Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 16


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Serbu....!"

   Dua ratus orang anak buah Thian liong pang dipimpin oleh komandan masing-masing, serentak bangkit. Tiba-tiba terdengar suara lengking panjang yang menulikan telinga, disusul oleh berkelebatnya bayangan yang berputar ke arah mereka yang mengurungnya dan.... semua orang terbelalak memandang dua belas orang yang roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi! Kiranya wanita itu sudah bergerak cepat dan merobohkan setiap orang yang berada paling depan dari para pengurung, entah bagaimana caranya karena dua belas orang yang roboh dan tewas itu tidak terluka sama sekali.

   "Para anggauta Thian liong pang, dengarlah! Aku datang bukan untuk membunuh kalian, melainkan untuk memimpin kalian. Kalau aku datang akan membasmi, betapa mudahnya! Aku akan menjadikan Thian liong pang sebuah perkumpulan terbesar dan terkuat di seluruh dunia, sekuat Pulau Es dengan penghuni penghuninya!"

   Mendengar ini, terutama melihat cara wanita itu merobohkan dua belas orang teman mereka, para anggauta itu serentak mundur dan menjadi ragu ragu. Hal ini menimbulkan kemarahan besar di hati para pimpinan.

   "Perempuan rendah, berani engkau membunuh Suteku?"

   Twa to Sin seng Ma Chun berteriak dan tangan kirinya bergerak.

   "Cuit cuit cuit.... cap cap cappp!"

   Tiga batang senjata rahasia berbentuk bintang menyambar ke arah tubuh wanita berkerudung, namun semua dapat ditangkap oleh wanita itu dengan jepitan jari jari tangannya. Wanita itu terkekeh, mengumpulkan tiga buah senjata rahasia itu di tangan kirinya, mengepal dan terdengar suara keras.

   Ketika ia membuka tangannya, tiga buah senjata rahasia bintang yang terbuat dari baja dan diberi racun itu telah hancur berkeping keping dan dibuang ke atas lantai! Twa to Sin seng Ma Chun marah sekali, mencabut golok besarnya dan me-nerjang maju. Tang Wi Siang yang melihat Liauw It Ban, suheng yang menggerakkan gairahnya itu terbunuh, menjadi marah dan ia pun sudah mencabut pedang dan membantu Ma Chun mengeroyok wanita itu. Sinar golok dan pedang menyambar-nyambar seperti kilat, mengurung tubuh wanita berkerudung, akan tetapi anehnya, tak pernah kedua senjata ini menyentuh ujung baju Si Wanita yang bergerak dengan mudah dan ringan seolah-olah tubuhnya berubah menjadi uap. Dikeroyok oleh dua orang yang lihai itu wanita ini malah terkekeh kekeh dan masih dapat berkata kata sambil mengelak ke sana ke mari.

   "Twa to Sin ceng Ma Chun, engkau pun bukan manusia baik baik. Engkau mata keranjang, sombong, kasar dan mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa...."

   "Perempuan rendah! Kalau aku dapat menangkapmu, aku bersumpah akan menelanjangimu dan memperkosamu di depan mata seluruh anggauta Thian-liong pang.... aughhh....!"

   Tubuh yang tinggi besar itu terlempar, goloknya terpental dan ketika semua orang memandang, tampak tanda tiga buah jari membiru di dahi Ma Chun yang sudah tewas itu!

   "Engkau.... manusia kejam....!"

   Tang Wi Siang menjerit dan pedangnya menerjang dengan hebatnya. Tingkat kepandaian Tang Wi Siang kalau dibandingkan tingkat Ma Chun dan Liauw It Ban, dapat dikatakan sama, akan tetapi setelah ia mempelajari ilmu pedang dari suaminya yang telah tiada, ia dapat memperhebat ilmu pedangnya dengan gerakan dasar dari Bu tong pai. Maka sekali ini dalam keadaan marah, pedangnya mengeluarkan bunyi berdesing desing dan menyerang wanita berkerudung itu secara bertubi tubi.

   "Tang Wi Siang, bagus sekali engkau telah mempelajari ilmu dasar dari Bu-tong pai. Aku tidak akan membunuhmu karena aku memilih engkau menjadi wakilku dalam memimpin Thian liong pang!"

   "Tutup mulutmu! Aku baru mengakui orang kalau sudah dapat mengalahkan aku!"

   "Wanita bodoh, tak tahukah engkau, betapa mudahnya itu? Kau tadi mengatakan bahwa engkau akan menguji kepandaian setiap Ketua Thian liong pang, nah, sekarang boleh menguji aku yang akan menjadi junjunganmu dan juga gurumu. Lihat baik baik, dalam tiga jurus aku akan mengalahkanmu!"

   Biarpun pada saat itu juga dia sudah yakin betapa saktinya wanita berkerudung itu, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang menjadi penasaran. Wanita aneh itu telah mengenal baik baik keadaan Thian-liong-pang, mengenal riwayat perkumpulan ini, bahkan mengenal semua nama dan julukan para pimpinan Thian liong-pang berikut watak mereka. Dan kini menantangnya akan mengalahkan dalam tiga jurus! Apakah dia dianggap seorang anak kecil yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa? Rasa penasaran membuat dia marah dan merasa dianggap rendah dan hina, maka ia berteriak keras,

   "Manusia yang bersembunyi di belakang kerudung seperti siluman! Kalau kau dapat mengalahkan aku dalam tiga jurus, aku tidak patut menjadi wakilmu, lebih patut mampus atau menjadi pelayanmu!"

   "Bagus! Engkau sendiri yang memilih menjadi pelayan!"

   Wanita aneh itu tidak menjawab akan tetapi pada saat itu Tang Wi Siang sudah menerjang dengan pedangnya, menggunakan jurus Hui-po-liu hong (Air Terjun Terbang Bianglala Melengkung). Jurus ini adalah jurus ilmu pedang Bu tong pai yang amat indah dan berbahaya, menjadi aneh dan lebih berbahaya lagi karena gerakannya telah dicampur dengan gerakan ilmu aseli dari Thian liong pang, yaitu ketika pedang menyambar membacok ke arah muka lawan dilanjutkan dengan gerakan membabat leher dari kanan ke kiri dengan gerakan melengkung, tangan kiri Tang Wi Siang menyusul dengan pukulan sakti yang disebut Touw sim ciang (Pukulan Menembus Jantung), semacam pukulan yang digerakkan dengan tenaga sin kang dan dapat menggetarkan isi dada menghancurkan jantung dan paru paru!

   "Siuuuttt.... wirr wirrr wirrrr....!"

   Wi Siang hanya melihat berkelebatnya bayangan wanita berkerudung itu ke kanan, kiri dan serangannya luput! Dengan kaget dan penasaran ia melanjutkan serangannya secara beruntun, yaitu dengan jurus Sian li touw so (Sang Dewi Menenun) dan terakhir dengan jurus Sian li sia kwi (Sang Dewi Memanah Setan).

   Mula mula pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar lingkar mengurung tubuh wanita berkerudung dan menyerangnya dari arah yang mengelilingi lawan itu. Wi Siang maklum bahwa lawannya memiliki gin kang yang luar biasa, dapat bergerak cepat seperti terbang, maka ia berusaha mengurungnya dengan sinar pedang. Seperti yang telah diduganya, wanita itu tiba-tiba mencelat ke atas untuk menghindarkan diri dari lingkaran sinar pedang. Saat ini sudah dinanti nanti oleh Wi Siang maka ia lalu menyerang dengan jurus ke tiga, jurus terakhir jurus Sian li sia kwi ini hebat sekali, dilakukan dengan melontarkan pedang ke arah bayangan lawan yang mencelat ke atas, Wi Siang amat cerdik.

   Dia dibatasi hanya sampai tiga jurus. Kalau dalam tiga jurus wanita berkerudung itu tidak mampu mengalahkannya, berarti dia dianggap menang! Inilah yang menyebabkan dia mengambil keputusan untuk menggunakan jurus Sian li sia kwi dalam jurus terakhir karena selagi mencelat di udara dan diserang oleh pedangnya yang meluncur seperti anak panah, bagaimana wanita itu dapat merobohkannya? Betapa kaget, heran dan juga girangnya ketika ia melihat lawannya itu, agaknya berkeinginan keras untuk mengalahkannya dalam jurus ini malah meluncur turun dan menyambut pedang yang menyambar itu! Makin girang lagi hati Wi Siang melihat pedangnya tepat mengenai dada Si Wanita berkerudung sehingga ia tertawa girang penuh kemenangan.

   Tiba-tiba suara ketawanya terhenti dan tubuhnya terguling ke atas lantai tanpa dapat bangun lagi karena seluruh kaki tangannya lemas setelah jalan darah di pundak terkena totokan wanita itu! Ketika pedangnya tadi mengenai dada Si Wanita berkerudung, terdengar bunyi keras dan pedangnya telah patah, kemudian sebelum ia dapat memulihkan kekagetan hatinya, tahu tahu tangan wanita berkerudung telah menotok pundaknya dengan tubuh masih meluncur dari atas. Tang Wi Siang bukanlah seorang bodoh. Kini dia merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu benar benar memiliki kesaktian yang luar biasa, bahkan ia dapat menduga bahwa biarpun seluruh anggauta dan pimpinan Thian liong pang maju mengeroyok sekali pun, mereka tidak akan dapat mengalahkan wanita ini.

   "Bangkitlah, Wi Siang!"

   Wanita berkerudung yang sudah mengenalnya itu menggerakkan tangan dan tiba-tiba Wi Siang merasa tenaganya sudah pulih kembali. Dia tidak meloncat bangun, melainkan bangkit berlutut di depan wanita itu sambil berkata.

   "Saya menyatakan takluk dan siap memenuhi semua perintah Pangcu!"

   Tiba-tiba terdengar suara bercuitan keras dibarengi menyambarnya benda-benda yang mengeluarkan sinar ke arah Si Wanita berkerudung. Itulah senjata rahasia yang dilepas oleh kedua tangan Phang Kok Sek, Ketua Thian liong pang yang sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Sekaligus dia telah menyerang dengan senjata rahasia berbentuk bintang, senjata rahasia yang khas dari Thian liong Pang dan tentu saja dalam mempergunakan senjata rahasia bintang ini, Phang Kok Sek merupakan seorang ahli yang pandai. Tujuh belas buah senjata rahasia terbang menyambar seperti berlumba menuju ke sasaran masing-masing yaitu tujuh belas jalan darah terpenting di bagian tubuh depan dari Si Wanita berkerudung.

   Namun wanita berkerudung itu memiliki kecepatan yang amat hebat. Betapapun cepat datangnya senjata senjata rahasia yang menyerangnya, gerakannya mengelak lebih cepat lagi. Hanya tampak tubuhnya berkelebat dan tahu tahu ia telah lenyap. Ketika orang memandang ke atas, tubuhnya telah menempel di langit langit ruangan itu seperti kelelawar besar bergantungan pada pohon. Phang Kok Sek yang selain marah sekali juga maklum bahwa kalau tidak dapat segera melenyapkan wanita berke-rudung ini kedudukannya terancam, sudah meloncat ke atas dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan terbuka, didorongkan ke arah tubuh lawan yang masih menempel di langit langit.

   "Braakkk!"

   Hebat bukan main pukulan itu, pukulan Hwi tok ciang selain amat dahsyat juga mengandung hawa panas membakar dan berbisa pula. Langit langit ruangan itu jebol dilanda hawa pukulan dahsyat ini.

   Akan tetapi, bagaikan seekor capung ringannya, tubuh wanita berkerudung sudah mengelak dan melayang turun. Ketika tubuhnya lewat dekat tubuh Phang Kok Sek, wanita itu mengirim sebuah tendangan ke arah dada Phang Kok Sek. Tingkat kepandaian Pang Kok Sek jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian dua orang sutenya yang tewas dan seorang sumoinya yang telah dikalahkan lawan. Tendangan itu cepat dan tidak terduga duga, dilepas selagi tubuh mereka berada di tengah udara, akan tetapi dengan jalan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik, Phang Kok Sek berhasil menyelamatkan nyawanya dan hanya ujung bajunya saja yang robek kena diserempet ujung kaki lawan. Hal ini membuktikan betapa lihai wanita itu dan Phang Kok Sek sudah meloncat ke bawah dengan muka berubah.

   "Ji wi Suheng! Siluman ini telah membunuh Ma sute dan Liauw-sute, dan beberapa orang anak buah, apakah kalian masih tinggal diam saja?"

   Sambil menegur kedua orang suhengnya, Phang Kok Sek sudah menyambar senjatanya yang hebat, yaitu sebatang tombak cagak bergagang baja yang besar dan berat dari sudut belakang tempat duduknya. Karena wanita berkerudung itu adalah orang luar dan yang terang terangan hendak merampas Thian liong pang, semenjak tadi memang Sai cu Lo mo dan Lui hong Sin ciang Chie Kang menganggapnya sebagai musuh. Akan tetapi, mengingat akan kedudukan dan tingkat mereka yang sudah tinggi di dunia kang-ouw, mereka masih merasa ragu ragu dan malu untuk mengeroyok seorang wanita.

   Kini menyaksikan kelihaian wanita itu yang benar benar amat luar biasa dan mendengar teguran Sang Ketua, kedua orang kakek ini sudah bangkit dan meloncat ke depan. Mereka tidak memegang senjata dan memang kedua orang kakek ini lebih mengandalkan kepada kaki tangannya daripada senjata. Biarpun bertangan kosong, namun kepandaian mereka hebat dan kaki tangan mereka ini jauh lebih berbahaya daripada segala macam senjata yang tajam runcing. Sai cu Lo mo yang tertua di antara mereka bertiga dan juga sudah berpengalaman dan memiliki tingkat yang paling tinggi, kini berhadapan dengan wanita berkerudung, memandang tajam seperti hendak menembus kerudung itu dengan pandang matanya, lalu berkata,

   "Nona, engkau masih begini muda telah memiliki kepandaian yang hebat dan sikap yang aneh sekali. Bukalah kerudungmu, perkenalkan dirimu dan jelaskan apa sebabnya engkau mengacau di Thian liong pang dan membunuh orang-orang yang sama sekali tidak ada permusuhan denganmu?"

   Sepasang mata di belakang dua lubang di kerudung itu bersinar sinar dan biarpun mulutnya tidak tampak, jelas dapat diduga bahwa wanita itu tersenyum. Mata itu memandang kepada Sai cu Lo mo dan Chie Kang bergantian, kemudian berkata,

   "Sai cu Lo mo, dan Lui hong Sin-ciang Chie Kang, aku mengenal siapa kalian berdua dan tadi aku sudah mendengar kalian mengeluarkan isi hati kalian! Hanya kalian berdualah yang patut menjadi Ketua dan Pimpinan Thian liong-pang, akan tetapi mengapa kalian tidak pernah mau menjadi Ketua? Aku tahu, karena kalian merasa enggan menjadi Ketua dari perkumpulan yang makin rusak oleh sepak terjang anak buahnya! Thian-liong pang makin bobrok dan kalian tidak mau nama kalian kelak terseret ke dalam lumpur kehinaan karena menjadi Ketuanya! Betapa pengecut! Betapapun juga, aku suka kalian membantuku kelak, maka aku tidak akan membunuh kalian berdua. Tak perlu aku memperkenalkan diri, cukup kalau kalian ketahui bahwa akulah Ketua kalian yang baru, karena aku hendak memimpin Thian liong pang menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan kuat, lebih besar dan lebih kuat daripada para penghuni Pulau Es. Adapun Phang Kok Sek Si Raksasa tolol yang tidak segan segan mengorbankan saudara-saudaranya untuk memperebutkan kursi ketua ini, dia tidak berguna dan akan kulenyapkan...."

   "Siluman betina!"

   Phang Kok Sek sudah menerjang maju, menusukkan tombak cagaknya yang panjang, besar dan berat ke arah perut wanita berkerudung itu.

   "Takkk!"

   Wanita itu tidak mengelak, tidak berkisar dari tempat dia berdiri hanya mengangkat kaki kirinya dan ujung kakinya itu menendang ke arah tombak, tepat mengenai belakang mata tombak sehingga tusukan itu menyeleweng dan Phang Kok Seng merasa tangannya bergetar hebat. Sai cu Lo mo dan Lui hong Sin ciang Chie Kang yang menjadi merah mukanya mendengar ucapan wanita berkerudung itu sudah menerjang maju pula. Mereka merasa berkewajiban untuk menentang wanita ini, bukan sekali-kali untuk membantu demi keselamatan pribadi Phang Kok Sek, namun demi menjaga nama Thian liong pang dan sebagai tokoh-tokoh Thian liong pang melihat orang luar mengacau perkumpulan itu.

   "Wussss.... ciattt!"

   Lui hong Sin ciang Chie Kang yang kepalanya gundul dan kelihatan lemah sekali seperti seorang sasterawan yang menjadi botak karena terlalu banyak berpikir dan menjadi buyuten tangannya karena terlalu banyak menulis, begitu menyerang telah memperlihatkan kedahsyatannya. Kedua tangannya bergerak dengan mantep dan mengandung tenaga yang dahsyat sekali sehingga serangannya itu membuat kedua tangannya seolah-olah berubah menjadi baja tajam yang membelah udara menge-luarkan suara mengerikan.

   Melihat kelihaian kakek gundul ini, diam diam wanita berkerudung menjadi kagum karena ia maklum bahwa orang ini kalau menjadi pembantunya akan merupakan seorang pembantu yang boleh diandalkan! Biarpun keadaan wanita berkerudung ini merupakan rahasia bagi semua orang Thian liong pang, namun kita tahu bahwa dia itu bukan lain adalah Nirahai. Nirahai, puteri Kaisar ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, apalagi setelah digembleng oleh mendiang Nenek Maya (baca cerita PENDEKAR SUPER SAKTI), tingkat kepandaiannya sudah hebat sekali. Tentu saja serangan Chie Kang itu baginya bukan apa-apa dan dengan mudah ia dapat mengelak ke kiri di mana dia tahu Sai cu Lo mo sudah siap dengan serangannya yang ia duga tentu tidak kalah hebatnya dengan Si Kakek gundul.

   "Wirrr wirrr wirrr.... plak plak plak!"

   Nirahai makin girang hatinya. Tiga serangan berantai yang diluncurkan Sai-cu Lo mo dengan ujung lengan bajunya itu hebat bukan main. Ujung lengan bajunya itu mengandung tenaga yang lebih kuat daripada kedua tangan Chie Kang dan dia maklum bahwa ujung lengan baju itu cukup dahsyat untuk menghancurkan batu karang ydng keras! Akan tetapi, Sai cu Lo mo lebih kaget lagi karena tiga kali ujung lengan bajunya ditangkis oleh ujung jari jari tangan wanita itu dengan kibasan yang membuat dia merasa seluruh lengannya tergetar. Tahulah dia bahwa dia telah bertemu dengan lawan yang jauh lebih kuat daripada dia dan para sutenya!

   "Syuuutt.... serrr serrr serrr!"

   Tombak panjang menyambar dari belakang, menusuk lambung Nirahai disusul meluncurnya tiga buah senjata rahasia bintang.

   Cara Phan Kok Sek menyerang ini saja sudah membuktikan akan kelicikan wataknya, menggunakan kesempatan selagi Nirahai menghadapi dua orang suhengnya yang lihai, menyerang dari belakang, bukan hanya dengan tombaknya yang dahsyat, juga dengan pelepasan am-gi (senjata rahasia). Nirahai menjadi marah. Kedua tangannya bergerak cepat dan tahu tahu tiga buah senjata rahasia itu telah ia tangkap dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menyambar dan berhasil menangkap leher tombak ketika ia miring ke kiri dan tombak itu meluncur dekat lambungnya. Tangan kirinya diayun dan tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah pemiliknya! Sebagai seorang ahli melepas senjata rahasia Sin seng ci tentu saja Phang Kok Sek dapat menghindarkan diri dan cepat meloncat ke atas dengan kedua kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangan masih memegangi gagang tombaknya.

   Gerakannya ini cepat dan indah sekali sehingga tiga batang Sin seng ci menyambar lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi dia tidak tahu akan kelihaian lawan. Begitu tubuhnya meloncat, Nirahai mengerahkan tenaga pada tangan kanannya yang memegang gagang tombak itu ke atas. Phang Kok Sek terkejut dan berusaha menahan dengan kedua tangan, namun dia kalah kuat dan terdengar teriakan mengerikan ketika gagang tombak itu menerobos dan menusuk perut Phang Kok Sek sampai tembus ke punggungnya. Sekali menggerakkan tangan, Nirahai melemparkan tombak bersama tubuh Ketua Thian liong pang yang tak bernyawa lagi itu ke samping dan otomatis kedua tangannya sudah menangkis dua serangan dari kanan-kiri yang dilakukan Sai cu Lo mo dan Chie Kang.

   Dalam melakukan tangkisan ini, Nirahai sudah mengerahkan tenaga pada te-lapak tangannya, maka begitu telapak tangannya bertemu dengan tangan kedua lawan, dua orang itu berseru kaget karena tangan mereka melekat pada telapak tangan yang berkulit halus itu, tak dapat ditarik kembali. Mereka maklum bahwa wanita berkerudung ini sengaja menantang mereka mengadu sin kang maka kedua kakek itu dengan kedua kaki terpentang lebar cepat mengerahkan sin kang melalui tangan mereka untuk merobohkan lawan. Terjadilah adu tenaga sin kang yang hebat. Kedua kakek itu berdiri dengan kaki terpentang tubuh agak membungkuk, sedangkan Nirahai yang berdiri di tengah, kedua tangannya terkembang ke kanan-kiri menahan tangan kedua lawan, kakinya terpentang sedikit dan tubuhnya tegak.

   Semua orang menonton dengan hati tegang, mengira bahwa wanita berkerudung itu tentu akan terhimpit di tengah tengah oleh dua kekuatan raksasa yang amat dahsyat! Namun, Nirahai yang memiliki tingkatan lebih tinggi, bersikap tenang-tenang saja, dari kedua tangan lawan di kanan-kirinya, menerobos tenaga sin kang yang kuat sekali melalui kedua lengannya yang terkembang. Wanita cerdik ini tidak melawan sehingga kedua lawannya terkejut dan heran, tiba-tiba mereka tersentak kaget ketika ada tenaga amat kuat menahan dorongan sin kang mereka, Sejenak kedua orang itu mengerahkan semangat dan tenaga dalam dan ketika mereka melihat betapa wanita itu kelihatannya enak enak saja tanpa mengerahkan tenaga, barulah mereka sadar bahwa mereka kena diakali!

   Kiranya lawan mereka itu sengaja mempertemukan kedua tenaga sakti dari kanan-kiri sehingga Sai cu Lo mo dan Chie Kang ber-tanding sendiri, saling dorong dengan tenaga sin kang melalui tubuh Si Wanita berkerudung yang seolah-olah hanya menyediakan dirinya menjadi arena pertandingan sambil menonton seenaknya! Mereka sadar dan cepat hendak menarik tenaga sakti mereka, namun terlambat karena pada saat itu, Nirahai sudah menggunakan tenaganya sendiri, menggunakan kesempatan selagi kedua orang saling dorong sehingga tenaga sin-kang mereka terpusat kemudian mereka menarik kembali tenaga ketika sadar bahwa sesungguhnya mereka itu saling gempur antara saudara sendiri. Ketika kedua orang kakek itu menarik kembali tenaga sin kang, saat itulah Nirahai menyerang mereka dengan tenaga sakti yang amat dahsyat.

   "Cukup, rebahlah!"

   Sai cu Lo mo dan Lui hong Sin ciang Chie Kang tak dapat mempertahankan diri lagi, begitu Nirahai menarik kedua lengannya mereka roboh dan biarpun mereka sudah berusaha sekuatnya untuk tidak terguling, tetap saja mereka jatuh berlutut dan cepat memejamkan mata sambil mengatur pernapasan. Tenaga sin kang mereka sendiri yang tadi mereka tarik telah menghantam dada mereka karena didorong oleh tenaga wanita berkerudung itu, membuat dada terasa sakit dan pernapasan menjadi sesak. Yang membuat mereka heran dan bingung adalah keadaan lengan kanan mereka yang menjadi lumpuh seolah-olah tulang pundak lengan dalam keadaan terkunci, sama sekali tidak dapat digerakkan!

   "Wi Siang, bantulah kedua orang Suhengmu itu. Kau totok jalan darah Hong-hu hiat di pundak kanan mereka masing-masing dua kali."

   Nirahai berkata kepada Tang Wi Siang yang berdiri menonton pertandingan tadi penuh kagum.

   Ia mengangguk, menghampiri kedua orang suhengnya dan tanpa ragu-ragu menotok belakang pundak kanan mereka dua kali seperti yang diperintahkan wanita berkerudung itu. Begitu terkena totokan dua kali, jalan darah mereka normal kembali dan lengan kanan dapat digerakkan. Kini, kedua orang kakek itu benar benar tunduk dan merasa yakin bahwa wanita berkerudung itu benar benar memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Timbul rasa kagum dan suka di hati mereka untuk mengangkatnya menjadi ketua, karena dengan ketua sehebat ini, Thian--liong pang pasti akan menjadi sebuah perkumpulan yang kuat dan terpandang. Maka mereka lalu berlutut di depan Nirahai sambil berkata,

   "Pangcu!"

   Terdengar sorak sorai dari para anggauta yang kini sudah pula berlutut menghadap Si Wanita berkerudung yang tersenyum di balik kerudungnya, Nirahai mengangkat, kedua lengan ke atas dan suara sorakan itu terhenti. Keadaan menjadi sunyi dan semua orang mendengarkan ucapan dari balik kerudung, ucapan yang halus merdu namun berwibawa.

   "Mulai saat ini Thian liong pang di bawah pimpinanku harus menjadi sebuah perkumpulan yang kuat, dihormati dan disegani di seluruh dunia kang ouw. Untuk dapat menjadi kuat, kalian semua harus menggembleng diri dan mempertinggi tingkat ilmu silat yang akan kuajarkan kepada kalian semua, sesuai dengan tingkat masing-masing. Untuk menjadi perkumpulan yang disegani, Thian-liong pang harus menunjukkan kegagahan dan kekuatannya menundukkan semua pihak yang menentang kita, dan untuk dapat dihormat, Thian liong pang harus bersih daripada segala perbuatan yang jahat. Tidak boleh ada penyelewengan lagi, tidak boleh ada perampokan, penindasan dan lain perbuatan jahat lagi. Semua perbuatan yang dilakukan oleh anggauta, harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang akan kuadakan. Setiap pelanggar akan menerima hukuman berat!"

   Mendengar perintah pertama yang ke-luar dari mulut wanita berkerudung itu, diam diam Sai cu Lo mo dan Lui hong Sin ciang Chie Kang menjadi girang sekali. Sai cu Lo mo demikian kagum dan gembiranya sehingga ia mengangkat tangan kanan ke atas sambil berteriak,

   "Hidup Pangcu kita!"

   Semua anggauta juga tertegun mendengar perintah tadi, tentu saja yang biasanya mengumbar nafsu, diam diam menjadi gentar dan khawatir kalau kalau dia akan mangalami nasib sial dan dihukum seperti para pimpinan mereka yang kini masih menggeletak di situ menjadi mayat. Maka, mendengar seruan Sai cu Lo mo, serentak semua anggauta berteriak,

   "Hidup pangcu....!"

   Bahkan mereka yang tadinya suka mengandalkan nama besar Thian liong pang untuk melakukan penindasan dan perbuatan perbuatan jahat, berteriak paling keras!

   "Sekarang singkirkan dan urus jenazah mereka ini baik baik, kuburkan sebagaimana mestinya. Sai cu Lo mo, Lui-hong Sin ciang Chie Kang, kalian berdua kuangkat menjadi pembantu-pembantuku, sedangkan Tang Wi Siang, sesuai dengan kehendaknya sendiri menjadi pelayanku yang paling kupercaya. Mari kita masuk dan merundingkan segala urusan mengenai Thian liong pang. Aku ingin mendengar, hal apa saja yang dihadapi Thian-liong-pang saat ini."

   Nirahai diiringkan oleh tiga orang pembantunya memasuki gedung menuju ke ruangan dalam. Tak seorang pun pelayan diijinkan masuk ketika empat orang ini mengadakan perundingan, sedangkan para anak buah Thian liong pang sibuk mengurus mayat mayat yang bergelimpangan di ruangan tadi. Mereka, juga para pelayan, saling berbisik membicarakan Ketua partai yang penuh rahasia itu. Nirahai dengan tenang mendengarkan pelaporan tiga orang pembantunya mengenai keadaan Thian liong pang. Segala macam urusan mengenai perkumpulan ini diceritakan oleh Sai cu Lo mo dan Lui-hong Sin ciang Chie Kang, sedangkan Tang Wi Siang yang duduk di dekat Nirahai hanya mendengarkan dan bersikap sebagai seorang pelayan.

   "Tiga buah perkumpulan yang menentang kita, mudah dibereskan. Aku akan mendatangi mereka dan menundukkan mereka. Hal-hal lain dijalankan seperti biasa, akan tetapi harus disesuaikan dengan peraturan peraturan yang akan kuadakan. Hanya satu hal yang mengherankan hatiku. Kau tadi menceritakan tentang usaha Thian liong pang yang gagal dalam memperebutkan seorang anak bernama Gak Bun Beng. Benarkah utusan kita itu dikalahkan oleh Pendekar Siluman dan anak itu akhirnya dibawa oleh Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai?"

   "Benar, Pangcu,"

   Jawab Sai cu Lo mo. Nirahai mengerutkan keningnya.

   "Anak ini.... Gak Bun Beng, ada hubungan apakah dengan Thian liong pang sehingga perkumpulan kita harus berusaha merebutnya?"

   Sai cu Lo mo menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya yang seperti jenggot singa itu.

   "Maaf, Pangcu. Sesungguhnya, dengan perkumpulan kita tidak ada hubungan apa-apa dan mendiang Ketua kami hanya memenuhi permintaan saya, karena sesungguhnya sayalah yang mempunyai hubungan dengan anak itu. Anak itu masih cucu keponakan saya sendiri."

   "Hemmm..... begitukah? Coba jelaskan, siapa sebenarnya anak itu, dia anak siapa dan bagaimana hubugannya denganmu, Lo mo? Kalau kuanggap penting, percayalah, aku yang akan mendapatkannya untukmu. Tentang Pendekar Siluman, jangan khawatir, aku akan dapat menghadapinya!"

   Bahkan Wi Siang sendiri diam diam menjadi kaget mendengarkan ini. Berani menentang Pendekar Siluman? Benarkah Ketuanya yang baru ini memiliki kesaktian yang demikian hebat sehingga berani menentang Pendekar Siluman? Baru mendengar cerita para anggauta Thian-liong pang tentang Pendekar Siluman yang bisa pian-hoa (merobah diri) menjadi raksasa dan menjadi setan tanpa kepala saja sudah membuat semua orang gagah di Thian liong pang ngeri dan serem! Sai cu Lo-mo dan Chie Kang juga kaget dan sambil memandang wajah yang tertutup kerudung itu, Sai cu Lo mo menjawab,

   "Dia adalah putera dari keponakan saya yang bernama Bhok Khim, murid Siauw lim pai."

   "Hemmm.... Bhok Kim yang berjuluk Bi kiam, seorang di antara Kang lam Sam eng?"

   "Betul, Pangcu,"

   Jawab Sai cu Lo mo makin kagum dan terheran bagaimana wanita berkerudung ini agaknya tahu akan segala hal dan mengenal semua orang. Maka dia tidak menyembunyikan dirinya lagi dan menyambung,

   "Saya dahulu bernama Bhok Toan Kok, Bhok Kim adalah anak tunggal adikku...."

   Akan tetapi agaknya Nirahai tidak mempedulikannya dan seperti orang melamun karena mengingat, berkata,

   "Dan bocah itu she Gak? Hem.... tentu anak dari Kang thouw kwi Gak Liat Si Setan Botak...."

   Tiga orang tokoh Thian liong pang itu terbelalak, makin heran dan kagum. Sai cu Lo mo berteriak,

   "Bagaimana Pangcu dapat mengetahuinya....?"

   Nirahai memandangnya.

   "Aku tahu, dan Gak Liat yang memperkosa Bhok Kim sehingga wanita itu dihukum di Siauw-lim pai, kemudian melahirkan anak dan.... mereka berdua kemudian saling bunuh. Hemm.... jadi engkau ingin mengambil cucu keponakanmu itu, Sai cu Lo mo? Apa perlunya? Anak itu adalah keturunan Gak Liat, datuk kaum sesat!"

   Sai cu Lo mo menarik napas panjang.

   "Betapapun juga, dia adalah cucu keponakan saya, Pangcu."

   Nirahai mengangguk,

   "Baiklah, urusan anak itu kita tunda dulu saja. Aku tidak ingin melibatkan Thian liong pang hanya karena urusan keturunan Gak Liat. Betapapun juga, kalau engkau mendengar di mana adanya bocah itu sekarang, dan ada kemungkinan merebutnya, aku suka membantumu. Tahukah engkau di mana dia itu sekarang?"

   "Dia menjadi murid di Siauw-lim-si."

   Nirahai menggeleng kepala.

   "Kalau Siauw lim si kita tidak dapat berbuat sesuatu, Lo-mo. Ibu anak itu adalah murid Siauw lim pai, sudah semestinya kalau anaknya menjadi murid Siauw lim pai pula. Jangan mengira bahwa aku takut menghadapi Siauw lim pai, akan tetapi apa perlunya kita menyeret perkumpulan menjadi musuh Siauw lim pai yang amat kuat hanya karena memperebutkan seorang anak, apalagi anak keturunan seorang seperti Gak Liat?"

   Diam diam Sai cu Lo mo harus membenarkan pendapat pangcunya ini. Tiba-tiba ia mengangkat kepala dan berkata,

   "Pangcu.... maaf.... hati saya akan selalu gelisah kalau tidak menyatakannya sekarang. Kalau saya tidak keliru menduga.... saya dapat mengenal siapa kiranya Pangcu!"

   Nirahai menoleh ke arah Chie Kang dan bertanya,

   "Bagaimana dengan engkau, Lui hong Sin ciang Chie Kang? Apakah engkau pun dapat menduga siapa aku?"

   Chie Kang terkejut. Dia pun sedang berpikir pikir. Kalau wanita berkerudung itu tidak memperlihatkan sikap mengenal semua orang, bahkan mengetahui segala hal yang bagi banyak tokoh kang ouw merupakan rahasia, maka di dunia ini kiranya hanya ada seorang saja wanita seperti itu, akan tetapi diam diam dia terkejut dan tidak percaya bahwa pangcunya yang baru adalah orang itu! Kini dia makin gugup mendengar pertanyaan itu dan menjawab,

   "Saya.... saya hanya menduga duga akan tetapi tidak berani memastikannya. Pribadi Pangcu penuh rahasia, sukar untuk diduga...."

   Nirahai tersenyum di balik kerudungnya.

   "Sai cu Lo mo, aku dapat menjenguk isi hatimu. Dugaanmu itu agaknya tidak keliru. Engkau dan Chie Kang telah kuangkat menjadi pembantu-pembantuku yang setia dan boleh dipercaya, sedangkan Wi Siang menjadi pelayan dan pengawalku. Hanya kalian bertiga sajalah yang boleh mengetahui siapa sebe-narnya aku. Akan tetapi, kalau sampai seorang di antara kalian berani membocorkan rahasiaku, tanganku sendiri yang akan membunuhnya! Nah, agar hati kalian tidak ragu ragu lagi, kalian boleh mengenalku."

   Berkata demikian, wanita berkerudung itu membuka kerudungnya, dan tampaklah wajahnya yang cantik jelita, wajah puteri Kaisar Mancu. Puteri Nirahai yang pernah menggemparkan seluruh dunia kang ouw sebagai pemimpin pasukan pasukan pemerintah yang membasmi para pemberontak! Tiga orang tokoh Thian liong pang itu belum pernah bertemu muka sendiri dengan Nirahai, akan tetapi nama besar puteri ini sudah lama mereka dengar. Kini mendapat kenyataan bahwa yang menjadi Ketua mereka adalah puteri yang terkenal itu, yang berdiri dengan cantik dan agungnya, dengan sepasang mata yang amat berwibawa memandang kepada mereka dengan mulut yang berbentuk indah itu tersenyum halus, mereka serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan Nirahai.

   "Harap Paduka suka mengampunkan hamba sekalian yang tidak mengenal Puteri yang mulia,"

   Kata Sai cu Lo mo mewakili saudara saudaranya.

   "Bangunlah kalian!"

   Tiba-tiba Nirahai membentak dan ketika mereka dengan kaget bangkit berdiri memandang, Nirahai telah memakai lagi kerudungnya, menutupi mukanya yang cantik, dan kini dari sepasang lubang di depan kerudung, matanya memandang marah.

   "Mulai saat ini, kalian tidak boleh sekali-kali menyebutku Puteri, dan jangan membocorkan rahasia ini! Aku adalah Pangcu (Ketua) Thian liong pang dan kalian sebut saja aku Pangcu. Nah, mari kita duduk dan melanjutkan perundingan demi kemajuan perkumpulan kita."

   Demikianlah, semenjak hari itu, Nirahai menjadi Ketua Thian liong pang. Kecuali tiga orang pembantunya itu, tak seorang pun di antara para anggauta Thian liong pang mengetahui bahwa Ketua mereka yang diliputi penuh rahasia, yang selalu menyembunyikan muka di belakang kerudung, yang memiliki ilmu kepandaian hebat seperti iblis, sebenarnya adalah Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu.

   Nirahai menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada tiga orang pembantunya sehingga dalam waktu dua tahun saja, Sai cu Lo-mo, Luihong Sin ciang Chie Kang, dan Tang Wi Siang telah memperoleh kemajuan yang amat hebat, tingkat mereka naik jauh lebih tinggi daripada sebelumnya, akan tetapi watak mereka pun berubah, penuh rahasia seperti watak Ketua mereka. Para anak buah Thian liong pang juga dilatih ilmu silat oleh tiga orang tokoh ini sehingga pasukan Thian liong pang kini menjadi pasukan yang hebat, setiap orang anggautanya memiliki kepandaian tinggi. Seperti telah diceritakan di bagian depan tadinya Nirahai menitipkan puterinya, Milana, kepada Pangeran Jenghan di Kerajaan Mongol.

   Selama membangun dan memperkuat Thian liong pang beberapa tahun, dia meninggalkan puterinya itu dan hanya kira kira sebulan sekali dia pergi ke Mongol mengunjungi puterinya. Milana sama sekali tidak tahu bahwa ibunya adalah Ketua Thian liong-pang yang amat terkenal itu. Baru setelah Nirahai mengajaknya ke Thian liong-pang anak perempuan ini tahu bahwa ibunya adalah wanita berkerudung, Ketua Thian liong pang yang menggemparkan dunia kang ouw. Juga kini Milana tahu, dengan hati penuh kebanggaan namun juga kedukaan, bahwa ayahnya adalah Pendekar Siluman, To cu dari Pulau Es yang agaknya berselisih paham dengan ibunya sehingga ayah bundanya itu saling berpisah, bahkan timbul gejala saling bertentangan! Pertemuannya dengan suaminya, Suma Han, mendatangkan rasa duka yang hebat di hati Nirahai.

   Dia adalah seorang puteri kaisar, seorang wanita yang mempunyai harga diri tinggi sekali. Betapapun besar cinta kasihnya kepada Suma Han, namun sikap suaminya itu membuatnya berduka. Dia tidak mau menyembah-nyembah minta dibawa, sungguh rasa rindunya kadang-kadang menyesak di dada. Dia ingin memperlihatkan bahwa kalau Suma Han tidak membutuhkan dia, dia pun tidak akan merangkak rangkak mengejar suaminya! Keangkuhan ini membuat dia amat menderita, membuat cintanya kadang-kadang berubah menjadi kebencian, membuat dia ingin menandingi kebesaran suaminya, menandingi kepandaiannya. Dalam pertemuannya dua kali dengan Suma Han, pertama ketika tokoh-tokoh kang ouw memperebutkan rahasia pusaka di Sungai Huang ho, ke dua baru baru ini, Nirahai maklum bahwa dalam ilmu kesaktian dia masih belum mampu menandingi Suma Han.

   Biarpun Perkumpulan Thian liong pang kini menjadi amat kuat dan agaknya para pembantu dan anak buahnya tidak kalah hebat oleh anak buah Pulau Es, namun kalau dia sendiri tidak mampu menandingi Suma Han, semua akan sia-sia belaka. Tidak ada seorang pun di Thian liong pang yang akan kuat bertanding dengan Suma Han. Maka dia harus mempertinggi ilmu-ilmunya. Terutama sekali Nirahai ingin melihat puterinya, Milana menjadi seorang yang lebih pandai daripadanya. Keinginan untuk menjadi seorang yang lebih sakti dari Suma Han inilah yang membuat Nirahai melakukan hal-hal yang amat berani, di antaranya ialah menculik tokoh-tokoh kang-ouw, ketua-ketua perkumpulan silat yang diundang atau kalau tidak mau dipaksa mengunjungi Thian-liong-pang! Untuk apa?

   Sebaiknya kita sekarang mengikuti perjalanan Gak Bun Beng yang sedang mengunjungi Thian-liong-pang dengan mengikuti bayangan dua orang tokoh Thian-liong-pang dengan hati-hati karena dia maklum bahwa kedua orang itu sedang memancingnya untuk memasuki markas besar perkumpulan yang terkenal itu. Markas Thian-liong-pang yang menjadi pusat perkumpulan itu merupakan sekumpulan bangunan besar, dikelilingi oleh dinding batu yang tingginya dua kali tinggi manusia. Di tempat ujung dinding temboknya terdapat tempat di mana tampak penjaga yang melakukan penjaga-an siang malam sehingga sarang perkumpulan itu seperti benteng tentara saja. Pintu gerbang yang lebar terbuat dari kayu tebal berlapis besi, dijaga pula oleh selosin orang.

   Pintu gerbang terbuka ketika dua orang tokoh Thian-liong-pang tiba di situ, akan tetapi begitu kedua orang itu masuk melalui pintu gerbang, daun pintu tertutup kembali dari dalam. Bun Beng memeriksa keadaan pintu gerbang yang amat kuat dan dinding tembok yang tinggi. Ia tersenyum. Agaknya, orang-orang Thian-liong-pang itu terlalu memandang rendah kepadanya. Apa artinya dinding tembok setinggi itu baginya? Lebih tinggi lagi pun dia akan mampu melompatinya. Dia maklum bahwa mereka tentu sudah menantinya, akan tetapi dia tidak takut. Dia harus memasuki sarang Thian-liong-pang, menolong Ketua Bu-tong-pai, mungkin menolong banyak orang lagi yang terculik dan menjadi tawanan di tempat itu. Pula, dia sudah mengambil keputusan bulat untuk menemui Ketua Thian-liong-pang dan menegurnya agar tidak melakukan penculikan-penculikan.

   Dia maklum bahwa orang-orang Thian-liong-pang amat lihai, apalagi ketuanya yang pernah ia lihat di pulau Sungai Huang-ho beberapa tahun yang lalu. Ia masih bergidik kalau teringat akan wanita berkerudung yang amat lihai itu. Akan tetapi, kepandaiannya sekarang tidak seperti dahulu, kini dia telah dewasa dan berilmu tinggi, kalau dia tidak menentang perbuatan sewenang-wenang ini, untuk apa dia mempelajari ilmu sampai bertahun-tahun? Pula, dia teringat betapa tokoh wanita Thian-liong-pang dahulu bersikap baik kepadanya, dan rata-rata orang Thian-liong-pang tidaklah seganas orang Pulau Neraka. Selain kenyataan itu, juga dalam perjalanannya dia tidak pernah mendengar Thian-liong-pang sebagai perkumpulan orang jahat, tidak pernah melakukan kejahatan.

   Kalau sekarang mereka menculik ketua-ketua perkumpulan dan tokoh-tokoh kang-ouw tentu ada rahasia di balik perbuatan mereka itu dan dia harus membongkar rahasia itu dan berusaha menghentikan perbuatan mereka. Akan tetapi Bun Beng bukan seorang yang sembrono. Dia maklum bahwa meloncat begitu saja pada siang hari itu merupakan perbuatan yang amat berbahaya. Tidak, dia tidak berani bersikap sembarangan. Maka dia mundur kembali dan mengintai dari jauh, menanti sampai malam tiba karena dia mengambil kepu-tusan untuk memasuki sarang naga itu setelah hari menjadi gelap. Setelah hari berganti malam, Bun Beng berindap-indap mendekati dinding yang mengurung sarang Thian-liong-pang. Ia sudah memilih bagian kiri di ujung, sebelah kiri pintu gerbang, untuk meloncat masuk.

   Tiba-tiba ia mendengar suara tambur dan gembreng di sebelah dalam. Ia berhenti di bawah dinding dan mendengarkan penuh perhatian. Apakah Thian-liong-pang mengadakan pesta? Hemm, bukan, bantah hatinya. Tambur dan gembreng itu dipukul seperti kalau dipergunakan untuk mengiringi orang bermain silat! Agaknya mereka sedang berlatih silat. Dia tidak akan merasa heran kalau mereka telah siap menantinya, bahkan dia menduga bahwa tentu gerak-geriknya sejak tadi telah diintai. Namun dia tidak peduli. Sekarang atau dia akan terlambat. Dengan gerakan indah Bun Beng meloncat. Tubuhnya melayang ke atas dan kedua kakinya hinggap di atas dua ujung tombak, gerakannya amat ringan seolah-olah seekor burung garuda yang besar. Ia merasa heran sekali karena tidak ada anak panah atau senjata orang menyambutnya.

   Di bawah tidak tampak orang menjaga, hanya tampak genteng bangunan-bangunan dan tampak sinar penerangan yang besar, terutama di depan sebuah bangunan terbesar di situ. Tampak pula orang-orang hilir mudik, akan tetapi tidak ada yang menengok, seakan-akan mereka itu hanya orang-orang dusun yang tidak paham ilmu silat dan tidak tahu akan kedatangannya. Bun Beng merasa penasaran. Apakah pihak Thian-liong-pang menganggap dia begitu rendah sehingga tidak pantas untuk menjaga dan menghebohkan kedatangannya? Ia melayang turun dari tembok, hinggap di atas genteng, kemudian melayang turun pula ke bagian samping bangunan besar yang agaknya saat itu menjadi pusat keramai-an. Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang kakek yang berkata tenang.

   "Selamat datang, Siauw-hiap dari Siauw-lim-pai. Biarpun caramu masuk tidak selayaknya, namun mengingat bahwa Siauw-hiap adalah seorang murid Siauw-lim-pai, Pangcu kami mempersilakan Siauw-hiap untuk duduk sebagai tamu menonton pertunjukan kami. Kami menerima Siauw-hiap sebagai se-orang tamu yang terhormat, ataukah.... Siauw-hiap lebih suka dianggap sebagai seorang pencuri yang rendah?"

   Bun Beng memandang orang itu yang ternyata adalah seorang kakek berkepala gundul, berjenggot dan berkumis, pakaiannya seperti seorang sasterawan, usianya kurang lebih enam puluh tahun, suaranya tinggi nyaring akan tetapi sikapnya halus dan seperti orang lemah. Mendengar ucapan itu, Bun Beng tersenyum.

   "Terserah kepada Thian-liong-pang akan menganggap aku sebagai apa. Akan tetapi karena aku ingin bertemu dengan Pangcu kalian, dan melihat betapa aku disambut sebagai tamu, biarlah aku menerima sambutan ini."

   "Kalau begitu, silakan Siauw-hiap!"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata kakek itu. Bun Beng berjalan dengan sikap tenang menuju ke ruangan depan bangunan besar diiringkan oleh kakek gundul. Kini mengertilah dia mengapa dia tidak disambut sebagai musuh dan tidak diserang. Kiranya Thian-liong-pang agaknya merasa enggan bermusuhan dengan Siauw-lim-pai, dan hanya karena memandang Siauw-lim-pai maka dia disambut dengan manis budi. Dia mengerti bahwa andaikata kedua orang tokoh yang menawan Ketua Bu-tong-pai tadi tidak mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai yang ia miliki dan tidak melaporkan bahwa dia seorang murid Siauw-lim-pai, tentu penyambutan mereka akan lain sekali. Ketika kakek gundul itu mengajaknya memasuki ruangan depan yang luas dan diterangi banyak lampu gantung besar, dia cepat melayangkan pandang matanya menyapu keadaan di situ. Ruangan itu luas sekali dan terdapat anak tangga di sebelah dalam.

   Di atas anak tangga itu terdapat ruangan lain dan tampaklah seorang wanita berkerudung duduk di atas sebuah kursi besar yang lantainya ditilami kulit seekor biruang. Wanita berkerudung yang dikenalnya sebagai Ketua Thian-liong-pang yang dahulu pernah datang ke Sungai Huang-ho itu duduk dengan sikap tenang, kedua kakinya menginjak kepala biruang yang berada di bawah kursinya, di sebelah kanan wanita ini duduk seorang kakek yang mukanya seperti seekor singa, kursinya agak kecil dibandingkan dengan kursi Si Wanita berkerudung. Di sebelah kanan agak belakang Ketua Thian-liong-pang ini berdiri seorang wanita cantik yang dikenal pula oleh Bun Beng sebagai wanita yang dahulu mewakili Thian-liong-pang di Sungai Huang-ho. Sedangkan di belakang, agak mundur, berdiri seorang wanita lain yang juga cantik, pakaiannya seperti wanita lihai yang berdiri di sebelah kanan Ketua itu.

   "Silakan duduk di sini, Siauw-hiap,"

   Kata kakek gundul sambil mempersilakan Bun Beng duduk di atas kursi dekat anak tangga. Akan tetapi Bun Beng tidak segera duduk, hanya berdiri dengan terheran-heran memandang ke arah para tamu yang duduk menghadap ke arah Ketua, dengan kursi-kursi yang diatur setengah lingkaran mengurung ruangan di bawah anak tangga, sedangkan para penabuh tambur dan gembreng berdiri paling ujung.

   Dia tidak peduli dan tidak melihat betapa Ketua Thian-liong-pang sama sekali tidak mengacuhkannya, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran hatinya ketika ia melihat Ang-lojin, Ketua Bu-tong-pai yang akan ditolongnya itu, duduk pula di antara para tamu dengan sikap tenang dan sama sekali tidak menoleh kepadanya! Mengapa orang itu seperti tidak mengenalinya? Mustahil kalau tidak mengenal atau tidak tahu bahwa kedatangannya untuk menolong ketua itu! Atau pura-pura tidak kenal? Ah, ini pun tidak mungkin. Bukankah dua orang tokoh Thian-liong-pang sudah tahu betapa di tengah jalan dia berusaha menolong Ketua Bu-tong-pai itu? Tentu hal ini sudah dilaporkannya pula kepada Ketua Thian-liong-pang. Apa perlunya lagi Ketua Bu-tong-pai berpura-pura? Dia pun tidak mau berpura-pura karena hal ini berarti bahwa dia takut, maka dia lalu menghampiri Ketua Bu-tong-pai dan menegur.

   "Ang-locianpwe, engkau baik-baik sajakah?"

   Kakek itu memandangnya akan tetapi sinar matanya seperti tidak mengenalnya sama sekali. Dia hanya mengangguk tanpa menjawab! Bun Beng menjadi penasaran sekali. Mengapa Ketua Bu-tong-pai bersikap seperti ini? Padahal susah payah ia berusaha menolongnya dan di jalan tadi sikapnya tidak sedingin ini!

   "Locianpwe, apakah kau lupa kepadaku?"

   Ia menegur lagi. Kakek itu kembali memandangnya dengan sikap tidak acuh, lalu menjawab dengan suara ragu-ragu,

   "Siapakah? Maaf, aku tidak mengenalmu."

   Setelah berkata demikian kakek ini kembali membuang muka menonton dua orang yang sedang bertanding di bawah anak tangga, memandang penuh perhatian seperti yang dilakukan oleh semua orang yang duduk di situ. Makin heran Bun Beng ketika melihat betapa para tamu yang sebagian besar terdiri dari kakek-kakek yang kelihatannya berilmu tinggi itu sama sekali tidak menoleh kepadanya, seolah-olah dia hanya seekor lalat saja! Dengan hati mengkal Bun Beng lalu duduk di atas kursi yang ditunjuk oleh kakek gundul. Kakek ini pun duduk di atas sebuah kursi di sebelah kanan Bun Beng. Seorang pelayan datang menyuguhkan arak kepada Bun Beng, akan tetapi pemuda ini menolak dan menyuruh taruh arak dengan guci dan cawannya di atas meja. Pelayan itu lalu memenuhi meja di depan kakek gundul dan Bun Beng dengan hidangan-hidangan seperti yang memenuhi meja-meja lain pula.

   Kini Bun Beng memperhatikan para tamu yang duduk di situ. Ada belasan orang, tepatnya empat belas orang tamu yang melihat sikapnya adalah orang-orang berkepandaian tinggi, akan tetapi sikap mereka dingin dan tak acuh seperti sikap Ketua Bu-tong-pai. Di depan mereka ini pun terdapat meja penuh makanan dan mereka semua menonton pertandingan sambil makan minum. Di belakang para tamu duduk pula banyak orang dan di antara mereka Bun Beng mengenal dua orang tokoh yang pernah dila-wannya siang tadi, yaitu mereka yang menculik Ketua Bu-tong-pai. Sedangkan di belakang rombongan yang duduk ini, yang jumlahnya juga belasan orang, nampak puluhan orang berdiri menonton. Sepasang kakek kembar yang lihai dan yang menggotong kerangkeng Ketua Bu-tong-pai tampak di antara mereka yang berdiri. Diam-diam Bun Beng menduga-duga dan dia terkejut.

   Agaknya sepasang kakek kembar itu adalah anggauta-anggauta rendahan saja, sedangkan kakek muka tengkorak dan pemuda tampan adalah anggauta yang lebih tinggi. Kakek gundul yang duduk di sebelahnya yang tadi menyambutnya, tentu lebih tinggi kedudukannya, apalagi kakek muka singa dan wanita cantik yang duduk dan berdiri di dekat Ketua Thian-liong-pang. Kalau sepasang kakek kembar yang demikian lihai itu saja menjadi anggauta rendahan, dapat dibayangkan betapa lihai kakek gundul di sebelahnya ini, apalagi kakek muka singa, dan lebih-lebih ketuanya! Bun Beng bersikap hati-hati dan tidak mau bergerak, hendak melihat perkembangannya karena dia sungguh-sungguh bingung dan terheran-heran mengapa Ang-lojin yang tadinya diculik sekarang menjadi tamu dan bersikap tidak mengenalnya? Kini Bun Beng mulai memperhatikan dua orang yang bertanding dan kembali dia tercengang.

   Yang bertanding dengan golok dan pedang itu bukanlah orang-orang sembarangan! Laki-laki berusia empat puluh tahun yang berkepala besar dan bersenjata golok itu memiliki ilmu golok yang amat hebat, sedangkan kakek kurus yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih itu memiliki ilmu pedang yang amat tinggi pula. Diam-diam ia menonton dan mencurahkan perhatiannya. Bun Beng banyak mengenal ilmu silat, bahkan dahulu gurunya yang pertama, Siauw Lam Hwesio, telah membuka rahasia tentang dasar-dasar gerakan ilmu silat-ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh partai-partai besar. Maka setelah menonton belasan jurus, Bun Beng mengenal bahwa Si Pemain golok itu tentulah seorang tokoh Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti) yang amat terkenal karena kehebatan ilmu golok mereka,

   Sedangkan Si Pemain pedang itu tidak salah lagi tentulah seorang tokoh besar dari Hoa-san-pai karena ilmu pedang yang dimainkannya tidak salah lagi adalah Hoa-san Kiam-sut! Dia menjadi heran buka main. Mengapa dua orang tokoh dari Sin-to-pang dan Hoa-san-pai bertanding di tempat ini? Dan selain ditonton oleh banyak tamu dan orang-orang Thian-liong-pang sambil maka minum, juga diiringi tambur dan gembreng! Pertandingan itu berjalan dengan seru dan jelas tampak betapa tokoh Sin-to-pang mulai terdesak, bahkan pundaknya telah terluka goresan pedang. Kalau semua tamu memandang dengan sikap dingin, demikian pula para tokoh Thian-liong-pang, hanya Bun Heng seoranglah yang menonton dengan hati tegang.

   "Cukup....!"

   Tiba-tiba terdengar suara merdu dan halus, namun penuh wibawa keluar dari balik kerudung yang menyembunyikan kepala Ketua Thian-liong-pang.

   Seketika tambur dan gembreng berhenti dan kedua orang yang bertanding itu pun meloncat mundur menghentikan gerakan masing-masing! Bahkan kini seorang kakek yang agaknya merupakan ahli pengobatan Thian-liong-pang, menghampiri tokoh Sin-to-pang yang seperti bekas lawannya telah duduk kembali di kursi masing-masing, kemudian mengobati luka di pundak tokoh ini. Bun Beng memandang bengong. Hampir dia tidak dapat percaya akan dugaannya yang agaknya tidak dapat salah lagi. Kedua orang tokoh itu diadu! Seperti dua ekor jangkrik diadu! Betapa mungkin ini? Mengapa mereka sudi? Dan agaknya mereka berdua tadi bukanlah pasangan pertama yang diadu. Selagi ia menduga-duga dengan bingung, terdengar suara merdu dari balik kerudung.

   "Ang-lojin dari Bu-tong-pai dan Tok-ciang Siucai dari Lam-hai-pang, harap suka maju dan memperlihatkan kepandaian!"

   Jantung Bun Beng berdebar tegang.

   "Siauw-hiap, silakan mencoba hidangan!"

   Tiba-tiba kakek gundul berkata.

   "Terima kasih, aku tidak lapar,"

   Jawab Bun Beng tanpa mengalihkan pandang matanya dari Ketua Bu-tong-pai yang kini telah bangkit berdiri dari kursinya dan melangkah maju ke tempat pertandingan dengan sikap tanpa ragu-ragu dan wajah tidak membayangkan sesuatu.

   "Kalau begitu, silakan minum secawan arak sebagai penyambutan dari Pangcu kami,"

   Kata pula kakek itu yang sudah bangkit dan menyodorkan secawan arak penuh kepada Bun Beng. Mendengar ini, Bun Beng menoleh ke kiri, ke arah Ketua Thian-liong-pang dan ia melihat betapa sepasang mata di balik lubang kerudung itu tertuju kepadanya dengan sinar tajam. Tanpa menjawab ia menerima cawan arak dan minum arak itu habis sekali teguk. Hampir ia tersedak, tubuhnya terasa nyaman hangat setelah ia minum arak tadi. Kepalanya menjadi agak pening sehingga diam-diam ia terkejut sekali. Tak mungkin secawan arak membuat ia mabok!

   "Harap Siauw-hiap minum secawan lagi sebagai penyuguhan dari Thian-liong-pang,"

   Kata pula kakek gundul.

   "Cukup, aku tidak ingin minum lagi, ingin menonton pertandingan!"

   Kata Bun Beng dengan hati-hati, dan biarpun ia menjadi curiga sekali, pikirannya diputar untuk menduga apa yang terdapat di dalam arak yang diminumnya tadi, namun ia menujukan pandang matanya ke depan, ke arah Ketua Bu-tong-pai yang kini telah berhadapan dengan seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, tinggi kurus tampan dengan pakaian seperti seorang siucai (gelar sasterawan).

   "Harap Ji-wi suka mulai pertandingan tangan kosong! Awas, Ang-lojin, lawanmu adalah seorang yang memiliki Tok-ciang (Tangan Beracun), harus dilawan dengan jurus-jurus simpananmu!"

   Terdengar pula suara halus dingin Ketua Thian-liong-pang. Betapa heran hati Bun Beng ketika ia melihat dua orang itu, seperti dua ekor jangkerik atau ayam aduan, telah mulai saling serang tanpa banyak cakap lagi!

   Pemuda yang dipanggil julukannya sebagai Tok-ciang Siucai (Sasterawan Tangan Beracun) telah membuka serangan setelah menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan tangan terbuka dan telapak tangannya berwarna kemerahan! Serangan pertama ini merupakan tamparan dengan tangan kiri ke arah muka lawan disusul dorongan telapak tangan kanan ke arah dada! Cepat sekali gerakannya dan kalau diingat bahwa kedua telapak tangannya mengandung hawa beracun, dapat dibayangkan betapa dahsyat dan berbahaya serangan ini. Namun Ang-lojin adalah Ketua Bu-tong-pai yang tentu saja memiliki tingkat ilmu silat yang sudah amat tinggi. Dengan tenang namun tidak kalah cepatnya, ia mengelak dengan geseran kaki ke kiri sambil mengibaskan tangan kanan ke kanan menangkis dan dari samping, tiba-tiba kaki kanannya melakukan tendangan menyerong ke arah
(Lanjut ke Jilid 16)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
perut siucai itu.

   "Bagus sekali!"

   Tiba-tiba kakek muka singa memuji tendangan itu dan memang Bun Beng juga dapat melihat betapa indah dan berbahayanya serangan balasan Ketua Bu-tong-pai yang dilakukan dengan cekatan. Tok-siang Siucai ternyata juga lihai karena sambil merobah kaki melangkah mundur tangan kirinya dapat menangkis serangan itu dengan melemparkan ke kanan. Namun, tiba-tiba tendangan kaki kanan dari Ketua Bu-tong-pai itu telah disusul dengan tendangan kaki kiri yang digerakkan dengan memutar dari belakang, kembali tendangan ini menyerong dan yang diarah adalah lutut kanan lawan! Si Pemuda kaget, mundur selangkah menyelamatkan lututnya, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai terus melakukan tendangan kedua kakinya, cepat dan kuat sekali sehingga kedua kakinya yang kelihatan banyak saking cepatnya itu menimbulkan suara angin.

   

Pendekar Super Sakti Eps 42 Pendekar Super Sakti Eps 16 Kisah Pendekar Bongkok Eps 4

Cari Blog Ini