Kisah Pendekar Bongkok 5
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami pen-deritaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan. Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu. Dia melihat betapa tubuh lima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!
"Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?"
Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru. Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari samadhi! Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri dan dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.
"Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang amat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja? Kacoa-kacoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itupun sanggup mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andaikata kalian pandai terbang sekalipun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!"
Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena biarpan dia mendongkol dan tidak suka kepada lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, melainkan orang lain yang hanya "meminjam"
Mulut dan suaranya!
Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan! Lima orang pendeta Lama itu demikian kaget, marah den malu mendengar teguran yang keluar dari mulut kanak-kanak itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuh merekapun meluncur turun. Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit dan mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup nyaring.
"Ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!"
Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan jujur. Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang dan ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai, kemarahan mereka memuncak dan untuk sementara mereka tidak memperdulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin dan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.
"Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai telah berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?"
"Siancai...."
Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju, menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai. Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangan di dada dan berkata dengan penuh hormat.
"Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami kalau kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini."
Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab,
"Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai."
Kini Thian Hwat Tosu menghadapi lagi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata,
"Ngo-wi lo-suhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa di sini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkannya saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi lo-suhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi di sini, dan kamipun akan melu-pakan apa yang telah terjadi di sini selama beberapa pekan ini."
Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur, melainkan mengkhawatirkan kalau terjadi kesalahpahaman. Karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan diapun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.
"Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang kaumaknudkan. Kamipun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencarapuri urusan kami yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?"
Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga mengandung pandangannya yang congkak.
"Lama yang sombong!"
Thian Khi Tosu berseru geram.
"Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kauhadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!"
"Omitohud....! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kamipun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai sedemikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!"
Thian Khi Toou yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suara keras.
"Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapapun juga akan kami hadapi!"
"Omitohud....!"
Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru.
"Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita!"
"Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!"
Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah berlompatan ke depan dan seorang di antara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu,
"Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu (guru berdua) adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!"
Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suhengnya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid utama itu maju, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suhengnya sekalipun. Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apalagi kalau mereka maju bersama.
Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka , yaitu ilmu dalam bentuk barisan yans dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun). Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang amat kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kim-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sutenya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai di mana kepandaian musuh! Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, di atas padang rumput yang lapang dan di situ mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan rapi.
"Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang hendak memusuhi Kun-lun-pai!"
Bentak murid tertua yang usianya sudah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan. Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek dan merekapun melangkah maju menghadapi mereka, dengan berjajar.
Setelah mereka berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka telah berlatih matang. Melihat ini, lima orang pandeta Lama itupun bergerak membuat suatu bentuk sagi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri, karena mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melingungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, Bahkan serangan dari samping dapat mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.
Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, di antara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi. Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin dan begitu pimpinan mereka memberi aba-aba lima belas orang itu bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak! Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar.
Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal hebat, dan kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan dahsyatnya! Lima orang pendeta Lama itu telah siap siaga. Dengan gerakan cepat sehingga sukar diikuti pandang mata, tangan mereka bergerak dan tahu-tahu mereka telah memegang senjata masing-masing, Thay Ku Lama si muka codet sudah memegang sebatang golok tipis yang tadinya disembunyikannya di balik jubah merah yang longgar dan panjang itu. Thay Si Lama si muka bopeng sudah memegang sebatang cambuk hitam seperti cambuk penggembala lembu. Thay Pek Lama si muka pucat sudah memegang sepasang pedang yang tipis dan mengeluarkan cahaya kehijauan.
Thay Hok Lama si mata satu sudah memegang sebatang rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk, sedangkan Thay Bo Lama sudah memegang sebatang tombak. Lama kurus kering ini memiliki sebatang tombak yang dapat dilipat dan ditekuk menjadi tiga bagian dan diselipkan di pinggang tertutup jubah. Kini, tombak itu diluruskan dan menjadi sebatang tombak yang panjangnya sama dengan tubuhnya. Dalam penyerangan pertama yang serentak dilakukan oleh para murid Kun-lun-pai kepada lima orang lawan mereka itu membuat setiap orang pendeta Lama diserang oleh tiga orang lawan. Mereka berlima tidak menjadi gugup dan mereka pun menggerakkan senjata mereka menangkis. Terdengar suara nyaring berdenting-denting disusul bunga-bunga api berpijar menyilaukan mata ketika lima belas batang pedang itu tertangkis oleh senjata lima orang pandeta Lama.
Karena memang tenaga sin-kang dari para pendeta Lama itu lebih kuat, maka banyak di antara pedang yang menyerang itu terpental keras dan pemegangnya merasa betapa lengan mereka tergetar hebat! Namun, pimpinan mereka memberi aba-aba dan mereka melanjutkan serangan sampai bergelombang baberapa kali, namun selalu dapat ditangkis oleh lima orang pendeta Lama, bahkan yang terakhir kalinya, lima orang pendeta Tibet itu mengerahkan tenaga mereka, membuat lima belas orang penyerang itu terdorong ke belakang bahkan ada yang hampir jatuh setelah terhuyung-huyung. Kesempatan ini dipergunakan oleh lima Harimau Tibet itu untuk membalas serangan pihak lawan yang jumlahnya tiga kali lebih banyak dari jumlah mereka itu.
Thay Ku Lama yang merupakan orang pertama dari Lima Harimau Tibet, memutar goloknya den golok itu seperti kilat menyambar-nyambar, menyerang siapa saja di antara pihak lawan terdekat. Thay Si Lama, si muka bopeng, juga menggerakkan cambuknya dan terdengar cambuk itu meledak-ledak di atas kepala para murid Kun-lun-pai. Thay Pek Lama memutar sepasang padangnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar terang. Thay Hok Lama juga memutar rantai baja di tangannya dan senjata istimewa ini menyambar-nyambar ke sekelilingnya, seperti jari-jari maut. Orang ke lima, Thay Bo Lama yang kurus kering itu menggerakkan tombaknya dan terdengarlah suara mendengung-dengung karena si kurus kering ini memiliki tenaga raksasa.
Biarpun lima belas orang murid utama Kun-lun-pai dapat pula menghindarkan diri dari cengkeraman maut yang disebarkan oleh Tibet Ngo-houw dengan cara saling melindungi dan saling membantu, namun mereka terdesak hebat dan hanya mampu mempertahankan diri saja terhadap serangan lima orang pendeta Lama yang bertubi-tubi itu datangnya. Jelas nampak pertempuran yang tidak seimbang sama sekali. Lewat dua puluh jurus lebih, dari lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu, hanya sepuluh orang yang masih mampu melawan, karena yang lima orang sudah terjungkal roboh terkena sambaran senjata lawan. Sepuluh orang ini mempertahankan diri mati-matian, namun kalau dilanjutkan, jelas bahwa merekapun akan roboh seperti yang dialami lima orang saudara mereka. Tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan terdengar bentakan nyaring.
"Tahan senjata!"
Ketika sepuluh orang murid utama Kun-lun-pai melihat bahwa yang maju adalah kedua orang guru mereka, maka merekapun berloncatan ke belakang dan sebagian segera menolong lima orang saudara mereka yang tadi terluka. Lima orang pendeta Lama juga menahan senjata mereka dan kini mereka memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu.
"Pinto Thian Khi Tosu dan suheng Thian Hwat Tosu menantang kalian untuk mengadu kepandaian seorang lawan seorang!"
Bentak Thian Khi Tosu yang bertubuh besar itu dengan garang. Mendengar
(Lanjut ke Jilid 05)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
ini, lima orang pendeta Lama itu saling pandang lalu Thay Ku Lama tertawa sambil melangkah maju.
"Omitohud....! Dua orang tosu pimpinan Kun-lun-pai sungguh mau menang dan mau enak sendiri saja! Tadi, mereka membiarkan lima belas orang muridnya untuk mengeroyok kami berlima, sekarang bicara tentang mengadu kepandaian seorang lawan seorang!"
Wajah Thian Khi Tosu menjadi marah.
"Bagus! Jangan kalian mengira bahwa pinto takut menghadapi pengeroyokan. Kalau kalian berlima hendak maju mengeroyok, silakan!"
"Sute, harap tenangkan hatimu!"
Tiba-tiba Thian Hwat Tosu menegur sutenya dan ketua Kun-lun-pai ini melangkah maju dan memberi hormat kepada lima orang Lama dari Tibet itu.
"Siancai.... pinto berdua mohon maaf kepada Ngo-wi. Maafkan para murid kami tadi yang lancang turun tangan, mengeroyok kepada Ngo-wi. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang muda yang kurang pengalaman dan Terimakasih atas pelajaran yang Ngo-wi berikan kepada mereka. Pinto berdua sute yang kebetulan menjadi pimpinan Kun-lun-pai, bertanggung jawab terhadap semua urusan Kun-lun-pai. Agar pertentangan antara Ngo-wi dan kami tidak berlarut-larut, biarlah kami berdua sebagai pimpinan Kun-lun-pai mewakili perkumpulan kami untuk menentukan apakah Kun-lun-pai masih mampu mempertahankan kedaulatannya di daerah Kun-lun-san ini. Kalau kami ternyata tidak mampu menandingi Ngo-wi dalam pertandingan yang adil, satu lawan sa-tu, biarlah kami akan mundur dan selanjutnya Kun-lun-pai tidak lagi akan menghalangi semua sepak terjang Ngo-wi."
Ucapan yang panjang itu terdengar halus, namun mengandung tantangan, juga teguran, disamping janji.
"Omitohud.... Bagus sekali kalau ketua Kun-lun-pai sendiri yang berjanji begitu. Memang cukup adil! Kita golongan persilatan memang hanya mempunyai satu aturan, yaitu siapa yang lebih kuat dia berhak menentukan peraturan. Kalau kami kalah oleh ketua Kun-lun-pai, biarlah kami angkat kaki dari sini, kecuali kalau diantara kami masih ada yang mampu menandingi ketua Kun-lun-pai. Thay Si sute, temani aku untuk bermain-main dengan dua orang tosu ini sebentar."
Thay Si Lama, si muka bopeng, sambil tersenyum melangkah maju mendampingi suhengnya, yaitu They Ku Lama, sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Thay Ku Lama sendiri sudah sejak tadi mempersiapkan golok yang dipegang terbalik dan bersembunyi di balik lengannya.
"Ha-ha-ha."
Orang ke dua dari Tibet Ngo-houw yang mukanya bopeng ini tertawa.
"Ini baru pertandingan yang menarik, suheng, tidak main keroyok seperti tadi."
Thian Khi Tosu menghadapi Thay Si Lama dan Thay Si Lama yang melihat wakil ketua Kun-lun-pai ini tidak bersenjata, segera meletakkan cambuknya di atas kepala dan berseru,
"Tosu, keluarkan senjatamu!"
Akan tetapi sebelum kedua pihak bergerak menyerang, Pek In Tosu yang tadi masih duduk bersila bersama dua orang kawannya, kini sudah bangkit berdiri dan sekali tubuhnya bergerak, tubuh itu sudah melayang dan berdiri di antara dua orang tosu dan dua orang Lama itu. Dangan sikap tenang dan wajah ramah dia menghadapi dua orang tosu Kun-lun-pai dan suaranya terdengar lembut.
"Toyu, pinto harap toyu dapat menjaga nama baik Kun-lun-pai. Kami pernah mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang tidak mencampuri urusan orang lain. Kalau sekali ini Kun-lun-pai mencampuri urusan para Lama dari Tibet, berarti Kun-lun-pai membahayakan nama baiknya sendiri. Ketahuilah bahwa para pendeta Lama dari Tibet ini datang ke Kun-lun-pai sama sekali bukan untuk memusuhi Kun-lun-pai, melainkan untuk mencari kami yang dulu disebut Himalaya Sam Lojin. Karena kami dari Himalaya pindah ke Kun-lun-san ini untuk mencari tempat sunyi dan damai, maka mereka mengejar ke sini dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dangan pihak Kun-lun-pai. Kalau sekarang Kun-lun-pai mencampuri, bukankah itu berarti Kun-lun-pai terlalu iseng dan membahayakan nama baiknya sendiri? Karena itu, kami bertiga minta agar Kun-lun-pai suka mundur dan menutup semua pintu, tidak membiarkan anak muridnya mencampuri urusan orang luar."
Mendengar ucapan kakek berpakaian putih dan berambut putih ini, dua orang ketua Kun-lun-pai saling pandang. Ucapan itu memang tepat dan benar. Dua orang murid tingkat tiga mereka memang bentrok dangan dua orang dari Lima Harimau Tibet, akan tetapi hal itu terjadi karena murid-murid itu mencampuri urusan para pendeta Lama. Kalau kini pertandingan dilanjutkan dan mereka sampai kalah, suatu hal yang amat boleh jadi mengingat saktinya lima orang pendeta Lama itu, nama besar Kun-lun-pai akan jatuh!
Sebaliknya andaikata mereka menang, berarti mereka menanam bibit permusuhan dangan para pendeta Lama di Tibet dan hal itu sungguh amat berbahaya sekali! Para pendeta Lama di bawah Dalai Lama bukan hanya merupakan sekelompok pemimpin agama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan juga menjadi pucuk pimpinan negara itu sendiri! Bermusuhan dangan para pendeta Lama sama dengan bermusuhan dangan seluruh rakyat Tibet! Jelaslah bahwa ucapan Pek In Tosu tadi menyadarkan mereka akan dua kemungkinan yang sama-sama amat merugikan Kun-lun-pai itu. Menang atau kalah, akibatnya amat buruk bagi Kun-lun-pai dan sungguh tidak sepadan dangan sebabnya, yang pada hakekatnya juga salah murid mereka sendiri.
"Siancai....!"
Kata Thian Hwa Tosu sambil menjura.
"Sungguh ucapan yang amat bijaksana, dan kami akan menjadi orang-orang yang tidak mengenal budi kalau tidak mentaatinya. Terimakasih atas nasihat itu, locianpwe. Dan kepada para Lama, kami mohon maaf dan sejak saat ini, Kun-lun-pai tidak lagi mancampuri urusan kalian. Sute, ajak semua murid untuk kembali ke asrama!"
Ucapan terakhir ini merupakan perintah dan biarpun mukanya merah karena penasaran dan marah, Thian Khi Tosu tidak berani membantah perintah suhengnya. Diapun mengajak semua murid untuk pergi mengikuti ketua mereka, membawa mereka yang terluka, pulang ke benteng Kun-lun-pai dan selanjutnya pintu banteng atau asrama itu ditutup rapat-rapat! Setelah semua orang Kun-lun-pai pergi, Thay Ku Lama yang memimpin Tibet Ngo-houw itu tertawa.
"Ha-ha-ha, sungguh luar biasa! Himalaya Sam-lojin malah membantu kami sehingga pekerjaan kami menjadi lebih ringan menyingkirkan penghalang berupa Kun-lun-pai! Bagus sekali! Kamipun bukan orang-orang yang tidak ingat budi. Karena kalian telah memperlihatkan sikap baik, Sam-lojin, dengan menyadarkan Kun-lun-pai sehingga mereka tidak menentang kami, maka kamipun menawarkan jalan damai untuk kalian. Marilah kalian ikut dangan kami, sebagai tamu undangan agar kami hadapkan kepada yang mulia Dalai Lama di Tibet. Kami tidak akan menganggap kalian sebagai tawanan, melainkan tamu undangan. Bagaimana?"
Kini tiga orang kakek itu sudah bangkit berdiri semua dan Pek In Tosu juga tersenyum ramah ketika menjawab,
"Siancai....! Terimakasih atas niat baik itu. Akan tetapi sungguh sayang dan maafkan kami, Ngo-wi Lama, bahwa terpakna sekali kami tidak dapat menerima undangan terhormat itu."
Wajah They Ku Lama yang tadinya tersenyum, seketika berubah keruh dan alisnya berkerut, perutnya yang gendut itu bergerak-gerak menggelikan. Akan tetapi siapa yang telah mengenalnya baik-baik, maklum betapa hebatnya perut gendut itu! Yang membuat perut gendut itu bergerak-gerak seolah-olah di dalamnya ada bayi dalam kandungan itu, sebetulnya adalah ilmu pukulan Hek-bin Tai-hong-ciang itu, yang dilakukan sambil berjongkok dan perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok seperti seekor katak besar!
"Hem, apakah yang memaksa kalian monolak undangan kami yang kami lakukan dengan merendahkan diri?"
Tanyanya dongan suara membentak. Pek In Tosu masih bersikap halus dan ramah,
"Pertama, kami adalah tiga orang yang sudah tua dan lemah, dan setua ini kami hanya ingin menikmati kehidupan yang tenang sehingga undangan terhormat itu tidak dapat kami terima karena kami tidak sanggup melakukan perjalanan sejauh itu ke Tibet. Ke dua, kami merasa tidak mempunyai urusan apapun dangan Dalai Lama, sehingga andaikata beliau mempunyai kepentingan dengan kami, sepatutnya Dalai Lama yang datang ke sini menemui kami, bukan kami yang diundang ke sana karena bagaimanapun juga, kami bukanlah anggautanya maupun rakyatnya. Nah, itulah sebabnya mengapa kami tidak dapat menerima undengan itu."
"Mau atau tidak, menerima atau menolak, kalian bertiga tetap harus ikut bersama kami ke Tibet!"
Bentak Thay Bo Lama, seorang di antara mereka yang tubuhnya kurus kering dan wataknya me-mang keras.
"Kalau perlu, kami menggunakan kekerasan!"
Pek In Tosu mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.
"Siancai.... sudah kuduga demikian. Katakan saja bahwa kalian datang ini untuk membunuh kami, tidak perlu memakai banyak macam alasan."
"Benar! Kami memang hendak membunuh kalian!"
Bentak Thay Ku Lama yang sudah menerjang dengan goloknya, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya yang mempergunakan senjata masing-masing.
Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai mempergunakan segala macam senjata namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apalagi membawa-bawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian sajapun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh. Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, maupun tenaga sakti mereka yang sudah matang.
Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi sagala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam. Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tidak pernah berkelahi, tidak pernah mempergunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Bahkan selama ini mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada "sumbernya", bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan. Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walaupun andaikata ada nafsu itupun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itupun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaian mereka. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sin-kang mereka amat kuat dan disamping itu, merekapun pandai ilmu sihir. Thay Ku Lama memiliki pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut dan pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas. Adapun orang ke dua, Thay Si Lama, disamping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja.
Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain berbahaya sekali permainan senjata rantai bajanya, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biarpun kurus kering, namun tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya. Dan yang lebih daripada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian masing-massing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andaikata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorangpun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu. Akan tetapi, mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok,
Dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan. Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak. Di antara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus. Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini sejak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga.
Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk dapat mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih dan lima bayangan merah. Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, diapun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak. Akan tetapi satu hal dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih walaupun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau tiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dtrinya sendiri. Biarpun tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, namun dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak. Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, amatlah hebat dan menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari seorang di antara lima orang pendeta Lama itu. Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka.
Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang barkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dangan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan diapun terjungkal dan terguling-guling! Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia malihat bahwa dia berhenti terguling-guling karena tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut! Dia membelalakkan matanya agar dapat memandang lebih jelas lagi.
Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula. Ketika Sie Liong menengadah, dia melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian jembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang tidak bergigi lagi, rambutnya riap-riapan berwarna putih, sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali. Sie Liong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka diapun lalu duduk saja bersila, tidak memperduilkan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
"Heh-heh-heh....!"
Kakek itu terkekeh geli dan tongkat bututnya bargerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong dan nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dangan garis tengah dua meter lebih.
"Engkau tinggallah saja di dalam ruangan ini dan siapapun tidak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!"
Sie Liong mendongkol. Agaknya dia bertemu dengan seorang jembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan diapun tidak menjawab, hanya membuka mata mononton pertempuran yang masih berjalan terus. Agaknya kakek jembel itupun kini tidak memperdulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh.
Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah, akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek jembel tertawa semakin keras. Sie Liong basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludahpun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu! Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan biarpun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
"Tokk!"
Dan diapun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi.
Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apalagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu. Memang terjadi perubahan dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang mempergunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka. Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang kebal, mereka terus mundur.
Tiba-tiba terdangar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah! Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan tiba-tiba, seorang di antara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran. Tiba-tiba tongkat butut kakek jembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang "melanggar"
Lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itupun tordorong keluar! Ketika para anggauta Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu berlompatan dan agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran!
Tidak demikian dengan para pendata Lama. Ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama. Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksana itu memasuki lingkaran, kakek jembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itupun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia tordorong keluar oleh tongkat butut. Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.
"Trakkk!"
Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek jembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat bu-tut. Padahal, dia memiliki tenaga gajah yang sukar dilawan. Pada saat itu, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek jembel. Kakek jembel itu terkekeh keras dan kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek jembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.
"Tokkk!"
Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan diapun terbelalak keheranan. Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Kenapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina. Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi marah dan biarpun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, kini dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek jembel.
"Waduh, jebol perut ini...."
Teriak kakek jembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus! Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.
"Takkk!"
Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam! Ketika Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek jembel itu, melainkan menembus baju jembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu? Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang kini menghadapi tiga orang kakek Himalaya, tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek jembel!
"Si-sute dan Ngo-sute (adik seperguruan ke empat dan ke lime), hayo bantu kami!"
Teriak Thay Ku Lama. Dua orang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol, akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang jembel yang amat sakti, maka merekapun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdangar seruan yang halus.
"Siancai....! Tidak malukah kalian ini lima orang pendeta yang mestinya menjahui kekerasan, kini malah mempergunakan kekeranan untuk menyerang orang lain?"
Lima orang pendeta Lama itu terkejut karena suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khi-kang yang terasa menggetarkan jantung, maka merekapun berloncatan mundur untuk mamandang siapa yang muncul itu. Kiranya seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh piluh lima tahun, rambutnya putih semua riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih, tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar, pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhuya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
"Supek....!"
Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek itu.
"Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!"
Kakek jembel berseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan! Himalaya San Lojin memberi hormat kepada kakek jembel itu.
"Terimakasih atas bantuan susiok!"
"Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, ternyata ada Lama jubah merah berani melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh!"
Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Sian-su, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek jembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar. Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apalagi muncul paman guru dan uwa gurunya! Apa lagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdanyutan kepala itu!
"Kalian ini para tosu sombong selalu menentang kami!"
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentak Thay Ku Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.
"Siancai....!"
Pek-in Tosu yang terluka pundaknya, berdarah sedikit, berkata sambil menarik napas panjang.
"Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kauputar-balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang menyerang, membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apapun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa di sini pula?"
"Kami hanya menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!"
Bentak Thay Ku Lama.
"Kami harus menangkap Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung-jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!"
"Siancai....!"
Pek-sim Sian-su berkata, suaranya halus namun kembali lima orang Lama itu bergidik kareng isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan me-ngerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu.
"Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang anak dusun dan hendak diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentu dia yang tewas! Dan anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute? Sungguh janggal!"
Mendengar ini, lima orang Lama itu saliag pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru,
"Kami adalah utusan Dalai Lama akan tetapi telah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!"
Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik seperguruannya.
"Heh-heh-heh, suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing itu gila dan membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi mereka?"
Kata Koay Tojin. Kakek ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Sian-su, akan tetapi kalau Pek Sim Sian-su hidup sebagai seorang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran dan memang ada kelainan pada dirinya.
Dia dikenal sebagai seorang yang sinting! Pada hal dalam ilmu kepandaian silat maupun kekuatan sihir, dia tidak kalah dibandingkan suhengnya itu. Mungkin justeru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia menjadi sinting seperti itu. Hidupnya berkeliaran seperti jembel dan kadang-kadang melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul secara tiba-tiba saja tanpa berita lebih dulu. Akan tetapi diapun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti, lebih dikenal sebagai seorang sinting.
"Sute, engkaupun sampai sekarang masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?"
"Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Akan tetapi sekarang, coba dangar, dia berceramah menguliahi aku agar aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?"
Biarpun jembel tua itu nampak ugal-ugalan, namun diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka diapun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata,
"Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu tadi jahat bukan main, lebih jahat karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andaikata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!"
"Siancai.... Siapakah bocah ini?"
Tanya Pek-sim Sian-su kepada Himalaya Sam Lojin. Pek In Tosu lalu menceritakan tentang Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama, kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Tibet Ngo-houw tadi.
"Kebetulan supek telah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya,"
Kata Pek In Tosu kepada supeknya. Memang aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Sian-su lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa perguruan mereka! Hal ini adalah karena ketika mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Sian-su, berusia tiga tahun lebih tua dari mereka. Pek-sim Sian-su memang memiliki banyak macam kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek Im Tosu, dan menderita luka pukulan beracun, diapun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dadanya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata.
"Ah, biarpun hawa beracun sudah bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal di dalam darahnya. Dia dapat diobati akan tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto sembuhkan dia."
"Lihat, anak bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!"
Kata Koay Tojin. Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, nanun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga.
"Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek jembel ini membasmi lima orang Lama yang ja-hat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati."
"Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau akan mati,"
Kata Pek-sin Tosu.
"Heh-heh-heh, kau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerangkan, biar engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan melanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!"
Pek-sim Sian-su menarik napas panjang.
"Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu baik sekali walaupun sesungguhnya engkau harus malu untuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?"
"Namaku Sie Liong, locianpwe."
"Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dangarkanlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pendorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh kalau kita berkelahi dengan orang lain karena kemarahan, kebencian atau dandam. Engkau tadi melihat sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan orang Lama hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikitpun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau keinginan membunuh lawan. Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya apabila terancam kesakitan atau kematian. Sebaliknya, engkaupun melihat sendiri bagaimana keadaan batin lawan-lawan itu dalam perkelahian. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu dandam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itupun didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat dari pamrihnya atau dari sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu, karena biarpun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya berbeda, seperti buat dan langit."
Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam mengakui kebenaran pendapat Pek-sim Sian-su. Walaupun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sutenya masih hahah-heheh, Pek-sim Sian-su tersenyum.
"Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya."
Koay Tojin bertepuk tangan tanda gembira.
"Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih...."
Dan tiba-tiba kakek itupun menangis terisak-isak seperti anak kecil! Tentu saja Sie Liong terkejut melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila seperti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, sedangkan Pek-sim Sian-su memandang sutenya sambil tersenyum.
"Lanjutkan, sute."
Sambil menyusuti air matanya, Koay Tojin melanjutkan.
"Aku melihat semua orang mengenakan topeng pada mukanya. Mengerikan dan menakutkan, juga membuat hati penasaran dan mendongkol sekali. Pada lahirnya semua orang memakai topeng yang indah dan bersih, padahal di balik topeng itu, batin mereka busuk dan kotor! Munafik dan pura-pura. Hati, kata dan perbuatan merupakan segi tiga yang berbeda jurusan. Palsu, palsu, semua palsu! Juga para pendeta yang pernah kujumpai berbatin palsu. Karena itu, suheng, aku sudah membuang semua pantangan. Heh-heh, aku makan daging, minum arak, heh-heh. Suheng sendiri tentu tak pernah makan daging dan minum arak, bukan? Apakah suheng bareni mengatakan bahwa suheng tidak pernah membunuh?"
"Siancai....! Pinto tidak menyangkal, sute. Akan tetapi dijauhkan Thian kiranya hati ini dari benci, iri, dengki dan pementingan diri pribadi."
"Coba jawab, suheng. Apakah kalau suheng makan sayur dan minum air saja, berarti suheng tidak melakukan pembunuhan? Jawab yang jujur, jangan munafik, suheng!"
"Saincai...., munafik lebih keji daripada penyelewengan itu sendiri, sute. Tidak dapat disangkal lagi, di dalam sayuran, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahkan di dalam air jernih itu terdapat mahluk-mahluk hidup yang bargerak dan bernyawa dan yang tidak nampak saking kecilnya. Bahkan sayur itu sendiri merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup."
"Nah-nah-nah....!"
Koay Tojin menudingkan telunjuknya, mengamang amangkan ke arah suhengnya.
"Kalau begitu suheng juga membunuh!"
"Memang, hal itu pinto akui, sute, akan tetapi biarpun sama-sama membunuh namun perbedaannya bumi-langit, Manusia hidup harus makan, demi kelangsungan hidupnya dan sudah menjadi pembawaan sejak lahir bahwa manusia harus makan. Dan satu-satunya bahan makanan yang baik, menghidupkan, dan bukan sekedar menuruti nafsu lidah saja, adalah sayur-sayuran dan buah-buahan, juga air jernih. Biarpun semua itu mengandung mahluk hidup, akan tetapi karena tidak kelihatan maka kita membunuh tanpa kita ketahui, tanpa kita sengaja. Andaikata pinto melihat ada ulat pada buah yang pinto makan, tentu ulat itu akan pinto singkirkan agar tidak termasuk dan termakan. Semua mahluk hidup kecil tak nampak yang ikut termakan, bukan sengaja dimakan. Inilah bedanya, sute. Orang yang makan daging, sengaja membunuh hewan itu dan makan dagingnya untuk memuaskan selera, sedangkan orang yang makan sayur, biarpun membunuh mahluk kecil-kecil, hal itu dilakukan bukan dengan sengaja dan sama sekali tidak bermaksud menikmati dagingnya. Demikian pula dengan sayuran, welaupun sayuran itupun hidup, namun sayuran tidak bergerak, tidak memperlihatkan rasa sakit seperti halnya binatang. Demikianlah, sute. Segala perbuatan haruslah dilihat dasar dan pendorongnya. Kalau orang membunuh sesama hidup karena ingin memuaskan nafsu kesenangan, atau karena kebencian, sungguh hal itu merupakan perbuatan yang amat keji dan kejam."
Mutiara Hitam Eps 15 Istana Pulau Es Eps 15 Mutiara Hitam Eps 25