Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 22


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



"Tahan!"

   Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet itu kini memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.

   "Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia dibunuh!"

   Katanya dengan nada tidak senang.

   "Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitungkan, langkah yang pasti akan mengun-tungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya."

   Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya.

   "Susiok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?"

   "Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihatlah,"

   Katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.

   "Tanpa pimpinan pinceng, kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian kuat, kelau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita."

   "Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu gerakan kita?"

   Thay Si Lama mencela.

   "Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?"

   Kata Thay Hok Lama. Kim Sim Lama menggeleng kepalanya.

   "Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu."

   "Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan...."

   Kata pula Thay Hok Lama si ahli racun. Kim Sim Lama tetap menggeleng kepalanya.

   "Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan ingatan untuk kita? Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya."

   "Lalu untuk apa lagi, susiok?"

   Thay Pek Lama bertanya. Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa. Matanya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.

   "Kita dapat mempergunakan dia untuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, barulah kematiannya ada gunanya untuk kita."

   Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu.

   "Akan tetapi, bagaimana caranya agar dia dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?"

   "Tentu saja satu-satunya jalan adalah agar dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!"

   Kata Kim Sim Lama.

   "Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?"

   Tanya Thay Bo Lama. Kim Sim Lama tersenyum lagi.

   "Tidak percuma pinceng menyebar orang-orang ke dalam Lasha. Biarlah kita menanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu."

   "Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagaimana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam penjara?"

   Thay Ku Lama berseru khawatir.

   "Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama."

   Thay Hok Lama merasa girang karena dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam.

   "Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?"

   "Maksudmu bagaimana?"

   Tanya Kim Sim Lama.

   "Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya."

   Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.

   "Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi."

   Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke dalam kerongkongannya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki perut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.

   "Ha-ha-ha, setelah siuman dia sudah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?"

   Tanya Thay Hok Lama.

   "Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan."

   "Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri,"

   Kata Thay Hok Lama dan kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.

   "Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,"

   Kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga di luar pintu besi dengan senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan diri dari dalam kamar penjara!

   "Tahan!"

   Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong. Lima orang Harimau Tibet itu kini memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.

   "Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia dibunuh!"

   Katanya dengan nada tidak senang.

   "Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitungkan, langkah yang pasti akan menguntungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya."

   Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sutenya bertanya,

   "Susiok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?"
(Lanjut ke Jilid 21)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
"Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihatlah,"

   Katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.

   "Tanpa pimpinan pin-ceng, kalian sama seperti sekumpulan gajah kehilangan pembimbing. Biarpun kalian kuat, kelau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, biarpun masih muda dan tubuhnya bongkok, namun dia telah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita."

   "Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Sian-su. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu gerakan kita?"

   Thay Si Lama mencela.

   "Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir agar dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?"

   Kata Thay Hok Lama. Kim Sim Lama menggeleng kepalanya.

   "Memang benar bahwa kiranya takkan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihirpun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sin-kang sekuat itu."

   "Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan...."

   Kata pula Thay Hok Lama si ahli racun. Kim Sim Lama tetap menggeleng kepalanya.

   "Biarpun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan ingatan untuk kita? Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya."

   "Lalu untuk apa lagi, susiok?"

   Thay Pek Lama bertanya. Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa. Matanya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.

   "Kita dapat mempergunakan dia untuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, barulah kematiannya ada gunanya untuk kita."

   Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan merekapun melihat manfaat itu.

   "Akan tetapi, bagaimana caranya agar dia dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?"

   "Tentu saja satu-satunya jalan adalah agar dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lasha!"

   Kata Kim Sim Lama.

   "Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?"

   Tanya Thay Bo Lama. Kim Sim Lama tersenyum lagi.

   "Tidak percuma pinceng menyebar orang-orang ke dalam Lasha. Biarlah kita menanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu."

   "Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagaimana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam penjara?"

   Thay Ku Lama berseru khawatir.

   "Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama."

   Thay Hok Lama merasa girang karena dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam.

   "Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?"

   "Maksudmu bagaimana?"

   Tanya Kim Sim Lama.

   "Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan diapun akan kehilangan ingatan untuk selamanya."

   Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga akan keahliannya tentang racun.

   "Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi."

   Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke dalam kerongkongannya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki perut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.

   "Ha-ha-ha, setelah siuman dia sudah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?"

   Tanya Thay Hok Lama.

   "Nanti dulu! Biarpun ingatannya hilang, kalau tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan."

   "Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sin-kangnya dia akan roboh sendiri,"

   Kata Thay Hok Lama dan kembali dia mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.

   "Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,"

   Kata Thay Hok Lama dan demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu.

   Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berja-ga di luar pintu besi dengan senjata di tangan. Tidak perlu dijagapun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu takkan mampu membebaskan diri dari dalam kamar penjara! Bayangan itu berkelebat cepat sekali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah penginapan itu. Dia seorang pemuda tampan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat, hidungnya mancung dan matanya mencorong, mulutnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.

   "Selamat tidur, suci yang manis,"

   Bisiknya sambil tersenyum. Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama sucinya, Yauw Bi Sian ke Lasha untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong.

   Seperti telah diceritdkan di bagian depan, mereka memasuki kota Lasha dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so. Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya, mengingat-kan bahwa mereka harus lebih dulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk dan di mana adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu. Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan sucinya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lasha! Tadi, di rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik!

   Yang membuat dia tergila-gila dan mengobarkan berahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata! Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit berahinya, melainkan wanita itupun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga! Sebelum dia dan sucinya meninggalkan Lasha, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapapun, dan sucinya tentu sudah tidur di kamar sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri.

   Ke mana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya. Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demiktan menyolok hidungnya. Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin keras lagi. Tiba-tiba ia merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan.... benar saja, dalam jarak lima meter dia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi, jarak itu terlampau jauh dalam keremangan itu untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itupun meloncat dan berkelebat pergi.

   Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus. Wanita itu melalui jalan-jalan sunyi dan setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lasha, dengan suara ketawa kecil masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti. Bong Gan meloncat ke depan wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan main! "Hi-hik, kenapa engkau mengejarku?"

   Terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.

   "Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu telah membuat aku jatuh cinta padamu, nona!"

   Jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan keheranannya karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!

   Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi entah di mana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu. Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang ga-dis yang demikian cantik. Akan tetapi justeru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai-yang Suhu yang biarpun masih tampan dan gagah, narnun sudah tua itu.

   Malam itu, setelah ia tadi memba-yangi pemuda dan gadis itu dan mengetahui rumah penginapan mereka, ia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan dan tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja ia terkejut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika ia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayangan yang amat gesit itu. Hatinya menjadi semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihal! Ia semakin tertarik, dan ia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di tepi sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lasha. Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku tergila-gila dan jatun cinta padanya, Pek Lan tertawa.

   "Aih, benarkah engkau jatuh cinta padaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!"

   Dan tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong.

   Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir. Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat "berdekatan"

   Dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat diapun mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan diapun membalas. Tarnyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi se-makin kagum. Kalau tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan!

   Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin. Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul IbliS). Begitu dia memainkan ilmu silat ini, kedua tangannya merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan memiliki gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum. Namun, biarpun agak terdesak, ia masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau mengeluarkan ilmu pukulan yang amat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).

   "Tahan dulu....!"

   Serunya sambil melompat ke belakang. Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapapum juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang minta berhenti. Akan tetapi Pek Lan sudah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali.

   "Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu."

   Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan maupun Bi Sian tidak pernah diperbolehkan menggunakan senjata tajam walaupun mereka diajar bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Baru setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu membawa senjata tajam.

   Demikian pula Bong Gan hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekalipun. Dia tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong, akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang sudah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya suka disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Hal ini sungguh akan merugikan dirinya. Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya, dan sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia berkata,

   "Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja."

   Pek Lan mengerutkan alisnya.

   "Engkau memandang rendah kepadaku?"

   Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka diapun cepat berkata,

   "Aih, siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apalagi kalau engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat."

   Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu.

   "Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!"

   Dan iapun menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali. Bong Gan memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka diapun cepat menggerakkan tongkatnya dan memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya. Dan begitu ada tongkgt di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dangan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan manyambar-nyambar dengan ganasnya.

   Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan ilmu yang dikuasai Pek Lan. Kalau Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan apalagi membunuhnya. In sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanannya harus melayani Thai-yang Suhu saja! Bong Gan juga kagum.

   Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya amat hebat sehingga andaikata dia tidak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dangan tongkatnyapun, dengan ilmu tongkatnya, dia hanya dapat mengimbangi permainan pedang, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya. Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga di dada itu! Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, namun ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya.

   
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya! Sejak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah berahinya bangkit, menyala dan barkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sin-kang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat! Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, akan tetapi pada saat itu, Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.

   "Plakkk!"

   Dua buah tangan dengan jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tak bergerak, saling pandang dalam jarak hanya satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas. Bong Gan tersenyum.

   "Nona, engkau sungguh cantik jelita...."

   Pek Lan juga tersenyum.

   "Dan engkau perayu besar!"

   "Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu hebat, aku tergila-gila kepadamu, aku.... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu...."

   Senyum Pek Lan melebar. Gairah berahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu berahinya.

   Ia menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Ia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu bertemu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat jatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap, keduanya terguling ke atas rumput! Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu berahi mereka sendiri. Kedua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu berahi. Mereka saling menumpahkan berahi mereka lewat kemesraan yang panas. Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah dan keringat membasahi dahi dan leher, saling tatap seperti orang terkejut.

   "Kau.... kau.... Bong Gan....?"

   "Kau.... Pek Lan....? Tadinva mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu akan tetapi keduenya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena ketika mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun! Kini, Pok Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya. Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga marasa girang sekali!

   "Pek Lan, ah kau Pek Lan, kekasihku...."

   "Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu....!"

   Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpakea harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa karena tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjina! Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu berahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk.

   "Ada apakah, Pek Lan, kekasihku?

   "Aku.... amat rindu kepadamu...."

   Bong Gan berbisik, terengah-engah.

   "Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah ia?"

   Tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja. Bong Gan tersenyum lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan percumbuan mereka, kiranya hanya untuk mengetahui hal itu.

   "Bukan, sama sekali bukan. Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku."

   "Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali."

   "Sudahlah, kenapa membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja....!"

   Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemesraan yang penuh nafsu berahi. Semalam suntuk, dua orang ini membiarkan diri mareka dipermainkan gelombang berahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa sagalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.

   "Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,"

   Kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan.

   "Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang sampai engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kau ceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertem, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, kemudian kita bertanding lagi, sebelum saling bermain cinta."

   "Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,"

   Kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu.

   "Dan engkau sampai tiba di Lasha ada keperluan apakah?"

   "Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya."

   "Hemm, siapakah musuh besarnya?"

   "Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok."

   Pok Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.

   "Pendekar Bongkok? Dia....?"

   Kalau gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak amat indah menjadi berubah. Bong Gan tidak begitu merasakan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, tidak seindah tadi. Apalagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.

   "Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?"

   "Mengenalnya....?"

   Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja ia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit.

   "Aku pernah bertemu dengan dia. Dia.... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?"

   "Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya."

   "Ehh? Ceritakan kepadaku, mengapa begitu, Bong Gan,"

   Kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meskipun belum ia pakai sebagaimana mestinya. Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bargairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lasha.

   "Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya...."

   "Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!"

   "Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Sian-su, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah.... eh, dia membunuh ayah kandung suci. Karena itu, suci mendendam dan mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lasha."

   "Hemm, kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Akupun dimusuhi Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apalagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!"

   Song Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu.

   "Engkau tahu perasaanku terhadapmu, Pek Lan, dan engkau tahu tidak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dangan suci? Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita."

   "Kenapa menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pandekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dangan kami. Thai-yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung dangan kalian."

   "Maksudmu pendeta yang kulihat bersamamu di rumah makan itu?"

   Baru sekarang Bong Gan teringat akan pendeta itu.

   "Jadi dia itu gurumu yang baru?"

   "Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan kini mengajarkan ilmu sihir kepadaku, menjadi guruku pula."

   "Dan kalian hendak pergi ke mana-kah? Mengapa sampai pula di Lasha?"

   "Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai...."

   "Ah! Sie Liong Si Pendekar Bongkok juga ke sana!"

   "Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai-yang Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar."

   "Cita-cita bagaimana?"

   Bong Gan mulai tertarik.

   "Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!"

   "Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau menjadi pemberontak di negeri asing!"

   "Bong Gan, engkau bodoh. Kaukira akupun suka membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya."

   Bong Gan mengerutkan alisnya.

   "Jadi engkau dan Thai-yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?"

   "Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini kalau tidak mencari keuntungan dan kesenangan?"

   Bong Gan mengangguk-angguk.

   "Hem, aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi.... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?"

   "Kau ajak saja ia bersama kami."

   "Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia.... ia.... hemm, condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat."

   "Hi-hik, kaumaksudkan ia seorang pandekar wanita?"

   Bong Gan mengangguk.

   "Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan...."

   "Dan kau sendiri?"

   Bong Gan menyeringai.

   "Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan."

   "Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dangan kami bargabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!"

   "Ah, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ah, aku.... aku...."

   "Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!"

   "Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan."

   Bong Gan membalas.

   "Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu ia agar suka bergabung dengan kami. Kalau ia begitu lihai, kami lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya."

   "Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku kepadanya dan ia.... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja ia suka menerima cintaku sekarang juga.... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu."

   Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya.

   "Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata keranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai-yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!"

   Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main.

   "Baik, aku berjanji! Dan iapun tentu akan setuju karena bukankah dengan bekerja sama, akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?"

   "Dan setiap saat aku menginginkan engkau harus melayaniku dengan taat!"

   Bong Gan tertawa.

   "Tentu saja, dengan segala senang hati!"

   "Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan"."

   Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan. Mereka memasuki kota Lasha sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong memandang ke kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah di lereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada di lereng-lereng bukit, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, iapun mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.

   "Lie-toako, di tempat besar seperti ini, ke mana kita harus mencari puteriku dan adikku?"

   Lie Bouw Tek tersenyum, dan memandang wanita itu dengan sinar mata lembut dan menghibur.

   "Jangan khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua orang Han, maka tentu tidak akan begitu sukar. Tidak banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini, tentu ada yang melihat mereka."

   "Sekarang, kita ke mana toako?"

   "Kita mencari tempat penginapan dulu, menyewa dua buah kamar, dan membiarkan kuda kita mendapat perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita pergi menghadap atau berusaha agar dapat diterima menghadap Dalai Lama."

   "Menghadap Dalai Lama? Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir seperti kaisar kita, dan tidak akan mudah menghadap beliau."

   "Benar, akan tetapi aku yakin akan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh beliau."

   "Akan tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku menghadap Dalai Lama?"

   "Begini, Hong-moi. Aku sendiri menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw memusuhi para tosu, bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Dan di sepanjang perjalanan kita mendengar akan adanya perkumpulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka, kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepada Dalai Lama tentang sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira orang-orang Dalai Lama akan lebih tahu, atau setidaknya akan lebih mudah kedua orang itu ditemukan kalau Dalai Lama membantu, menyuruh orang-orangnya untuk menyelidiki dan mencari."

   Sie Lan Hang mengangguk-angguk. Memang ia tahu bahwa Lie Bouw Tek adalah seorang pria yang hebat, yang gagah perkasa, cerdik dan juga berpengalaman.

   Ia merasa lemah dan bodoh sekali berada di samping pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung. Alangkah bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apapun antara mereka telah bersikap demikian baiknya! Begitukah sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa dalam hubungan di antara mereka? Mengingat akan hal ini, seringkali Lan Hong tersipu malu. Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda! Sedangkan Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar gagah perkasa dan budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal!

   Betapa mungkin.... ah, ia telah mengharapkan terlalu jauh, sungguh tidak tahu malu! Lan Hong menurut saja ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah penginapan. Mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda mereka kepada pelayan untuk diberi makan. Setelah mandi, dengan tubuh terasa segar dan pakaian bersih menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri saja. Lie Bouw Tek sendiri walaupun dia seorang pendekar besar, namun dia tidak menonjolkan diri dan pedang pusakanyapun tersembunyi di balik baju luarnya. Atas nasihat Lie Bouw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyembunyikan pedangnya sehingga tidak terlalu menyolok.

   Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek, maka setelah diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju, dan gagangnya juga tidak nampak walaupun ada kalanya ujung itu menonjol keluar. Setelah makan, merekapun pada pagi hari itu juga menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang indah, dan suasananya aman dan tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-karang bersimpang jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama menghadang mereka. Biarpun sikap mereka hormat, namun mereka dengan tegas mengatakan bahwa orang luar tidak diperkenankan memasuki daerah itu tanpa ijin.

   "Harap kalian memaafkan kami,"

   Kata kepala jaga dengan sikap hormat.

   "Kalau hendak berjalan-jalan dan menikmati keadaan, harap lakukan itu di luar daerah istana. Tak seorangpun, tanpa ijin, diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang."

   Lie Bouw Tek tersenyum dan menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Lan Hong.

   "Harap saudara sekalian suka memaafkan saya. Memang saya sengaja datang ke Lasha untuk menghadap Dalai Lama. Harap saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan bahwa kami ingin menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting."

   "Omitohud....!"

   Kepala jaga itu berseru.

   "Apakah sicu (tuan yang gagah) mengira akan demikian mudah saja bertemu dengan beliau? Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat diperkenankan menghadap? Pinceng (saya) sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau di pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat."

   "Sobat, harap sampaikan saja ke dalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama,"

   Kata pula Lie Bouw Tek dengan sikap dan suaranya yang tenang berwibawa. Mendengar disebutnya Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang dengan sikap lebih hormat.

   "Omitohud, kiranya sicu utusan dari Kun-lun-pai? Harap sicu menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama melalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan masuk menghadap."

   Akan tetapi Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya.

   "Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya, Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya, tentu beliau akan sudi menerimaku."

   Pada saat itu, seorang pendeta Lama yang usianya sudah lima puluh tahun lebih berjalan tenang dari sebelah dalam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, diapun cepat menghampiri dan menjura dengan sikap hormat.

   "Omitohud.... kiranya Lie Taihiap yang berada di sini! Selamat datang, taihiap. Ada keperluan apakah gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lasha?"

   Lie Bouw Tek tidak mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta ini tentu seorang di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai Lama. Diapun cepat memberi hormat dan berkata dengan lembut.

   "Selamat bertemu, losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai Lama karena ada suatu hal yang amat penting harus saya sampaikan kepada beliau. Tolonglah, harap mintakan ijin kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang juga."

   "Baik, taihiap. Tunggulah sebentar di sini!"

   Kata pendeta itu yang bergegas masuk ke arah bangunan istana yang megah itu. Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek dan Lan Hong untuk duduk menanti di dalam gardu penjagaan. Tak lama kemudian, muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.

   "Silakan, taihiap. Dalai Lama yang agung mengundang taihiap."

   "Akan tetapi, saya datang bersama Sie-toanio ini, harap agar iapun diperkenankan menemani saya untuk menghadap Dalai Lama."

   Pendeta itu mengerutkan alisnya.

   Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tidak biasanya Dalai Lama mau menerima tamu wanita. Akan tetapi karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai Lama sendiri nanti setelah ji-wi (kalian berdua) tiba di luar ruangan tamu, apakah toanio ini diperkenankan ikut masuk ataukah dipersilakan menunggu di luar ruangan."

   Lie Bouw Tek mengangguk dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal dan menjadi penunjuk jalan.

   Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie Bouw Tek yang pernah satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong memandang ke kanan kiri dengan bengong. Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat di istana itu. Ukir-ukiran yang indah sekali, marmar, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmar, perak atau emas yang ukirannya amat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu. Ketika mereka tiba di luar sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan mereka menanti sebentar. Seorang di antara mereka memasuki ruangan di balik pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu keluar lagi dengan wajah cerah.

   "Taihiap dan toanio dipersilakan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!"

   Dengan wajah gembira Lie Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong menasuki ruangan itu. Akan tetapi Sie Lan Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk. Ruangan itu luas dan nampak sunyi karena kosong. Di sudut paling belakang, nampak ada seorang pria duduk di atas sebuah kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya tertutup topi pendeta.

   "Selamat datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!"

   Lie Bouw Tek cepat maju memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hormat, akan tetapi ia merasa heran bukan main. Tadinya ia membayangKan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para pendeta Lama di Tibet, tentu seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. Akan tetapi ternyata sama sekali tidak demikian! Pendeta yang duduk menyendiri itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih, senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya membayangkan kesabaran, keagungan dan kebesaran hati.

   Setelah Bouw Tek dan Lan Hong duduk di atas kursi yang agaknya sudah disediakan untuk mereka, menghadap ke arah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka bahwa di belakang Dalai Lama terdapat sehelai kain sutera putih dan di balik kain sutera itu berdiri beberapa orang pendeta Lama yang tak bergerak bagaikan arca-arca mati saja. Bouw Tok maklum bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri di sana, dan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama. Dalai Lama sendirl memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal pribadi ini, dan adanya ratusan orang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apalagi di benteng yang setiap waktu siap mentaati perintah Dalai Lama.

   "Nah, menurut laporan tadi engkau datang sebagai utusan Kun-lun-pai, maka katakanlah semua keperluanmu berkunjung ke sini, taihiap."

   Dari tempat duduknya, Bouw Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling berkuasa di Tibet itu.

   "Mohon dimaafkan kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya, tugas saya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan tetapi ka-rena saya merasa yakin akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya langsung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan."

   Dalai Lama masih tersenyum walaupun pandang matanya kehilangan cahaya kelembutannya sebentar mendengar disebutnya nama Tibet Ngo-houw tadi.

   "Tibet Ngo-houw? Taihiap, ada urusan apakah dengan Tibet Ngo-houw?"

   Jelas bagi Bouw Tek bahwa pertanyaan itu memancing. Dia merasa heran. Sejak dahulu semua orang juga tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang terkenal sebagai pembantu-pembantu Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja mereka kinipun berada di balik sutera putih di belakang Dalai Lama itu. Mengapa Dalai Lama masih bertanya lagi?

   "Ampunkan saya, bukan maksud saya untuk mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk menyelidiki mengapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san, bukan hanya mencari dan menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu yang berasal dari Himalaya dan kini bertapa di sana, akan tetapi juga bahkan mereka berlima itu memusuhi Kun-lun-pai. Karena mereka itu mengaku diutus oleh paduka, maka saya kira lebih baik saya langsung saja bertanya kepada paduka mengenai sepak terjang Tibet Ngo-houw itu."

   Dalai Lama mengangguk-angguk, agaknya sama sekali tidak heran atau terkejut mendengar ucapan Bouw Tek ini, bahkan terdengar dia berkata lirih, seperti kepada diri sendiri.

   "Hemm, sampai begitu jauh mereka berusaha memburukkan nama kami?"

   Dalai Lama bertepuk tangan dua kali dan mun-cullah seorang pendeta Lama dari balik kain sutera putih. Dia seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar, bersikap agung dan usianya sudah enam puluh tahun lebih, mukanya persegi seperti muka singa, membayangkan kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar matanya lembut. Dia menjura di depan Dalai Lama, menanti perintah.

   "Lie-taihiap, engkau tentu masih ingat kepada Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini. Nah, dialah yang akan menceritakan semuanya kepadamu. Maafkan, tiba saatnya bagi saya untuk melakukan meditasi, maka selanjutnya, rundingkanlah segalanya dengan Kong Ka Lama."

   Setelah berkata demikian, Dalai Lama bangkit berdiri.

   Bouw Tek cepat bangkit berdiri diikuti oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk kepada mereka Dalai Lama lalu melangkah masuk dari pintu di belakang sutera putih, meninggalkan Bouw Tek dan Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang bernama Kong Ka Lama itu. Setelah Dalai Lama dan para pendeta yang mengawalnya memasuki pintu yang segera tertutup kembali, barulah Kong Ka Lama menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat gerakan dengan tangan menunjuk pintu samping dan berkata,

   "Taihiap dan toanio, mari kita bicara di ruangan sebelah."

   Mereka bertiga keluar dari ruangan itu, melalui pintu samping mereka memasuki sebuah ruangan lain yang tidak begitu besar. Ruangan inipun kosong dan hanya ada sebuah meja dan beberapa buah kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu itu duduk dan dia sendiripun duduk menghadapi mereka.

   Tentu saja Lie Bouw Tek masih ingat kepada pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya Lama Salju Putih adalah seorang di antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai Lama. Bahkan dulu, ketika Dalai Lama dalam perjalanan keluar Lasha dihadang para pemberontak yang menyerangnya, Kong Ka Lama yang mengepalai para pengawal melakukan perlawanan dan melindungi Dalai Lama yang berada di dalam tandu. Pada waktu itulah kebetulan dia melakukan perjalanan dan melihat peristiwa itu, lalu dia turun tangan membantu para pendeta Lama, menghalau para penghadang sehingga akhirnya Dalai Lama dapat diselamatkan. Kong Ka Lama adalah seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi dan masih saudara seperguruan dengan lima orang Tibet Ngo-houw, maka dapat dibayangkan kelihaiannya.

   

Istana Pulau Es Eps 11 Istana Pulau Es Eps 39 Istana Pulau Es Eps 12

Cari Blog Ini