu menjadi pucat dan anak itu memberi tanda dengan kedipan mata.

   "Teecu sama sekali tidak membohong. Memang Setan Botak itu tidak memberi pelajaran apa-apa kepada teecu."

   "Dari mana engkau bisa mendapatkan hawa panas yang keluar dari tan-tian di pusarmu?"

   Wajah yang tadinya ramah dari kakek itu kini menjadi bengis, seperti muka seekor kuda marah. Wajah Han Han menjadi merah karena malu.

   "Teecu mencurinya dari mendengarkan ajarannya kepada Ouwyang Seng dan secara diam-diam teecu berlatih seorang diri tanpa mereka ketahui."

   Anak-anak itu kini tertawa, akan tetapi sama sekali bukan mentertawakannya karena terdengar mereka memuji. Bahkan Kim Cu bersorak,

   "Bagus sekali. Engkau cerdik sekali, Han Han."

   Han Han memandang anak-anak itu, hampir tidak percaya dia. Juga gurunya kelihatan girang dan mengangguk-angguk. Bagaimana mereka ini? Mendengar dia mencuri malah dipuji, dan dikatakan cerdik. Agaknya Ma-bin Lo-mo mengerti akan kebingungan muridnya, maka ia berkata,

   "Kemajuan hanya dapat diperoleh dengan kecerdikan. Untuk memperoleh kemajuan, segala jalan dapat ditempuh, bahkan mencuripun baik saja. Demi tercapainya cita-cita, segala cara boleh digunakan dan tidak ada yang buruk. Anak-anak semua, contohlah perbuatan Han Han yang cerdik."

   Di dalam hatinya Han Han sama sekali tidak menyetujui pendapat ini, akan tetapi mulutnya tidak membantah. Bahkan ia mulai meragukan pendapatnya sendiri berdasarkan kitab-kitab filsafat yang menyatakan bahwa kalau jalan yang ditempuh buruk, maka hasilnya pun tidak baik. Kalau dia yang benar, mengapa semua murid Ma-bin Lo-mo ini menerima dan menyetujui nasehat guru ini? Betapapun juga, kebenaran pendapat Ma-bin Lo-mo sudah terbukti. Kalau dia tidak mencuri, mana mungkin dia bisa memiliki kekuatan yang timbul dari latihan merendam kedua lengan datam air panas, bahkan membakarnya dalam nyala api tulang-tulang manusia? Han Han masih terlampau kecil untuk dapat yakin akan kebenaran, dan tentu saja anak seusia dia itu mudah terpengaruh keadaan sekelilingnya. Tanpa ia sadari, mulailah pengaruh-pengaruh buruk kaum sesat memasuki hatinya.

   "Coba ceritakan bagaimana caramu melatih kedua lenganmu di sana,"

   Kata pula Ma-bin Lo-mo dengan suara memerintah. Anak-anak yang lain tidak ada yang bergerak atau mengeluarkan suara, semua mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Pertama-tama teecu merendam kedua lengan ke dalam air mendidih, yaitu air yang dicampuri obat-obatan dan racun oleh Kang-thouw-kwi, entah racun apa. Mula-mula memang terasa panas, akan tetapi dengan mempertebal tekad dan memperkuat kemauan sambil mengerahkan hawa dari pusar ke arah kedua lengan, akhirnya teecu kuat bertahan sampai semalam suntuk. Kemudian karena teecu disuruh menggodok batu bintang...."

   Han Han berhenti dan teringat dengan hati menyesal mengapa ia ceritakan ini semua. Ilmu yang dipelajari itu adalah rahasia. Mengapa ia begitu bodoh untuk menceritakan kepada orang lain? Kalau barang rahasia dibuka, tentu saja akan hilang keampuhannya.

   "Batu bintang? Benar-benarkah Si Botak mempergunakannya? Di mana dia mengumpulkan batu bintang itu?"

   Ma-bin Lo-mo bertanya penuh perhatian. Han Han tidak dapat mundur lagi. Biarlah kuceritakan sampai pada batu bintang itu saja, pikirnya.

   "Batu-batu bintang itu didapatkan di sepanjang Sungai Huang-ho di sebelah timur kota Tiong-kwan."

   "Lalu bagaimana? Teruskan....."

   Desakan ini keluar dari mulut para murid Ma-bin Lo-mo yang agaknya ingin sekali tahu bagaimana cara melatih diri untuk mendapatkan Ilmu Pukulan Sakti Inti Api itu.

   "Diam-diam teecu lalu merendam kedua tangan teecu ke dalam air larutan batu bintang yang mencair setelah digodok berhari-hari lamanya. Panasnya hampir tak tertahan, akan tetapi berkat ketekadan teecu, akhirnya teecu kuat juga. Nah, hanya itulah yang secara diam-diam teecu lakukan, akan tetapi sesungguhnya, teecu tidak pernah mempelajari ilmu pukulan apa-apa dari Kang-thouw-kwi."

   "Inilah yang dinamakan bakat dan jodoh. Han Han, engkau berbakat secara ajaib sekali sehingga tanpa bimbingan engkau dapat berhasil melatih Hwi-yang Sin-ciang. Dan engkau berjodoh dengan kami, berjodoh untuk menjadi muridku dan ini merupakan nasib baikmu. Aku akan menyelidiki Hwi-yang Sin-ciang, dan kelak engkau akan membikin Gak Liat kecelik karena kau akan melawannya dengan ilmunya sendiri. Ha-ha-ha, jangan khawatir, aku akan menyempurnakan latihanmu di samping kau mempelajari ilmu ciptaanku. Akan tetapi, untuk itu membutuhkan waktu yang lama dan ketekunan yang luar biasa. Sekarang, engkau harus melakukan kewajiban bersembahyang dan bersumpah, muridku."

   "Bersumpah....?"

   Han Han tertegun dan terheran ketika melihat murid-murid itu tanpa diperintah telah berlari-lari dan mempersiapkan meja sembahyang di ruangan depan pondok.

   "Semua murid harus menjalankan sumpah,"

   Ia mendengar Kim Cu berkata. Gadis cilik ini membawa sesetel pakaian dan menyerahkannya kepada Han Han.

   "Untuk sementara kau pakailah dulu pakaian seorang suheng (Kakak Seperguruan) ini sebelum dapat aku buatkan yang baru untukmu. Yang ada hanya warna putih ini. Warna apa yang paling kau sukai?"

   "Putih...."

   Jawab Han Han sekedarnya. Ia tidak ingin memakai pakaian orang lain, akan tetapi karena pakaiannya penuh tambalan dan kotor, dan dia tidak tega untuk menolak kebaikan Kim Cu, ia menerimanya juga. Pula, bukankah ia kini sudah menjadi murid di situ, berarti menjadi seorang di antara anak-anak itu? Masa ia memakai pakaian seperti pengemis?

   "Lekas kau pakai pakaian itu dan membersihkan diri. Suhu telah menanti untuk upacara pengambilan sumpah. Hayo kuantar, di sana ada air...."

   Tanpa menanti jawaban, Kim Cu memegang tangan Han han, ditariknya dan diajak berlarian ke belakang puncak. Ternyata di situ terdapat sumber air yang amat sejuk dan jernih sehingga segala batu-batuan di dasarnya tampak jelas dan air itu sendiri agak kehijauan saking jernihnya.

   "Lekas kau mandi dan tukar pakaian, sute."

   Mendengar sebutan sute ini, sejenak Han Han tertegun kemudian ia teringat akan Sin Lian yang juga menyebutnya sute (adik seperguruan). Ia tersenyum dan diam-diam merasa geli hatinya. Ada dua orang gadis cilik yang keduanya lebih muda dari padanya, akan tetapi keduanya adalah sucinya (kakak perempuan seperguruan).

   "Eh, kenapa kau tersenyum-senyum dan tidak lekas mandi?"

   Han Han tertawa.

   "Engkau.... engkau baik sekali, suci."

   "Tentu saja. Bagaimana seorang suci tidak baik kepada sutenya? Kaupun harus baik dan taat kepada sucimu. Nah, hayo lekas mandi dan tukar pakaian bersih."

   Han Han mendekati air dan hendak membuka bajunya. Akan tetapi ia melihat betapa Kim Cu masih berdiri di situ menghadapinya dan memandangnya, maka ia melepaskan lagi baju yang sudah ia pegang untuk ditanggalkan.

   "Eh, suci. Harap jangan memandang ke sini...."

   "Mengapa sih?"

   "Malu ah...."

   Kim Cu mengangkat alisnya, membelalakkan kedua mata kemudian tertawa terkekeh-kekeh, menutup mulut dengan tangan sambil membalikkan tubuh membelakangi Han Han.

   "Hi-hi-hik, engkau benar-benar orang aneh. Apakah tubuhmu mempunyai cacad maka kau malu untuk ditonton? Lekaslah mandi dan tukar pakaian, aku menanti di sana. Jangan lama-lama karena suhu sudah menunggu."

   Gadis cilik itu berlarian pergi dan Han Han cepat menanggalkan pakaian lalu membersihkan tubuh dengan pikiran melayang-layang. Benar aneh. Apakah bagi anak-anak di situ, bertelanjang di depan orang lain bukan merupakan hal yang membuat malu?

   Ia tidak mau mempedulikan hal itu lebih lanjut, melainkan cepat ia mandi. Air itu dingin sekali, membuatnya menggigil, akan tetapi seperti biasa, berkat kekuatan kemauannya yang luar biasa, secara otomatis timbul hawa dari pusarnya melawan rasa dingin sehingga tubuhnya tidak menggigil lagi, bahkan terasa sejuk dan segar. Setelah cepat-cepat berpakaian dengan warna putih yang bersih dan masih baru, memakai pula sepatu yang disediakan oleh Kim Cu, Han Han merasa seolah-olah menjadi orang baru. Di dalam saku baju itu ia menemukan sebuah pita rambut, maka setelah memeras rambutnya sampai kering, ia lalu mengikat rambutnya di atas kepala dan ketika pemuda tanggung ini kembali ke pondok, semua murid Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata berseri dan kagum. Apalagi Kim Cu. Nona cilik ini menyambutnya dengan kata-kata memuji.

   "Sute, engkau benar-benar tampan dan gagah."

   Dipuji secara begitu terbuka di depan banyak anak-anak, wajah Han Han menjadi merah. Ma-bin Lo-mo tertawa dan memanggilnya dari belakang meja sembahyang.

   "Han Han, muridku, lekas engkau menyalakan sembilan batang hio dan bersembahyang, kemudian berlutut di depan meja sembahyang untuk bersumpah menirukan semua kata-kataku."

   "Baik, suhu."

   Han Han menghampiri meja sembahyang, ditonton semua murid di situ. Sambil menyalakan sembilan batang hio, ia mengangkat muka memandang. Di atas meja sembahyang itu terdapat arca setengah badan, arca seorang kakek tua yang wajahnya keren, hidungnya agak bengkok seperti hidung burung. Wajah yang tampan dan gagah akan tetapi membayangkan kekejaman.

   "Arca siapakah itu....?"

   Ia berbisik, akan tetapi gurunya tidak menjawab, dan sebaliknya ia mendengar suara Kim Cu di sebelah kanan.

   "Jangan banyak bertanya. Itu arca Suma-couwsu (Kakek Guru she Suma)...."

   Hemmm, arca itu tentulah arca guru Ma-bin Lo-mo atau kakek guru yang dipuja-puja di tempat itu. Ia tidak peduli lalu mulai bersembayang, mengacung-acungkan dupa bernyala itu dengan sikap hormat, kemudian menancapkan hio (dupa) itu di atas tempat dupa dan menjatuhkan diri berlutut dengan kedua tangan terkepal di depan dada. Pada saat itu, terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang ditujukan kepadanya.

   "Murid baru Sie Han, sekarang bersumpahlah dan meniru semua kata-kataku."

   "Baiklah, suhu. Teecu siap,"

   Jawab Han Han, bulu tengkuknya meremang juga karena suasana hening itu menyeramkan, dengan asap hio mengepul dan berbau harum, ditambah suara Ma-bin Lo-mo yang terdengar parau mengandung getaran penuh kesungguhan. Maka bersumpahlah Han Han, tidak sepenuh hatinya karena ia hanya menirukan ucapan Ma-bin Lo-mo, dia bukan bersumpah secara suka rela, hanya untuk syarat paksaan.

   "Teecu Sie Han bersumpah di hadapan Couwsu yang mulia bahwa mulai saat ini teecu menjadi murid Suhu Siangkoan Lee dan berjanji akan belajar dengan tekun dan rajin, mematuhi segala perintah dan larangan suhu, siap untuk menerima hukuman apa pun juga jika teecu melakukan pelanggaran. Mulai saat ini, teecu menyerahkan jiwa raga ke tangan Suhu Siangkoan Lee yang akan menurunkan ilmu-ilmu warisan dari Couwsu yang mulia. Ilmu-ilmu itu kelak akan teecu pergunakan untuk mengangkat tinggi nama besar Couwsu dan nama besar suhu, untuk mengusir penjajah dari tanah air dan untuk melaksanakan segala perintah suhu."

   Di dalam hatinya, Han Han amat tidak setuju dengan isi sumpahnya itu. Tentang ketaatan dan hukuman ia dapat menerimanya, akan tetapi mengapa setelah tamat belajar, cita-citanya hanya mengusir penjajah dan mengangkat tinggi nama guru? Mengapa tidak disebut-sebut tentang kewajiban para pendekar yang membela dan mempertahankan keadilan dan kebenaran, membela orang-orang tertindas dan menentang pihak yang sewenang-wenang? Akan tetapi agaknya Ma-bin Lo-mo memiliki ilmu untuk menjenguk isi hati orang, demikian pikir Han Han, karena kakek itu lalu mengajak mereka duduk di lapangan di luar pondok kemudian berkata.

   "Han Han, dan semua muridku. Jangan kalian mudah disesatkan oleh pendapat orang-orang yang menyebut diri pendekar-pendekar kang-ouw bahwa seorang yang berkepandaian berkewajiban untuk membasmi orang jahat dan membela orang benar. Karena, jahat dan baik atau benar itu merupakan pendapat prihadi yang sering kali menyesatkan. Yang penting bagi kita adalah kita sendiri. Tunjukkanlah setiap tindakan kalian untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Manusia adalah mahluk yang paling tidak mengenal budi, sehingga akan percuma belaka kalau kalian menggunakan kepandaian demi orang lain. Keliru sama sekali, Yang penting adalah diri kita sendiri dan demi tercapainya cita-cita kita, yaitu mengusir penjajah dan membentuk pemerintah bangsa sendiri dengan kita sebagai tokoh-tokoh pimpinan."

   Kembali timbul keraguan di dalam hati Han Han akan segala yang pernah dibacanya tentang syarat-syarat menjadi seorang budiman dan gagah, karena ia melihat semua murid mengangguk-angguk dengan wajah berseri, dan ia pun merasa bahwa yang terpenting di atas segalanya memang diri sendiri lebih dahulu. Buktinya, dia sudah banyak mengalami penghinaan dan kesengsaraan, tidak ada orang yang membelanya. Kalau dia tidak membela diri sendiri, tentu selamanya ia akan hidup terhina dan sengsara seperti itu. Pula, kalau dia tidak berkepandaian tinggi bagaimana ia akan dapat mengusir penjajah dan terutama sekali, menghancurkan tujuh perwira terutama perwira muka brewok dan muka kuning bangsa Mancu yang telah membasmi semua keluarganya?

   "Han Han, sebagai murid baru kini engkau mendapat kesempatan untuk bertanya. Tanyakantah apa yang perlu kau ketahui, dan jangan sembunyi-sembunyikan perasaan. Segala pertanyaanmu akan kujawab,"

   Kata Ma-bin Lo-mo. Sampai lama Han Han memandang gurunya yang baru ini. Sukar baginya untuk menilai kakek yang bermuka kuda ini, karena muka itu tidak membayangkan sesuatu kecuali keanehan. Ia tidak tahu apakah gurunya ini jahat dan keji seperti Setan Botak, ataukah baik dan gagah seperti Lauw-pangcu. Betapapun juga, ia tahu bahwa gurunya ini amat lihai, dan pribadi suhunya diliputi banyak keanehan. Ingin ia mengetahui riwayat gurunya. Karena itu tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bertanya.

   "Hanya ada sebuah pertanyaan teecu. Yaitu, siapakah suhu ini, bagaimana riwayat suhu dan siapa pula Couwsu yang kita puja-puja itu?"

   Terdengar seruan-seruan heran di antara murid-murid yang berada di situ. Semua murid ketika diterima selalu diberi kesempatan bertanya, akan tetapi mereka semua menanyakan tentang ilmu silat. Baru sekali ini ada murid baru yang datang-datang bertanya tentang riwayat gurunya dan riwayat Couwsu yang amat dihormati itu. Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhunya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh daripada Setan Botak.

   "Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan. Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa. Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suhengku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapapun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supekmu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh."

   Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.

   "Di manakah supek itu sekarang, suhu?"

   Tanya Kim Cu dengan suara penuh kagum.

   "Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Adapun supek kalian itu mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kang-ouw. Dia banyak melakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kang-ouw, akan tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi."

   Semua murid, termasuk, Han Han, mendengarkan dengan kagum.

   "Dan suhu sendiri?"

   Tanya Han Han.

   "Aku membantu sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, mungkin karena petualangan supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian sukong kalian menarik banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya, sukong kalian banyak dimusuhi orang kang-ouw. Termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Namun sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian banyaknya musuh seorang diri, apalagi karena supek kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagas pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apalagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar, seperti Gak Liat itu, rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang perkasa."

   Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat
(Lanjut ke Jilid 07)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
berjuang mengusir penjajah yang tidak saja sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka. Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat.

   Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu. Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagaimana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo"

   Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentuka Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas.

   Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda, bukan muda usia melainkan muda karena dialah orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di antara mereka, hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya. Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Ke dua adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ke tiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda daripada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh keberanian dan pandai bicara.

   Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih. Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai daripada mereka, berlatih dengan Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan. Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supeknya itu, tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya. Sering kali ia termenung dan kalau sudah demikian, Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya.

   "Kenapa kau murung selalu, sute?"

   Pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.

   "Tidak apa-apa, suci. Hanya.... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan keluar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun lamanya...."

   "Tunggulah sebulan lagi, sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari."

   "Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?"

   Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sutenya yang lebih tua setahun dari padanya, lalu tersenyum manis.

   "Mengapa tidak senang, sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku.... sudah tidak mempunyai keluarga searang pun."

   "Suci, engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?"

   "Apakah yang dapat aku ceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami diserbu orang-orang mancu, ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat."

   "Dan semua suci dan suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?"

   
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar."

   "Dan semua ditolong suhu?"

   "Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut suhu, kelak engkau yang paling hebat di antara kita."

   "Wah, jangan memuji, suci."

   "Sesungguhnyalah, sute."

   Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han han.

   "Ada sesuatu yang aneh pada dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, sute."

   Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat bertanya.

   "Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?"

   "Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman."

   "Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?"

   "Siapa lagi kalau bukan suhu? Kumaksudkan, suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan suhu ketika suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu, sahabat suhu."

   "Wah....."

   Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di pondok.

   "Siapa yang melaksanakan?"

   "Aku."

   "Hah....?"

   Han Han memandang sucinya dengan mata terbelalak. Kim Cu tersenyum geli.

   "Mengapa?"

   "Kau.... kau tega melakukan itu....? Kau.... mengapa begitu kejam....?"

   Kim Cu menggeleng kepala.

   "Sama sekali tidak, sute. Aku hanya mentaati perintah suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh."

   "Dia.... tidak mendendam kepadamu?"

   "Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu."

   "Dan.... yang lengannya buntung?"

   "Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan."

   "Yang buntung kakinya?"

   "Lai-suheng? Dia hendak minggat, tertangkap dan karena kakinya yang melarikan diri, maka sebelah kakinya dibuntungkan."

   Han Han bergidik. Kim Cu berkata lagi,

   "Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena suhu tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak."

   "Hemmm...., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu datang."

   Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jerih dan takut.

   "Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan ilmunya kata suhu melampaui tingkat suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari suhu...."

   "Apa....? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu....?"

   Kim Cu mengangguk.

   "Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk suhu bercerita bahwa sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan main, bahkan suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu...."

   "Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?"

   Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu.

   "Kita para murid suhu diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa)."

   Han Han bergidik.

   "Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?"

   "Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw...."

   "Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama sekali supek yang disebut-sebut oleh suhu, putera dari sukong itu."

   "Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut suhu, Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat sukong. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu, banyak sekali."

   "Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?"

   Kim Cu mengangguk.

   "Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih maupun golongan yang disebut golongan sesat."

   "Kita ini masuk golongan mana?"

   Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut.

   "Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kang-ouw seperti yang diceritakan suhu. Akan tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?"

   Han Han menjadi bingung.

   "Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, suci."

   "Dia itu, menurut suhu, merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu, semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil."

   "Seperti dongeng saja...."

   Kata Han Han kagum.

   "Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja. Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu."

   "Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?"

   "Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagaimana. Akan tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada hubungan keluarga, entah bagaimana dengan Pendekar sakti Suling Emas."

   Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?

   "Heiiii, sute dan sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih."

   Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.

   "Sie Han sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan suhu,"

   Kata Kim Cu. Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han.

   "Eh, sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong."

   "Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, sute,"

   Kim Cu ikut pula menggoda.

   "Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu."

   "Ha-ha-ha."

   Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.

   "Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam dongeng itu, agaknya sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada di sana."

   Han Han diam saja dan akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan, menarik tangannya dan berkata menghibur,

   "Sudahlah, sute. Kalau kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tidak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita...."

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus.

   "Hih-hih-hih-he-he-he, Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat. Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi muridku."

   Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut,

   "Sian-kouw....."

   Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian. Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik sekali.

   Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan tersenyum selalu, senyum mengejek dan memikat. Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera yang mahal dan mewah sungguhpun potongannya ketinggalan jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa arak.

   "Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat kalian. Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat. Hi-hik, yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat."

   Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring,

   "Heiiiii, Siangkoan Lee....! Ke sinilah kamu....."

   Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil hambanya, kemudian ia menenggak araknya dari guci arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.

   "Teecu datang menghadap....."

   Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu.

   "Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut."

   Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar- benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat daripada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)"

   "Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil."

   Ma-bin Lo-mo mengangguk.

   "Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini amatlah baik."

   "Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka. Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu."

   Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh.

   "Ah, apa saja yang tidak dilakukan anjing-anjing penjajah itu. Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah."

   "Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi."

   Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.

   "Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku."

   Kata pula Si Nenek. Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki pondok.

   "Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?"

   Tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai. Empat orang anak itu mengangguk.

   "Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biarpun kalian menjadi muridku, namun kalian harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala. Tahu?"

   Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja perasaan tak senang itu dalam hatinya.

   "Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sin-kang, karena dengan kuatnya sin-kang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku. Aku sudah berusia seratus delapan puluh tahun paling sedikit. Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?"

   Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata,

   "Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah, inilah berkat kekuatan sin-kang yang hebat."

   Ia duduk kembali. Han Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biarpun lihai, kiranya guru yang baru ini seorang yang miring otaknya.

   "Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sin-kang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah pukulan. Sekaii pukul, biarpun targan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini."

   Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan.... berdetakanlah butir-butir es keluar perutnya melalui mulut, bertebaran di atas lantai.

   "Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar samadhi untuk menghimpun Im-kang."

   Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan samadhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih samadhi dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah. Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam"

   Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti itu biasa saja karena memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biarpun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.

   "Bagus, kalian memang patut menjadi muridku."

   Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira.

   Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya, melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan samadhi yang akan dapat menghimpun sin-kang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan "mengisi"

   Mereka dengan sin-kangnya untuk membuka jalan darah mereka seorang demi seorang. Akan tetapi ketika tiba giliran Han Han nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar.

   Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di tubuh manusia ini. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja, diam-diam menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan latihan samadhi dan peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai. Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba "macet"

   Dan berhenti penyalurannya.

   "Aihhhhh...., Di mana kau belajar mengerahkan sin-kang untuk melawanku?"

   Han Han juga kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya itu sambil berkata,

   "Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee."

   "Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan."

   Han Han merasa tersiksa sekali. Berbeda dengan Kim Cu dan teman-teman lain yang pada dasarnya belum memiliki sin-kang dan yang dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan menolak.

   "Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri."

   Akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya.

   Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang. Hawa Yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi. Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersamadhi dengan memusatkan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersamadhi sambil menunggang naga sakti.

   Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam samadhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguhpun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang. Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran samadhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal samadhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam samadhi, orang selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali :

   Gwan-si-thian-cun. Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang Buddha dan membaca mantera : Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera : Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat dipusatkan. Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersamadhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.

   "Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan pikiranmu ke situ. Kalau engkau menaruh dendam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu mengingat dendammu"

   Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu. Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan daripada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia melayang. Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan.

   Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu. Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Adapun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 5 Kisah Pendekar Bongkok Eps 2 Istana Pulau Es Eps 5

Cari Blog Ini