Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 14


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Nirahai.... benarkah ini? Dia.... dia ini.... anakku....?"

   Nirahai mengangguk, mengusap air matanya.

   "Ketika kita saling berpisah.... aku mengandung dan.... terlahirlah Milana.... anak kita...."

   "Nirahai, engkau kejam, engkau tidak adil. Diam-diam saja engkau memelihara anak kita sampai begini besar. Tidak memberitahukan kepadaku, tidak menyusulku. Betapa kejam engkau."

   Nirahai meloncat bangun, pandang matanya penuh penasaran.

   "Siapa yang kejam? Engkaulah yang kejam, lemah dan canggung! Engkau tidak pernah mencariku, tidak pernah menyusulku ke Mongol!"

   Melihat ayah bundanya cekcok, Milana yang berada di pondongan ayahnya itu berkata.

   "Ayah, marilah engkau ikut bersama kami...."

   "Dan menjadi seorang Pangeran Mongol? Ha-ha, nanti dulu! Aku tidak sudi! Semestinya ibumu yang ikut bersamaku ke Pulau Es. Nirahai, maukah engkau?"

   Akan tetapi Nirahai memandang dengan muka merah dan berapi.

   "Tidak sudi! Kini aku tidak mau menyembah-nyembah minta kau bawa. Dan hanya dengan paksaan saja engkau akan dapat membawaku ke sana. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kau biarkan, seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah! Milana, mari kita pergi!"

   "Tidak boleh, Nirahai. Milana ini anakku. Sudah terlalu lama dia kau pelihara sendiri, terlalu lama kau pisahkan dari Ayahnya. Aku akan membawa dia, tak peduli engkau suka ikut atau tidak!"

   "Ayah....! Aku tidak mau meninggalkan Ibu!"

   Milana merosot turun dari pondongan dan hendak lari kepada ibunya. Akan tetapi Suma Han mendengus marah, lengan kanannya menyambar tubuh Milana, dikempitnya dan dia lalu pergi dengan cepat meninggalkan Nirahai.

   "Han Han....!"

   Nirahai menjerit dan mengejar. Namun Suma Han tidak peduli, wajahnya keruh, matanya hampir terpejam, kaki tunggalnya melangkah terus ke depan.

   "Lepaskan aku! Ayahhhh.... aku tidak mau meninggalkan Ibu....!"

   Milana menjerit-jerit. Akan tetapi Suma Han terus saja melangkah tanpa mempedulikan jerit anaknya. Tiba-tiba Bun Beng meloncat dan menghadang di depan Suma Han, berdiri tegak dan suaranya nyaring penuh rasa penasaran,

   "Suma-Taihiap! Seorang pendekar seperti Taihiap tidak boleh berlaku begini! Memisahkan anak dari ibunya adalah perbuatan jahat! Kalau Taihiap berkepandaian, mengapa tidak membawa Ibunya sekalian?"

   Suma Han terbelalak, mukanya berubah merah saking marahnya.

   "Gak Bun Beng! Engkau anak tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-touw-kwi Gak Liat, berani engkau bersikap seperti ini kepadaku! Sebelum menutup mata, Ibumu berpesan kepadaku untuk menyelamatkanmu, dan sekarang engkau mengatakan aku jahat?"

   Jantung Bun Beng seperti ditusuk-tusuk mendengar ucapan ini. Ayahnya seorang datuk kaum sesat? Dia anak tidak syah? Tidak ada ucapan yang lebih menyakiti hatinya dari pada ini dan tidak ada kenyataan yang akan lebih menghancurkan hatinya. Namun kekerasan hati Bun Beng membuat ia tetap berdiri tegak dan berkata,

   "Keturunan orang macam apa adanya aku, Suma-Taihiap, tetap saja aku melarang engkau memisahkan Milana dari Ibunya! Biar akan kau bunuh aku siap!"

   Sikap Bun Beng gagah sekali biarpun kedua matanya kini mengalirkan butiran-butiran air mata.

   "Han Han....! Kau bunuh aku dulu sebelum melarikan anakku!"

   Nirahai telah meloncat menghadang pula di depan Suma Han, mencabut sebatang pedang siap untuk mengadu nyawa! Juga kedua mata wanita cantik ini bercucuran air mata.

   "Paman....!"

   Kwi Hong yang sejak tadi memandang dengan tubuh gemetar saking tegang hatinya, kini berani meloncat keluar dan menghampiri Suma Han, berlutut sambil menangis.

   "Ayah.... aku tidak mau berpisah dari Ibu....!"

   Milana yang masih dikempit oleh lengan ayahnya itu pun meratap sambil menangis. Suma Han berdiri seperti berubah menjadi arca. Suara isak tangis menusuk-nusuk telinganya terus ke hati, linangan air mata seperti butiran-butiran mutiara itu mempesonanya. Kekuatan batin dan kekerasan hatinya mencair, seperti salju tertimpa sinar matahari. Tidak ada suara bagi manusia di dunia ini melebihi kekuasaan suara tangis! Tangis adalah suara jeritan hati dan jiwa.

   Tangis adalah suara pertama yang dikenal dan suara pertama yang keluar dari mulut manusia. Tangis merupakan suara pertama dari manusia tanpa dipelajarinya. Begitu terlahir, suara pertama dari manusia adalah tangis. Tangis merupakan suara langsung dari dalam sehingga setiap orang anak yang terlahir di segenap penjuru dunia mempunyai suara tangis yang sama. Tangis adalah satu-satunya suara yang mampu menembus jantung dan menyentuh batin manusia, juga dengan ratap tangis orang berusaha menghubungkan diri dengan Tuhan! Lemas seluruh urat syaraf di tubuh Suma Han mendengar isak tangis empat orang manusia itu. Tubuh Milana dilepaskan dan anak ini berlari kepada ibunya, merangkul dan menangis. Nirahai lalu memondong puterinya, memandang kepada Suma Han dan berkata,

   "Selama engkau masih menjadi seorang laki-laki yang berwatak lemah, aku tidak akan sudi turut bersamamu bahkan aku akan mengimbangi kerajaanmu di Pulau Es!"

   Setelah berkata demikian, Nirahai meloncat dan berlari cepat sekali, sebentar saja lenyap dari situ. Suma Han menundukkan mukanya. Untuk ke dua kalinya dia terpukul. Pertama kali ketika bertemu dengan Lulu yang kini menjadi Majikan Pulau Neraka. Dia dicela dan dimarahi. Kini, bertemu dengan isterinya, Nirahai, kembali dia dicela dan dimusuhi. Benar-benar dia tidak mengerti isi hati wanita!

   "Kwi Hong, kita pulang!"

   Dia berkata, menggandeng tangan Kwi Hong dan berlari pergi cepat. Bun Beng menjadi bengong. Dia tidak menyesal ditinggal seorang diri, akan tetapi dia masih merasa sakit hatinya mendengar ucapan Suma Han tadi. Masih terngiang di telinga kata-kata pendekar yang tadinya amat dikaguminya itu,

   "Engkau anak tidak syah dari datuk kaum sesat Kang-thouw-kwi Gak Liat!"

   Bun Beng menunduk, mencari-cari jawaban ke bawah akan tetapi rumput dan tanah yang diinjaknya tidak dapat memberi jawaban. Ayahnya seorang datuk kaum sesat? Dan dia anak tidak syah? Apa artinya ini? Ah, mengapa aku menjadi lemah begini? Apa peduliku tentang asal-usulku?

   Aku adalah seorang manusia, dan aku menjadi manusia bukan atas kehendakku! Aku sudah ada dan aku harus bangga dengan keadaanku, harus berjuang mempertahankan keadaanku dan menyempurnakan keadaanku! Mereka itu pun hanya manusia-manusia yang ternyata bukan terbebas daripada derita, bukan bersih daripada cacad! Kekalahanku dari orang-orang sakti seperti Pendekar Siluman, isterinya, pencuri pedang, dan kakek-kakek sakti seperti mendiang Nayakavhira dan Maharya tadi hanyalah kalah pandai dalam penguasaan ilmu! Akan tetapi ilmu dapat dipelajari! Mereka semua itu, dahulu sebelum mempelajari ilmu pun tidak bisa apa-apa seperti dia! Dan dia masih muda, apalagi sedikit-sedikit per-nah mempelajari ilmu, dan ada kitab yang telah dihafal namun belum dilatihnya dengan sempurna, ada sepasang pedang yang disembunyikan di puncak tebing.

   Sepasang pedang pusaka! Pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, seperti pedang yang dibuat oleh Suma Han. Jangan-jangan itu adalah Sepasang Pedang Iblis yang mereka cari-cari bahkan yang khusus dibuatkan pedang lawannya oleh Nayakavhira. Biarlah. Biar, andaikata sepasang pedang itu adalah Sepasang Pedang Iblis, kelak dia akan memperlihatkan kepada dunia bahwa di tangannya, sepasang pedang itu tidak akan menjadi senjata yang dipakai melakukan perbuatan jahat! Bangkit semangat Bun Beng dan mulailah dia meninggalkan tempat itu untuk kembali ke Siauw-lim-pai. Dia harus melapor akan kematian suhunya kepada pimpinan Siauw-lim-si dan mempelajari ilmu dengan tekun karena menurut penuturan mendiang suhunya,

   Kalau mempelajari benar-benar secara sempurna dan memang ada jodoh ilmu silat dari Siauw-lim-pai tidak kalah oleh ilmu silat lain di dunia ini. Pernah gurunya bercerita tentang tokoh Siauw-lim-pai bernama Kian Ti Hosiang yang memiliki tingkat kepandaian luar biasa tingginya sehingga saking tinggi ilmu kepandaiannya, sampai tidak mau lagi melayani orang bertanding, bahkan tidak mau membalas andaikata dia dilukai atau dibunuh sekalipun! Pernah pula gurunya bercerita tentang manusia dewa Bu Kek Siansu yang selain tidak mau bertempur melukai apalagi membunuh orang lain, bahkan sering kali menurunkan ilmunya kepada siapa saja yang kebetulan bertemu dengannya, yang dianggap sudah jodoh, tanpa memandang apakah orang itu termasuk golongan baik ataupun jahat, bersih ataupun kotor!

   Sikap manusia dewa ini seperti sikap kasih sayang alam, di mana sinar matahari tidak menyembunyikan sinarnya dari atas kepada orang jahat maupun orang baik, di mana pohon-pohon tidak menyembunyikan bunga dan buahnya dari uluran tangan orang jahat maupun orang baik! Kemudian gurunya bercerita pula tentang manusia aneh Koai-lojin yang kabarnya malah masih suka muncul biarpun belum tentu ada seorang di antara sepuluh ribu tokoh kang-ouw yang dijumpai manusia aneh ini, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang seperti dewa pula namun tidak mau bertempur, melukai, apalagi membunuh orang. Dia masih muda. Dunia masih lebar. Masa depannya masih terbentang luas. Mengapa langkah hidupnya harus terhalang oleh masa lalu mengenai diri orang tuanya! Baik maupun jahat orang tuanya, biarlah. Hal itu sudah lalu dan yang ia hadapi adalah masa depan.

   Masa lalu penuh kejahatan akan tetapi masa depan penuh kebaikan, bukankah hal itu jauh lebih menang daripada masa lalu penuh kebaikan namun masa depan penuh kejahatan? Apa arti bersih masa lalu akan tetapi amat kotor di masa depan, dan biarlah dia menganggap masa lalu sebagai alam mimpi, sungguhpun dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di masa lalu, yang terjadi dengan ayah bundanya. Makin dijalankan pikirannya, makin lapanglah dadanya dan langkahnya pun tegap, wajahnya berseri dan sepasang matanya bersinar. Setelah dia berhasil tiba di kuil Siauw-lim-si dan menceritakan tentang kematian suhunya, berita ini diterima dingin oleh para hwesio pimpinan Siauw-lim-pai yang menganggap bahwa kakek itu sudah bukan seorang anggauta Siauw-lim-pai lagi.

   Akan tetapi mengingat bahwa Gak Bun Beng adalah putera seorang tokoh wanita Siauw-lim-pai, dan betapapun juga Siauw Lam Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berilmu tinggi, para pim-pinan Siauw-lim-pai tidak berkeberatan menerima Bun Beng. Pemuda cilik itu mulai berlatih dengan giat disamping bekerja keras seperti yang pernah dilakukan gurunya, yaitu menjadi pelayan, tukang kebun, dan pekerjaan apa saja untuk melayani keperluan kuil dan membantu para hwesio. Nirahai, bekas puteri Raja Mancu yang berwatak keras dan berilmu tinggi itu kini sudah berhenti menangis. Kekerasan hatinya dapat menindih kedukaan dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menghadapi orang yang dicintanya namun yang selalu mengalah dan berwatak lemah itu dengan kekerasan. Di tengah jalan, dia menurunkan puterinya untuk memakai sebuah kerudung menutupi kepalanya. Melihat ini, Milana terkejut dan heran.

   "Ibu, mengapa Ibu memakai itu?"

   Dari dalam kerudung itu terdengar jawaban suara dingin seolah-olah ibunya telah berubah tiba-tiba setelah berkerudung,

   "Milana, mulai saat ini engkau akan turut bersamaku, tidak akan kembali ke Mongol lagi. Ketahuilah, ibumu adalah Ketua Thian-liong-pang dan tidak seorang pun boleh melihat mukaku kecuali engkau."

   Milana memandang kepala berkerudung itu dengan mata terbelalak,

   "Ibu....! Engkau Ketua Thian-liong-pang yang terkenal itu....? Akan tetapi mengapa....?"

   Hati anak ini ngeri karena Thian-liong-pang disohorkan sebagai perkumpulan yang tidak segan-segan melakukan segala macam kekejaman sehingga ditakuti dunia kang-ouw.

   "Diamlah. Kalau kita tidak kuat, orang tidak akan memandang kepada kita! Engkau ikut bersamaku dan belajar ilmu sampai melebihi Ibumu. Hayo!"

   Dia menggandeng tangan Milana dan lari cepat sekali.

   Adapun Suma Han yang membawa lari murid atau keponakannya, di sepanjang jalan tidak pernah bicara. Wajahnya muram dan dalam beberapa pekan saja bertambah garis-garis derita pada wajahnya. Karena sepasang burung garuda sudah tewas, mereka melakukan perjalanan darat dan setelah tiba di pantai, Suma Han mencari sebuah perahu yag dibelinya dari nelayan, kemudian memperkuat perahu dan mulailah dia berlayar bersama Kwi Hong menuju ke pulau tempat tinggalnya, yaitu Pulau Es. Dalam pelayaran ini, barulah Suma Han mengajak bicara keponakannya. Dia mendengarkan cerita Kwi Hong tentang peristiwa yang terjadi di hutan, betapa pencuri pedang pusaka adalah seorang siucai gila yang lihai sekali, bahkan siucai itu tadinya menculiknya yang kemudian dikalahkan oleh Nirahai dan melari-kan diri membawa pedang pusaka.

   "Aihhhh.... kiranya dia....!"

   Suma Han menghela napas penuh penyesalan karena segala yang dialaminya di masa dahulu agaknya hanya menimbulkan bencana saja bagi dirinya sendiri dan orang lain. Apakah dia yang harus menebus dosa yang dilakukan nenek moyangnya, keluarga Suma yang luar biasa jahatnya?

   "Apakah Paman mengenal Siucai gila itu?"

   "Banyak yang sudah kau ketahui, Kwi Hong. Engkau tentu mengenal siapa Pamanmu sekarang, seorang yang penuh noda dalam hidupnya. Orang gila itu agaknya tidak salah lagi tentu yang disebut Tan-siucai dan menjadi murid Maharya. Aku belum pernah melihat orangnya, akan tetapi namanya sudah kudengar."

   "Paman, dia bilang bahwa Paman telah membunuh kekasihnya, tunangan atau calon isterinya. Tentu Si Gila itu bohong!"

   Suma Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

   Terbayang di depan matanya seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, yang dalam keadaan hampir tewas karena tubuhnya penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh tubuh, berbisik dalam pelukannya bahwa gadis itu rela mati untuknya karena gadis itu mencintanya. Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li, murid Im-yang Seng-cu yang perkasa, yang telah berkorban untuk dia, dan sebelum menghembuskan napas terakhir mengaku cinta. Gadis itu adalah tunangan Tan-siucai! Dia sudah diberi tahu oleh Im-yang Seng-cu, akan tetapi tadinya dia tidak peduli. Siapa mengira, begitu muncul Tan-siucai telah mencuri pedang pusaka, hampir berhasil menculik Kwi Hong, dan gurunya demikian saktinya sehingga kalau dia tidak memiliki kekuatan batin yang kuat, agaknya dia akan tewas di tangan Maharya!

   "Dia tidak membohong, Kwi Hong. Biarpun aku tidak membunuh tunangannya, akan tetapi dapat dikatakan bahwa tunangannya itu tewas karena membela aku. Ahh, sungguh aku menyesal sekali. Akan tetapi, kalau Tan-siucai sudah menjadi gila, dia telah merampas pedang pusaka, dia berbahaya sekali. Pedang itu sengaja dibuat untuk menundukkan Sepasang Pedang Iblis."

   "Kenapa Paman hendak pulang? Bukankah lebih baik mengejar dia sampai berhasil merampas kembali pedang itu?"

   Kembali Suma Han menggeleng kepala.

   "Semangatku lemah, aku tidak mempunyai nafsu untuk berbuat apa-apa, kecuali pulang dan beristirahat. Kwi Hong, mulai sekarang engkau harus berlatih diri dengan tekun dan rajin. Tugasmu di masa mendatang amat berat dengan munculnya banyak orang pandai. Jangan sekali-kali kau melarikan diri dari pulau lagi karena aku tidak akan mengampunkanmu lagi."

   Demikianlah, dengan semangat lemah dan hati remuk akibat pertemuan-pertemuannya dengan Lulu dan Nirahai, dua orang wanita yang dicintanya, yang pertama karena dicintanya semenjak kecil, yang ke dua karena telah menjadi isterinya, bahkan menjadi ibu dari anaknya, Suma Han mengajak keponakannya pulang ke Pulau Es. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk tidak mencampuri urusan luar, hanya melatih diri dan memperkuat penjagaan di pulau sendiri. Kemudian, mulai hari itu dia melatih ilmu kepada Kwi Hong dengan penuh ketekunan sehingga anak perempuan ini memperolah kemajuan yang pesat sekali. Semenjak jatuhnya pertahanan terakhir dari Bu Sam Kwi di Se-cuan sebagai sisa kekuatan dari Kerajaan Beng-tiauw yang jatuh beberapa tahun setelah Bu Sam Kwi tewas, yaitu pada tahun 1681, terjadilah perubahan besar di daratan Tiongkok yang kini dikuasai seluruhnya oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang dipimpin oleh Bangsa Mancu.

   Sebentar saja kekuatan bangsa Mancu makin berakar dan lambat laun makin berkuranglah rasa kebencian dan permusuhan dari rakyat terhadap pemerintah penjajah ini. Hal ini adalah terutama sekali disebabkan bangsa Mancu amat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan di Tiongkok. Mereka itu biarpun menjadi penjajah menyaksikan kenyataan betapa besar dan hebat kebudayaan daratan yang dijajahnya, menerima kebudayaan itu bahkan melebur diri mereka seperti kedaan para pribumi. Mereka mempelajari bahasa pribumi, bahkan anak isterinya mempergunakan bahasa ini sehingga dalam satu keturunan saja anak-anak mereka sudah tidak pandai lagi berbahasa Mancu dan menganggap bahasa Han sebagai bahasa me-reka sendiri!

   Kerajaan Ceng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa Mancu ini makin berkembang dan mencapai puncak kecemerlangannya di bawah pimpinan Kaisar Kang Hsi yang memerintah dari tahun 1663 sampai 1722. Kaisar ini adalah seorang ahli negara yang cakap, pandai dan bijaksana. Di samping ini dia pun seorang ahli perang yang mengagumkan sehingga semua operasinya berhasil dengan baik, juga tidak terdapat rasa tidak puas di antara petugas-petugas bawahannya. Di samping ini, dia pun penggemar kebuda-yaan sehingga berhasil menarik pula hati para sasterawan pribumi yang mendapat penghargaan dalam bidangnya. Di bawah pimpinan Kaisar ini, Tiongkok mencapai kekuasaan yang amat besar, jauh lebih besar daripada kerajaan-kerajaan sebelumnya dan kiranya malah lebih besar daripada keadaan Tiongkok di waktu Kerajaan Tang.

   Pertama-tama Kaisar Kang Hsi mengerahkan perhatian untuk membasmi gerombolan-gerombolan dan pemberontak-pemberotak, menghabiskan semua perlawanan sehingga perang dihentikan dan keamanan dapat dikembalikan. Dalam keadaan aman, rakyat dapat bekerja dengan tenang dan pembangunan dapat dilaksanakan sebaiknya. Namun, setelah gerombolan-gerombolan di dalam negeri dapat ditumpas semua, Kaisar Kang Hsi harus menghadapi perlawanan dari negara-negara tetangga yang tidak mengakui kedaulatan kerajaan baru ini. Maka dikirimnyalah tentara besar sampai jauh ke selatan dan barat daya sehingga banyak negara di selatan dan barat daya ditundukkan dan terpaksa mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng,

   Bahkan mengaku takluk dan setiap tahun membayar atau mengirim upeti sebagai tanda takluk. Di antara negara-negara ini termasuk Afganistan, Kasmir, Birma, Muangthai, Vietnam, Kamboja, bahkan termasuk pula Malaysia! Akan tetapi, selagi Kaisar Kang Hsi sibuk mengatur kesejahteraan dalam negeri untuk memakmurkan kehidupan rakyat yang baru saja dilanda perang itu, meningkatkan dan memperkembangkan kesenian melukis, sastera, dan lain-lain di samping mempergiat pembangunan, datang lagi gangguan yang memaksa Kaisar ini menggerakkan bala tentara dan mencurahkan sebagian perhatiannya ke utara, di mana bangsa Mongol mulai bergerak dan memberontak terhadap pemerintah Mancu. Seperti telah diceritakan dan menjadi catatan sejarah, ketika bangsa Mancu mulai bergerak ke selatan,

   Mereka dibantu dengan gigih oleh bangsa Mongol sebagai bangsa yang pernah lama menjajah Tiongkok dan masih ingin menguasai kembali bekas tanah jajahan itu. Karena kekuatannya sendiri sudah hancur, bangsa Mongol tahu diri dan membonceng bangsa Mancu, namun harus diakui bahwa kekuatan bala tentara menjadi amat besar dan hebat berkat bantuan pasukan-pasukan Mongol ini. Akan tetapi, setelah bangsa Mancu berkuasa dan membangun Kerajaan Ceng, dengan tidak melupakan dan memberi kedudukan istimewa kepada bangsa Mongol sebagai bangsa serumpun dan setingkat, mulailah bangsa Mongol merasa kecewa. Bangsa Mongol melihat kecenderungan bangsa Mancu yang melebur diri dengan kebiasaan orang-orang Han sehingga makin lama mereka itu menjadi makin erat hubungannya dengan rakyat,

   Sedangkan rakyat masih tidak dapat melupakan penjajahan bangsa Mongol yang banyak menyengsarakan rakyat dahulu. Maka bangsa Mongol merasa makin lama makin tersudut, maka mulailah pemberontakan bangsa ini terhadap bangsa Mancu. Pemberontakan meletus pada tahun 1680 pada saat Se-cuan sudah tiba di ambang kekalahannya. Sehingga begitu Se-cuan sudah dijatuhkan, kembali pemerintah Mancu yang dipimpin oleh Kaisar Kang Hsi itu harus menghadapi pemberontakan yang besar dan gigih yang dipimpin oleh seorang pangeran Mongol yang bernama Galdan. Sepuluh tahun lewat dengan cepatnya semenjak peristiwa pertemuan antara Pendekar Super Sakti Suma Han dan Nirahai isterinya, pertemuan yang amat menyedihkan dan mengharukan.

   Sepuluh tahun bukanlah waktu yang pendek, namun juga tak dapat dikatakan waktu yang lama, tergantung dari pendapat masing-masing bertalian dengan keadaan dan pengalaman. Dalam waktu selama itu, banyak memang yang telah terjadi di dunia, khususnya di dunia kang-ouw yang kembali menjadi kacau dan geger berhubung dengan adanya perang antara pemerintah melawan bangsa Mongol. Kembali dunia kang-ouw terpecah belah, ada yang membela Pemerintah Ceng, ada pula yang membantu pemberontak, bukan karena suka kepada bangsa Mongol, melainkan kesempatan itu mereka pergunakan untuk melawan penjajah. Akan tetapi karena tidak ada peristiwa penting terjadi atas diri para tokoh penting cerita ini yang berdiam di tempat masing-masing menggembleng murid atau anak masing-masing, maka biarlah waktu sepuluh tahun itu kita lewati saja.

   Pemberontakan bangsa Mongol sudah berjalan belasan tahun. Perang menjadi berlarut-larut karena selain bangsa Mongol memang memiliki bala tentara yang terlatih dan kuat, mereka dibantu banyak orang pandai dari dunia kang-ouw. Bahkan banyak pula orang sakti dari negara-negara tetangga yang dipaksa mengirim upeti kepada Pemerintah Ceng, diam-diam membantu bangsa Mongol dalam usaha mereka membalas dendam atas kekalahan negaranya. Di dunia persilatan memang terjadi perubahan akan kekacauan seperti telah diceritakan tadi. Diam-diam di antara mereka pun mengadakan "perang"

   Sendiri, menggunakan kesempatan selagi pemerintah kurang memperhatikan keadaan mereka karena pemerintah sendiri sedang sibuk menghadapi musuh kuatnya, yaitu pasukan-pasukan Mongol.

   Pula, pemerintah juga mempunyai banyak kaki tangan di antara golongan kang-ouw ini sehingga mereka menyerahkan penguasaan keadaan kepada kaki tangan mereka yang dalam hal ini diwakili dan dipimpin oleh Koksu sendiri dengan para pembantunya yang lain! Namun yang lebih menonjol dan yang menggegerkan dunia persilatan adalah nama besar Thian-liong-pang yang kabarnya makin kuat saja sehingga tidak ada pihak yang berani main-main kalau bertemu dengan orang Thian-liong-pang. Bahkan banyak yang sudah menjadi jerih kalau mendengar nama Thian-liong-pang yang diketuai seorang wanita aneh berkerudung yang memiliki ilmu silat dahsyat. Banyak sudah ketua-ketua partai persilatan merasai kelihaian Thian-liong-pang. Banyak yang dikalahkan oleh tokoh-tokoh Thian-liong-pang, padahal ketuanya sendiri belum pernah maju, juga wakilnya dan para pelayan wanita yang kabarnya memiliki ilmu yang sukar dicari bandingnya!

   Terdengar berita bahwa Thian-liong-pang mempunyai niat menggabungkan partai-partai persilatan di bawah naungan Thian-liong-pang, seolah-olah perkumpulan ini hendak menyaingi gerakan Pemerintah Ceng yang menaklukkan negara-negara tetangga yang takluk dan mengakui kedaulatannya serta berlindung di bawah naungannya dengan membayar upeti setiap tahun! Tentu saja niat ini menemukan banyak tentangan.Terutama partai-partai besar yang sudah berdiri ratusan tahun seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain partai persilatan besar, tentu saja mereka ini tidak sudi menjadi "anak buah"

   Thian-liong-pang! Selagi dunia kang-ouw geger karena sepak terjang Thian-liong-pang, tersiar lagi berita yang menimbulkan heboh dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah muncul lagi.

   Orang-orang Pulau Neraka dengan warna-warni muka mereka yang aneh menimbulkan kegoncangan di mana-mana karena mereka itu memang sengaja mendarat untuk menguji ilmu-ilmu mereka dengan tokoh-tokoh kang-ouw! Yang tetap tidak terdengar hanya Pulau Es. Tidak ada lagi orang kang-ouw melihat munculnya orang dari Pulau Es bahkan mendengar berita pun tidak, karena Pulau Es agaknya sudah memutuskan hubungan mereka dengan dunia luar pulau mereka bertahun-tahun. Di antara partai-partai persilatan besar yang heboh oleh berita-berita itu, Siauw-lim-pai sendiri tetap tenang-tenang saja. Memang Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, paling banyak cabang-cabangnya, paling banyak kuil-kuilnya, tersebar di mana-mana dan memiliki jumlah anak murid yang amat banyak pula.

   Belum pernah ada partai lain berani mengganggu Siauw-lim-pai. Bahkan orang-orang Thianliong-pang agaknya juga tidak berani sembarangan main gila terhadap Siauw-lim-pai! Kalau toh terjadi bentrokan, hal itu hanya terjadi antara anak murid saja dan pihak Siauw-lim-pai yang memegang keras disiplin di antara anak muridnya, dengan biiaksana dapat memadamkan bentrokan-bentrokan kecil itu dengan menghukum anak murid sendiri yang melakukan pelanggaran. Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tinggi besar berusia lima puluh lima tahun lebih berjuluk Ceng Jin Hosiang. Biarpun tubuhnya tinggi besar menyeramkan, namun wataknya halus dan hwesio tua ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.

   Kitab-kitab rahasia Siauw-lim-pai banyak sekali, dan kitab-kitab kuno yang mengandung pelajaran ilmu-ilmu amat tinggi, sukar sekali dipelajari sehingga hanya sedikit saja yang mampu menguasai isinya. Ketika Kian Ti Hosiang masih hidup, dialah satu-satunya hwesio di Siauw-lim-pai yang benar-benar telah menguasai sebagian besar ilmu yang tinggi-tinggi dan sukar dipelajari itu. Kini, karena bakatnya dan menurut kepercayaan lingkungan Siauw-lim-pai, karena jodoh, ketua inilah yang dapat menguasai sebagian dari isi kitab-kitab suci dan rahasia itu. Sungguhpun belum dapat dibandingkan dengan Kian Ti Hosiang, namun setidaknya tingkat kepandaian Ceng Jin Hosiang jauh melampaui saudara-saudaranya, bahkan dia memiliki tingkat lebih tinggi daripada mendiang Ceng San Hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang lalu.

   Selain lihai ilmu silatnya dan tinggi ilmu batinnya, Ceng Jin Hosiang memiliki kewaspadaan. Pada suatu hari dia datang ke kuil cabang Siauw-lim-pai di mana Bun Beng bekerja sebagai pelayan. Melihat Bun Beng dia tertarik sekali, apalagi ketika mendengar bahwa anak itu adalah putera mendiang Siauw-lim Bi-kiam Bhok- Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng segera Ketua Siauw-lim-pai ini menyuruh Bun Beng untuk ikut bersamanya ke kuil pusat Siauw-lim-pai. Ceng Jin Hosiang melihat bakat yang baik sekali, juga hati nuraninya membisikkan bahwa anak ini "berjodoh"

   Dengannya, maka dia lalu mengam-bil Bun Beng sebagai murid. Selama delapan tahun dia menggembleng Bun Beng yang sebelumnya sudah menerima gemblengan dasar dari Siauw Lam Hwesio, maka tentu saja anak ini memperoleh kemajuan yang luar biasa.

   "Bun Beng, kini tiba saatnya yang telah lama kau nanti-nanti dan baru seka-rang pinceng ijinkan, yaitu engkau boleh keluar dari kuil untuk meluaskan pengetahuan dan mengambil jalanmu sendiri tanpa kekangan dari peraturan di sini yang pinceng adakan,"

   Kata Ketua Siauw-lim-pai yang duduk bersila dihadap muridnya yang ia panggil menghadap. Dapat dibayangkan betapa girang hati Bun Beng mendengar ini. Sudah lama sekali ia ingin untuk diperbolehkan keluar dari kuil, namun gurunya selalu melarang dan mengatakan belum tiba saatnya. Padahal semua ilmu yang diajarkan gurunya telah dipelajarinya semua.

   "Terima kasih, Suhu. Sesungguhnya teecu merasa gembira sekali."

   Hwesio tua itu mengangguk dan tertawa.

   "Pinceng tahu dan tidak menyalahkan engkau. Usiamu sudah dua puluh dua tahun dan sebagai seorang pemuda, engkau yang tidak berbakat sebagai pendeta tentu bernafsu sekali untuk berkelana di dunia ramai. Kepandaianmu sudah mencapai tingkat lumayan, bahkan tidak ada ilmu yang kuketahui belum kuajar-kan kepadamu. Engkau hanya kurang pengalaman dan kurang matang latihan, akan tetapi kalau engkau rajin, dalam beberapa tahun lagi engkau sudah akan melampaui aku."

   "Teecu berhutang budi kepada Suhu, semua kemajuan teecu adalah berkat bimbingan Suhu."

   "Sudahlah, tidak perlu semua pujian itu. Sekarang kita bicara tentang hal yang amat penting. Setelah engkau berhasil mempelajari ilmu dari pinceng, sudah menguasai ilmu-ilmu itu, lalu setelah engkau meninggalkan ini, semua ilmu yang kau kuasai itu hendak kau pergunakan apakah?"

   Ditanya secara mendadak seperti itu, Bun Beng gelagapan! Yah, untuk apakah dia mempelajari semua ilmu itu dengan susah payah selama bertahun-tahun? Tiba-tiba teringat akan kematian Siauw Lam Hwesio, gurunya yang pertama, yang juga terhitung supek dari Ceng Jin Hosiang, maka dengan hati tetap ia menjawab,

   "Ilmu yang teecu kuasai berkat bimbingan Suhu akan teecu pergunakan untuk mencari musuh-musuh mendiang Suhu Siauw Lam Hwesio dan membalas dendam kematiannya di tangan mereka!"

   "Omitohud...., sudah kuduga engkau akan menjawab seperti itu. Akan tetapi engkau keliru kalau memiliki niat seperti itu, Bun Beng. Dan pinceng akan melarangmu meninggalkan kuil kalau seperti itu pendapat dan cita-citamu."

   Bun Beng terkejut bukan main, cepat ia membungkuk sampai dahinya menyentuh lantai sambil berkata,

   "Mohon maaf sebanyaknya, Suhu. Teecu bodoh dan mohon petunjuk Suhu bagaimana baiknya."

   Hwesio itu tertawa.

   "Kalau pinceng tahu bahwa kepandaian yang pinceng ajarkan kepadamu itu hanya akan kau pergunakan untuk membunuh orang, hanya untuk membalas dendam, sudah pasti pinceng tidak akan suka mengajarkannya. Tidak, Bun Beng. Menaruh dendam menimbulkan kebencian, dan kebencian melahirkan perbuatan-perbuatan kejam dan jahat! Orang gagah tidak boleh dipermainkan oleh perasaan pribadi, tidak boleh menjadi mata gelap karena dendam. Kalau kau bicara tentang dendam, mengapa kau tidak mendendam atas kematian Ayahmu dan Ibumu?"

   Bun Beng tertegun. Tak pernah terpikirkan hal ini olehnya, apalagi setelah ia mendengar kata-kata Pendekar Siluman bahwa ayahnya adalah seorang datuk kaum sesat!

   "Karena teecu tidak tahu bagaimana Ayah Bunda teecu tewas dan mengapa."

   "Kalau kau tahu bahwa ayahmu dan ibumu mati terbunuh orang, apakah engkau juga akan mendendam dan akan mencari pembunuh mereka untuk kau balas dan bunuh pula?"

   Bun Beng terkejut dan karena kini menyangkut kematian orang tuanya, tanpa ragu-ragu ia menjawab,

   "Agaknya begitulah!"

   "Baik, sekarang kau balaslah. Pinceng beri tahu siapa pembunuhnya. Ayahmu telah tewas dibunuh Ibumu, dan Ibumu juga tewas di tangan Ayahmu. Nah, bagaimana?"

   Biarpun Bun Beng sudah menerima gemblengan lahir batin dan hatinya sudah kuat sekali, tidak urung mukanya berubah sedikit mendengar keterangan ini. Dia tidak mampu menjawab dan hanya menunduk, penuh pemasrahan kepada suhunya.

   "Omitohud....! Seorang gagah tidak boleh menurutkan nafsu hati, melainkan harus selalu tenang seperti air telaga yang dalam. Jika pikiran tenang, maka nafsu tidak akan mudah mengganggu dan segala tindakan kita dapat dilakukan dengan tepat, menurutkan hasil pertimbangan pikiran dan akal budi. Sekarang kau melihat contoh tidak baiknya orang mendendam karena kematian orang tua atau pun guru. Orang tua maupun guru hanyalah manusia-manusia biasa. Bagaimana kalau kematian mereka itu dikarenakan perbuatan mereka yang jahat? Andaikata orang tuamu menjadi penjahat besar yang terbunuh oleh pendekar budiman, apakah engkau juga lalu mencari untuk membalas dendam kepada pendekar itu? Kalau demikian, engkau sama sekali bukan anak berbakti, melainkan sebaliknya karena engkau makin mencemarkan nama orang tua yang sudah cemar. Dan engkau bukan orang gagah karena engkau telah menyimpang dari hukum tak tertulis dalam jiwa orang gagah yaitu membela kebenaran! Karena itu, hapuskan dendam dari hatimu, sedikitpun tidak boleh ada sisanya. Kalau kelak engkau terpaksa membunuh orang-orang yang dahulu membunuh Supek Siauw Lam Hwesio karena engkau membela kebenaran dan karena mereka orang-orang jahat, hal itu lain lagi, bukan membunuh karena balas dendam."

   Bun Beng cepat memeluk kaki gurunya.

   "Ah, ampunkan teecu. Teecu jadi seperti buta, tidak melihat kenyataan itu, Suhu. Teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah Suhu."

   "Aahhh, pinceng sebetulnya merasa perih di hati kalau bicara tentang bunuh-membunuh. Akan tetapi, kehidupan seorang gagah di dunia kang-ouw di mana terdapat kekacauan yang disebabkan orang-orang sesat, agaknya hal itu tidak dapat dicegah lagi. Kalau mungkin, Bun Beng, jauhilah perbuatan membunuh. Engkau akan lebih berjasa mengingatkan seorang sesat kembali ke jalan benar daripada membunuhnya. Nah, kiranya cukup. Hanya satu lagi pesan pinceng. Jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam perang, karena Siauw-lim-pai menentang perang. Dan jangan sekali-kali engkau melibatkan nama Siauw-lim-pai dengan permusuhan dengan pihak lain. Mengerti?"

   "Baik Suhu, teecu akan mentaati perintah Suhu."

   "Hemm...., kalau sampai kau langgar, agaknya pinceng sendiri yang akan turun tangan menghukummu, Bun Beng. Nah, berangkatlah dan hati-hatilah."

   Bun Beng minta diri kepada semua hwesio di kuil, kemudian dia berangkat membawa bungkusan pakaian dan bekal sedikit perak, tanpa membawa senjata. Dengan memiliki kepandaian seperti tingkatnya sekarang, dia tidak membutuhkan senjata lagi. Setelah jauh meninggalkan kuil, Bun Beng teringat akan sepasang pedang yang disimpannya di puncak tebing tempat tinggal para bekas pejuang penyembah Sun Go Kong.

   Juga kitab-kitab pelajaran Sam-po-cin-keng yang sudah dihafalnya dan yang sekarang secara diam-diam telah dilatihnya sampai mahir. Setelah dia menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dari Ceng Jin Hosiang, tidak sukar baginya untuk menyelami Sam-po- cin-keng dan dia tidak berani berterus terang kepada suhunya karena ilmu silat itu amat ganas dan pantasnya hanya dipelajari kaum sesat! Akan tetapi, hebat bukan main ilmu itu sehingga di luar pengetahuannya sendiri, kalau dia mempergunakan ilmu itu, agaknya Ceng Jin Hosiang sendiri belum tentu akan dapat menandinginya! Di dalam perantauannya ini, Bun Beng membuka telinga dan tiada bosannya dia bertanya-tanya tentang keadaan dunia kang-ouw. Dia terkejut sekali ketika mendengar akan sepak terjang kaum Thian-liong-pang yang katanya mulai menculik tokoh-tokoh penting dari partai-partai persilatan!

   Juga dia mendengar akan munculnya tokoh-tokoh aneh dari Pulau Neraka yang sudah beberapa kali dahulu ia jumpai, maka diam-diam ia mengambil keputusan bahwa kalau dia bertemu dengan kaum Thian-liong-pang dan Pulau Neraka, dia akan menentang mereka! Hatinya bersyukur ketika ia mendengar keterangan bahwa kini tidak ada terdengar pergerakan dari Pulau Es, tanda bahwa Pendekar Siluman benar-benar tidak mau mencampuri segala keributan itu. Juga heboh tentang Pedang Iblis dan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang lenyap, yang dahulu diperebutkan, kini tidak terdengar lagi. Yang amat menarik hatinya adalah perbuatan kaum Thian-liong-pang. Mengapa mereka itu menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua partai untuk beberapa hari lamanya kemudian mereka itu dibebaskan kembali?

   Apa yang tersembunyi di balik perbuatan aneh ini? Untuk mengambil sepasang pedangnya terlampau jauh, maka dia akan lebih dulu menyelidiki keadaan Thian-liong-pang dan kalau memang mereka itu melakukan penculikan-penculikan, hal ini akan ditentangnya. Inilah kewajiban pertama dalam perjalanannya sebagai seorang pendekar! Dalam perjalanannya menuju ke Thian-liong-pang dia bermalam dalam sebuah rumah penginapan di kota kecil Teng-li-bun. Dia telah melakukan perjalanan jauh dan perlu beristirahat. Niatnya akan bermalam di situ semalam, baru besok pagi akan melanjutkan perjalanan karena malam itu hujan membuat dia segan untuk bermalam di luar seperti biasanya dia bermalam di hutan atau di gubuk-gubuk sawah.

   Dia ingin makan kenyang dan minum sedikit arak, kemudian tidur nyenyak dalam sebuah bilik tanpa gangguan. Akan tetapi menjelang tengah malam, telinganya yang amat terlatih mendengar suara isak tangis tertahan. Dia terbangun, memasang telinga dan mendapat kenyataan bahwa tangis itu adalah tangis seorang wanita yang ditahan-tahan, suaranya seperti tertutup bantal. Dia menjadi bingung. Tentu telah terjadi sesuatu yang membutuhkan pertolongannya. Akan tetapi yang perlu ditolong adalah seorang wanita, dan hari telah tengah malam, bagaimana mungkin dia boleh memasuki kamar seorang wanita? Dia sudah memasang telinga baik-baik dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lain dalam kamar sebelah itu, hanya si wanita yang menangis.

   Karena suara isak tertahan itu seperti menggelitik hatinya, Bun Beng tak dapat menahan lagi lalu membuka jendela kamar dan tubuhnya melesat keluar jendela terus melayang ke atas genteng. Dia berniat untuk mengintai dari atas dan melihat apakah yang terjadi dan mengapa wanita itu menangis. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tidak ada suara terdengar ketika ia melayang ke atas genteng sehingga tidak mengganggu para tamu rumah penginapan. Dia membuka genteng di atas kamar sebelah dengan hati-hati sekali. Akan tetapi baru saja dia menjenguk ke dalam dan melihat seorang wanita muda rebah di atas pembaringan, tiba-tiba lilin di kamar itu padam dan dia mendengar bersiutnya angin senjata rahasia dengan cepat dan kuat serta tepat sekali menyambar ke arah lubang genteng!

   "Ciut-ciut-ciuutt!"

   Tiga batang piauw menyambar dan berturut-turut Bun Beng menangkap tiga batang piauw itu dengan tangan kirinya.

   "Bangsat Thian-liong-pang, aku akan mengadu nyawa denganmu!"

   Terdengar suara wanita memaki disusul menyambarnya sesosok tubuh ke atas dan lubang itu jebol ditabrak seorang gadis yang berpakaian serba kuning. Gerakan gadis itu cepat dan ringan sekali, kini sudah berdiri di depan Bun Beng dengan pedang di tangan dan langsung mengirim tusukan ke arah dada Bun Beng.

   "Wuuuttt.... plakkk!"

   Dengan tangan kanannya Bun Beng menampar pedang itu dari samping dan telapak tangannya kini tepat mengenai pedang yang menempel pada telapak tangannya! Gadis itu berseru kaget, berusaha menarik kembali pedangnya namun sia-sia. Pedangnya melekat di telapak tangan pemuda tampan yang berdiri tenang memandangnya itu. Juga di bawah sinar bulan yang muncul setelah hujan berhenti tadi, gadis itu melihat tiga batang piauwnya berada di tangan kiri pemuda itu. Celaka, pikirnya! Yang datang adalah seorang tokoh Thian-liong pang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

   "Mau apa lagi? Bunuhlah aku!"

   Tiba-tiba gadis itu berkata penuh kebencian.

   "Tenang dan sabarlah, Nona. Aku bukan orang Thian-liong-pang, sama sekali bukan!"

   Nona yang usianya kurang lebih delapan belas tahun itu memandang penuh perhatian lalu membentak,

   "Siapa mau percaya?"

   Bun Beng tersenyum dan menghela napas, melepaskan pedang dan menyerahkan tiga batang piauw yang diterima oleh gadis itu dengan sambaran cepat seolah-olah ia khawatir kalau-kalau itu hanya siasat. Bun Beng menggulung lengan bajunya, dan berkata,

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Periksalah! Adakah gambar naga di lengan kananku? Bukankah kata orang, semua anggauta Thian-liong-pang dicacah lengan kanannya dengan gambar naga kecil?"

   "Huh!"

   Gadis itu mendengus setelah dia melirik juga ke arah kulit yang halus itu sehingga ia terheran mengapa pemuda halus itu dapat memiliki sin-kang yang demikian hebat,

   "Kalau bukan anggauta Thian-liong-pang, agaknya engkau seorang yang lebih hina lagi, seorang jai-hwa-cat!"

   Bun Beng mengangkat kedua alisnya dan dia memandangi pakaiannya.

   "Aihhh! Jai-hwa-cat? Adakah tampangku seperti penjahat cabul? Dan pakaianku? Aih, engkau terlalu sekali, Nona. Ataukah engkau hanya main-main?"

   "Kalau bukan jai-hwa-cat atau penjahat, mau apa tengah malam buta membuka genteng kamar orang dan mengintai ke dalam?"

   Gadis itu menyerang dengan kata-kata sungguhpun dia gendiri mulai ragu-ragu apakah orang muda yang bersikap wajar dan halus ini seorang penjahat. Bun Beng tertawa.

   "Salahku...., salahku....! Puas kau sekarang!"

   Dia menunjuk hidung sendiri.

   "Inilah upahnya kalau terlalu ingin memperhatikan orang lain! Terus terang saja, Nona, aku tadi sedang tidur nyenyak ketika terganggu.... eh, maaf, memang telingaku terlalu perasa, terlalu peka sehingga aku terbangun oleh tangismu. Aku menjadi curiga dan ingin sekali tahu mengapa di tengah malam buta ada wanita menangis. Aku hendak mengintai untuk melihat apa yang terjadi, sama sekali bukan berniat jahat, bolehkah aku mengetahui, mengapa kau menangis? Ahh, tentu ada hubungannya dengan Thian-liong-pang. Buktinya, engkau menyangka aku orang Thian-liong-pang...."

   Bun Bang menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak!

   "Eh, eh, bagaimana ini....? Salahkah omonganku sehlngga menyinggung perasaanmu?"

   Gadis itu masih menangis lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun Beng. Tentu saja Bun Beng menjadi bingung sekali, hendak mengangkat ba-ngun, merasa tidak pantas menyentuh tubuh seorang gadis.

   "Eh, eh...., Nona. Bangkitlah, jangan begitu....!"
(Lanjut ke Jilid 14)

   Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
"Mohon maaf atas kesalahanku tadi.... dan mohon pertolongan Taihiap yang berkepandaian tinggi untuk menyelamatkan Ayahku....."

   "Aku bukan seorang Taihiap (pendekar besar), Nona. Akan tetapi aku berjanji akan menolong. Ayahmu mengapakah? Harap kau suka berdiri agar enak kita bicara."

   Gadis itu bangkit berdiri sambil mengusap air matanya.

   "Nah, ceritakanlah apa yang terjadi,"

   Kata pula Bun Beng. Kini sinar bulan makin terang dan tampak oleh pemuda ini betapa gadis itu amat manis wajahnya, wajah manis yang membayangkan kegagahan yang agak pudar oleh tangis tadi.

   "Namaku adalah Ang Siok Bi...."

   "Nama yang bagus...."

   Tiba-tiba Bun Beng melihat sinar mata nona itu memandangnya tajam penuh kecurigaan dan alis yang hitam itu berkerut, maka teringatlah ia betapa tidak tepatnya ucapan yang tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya itu karena ia kagum memandang wajah yang manis.

   "Eh, maksudku.... teruskan ceritamu, Nona Ang...."

   Sambungnya cepat-cepat dan gugup.

   "Ayahku adalah Ang Thian Pa yang lebih dikenal dengan sebutan Ang Lojin, Ketua Bu-tong-pai...."

   "Aihh! Kiranya Nona adalah puteri ketua partai besar, maaf kalau aku berlaku kurang hormat...."

   Bun Beng memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada sambil membungkuk. Siok Bi, gadis itu biarpun baru berusia delapan belas tahun, namun dia sudah banyak merantau dan sebagai seorang pendekar wanita yang muda dan cantik, tentu dia banyak mengalami gangguan dan banyak mengenal sikap laki-laki. Maka kini alisnya berkerut ketika ia menyaksikan sikap Bun Beng yang agaknya sama sekali tidak mempedulikan ceritanya, melainkan tertarik dan kagum kepadanya! Tadi telah ia saksikan kelihaian pemuda itu dan timbul harapannya untuk minta pertolongannya, akan tetapi kini melihat sikap Bun Beng, dia mulai ragu-ragu jangan-jangan pemuda ini adalah seorang jai-hwa-cat yang bersikap halus dan yang sedang mempermainkannya!

   "Taihiap, harap berterus terang saja. Engkau ini seorang pendekar yang suka mengulur tangan menolong orang yang sedang tertimpa malapetaka ataukah seorang dari kaum sesat?"

   Bun Beng yang tadinya tersenyum dengan hati tertarik memperhatikan gerak-gerik dan terutama sekali gerakan bibir yang membuat wajah itu kelihatan amat manis, menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia tentu saja tidak sadar akan sikapnya sendiri karena memang tidak dibuat-buat. Selama bertahun-tahun dia berada di dalam kuil mempelajari ilmu, tiap hari hanya bergaul dan bertemu dengan para hwesio. Yang dilihatnya hanyalah muka para hwesio dengan kepala gundul, sama sekali tidak indah dalam pandangannya. Kini, sekali keluar mengembara bertemu dengan wajah begini manis, hati siapa tidak akan terpikat?

   "Ang-siocia, ada apakah? Mengapa engkau kelihatan marah kepadaku?"

   "Pandang matamu itulah!"

   Mau tidak mau Siok Bi membuang muka dan kedua pipinya menjadi merah. Betapapun gagah wataknya sebagai pendekar wanita, namun dia masih seorang gadis remaja sehingga dia pun tidak terbebas daripada sifat wanita yang ingin dipuji dan dikagumi, apalagi oleh seorang pemuda setampan dan segagah Bun Beng!

   "Pandang mataku? Aihhh.... apakah aku tidak boleh memandang? Kenapakah? Engkau aneh sekali, Nona. Baiklah aku akan memejamkan mata. Nah, teruskan ceritamu!"

   Dan Bun Beng benar-benar memejamkan kedua matanya.

   "Ketika ayahku dan aku melakukan perjalanan menuju ke Siang-tan, sampai di dalam hutan di luar kota ini kami berhenti dan beristirahat, yaitu pagi hari tadi."

   Gadis itu berhenti bercerita. Bun Beng yang masih memejamkan matanya itu menanti sebentar, lalu sebagai komentar dia hanya bisa mengeluarkan suara,

   "Hemmm....!"

   Lalu menanti lagi, akan tetapi lanjutan ceritanya tak kunjung datang.

   "Mengapa diam?"

   "Agaknya Taihiap tidak menaruh perhatian, perlu apa kulanjutkan? Kalau Taihiap tidak sudi menolong, aku.... aku pun tidak mau memaksa."

   Suara itu terdengar menjauh dan ketika Bun Beng membuka matanya, nona itu sudah ber-lari pergi! Sekali menggerakkan tubuhnya, Bun Beng sudah menyusul dan menghadang di depan Siok Bi.

   "Eh-eh, bagaimana ini? Kau aneh sekali, Nona! Aku cukup memperhatikan ceritamu dan ingin menolong Ayahmu."

   Diam-diam Siok Bi terkejut dan kagum. Dia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di depannya! Akan tetapi ia cemberut dan berkata,

   "Aku bicara kepada orang yang memejamkan mata seolah-olah tidak peduli, mana.... enak hatiku?"

   Tiba-tiba Bun Beng tertawa saking geli hatinya. Memang pemuda ini memiliki watak periang. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya dan berkata,

   "Wah, benar-benar aku tidak mengerti, Nona! Kalau aku memperhatikan ceritamu dengan membuka mata, pandang mataku mengganggumu. Kalau aku memejamkan mata, kau anggap aku tidak peduli, habis bagaimana? Harap kau lanjutkan. Percayalah, aku tidak mempunyai niat hati yang tidak baik terhadapmu! Ayahmu dan engkau pagi tadi beristirahat dalam hutan di luar kota ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?"

   Kini sinar bulan sepenuhnya menimpa wajah Bun Beng sehingga Siok Bi dapat memandang jelas. Wajah yang tampan dan mulutnya seperti selalu tersenyum. Pada saat itu, Bun Beng bicara sungguh-sungguh, akan tetapi matanya bersinar-sinar gembira dan bibirnya seperti orang tersenyum. Kini mengertilah Siok Bi bahwa memang pemuda ini memiliki mata dan bibir yang seolah-olah selalu gembira dan tersenyum, sehingga tadi ia mengira bahwa mata pemuda itu "nakal"

   Dan bibirnya tersenyum kurang ajar. Maka hatinya pun lega dan ia melanjutkan.

   "Selagi kami beristirahat dan makan di bawah pohon, datang rombongan Thian-liong-pang. Ketika mereka mengenal ayah sebagai Ketua Bu-tong-pai, mereka lalu memaksa Ayah ikut dengan mereka untuk menghadap Ketua Thian-liong-pang!"

   "Hemm, sungguh kurang ajar!"

   Bun Beng membentak dan gadis itu mendapat kenyataan betapa dalam keadaan marah pun pemuda itu seperti orang ter-senyum.

   "Tentu engkau dan Ayahmu menghajar mereka!"

   "Itulah yang menyusahkan hatiku, Taihiap. Mereka lihai sekali. Ayah dikeroyok dan dirobohkan, lalu ditangkap dan dimasukkan ke kerangkeng."

   "Apa? Dikerangkeng dan kau diam saja?"

   Kalau belum mulai mengenal cara bicara Bun Beng seperti orang main-main, tentu gadis itu sudah marah lagi.

   "Tentu saja aku melawan mati-matian, akan tetapi mereka amat lihai. Aku roboh tertotok, tak mampu berkutik. Setelah mereka pergi lama sekali, baru aku dapat bergerak. Mengejar sampai sore namun tak berhasil dan akhirnya aku sampai di sini dengan maksud besok akan melanjutkan perjalanan, mengumpulkan semua anggota Bu-tong-pai untuk menyerbu ke Thian-liong-pang membebaskan Ayah. Akan tetapi.... ah, akan makan waktu lama, mungkin terlambat.... dan aku sangsi apakah aku dapat melawan Thian-liong-pang yang amat kuat itu?"

   "Ke mana Ayahmu dibawa lari? Ke jurusan mana?"

   "Di luar kota ini di sebelah utara terdapat hutan, dan mereka membawa Ayah terus ke utara...."

   "Aku akan mengejar mereka!"

   Bun Beng berkelebat dan pergi dari depan gadis itu. Siok Bi bingung dan terkejut, mengira bahwa pemuda itu pandai menghilang. Ia berteriak,

   "Tunggu, Taihiap! Aku belum tahu namamu dan aku ikut....!"

   Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Bun Beng dari bawah karena pemuda ini memasuki kamar mengambil bungkusan pakaian dan bekalnya.

   "Jangan ikut, kau tunggu saja di sini, Nona. Namaku Gak Bun Beng!"

   Mendengar suara dari dalam kamar di sebelah kamarnya, Siok Bi meloncat ke bawah dan memasuki kamar Bun Beng, akan tetapi pemuda itu sudah tidak ada dan ketika ia melompat lagi ke atas genteng, dia tidak melihat bayangan pemuda itu! Ia menarik napas panjang.

   "Hebat dia....!"

   Kemudian ia pun mengambil pakaian dari kamarnya dan malam itu juga ia meninggalkan penginapan untuk mengejar ke utara. Benar juga pemuda itu, pikirnya.

   Kalau aku ikut, tentu perjalanannya tidak dapat dilakukan secepat kalau pemuda itu mengejar sendiri. Hatinya menjadi besar dan ia membayangkan wajah tampan yang selalu tersenyum bibirnya dan berseri wajah dan matanya itu. Kekhawatirannya tentang diri ayahnya agak berkurang karena ia percaya bahwa pemuda itu amat lihai dan tentu akan dapat menolong ayahnya. Gak Bun Beng! Dia mengingat-ingat, akan tetapi tidak pernah merasa mendengar nama ini di dunia kang-ouw. Benar kata ayahnya bahwa sekarang banyak bermunculan orang-orang aneh yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, tentu termasuk pemuda itu. Bun Beng merasa penasaran dan marah sekali. Kiranya benar seperti berita yang didengarnya. Thian-liong-pang mengacau dunia kang-ouw, secara kurang ajar berani menculik seorang Ketua Bu-tong-pai di siang hari.

   Benar-benar keterlaluan, seolah-olah di dunia ini sudah tidak ada hukum dan seolah-olah hanya Thian-liong-pang yang paling kuat. Dia harus menentangnya dan menolong Ketua Bu-tong-pai, ayah dari gadis yang amat manis wajahnya itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Bun Beng melakukan pengejaran. Dia mempergunakan ilmu lari cepat Cio-siang-hui yang dipelajarinya dari Ceng Jin Hosiang sehingga tubuhnya seperti terbang di atas rumput seolah-olah tidak menginjak tanah dan tubuhnya lenyap, yang tampak hanya berkelebatnya bayangannya yang meluncur cepat menuju ke utara! Akan tetapi karena ia ketinggalan waktu selama sehari, pada keesokan harinya menjelang senja, barulah ia dapat menyusul rombongan orang Thian-liong-pang yang menawan Ketua Bu-tong-pai.

   Dari jauh ia sudah melihat serombongan orang, sebanyak empat orang mendorong sebuah kereta kecil berbentuk kerangkeng di mana yang tampak hanya sebuah kepala yang bertudung lebar dan kedua tangan yang terbelenggu. Hanya kepala dan kedua tangan yang tampak keluar dari dalam kerangkeng yang terbuat daripada papan tebal dan beroda dua. Bun Beng mempercepat larinya, sebentar saja dia telah melewati rombongan empat orang itu, membalikkan tubuh dan menghadang, berdiri dengan tegak dan bertolak pinggang. Melihat sikap pemuda yang datang dengan cepat sekali itu, rombongan itu berhenti dan empat orang itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Juga orang tua bermuka gagah yang berada dalam kerangkeng memandang kepada Bun Beng.

   Ketika Bun Beng memperhatikan empat orang itu diam-diam terkejut. Memang benarlah berita yang ia dengar. Orang-orang Thian-liong-pang amat aneh dan sikapnya menyeramkan. Empat orang ini saja sudah menunjukkan bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi, dan sikap mereka itu rata-rata angkuh. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang mukanya pucat seolah-olah tidak berdarah, seperti muka mayat yang amat kurus sehingga mukanya itu mirip tengkorak, namun sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar tajam, dan di punggungnya tampak tergantung sebatang pedang. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun usianya, tampan dan gagah, rambutnya terurai di atas kedua pundak dan punggungnya, kepalanya diikat sehelai tali yang mengkilap seperti sutera,

   Alisnya selalu berkerut dan sinar matanya membayangkan keangkuhan dan kekejaman, juga di punggungnya tampak terselip sebatang pedang. Biarpun kedua orang ini tidak banyak bergerak, namun dapat diduga bahwa tentu ilmunya tinggi, dan membuat hati mereka tinggi pula. Akan tetapi dua orang yang lain benar-benar menimbulkan ngeri kepada Bun Beng. Sukar membedakan kedua orang itu karena baik pakaian, bentuk tubuh dan muka mereka kembar! Dan keduanya pun memegang sepasang senjata gelang yang dipasangi lima duri meruncing dan mengkilap. Berbeda dengan sikap kedua orang yang pendiam dan angkuh itu, dua orang kembar yang tinggi besar ini sikapnya kasar, seperti binatang buas dan merekalah yang langsung meloncat maju menghadapi Bun Beng. Seorang di antara mereka membentak,

   "Bocah sinting, siapa kau berani bersikap kurang ajar?"

   "Minggir kau sebelum kupatahkan kedua kakimu!"

   Orang ke dua membentak pula. Bun Beng memperlebar senyumnya dan tetap bertolak pinggang. Sambil melirik ke arah kerangkeng, dia bertanya,

   "Apakah kalian ini penculik-penculik dari Thian-liong-pang? Dan apakah Locianpwe yang tertawan itu Ang Lojin Ketua Bu-tong-pai?" "Benar orang muda. Aku adalah Ang Lojin. Hati-hatilah, jangan mencampuri urusan ini. Lebih baik pergilah karena aku sudah merasa kalah dan ingin menghadap Ketua Thian-liong-pang!"

   Kakek di kerangkeng itu berkata.

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 26 Pendekar Super Sakti Eps 23 Kisah Pendekar Bongkok Eps 8

Cari Blog Ini