Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 8


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu! Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang tidak kuat lagi dan dia terguling dan pingsan!

   Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di tepi sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang manis sedang mengobati luka-luka di punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali. Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan kelembutan dan dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun baru di antara kedua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerimanya sebagai murid!

   "Terimakasih, kini sudah terasa nyaman...."

   Katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh, Bong Gan cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.

   "Suhu, teecu (murid) menghaturkan Terimakasih dan hormat...."

   Sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap. Melihat suhunya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru,

   "Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan Terimakasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?"

   Kakek yang melenggut itu membuka mata, memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata,

   "Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!"

   Dia mengacungkan tongkatnya. Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya.

   "Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu."

   Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu.

   "Suci, saya menghaturkan banyak Terimakasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu...."

   Bi Sian terbelalak.

   "Eh, eh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci (kakak seperguruan)?"

   Bong Gan tersenyum.

   "Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?"

   "Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba se-karang kita lihat, siapa yang lebih tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?"

   "Tiga belas tahun."

   "Nah, itu!"

   Bi Sian berteriak.

   "Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!"

   "Habis, lalu bagaimana?"

   "Karena engkau lebih tua, engkau menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng (kakak seperguruan)."

   Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya girang walaupun dia merasa kikuk.

   "Baiklah sumoi."

   "Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluarga siapa sih? Apakah Bong?"

   Bong Gan menggeleng kepalanya.

   "Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong."

   Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andaikata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri. Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka.

   Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya. Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa mengemis. Dengan menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka. Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya dari pondongan. Mereka berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi.

   "Terimakasih, nenek yang mulia. Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang harus saya lakukan karena hidup saya sebatangkara dan tidak mempunyai harapan lagi."

   "Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?"

   Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Ia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia akan dibunuh! Manusia macam apa nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi berguru kepada seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Tidak sukar untuk memilih antara berguru kepada nenek itu atau mati.

   "Tentu saja saya memilih berguru, nek."

   "Hushhh! Kalau memilih berguru kepadaku, kenapa masih menyabut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!"

   "Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo."

   "Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa saja harus kau taati, tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid dan akan kubunuh!"

   Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam benaknya bahwa kalau ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi siapapun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka bangkitlah semangatnya.

   "Apapun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan."

   "Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang amat penting. Kita membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik."

   "Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?"

   "Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota itu terdapat seorang yang paling kaya raya yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau panglima besar. Banyak barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!"

   Pek Lan ikut bergembira dan iapun mengikuti subonya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu dan ia percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik.

   Mereka akan menjadi kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu. Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Dia adalah seorang bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu, Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai mengalami surut bukan hanya karena pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut, pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok Besar, akan tetapi terutama sekali karena para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap tanah air dan bangsa, melainkan mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran.

   Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan perut sendiri. Ketika dia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sin-kiang, dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu disetorkan ke pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri. Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya dan hidupnya di kota besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, dengan istananya yang megah dan siang malam dijaga oleh puluhan orang perajurit.

   Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap dapat memasuki istana tanpa terancam jebakan-jebakan rahasia. Apalagi kalau ada maling masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah sebabnya mengapa orang sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin mempergunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya, yaitu mencuri harta dari pangeran itu. Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik, dari bermacam suku bangsa. Ada gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut, bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung mancung.

   Namun dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan wanita cantik yang belum menjadi miliknya! Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua perajurit ikut menengok ke kiri ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isarat mereka agar berhenti. Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis dan wanita yang masih amat muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan kalau panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.

   Pangeran itu turun dari atas kudanya dan sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi karena sejak beberapa tahun ini perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan. Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, cepat mundur ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal dekat gadis itu hanya seorang nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.

   "Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?"

   Pangeran Cun bertanya dan hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu menunduk dan dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang bukit yang menantang. Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi mukanya dengan kedua tangan dan sehelai saputangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan tetapi tidak mengeluarkan suara.

   "Nona ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?"

   "Maaf, Taijin.... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara.... saya memang bukan orang sini.... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya.... saya, pengantin baru.... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya.... di tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya.... melakukan perlawanan dan dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu dan tuli, akan tetapi ia setia sekali.... karena itu, tolonglah kami, Taijin...."

   Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Dan semua itu adalah siasat dan rencana si nenek untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang. Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya! Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba menyelamatkan sumi dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara "menampung"

   Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!

   "Aduh kasihan....!"

   Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu.

   "Jangan menangis, nona, dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan segera melupakan malapetaka yang menimpa dirimu, he-he!"

   Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat dan berkali-kali menghaturkan Terimakasih, tidak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik dan seketika diapun membatalkan kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang cepat disediakan untuk Pek Lan dan "pelayannya"!

   Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo, dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biarpun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan pemikat. Pek Lan mentang amat cerdik. Tentu saja iapun tidak punya rasa suka kepada Pangeran Cun. Biarpun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan te-tapi usianya sudah setengah abad lebih, mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek, pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang gendut luar biasa.

   Pek Lan terpaksa memejamkan mata agar tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan kepandaiannya untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran. Dalam keadaan terbuai kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga dalam waktu dua minggu saja dia sudah membuka rahasia penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi! Setelah mengorek rahasia ini, cepat Pek Lan memberitahu kepada gurunya yang menyamar sebagai pelayannya.

   "Subo, cepat bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!"

   Keluh Pek Lan yang terpaksa harus melayani pria yang tidak disukainya. Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut.

   "Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan mengambilmu dari kamarmu."

   "Tapi...., tapi.... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!"

   Kembali nenek itu tertawa,

   "Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?"

   "Aih, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang sejampun. Seleranya seperti babi, aku jijik...."

   "Jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Biarpun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi, akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan dapat merobohkan mereka,"

   Kata nenek itu setelah mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran Cun. Malam gelap tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa "menderita"

   Dalam pelukan Pangeran Cun.

   Ketika sang pangeran yang kelelahan sudah tidur mendengkur keras seperti dengkurnya seperti babi disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukan, lalu duduk di tepi pembaringan, melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu gurunya sedang memasuki lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut? Ia akah mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tidak tertangkap basah dan tidak ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu terjadi! Dengan memaksakan dirinya, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong.

   Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya miringkan tubuhnya agar tidak sampai mati terhimpit! Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang. Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak.

   Tiba-tiba saja ada bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali. Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itupun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali bersembunyi dan mengintai. Tak lama kemudian dua orang penjaga datang lagi membawa lentera dan tombak panjang. Mereka jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang gudang, tak bergerak, mereka cepat lari menghampiri. Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang inipun berdiri seperti patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka!

   Semua ini terjadi dengan amat cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri seperti patung. Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang dan seperti orang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga dan mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, tiba-tiba merekapun roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat dan lentera mereka, tombak mereka terampas sebelum terbanting ke atas tanah.

   Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua lentera terdahulu, membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya. Kemudian, sambil membuka totokan mereka iapun membakar empat orang penjaga itu! Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka terbakar! Mereka lari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga orang jagoan itupun cepat keluar dari kamar mereka. Empat orang yang terbakar itu lari cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali menjerit-jerit, membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini.

   Mereka lalu merobohkan empat orang yang berlarian-larian dan membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh mereka. Akan tetapi mereka tidak sempat lagi memberi
(Lanjut ke Jilid 08)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
penjelasan dan tewas oleh luka-luka bakar. Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua bagian, tidak ada jejak kaki orang luar! Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu membuat semua penjaga mencari-cari keluar bukan ke dalam gudang!

   Ia memasuki gudang itu dari jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, ia telah mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya. Setelah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa tersentuh anak panah beracun yang dipasang di sana, ia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian ia memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasan-perhiasan kuno dari intan, mutiara dan lain permata mulia. Dikumpulkan semua benda yang merupakan harta yang membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.

   Dengan hati-hati ia mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarlan menabarak sana-sini, ada beberapa tempat yang kebakaran pula. Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan lagi jendela itu dan iapun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan gin-kangnya yang tinggi, tentu ia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui. Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan langkahnyapun terdengar oleh tiga orang jago.

   "Heiiii, berhenti....!"

   Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar. Memang benar keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang bungkuk itu. Namun, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk ke dalam taman gedung itu.

   Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu dapat bergerak amat cepatnya, merekapun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang berjaga di atas. Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang karena semua penjaga menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja berkelebatan ke sana-sini untuk membikin kacau, kemudian ia sengaja memperlihatkan diri dan lari ke dalam kebun di samping gedung. Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira, mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap dan ketika mereka semua datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya. Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.

   Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walaupun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja. Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan menghilang dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal. Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali! Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar kamar. Pangeran itu dengan malas mengenakan pakaian, bersungut-sungut.

   "Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!"

   Diapun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaian, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan, menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.

   "Brakkk!"

   Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa pelayan selirnya itu meloncat masuk, membawa buntalan hitam di punggungnya.

   "Pek Lan, mari kita pergi!"

   Kata nenek itu. Pangeran Cun masih belum sadar, akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia menjadi marah.

   "Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!"

   Dan dia mencabut pedang yang tergantung di dinding kamar itu.

   "Cerewet kau!"

   Bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.

   "Subo, kenapa tidak dibunuh saja babi ini?"

   Kata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar, bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran dan tadi ia harus melepaskannya semua agar tidak "mengganggu"

   Pelayanannya kepada bangsawan itu.

   "Ah, jangan, heh-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!"

   Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya "terbang"

   Melalui jendela. Karena para penjaga sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam membawa buntalan di punggung masing-masing.

   Biarpun Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap manis dan mesra, namun ia tidak merasa rugi. Pertama, ia telah menyenangkan hati gurunya dan kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil mencuri banyak sekali barang yang tak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika menjadi kaya raya dan memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu. Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang amat luas di daerah telaga ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang pelayan,

   Hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orang-orang kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun. Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis lemah lembut, mulai digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya, dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik sekali dalam ilmu silat! Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat dan mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini disebut Ang-in-kok.

   Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san. Ang-in-kok ini sunyi, tak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang harus melalui jurang yang curam dan pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat tinggal sementara. Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!

   Namun, adalah tiga suheng ini yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh. Dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang akan menjadi wakil mereka, maka merekapun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong. Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih.

   Pukulan ini bukan hanya kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat. Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan inipun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa dingin yang mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!

   Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Pukulan ini, sesuai dengan namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar. Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun, anak itupun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan seorang suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun.

   Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apalagi ketika mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa! Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Sian-su yang ahli dalam hal pengobatan.

   Selama lima tahun itu, Pek-sim Sian-su jarang keluar dari dalam guhanya. Dia duduk bersamadhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan yang dicapai murid barunya. Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang dia berikan kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri. Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Sian-su merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari tiga orang suhengnya.

   Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya, juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sin-kang yang menjadi semakin kuat. Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing. Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.

   "Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu kaupelajari untuk kaupergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa maksud pinto dan para suhengmu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau mungkin usahakan agar engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami."

   "Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan Terimakasih atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi bimbingen kepada teecu."

   Pek-sim Sian-su lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat itu, menuruni puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh. Dia sudah mendengar keterangan dari encinya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut encinya ayah ibunya telah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.

   Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di mana ibunya melahirkannya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia. Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini. Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu, lalu ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.

   "Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?"

   Biarpun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itupun menjawab.

   "Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang kautanyakan?"

   "Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian."

   Kakek itu membelalakkan matanya dan kini memandang kepada Sie Liong penuh selidik.

   "Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?"

   Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab,

   "Saya masih sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat."

   Kakek yang wajahnya sejak tadi nampak muram itu bersungut-sungut.

   "Hem, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?"

   Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang.

   
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!"

   Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan.

   Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk melihat apa yang dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini. Setelah dekat, nampak bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka, juga golok itu, tidak menunjukkan bahwa mereka adalah segolongan petani. Seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kakek itu, tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.

   "He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat ke mana?"

   Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut.

   "Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu.... ah, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa saya tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas."

   "Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tak tahu malu!"

   Bentak si hidung besar. Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.

   "Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!"

   "Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kauhutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hu-tang itu menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kukatakan, mergerti?"

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau.... harap saya diberi waktu."

   Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan.

   "Tidak, majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!"

   Kakek itu tersenyum sedih.

   "Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chung-cu, dan sebagian untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotongpun benda yang berharga."

   "Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!"

   Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya. Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan.

   "Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?"

   Suaranya bercampur tangis kebingungan.

   "Lopek yang baik, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?"

   Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata,

   "Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya...."

   Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.

   "Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!"

   Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat. Kakek itu tetap ketakutan dan meragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang tukang-tukang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya. Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali,

   "Awas, Lo Kwan, cucumu....!"

   "Mereka ke sana...."

   "Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu....!"

   Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan! Akhirnya mereka tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.

   "Kong-kong, tolonglah aku....!"

   Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali. Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.

   "Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!"

   Teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya. Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.

   "Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!"

   Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya ditendang roboh.

   "Kawan, perlahan dulu!"

   Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.

   "Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?"

   Bentaknya marah.

   "Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,"

   Kata Sie Liong dengan sikap masih tenang. Marahlah si hidung besar.

   "Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?"

   Dia me-nunjuk ke arah hidungnya yang besar.

   "Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?"

   Sie Liong mengerutkan alisnya.

   "Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kaubebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya."

   "Hah??"

   Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh,

   "Kau.... kau.... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!"

   Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak.

   "Hajar mampus setan bongkok ini!"

   Dua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain.

   Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam. Selain itu, mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka. Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda bongkok sederhana saja.

   "Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!"

   Seorang di antara mereka mengejek.

   "Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!"

   Orang ke dua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya. Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlumba siapa yang akan lebih dulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu. Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya.

   Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka rerbanting keras ke atas tanah. Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.

   "Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!"

   Kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka.

   "Orang muda, pergilah, larilah....!"

   Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun.

   "Lopek yang baik, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka patut dihajar...."

   Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri! Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.

   "Plak! Plakkk!"

   Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras sampai mengeluarkan bunyi

   "ngek! ngek!"

   Dan mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana. Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!

   "Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!"

   Bentaknya. Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri.

   "Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!"

   Katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar yang tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya. Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah di depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya menyambut Sie Liong dangan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.

   "Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!"

   Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie Liong sudah mandorongnya dan tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan! Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan. Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.

   "Taihiap.... mata kami buta, harap maafkan...."

   Kata Kwan Sun.

   "Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama gerombolannya...."

   Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan diri agar tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.

   "Bangkitlah, lopek,"

   Katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun.

   "Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!"

   Tidak sukar pekerjaan ini karena tadipun, ketika pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang pukul yang amat mereka takuti, banyak penduduk mengintai dan melihatnya.

   Mereka hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa diperintah, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun. Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu hendak bicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun, terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tuapun tidak ketinggalan. Melihat mereka, diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!

   

Mutiara Hitam Eps 8 Mutiara Hitam Eps 18 Mutiara Hitam Eps 21

Cari Blog Ini