Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 10


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Tolong....!"

   Kwi Hong menjerit dengan hati penuh kengerian ketika ia merasa betapa tubuhnya makin amblas, agaknya kakinya disedot dan ditarik sesuatu. Berdiri bulu kuduknya karena timbul dugaannya bahwa srigala itu telah menjadi setan dan kini setan penasaran itu menarik kedua kakinya ke bawah! Dia tidak tahu bahwa tempat itu memang amat berbahaya daripada daerah lain di pulau itu. Ancaman bahaya lain tampak di depan mata, sedikitnya orang dapat menjaga diri.

   Akan tetapi bahaya pasir ini tidak tampak, kelihatan tenang dan aman, akan tetapi, sekali orang terperosok ke dalamnya, pasir di bawah yang bergerak itu akan menyedot tubuh sampai terbenam di dalamnya dan tentu saja akan mati! Karena panik dan tubuhnya menegang, Kwi Hong terhisap makin dalam, kini dia terbenam sampai ke dada! Tiba-tiba terdengar suara "wirrrr!"

   Dan sinar hitam menyambar, tahu-tahu dada dan kedua lengannya telah terbelit sehelai tali sutera hitam dan tubuhnya ditarik keluar dari pasir! Dia menengok dan melihat wanita cantik bermuka putih. Majikan Pulau Neraka, telah berdiri kurang lebih sepuluh meter di sebelah kanannya dan menggunakan tali sutera hitam untuk membetotnya. Sebentar saja tubuhnya sudah tertarik keluar dan diseret sampai ke depan kaki wanita itu yang melepaskan libatan tali suteranya.

   "Ohhhh.... ahhhh...."

   Kwi Hong merangkak bangun sambil terengah-engah, kemudian ia berdiri di depan wanita itu yang menggulung talinya dan melibatkan di pinggangnya yang ramping sambil me-mandang kepadanya.

   "Aku mengerti sekarang....."

   Kwi Hong berkata marah.

   "Kiranya engkau tidak sebaik yang kuduga! Engkau sengaja membebaskan aku karena yakin bahwa aku tidak akan dapat pergi dari pulau setan ini! Engkau sengaja mempermainkan aku!"

   "Sudah puaskah engkau sekarang? Jangankan engkau, biar Gurumu sekali pun belum tentu dapat memasuki dan keluar dari pulau ini. Aku membebaskan engkau karena tahu bahwa lari dari sini tidak mungkin. Masih banyak lagi bahaya-bahaya yang lebih hebat daripada yang kau lihat tadi. Ada rawa-rawa yang mengeluarkan uap beracun, binatang-binatang sebesar harimau sampai sekecil semut yang gigitannya mengandung bisa maut, tanah-tanah yang dapat merekah dan mengubur manusia hidup-hidup. Ini adalah Pulau Neraka, tahu? Kau kutahan di sini untuk melihat apakah Gurumu akan mampu merampasmu kembali."

   Kwi Hong bergidik, kemudian berkurang kemarahannya terhadap wanita itu. Dalam dunia kang-ouw, tidaklah aneh kalau seorang tokoh menggunakan siasat memancing datangnya lawan dengan pen-culikan seperti yang dilakukan atas dirinya. Betapapun juga, ia harus mengaku bahwa dia tidak menerima perlakuan yang tidak baik.

   "Sungguh mengherankan. Kalau Pulau Neraka ini begini berbahaya, melebihi gambaran neraka sendiri, mengapa kalian suka menjadi penghuni di sini?"

   Tanyanya sambil memandang wajah jelita yang berwarna putih itu, diam-diam menduga-duga apakah warna pada muka mereka itu disebabkan oleh keadaan pulau yang amat mengerikan ini.

   "Engkau takkan mengerti. Marilah kita pulang. Engkau tentu lelah dan amat lapar bukan?"

   Kwi Hong mengerutkan keningnya.

   "Lelah dan lapar tidak penting. Yang penting, kapan engkau hendak membebaskan aku dari pulau jahanam ini?"

   "Engkau anak baik, berani dan patut menjadi murid Pendekar Siluman...."

   "Pendekar Super Sakti!"

   Kwi Hong memotong. Wanita aneh itu tersenyum.

   "Baiklah Pendekar Super Sakti. Kapan engkau bebas, tergantung dari Gurumu. Kalau dia tidak berhasil merampasmu kembali, aku akan senang sekali kalau engkau menjadi muridku, menjadi teman puteraku."

   "Aku tidak sudi! Terutama sekali tidak sudi menjadi teman anakmu yang kurang ajar itu!"

   Sejenak wanita itu mengerutkan alisnya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi tidak lama ia dapat menguasai kemarahannya dan berkata.

   "Dia nakal dan manja, akan tetapi tidak kurang ajar. Marilah!"

   Kwi Hong merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil membikin marah wanita aneh ini dan tanpa menjawab ia lalu mengikuti wanita itu pergi dari situ. Sungguh amat mengherankan. Wanita itu mengambil jalan membelak-belok tidak karuan, akan tetapi sebentar saja mereka sudah tiba di depan gedung besar seperti istana yang temboknya bercat hitam itu! Anak laki-laki bernama Keng In itu datang berlari-lari menyambut mereka dan begitu melihat Kwi Hong, ia tertawa dan mengejek.

   "Aha, engkau datang lagi? Tadinya kusangka engkau akan dapat keluar dari pulau ini!"

   "Keng In, mulai sekarang engkau tidak boleh bersikap kurang ajar dan mengganggu Kwi Hong. Dia tawanan kita, akan tetapi juga tamu terhormat. Kau ajak dia bermain-main dengan baik, akan tetapi tidak boleh kau ganggu. Kalau sampai engkau mengganggunya dan dia menghajarmu, aku tidak akan membelamu!"

   Wanita itu berkata dan Keng In membelalakkan mata memandang ibunya seperti orang kaget dan heran karena selamanya ibunya tidak pernah menegurnya dengan kata-kata keras, kemudian wajahnya menjadi muram dan kecewa, mulutnya merengut, akan tetapi dia mengangguk dan bibirnya menjawab lirih,

   "Baik, Ibu."

   Di dalam hatinya, diam-diam Kwi Hong merasa puas. Rasakan kau sekarang, pikirnya! Akan tetapi karena dia merasa tidak enak hati terhadap wanita itu, dia diam saja dan tidak membantah ketika diajak makan. Melihat keadaan di pulau yang menyeramkan itu, Kwi Hong tadinya tidak mengharapkan makanan yang baik.

   Akan tetapi betapa heran dia dan juga girang hatinya ketika menghadapi meja, dia melihat hidangan yang serba lezat dan mahal! Baru masakan ikan udang dan kepiting serta penghuni laut lainnya saja sudah ada belasan macam, belum daging binatang darat dan sayur mayur yang serba lengkap. Benar-benar seperti hidangan dalam istana raja! Karena perutnya lapar, dan wataknya bebas tidak malu-malu, Kwi Hong tanpa sungkan makan hidangan yang disukainya, diam-diam memuji karena selain serba lengkap, juga masakannya amat enak, tidak kalah oleh masakan di Pulau Es! Sudah satu minggu Kwi Hong tinggal di Pulau Neraka. Dia mendapat perlakuan yang baik, mendapat kamar di sebelah kiri, kamar ketuanya sendiri dengan pintu tembusan. Keng In tinggal di kamar sebelah kanan.

   Agaknya Ketua Pulau Neraka itu hendak mengawasi sendiri kepada Kwi Hong, siap untuk mem-pertahankan apabila Suma Han datang! Namun Kwi Hong mendapat kebebasan penuh, hanya ke mana dia pergi, perlu ada yang diam-diam mengawasinya, terutama tokoh-tokoh muka kuning yang kedudukannya sudah tinggi. Mentaati perintah ibunya, kini Keng In tidak lagi suka mengganggunya, bahkan setelah kenal, anak laki-laki ini merupakan teman yang cukup menyenangkan. Otaknya cerdas sekali dan Kwi Hong mendapat banyak keterangan mengenai pulau mengerikan itu dari Keng In. Di pulau itu terdapat sekawanan burung rajawali yang dijinakkan, jumlahnya ada sembilan ekor. Burung-burung itu dilatih sedemikian rupa sehingga hanya mentaati perintah wanita majikan pulau, puteranya, dan empat orang tokoh muka kuning saja.

   Terhadap perintah lain orang, burung-burung ini tidak peduli, apalagi terhadap perintah Kwi Hong yang mereka anggap sebagai musuh! Maka lenyaplah harapan Kwi Hong untuk dapat melarikan dari dengan bantuan seekor di antara burung-burung itu. Demikian terlatih burung-burung itu sehingga mereka tidak mau menerima makanan yang dlberikan Kwi Hong. Pulau itu berpenghuni kurang lebih lima puluh orang. Selain Keng In, ada pula belasan orang anak-anak laki perempuan, akan tetapi karena mereka itu adalah anak-anak dari para anak buah pulau, tentu saja mereka takut mendekati Keng In yang di situ seolah-olah menjadi semacam "pangeran". Betapapun juga, ada beberapa orang di antara mereka yang menjadi teman Keng In dan kini sudah berkenalan pula dengan Kwi Hong.

   "Semua orang di sini mengecat mukanya, mengapa engkau dan anak-anak itu tidak?"

   Pada suatu hari Kwi Hong bertanya kepada Keng In.

   "Mengecat muka? Ah, betapa bodoh anggapan itu. Warna-warna pada muka penghuni Pulau Neraka menjadi tanda akan kedudukan mereka, karena warna itu timbul setelah sin-kang mereka meningkat tinggi. Makin terang warnanya, makin tinggi ilmu kepandaian dan kedudukan mereka."

   "Ahh, kalau begitu, Ibumu yang mempunyai warna putih merupakan orang yang paling pandai?"

   "Tentu saja! Tidak ada yang dapat menandingi Ibu. Kemudian menyusul para tokoh bermuka kuning dan merah muda, hijau pupus dan selanjutnya, makin gelap warna mukanya, makin rendah kedudukannya. Yang tinggal di pulau ini adalah anggauta yang sudah memiliki kepandaian, sudah melatih ilmu sin-kang yang khas sehingga ada warna timbul di mukanya. Masih ada puluhan anggauta paling rendah yang belum berhasil memiliki sin-kang sehingga mukanya berwarna, dan mereka itu belum boleh tinggal di pulau, melainkan di sekitar Pulau Neraka, yaitu di pulau-pulau kecil dan sewaktu-waktu kalau tenaga mereka dibutuhkan, baru mereka dipanggil. Yang berhasil, mula-mula mukanya hitam, lalu merah dan selanjutnya, jangan kau memandang rendah. Warna-warna itu menandakan bahwa kami telah memiliki sin-kang khas Pulau Neraka yang amat lihai!"

   "Hemmm..... dan engkau sendiri mengapa belum memiliki warna pada mukamu?"

   Keng In mengerutkan alisnya.

   "Sebelum berusia lima belas tahun, anak-anak tidak boleh mempelajari sin-kang itu, bisa membahayakan nyawanya. Sin-kang itu dilatih dengan minum racun-racun dahsyat setiap hari! Tentu saja anak-anak dari mereka yang sudah berwarna mukanya boleh tinggal di sini."

   Kwi Hong teringat akan segala macam binatang dan tetumbuhan beracun di pulau ini dan dia bergidik. Ia maklum bahwa memang penghuni Pulau Neraka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mendengar cara berlatih sin-kang sambil minum racun itu, dia dapat membayangkan betapa hebat ilmu mereka. Akan tetapi dia masih merasa yakin bahwa gurunya akan mampu menandingi mereka semua, bahkan Si Wanita Muka Putih ibu Keng In.

   "Kenapa begitu jahat, memaksa orang-orang di gunung mengumpulkan obat-obat setiap bulan?"

   "Eh, kau tahu juga?"

   "Tentu saja, kalau tidak masa aku menyerangmu. Aku telah menyelidiki secara diam-diam di punggung garudaku dan menyaksikan kesibukan mereka, melihat pula betapa di antara mereka ada yang membunuh diri karena tidak dapat mengumpulkan akar dan daun obat secukupnya. Mengapa kau begitu jahat?"

   "Itu adalah perintah Ibuku. Mereka itu terlalu sombong, tidak mau mengalah bahkan melukai anggauta kami yang mencari obat. Kami amat membutuhkan akar-akar dan daun-daun obat itu. Engkau melihat sendiri keadaan di pulau ini. Banyak racun yang berbahaya meng-ancam kami, bahkan hawa yang kami hisap setiap saat telah keracunan. Tanpa obat-obat yang tepat untuk memusnahkan racun, bagaimana kami bisa hidup?"

   Kwi Hong mengangguk-angguk. Kini dia mengerti dan tidak bisa menyalahkan mereka.

   Gadis cilik yang hidup di Pulau Es ini pun mengerti akan kebenaran yang dipergunakan sebagai hak yang lebih kuat untuk hidup kalau perlu dengan menekan atau membunuh yang lemah. Hukum rimba berlaku di tempat-tempat yang berbahaya di mana mahluk harus menjaga diri sendiri dari bahaya-bahaya yang mengancam dan di mana satu-satunya yang dibutuhkan hanya kekuatan dan kemenangan! Keadaan seperti itu memaksa manusia mengandalkan kekuatan untuk hidup dan hal ini menjadi kebiasaan membentuk watak orang-orang kang-ouw yang tidak suka akan segala macam aturan! Ketika Suma Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana Pulau Es, tiga orang pembantu utamanya yang menyambutnya memandang dengan penuh perhatian.

   Terutama sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala pengurus bagian dalam, seorang wanita muda yang cantik jelita, memandang wajah Suma Han dengan mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Dia melihat sesuatu pada wajah yang menjadi pujaan hatinya. Dia tahu bahwa pendekar yang dikaguminya itu menderita tekanan batin yang hebat sekali. Biarpun pendekar itu dapat menutupinya dengan hati sehingga tidak tampak sedikitpun ketegangan urat syarafnya, namun wajah yang tampan itu terselubung kemurungan yang amat mendalam. Yap Sun, wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima puluh tahun itu pun mengerti bahwa majikannya sedang berduka, demikian pula Thung Sik Lun, sutenya yang kurus. Namun pandangan mereka tidak setajam Phoa Ciok Lin yang lebih menggunakan perasaan hatinya.

   "Kami mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia. Apakah To-cu juga tidak berhasil?"

   Yap Sun melapor dan sekaligus bertanya sungguhpun dia sudah menduga bahwa kemurungan wajah majikannya itu tentu karena Kwi Hong tak berhasil ditemukan. Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat pandang mata Phoa Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah membayangkan perasaan hatinya yang terhimpit, pikirnya.

   "Bocah itu benar-benar membikin repot banyak orang. Aku tidak berhasil menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku menjelajah tanpa hasil. Biarlah kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah bosan merantau tentu akan pulang juga."

   Sambil berkata demikian, Suma Han lalu melangkah masuk ke dalam Istana Pulau Es yang kuno namun kini bersih itu, diikuti oleh Phoa Ciok Lin yang sejak tadi hanya menyambut kedatangan Suma Han dengan pandang matanya yang bening.

   "Kusediakan makan, Taihiap?"

   Suma Han menggeleng.

   "Aku tidak lapar."

   "Ingin beristirahat? Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu disediakan minum? Minum apakah?"

   "Tidak usah repot Ciok Lin dan terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin.... menyendiri."

   Suma Han menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan menyandarkan tongkatnya di meja. Ciok Lin tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang lemas, wajahnya penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih berdiri tanpa bergerak, Suma Han mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan Suma Han menunduk kembali.

   "Ciok Lin, maaf. Kau tinggalkan aku, aku ingin menyendiri."

   Katanya. Gadis yang usianya sebaya, hanya lebih muda setahun dari Majikan Pulau Es itu, menahan napas menekan hati yang perih.

   "Baiklah, Taihiap....."

   Ia membalik-kan tubuh dan melangkah pergi dengan muka menunduk.

   "Ciok Lin...."

   Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa pembantunya ini selain amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan kadang-kadang ada sinar mata memancar keluar dari sepasang mata yang membuat dia khawatir karena sinar mata itu jelas membayangkan sinar kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah bersikap sedingin itu setelah orang menyambutnya demikian ramah dan penuh perhatian. Dengan gerakan cepat, gadis itu memutar tubuh.

   "Ada apakah, Taihiap?"

   Suma Han tersenyum minta maaf, dan mulutnya terkata.

   "Aku memang tidak lapar, akan tetapi akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air dingin dari sumber."

   Wajah yang manis itu berseri gembira.

   "Baik, Taihiap, segera kuambilkan!"

   Dan kini tubuh gadis itu tidak melangkah perlahan dengan muka menunduk lagi, melainkan berkelebat dan lenyap laksana menghilang saja.

   Suma Han tersenyum seorang diri. Perempuan! Sungguh lebih mudah mengukur dalamnya lautan daripada mengukur dalamnya hati perempuan. Semenjak kecil ia hidup bersama Lulu adiknya, mengira bahwa dia sudah mengenal adik angkatnya itu lahir batin. Siapa kira kenyataan menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak mengenal isi hatinya sehingga segala jerih payah yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu malah berakibat sebaliknya seperti yang ia harapkan. Dia berhasil mengawinkan adiknya dengan Wan Sin Kiat, seorang pemuda pilihan, tampan dan gagah perkasa, berbudi mulia dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, siapa kira, pernikahan itu malah merupakan kesengsaraan bagi Lulu yang kemudian nekat meninggalkan suaminya bersama anaknya sehingga Wan Sin Kiat membunuh diri dengan cara berjuang sampai mati!

   Semua itu karena Lulu mencinta dia? Benarkah seperti yang dikatakan Im-yang Seng-cu? Dan dia.... sudah lama namun dianggapnya terlambat ketika ia merasa yakin bahwa satu-satunya cinta kasih murni yang berada di hatinya adalah untuk Lulu seorang! Semenjak pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita tentang Lulu, Suma Han mengalami pukulan batin yang amat hebat, lebih hebat daripada kekhawatirannya tentang kepergian Kwi Hong. Semenjak itu, dia tidak pernah makan, minum atau tidur sehingga ketika ia tiba di istana Pulau Es, tubuhnya menjadi kurus, mukanya sayu dan agak pucat. Kini menghadapi sikap Phoa Ciok Lin, pembantunya yang setia, hatinya terasa makin perih. Kalau mungkin, dia minta dijauhkan daripada kaitan kasih sayang dengan wanita!

   Betapa banyaknya penderitaan batin yang ia alami karena hubungan kasih sayang ini yang hanya tampaknya saja manis, namun sesungguhnya mengandung kepahitan yang sampai lama terasa di hati. Berkelebatnya bayangan menyadarkannya dari lamunan dan Ciok Lin telah berdiri di depannya, membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar yang baru diambilnya dari sumber air di atas pegunungan pulau itu. Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu kepandaian Ciok Lin telah meningkat dengan hebat dan kini dapat dipercaya menjadi orang kedua di Pulau Es jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia memandang wajah itu dan diam-diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah mengambil air dari gunung yang cukup jauh, bahkan telah men-cuci muka, bersisir, dalam waktu yang amat cepat! Suma Han menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu meminumnya. Segar dingin terasa sampai ke perutnya.

   "Terima kasih, Ciok Lin."

   "Tambah lagi, Taihiap?"

   "Cukup, letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri."

   Sejenak Ciok Lin meragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka memandang wajah yang bayangannya sudah terukir di hatinya itu.

   "Taihiap, dalam kepergian Taihiap mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa dengan kenalan lama?"

   Suma Han membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik,

   "Ciok Lin, mengapa kau menduga demikian?"

   Ciok Lin menarik napas panjang lalu berkata,

   "Semenjak saya berada di sini, saya melihat Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan laut yang tidak tersentuh angin. Akan tetapi sekarang laut itu bergelombang dan digelapkan awan. Apa lagi yang menimbulkan kecuali pertemuan dengan kenalan lama dan dipaksa mengenang peristiwa-peristiwa lalu?"

   Suma Han menghela napas,

   "Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Sekali berkunjung ke dunia ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati terdengar. Akan tetapi sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba melupakan semua itu. Yang terpenting adalah soal perginya Kwi Hong. Harap engkau suka meninggalkan aku sendiri."

   "Baiklah, Taihiap."

   Sekali ini Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan kata-katanya sendiri. Melupakan? Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan dendam Tan-siucai bekas tunangan Lu Soan Li yang katanya mendendam kepadanya, urusan perebutan pusaka-pusaka yang lenyap. Semua itu dapat dengan mudah ia lupakan karena memang tidak dipikirkannya lagi. Akan tetapi Lulu....! Dapatkah ia melupakan Lulu?

   Kalau adik angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya, tentu dia akan dapat melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia karena adik yang dicintanya itu hidup bahagia. Akan tetapi sekarang? Kebahagiaan itu berantakan dan betapa mungkin ia dapat melupakannya? Apalagi karena perginya Lulu meninggalkan suaminya itu menimbulkan dugaan di hatinya bahwa tentu Lulu yang telah melakukan hal yang menghebohkan dan menggegerkan dunia kang-ouw. Siapa lagi yang dapat membongkar kuburan dan membawa pergi Sepasang Pedang Iblis? Hanya dia dan Lulu yang mengetahui di mana adanya sepasang pedang itu dikubur. Di mana sekarang adanya Lulu dan anaknya? Jangan-jangan...., ah, dia teringat akan ketua Thian-liong-pang, wanita yang mukanya diselubungi kain itu. Bentuk tubuhnya, suaranya, dan sinar mata dari balik selubung itu! Mengapa dia begitu bodoh? Tentu Lulu orangnya!

   Akan tetapi kalau benar Lulu, mengapa menantangnya? Dan ilmu kepandaiannya pun hebat sekali. Orang seperti Lulu memungkinkan terjadinya segala hal aneh. Dia tidak akan merasa heran kalau tiba-tiba Lulu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya sendiri! Yang amat mengherankan hatinya, kalau benar ketua Thian-liong-pang itu Lulu adanya, mengapa menantang dia? Mengapa seperti hendak memusuhinya? Sampai tiga hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika pada pagi hari itu ia mengambil keputusan untuk pergi lagi meninggalkan Pulau Es, pertama untuk mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk menyelidiki Thian-liong-pang karena ia merasa penasaran kalau belum membuka selubung muka Ketua itu untuk melihat apakah dugaannya tidak salah, tiba-tiba terdengar seruan-seruan di luar istana.

   "Garuda betina datang....!"

   "Nona Kwi Hong tidak bersama dia....!"

   Seruan seruan itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi Hong, berarti bahwa telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau keponakannya itu! Akan tetapi Suma Han tidak menjadi gugup. Dengan tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina sudah berada di pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu menyambut. Melihat Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan mengeluarkan suara seperti rintihan, kemudian meloncat ke atas terbang dan turun lagi mendekam, terbang lagi dan mendekam lagi. Suma Han menghampiri,

   "Apakah Nona ditawan orang?"

   Garuda itu mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan mendekam lagi. Suma Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata,

   "Agaknya Kwi Hong ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan menolongnya. Jaga pulau baik-baik, aku pergi takkan lama."

   Setelah berkata demikian ia menggapai dengan tangan kirinya. Garuda jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya, Suma Han telah mencelat ke atas punggung garuda jantan yang terbang tinggi mengejar garuda betina yang telah mendahuluinya. Garuda betina yang menjadi penunjuk jalan terbang tinggi di atas lautan kemudian mengelilingi sekumpulan pulau-pulau kecil. Di tengah kumpulan pulau itu tampak sebuah pulau hitam.

   "Hemm, agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa lancang dan beraninya mereka!"

   Suma Han menjadi gemas dan menyuruh garudanya menukik ke bawah. Adapun garuda betina yang kelihatannya jerih, hanya mengikuti dari belakang. Suma Han adalah seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik. Kalau penghuni Pulau Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka itu kini telah siap untuk menyambut kedatangannya, karena sudah tentu mereka ini tahu bahwa dia akan menolong muridnya.

   Kenyataan bahwa garuda betina pulang tanpa menderita luka merupakan bukti bahwa penghuni Pulau Neraka sengaja memancingnya datang dan harus berlaku hati-hati sekali. Dari atas dia melihat pulau yang belum pernah dikunjungi, hanya didengarnya saja dongengnya itu. Pendaratan ke pulau itu hanya mungkin dilakukan dari angkasa, karena pulau itu dikurung lautan yang bergelombang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap perahu yang mencoba untuk mendarat. Tentu kini penjagaan ketat dilakukan untuk menyambut kedatangannya lewat angkasa menunggang burung, pikirnya. Justru tempat yang berbahaya, yang tidak mungkin didarati, yaitu melalui lautan, merupakan tempat yang terbebas daripada penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh garudanya terbang rendah di atas laut dekat tebing karang yang airnya berombak besar.

   Setelah burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung burung, melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu disambar ombak dan mengambang. Bagaikan seekor burung, tubuh Suma Han menyusul tongkatnya dan kaki tunggalnya sudah hinggap di atas tongkat yang terombang ambing ombak. Dengan menekuk lutut ia menggunakan kedua tangannya sebagai dayung sehingga tongkatnya meluncur ke pinggir mendekat karang. Pada saat itu, ombak dari belakangnya mendorong pula sehingga tubuhnya meluncur ke depan, ke arah tebing batu karang yang agaknya akan menerima dan menghancurkan tubuh Pendekar Super Sakti ini. Namun Suma Han telah memperhitungkan dan ia sudah mendahului meloncat dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun sambil menyambar tongkatnya.

   Ketika tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke depan, ke arah batu karang dan menggunakan tenaganya untuk mencelat ke atas, menotok lagi dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali loncatan ia telah dapat sampai di puncak tebing dengan selamat. Ia menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung garuda peliharaannya itu telah hinggap dengan selamat di sebuah batu karang yang menonjol, tidak tampak dari darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor burung itu yang mengerti akan siasatnya yang menyuruh mereka bersembunyi dan menanti isyaratnya. Dari atas tebing yang tinggi ini, Pendekar Super Sakti memeriksa keadaan pulau. Hemm, benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan teratur oleh tangan ahli karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari tempat dia mendarat, kalau hendak memasuki pulau harus melalui hutan-hutan yang gelap dan pohon-pohonnya diatur mencurigakan,

   Seperti lorong menyesatkan dan banyak bagian yang serupa sehingga memasuki hutan itu tentu akan membingungkan orang dan akan menyesatkan. Pula, mungkin di dalam hutan itu bersembunyi binatang-binatang jahat yang berbisa. Dari sebelah kiri melewati daerah yang seperti rawa, amat luas dan penuh alang-alang tinggi. Daerah itu amat berbahaya karena melalui rawa yang tertutup oleh alang alang orang tak mampu menjaga diri sebaiknya, apalagi kalau sampai terjeblos ke dalam lumpur dan diserang banyak binatang buas. Dari se-belah kanan melalui pegunungan karang yang ditumbuhi tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan sunyi namun malah mencurigakan sekali karena biasanya, di tempat-tempat yang diatur orang-orang pandai seperti pulau itu, tempat yang kelihatan paling aman biasanya justru merupakan tempat yang paling berbahaya.

   Adapun pendaratan dari seberang sana, berlawanan dengan tempat ia mendarat, orang harus melalui daerah yang penuh pasir, kelihatan bersih sunyi dan aman, namun ia merasa yakin bahwa tempat itu pun amat berbahaya karena selain pendatang tidak akan dapat bersembunyi dan nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar tentang pasir bergerak yang dapat menyedot benda bergerak ke dalamnya. Dia mendarat tanpa perhitungan karena memang belum mengenal keadaan. Nasib saja yang menentukan dan setelah ia mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau itu dari situ pula, melalui hutan-hutan gelap yang kelihatan paling berbahaya itu. Sampai beberapa lama dia memeriksa seluruh hutan itu dari atas, menghafal letak-letak kelompok pohon yang beraneka macam dan memperhatikan mata angin dengan melihat letak matahari.

   Melihat arah matahari, dia tahu bahwa dia telah mendarat di bagian se-latan dan untuk menuju ke tengah hutan yang ia yakin tentu menjadi markas atau sarang penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke utara. Tiba-tiba Suma Han menggerakkan tubuh menyelinap ke balik batu karang menonjol, menyembunyikan diri dan mengintai. Tidak salah lagi, yang terbang di atas itu adalah seekor burung rajawali yang besarnya menandingi garudanya dan di punggung rajawali itu duduk seorang manusia. Burung itu terbang berputaran di atas pulau, maka tahulah dia bahwa orang yang menunggang rajawali itu, yang terlalu jauh untuk dapat dilihat besar kecilnya atau laki-laki perempuannya, tentu sedang melakukan pengintaian atau pemeriksaan. Setelah burung itu menukik turun dan lenyap di balik pohon-pohon, ia lalu keluar dari tempat sembunyinya.

   Sekali lagi ia memandang keadaan hutan yang akan dilaluinya, kemudian tubuhnya bergerak ke depan cepat sekali, dengan loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, dalam kecepatannya yang luar biasa, Suma Han selalu tetap waspada dan hati-hati karena dia maklum betapa berbahaya daerah yang tak dikenalnya itu. Dia kini sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup rapat oleh daun-daun lebat sehingga sukar untuk melihat di mana adanya matahari. Namun, dari sinar matahari yang menerobos ke bawah ia dapat memperhitungkan dan dia terus maju menuju ke arah utara. Dia tidak mau membelok melainkan lurus bergerak ke depan. Kalau keadaan sedemikian gelapnya dan ia merasa kehilangan arah, Suma Han mencelat ke atas pohon besar dan melihat letak matahari, lalu turun lagi dan melanjutkan perjalanannya. Tiba-tiba ia berhenti bergerak.

   "Ular...."

   Bisiknya dan ia sudah siap. Penciumannya yang tajam dapat menangkap bau amis ular-ular itu, juga pendengarannya dapat menangkap suara mendesis-desis dari depan. Namun dia tidak gentar dan melanjutkan perjalanan ke depan. Hutan yang gelap dan mudah menyesatkan orang itu kini terganti dengan bagian yang terbuka, ada seratus meter luasnya dan di tempat inilah berkumpulnya ular-ular itu, kemudian di seberang sana disambung pula dengan hutan lain. Suma Han berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum sekali. Dari mana saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang selain amat banyak jumlahnya,

   Ada ribuan ekor, juga amat banyak macamnya, semua terdiri dari ular-ular berbisa! Dia mengenal beberapa ekor ular yang gigitannya amat berbahaya, sekali gigit tentu merenggut nyawa. Dan melihat ular-ular yang beraneka macam itu, dengan warna yang bermacam-macam pula, timbul rasa sayang di hati Suma Han. Sayang kalau kumpulan ular berbisa yang begitu lengkap di bumi! Pula, dia tidak mempunyai niat sedikitpun juga untuk melakukan pembunuhan dan pengrusakan di pulau ini. Pertama, dia belum melihat bukti bahwa Kwi Hong di tahan di Pulau ini. Ke dua, andaikata benar demikian, penghuni Pulau Neraka hanya melakukan hal itu untuk memancing dia datang, tentu Kwi Hong tidak diganggu karena buktinya, burung garuda betina pun tidak dilukai. Kalau orang tidak berniat buruk, mengapa dia harus melakukan pembunuhan dan pengrusakan.

   Kini ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini mendesis-desis dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok manusia yang berani datang ke tempat itu. Suma Han mengukur dengan pandang matanya. Kalau bukan dia yang datang ke tempat itu, agaknya sukar untuk melewati ular-ular yang memenuhi daerah sepanjang seratus meter itu, kecuali dengan membunuh mereka semua. Untuk meloncati jarak yang sekian jauhnya, biar dia seorang ahli ilmu Soan-hong-lui-kun sekalipun, tentu tidak mungkin. Akan tetapi dengan tongkatnya, ditambah ilmunya dia tidak merasa menghadapi kesukaran. Dia tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai gerak-geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular itu.

   Maka dia lalu meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia tidak bertongkat, tentu terpaksa kakinya akan menyentuh tanah dan ada bahaya di sambar ular-ular itu. Akan tetapi dengan cekatan dan mudah ia menotolkan tongkatnya ke atas tanah diantara ular-ular yang menjadi kalang kabut berusaha menyerang tongkatnya. Dengan kekuatan tangannya yang memegang tongkat, begitu tongkat menotol tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Beberapa ekor ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu terpelanting dan kembali Suma Han menggunakan tongkatnya menotol tanah dan tubuhnya mencelat lagi. Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa loncatan saja Suma Han telah tiba di seberang daerah ular dengan selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia berdiri dan membalikkan tubuh sambil tersenyum memandangi ular-ular yang menjadi kacau dan membalik, mencari lawan.

   "Begini sajakah halangan memasuki pulau?"

   Kata Suma Han sambil melanjutkan perjalanan, ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui hutan di depan yang tidak begitu gelap seperti hutan pertama. Tiba-tiba seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras dan dari dalam semak semak meloncat keluar puluhan anjing serigala yang mengeluarkan bau harum dan amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat sambil memperhatikan. Kembali ia merasa kagum. Srigala srigala hitam ini benar-benar merupakan sekumpulan binatang yang aneh. Bulunya hitam mengkilap dan indah, moncongnva panjang dan mengingat akan bau yang keluar dari moncong mereka, menandakan bahwa binatang buas ini pun berbisa.

   "Bukan main! Benar benar segala macam binatang berbisa bersarang di pulau ini."

   Pikir Suma Han.

   Melihat betapa kawanan srigala itu banyak sekali, gerakan mereka gesit, maka agaknya akan melelahkan kalau harus berlari lari dan mengelak menghindari mereka yang tentu akan terus mengejar ngejarnya. Dengan demikian maka perjalanannya akan kacau dan banyak bahayanya dia akan tersesat. Maka cepat ia mencelat ke atas pohon, berjongkok dengan kaki tunggalnya di atas dahan pohon, sejenak memandang srigala srigala yang berusaha meloncat-loncat untuk mencapainya. Pemandangan ini lucu bagi Suma Han, maka tanpa terasa lagi ia tertawa, kemudian melanjutkan perjalanannya melalui pohon pohon. Karena pohon pohon itu tumbuh berdekatan, amat mudah bagi seorang yang berilmu tinggi seperti dia untuk berloncatan dari dahan ke dahan dan dari pohon ke pohon, selalu mengambil arah ke utara atau menganankan matahari pagi.

   Akan tetapi baru saja terbebas dari serangan gerombolan srigala hitam, datanglah serombongan lebah hitam yang terbang berbondong-bondong dan mengeroyoknya! Suma Han terkejut, dapat menduga bahwa sengatan lebah ini pun tentu berbisa. Dia memutar lengan kiri, sehingga timbul angin yang digerakkan hawa sin-kangnya sehingga lebah lebah yang mendekatinya terbawa hanyut oleh angin itu. Akan tetapi karena dahan-dahan, ranting ranting dan daun daun menghalanginya, dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah berbahaya, kalau meloncat turun, gerombolan srigaia hitam tentu akan menerkamnya. Maka Suma Han cepat meloncat dengan pengerahan ilmu Soan hong lui kun.

   Karena dia meloncat loncat dengan selalu dikejar lebah lebah yang terbang cepat, tentu saja dia tidak dapat memperhatikan arah lagi dan dia hanya berloncatan cepat dengan niat keluar dari hutan dan mencari tempat terbuka di mana dia akan dapat menghalau lebah lebah itu dengan mudah. Sambil berloncatan dan kadang-kadang memutar lengan kiri untuk meruntuhkan lebah lebah itu, diam-diam ia memuji dan mulailah dia tidak berani memandang rendah para penghuni Pulau Neraka! Akhirnya dia berhasil juga keluar dari hutan itu, di tempat terbuka dan dengan hati lega ia mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing srigala sudah tak tampak lagi, tentu tidak sanggup mengejar dia yang berloncatan dari pohon ke pohon sedemikian cepatnya dan kehilangan jejak penciuman. Akan tetapi, kawanan lebah itu masih terus mengejarnya. Suma Han meloncat turun dari pohon terakhir dan sudah siap.

   Ketika lebah lebah itu terbang datang, dia lalu menanggalkan jubahnya dan memutar jubah dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegangi tongkatnya. Kalau dengan tangan saja gerakan Suma Han sudah mampu mendatangkan angin yang menyambar dahsyat apalagi kini menggunakan jubah. Angin bertiup keras dan lebah lebah itu terbawa angin yang digerakkan oleh jubah di tangan Suma Han, sama sekali tidak mampu mendekati pendekar itu, bahkan ketika Suma Han membuat gerakan memutar dengan tangannya, jubahnya menimbulkan angin berpusing yang membuat lebah lebah itu terseret angin yang berputaran ke atas sampai tinggi! Tiba-tiba terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi suling ditiup secara istimewa dan menyusul suara ini, datanglah berbondong-bondong lebah lebah hitam dari segenap penjuru mengeroyok dan mengurung Suma Han!

   "Setan....!"

   Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat mengemudi perasaan lebah lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena kalau lebah-lebah itu datang makin banyak, mana mungkin dia dapat menghindarkan diri tanpa membasmi mereka, hal yang tak diinginkannya.
(Lanjut ke Jilid 10)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
Dengan hati mengkal Suma Han lalu mengerahkan khi-kangnya dan keluarlah lengkingan yang tinggi dan lebih nyaring daripada suara suling itu sambil jubah di tangannya masih terus diputarnya. Usahanya berhasil baik sekali karena lebah lebah itu menjadi kacau balau. Makin nyaring lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han, makin kacaulah mereka tidak tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke atas, ada yang ke bawah, ke kanan-kiri depan-belakang, bahkan ada yang terbang membalik dari arah mereka datang! Adapun lebah lebah yang terlalu dekat dengan Suma Han, membubung tinggi dan menjadi pening sehingga lebah lebah itu berjatuhan, bergerak-gerak dan merayap-rayap di atas tanah karena untuk sementara mereka tidak kuasa terbang, bahkan merayapun berputaran seperti anak-anak yang mabok setelah bermain putar-putaran!

   Suara suling terhenti dan melihat bahwa lebah lebah itu kini sudah pergi dalam keadaan kacau, Suma Han menghentikan lengkingannya dan putaran jubahnya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang ditinggalkan dan letak matahari, hatinya mendongkol karena ternyata dalam melarikan diri tadi, dia tidak lari ke utara melainkan tersesat lari ke barat! Karena tidak ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat ke atas pohon di pinggir hutan yang baru ditinggalkan. Ketika ia memandang ke utara, hatinya girang karena dari tempat itu dia sudah dapat melihat sekelom-pok bangunan berwarna hitam. Akan tetapi, dari tempat itu menuju ke bangunan terdapat pasukan pasukan menghadang jalan.

   "Hemm, kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri menyambutku. Bagus!"

   Dia lalu melayang turun dan mempergunakan ilmunya berloncatan cepat menuju ke utara. Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi rintangan dan akhirnya ia tiba di lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh tujuh orang yang mukanya berwarna biru muda. Mereka berpakaian seragam dan membentuk barisan sembilan kali tiga, bersenjatakan tombak panjang yang ada rantainya di ujung. Suma Han sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para anak buah Pulau Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh orang bermuka biru muda, Suma Han mengomel di dalam hatinya.

   "Orang-orang Pulau Neraka sungguh memandang rendah kepadaku!"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebagai To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau kedatangannya hanya disambut oleh pasukan bermuka biru muda, warna yang tentu hanya menduduki tingkat ke empat atau ke lima. Maka diapun tidak mau bicara me-layani mereka, melainkan terus saja melangkah dengan kaki tunggalnya ke depan seolah-olah dua puluh tujuh orang itu hanya arca arca yang tidak bernyawa dan tidak ada artinya! Melihat sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara mereka berseru aneh memberi aba aba dan tiga pasukan dari sembilan orang berjumlah dua puluh tujuh orang itu menggerakkan senjata,

   Ada yang menyerang dengan tombak, ada pula yang membalikkan tombak dan menyabet dengan rantai baja di ujung gagang tombak. Serangan mereka amat cepat dan kuat sehingga terdengar angin bersuitan me-nyambar ke arah Suma Han yang menjadi sasaran dari tombak tombak runcing dan rantai rantai berat itu. Namun, Suma Han masih berloncatan terus ke depan seolah-olah tidak peduli akan serangan mereka, akan tetapi setelah senjata senjata itu datang dekat, dia memutar tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk ketika semua senjata itu bertemu tongkat, bertemu dan terus melekat, rantai membelit belit tongkat dan ujung tombak tak dapat ditarik kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan senjata karena telapak tangan mereka terasa dingin membeku.

   Yang bersikeras mempertahankan senjatanya, menjerit dan memegangi tangan yang terpaksa melepaskan tombak karena kulit telapak tangan mereka berdarah! Dengan tenang Suma Han melangkah terus, menggerakkan tongkatnya dan belasan batang tombak terpelanting ke kanan-kiri, terpelanting keras sekali, ada yang meluncur seperti anak panah dan hilang di antara pohon pohon, ada pula yang menancap di atas tanah sampai setengahnya lebih! Mereka yang telah menyerang, belasan orang itu, merintih rintih, dan mereka yang belum menyerang berdiri bengong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Karena maklum bahwa menyerang seperti kawan kawannya tadi tidak akan berhasil sedangkan lawan telah melewati hadangan pasukan mereka, belasan orang sisa yang kehilangan tombak lalu menggerakkan tombak mereka,

   Melontarkan kuat kuat sehingga kini ada belasan yang meluncur ke depan, mengeluarkan suara berdesing menyerang ke arah tubuh belakang Suma Han! Seperti tadi, Suma Han tenang tenang saja, tidak menengok sama sekali sehingga seolah-olah sekali ini dia akan celaka oleh belasan batang tombak yang meluncur secara kuat, cepat dan tepat ke arah punggungnya. Akan tetapi setelah ujung tombak tombak itu tinggal beberapa senti lagi dari punggungnya, tubuhnya membalik, tangan kanannya mengibas ke depan dan.... belasan batang tombak itu runtuh dan semua menancap ke atas tanah di depan kakinya, berjajar jajar rapi seperti diatur. Kemudian ia membalikkan tubuh lagi dan berjalan maju terpincang pincang dibantu tongkatnya, tenang seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

   "Pendekar Siluman.... kepandaiannya seperti iblis...."

   Pasukan muka biru muda itu berbisik dan saling pandang dengan mata terbelalak. Kini pada sebuah tikungan, Suma Han melihat sebuah pasukan lain lagi, pasukan yang terdiri dari dua kali sembilan orang bermuka hijau pupus. Hemm, pikirnya, setingkat lebih tinggi, akan tetapi tetap saja dia tidak puas dan merasa dipandang rendah. Dia dapat menduga bahwa tingkat tertinggi tentu berwarna putih, dan warna yang mendekati putih adalah warna kuning. Kalau Si Ketua merasa terlalu tinggi untuk menghadang sendiri, sedikitnya dia harus mengutus tokoh-tokoh bermuka kuning untuk meng-hadapinya. Akan tetapi muka hijau pupus? Hemmm, kalian terlalu memandang rendah To cu Pulau Es, padahal orang-orang Pulau Neraka dahulunya hanyalah orang-orang buangan dari Pulau Es!

   "Haiii! Berhenti! Apakah yang datang ini Pendekar Siluman dari Pulau Es?"

   Seorang di antara mereka bertanya. Akan tetapi, seperti juga tadi, Suma Han tidak mau melayani mereka bicara melainkan melangkah maju terpincang-pincang ke depan, tidak mempedulikan delapan belas orang yang bersenjata masing-masing sebatang golok besar itu, sedangkan tangan kiri mereka siap mendekati kantung di pinggang yang ia duga tentu berisi senjata rahasia berbisa!

   Melihat sikap Suma Han, delapan belas orang itu lalu membuka barisan dan mengurung. Akan tetapi sikap tidak peduli dari Pendekar Super Sakti itu membuat mereka hati-hati sekali sehingga kurungan itu mengikuti gerakan Suma Han yang melangkah maju. Tiba-tiba seorang diantara mereka berseru keras dan terdengar goloknya berdesing menyambar, diikuti oleh golok golok lain yang menyambar secara berturut-turut. Hemm, kepandaian mereka ini sedikitnya tiga kali lipat daripada tingkat pasukan pertama yang bermuka biru muda tadi, pikir Suma Han. Ketika semua golok menyerangnya, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga delapan belas orang yang tiba-tiba kehilangan lawan itu mengira dia pandai menghilang! Akan tetapi mereka segera melihat ke atas dan delapan belas buah tangan kiri bergerak.

   "Ciat ciat ciatt!"

   Belasan batang pisau hitam mencuat gemerlapan melayang ke arah seluruh bagian tubuh Suma Han.

   "Trang-cring cring trang....!"

   Semua pisau itu terpental dan melayang jauh ke segenap penjuru karena ditangkis oleh segulung sinar dari tongkat yang diputar sedangkan tubuh Suma Han sudah melayang turun lagi. Delapan belas orang itu kembali menerjang, sinar golok mereka berkeredepan menyilaukan mata.

   Suma Han memutar tongkatnya sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara hiruk pikuk dan setelah suara itu lenyap, delapan belas orang itu berdiri bengong memandangi gagang golok di tangan yang sudah tidak ada goloknya lagi karena senjata mereka telah patah semua! Ketika mereka memandang ke depan, mereka melihat pendekar kaki buntung itu sudah berloncatan ke depan. Mereka tidak berani mengejar karena selain mereka maklum bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan pendekar itu, juga di depan terdapat pasukan penjaga lain yang lebih tinggi tingkatnya. Kini Suma Han melihat pasukan terdiri dari sembilan orang yang bermuka merah muda, yaitu tiga wanita dan enam pria, masing-masing memegang senjata Siang kiam (Sepasang Pedang).

   "To cu dari Pulau Es, perlahan dulu!"

   Seorang di antara mereka yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan berambut panjang riap riapan sampai ke pundak, menegurnya.

   "Kalian ini anak buah Pulau Neraka tingkat berapakah?"

   Suma Han bertanya, sikapnya tenang dan dingin dengan suara yang dikeluarkan sambil mengerahkan Im kang sehingga sembilan orang yang mendengar suara ini, tergetar jantungnya dan menggigil kedinginan. Akan tetapi dengan pengerahan sin-kang, mereka dapat mengusir rasa dingin itu dan kini pasukan itu terpecah menjadi tiga, masing-masing tiga orang, seorang wanita dan dua orang pria, lalu tiga rombongan kecil ini mengurung Suma Han dari depan, kanan dan kiri.

   "Kami adalah murid murid tingkat dua!"

   Jawab kakek itu.

   "Hemm, Ketua kalian membuang-buang waktu saja. Mengapa tidak dia sendiri saja yang maju untuk melawan aku agar lebih cepat dibuktikan siapa yang lebih kuat?"

   "Orang muda yang sombong!"

   Seorang wanita di rombongan sebelah kirinya menudingkan pedang. Wanita itu usianya sekitar empat puluh tahun, cantik akan tetapi sinar matanya liar dan ganas.

   "Biarpun engkau To cu Pulau Es, akan tetapi engkau masih muda, kakimu buntung, tidak selayaknya bersikap sombong seperti itu. Lihat pedang!"

   Wanita itu sudah menyerang, disusul dua orang temannya. Melihat gerakan mereka, Suma Han terheran. Itulah jurus ilmu pedang dari kitab kitab peninggalan Koai-Lojin atau Kam Han Ki di Pulau Es! Jurus yang ampuh akan tetapi sayang bahwa gerakan mereka kurang sempurna.

   "Hemmm, mengapa begitu melakukan jurus Siang-liong-jio seng (Sepasang Naga Berebut Bintang)?"

   Dengan tongkatnya ia menangkis enam batang pedang itu, tangan kanannya meraih dan secara aneh sekali sepasang pedang di tangan wanita galak itu telah pindah ke tangan Suma Han! Pendekar ini menancapkan tongkatnya dan memutar sepasang pedang dengan kedua tangan.

   "Beginilah mestinya! Dalam perebutan antara sepasang naga, yang kanan harus mengalah karena biasanya lawan memperhatikan tangan kanan sehingga yang kiri dapat melakukan serangan tiba-tiba yang mengacaukan lawan. Jangan menitik beratkan gerakan pedang kanan!"

   Sementara itu, delapan orang yang melihat betapa senjata seorang kawan mereka terampas dan yang dua orang lagi terpental ketika ditangkis kini cepat menerjang dengan pedang mereka. Suma Han masih terus menggerakkan sepasang pedang dengan jurus Siang liong jio seng yang amat dikenal oleh mereka itu dan anehnya, biarpun mereka mengenal baik jurus ini, berturut turut mereka berseru kaget karena terdengar kain robek dan tiba-tiba tubuh lawan yang dikepung itu berkelebat lenyap, yang tinggal hanya sepasang pedang rampasan itu menancap di tanah,

   Dan ketika mereka saling pandang, tampaklah betapa pakaian mereka telah robek dan berlubang di dua tempat, yaitu di ulu hati dan perut! Sebagai ahli ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya, sembilan orang bermuka merah muda ini maklum bahwa kalau Pendekar Siluman menghendaki, mereka tentu telah roboh dengan jantung tertembus pedang dan sudah tewas semua! Maka mereka hanya dapat menghela napas dan memandang pendekar kaki buntung yang kini telah berjalan terpincang pincang menuju ke penjagaan terakhir, yaitu empat orang kakek bermuka kuning. Empat orang kakek itu usianya rata-rata sudah lima puluh tahun lebih, sikapnya gagah dan angker, pakaiannya sederhana, dengan jubah panjang dan rambut serta jenggot mereka panjang,

   Kaki mereka telanjang tak bersepatu den tangan mereka hanya bersenjatakan sebatang tongkat kecil yang panjangnya satu setengah meter, terbuat dari kayu hitam atau ranting yang lemas. Melihat keadaan ini, Suma Han bersikap hati-hati karena dia dapat menduga bahwa tentu empat orang kakek ini adalah tokoh-tokoh tingkat satu, hanya di bawah Sang Ketua dan telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia merasa heran mengapa jumlah mereka ada empat orang, tidak enam atau tiga karena semenjak pasukan pertama, penghuni Pulau Neraka itu menggunakan bentuk barisan tiga bintang yang dapat diluaskan menjadi masing-masing pasukan sembilan orang namun pada dasarnya masih mempergunakan bentuk barisan tiga bintang dengan gerakan segi tiga.

   Dia tidak tahu bahwa sebetulnya jumlah tokoh tingkat satu bermuka kuning itu ada enam orang, yang seorang telah meninggal dunia sedangkan yang seorang lagi kini sedang merantau atas perintah Ketua mereka untuk menyelidiki keadaan kang ouw yang geger karena hilangnya pusaka-pusaka yang diperebutkan setelah pasukan Pulau Neraka mengalami kegagalan di muara Sungai Huang ho dahulu. Oleh karena itu, kini hanya tinggal empat orang saja yang menghadapinya sebagai penjagaan terakhir dan mereka pun kini menjaga di depan bangunan besar yang menjadi istana dari majikan Pulau Neraka. Setelah melayangkan pandang ke arah istana hitam yang angker itu, Suma Han lalu menghadapi empat orang itu dan berkata,

   "Melalui garuda betina peliharaanku, Pulau Neraka telah mengundang aku datang, dan sekarang aku datang untuk menjemput muridku. Harap Su wi Lo-cianpwe suka menyampaikan kepada To-cu Pulau Neraka agar mengembalikan muridku kepadaku."

   Empat orang kakek itu memandang dengan penuh perhatian, memandang pendekar buntung itu dari kaki sampai ke kepala dengan penuh takjub karena baru sekarang mereka melihat pendekar yang terkenal di seluruh dunia itu, yang ternyata tidak kelihatan luar biasa, bahkan hanya merupakan seorang pemuda yang cacad! Betapapun juga, melihat sikap dan sinar matanya, mereka bergidik dan maklum bahwa pemuda di depan mereka ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Seorang di antara mereka yang rambutnya sudah hampir putih semua, segera mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata,

   "To cu dari Pulau Es sudah dapat tiba di sini membuktikan bahwa nama besarnya bukan omong kosong belaka. Akan tetapi, sudah menjadi tugas kami untuk menjaga di sini dan kalau To cu hendak menjemput murid dan bertemu dengan To cu kami, harus melalui tongkat kecil kami."

   Suma Han mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.

   "Hemm.... agaknya To cu Pulau Neraka terlalu memandang rendah orang! Kalian hendak menguji kepandaianku? Nah, lihat baik baik, biarpun kalian berempat, apakah aku kalah banyak?"

   Suara Suma Han mengandung getaran yang dahsyat dan berpengaruh. Tiba-tiba empat orang kakek itu memandang terbelalak dan bingung karena di depan mereka kini bukan hanya ada seorang pemuda kaki buntung, melainkan pemuda itu telah berubah menjadi delapan orang kembar! Tentu saja mereka terkejut sekali dan betapa pun mereka mengerahkan sin-kang untuk melawan pengaruh mujijat itu, tetap saja pandangan mereka tidak berubah, lawan telah menjadi dua kali lipat lebih banyak daripada jumlah mereka! Karena bingung, empat orang kakek itu lalu menggerakkan ranting di tangan mereka, menghantam Suma Han yang terdekat.

   Akan tetapi, biarpun ranting mereka mengenai tepat tubuh lawan, mereka seolah-olah menghantam bayangan saja dan ranting itu "lewat"

   Menembus tubuh orang yang diserang. Hal ini memang tidak mengherankan karena yang mereka serang itu bukanlah tubuh Suma Han yang aseli, melainkan bayangan yang timbul karena pengaruh kekuatan ilmu merampas semangat dan pikiran orang yang dilakukan Suma Han. Selagi mereka terheran-heran, Suma Han yang aseli telah menggerakkan tongkatnya, empat kali menotok dan empat orang kakek itu mengeluh dan jatuh terduduk di atas tanah dalam keadaan lumpuh! "Sudah kalian lihat kepandaian To cu dari Pulau Es?"

   Suma Han berkata dan kini empat orang kakek melihat bahwa lawannya hanya seorang saja, berdiri di depan mereka, bersandar pada tongkat dan tangan kanan bertolak pinggang! Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam istana hitam yang daun pintunya tertutup itu,

   "Kalau To cu Pulau Es memang gagah perkasa dan super sakti, jangan mengandalkan ilmu siluman!"

   Suma Han memandang ke arah pintu istana hitam itu dengan mata terbelalak saking herannya. Tadinya ia mengira bahwa melihat keadaan empat orang kakek tingkat satu ini, tentu To cu dari Pulau Neraka merupakan seorang kakek yang menyeramkan dan lebih mendekati iblis daripada manusia. Akan tetapi suara yang keluar dari istana hitam itu, yang ia duga tentulah seorang To cu pulau itu, adalah suara seorang wanita, suara yang nyaring dan merdu!

   Bukan suara seorang kakek kasar, juga pasti bukan suara seorang nenek nenek karena suara seperti itu tentu hanya dimiliki seorang wanita yang masih muda. Mungkinkah ini? Mungkinkah Ketua atau Majikan Pulau Neraka seorang wanita muda? Suma Han tidak akan percaya kalau saja dia tidak teringat akan Ketua Thion liong pang. Bukankah Ketua Thian liong pang yang berkerudung itu pun wanita muda dan yang dia kini yakin tentu Lulu, adik angkatnya? Kalau benar demikian, maka dua perkumpulan yang paling terkenal dan kuat kini dipimpin oleh wanita wanita muda! Benar benar merupakan hal yang sukar dipercaya. Betapapun juga, mendengar ucapan itu wajahnya menjadi merah. Dia tadi memang mempergunakan kekuatan batinnya yang menguasai empat orang lawan melalui sinar mata dan suaranya dan hal itu dia lakukan hanya karena dia enggan bertanding melawan mereka.

   

Pendekar Super Sakti Eps 18 Pendekar Super Sakti Eps 34 Pendekar Super Sakti Eps 16

Cari Blog Ini