Sepasang Pedang Iblis 22
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
"Di atas tidak ada orang sama sekali. Bagaimana kau tadi sampai jatuh?"
Sebelum Bun Beng menjawab, Suma Han sudah melayang turun lagi.
"Buka bajumu, biar kuperiksa dulu sebelum kau bercerita,"
Katanya dengan suara halus. Bun Beng membuka baju atasnya dan sambil menekuk lutut kakinya yang tinggal sebuah, Suma Han memeriksa keadaan Bun Beng. Alisnya berkerut dan dia berkata,
"Keji sekali! Siapa yang melukaimu seperti ini?"
Bun Beng lalu menceritakan pengalamannya semenjak ia bertemu dengan Tan Ki dan Maharya sehingga ia dilukai oleh Maharya.
"Ah, mengapa engkau menyuruh dan memaksa aku pergi?"
Kwi Hong mencela dan membanting kakinya.
"Kalau aku tidak pergi, tentu engkau tidak akan terluka seperti ini!"
"Kwi Hong, omongan apa itu? Bun Beng telah menyelamatkanmu, kalau tidak pergi mungkin engkau akan menderita lebih hebat lagi! Bun Beng, lanjutkan ceritamu."
Bun Beng melanjutkan ceritanya, betapa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera dari Pulau Neraka, dan betapa dia tadinya akan dijadikan tawanan, akan tetapi dia dapat menyelamatkan diri.
Untuk mencegah agar dia tidak usah bicara tentang Ketua Thian-liong-pang, maka dia tidak menceritakan pertemuannya dengan Milana. Suma Han mengerutkan alisnya, diam-diam hatinya amat gelisah. Menurut cerita Bun Beng, kongcu dari Pulau Neraka itu amat lihai dan kelihatan kejam. Apakah Lulu telah keliru mendidik puteranya? Dia tidak percaya bahwa putera Lulu dan Wan Sin Kiat menjadi seorang jahat! Akan tetapi, Lam-mo-kiam telah terampas oleh anak Lulu itu. Dia tidak memberi komentar, hanya menggeleng-geleng kepala dan hatinya makin berduka. Betapa tidak akan duka dan perih hatinya kalau ia terigat kepada Lulu? Adik angkatnya itu adalah satu-satunya wanita yang dicintanya, namun keadaan memaksa mereka berpisah, bahkan kini timbul rasa sakit hati dalam perasaan Lulu terhadapnya!
"Ahhh, engkau menderita bukan main, Bun Beng. Akan tetapi kenapa kau tadi jatuh dari atas menara?"
Kwi Hong bertanya. Bun Beng menjadi bingung.
"Aku...., aku dikejar-kejar orang-orang Pulau Neraka karena aku membunuh dua orang yang akan membawaku ke sana. Dalam keadaan kedua kakiku lumpuh, tentu saja sukar bagiku untuk melarikan diri. Akhirnya aku sampai di menara ini, bersembunyi di atas menara. Aku menderita sekali, tidak berani turun, dan lukaku tak mungkin dapat sembuh. Daripada perlahan-lahan menghadapi kematian yang menyiksa seperti yang dikatakan oleh Pendeta Maharya, aku.... aku mengambil keputusan terjun dan mati di sini!"
"Aihhh, pengecut!"
Kwi Hong berteriak ngeri.
"Kwi Hong, diamlah. Engkau tidak merasakan penderitaan orang, hanya pandai mencela!"
Kata Suma Han yang kemudian memandang Bun Beng.
"Betapapun juga, cara melarikan diri dari penderitaan dengan jalan membunuh diri adalah perbuatan bodoh dan tidak tepat. Biarlah aku akan mencoba mengobatimu sedapat mungkin. Mari kita masuk ke dalam kuil itu."
Tanpa menanti jawaban, Suma Han menyambar tubuh Bun Beng dan dibawa memasuki kuil tua. Kwi Hong mengikuti dari belakang. Diam-diam hati Bun Beng lega karena ternyata Ketua Thian-liong-pang telah pergi dari atas menara itu. Ia memuji kelihaian dan kecerdikan Ibu Milana itu.
Dapat dibayangkan betapa lihainya untuk dapat pergi bersama puterinya, tanpa dilihat oleh Pendekar Super Sakti yang demikian lihai? Dan betapa cerdiknya untuk cepat-cepat pergi, karena kalau sampai bertemu dengan majikan Pulau Es itu, kerudungnya tidak akan ada artinya lagi kalau pendekar ini me-lihat Milana dan tentu akan dapat menduga siapa adanya wanita di balik kerudung itu. Suma Han cepat mengobati Bun Beng. Mula-mula menyambung kedua lutut kaki dan memberi obat, kemudian mulailah pendekar sakti ini mempergunakan sin-kangnya yang luar biasa kuatnya untuk mengusir hawa beracun dari dalam tubuh Bun Beng. Pemuda itu disuruh duduk diam tanpa baju dan Suma Han duduk di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan di punggung pemuda itu.
Sampai sehari lamanya Bun Beng merasa betapa dari kedua telapak tangan itu mengalir hawa yang berlawanan, dingin dan panas! Diam-diam dia kagum bukan main dan mengerti bahwa di dunia ini agaknya tidak ada keduanya dalam hal kekuatan sin-kang seperti yang dimiliki oleh Majikan Pulau Es ini! Semalam suntuk menyusul dan Suma Han melanjutkan pengobatannya. Pada keesokan harinya, barulah ia menyudahi pengobatannya. Bun Beng yang membiarkan dirinya diobati, merasa betapa hawa berputar-putar di tubuhnya dan keluar melalui kepalanya. Dia merasa dadanya tidak sesak lagi dan begitu Suma Han menyatakan selesai, dia cepat menelungkup dan menghaturkan terima kasih. Suma Han mengangkatnya bangun, duduk, dan sambil minum air hangat yang dibuat oleh Kwi Hong, Suma Han berkata,
"Aku telah berhasil membersihkan semua hawa beracun dari dalam tubuhmu, Bun Beng. Akan tetapi, sayang bahwa aku bukanlah seorang ahli pengobatan. Padahal, racun telah memasuki jalan darahmu dan aku tidak mampu mengobatinya. Aku mendengar bahwa satu-satunya tetumbuhan obat yang dapat melawan semua keracunan darah, hanya terdapat di Pulau Neraka...."
"Ohhhh...!"
Kwi Hong berteriak, terkejut sekali.
"Paman, bagaimana kita bisa mengambil ke sana?"
Suma Han menggeleng kepala.
"Tak mungkin kita ke sana tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi, racun yang berada di tubuh Bun Beng ini amat hebat, biarpun dia tidak akan tersiksa seperti kalau hawa beracun masih di tubuhnya, namun dalam waktu paling lama setengah tahun, darahnya akan menjadi kotor penuh racun, dapat membuat dia menjadi gila atau mati, sedikitnya akan lumpuh seluruh tubuhnya!"
"Aihhh....!"
Kembali Kwi Hong berseru. Akan tetapi Bun Beng bersikap tenang-tenang saja sehingga mengagumkan hati Suma Han yang memandangnya.
"Pertolongan Taihiap sudah terlampau besar, biarpun Taihiap tak dapat mengobati, saya tidak merasa penasaran. Kalau memang sudah ditakdirkan saya mati karena racun dalam darah ini, saya akan menerimanya tanpa keluhan. Saya sudah merasa cukup berbahagia melihat kenyataan betapa seorang mulia seperti Taihiap sudi memperhatikan diri saya dan sudi mengulurkan tangan memberi pertolongan."
Suma Han mengerutkan alisnya. Terlalu sayang kalau pemuda seperti ini sampai mati sia-sia. Akan tetapi, betapapun juga, dia tidak memiliki keberanian untuk berhadapan dengan Lulu lagi, takut akan hatinya sendiri!
"Jangan putus harapan, Bun Beng. Akan kusediakan perahu untukmu, kuberi gambar petunjuk bagaimana engkau dapat mencapai Pulau Neraka dengan perahumu. Kau pergilah sendiri ke Pulau Neraka, membawa sepucuk suratku. Percayalah, dengan suratku itu, Majikan Pulau Neraka tentu akan suka menolong dan mengobatimu sampai sembuh."
"Akan tetapi.... Kongcu Pulau Neraka telah merampas Lam-mo-kiam, dan dia amat kejam. Tentu saya hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia ke sana, Taihiap!"
"Coba sajalah. Dengan suratku, engkau akan diterima dengan baik."
Suma Han lalu mengeluarkan alat tulis dan menulis sepucuk surat dengan cepat, membungkus surat itu dan menyerahkannya kepada Bun Beng.
"Sekarang, mari kuantar kau ke pantai dan mencari perahu!"
Bun Beng tidak mau membantah lagi dan dia pun percaya bahwa seorang yang luar biasa seperti Pendekar Super Sakti ini tidaklah aneh kalau suratnya mendapat perhatian dari Majikan Pulau Neraka! Kwi Hong juga tidak mau banyak cakap karena maklum bahwa hubungan antara pamannya dengan Pulau Neraka harus dia rahasiakan. Namun, diam-diam gadis ini merasa tidak setuju melihat betapa pemuda yang menderita luka berat itu disuruh pergi seorang diri ke Pulau Neraka. Biarpun belum terlalu lama dia mengenal Bun Beng, namun dia sudah dapat mengenal watak pemuda ini, watak yang keras dan tidak mau mengalah, apalagi kalau menghadapi kejahatan.
Watak seperti itu akan mendatangkan bahaya kalau pemuda itu berada di Pulau Neraka yang penuh dengan orang-orang aneh dan lihai. Dan sekarang pamannya menyuruh Bun Beng seorang diri berlayar ke sana. Bukankah itu sama dengan menyuruh pemuda itu menghadapi bencana? Betapapun juga, Kwi Hong paling takut menghadapi pamannya, juga gurunya. Ia kehilangan watak galaknya kalau berhadapan dengan pamannya, maka semua kekhawatiran dan ketidaksetujuan hatinya hanya ia simpan saja di hati, tidak berani ia keluarkan melalui mulut. Ketika Suma Han sudah mendapatkan sebuah perahu layar dan Bun Beng sudah duduk di perahu itu, memegang kemudi dengan sepeti besar roti kering dan minuman sebagai bekal, Kwi Hong hanya memandang dan berkata perlahan,
"Hati-hatilah, Bun Beng....!"
"Gak Bun Beng, secara kebetulan sekali engkaulah orangnya yang menemukan sepasang pedang itu. Sepasang Pedang Iblis yang dijadikan rebutan dunia kang-ouw. Akan tetapi sebatang di antaranya, Lam-mo-kiam, dirampas orang dari tanganmu pula. Karena itu, setelah engkau berhasil sembuh, menjadi kewajibanmulah untuk menjaga agar jangan sampai pedang itu dipergunakan orang untuk menimbulkan kekacauan di dunia ini. Sepasang Pedang Iblis itu adalah sepasang pedang yang amat ampuh, jarang dapat dicari tandingnya di dunia ini. Syukur bahwa yang sebatang telah kau berikan kepada Kwi Hong. Hanya Hok-mo-kiam sajalah yang kiranya akan dapat menandingi Sepasang Pedang Iblis. Sayang bahwa Hok-mo-kiam terampas oleh Tan Ki yang gila dan gurunya yang lihai itu."
"Suma-Taihiap, saya berjanji bahwa kalau saya dapat sembuh, saya akan mengerahkan seluruh akal dan tenaga untuk merampas kembali Hok-mo-kiam, untuk membasmi Tan-siucai dan gurunya yang jahat, dan tentu saja untuk membalas dendam atas kematian Suhu Siauw Lam Hwesio."
(Lanjut ke Jilid 21)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
"Hemm, cita-cita hidupmu di masa depan penuh dengan bahaya dan permusuhan. Semoga engkau akan dapat mengatasi itu semua, Bun Beng. Nah, berangkatlah!"
Setelah memberi hormat kepada pendekar sakti itu dan keponakannya dari atas perahu,
Bun Beng mendayung perahunya ke tengah dan setelah angin bertiup membuat layarnya berkembang, perahu melaju cepat dan dua orang yang memandangnya dari pantai itu hanya tampak seperti dua buah titik dan akhirnya lenyap. Bun Beng memeriksa peta yang ia terima dari Pendekar Siluman. Sungai lebar di mana perahunya sekarang berada akan bertemu dengan Sungai Huang-ho, melewati Terusan Besar untuk kemudian menuju ke laut. Ada petunjuk dan tanda-tanda di peta itu mengenai letak Pulau Neraka, jauh di utara, bahkan ada penjelasan bahwa dia akan melalui lautan yang banyak terdapat gunung-gunung es mengapung dan merupakan tempat berbahaya sekali. Bun Beng teringat akan tokoh-tokoh Pulau Neraka yang amat aneh dan lihai, juga kejam. Teringat akan pemuda tampan dari Pulau Neraka, hatinya penuh dengan rasa benci dan tak senang.
Akan tetapi kalau ia teringat akan kakek muka kuning yang lucu aneh dan agak miring otaknya itu, yang dua kali ia temui ketika kakek itu menolqng dia dan Milana di atas perahu, kemudian ketika kakek itu menolongnya pula di atas layang-layang raksasa, dia tersenyum sendiri. Betapapun anehnya, betapapun tersohor jahatnya Pulau Neraka, dia tidak bisa membenci kakek muka kuning itu, biarpun dia tahu bahwa kakek itu adalah seorang tokoh besar dari sana! Dia rasa, kakek itu akan suka menolongnya dan memberi tetumbuhan obat anti racun. Ataukah.... jangan-jangan kakek muka kuning itulah Majikan Pulau Neraka? Ah, tidak mungkin. Bukankah pemuda tampan itu putera Majikan Pulau Neraka? Pemuda itu selain tampan juga pesolek, pakaiannya indah-indah, dan kakek muka kuning itu seperti orang gila, pakaiannya tidak karuan dan tak bersepatu.
Betapapun juga, kakek muka kuning itu tentu bukan tokoh sembarangan dari Pulau Neraka. Dua hari dua malam lamanya Bun Beng berlayar dan akhirnya perahunya memasuki Sungai Huang-ho. Dia merasa berterima kasih sekali kepada Pendekar Super Sakti karena setelah diobati oleh pendekar itu, kedua kakinya yang lumpuh mulai dapat ia gerakkan dan kedua lututnya sudah hampir bersambung lagi, tidak begitu nyeri rasanya, juga dadanya tidak sesak lagi. Akan tetapi, selama dua hari itu, dia berpikir dan mengambil keputusan bulat untuk tidak pergi ke Pulau Neraka. Dia benci harus bertemu dengan pemuda Pulau Neraka itu yang dianggapnya amat sombong. Dia tidak sudi merengek minta obat ke sana, membayangkan betapa pemuda tampan itu akan memandangnya penuh ejekan dan hinaan.
Hanya sedikit sekali harapan untuk bisa mendapatkan obat dari Pulau Neraka. Bukankah ia mendengar desas-desus bahwa Pulau Neraka tidak bersahabat dengan Pulau Es? Bukankah ketika ada pertemuan di pulau tengah Sungai Huang-ho dahulu, terjadi pula pertentangan dan persaingan antara Pulau Neraka, Thian-liong-pang dan Pulau Es? Kalau memang racun di dalam darahnya akan membuatnya mati, dia seratus kali lebih rela mati di mana saja daripada di Pulau Neraka, lebih dahulu harus mengalami penderitaan batin kalau dihina dan diejek orang-orang Pulau Neraka. Yang lebih hebat lagi, kalau surat dari Pendekar Super Sakti itu mereka tolak atau tidak mereka sambut dengan baik, betapa akan menyakitkan hatinya! Dan dia tentu takkan banyak berdaya terhadap penghuni-penghuni Pulau Neraka yang demikian lihainya.
Tidak, dia tidak mau ke Pulau Neraka dan teringat akan Sungai Huang-ho, dia tahu ke mana dia harus pergi. Ke tempat di mana dia menemukan Sepasang Pedang Iblis! Ke tempat di mana terdapat sahabat-sahabatnya terbaik selama ini, yaitu sekumpulan kera baboon dengan siapa ia pernah hidup selama berbulan-bulan lamanya! Tempat itulah yang menjadi tempat seorang manusia sakti, gurunya yang tak pernah dikenalnya, yang telah meninggalkan Sepasang Pedang Iblis itu dan kitab pelajaran ilmu silat tinggi kepadanya. Kalau dia kembali ke sana dan mati di sana, hanya sekumpulan kera baboon itu saja yang akan mengetahuinya, tiada seorang pun manusia lain yang akan melihat keadaannya. Tiada seorang pun manusia pernah datang ke tempat itu, karena tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Hanya dia seoranglah yang tahu.
Caranya mudah sekali biarpun penuh bahaya maut, mempertaruhkan nyawa. Biasa saja, hanya terjun ke dalam pusaran maut, membiarkan pusaran itu yang menyeret tubuhnya ke bawah dan ia akan sampai di tempat itu. Tentu saja kalau Tuhan menghendaki, kalau tidak, sekali dibenturkan pada batu-batu di bawah air oleh tenaga pusaran air, tubuhnya akan remuk. Apa bedanya? Dia toh akan mati juga. Selama paling banyak setengah tahun, kata Pendekar Super Sakti! Dengan keputusan hati yang bulat ini, Bun Beng berlayar menuju ke pulau di tengah muara Sungai Huang-ho. Sepekan lamanya setelah perahunya masuk sungai itu, sampailah dia dekat pulau dan lang-sung ia mengemudikan perahu menuju ke sebelah selatan pulau di mana terdapat pusaran maut.
"Haiiii....! Orang muda, jangan ke sana.... berbahaya....!"
Beberapa orang nelayan dari perahu masing-masing berteriak-teriak memperingatkan Bun Beng, akan tetapi pemuda ini tersenyum geli melihat tingkah para nelayan itu yang memperingatkan dia agar jangan mendekati pusaran maut. Justeru pusaran air itulah tujuannya, tentu saja menggelikan sekali melihat mereka memperingatkan dia jangan mendekati tempat itu.
Dia malah menurunkan layar dan mendayung perahunya cepat-cepat menuju ke pusaran air, diikuti pandang mata terbelalak dan muka pucat oleh para nelayan yang tentu saja sudah mengenal tempat itu yang amat ditakuti semua nelayan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kasihan ketika melihat perahu dengan orang muda itu dicengkeram pusaran air, perahunya berputar-putar dan tiba-tiba pemuda itu terlempar ke tengah pusaran sedangkan perahunya pecah berantakan mengeluarkan suara keras. Perahu itu hancur berkeping-keping dan tubuh pemuda itu lenyap ditelan pusaran air! Semua nelayan menahan napas, kemudian hanya menggeleng-geleng kepala melanjutkan pekerjaan mereka, diam-diam mencatat bahwa pusaran maut itu kembali telah menelan nyawa seorang manusia yang agaknya masih asing dengan daerah itu dan tidak tahu bahwa di situ terdapat pusaran air yang amat berbahaya.
Dalam keadaan setengah pingsan, setelah terjun dan menyelam, tubuh Bun Beng terbawa oleh pusaran air yang menyedotnya ke bawah. Ia merasa tubuhnya dihanyutkan oleh kekuatan yang amat dahsyat, yang membuat tubuhnya terpusing cepat sekali, ia merasa tubuhnya sakit-sakit akan tetapi sedikit pun dia tidak mau melawan karena dia maklum bahwa melawan berarti mati. Tenaga yang demikian dahsyatnya hanya dapat dihadapi dengan penyerahan total, tanpa perlawanan sedikitpun sehingga tubuhnya seperti sehelai daun yang menurut saja. Dalam keadaan pingsan, Bun Beng terus disedot ke bawah, dihanyutkan dan ketika ia siuman kembali, seperti dahulu ketika ia masih kecil terjun ke tempat ini, tahu-tahu ia mendapatkan dirinya telah berada di mulut sebuah guha.
Tubuhnya terasa sakit-sakit dan pakaiannya robek-robek, kulitnya babak bundas, berdarah di sana-sini, agaknya karena terbentur dan tergurat batu-batu ketika pusaran air itu menghanyutkan tubuhnya. Sambil mengeluh Bun Beng bangkit duduk, memandang ke sekelilingnya yang hanya batu-batuan belaka, dalam cuaca yang remang-remang dan ternyata dia berada di mulut guha yang amat besar dan di sebelah kirinya terdapat air mancur yang mengeluarkan bunyi gemuruh. Ia menarik napas lega. Dua kali ia memasuki pusaran maut, dan dua kali secara mujijat dia selamat! Dengan penuh harapan dan penuh rindu ia memandang ke kanan-kiri, menanti munculnya kera-kera baboon yang dahulu pernah mengeroyoknya kemudian menjadi sahabat-sahabatnya selama lebih dari setengah tahun. Akan tetapi sunyi saja di situ, tidak tampak seekor pun kera dan suara apa-apa kecuali bunyi air terjun yang bergemuruh.
Ketika ia memandang penuh perhatian, ia merasa heran karena tempat di mana ia pertama kali didaratkan oleh pusaran air tidaklah seperti sekarang ini. Dahulu tidak ada air terjun yang demikian besar, dan ia dahulu didaratkan oleh gelombang air sungai yang mengalir di dalam gunung batu. Sekarang, tidak tampak air mengalir di depannya yang ada hanya air terjun itulah. Melihat letak dia mendarat, dia dapat menduga bahwa tentu dia tadi terbawa oleh air itu dan terjatuh ke bawah bersama air terjun itu. Ia bergidik. Benar-benar aneh. Kalau dia terjatuh bersama air itu, dengan kepala lebih dulu, tentu kepalanya akan pecah! Tidak salah lagi. Bukan ini tempat dia dahulu pertama kali dihanyutkan pusaran air itu. Ini adalah tempat lain lagi.
Ia mencoba untuk menggerakkan kedua kakinya. Sudah dapat digerakkan, akan tetapi masih terlalu lemah untuk dipakai berdiri. Ia merangkak dengan hati-hati memasuki guha itu yang ternyata amat dalam dan setelah merangkak sejauh dua mil lebih, tibalah ia di tempat terbuka, penuh batu-batu liar dan matahari menyinari tempat terbuka yang luas itu. Sunyi sekali keadaan di situ, yang ada hanya batu-batu besar tanpa ada tetumbuhan atau pohon sebatang pun. Batu-batu yang agak basah dan licin. Tiba-tiba Bun Beng berhenti bergerak ketika ia melihat sebuah meja di tengah tempat terbuka itu! Meja kecil dari kayu, sebuah tempat lilin dekat meja dan di atas meja terdapat sebuah kitab! Tentu ada manusianya, karena lilin itu menyala, menyorotkan sinarnya ke atas meja yang tertu-tup bayangan batu dinding tinggi!
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari sebelah kiri, Bun Beng menahan napas ketika melihat bahwa orang itu adalah seorang wanita yang berkerudung mukanya. Ketua Thian-liong-pang! Celaka, pikirnya. Kiranya tempat ini adalah tempat rahasia, agaknya menjadi tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang! Wanita itu agaknya yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain, maka dengan tenang ia membuka kerudung mukanya. Jantung Bun Beng berdebar tegang. Ia segera mengenal wanita cantik ibu Milana yang pernah dilihatnya ketika wanita ini bertemu dengan Pendekar Super Sakti, memperebutkan anak mereka, Milana! Hatinya diliputi keheranan besar. Wanita itu amat cantik jelita, seperti Milana dan kelihatan masih muda. Mukanya berkulit putih halus, agaknya karena jarang terkena sinar matahari, dan sepasang matanya tajam luar biasa.
"Singgg....!"
Wanita itu mencabut sebatang pedang, kemudian menghampiri meja dan membalik-balik lembaran kitab yang berada di atas meja. Agaknya dia mencari-cari dan setelah bertemu dengan halaman yang dicarinya, kitab itu dibiarkan terbuka, dibaca sebentar dengan alis berkerut, kemudian membuat gerakan dengan pedang perlahan-lahan seperti seorang mempelajari sebuah jurus ilmu pedang.
Jurus yang aneh sekali dan biarpun digerakkan perlahan, pedang itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, naik turun suaranya ketika gerakan-gerakannya berubah sehingga seperti saling ditiup melagu! Kemudian wanita itu melangkah ke belakang tiga tindak dan mainkan jurus dengan cepat. Bukan main! Pandang mata Bun Beng menjadi silau karena pedang itu lenyap menjadi segulung sinar putih seperti kilat yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing aneh. Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran adalah persamaan jurus itu dengan jurus dari ilmu silat dalam kitab yang ditemukannya dahulu, dalam Sam-po-cin-keng! Tiba-tiba dia melihat hal yang aneh terjadi pada diri wanita itu. Setelah bersilat pedang beberapa lamanya, mengulang-ulang jurus aneh itu, tiba-tiba wanita itu terhuyung ke depan dan terdengar suaranya penuh penyesalan.
"Keparat! Selalu terserang pusing dan sesak bernapas setiap mainkan jurus ini! Apanya yang kurang?"
Saking marah dan penasaran, tiba-tiba wanita itu sambil menahan keseimbangan tubuhnya, melontarkan pedang itu ke belakang tanpa menengok, melalui kepalanya.
"Wuuuttt.... singggg....!"
Pedang terbang melayang ke arah Bun Beng!
"Ceppp!"
Pedang itu menancap pada batu yang berada di depan Bun Beng, menancap sampai tembus, dan ujungnya hampir mengenai pelipis kiri Bun Beng, hanya kurang beberapa sentimeter lagi! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati pemuda itu yang cepat melemparkan tubuh ke belakang, terlentang dan tak berani bernapas, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Ia hanya terlentang tanpa berani berkutik, memandang ke arah ujung pedang itu. Terdengar olehnya langkah kaki agak diseret. Tentu wanita itu masih belum pulih keadaannya yang secara aneh seperti orang terserang dari dalam tubuh sendiri dan membuatnya tadi terhuyung.
"Sratttt!"
Ujung pedang yang tampak oleh Bun Beng itu lenyap, tanda bahwa pedangnya telah dicabut orang dari batu itu, kemudian terdengar suara wanita itu penuh penasaran dan kecewa.
"Kitab yang mengandung ilmu iblis! Cara berlatih sin-kang telah kupelajari, gerakan pedangku pun menurut petunjuk dan sudah benar, mengapa kepalaku menjadi pening dan napas sesak seperti terpukul ketika mainkan jurus ke tiga belas itu? Mengapa tidak ada petunjuk cara mengatur napas? Gila benar! Setahun lebih mempelajarinya, macet pada jurus ke tiga belas!"
Dengan jantung masih berdebar tegang, Bun Beng bangkit lagi, mengintai dari celah-celah batu karang. Untung bahwa suara air terjun yang jauhnya dua mil lebih itu agaknya menerobos terowongan guha dan menimbulkan suaraa gemuruh sehingga gerakannya tidak dapat terdengar oleh wanita lihai itu. Kini ia melihat wanita itu menyimpan kembali pedangnya, memakai kerudung penutup kepala,
Kemudian dengan langkah perlahan dan lesu wanita itu meniup padam lilin, dan berjalan menuju ke sebuah pintu besi yang tertutup oleh beberapa buah batu besar. Wanita itu mendorong sebuah batu di ujung kanan dan terbukalah daun pintu itu. Wanita itu masuk dan daun pintu tertutup kembali. Namun, sampai sejam lebih, Bun Beng belum berani keluar dari tempat sembunyinya, khawatir kalau-kalau wanita itu tiba-tiba muncul kembali. Tak dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi kalau dia bertemu dengan wanita itu. Mungkin dia dibunuhnya mungkin disiksanya, siapa yang dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh wanita cantik jelita yang berwatak seperti setan itu? Setelah hampir dua jam menanti dan merasa yakin bahwa wanita itu tidak akan muncul, Bun Beng merangkak keluar dari belakang batu menghampiri meja.
Lututnya sudah tak terasa nyeri, hanya masih lemah, maka dengan berpegang pada meja, ia dapat mengangkat tubuh berdiri. Dengan tangan kiri menahan, menekan ujung meja, tangan kanannya memeriksa kitab yang terletak di atas meja itu. Kitab yang tidak berjudul, akan tetapi di dalamnya terkandung pelajaran samadhi menghimpun sin-kang yang aneh, dan di bagian belakangnya terdapat pelajaran ilmu silat pedang yang gerakan-gerakannya mirip dengan gerakan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng. Bun Beng tertarik sekali. Tanpa disengaja ia tiba di tempat itu, dan tidak ada jalan keluar baginya berarti bahwa agaknya dia harus tinggal di situ, sampai kematian merenggutnya. Daripada termenung memikirkan nasib, dia sebagai seorang penggemar ilmu silat, tentu saja kitab itu merupakan hiburan besar baginya, untuk mengisi kekosongan.
Mulailah ia membaca bagian pertama, bagian berlatih sin-kang. Dia sudah banyak melatih sin-kang dengan cara samadhi yang berlainan, yang ia pelajari dari mendiang gurunya, Siauw Lam Hwesio, dan dari Siauw-lim-pai, di mana dia menerima tuntunan dari Ketua Siauw-lim-pai sendiri, yaitu Ceng Jin Hosiang. Kemudian ia pun mempelajari cara samadhi dam melatih sin-kang dari pelajaran yang dulu ia baca dari Kitab Sam-po-cin-keng. Kini, pelajaran dari kitab kuno itu mempunyai cara tersendiri, sungguhpun mirip dengan cara yang diajarkan di Sam-po-cin-keng, namun terdapat perbedaan cara perkembangannya. Setelah membaca dan menghafal bagian terdepan, yaitu cara bersamadhi, ia berhenti dan membuka kitab itu pada halaman seperti tadi sebelum dibacanya, yaitu halaman dua puluh, karena perutnya terasa lapar sekali.
Dia mulai merasa bingung. Apa yang akan dimakannya untuk mengisi perutnya? Tidak ada sebatang pun pohon di situ, dan agaknya tidak ada seekor pun binatang. Dia mulai merangkak di antara batu-batu, dan mencari-cari. Akhirnya, di bagian yang tertutup bayangan, yang agak gelap dan hanya kadang-kadang saja terkena sinar matahari, dia menemukan banyak jamur yang bentuknya seperti payung, warnanya agak kemerahan dan baunya amis seperti darah. Bun Beng memetik sebuah kepala jamur dan membawanya ke tempat terang. Jamur itu warnanya merah dan bersih, kelihatan enak sekali, akan tetapi begitu ia dekatkan ke mulut, bau amis membuat ia muak dan dia tidak jadi mema-kannya. Kemudian ia teringat akan ucapan mendiang suhunya mengenai manusia, di antaranya tentang cara manusia makan. Terngiang di telinganya suara gurunya itu,
"Bun Beng, manusia pada umumnya menderita dalam hidupnya, terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri karena seluruh gerak-geriknya dikuasai dan dikendalikan oleh nafsunya. Penggunaan panca indranya sudah tidak pada tempatnya lagi. Lihat saja kalau manusia makan. Apakah sebetulnya maksud dari makan? Apakah manfaat dan kegunaannya?"
"Agar perut yang lapar menjadi kenyang, agar dia tidak mati kelaparan Suhu,"
Jawabnya dahulu, ketika ia baru berusia belasan tahun.
"Benar, dan agaknya semua manusia mengerti akan hal itu. Akan tetapi pengertian itu hanya menjadi hafalan kosong belaka, karena tidak demikianlah prakteknya dalam hidup. Manusia makan bukan untuk perut lagi, melainkan untuk mulut! Karena itu, bukan sang perut yang diingat di waktu makan, melainkan sang mulut! Bukan manfaatnya bagi sang perut lagi yang dipentingkan melainkan kelezatan bagi sang mulut sehingga hilanglah arti sesungguhnya daripada ma-kan. Maka timbullah bermacam pertentangan batin, timbullah keinginan untuk mendapatkan yang enak-enak bagi sang mulut. Manusia tidak peduli lagi akan arti makan bagi perut, melainkan mencu-rahkan perhatiannya untuk mendapatkan makan yang enak bagi mulut, tidak menghiraukan lagi apakah makanan itu baik bagi perut atau tidak."
Sekarang dia baru mengerti akan tepatnya ucapan suhunya itu, dan ia mengingat akan wejangan selanjutnya.
"Seperti juga dengan mulut, manusia menyalahgunakan mata, telinga, hidung dan semua panca indrianya. Lupa lagi akan tugas sesungguhnya daripada semua anggauta yang menjadi alat hidup itu sehingga semuanya dikuasai oleh nafsu ingin nikmat, ingin senang tanpa menjenguk faedahnya. Maka selalu mencari pemandangan yang indah-indah dan merangsang, yang enak bagi nafsu.
Telinga selalu mencari pendengaran yang indah bagi nafsu, hidung pun ingin selalu mencium yang sedap-sedap bagi nafsu, tanpa mengingat lagi akan kemanfaatannya. Dengan demikian, hidup ini menjadi kosong dan tidak berarti, hanya menjadi gerak pemuasan sang nafsu, menjadi budak pengabdi keinginan nafsu belaka!"
Teringat akan ini, di tempat sunyi itu, dalam menghadapi maut, pikiran Bun Beng menjadi jernih dan dapat menangkap arti daripada ucapan suhunya itu, baru terbuka mata batinnya. Ia memandang lagi jamur di tangannya, kemudian dengan menekan nafsu yang menguasai hidupnya, lenyaplah bau amis dan lenyap pula kemuakannya, dan dimakanlah jamur itu. Dia tidak mempedulikan lagi rasanya karena tidak mau lagi dikuasai nafsu, yang diperhatikan hanyalah perutnya yang butuh isi.
Setelah menghabiskan tiga buah jamur, perutnya menjadi kenyang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit seperti diremas-remas. Dia pergi sampai ke sudut dan membuang air besar di antara batu-batu basah, demikian hebat perutnya terkuras sampai dia jatuh pingsan, diam-diam dia mengeluh bahwa jamur yang dimakannya itu tentulah mengandung racun yang akan membunuhnya. Akan tetapi dia tidak merasa menyesal, juga tidak takut karena memang dia tahu bahwa dia sedang menghadapi kematian. Mati sekarang atau beberapa bulan lagi, apa bedanya? Bun Beng siuman kembali. Sebelum membuka mata, dia mendengar suara mengiang-ngiang diseling suara berdetak seperti tambur dipukul, ataukah kepalanya yang dipukuli dengan irama teratur?
Dia membuka matanya. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan kepalanya tidak dipukuli orang. Akan tetapi suara itu masih terus berbunyi, mengiang-ngiang dan berdetak-detak. Ketika ia memperhatikan, kiranya yang terdengar mengiang-ngiang adalah desir darahnya sendiri dan suara berdetak adalah denyut jantungnya! Wah, racun jamur bekerja dan aku akan mati, pikirnya. Akan tetapi, biarpun dia menanti datangnya maut sampai berjam-jam, maut tidak datang menjemput, bahkan suara itu makin lama makin melemah akhirnya lenyap. Jalan darahnya normal kembali. Ia bangkit duduk dan aneh, lututnya tidak selemas tadi! Perutnya tidak nyeri lagi, dan masih terasa kenyang. Wajah pemuda itu berseri gembira. Ia teringat akan kata-kata suhunya lagi, dan dia tidak peduli. Karena yang ada hanya jamur, jamur pulalah yang akan dimakannya kalau perutnya membutuhkan.
Dia tidak perlu khawatir akan kebutuhan air. Di banyak tempat terdapat air bertitik, bahkan ada yang mengucur kecil dari celah-celah batu. Dan jamur merah banyak sekali terdapat di situ, tidak akan habis dimakan bertahun-tahun karena tentu akan tumbuh lagi. Jamur itu yang jelas mengenyangkan perutnya. Makin giranglah hatinya setelah mendapat kenyataan bahwa kini perutnya tidak mulas lagi, hanya ia selalu mesti buang air setelah makan jamur, dan kedua lututnya cepat sekali sembuh, tenaganya pulih. Pada hari ke tiga, Bun Beng mulai melatih diri dengan samadhi seperti yang diajarkan di dalam kitab kuno di atas meja itu. Untuk menjaga agar dia dapat bersembunyi dan mengetahui kalau wanita itu muncul, dia menumpuk beberapa batu sebesar kepalan tangan di depan pintu rahasia.
Kalau wanita itu muncul, tumpukan batu itu tentu akan runtuh dan mengeluarkan bunyi yang dapat membuat dia cepat bersembunyi. Kekuasaan Tuhan memang tak dapat terlawan oleh kekuasaan apa pun juga. Kalau Tuhan belum menghendaki seseorang mati, ada saja jalan yang ditempuh orang itu tanpa disadarinya. Demikianlah pula dengan keadaan Bun Beng. Pemuda ini sudah jelas keracunan darahnya, dan Pendekar Sakti Suma Han sendiri sudah memeriksa dan menyatakan bahwa kalau tidak mendapatkan obat, pemuda itu hanya akan dapat hidup paling lama setengah tahun saja! Akan tetapi, karena terpaksa, tidak ada makanan lain kecuali jamur merah, dan karena sadar akan wejangan mendiang suhunya, Bun Beng nekat makan jamur, sama sekali tidak tahu bahwa jamur itu mengandung racun yang amat kuat.
Racun terhisap oleh darahnya dan bertemu dengan racun di dalam darahnya akibat perbuatan Pendeta Maharya dan betapa ajaibnya, kedua racun itu adalah racun yang sifatnya bertentangan sehingga saling membunuh! Andaikata Bun Beng tidak keracunan darahnya, tentu dia akan mati oleh racun jamur. Kini, racun jamur itu malah menjadi "obat"
Yang menghilangkan ancaman maut oleh ra-cun yang berada dalam darahnya. Tentu saja Bun Beng tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa kesehatannya pulih kembali dengan cepat. Dengan hati-hati sekali ia menjaga diri agar jangan sampai ketahuan oleh Ketua Thian-liong-pang yang ternyata datang ke tempat itu kurang lebih sebulan sekali. Setiap kali datang melalui pintu rahasia itu, Bun Beng cepat bersembunyi dan mengintai, dan dia kembali menyaksikan betapa wanita sakti itu selalu macet kalau berlatih ilmu pedang sampai ke jurus tiga belas!
Selalu terhuyung-huyung dan mukanya menjadi pucat, napasnya menjadi sesak. Dengan tekun Bun Beng melatih sin-kang menurut petunjuk kitab itu. Tiga bulan kemudian pelajaran ini selesai dilatihnya dan dengan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa tenaga sin-kangnya meningkat secara luar biasa sekali, beberapa kali lipat lebih kuat daripada sebelum ia berlatih. Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, setelah melatih diri dengan sin-kang menurut petunjuk kitab itu, dia kini mampu melakukan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng dengan ringan dan mudah, bahkan dia dapat me-lakukan gerakan dengan cara ilmu memindahkan tenaga dengan tepat sekali. Untuk ilmu memindahkan tenaga ini ia berlatih dengan batu besar yang ia lontarkan ke atas. Ketika batu itu meluncur ke arah tubuhnya,
Ia mengikuti gerakan batu itu, mengerahkan sin-kang ke ujung tangan yang berlawanan kemudian ia memindahkan tenaga luncuran batu itu ditambah sin-kangnya sendiri menghantam dari samping, membuat batu itu pecah berantakan! Setelah selesai melatih sin-kang, mulailah ia mempelajari ilmu pedang yang terdapat dalam kitab itu. Kembali ia tercengang. Ilmu pedang itu memiliki gerakan yang hampir sama dengan Sam-po-cin-keng sehingga dengan mudah ia dapat melatih diri, menggunakan pedang-pedangan batu yang ia buat dari batu karang yang banyak terdapat di tempat itu. Ilmu pedang ini terdiri dari tiga puluh enam jurus dan dia melatih setiap jurus dengan teliti dan hati-hati sekali dan betapa herannya ketika ilmu pedang yang hampir serupa dengan Sam-po-cin-keng itu ternyata setiap jurusnya merupakan lawan dari jurus-jurus Sam-po-cin-keng!
Agaknya ilmu pedang ini memang sengaja dicipta orang sakti untuk menandingi Sam-po-cin-keng! Untuk setiap jurus ia latih sampai selama tiga hari, dan makin mendekati jurus ke tiga belas, dia makin berhati-hati. Akan tetapi ketika tiba saatnya ia melatih jurus ke tiga belas ini, dia dapat mainkan jurus itu dengan baik dan tidak terjadi sesuatu dengan dirinya, seperti yang diderita oleh Ketua Thian-liong-pang! Bun Beng menjadi tercengang dan termenung setelah selesai melatih jurus ke tiga belas ini. Mengapa dia bisa mainkan dengan baik sedangkan Ketua Thian-liong-pang yang jauh lebih lihai daripada dia itu tidak mampu? Pemuda ini tidak tahu bahwa kini ilmu sin-kangnya sudah amat tinggi, hampir menandingi sin-kang Ketua itu, dan tidak tahu bahwa Ketua itu gagal karena tidak menguasai peraturan pernapasan ketika mempelajari jurus ke tiga belas itu!
Adapun Bun Beng sendiri, biarpun tidak mempelajari pernapasannya karena kitab itu tidak lengkap namun dia telah mempelajari pengaturan napas ketika mainkan Sam-po-cin-keng sedangkan ilmu pedang itu dasarnya sama dengan Sam-po-cin-keng, bahkan menjadi imbangannya. Dengan girang sekali Bu Beng mendapat kenyataan bahwa telah lima bulan lebih ia berada di tempat itu, dan kesehatannya terasa makin baik! Dia telah sembuh! Secara aneh dia telah sembuh! Kalau tidak, tentu dia sekarang telah mati seperti yang dikatakan Pendekar Super Sakti. Pendekar itu tidak mungkin membohonginya. Jamur itu! Kini ia dapat menduga bahwa tentu jamur-jamur itu yang menyembuhkannya, maka diam-diam ia menjadi girang dan bersyukur sekali.
Sampai tiga bulan lebih ia mempelajari ilmu pedang dan akhirnya ia dapat mainkan semua jurus ilmu pedang itu dengan baiknya. Dia sendiri tidak sadar bahwa ketika ia mainkan batu kecil panjang seperti pedang itu, terdengar suara nyaring melengking dan tampak sinar berkelebatan yang mengandung hawa sebentar panas sebentar dingin! Selama itu, dia selalu bersembunyi kalau Si Ketua Thian-liong-pang muncul. Dia kini telah selesai melatih diri, dan penyakitnya pasti telah sembuh, maka timbullah keinginan hatinya untuk keluar dari tempat itu. Tak mungkin dia selamanya akan tinggal di tempat itu setelah kini dia tidak terancam maut. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat keluar dari situ?
Dia bersikap sabar dan karena kini dia menduga bahwa jamur-jamur yang setiap hari dimakannya itu mengandung obat yang menyembuhkannya, maka kini dia mulai mencoba jamur lain karena selain jamur merah, di situ terdapat jamur putih, biru, hijau dan lain-lain. Selama ini yang dimakannya hanyalah jamur merah yang amis karena ternyata bahwa jamur itu selain mengenyangkan perut, juga dapat menahan dia sehingga tidak kelaparan. Kini setelah sembuh, timbul keinginan hatinya untuk mencoba jamur yang lain. Pertama-tama dia mencoba jamur yang putih. Jamur ini kepalanya berbentuk segi lima ujungnya meruncing seperti topi seorang petani, baunya tidak amis akan tetapi rasanya agak pahit. Begitu dia makan tiga buah, dia merasa mengantuk sekali, Bun Beng duduk bersandar batu karang dan merasa betapa selain mengantuk, juga tubuhnya makin lama makin terasa panas!
Mula-mula rasa panas hangat-hangat ini nyaman sekali, dan ada perasaan girang luar biasa di dalam hatinya. Akan tetapi makin lama, terdapat perasaan yang amat aneh, yang membuat seluruh urat-urat syaraf menegang dan dia menjadi gelisah bukan main. Dorongan hasrat nafsu berahi yang amat hebat membakar tubuhnya, membuat dia menderita hebat sekali, gelisah dan bingung, mengerang-ngerang seperti orang dibakar perlahan-lahan, bergulingan ke sana-sini untuk melawan dan menekan hasrat yang meluap-luap itu. Terbayanglah di depan mata, di dalam otak dan di hatinya, wajah-wajah jelita dari Milana, Kwi Hong dan Siok Bi, puteri Ketua Bu-tong-pai yang manis itu. Terbayang olehnya betapa mereka itu berganti-ganti tersenyum, bersikap manis dan bergema di telinganya suara mereka yang seperti merayunya.
"Aduhhh.... gila! Aku telah gila....!"
Ia menjambak rambutnya, menampari dahinya, namun tetap saja bayangan tiga orang dara jelita itu berganti-ganti menggodanya, membuat nafsu berahinya makan memuncak. Semalam suntuk Bun Beng mengalami penderitaan yang selama hidupnya belum perah dia alami. Dia merasa tersiksa sekali, akan tetapi juga diam-diam merasa beruntung bahwa pada saat itu dia berada seorang diri. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya, apa yang akan terjadi andaikata di waktu itu ada seorang di antara tiga orang gadis itu yang berada di dekatnya! Dia tak dapat bertahan lagi! Setelah matahari terbit pada keesokan harinya, barulah dia terbebas daripada siksaan menggila itu. Seluruh tubuhnya terasa lemah dan lelah sekali, akan tetapi tubuhnya tidak panas dan denyut jantungnya normal kembali.
Ia cepat mandi di bawah air terjun di depan guha, membi-arkan air terjun menyiram kepala dan seluruh tubuhnya sehingga dia kembali merasa segar. Ketika dia kembali ke dalam, dia bergidik melihat jamur putih dan berjanji tidak akan mencoba-coba lagi makan jamur setan itu! Diam-diam ia merasa heran mengapa jamur-jamur di situ mengandung daya yang demikian mujijat. Ia kini melirik ke arah jamur biru dan jamur hijau. Akan dicobanya jugakah jamur-jamur ini? Bagaimana kalau mengandung racun yang lebih mengerikan lagi? Betapapun juga, hatinya takkan pernah merasa puas sebelum ia mencobanya. Dia telah makan jamur merah selama setengah tahun di tempat itu dan akibatnya malah menguntungkan dirinya. Dia telah pula mencoba jamur putih yang biarpun membuat dia tersiksa hebat semalam suntuk, namun pengalaman itu pun tidak merugikannya.
Apa salahnya kalau dia mencoba jamur yang lain? Dengan hati-hati ia makan sebuah jamur biru, sebuah saja karena dia sudah kapok, tidak berani makan banyak sehingga andaikata jamur itu beracun pula, pengaruh racunnya tidak terlalu hebat. Dan jamur ini lezat rasanya! Tidak berbau, dan rasanya gurih seperti di-garami! Dengan jantung berdebar dia duduk bersandar batu karang, menanti akibat dari jamur biru itu. Suara air terjun bergemuruh terdegar dari situ. Tiba-tiba ia terbelalak, kemudian memejamkan matanya. Apakah ini? Mabokkah dia? Suara air bergemuruh itu kini lain sekali didengarnya. Seperti berubah menjadi berlagu dan berirama! Begitu indahnya, seolah-olah bukan suara air terjun, melainkan selosin macam alat musik ditabuh oleh tangan orang-orang ahli! Seperti dalam mimpi, Bun Beng membiarkan pikirannya melayang-layang terbuai dan seolah-olah diayun dan dibawa terbang oleh suara air terjun yang berubah menjadi musik merdu itu.
"Aihh, jangan-jangan aku telah menjadi gila sekarang,"
Pikirnya dan ia cepat membuka matanya. Ia terbelalak dan mulutnya ternganga melihat cahaya matahari yang kini menjadi berwarna-warni, seperti pelangi! Dan batu-batu itu, begitu indah bentuknya dan begitu penuh rasa seni! Benarkah semua ini? Tempat itu dalam pandang matanya seolah-olah menjadi berbeda sekali, menjadi seperti.... ah, agaknya sorga begitulah macamnya! Dia menggerakkan kaki tangannya dan hampir dia berteriak. Dia seperti melayang-layang! Dia masih duduk di situ, akan tetapi merasa seolah-olah tubuhnya melayang, terbang di antara sinar matahari yang berwarna-warni indah sekali. Seperti dewa-dewa kalau terbang di antara mega-mega di angkasa.
Di antara keadaan sadar dan tidak sadar, Bun Beng mengalami hal yang benar-benar mentakjubkan, indah luar biasa, dan nikmat rasanya. Dia tidak sadar lagi akan keadaan sekitarnya, semua nampak indah, bahkan dia tidak kaget atau tidak takut ketika melihat pintu rahasia itu terbuka dan seorang wanita berkerudung meloncat keluar dari pintu, dan terdengar wanita itu berseru kaget dan meloncat cepat, tahu-tahu telah berdiri di depannya. Bun Beng memandangnya dengan tersenyum manis dan ramah, senyum sewajarnya seolah-olah dia bertemu dengan seorang sahabat lama, atau seorang bidadari kahyangan. Memang pantasnya bidadari! Bentuk tubuh yang amat indah, dan biarpun kepalanya ditutupi kerudung, namun keli-hatannya pantas dan serasi dengan tubuhnya!
"Kau....? Gak Bun Beng....?"
Ketua Thian-liong-pang itu membentak, penuh keheranan, kekagetan dan juga kemarahan. Bun Beng tersenyum lebar, bangkit berdiri dan memberi hormat. Suaranya penuh kegirangan dan kejujuran ketika ia berkata,
"Benar, Locianpwe, saya Gak Bun Beng. Selamat bertemu dan semoga Locianpwe selalu bahagia dan sehat se-perti saya!"
Agaknya jawaban ini membuat Ketua Thian-liong-pang sedemikian herannya sehingga lupa akan kemarahannya.
"Bagaimana kau bisa berada di sini?"
"Saya? Saya terbang.... heh-heh, saya.... saya hanyut oleh air sorga, sampai di sini, senang sekali, Locianpwe. Betapa indahnya sorga ini.... heh-heh...."
Sepasang mata di balik kerudung itu berkilat dan Nirahai, wanita berkerudung itu, mengerutkan alisnya.
Heran sekali, pikirnya, bagaimana bocah ini bisa masuk ke sini? Dia melihat sikap dan mendengar bicaranya, agaknya anak ini telah menjadi gila! Pada dasarnya, Nirahai bukanlah seorang yang kejam. Sama sekali tidak. Dia dahulu adalah puteri Kaisar yang sejak kecil telah mempelajari segala macam dasar kebajikan dari kitab-kitab kesusasteraan kuno yang penuh filsafat di samping ilmu silat yang tinggi. Memang wataknya keras dan berdisiplin karena dialah dahulu menjadi panglima kerajaan ayahnya, memimpin pasukan pembasmi kaum pemberontak yang amat disegani. Memang wataknya berubah menjadi dingin karena tekanan batin setelah dia berpisah dari suaminya, Pendekar Super Sakti, dan rasa sakit hati karena merasa disia-siakan suaminya yang tercinta itu membuat dia menjadi makin keras dan dingin, namun hal ini sama sekali bukan mengubahnya menjadi seorang yang berwatak kejam.
Dia tadinya bermaksud membunuh Bun Beng, karena pemuda ini selain telah mengacaukan Thian-liong-pang dan telah membunuh orang-orangnya, juga telah mengetahui rahasianya bahwa Ketua Thian-liong-pang yang selalu menyembunyikan keadaan dirinya di balik kerudung, sebetulnya adalah isteri Pendekar Super Sakti. Di samping itu, karena tahu pula bahwa pemuda ini adalah anak haram dari datuk sesat Gak Liat, maka dianggapnya bahwa anak itu pun keturunan seorang jahat yang berwatak rendah dan jahat pula. Akan tetapi, ketika tanpa disangka-sangkanya pemuda itu tahu-tahu muncul di dalam tempat rahasianya ini dalam keadaan seperti orang gila, dia menjadi tidak tega untuk membunuhnya dan merasa kasihan di samping keheranannya bahwa pemuda itu yang tadinya ia lihat lumpuh dan terluka hebat, masih belum mati, bahkan tidak lumpuh lagi.
"Bocah gila, berapa lama engkau berada di sini?"
"Ha-ha-ha, Lociapwe baru tahu sekarang, ya? Saya sudah lama sekali di sini, sudah setengah tahun. Ha-ha.... sudah habis kitab itu saya pelajari....!"
"Apa....? Kau....!"
Nirahai meloncat ke depan, tangannya bergerak mencengkeram ke arah pundak Bun Beng.
"Wuuutttt.... heeeiiihhh!"
Dengan gerakan yang ringan dan mudah saja Bun Beng miringkan tubuhnya dan Nirahai berturut-turut melanjutkan cengkeramannya sampai tiga kali, tetap saja ia mencengkeram angin dan pemuda itu dapat mengelaknya dengan mudah. Diam-diam ia terkejut menyaksikan gerakan yang luar biasa ringan dan gesitnya itu.
"Heii, tahan dulu, Locianpwe! Jangan main-main dengan pukulan berbahaya!"
Bun Beng mengangkat tangan, sikapnya riang dan wajahnya berseri, tubuhnya bergoyang-goyang, karena terasa amat ringan, seolah-olah melayang-layang. Sedikitnya tidak ada pikiran takut, khawatir atau apa saja karena pikiran itu kosong, pandang matanya menjadi terang, pikirannya terang dan ia merasa seolah-olah dunia, semua benda, dirinya dan juga Ketua Thian-liong-pang itu telah berubah sama sekali, semua kelihatan menyenangkan hati! Inilah akibat dia makan jamur biru yang ternyata mengandung racun yang hebat dan luar biasa, lebih hebat daripada racun dan ganja dan madat! Racun jamur biru ini mempengaruhi syaraf dalam otak, membuat dia tidak memikirkan, tidak membayangkan sesuatu.
Segala rasa khawatir, takut, marah dan lain-lain timbul dari pikiran dan ingatan. Pikiran menggambarkan rasa takut, khawatir, iri, dengki dan lain-lain. Maka setelah pengaruh racun itu melenyapkan bayangan ini, dalam keadaan kosong dan bersih pikiran mereka jadi terang, pandang mata pun tidak dipengaruhi nafsu yang timbul dari pikiran. Itulah sebabnya maka segala hal tampak, terdengar, dan terasa amat indah oleh Bun Beng, karena jauh berbeda daripada biasa. Pikiran yang dibebani segala macam kekhawatiran, ketakutan dan macam-macam perasaan lain mengeruhkan pandangan dan pendengaran, seperti yang diderita oleh semua manusia. Namun, dalam keadaan istimewa itu, Bun Beng menghadapi kenyataan yang lain daripada biasanya.
"Locianpwe, saya telah mempelajari semua isi kitab dengan baik. Bukankah itu menyenangkan sekali?"
Nirahai yang sudah mengangkat tangan itu menurunkan lagi tangannya dan memandang tajam penuh keraguan. Jelas bahwa bocah ini lebih gesit daripada dahulu ketika membuat kekacauan di Thian-liong-pang, pikirnya. Melihat sikap dan bicaranya, seperti orang yang miring otaknya. Mana mungkin dia berada di sini selama setengah tahun tanpa dia ketahui? Apalagi mempelajari seluruh isi kitab. Akan tetapi, siapa tahu?
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau sudah mempelajari semua isi kitab dengan hasil baik? Juga ilmu pedangnya?"
Ia bertanya, tertarik karena selama setahun lebih dia masih belum berhasil melatih ilmu pedang dari kitab itu, selalu gagal dalam jurus ke tiga belas dan seterusnya!
"Heh-heh, tentu saja, Locianpwe selalu gagal dan tersandung dalam jurus ke tiga belas dan ke empat belas."
"Apa....?"
Mata Nirahai terbelalak dan kini dia mencurahkan perhatiannya. Kalau anak ini dapat tahu akan hal itu, berarti belum tentu dia membohong bahwa dia telah lama berada di sini dan telah mempelajari isi kitab!
"Dan engkau mengatakan telah berhasil mempelajari semua ilmu pedang itu? Ahh, siapa mau percaya omongananmu? Kulihat, sebatang pedang pun engkau tidak mempunyai."
"Saya mempergunakan pedang ini, Locianpwe."
Bun Beng memungut batu kecil panjang menyerupai bentuk pedang dan mengangkat ke atas sambil tersenyum lebar.
"Gak Bun Beng, kalau benar engkau telah dapat menguasai Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut...."
"Aihh, namanya Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit)? Bukan main! Locianpwe tentu ingin mengetahui bagaimana saya mainkan ilmu itu, bukan?"
Nirahai mengangguk, kagum akan kecerdikan pemuda yang seperti gila itu.
"Terutama jurus ke tiga belas dan seterusnya, bukan?"
Kembali Nirahai mengangguk, kini kekagumannya bercampur keheranan. Pemuda itu seolah-olah dapat membaca isi hati dan pikirannya. Memang demikianlah, dalam keadaan terpengaruh racun jamur biru itu, ketika pikiran Bun Beng kosong bersih, pandang matanya menjadi tajam luar biasa.
"Nah, lihatlah, Locianpwe!"
Pemuda itu lalu menggerakkan pedang batunya, bersilat pedang mulai dari jurus ke tiga belas. Gerakannya demikian gesit dan sempurna sehingga Nirahai memandang bengong, penuh keheranan dan iri hati karena dia mendapat kenyataan betapa Bun Beng benar-benar dapat mainkan jurus-jurus itu, ke tiga belas sampai terakhir, dengan lancar, sempurna, dan sama sekali tidak membawa akibat buruk seperti yang telah dialaminya. Pedang batu itu mengeluarkan bunyi berdesing, melengking seperti suling ditiup, dan terasalah olehnya hawa dingin dan panas silih berganti keluar dari angin pedang batu itu!
"Hebat....! Luar biasa....!"
Nirahai berseru setelah Bun Beng menyelesaikan ilmu silat pedangnya dan melempar pedang batu ke bawah sambil tersenyum lebar. Tiba-tiba wanita itu meloncat ke depan dan secepat kilat tangannya bergerak menotok Bun Beng yang merasa seperti melayang-layang itu, agaknya tidak menyangka buruk sama sekali sehingga dia tidak mengelak maupun menangkis.
"Cuss!"
Sebuah totokan yang amat tepat mengenai jalan darah di pundak kanannya dan robohlah pemuda itu dalam keadaan lemas dan lumpuh. Ia roboh terlentang akan tetapi masih memandang ke arah wanita itu dengan senyum menghias bibir, seolah-olah keadaan tertotok itu mendatangkan rasa senang yang luar biasa! Setelah menotok Bun Beng, Nirahai lalu mencabut pedangnya, kemudian dia yang sudah menghafal jurus-jurus ilmu pedang itu lalu bermain silat pedang, mulai dari jurus ke tiga belas. Pemuda itu dapat memainkannya, masa dia tidak? Tingkat kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi daripada pemuda itu, buktinya pemuda itu dapat dirobohkannya sekali totok. Mungkin karena dia takut-takut, maka dia tidak pernah berhasil. Kini dia harus nekat, tidak menghentikan gerakannya kalau ada kepeningan dan sesak dada menyerangnya.
Dalam keadaan terpengaruh jamur biru itu, pandangan Bun Beng menjadi terang dan kini ia dapat melihat di mana letak kesalahan Ketua Thian-liong-pang itu, ialah di bagian pengaturan napas. Dia melihat dan mengetahui ini, akan tetapi karena dia kagum akan keindahan yang dilihatnya dalam keadaan terpengaruh dan mabok itu, dia diam saja, hanya memandang dengan mulut tersenyum. Nirahai bersilat dengan gerakan cepat dan kuat. Alisnya berkerut, kepalanya terasa pening dan dadanya sesak, akan tetapi dia nekat melanjutkannya dengan jurus ke empat belas. Dia agak terhuyung, napasnya terengah, namun dia masih dapat bermain sampai jurus ke dua puluh dan tiba-tiba ia mengeluarkan keluhan pajang, pedangnya terlepas, tubuhnya roboh dan wanita ini pingsan!
Bun Beng mengeluh perlahan. Pemandangan yang indah itu mulai berubah dan akhirnya ia sadar. Totokan itu tanpa disengaja oleh Nirahai, telah membuyarkan pengaruh racun jamur biru. Makin sadar, makin terkejutlah Bun Beng teringat akan semua yang telah terjadi tadi. Teringat pula dia akan keadaannya setelah makan jamur biru dan dia menjadi bengong. Bagaimana dia bisa begitu berubah? Mengapa dia berani bersikap seperti mempermainkan Ketua Thian-liong-pang dan sama sekali tidak menjadi takut? Kini timbul rasa takut dan ia cepat mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya. Tak lama kemudian ia berhasil membobol totokan dan jalan darahnya kembali normal kembali. Cepat ia meloncat dan menghampiri Ketua Thian-liong-pang yang masih rebah miring dalam keadaan pingsan.
Ah, inilah kesempatan yang ditunggu-tunggunya, ia berpikir cepat. Dia ingin keluar dari tempat ini dan sekaranglah saatnya! Dia memutar otak sebentar, membayangkan kemungkinan dan bahaya-bahayanya. Setelah mencari akal, ia cepat melepaskan kerudung penutup muka Ketua Thian-liong-pang itu, juga menanggalkan jubah luar seperti mantel yang besar, agaknya dipakai oleh Ketua itu sebagai penahan dingin, tidak lupa mengambil pedang dan sarungnya, kemudian ia meloncat meninggalkan tubuh Ketua yang pingsan itu, menghampiri pintu rahasia. Dia sudah tahu akan alat rahasia pembuka pintu itu. Diputarnya batu di sudut dan pintu itu terbuka. Bun Beng cepat mengenakan kerudung menutupi kepalanya, mengenakan jubah luar yang lebar dan menyarungkan pedang Si Ketua yang telah diambilnya. Kemudian dengan tekad bulat ia memasuki pintu rahasia.
Pendekar Super Sakti Eps 28 Kisah Pendekar Bongkok Eps 26 Kisah Pendekar Bongkok Eps 8