Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 23


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Ketika ia menengok ke arah tubuh yang masih belum bergerak, kemudian memandang ke arah jamur-jamur di sebelah kiri utuk penghabisan kali, dia bergidik. Jamur-jamur merah telah menolongnya, jamur putih membuat dia teragsang berahi hebat, dan jamur biru.... ah, dia bergidik kalau mengingatnya. Hampir saja dia celaka oleh jamur itu, ataukah sebaliknya? Bagaimana andakata dia dalam keadaan normal bertemu dengan Ketua Thian-liong-pang? Agaknya, menurutkan akal waras, dia akan membela diri mati-matian, dan besar kemungkinan dia akan terbunuh. Kalau begitu, belum tentu jamur biru itu mencelakakannya, bahkan sebaliknya, telah menolongnya sehigga akibatnya Si Ketua tidak membunuhnya, roboh pingsan dan membuka kesempatan baginya untuk menyelamatkan diri keluar dari tempat itu.

   Pintu rahasia itu bersambung dengan sebuah lorong di bawah tanah yang amat panjang, ada kalanya naik ada kalanya turun, terbuat dari anak tangga batu. Setelah berjalan cepat lebih dari satu jam, lorong itu mulai naik melalui tangga batu dan terus naik. Ketika ia keluar dari pintu terakhir, kiranya lorong itu menembus di sebuah lubang kuburan yang sudah terbuka! Sebuah kuburan tua di tengah-tengah tanah pekuburan. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika di kanan-kiri lobang kuburan itu berdiri belasan orang tokoh Thian-liong-pang tingkat tertinggi! Untung ia ingat akan penyamarannya, maka dia bersikap tenang. Satu-satunya yang akan dapat menggagalkan penyamarannya adalah suaranya.

   Akan tetapi, mengingat betapa anehnya watak Ketua Thian-liong-pang, dia dapat diam saja tanpa mengeluarkan suara dan siapakah di antara mereka yang berani bertanya akan hal ini? Dia akan menutup mulut, tidak mengeluarkan kata-kata, seolah-olah Ketua Thian-liong-pang sedang berduka, marah, atau sedang bertapa.... bisu! Melihat Ketua mereka muncul dari lubang, orang-orang Thian-liong-pang itu segera memberi hormat dengan membongkok, kemudian mereka mengangkat sebuah peti mati yang berada di situ, dimasukkan lagi ke dalam lubang, kemudian menutup papan besi yang atasnya penuh tanah dan rumput, ditutupkan lagi sehingga kini kuburan itu kelihatan seperti kuburan biasa. Melihat Ketua mereka diam saja dan hanya memandang dengan sinar mata tajam melalui lubang kerudung, Sai-cu Lo-mo mewakili temannya menjura dan berkata,

   "Harap Pangcu sudi memaafkan kami yang tanpa diperintah berani menanti keluarnya Pangcu dari tempat terlarang. Hal ini kami lakukan dengan amat terpaksa, karena tempat kita kedatangan tamu-tamu dari Pulau Neraka."

   "Apa....?"

   Bun Beng meniru suara Nirahai yang karena dalam pertemuannya dengan wanita itu, sampai beberapa kali Nirahai berseru seperti itu. Dengan meniru sebuah kata-kata saja, dengan suara ditinggikan, Bun Beng tidak melihat adanya bahaya dikenal perbedaannya.

   "Mereka berjumlah lima orang, dari tingkat teratas, melihat dari warna muka mereka yang berwarna terang, dan agaknya mereka tidak mengandung maksud baik, memaksa hendak berjumpa dengan Pangcu sendiri. Sekarang mereka berada di dalam ruangan tamu dan dihadapi oleh Tang-kouwnio."

   Bun Beng mengerti siapa yang dimaksudkan dengan Tang-kouwnio itu, tentulah Tang Wi Siang yang lihai, kepala pelayan dan orang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya, khawatir akan keselamatan Milana. Maka dia hanya mengangguk, kemudian menggerakkan kepalanya dan tangannya sebagai perintah agar mereka mengantarkan ke tempat tamu. Sikap ini agak mengherankan para tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi mereka hanya mengira bahwa Ketua mereka amat marah mendengar berita itu, dan tentu saja hendak muncul menemui tamu dengan sikap garang, dikawal dan diantar oleh para pembantunya.

   Maka Sai-cu Lo-mo lalu membuka jalan dan diikuti oleh Bun Beng yang sesungguhnya tidak tahu ke mana harus menuju karena dia tidak mengenal tanah kuburan ini. Kalau dia sudah sampai di dalam markas Thian-liong-pang yang terletak di lembah Sungai Huang-ho itu, tentu saja dia dapat mengenalnya karena dia pernah berada di situ sebagai "tamu"

   Kemudian sebagai tawanan. Ketika tiba di ruangan tamu, Bun Beng tanpa bicara menghampiri kursi ketua yang kosong dan duduk dengan tenang. Lima orang yang mukanya berwarna aneh, hijau pupus, ungu muda, dan merah muda, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menjura ke arah "Sang Ketua"

   Dan seorang di antara mereka yang bermuka merah muda dan berkepala gundul kelimis seperti lilin, berkata,

   "Kami dari Pulau Neraka, sebagai utusan To-cu (Majikan Pulau) menghaturkan hormat kepada Thian-liong-pangcu."

   Bun Beng hanya mengangguk, membiarkan mereka duduk kembali dan dia menggapai kepada Tang Wi Siang yang cepat menghampiri Ketuanya dan memberi hormat. Bun Beng tidak berkata-kata, hanya menggerakkan tangan menunjuk kepada para tamu dan menggerakan kepalanya diangkat sedikit, sebagai isyarat agar Tang Wi Siang yang mewakilinya bicara dengan para tamu itu. Tang Wi Siang menganggap bahwa Ketuanya merasa terlalu tinggi untuk bicara dengan tamu-tamu Pulau Neraka yang hanya utusan-utusan itu, maka dia sebagai wanita yang cerdik sekali dia berdiri di belakang Ketuanya lalu berkata nyaring.

   "Ketua kami yang mulia telah datang dan kalau kalian berlima dari Pulau Neraka masih dibiarkan duduk sebagai tamu, hal itu berarti bahwa Ketua kami sudah cukup murah hati dan menerima kedatangan kalian. Sekarang, harap kalian suka bicara setelah menghadap Ketua kami, apa keperluan kalian datang mengunjungi Thian-liong-pang!"

   Lima orang Pulau Neraka itu mengerutkan alis dan diam-diam merasa mendongkol sekali. Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi dari Pulau Neraka, pula mereka adalah utusan pribadi Ketua atau Majikan mereka, akan tetapi Ketua Thian-liong-pang menerima mereka tanpa mengucapkan sepatah kata, berarti memandang sangat rendah! Si Kepala Gundul muka merah muda yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, gemuk pendek, segera berkata,

   "Saya Kong To Tek bersama Sute Chi Song."

   Dia menuding ke arah orang muka merah muda ke dua yang tubuhnya gendut tinggi besar kepalanya kecil, kemudian melanjutkan,

   "ditemani tiga orang para sute yang satu dua tingkat lebih rendah sebagai utusan To-cu kami, selain datang menghaturkan hormat kepada Ketua Thian-liong-pang, juga kami mendengar bahwa Thian-liong-pangcu telah mempelajari semua ilmu yang ada di dunia ini. Karena itu, To-cu kami mohon agar Pangcu suka memberi petunjuk, mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri. Kalau ternyata Thian-liong-pangcu dapat melakukan hal ini, To-cu menawarkan kerja sama untuk menghadapi Pulau Es, akan tetapi kalau tidak, berarti benar bahwa Thian-liong-pangcu hanya mencuri ilmu-ilmu itu dari mereka yang telah diculik, maka tidak dapat mengalahkan kami dengan ilmu kami sendiri karena pihak kami belum pernah ada yang dapat diculik."

   Keadaan menjadi hening dan orang-orang Thian-liong-pang memandang marah.

   Yang hadir di ruangan tamu itu hanyalah orang-orang tingkat tinggi dari Thian-liong-pang, Sang Ketua, Tang Wi Siang, Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok, Lui-hong Sin-ciang Chi Kang, dan beberapa orang lagi yang kepandaiannya sudah tinggi. Mereka memandang ke arah Ketua mereka, menduga bahwa tentu Sang Ketua akan marah dan menghajar lima orang Pulau Neraka yang telah berani mengeluarkan kata-kata lancang itu. Akan tetapi, Bun Beng hanya menggerakkan tangan ke arah para pembantu Thian-liong-pang, kemudian menuding ke arah lima tamu itu. Jelas maksudnya bahwa "Sang Ketua"

   Yang tiba-tiba menjadi "pendiam"

   Itu memerintahkan agar para tokoh Thian-liong-pang mewakilinya menghadapi para tamu yang menantangnya berpibu.

   "Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pulau Neraka!"

   Kata pula Tang Wi Siang dengan suara nyaring.

   "Andaikata To-cu dari Pulau Neraka sendiri yang datang, belum tentu Ketua kami yang mulia merasa cukup pantas untuk dilayaninya sendiri. Apalagi hanya utusan-utusan yang tingkatnya rendahan! Kalau memang Pulau Neraka berniat baik, mengapa mesti menantang? Kalau kalian sudah menantang, di sini cukup tersedia tenaga untuk melayani kalian, tidak perlu Ketua kami turun tangan, kami para pembantunya sudah cukup untuk membuka mata kalian bahwa Thian-liong-pang tidak boleh dibuat main-main!"

   Bun Beng mengangguk-angguk tanda setuju dan Tan Wi Siang menjadi girang, maka dilanjutkannya,

   "Silakan mengajukan jago dari Pulau Neraka, dan kami akan menandingi!"

   Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang gundul itu, mengangkat kedua alisnya dan berkata,

   "Aaahhh, Thian-liong-pangcu merasa terlalu tinggi untuk melawan kami? Cukup mengajukan anak buahnya? Baiklah, biar kita coba-coba sebentar agar Pangcu dari Thian-liong-pang menyaksikan sendiri bahwa kami dari Pulau Neraka sudah cukup berharga untuk ditandingi sendiri oleh Thian-liong-pangcu. Karena kedatangan kami sebagai utusan majikan kami untuk mencoba kepandaian Thian-liong-pangcu, bukan untuk mengadakan pibu (pertandingan silat), maka biarlah kami hanya mengajukan dua orang jago, yaitu Sute Chi Song dan saya sendiri. Sute, majulah dan perlihatkan bahwa kita cukup berharga untuk menerima petunjuk Thian-liong-pangcu sendiri."

   Laki-laki gendut tinggi besar itu mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah maju ke tengah ruangan. Dia menghadapi "Ketua"

   Thian-liong-pang dan menjura sambil berkata,

   "Thian-liong-pangcu, saya Chi Song, orang dari kalangan tingkat tiga di Pulau Neraka, mohon petunjuk darimu."

   Tang Wi Siang tentu saja tidak berani lancang mengajukan jago, maka dia menoleh ke arah Ketuanya sambil bertanya,

   "Harap Pangcu suka menunjuk seorang di antara kami untuk meghadapinya."

   Seingat Bun Beng, orang paling lihai sesudah Ketua Thian-liong-pang dalam perkumpulan itu, adalah Tang Wi Siang sendiri, kemudian mungkin sekali, Paman kakeknya, Sai-cu Lo-mo. Tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar ini, sebagai sute Si Gundul, tentu tidak selihai Si Gundul, maka sebaiknya kalau Chi Song ini dilawan oleh Sai-cu Lo-mo, sedang nanti Kong To Tek dilawan oleh Tang Wi Siang. Dia mengharapkan agar kedua orang "pembantunya"

   Itu akan memperoleh kemenangan sehingga dia sendiri tidak usah maju turun tangan karena kalau dua orang itu kalah, apalagi dia sendiri! Dan kalau dia turun tangan, tentu akan terbuka rahasianya.

   Hal ini akan menimbulkan keributan, sebaliknya kalau dua orang tokoh Thian-liong-pang itu dapat "membereskan"

   Kedua orang Pulau Neraka itu, tentu urusan menjadi selesai dan dengan mudah dia akan cepat meninggalkan tempat berbahaya itu. Kalau sampai berlama-lama, kemudian muncul Milana, apalagi kalau sampai muncul ibu Milana sendiri yang tadi pingsan di dalam tempat rahasia, wah, tentu celaka dia! Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia lalu menudingkan telunjuknya ke arah Sai-cu Lo-mo. Kakek berusia enam puluh tahun lebih yang mukanya menyeramkan seperti muka singa ini, yang pakaiannya sederhana, rambutnya putih semua, tadinya duduk dan kelihatan lenggat-lenggut mengantuk setelah dia tadi mengantarkan Sang Ketua ke ruangan itu. Kini tiba-tiba ia meloncat bangun dan tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha! Terima kasih, Pangcu. Memang sudah saya sangka bahwa tentu Pangcu akan memilih saya untuk memberi hadiah beberapa gebugan kepada Si Muka Merah ini!"

   Dia melangkah lebar ke tengah ruangan menghampiri Chi Song dan setelah berhadapan, keduanya saling pandang dengan sinar mata tajam menyelidik, seperti tingkah dua ekor ayam yang hendak bertanding. Chi Song memandang kakek itu dari atas ke bawah, kemudian berkata,

   "Kalau tidak salah dugaanku, engkau ini tentulah Sai-cu Lo-mo yang amat terkenal itu!"

   "Ha-ha-ha! Kalau sudah mengenal namanya, inilah orangnya dan kalau takut lebih baik lekas berlutut minta ampun kepada Pangcu kami dan cepat melingkarkan, buntutmu lalu angkat kaki dari sini!"

   Chi Song bukanlah seorang yang mudah dibikin marah oleh ejekan dan kata-kata menghina. Dia adalah seorang tokoh yang cukup tinggi tingkatnya di Pulau Neraka, apalagi bersama suhengnya saat itu menjadi utusan Majikannya, tentu saja dia maklum bahwa kakek muka singa itu mengeluarkan kata-kata memancing panasnya hati karena kemarahan merupakan langkah yang keliru dan merugikan dalam menghadapi pertandingan melawan orang yang tak boleh dipandang ringan. Ia tersenyum dan berkata,

   "Kebetulan sekali, Sai-cu Lo-mo. Biarpun saya tidak berkesempatan, atau mungkin belum berhasil menerima petunjuk Pangcu kalian, kini berhadapan denganmu, seorang tokoh Thian-liong-pang yang terkenal, merupakan kehormatan besar sekali. Hanya aku khawatir, kalau sampai engkau kalah oleh seorang tak terkenal seperti Chi Song ini, hal itu tentu akan menimbulkan malu besar!"

   "Ha-ha-ha, engkau boleh juga!"

   Sai-cu Lo-mo tertawa, maklum bahwa dia tak berhasil memanaskan hati lawan.

   "Nah, aku telah siap, majulah!"

   Chi Song tersenyum menyeringai dan mukanya yang berwarna merah muda itu kelihatan berkilau.

   "Engkau lebih tua daripada aku, Sai-cu Lo-mo, sepatutnya aku mengalah. Mulailah!"

   "Apa? Biarpun engkau lebih muda, akan tetapi engkau seorang tamu, sebagai pihak tuan rumah selayaknya kalau aku mengalah. Nah, seranglah!"

   Kedua orang ini memang cerdik dan tahu bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi, maka mereka segan untuk menyerang lebih dulu. Bagi seorang ahli silat kelas tinggi, menyerang lebih dulu tidak menguntungkan.

   "Baik, sambutlah!"

   Chi Song Si Muka Merah Muda itu membentak dan tiba-tiba seluruh tubuhnya tergetar kedua tangannya bergerak perlahan, tadinya kedua tangan dirangkap di depan dada seperti orang memuja dewa, kemudian kedua telapak tangan saling membesut, yang kiri terus bergerak lurus ke atas, sampai tegak di atas kepala, yang kanan terus bergerak lurus ke bawah sampai menunjuk tanah di bawah perut, warna mukanya yang tadinya merah muda berubah agak tua, sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi dan perlahan-lahan terdengar suara berkerotokan dari buku-buku tulang tokoh Pulau Neraka ini. Melihat ini, Sai-cu Lo-mo terkejut, maklum bahwa lawan ini sedang mengerahkan sin-kang yang mujijat dan mengingat bahwa dia seorang tokoh Pulau Neraka, tidak akan anehlah kalau sin-kang lawannya itu mengandung hawa beracun yang dahsyat.

   Maka dia cepat memasang kuda-kuda, pandang matanya tak pernah meninggalkan gerakan lawan, siap menghadapi terjangan pertama dan karena maklum akan kelihaian lawan, kakek ini sudah memasang kuda-kuda dari ilmu silat tangan kosong yang ia pelajari dari Ketuanya, yaitu gabungan dari Ilmu Silat Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Iblis dan Ilmu Silat Sakti Delapan Dewa). Kedua kakinya terpentang lebar, tidak bergerak sama sekali, akan tetapi tubuhnya dari lutut ke atas membuat gerakan-gerakan, kadang-kadang naik turun dengan lutut ditekuk, juga berputar ke kanan-kiri, namun matanya tak pernah meninggalkan lawan. Keadaan menjadi tegang sekali karena semua orang maklum bahwa dua orang kakek itu sedang saling mencari sasaran.

   "Haiiiitttt....ttt!"

   Chi Song mengeluarkan teriakan nyaring dan panjang, tubuhnya sudah menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan-pukulan dengan jari terbuka, menyambar atas dan bawah bertubi-tubi dan mengikuti arah tubuh lawan mengelak.

   "Hiaaaahhhh!"

   Sai-cu Lo-mo juga melengking nyaring, tubuhnya mengelak ke kanan-kiri, kedua kakinya mulai membuat gerakan melingkar menurutkan garis pat-kwa (segi delapan), kedua tangannya juga menangkis dengan pengerahan sin-kang, yaitu menangkis hawa pukulan lawan dengan hawa pukulan tangannya sendiri karena dia maklum betapa bahayanya pukulan itu, melihat betapa kedua tangan lawan mengeluarkan bau amis dan mengeluarkan uap tipis berwarna hitam! Bun Beng terbelalak kagum menyaksikan pertandingan itu. Baginya, gerakan kedua orang itu kurang cepat, akan tetapi tenaga sin-kang yang terkandung dalam pukulan-pukulan mereka membuat ia bergidik.

   Dia sendiri tidak tahu bahwa tenaga sin-kangnya kini telah meningkat sangat hebat, dan mengira bahwa dia tidak akan sanggup menghadapi pukulan dengan tenaga sin-kang seperti yang dilakukan oleh Chi Song atau paman kakeknya. Pertandingan berjalan seru bukan main setelah kini Sai-cu Lo-mo membalas serangan lawan dengan totokan jari tangan yang dia ambil dari Ilmu Sin-coa-kun, juga hasil ajaran ketuanya. Ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Nirahai kepada para pembantunya adalah ilmu silat lama yang dahulu menjadi ilmunya pendekar wanita sakti Mutiara Hitam. Namun, berkat pengertian Nirahai akan banyak sekali ilmu silat tinggi, Ketua Thian-liong-pang ini telah mengubah ilmu-ilmu itu, disisipkan jurus yang diambilnya dari ilmu lain untuk memperlihai ilmu silat tua itu, dan mengurangi bagian-bagian yang tidak perlu. Dengan sendirinya, dibandingkan dengan kehebatan ilmu-ilmu itu ketika dimainkan oleh Mutiara Hitam dahulu, kini lebih dahsyat lagi!

   "Plak-plak-dukkkk!"

   Kedua orang itu terlempar ke belakang ketika dua kali lengan mereka beradu dan disusul tumbukan tangan mereka saling mendorong. Sai-cu Lo-mo cepat menjatuhkan diri dan bergulingan kemudian meloncat bangun kembali, tepat pada saat lawannya yang tadi terlempar membuat gerakan berjungkir balik ke belakang sampai lima kali den kini juga sudah berdiri kembali.

   Mereka berdiri tegak, saling pandang dalam jarak hampir sepuluh meter! Chi Song menjadi penasaran sekali. Dia telah menggunakan pukulan yang mengandung hawa beracun, akan tetapi kakek bermuka singa itu mampu menangkisnya dengan tenaga yang amat besar, sama besarnya dan agaknya kakek itu tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang keluar dari tangannya! Hal ini tidak mengherankan karena kakek bermuka singa itu ketika mengadu lengan dan tangan, menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin, tenaga selaksa kati yang kosong sehingga tidak dapat terpengaruh oleh hawa pukulan beracun, namun yang memiliki kekuatan dahsyat sekali.

   "Ha-ha-ha, orang Pulau Neraka, kepandaianmu hebat seperti iblis. Engkau memang patut tinggal di neraka!"

   Sai-cu Lo-mo mengejek.

   "Heaaaaaahhhhhhtt!"

   Tiba-tiba tubuh Chi Song meloncat ke atas, menerjang dari atas dengan tendangan kedua kakinya ke arah dada kakek muka singa. Inilah keistimewaannya Si Tinggi Besar
(Lanjut ke Jilid 22)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22
muka merah muda itu, yaitu tendangan terbang! Sai-cu Lo-mo terkejut sekali, cepat mengelak, namun tendangan dari udara yang berantai itu tetap saja menyerempet pundaknya. Betapapun juga, kakek ini masih sempat menangkap kaki kiri dan membetot ke bawah sehingga biarpun dia terhuyung oleh tendangan itu, tubuh lawannya terbanting ke atas tanah sampai berdebuk dan kalau saja Chi Song tidak memiliki kekebalan tentu tubuhnya akan remuk. Chi Song menggelundung dan meloncat lagi, hampir berbareng dengan Sai-cu Lo-mo yang sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya.

   "Ha-ha-ha, tendangannya luar biasa sekali. Ahh, orang-orang Pulau Neraka memang hebat. Kalau tenaga Thian-liong-pang dan Pulau Neraka digabung untuk menghantam Pulau Es, tentu Pulau Es akan dapat dihancurkan!"

   Sai-cu Lo-mo berkata memuji.

   "Uhhh, kau pun hebat, Sai-cu Lo-mo, dan ucapanmu itu tepat sekali. Sayang Ketuamu tidak mau mencoba kepandaianku agar dapat kami lihat apakah dia patut bekerja sama dengan To-cu kami!"

   Hati Bun Beng mendongkol sekali. Mana sudi dia diajak bersekongkol dengan Pulau Neraka untuk menyerang Pulau Es? Gila! lebih baik dia memusuhi keduanya ini daripada harus memusuhi Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es! Karena marah, ia sudah meloncat dari atas kursinya. Dia hampir berteriak karena loncatannya itu luar biasa cepat dan ringannya, sehingga hampir saja jaraknya terlewat kalau dia tidak cepat berjungkir balik sehingga dia dapat kembali dan turun tepat di depan Chi Song! Gerakannya amat indahnya, juga amat cepatnya, sehingga Chi Song mengeluarkan seruan kaget. Sai-cu Lo-mo sendiri girang melihat Ketuanya turun tangan, karena diam-diam dia mengharapkan agar mereka dapat bekerja sama dengan Pulau Neraka yang mempunyai banyak orang pandai, untuk menyerang Pulau Es yang amat mereka segani dan takuti.

   "Bagus, Pangcu menganggap saya cukup berharga untuk dilayani oleh Pangcu sendiri? Apakah Pangcu hendak mengalahkan saya dengan ilmu kami sendiri?"

   Bun Beng hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Karena sikap ini dianggap memandang rendah, Chi Song marah sekali. Dia berteriak keras dan cepat menubruk maju, menyerang dengan tangan kanan terbuka ke arah kepala yang berkerudung itu. Bun Beng teringat akan ilmu memindahkan tenaga, maka dengan tenang dia menarik kepalanya ke belakang dan begitu tangan lawan menyambar dekat, dia mendahului dengan sampokan tangan kiri ke arah lengan lawan, namun dia tidak menggunakan tenaga sepenuhnya.

   "Dukkk....!"

   Tubuh Chi Song terputar-putar seperti gasing. Pukulan itu seperti mendorongnya dari belakang, mendorong tenaganya yang ia pergunakan untuk memukul tadi, maka ia tak dapat menahan lagi tubuhnya terputar-putar terbawa oleh tenaganya sendiri ditambah tenaga amat dahsyat dari "Ketua"

   Thian-liong-pang.

   "Ehhhh...., bukankah itu ilmu dari Suheng Ngo Bouw Ek?"

   Si Kepala Gundul berseru dengan mata terbelalak. Chi Song sudah dapat berdiri tegak, meraba-raba lengannya yang seperti remuk rasanya.

   "Tidak salah lagi,"

   Katanya heran.

   "Itulah ilmu memindahkan tenaga dan di antara kami hanya Ngo-suheng Kwi-bun Lo-mo saja yang dapat melakukannya!"

   Bun Beng menjadi girang sekali karena ilmunya itu berhasil. Dia tidak menjawab, hanya berdiri tegak, dan tidak peduli akan pandang mata pembantu Ketua Thian-liong-pang yang terheran-heran karena mereka itu pun tak pernah mendengar bahwa Ketua mereka telah berhasil memiliki sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Neraka!

   "Aku masih penasaran, Thian-liong-pangcu!"

   Tiba-tiba Chi Song berkata lagi dan dia sudah melompat ke atas, hendak menggunakan ilmu yang diandalkannya, yaitu tendangan terbang! Melihat ini, Bun Beng juga meloncat dan sengaja membuang diri ke belakang ketika tendangan kedua kaki tiba, kemudian dari samping dengan cara memindahkan tenaga lawan, dia menendang betis kanan Chi Song.

   "Plakk! Aduhhhh....!"

   Tubuh Chi Song terbanting ke atas tanah, lalu terpincang-pincang dia menghampiri kursinya, menjauhkan diri duduk di atas kursi, menyeringai kesakitan, dan mengangkat kaki kanannya, dipijit-pijitnya, karena selain tulang betisnya patah, juga urat-uratnya rusak sehingga terasa nyeri bukan main, menusuk-nusuk sampai ke jantung! Kong To Tek meloncat turun dari kursinya, menghampiri Bun Beng dan menjura,

   "Pangcu benar-benar hebat sekali, telah mengalahkan Sute dengan menggunakan ilmu memindahkan tenaga yang merupakan ilmu simpanan dan hanya diketahui oleh To-cu kami dan Ngo-suheng saja. Patut mendapat penghormatan kami!"

   Bun Beng kaget ketika tiba-tiba dari kedua kepalan tangan yang dirangkap dan diangkat ke depan dada itu menyambar hawa pukulan yang panas sekali! Akan tetapi, teringat bahwa dia adalah seorang "ketua"

   Di saat itu, amatlah tidak baik kalau dia memperlihatkan kegugupan, maka dengan nekat ia lalu mengerahkan sin-kang yang dilatihnya selama enam bulan di dalam tempat rahasia Ketua Thian-liong-pang, menyalurkannya ke dada dan menerima hantaman tenaga sin-kang dari kedua tangan lawan itu. Kong To Tek terkejut bukan main. Pukulan jarak jauhnya sama sekali tidak terasa oleh lawan, bahkan hawa pukulannya membalik dengan cepatnya, membuat dia agak terengah dan dadanya sesak!

   Bun Beng tak berani membuka mulut, maka dia hanya mengibaskan lengan bajunya disertai tenaga sin-kang dan.... Si Gundul dari Pulau Neraka itu terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Diam-diam Bun Beng merasa kaget dan heran sendiri, hampir dia tidak percaya bahwa sin-kangnya telah meningkat sedemikian hebatnya! Dengan mukanya yang merah muda itu menjadi pucat, hampir putih, Kong To Tek mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang Ketua Thian-liong-pang dengan mata terbelalak. Adu tenaga sin-kang ini tentu saja dapat dilihat para tokoh Thian-liong-pang dan para anggauta Pulau Neraka. Melihat betapa serangan Kong To Tek membalik, dan dengan kibasan lengan baju saja membuat Si Gundul itu terhuyung, Tang Wi Siang yang marah menyaksikan Si Gundul itu bertindak curang, cepat melangkah maju dan berkata,

   "Pangcu, serahkan setan gundul ini kepada saya. Kalau saya tidak dapat mengalahkan dia, barulah Pangcu maju. Untuk memukul seekor anjing kecil, perlukah menggunakan pentungan besar?"

   Ucapan terakhir ini bermaksud bahwa untuk menghajar seorang lawan tingkat rendah, tidak perlu kalau pangcunya yang bertingkat jauh lebih tinggi itu turun tangan sendiri,

   Bun Beng mengangguk dan kini dia yang sudah yakin akan kemajuannya, sengaja mendemonstrasikan sin-kangnya. Tidak tampak kakinya bergerak, hanya lengan bajunya dikebutkan dan.... tubuhnya melayang seperti terbang cepatnya, tahu-tahu telah duduk kembali ke atas kursi Ketua! Melihat ini, para anggauta Pulau Neraka menjadi giris hatinya, bahkan Tang Wi Siang dan yang lain-lain melongo karena mereka mendapat kenyataan betapa gerakan Ketua mereka menjadi lebih lihai daripada biasanya! Mereka girang dan mengira bahwa Ketua mereka tentu mendapatkan ilmu di tempat rahasia, melalui lorong yang pintu masuknya adalah kuburan tua itu. Tang Wi Siang kini menghadapi Si Gundul dari Pulau Neraka, menudingkan telunjuknya dan memaki.

   "Setan gundul! Kau datang dengan omongan manis, akan tetapi kenyataannya engkau curang, berani engkau lancang menyerang Pangcu kami dengan serangan gelap! Pangcu kami tadi sudah mengampuni nyawa tak berharga sutemu itu!"

   Dia menuding ke arah Chi Song yang duduk di kursi dengan muka cemberut dan kaki kanan diangkat-angkat karena masih nyeri.

   "Akan tetapi agaknya aku tidak akan dapat mengampunimu!"

   Si Gundul itu tersenyum lebar dan menjura.

   "Aih, maaf, karena kami memang sengaja hendak mohon petunjuk Pangcu kalian, maka tadi aku sengaja menyerangnya. Pangcumu hebat bukan main, namun sayang, dia menghadapi seranganku dengan ilmu lain, bukan ilmu dari kami seperti ketika dia mengalahkan Sute. Kalau engkau hendak mewakili Pangcumu, silakan. Akan tetapi jangan marah kalau aku sampai kesalahan tangan!"

   "Chih, sombongnya! Kau kira akan mampu mengalahkan Tang Wi Siang, kepala pelayan Pangcu Thian-liong-pang? Majulah dan terima kematianmu!"

   Si Gendut Gundul cemberut dan tampaknya tidak puas.

   "Aih, celaka sekali! Hari ini aku benar-benar menerima penghinaan besar sekali. Jauh-jauh datang hanya dihadapkan seorang pelayan. Kalau tidak bisa menang, memang aku tidak layak hidup lagi! Kouwnio, terimalah seranganku!"

   Tiba-tiba Si Gundul ini menerjang dengan gerakan yang cepat sekali. Sungguh tak disangka-sangka bahwa orang yang gendut pendek sehingga kelihatan seperti seekor katak itu, memiliki gerakan kaki tangan amat cepat sehingga dilihat begitu saja,

   Kedua pasang tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi masing-masing tiga pasang! Namun, kalau hanya menghadapi kecepatan gerak, wanita setengah tua yang masih cantik dan bertubuh ramping itu sama sekali tidak gentar dan dalam hal gin-kang, kiranya Si Gundul itu kini bertemu gurunya! Justru dalam hal gin-kang inilah Wi Siang menerima gemblengan Nirahai karena memang dia mempunyai bakat. Oleh Ketua Thian-liong-pang yang sakti itu, Wi Siang diberi ilmu Yan-cu Sin-kun, ilmu silat yang mengandalkan gin-kang sehingga tubuhnya dapat berkelebatan seperti seekor burung terbang, sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Yan-cu Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung Walet). Maka keceliklah Kong To Tek ketika tiba-tiba bayangan lawannya berkelebat dan lenyap!

   Hanya ada angin bertiup melalui atas kepalanya ke belakang, maka cepat ia memutar tubuh dan benar saja, lawannya telah berada di belakangnya. Ia terkejut dan tidak mau lagi mengandalkan kecepatannya karena maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli gin-kang yang jauh lihai daripadanya. Kini dia melakukan serangan dengan kaki tangannya, tidak mengandalkan kecepatan lagi, melainkan mengandalkan tenaga sin-kangnya. Baik hantaman tangan maupun tendangan kakinya didahului angin yang mengeluarkan bunyi mencicit seperti sebatang golok atau pedang yang memecah angin! Hebat bukan main tenaga Si Gundul ini, Wi Siang juga maklum bahwa mungkin dia lebih cepat, juga ilmu silatnya lebih tinggi, namun belum tentu dia dapat menandingi kekuatan sin-kang Si Gundul yang benar-benar kuat itu.

   "Hehhh!"

   Kong To Tek mengirim pukulan dengan tangan terbuka miring ke arah lambung kiri Wi Siang. Wanita ini cepat mengelak dengan menggeser kaki ke belakang, akan tetapi tangan kiri orang gundul itu sudah menonjok atau mendorong dengan telapak kanannya ke arah dada! Wi Siang kembali mengandalkan kecepatan mengelak dengan miringkan tubuh, akan tetapi angin pukulan yang menyerempet pundaknya masih saja membuat dia terhuyung ke samping. Marahlah wanita ini.

   "Haiiikkk!"

   Ia mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke atas, melampaui kepala Si Gundul itu. Ketika Kong To Tek memutar tubuh, Wi Siang sudah membalas serangannya dengan pukulan Touw-sim-ciang (Pukulan Menembus Jantung) yang bukan main ampuhnya.

   "Hehhh!"

   Kembali Si Gundul membentak dan menangkis dengan lengannya.

   "Dukk!"

   Tubuh Tang Wi Siang terhuyung, juga Si Gundul menjadi miring kuda-kudanya.

   "Keparat!"

   Wi Siang membentak marah sekali dan kini di mainkan ilmu silatnya dengan gerak cepat Yang-cu Sin-kun, dan mengirim pukulan Touw-sim-ciang yang kalau mengenai tubuh lawan dengan tepat, tentu akan merenggut nyawanya. Menghadapi kecepatan yang luar biasa dari Wi Siang, Si Gundul kewalahan, apalagi karena dia pun maklum kalau dadanya sampai terkena pukulan itu, kekebalannya takkan dapat melindunginya. Maka dia mulai terdesak hebat dan Bun Beng dapat melihat bahwa tak lama lagi Si Gundul itu akan roboh oleh "pelayannya"

   Yang benar-benar amat tangkas dan lihai itu.

   Ketika Wi Siang yang sudah mendesak itu melancarkan pukulan-pukulan bertubi-tubi, tiba-tiba tubuh Si Gundul yang pendek itu merendah, seperti merangkak sehingga kedudukannya seperti seekor katak berkaki empat karena kedua tangannya menapak tanah, dan dari perutnya keluar suara melalui kerongkongan.

   "Kok-kok-kok!"

   Tiba-tiba dari mulut Si Gundul yang terbuka itu keluar uap tebal berwarna putih kehitaman, lingkaran-lingkaran uap yang menyerang ke atas ke arah tubuh Wi Siang! Wanita ini kaget sekali. Dia mengelak, akan tetapi celana pada betis kanannya terkena uap dan terasa olehnya betapa kulit betisnya panas, perih dan gatal-gatal yang luar biasa, membuat dia ingin sekali menggaruk dan pada saat itu, kedua tangan Si Gundul yang menapak tanah itu tiba-tiba diangkat ke atas dan dua kali tangan itu digerakkan mendorong ke tubuh lawan dengan bunyi

   "kok-kok!"

   Maka menyambarlah angin pukulan yang dahsyat bukan main ke arah Wi Siang! Wanita ini kembali menjadi kaget, mengelak dengan cara melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik beberapa kali. Dia dapat menghindarkan pukulan maut itu, akan tetapi kembali Si Gundul telah menyerangnya dengan tubuh merangkak seperti katak, mulutnya terus-menerus menyemburkan uap kehitaman dan kerongkongannya mengeluarkan bunyi seperti katak besar. Diserang seperti ini, Wi Siang menjadi repot. Dia mengandalkan gin-kangnya untuk melesat ke sana-sini, namun karena dia maklum akan bahayanya uap itu, dia tidak berani mendekat dan terpaksa harus mengelak terus tanpa dapat balas menyerang, sedangkan lawannya itu menyelingi semburan uapnya dengan pukulan-pukulan dari bawah yang mengandung tenaga mujijat!

   Bun Beng sendiri menjadi terkejut menyaksikan perubahan ini. Si Gundul itu benar-benar amat berbahaya, pikirnya dan dia tidak tega menyaksikan Wi Siang dengan muka gelisah harus meloncat ke sana ke mari menghindarkan diri dari uap-uap itu dan pukulan-pukulan maut yang dilancarkan oleh manusia seperti katak itu. Maka sekali lagi dia mencelat dari atas kursinya dan pada saat itu Wi Siang sedang meloncat pula ke atas menghindarkan sebuah pukulan. Betapapun cepat gerakan Wi Siang namun bagi Bun Beng kelihatannya biasa saja. Ketika tubuhnya dekat dengan tubuh Wi Siang di udara, ia cepat menyambar dengan "pembantunya"

   Itu dan sekali sentak tubuh Wi Siang terlempar melayang ke tempatnya tadi di mana Wi Siang turun dan cepat-cepat merobek celana bagian betisnya.

   Ternyata kulit betisnya telah "termakan"

   Racun dalam uap tadi, kelihatan merah totol-totol. Cepat ia mengambil obat anti racun dan menggosok betisnya dengan obat itu. Namun rasa gatal, panas dan perih masih belum lenyap. Ketika Kong To Tek melihat Si Ketua turun tangan sendiri, dia tidak mau membuang waktu. Ketika Bun Beng meloncat turun, ia sudah menyambut dengan serangan uap dari mulutnya, tubuhnya merangkak maju dengan "empat kaki", dari kerongkongannya keluar suara berkokok seperti katak buduk, dan uap kehitaman menyerang Bun Beng. Namun pemuda ini, mengingat akan niat orang-orang Pulau Neraka agar dikalahkan dengan ilmunya sendiri, cepat merendahkan diri seperti merangkak pula, mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan dia meniup ke arah uap yang melingkar-lingkar itu.

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kok-kok-kok....!"

   Si Gendut berkokok.

   "Wush-wushhh-wushhh!"

   Bun Beng meniup dan uap kehitaman itu segera terdorong, kembali ke arah penyerangnya! Tentu saja Kong To Tek sudah memakai obat penolak racunnya sendiri maka uap itu tidak mempengaruhi kulit tubuhnya, namun dia menjadi gelagapan ketika uap-uap itu membuyar dan menghantam mukanya sendiri.

   Cepat ia mengangkat kedua tangannya, melakukan pukulan ke depan mendorong dengan tenaga mujijat. Bun Beng juga mendorongkan kedua tangannya, akan tetapi terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa tenaga dorongan kakek gundul itu bukan mengandung sin-kang sewajarnya dan selain amat kuat juga mengandung hawa beracun yang mujijat pula. Tentu merupakan latihan sin-kang yang disertai penggunaan racun yang banyak terdapat di Pulau Neraka, pikirnya, maka ketika Bun Beng merasa betapa dorongan kakek itu dapat membahayakan, cepat ia membuang diri ke samping, menggunakan ilmu memindahkan tenaga, ketika hawa dorongan lewat ia cepat membarengi dengan kibasan lengannya yang sudah menjadi berganda tenaganya itu ke arah muka Si Gendut Gundul.

   "Kok-kok!"

   Si Kakek Gundul mengangkat mukanya sehingga pundaknya yang terkena hantaman ujung lengan baju Bun Beng.

   "Plakkk!"

   Kembali Bun Beng terkejut. Hantaman lengan bajunya yang disertai tenaga sin-kang berganda itu ketika mengenai pundak lawan yang mengeluarkan bunyi seperti katak, terasa seperti membentur benteng baja dan membalik! Sementara itu, Si Kakek Gundul yang merasa terlindung oleh ilmu kataknya yang mujijat, mempercepat bunyi berkokok di tenggorokannya dan siap menyerang lagi. Akan tetapi tiba-tiba Bun Beng berkelebat dan lenyap, tahu-tahu tubuh "ketua"

   Ini sudah melayang turun ke atas punggung lawan yang sedang merangkak sambil berkokok itu.

   "Kok-kok-kok.... ngekkkk! Brooottt!"

   Kakek gundul itu yang tadinya mengeluarkan bunyi seperti katak, ketika kedua kaki Bun Beng menginjak punggung disertai tenaga sin-kang yang membuat tubuhnya seperti menjadi laksaan kati beratnya, tak dapat menahan sehingga terdengar suara "ngek!"

   Dan tiba-tiba disambung suara memberobot keras sekali dari tubuh belakangnya! Kiranya Bun Beng dapat menaksir di mana letak kelemahan manusia yang berlagak katak ini, maka begitu punggung terinjak kuat, hawa sakti yang membuat kakek itu berkokok dan menghembuskan uap, terpencet keluar tanpa dapat ditahannya lagi dan hawa itu menerobos melalui mulut belakang. Terdengar suara di sana-sini dan semua orang menutupi hidungnya, kecuali orang-orang Pulau Neraka, karena hawa yang keluar dari "mulut belakang"

   Kakek itu benar-benar amat hebat.... baunya!

   Akibat racun yang terkandung di dalamnya sehingga bau itu memenuhi ruangan tamu. Kakek gundul itu sudah roboh menelungkup dalam keadaan pingsan, kini digotong oleh teman-temannya ke pinggir, sedangkan Bun Beng sudah meloncat kembali ke kursinya dan duduk dengan tenang. Diam-diam ia merasa girang sekali dan kini yakinlah dia bahwa penderitaannya selama setengah tahun di dalam tempat rahasia itu telah menyembuhkan luka-lukanya sama sekali, juga telah membuat dia memperoleh kemajuan yang amat hebat, baik dalam gin-kang, sin-kang, dan ilmu silat! Maka tenanglah hatinya karena kini dia merasa dapat menjaga diri terhadap siapapun juga. Chi Song terpincang-pincang menghampiri "ketua"

   Dan dengan kaki kanan berjinjit ia menjura.

   "Banyak terima kasih atas petunjuk yang diberikan oleh Thian-liong-pangcu. Biarlah kami kembali melaporkan semua peristiwa ini kepada To-cu kami."

   Setelah memberi hormat sekali lagi, terpincang-pincang Chi Song memimpin tiga orang temannya yang menggotong tubuh suhengnya yang masih pingsan. Akan tetapi baru saja mereka itu tiba di pintu ruangan, tampak berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan halus nyaring.

   "Setan-setan Pulau Neraka berani mengacau di sini?"

   Terdengar suara hiruk pikuk dan tiga orang yang menggotong tubuh Kong To Tek tadi terpelanting ke kanan-kiri sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar pula, akan tetapi malah membuatnya siuman dan ia mengeluh panjang. Chi Song yang melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita dan yang datang-datang menerjang dan merobohkan orang-orangnya, menjadi kaget, apalagi ketika dara itu telah menerjang maju dan menonjok ke arah dadanya dengan pukulan yang cepatnya sukar diikuti pandang mata. Dia mengelak, namun karena kakinya pincang dan gerakan dara itu cepat sekali, bahunya terkena pukulan dan ia terpelanting. Melihat betapa orang-orang Pulau Neraka itu telah bangkit kembali dan tidak tewas oleh pukulan-pukulannya dara itu menjadi marah.

   "Srattt!"

   Dara itu sudah mencabut pedangnya akan tetapi tiba-tiba lengannya diraba orang dan tahu-tahu Bun Beng sudah berada di situ, menyentuh lengannya untuk mencegahnya turun tangan membunuh orang-orang Pulau Neraka. Bun Beng terpaksa turun tangan mencegah ketika melihat betapa Milana, dara jelita itu, hendak melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para tamu yang tentu dianggap oleh dara itu mengacau di Thian-liong-pang, apalagi karena dara itu pernah bertanding dengan orang-orang Pulau Neraka ketika menggendongnya dahulu. Melihat sentuhan pada lengannya, Milana menoleh.

   "Ibu....!"

   Ia berkata dan menyarungkan pedangnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh lima orang Pulau Neraka untuk melarikan diri, pergi dari situ secepatnya. Bun Beng cepat kembali ke kursinya dengan jantung berdebar. Milana telah muncul! Dia harus cepat-cepat pergi dari situ tanpa menimbulkan keributan. Akan tetapi terlambat. Milana yang terheran-heran menyaksikan sikap ibunya, cepat menghampiri, memandang ke arah sepasang mata di balik lubang kerudung kepala itu dan tiba-tiba ia berseru hampir menjerit.

   "Engkau.... engkau bukan Ibuku!"

   Dara ini menjadi pucat mukanya, dan semua tokoh Thian-liong-pang mencelat bangun dari tempat duduknya masing-masing.

   "Jubah itu jubah Ibuku, dan kerudung itu pun sebuah di antara kerudung Ibuku. Akan tetapi engkau bukan Ibuku! Siapa engkau? Dan.... ohhh.... di mana Ibu? Kau apakan dia....?"

   Milana mencabut pedangnya dan terdengarlah suara berdesing ketika para tokoh Thian-liong-pang mencabut senjata masing-masing. Bahkan Tang Wi Siang lalu mengeluarkan suara bersuit keras sebagai tanda bahaya dan segera tempat itu dikurung oleh puluhan orang anggauta Thian-liong-pang yang masih bingung dan tidak mengerti mengapa Tang-kouwnio memberi tanda bahaya sedangkan tamu-tamu dari Pulau Neraka telah dikalahkan dan telah melarikan diri keluar dari Thian-liong-pang. Lebih-lebih lagi kaget dan heran hati mereka ketika melihat Milana dan para tokoh itu dengan senjata di tangan mengurung Sang Ketua sendiri!

   "Buka kerudungmu!"

   Milana membentak lagi.

   "Hayo perlihatkan mukamu, manusia bosan hidup yang berani memalsukan Pangcu kami!"

   Tang Wi Siang membentak dan barulah para anak buah Thian-liong-pang dapat mengerti dengan hati penuh kaget dan heran bahwa orang yang berkerudung seperti Ketua mereka itu kiranya adalah orang palsu!

   "Nona, maafkan aku....!"

   Bun Beng berkata sambil melepaskan kerudung yang menutupi kepalanya.

   "Kau....?"

   Milana berseru kaget sekali. Dia girang melihat Bun Beng yang disangkanya tentu telah mati oleh luka-lukanya biarpun ketika terjatuh dari menara ditolong oleh Pendekar Super Sakti, kini masih hidup! Dahulu ibunya cepat-cepat menyambarnya dan membawanya pergi ketika melihat betapa Bun Beng yang terjatuh itu disambar oleh Pendekar Super Sakti.

   "Aku tdak mau bertemu dengannya di sini. Tidak mau!"

   Ibunya berbisik penuh duka dan marah ketika Milana berusaha menahan ibunya agar suka bertemu dengan ayah kandungnya itu, dan ibunya terus membawanya lari secepat kilat tanpa diketahui oleh Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es itu. Dan kini, Bun Beng berada di situ bahkan menyamar sebagai ibunya! Di samping rasa girang yang amat besar ini, timbul kekhawatirannya dan ia bertanya,

   "Engkau....? Bagaimana ini....? Di mana Ibu?"

   "Maaf, Nona. Ibumu pingsan ketika berlatih silat di tempat rahasia di bawah sana, karena ingin membebaskan diri, terpaksa aku memakai kerudung dan jubah ini...., maafkan aku...."

   Akan tetapi Milana sudah tidak menjawab lagi dan dia meloncat hendak mencari ibunya yang pingsan di tempat rahasia.

   Dia sudah tahu akan tempat rahasia itu dan sudah tahu jalannya sungguhpun dia dan siapapun juga dilarang dan tidak pernah pergi ke sana. Sementara itu, para tokoh Thian-liong-pang yang kini mengenal Bun Beng menjadi marah dan segera menyerangnya, karena dia dianggap sebagai musuh Thian-liong-pang, seorang pengacau dan bekas tahanan yang dapat lolos. Tentu saja hanya Sai-cu Lo-mo yang tidak bergerak dan memandang bengong kepada cucu keponakannva itu. Selain dia tidak mau membunuh cucu keponakan, satu-satunya keturunannya biarpun hanya cucu luar, juga dia kagum bukan main, teringat betapa tadi Bun Beng dapat mengalahkan tokoh-tokoh lihai dari Pulau Neraka secara demikian mudahnya! Padahal, hanya kurang lebih setahun yang lalu, pemuda itu masih belum sedemikian hebat ilmu kepandaiannya!

   Tang Wi Siang yang bersenjata pedang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang yang menggunakan pukulan badainya, dan dua orang tokoh lain yang bersenjata golok sudah menerjang Bun Beng dengan serangan-serangan maut yang amat dahsyat. Bun Beng yang menghadapi pengeroyokan ini cepat menggerakkan kaki tangannya, berkelebat ke sana-sini dan tangannya bergerak menangkis atau mendorong dan.... empat orang pengeroyok itu terjengkang dan ada yang terguling, ada pula yang terhuyung seperti pohon-pohon disapu angin ribut! Melihat akibat tangkisan dan dorongannya, Bun Beng terkejut sendiri dan dia menggunakan kesempatan ini untuk meloncat ke atas, melalui kepala orang-orang yang mengepungnya, menendangi senjata-senjata yang ditujukan ke arahnya dan terus melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela.

   "Kejar!"

   Tang Wi Siang berseru dan mereka bergerak mengejar keluar.

   "Berhenti! Tahan senjata!"

   Terdengar seruan melengking disusul masuknya seorang wanita berkerudung yang bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang sendiri, bersama Milana yang menggandeng tangan ibunya.

   "Jangan kejar dia, biarkan dia pergi.... ahhh....!"

   Nirahai terhuyung dan cepat dibimbing oleh puterinya menuju ke kursinya. Semua tokoh menghentikan gerakan mereka, menghadap Ketua mereka dan memandang penuh kekhawatiran karena melihat tanda-tanda bahwa Ketua mereka mengalami luka dan kelihatan lemah.

   "Jangan memusuhinya! Betapa pun dia telah menimbulkan kekacauan, harus kalian akui bahwa di telah menyelamatkan nama baik Thian-liong-pang sehingga kita tidak sampai mengalami penghinaan dari Pulau Neraka!"

   Bun Beng yang sudah berada di luar, ketika mendengar ucapan Ketua Thian-liong-pang itu, merasa malu sendiri. Dia lalu meloncat kembali memasuki ruangan itu, menjura di depan Nirahai sambil berkata,

   "Teecu mohon maaf sebesarnya telah berlaku lancang, berani memalsukan Locianpwe karena keadaan terpaksa. Teecu tidak mempunyai niat buruk kecuali ingin bebas dari dalam.... neraka di bawah sana."

   Nirahai tersenyum di batik kerudungnya.

   "Tidak apa, Bun Beng. Semua kesalahanmu kulupakan, mengingat engkau telah membela nama baikku dan nama baik Thian-liong-pang. Bahkan untuk jasamu itu, aku akan menghadiahkan apa yang kau minta. Ajukanlah permintaanmu, kalau engkau suka, dan aku akan berusaha memenuhinya."

   Berdebar jantung Bun Beng mendengar ini. Dia telah dapat melenyapkan rasa permusuhan dari hati wanita aneh ini, Ibu Milana. Hal itu saja sudah merupakan suatu hadiah yang amat besar artinya baginya. Akan tetapi ia teringat akan keadaan para tokoh kang-ouw yang terculik, terutama sekali teringat akan Ang-lojin atau Ang Thian Pa, Ketua Bu-tong-pai, ayah dari Ang Siok Bi. Maka segera ia berkata,

   "Terima kasih atas kepercayaan dan kebaikan hati Locianpwe. Teecu tidak menginginkan sesuatu untuk teecu sendiri, melainkan.... kalau Locianpwe tidak keberatan, teecu mohon sudilah Locianpwe membebaskan para tokoh kang-ouw yang menjadi tamu di sini."

   Kembali Nirahai tersenyum di balik kerudungnya.

   "Permintaanmu cukup pantas, bahkan cocok dengan keinginan hatiku sediri. Aku sudah bosan mempelajari ilmu lain yang pada hakekatnya sama dasarnya, dan sekarang tinggal beberapa saja yang masih menjadi tamu kami. Wi Siang, bebaskan mereka dan biarkan mereka pulang sekarang juga, masing-masing beri kuda dan perbekalan secukupnya. Bun Beng, bangkitlah dan saksikanlah sendiri terpenuhinya permintaanmu."

   Dengan hati girang bukan main Bun Beng bangkit dan berdiri, tak lama kemudian dia sudah keluar lagi mengiringkan lima orang "tamu", di antaranya Ang Thian Pa. Mereka ini adalah orang-orang yang selalu memperlihatkan sifat menentang sehingga masih belum dibebaskan oleh Thian-liong-pang. Akan tetapi setelah kini mereka dibebaskan, bahkan disertai perlengkapan dan kuda, mereka merasa lega dan berterima kasih kepada Ketua Thian-liong-pang yang selama ini memperlakukan mereka dengan baik sungguhpun mereka itu merupakan tamu yang terpaksa! Seorang demi seorang menjura dengan hormat kepada Nirahai sambil berpamit dan mengucapkan terima kasih. Ketika tiba giliran Ang Thian Pa sebagai orang terakhir, kakek ini menjura dan berkata,

   "Selama berbuan-bulan saya menerima kebaikan Thian-liong-pangcu, mudah-mudahan di lain kesempatan Bu-tong-pai dapat membalas kebaikan-kebaikan itu."

   "Kami yang minta maaf kepadamu, Ang-lojin,"

   Kata Nirahai. Tiba-tiba Ang Thian Pa melihat Bun Beng dan mukanya berubah merah, alisnya berkerut dan dia berkata kepada pemuda itu,

   "Dahulu kusangka seorang Taihiap yang budiman, berani menentang kejahatan dan membela yang tertindas. Kiranya engkau adalah seorang di antara tokoh Thian-liong-pang agaknya. Hemm, benar-benar aku telah salah lihat....!"

   Ia menghela napas panjang penuh kekecewaan dan penasaran. Wajah Bun Beng menjadi merah sekali, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa.

   "Ang-lojin, memang engkau telah salah lihat dan salah menduga. Gak Bun Beng bukanlah orang Thian-liong-pang dan ketahuilah bahwa atas permintaannyalah maka saat ini engkau kami bebaskan."

   Kakek itu terkejut, lalu menghampiri Bun Beng dan menjura penuh hormat.

   "Ahhh, maafkanlah mataku yang benar-benar telah lamur, Taihiap. Dan untuk menebus kebodohanku yang tak dapat menghargai kebaikan orang, biarlah kusampaikan apa-apa yang menjadi idaman hatiku semenjak aku berada di sini. Yaitu.... jika kiranya Taihiap belum berkeluarga dan sudi menerima, aku.... ingin menyerahkan puteri tunggalku sebagai jodoh Taihiap!"

   Hampir saja Bun Beng mencelat dari tempat ia berdiri saking kagetnya mendengar ini. Mukanya menjadi makin merah dan terbayanglah wajah Siok Bi yang cantik manis. Dia dijodohkan dengan dara yang manis itu! Begitu saja! Akan tetapi, sambil menahan debaran jantungnya dia balas menjura dan berkata,

   "Ang-locianpwe.... banyak terima kasih atas kebaikan Locianpwe.... akan tetapi soal itu.... hemm.... soal jodoh.... eh, belum terpikir olehku, karenanya, bukan aku menolak, hanya.... tak mungkin aku dapat menerima hal yang amat penting bagi hidupku itu. Aku akan menganggap saja bahwa tadi Locianpwe tidak pernah bicara apa-apa tentang perjodohan."

   Kakek itu menghela napas panjang.

   "Memang anakku tidak cukup berharga untuk seorang seperti engkau, Taihiap. Hanya aku masih menaruh harapan besar, kalau memang berjodoh kelak tentu akan terjadi. Aku dan anakku akan selalu menanti kunjunganmu, Taihiap."

   Setelah berkata demikian, sekali lagi kakek itu menjura kepada Nirahai lalu meninggalkan ruangan itu.

   "Aku pun mohon diri, Locianpwe. Nona Milana, selamat tinggal. Banyak terima kasih atas semua kebaikan Locianpwe dan nona yang telah dilimpahkan kepada diriku, semoga kelak aku dapat membalas itu semua."

   Tergesa-gesa Bun Beng meloncat keluar dari tempat itu karena dia merasa tidak enak sekali akan "pinangan"

   Ketua Bu-tong-pai tadi yang disampaikan di depan banyak orang, terutama di depan Milana! Nirahai yang masih belum sembuh benar akibat salah latihan segera membubarkan anak buahnya dan masuk ke dalam ruangan dalam digandeng oleh Milana yang merasa khawatir akan keadaan ibunya.

   Bubarlah para anggauta Thian-liong-pang dan mereka membicarakan Bun Beng dengan penuh kagum dan keheranan. Terutama sekali Sai-cu Lo-mo, termenung dengan hati tegang dan penuh kegembiraan ketika mendapat kenyataan betapa cucu keponakannya telah menjadi seorang yang amat lihai, dan betapa Ketuanya suka mengampunkan pemuda itu. Timbul pula pikirannya bahwa mengingat akan perlindungan dan pembelaan Milana terhadap cucu keponakannya itu seperti yang ia dengar dari para anak buah Thian-liong-pang yang melakukan pengejaran terhadap Bun Beng yang dipimpin oleh kedua orang saudara kembar Su Kak Liong dan Su Kak Houw, alangkah baiknya kalau cucu luarnya itu dijodohkan dengan puteri Pangcu!

   Biarpun dengan hati takut-takut dan berdebar tegang, beberapa hari kemudian dia memberanikan hatinya menghadap Nirahai dan menyampaikan niatnya itu, yaitu meminang Milana untuk cucu keponakannya Gak Bun Beng! Sampai lama Ketua Thian-liong-pang itu tidak bergerak dari kursinya, sedangkan Sai-cu Lo-mo yang menanti jawaban duduk menundukkan muka dengan hati berdebar. Dia tidak dapat menduga apa yang akan menjadi jawaban Sang Ketua yang wataknya aneh sekali itu, bahkan dia tidak akan merasa heran kalau sebagai jawaban, wanita berkerudung itu melancarkan serangan dan membunuhnya! Akhirnya terdengar wanita itu menjawab, suaranya halus akan tetapi dingin, membuat Sai-cu Lo-mo yang mendengarnya terasa sakit seperti tertusuk dan menjadi beku.

   "Sai-cu Lo-mo, sudah kau pikir masak-masak pinanganmu ini? Kalau mengingat akan dirimu, dan akan keponakanmu, mendiang Bhok Kim, seorang di antara Kang-lam Sam-eng tokoh Siauw-lim-pai yang terkenal, memang tidak mengecewakan dan patut dipertimbangkan pinanganmu itu. Akan tetapi, apakah kau sengaja atau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Si Setan Botak, datuk kaum sesat Gak Liat yang merupakan manusia iblis? Yang lebih dari itu pula, apakah kau pura-pura lupa bahwa Gak Bun Beng terlahir sebagai anak yang tidak syah, terlahir dari perbuatan keji, yaitu pemerkosaan yang dilakukan Gak Liat terhadap Bhok Khim? Dan engkau masih berani mengajukan lamaran untuk pemuda itu, melamar anakku?"

   "Maafkan kelancangan saya, Pangcu...."

   Sai-cu Lo-mo berkata, suaranya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena kedukaan hatinya. Bukan saja lamarannya ditolak, bahkan ia diingatkan akan keadaan Bun Beng yang dianggap hina dan rendah. Di dalam hatinya ia memberontak. Apakah kesalahan cucu keponakannya itu dalam hal pemerkosaan dan kelahiran tidak syah? Apa hubungannya dengan seorang ayah seperti Gak Liat? Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah. Nirahai dapat mengerti kedukaan hati pembantunya ini, maka dia berkata lagi,

   "Lo-mo, engkau hanya mengenal aku sebagai Ketuamu, hanya mengenal aku sebagai puteri Kaisar. Kalau engkau tahu siapa Ayah puteriku, engkau akan berpikir seribu kali sebelum mengajukan lamaran itu. Nah, mundurlah!"

   Jantung Sai-cu Lo-mo berdebar. Sering kali dia menduga-duga siapa sebenarnya suami Ketuanya ini. Dia memberi hormat dan mengundurkan diri keluar dari ruangan itu, dan hatinya terasa berat sekali. Sepanjang pengetahuannya, Puteri Nirahai yang dahulu amat terkenal itu belum pernah menikah! Akan tetapi dikabarkan secara bisik-bisik bahwa puteri itu melarikan diri dari istana bersama Pendekar Super Sakti! Apakah Milana puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai?

   Ia bergidik, ngeri memikirkan bahwa dia telah berani meminang anak dari Panglima Puteri Nirahai, puteri Kaisar, dan anak dari Ketua Pulau Es, Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti! Tentu saja dia tidak akan berani melakukan pinangan itu sekiranya dia tahu bahwa Ketuanya masih merasa dirinya sebagai puteri Kaisar, dan sekiranya dia tahu bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti! Baik Nirahai sendiri maupun Sai-cu Lo-mo tidak tahu bahwa percakapan mereka tadi terdengar oleh Milana. Dara ini tadinya hendak mengunjungi ibunya, dan dia berhenti mendengarkan dari luar ketika melihat Sai-cu Lo-mo menghadap ibunya. Ketika ia mendengar jawaban ibunya, Milana merasa jantungnya seperti ditusuk. Cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu kembali ke kamarnya dan menghapus beberapa titik air mata yang membasahi pipinya.

   Dia menganggap ibunya terlalu menghina Bun Beng! Tidak ingatkah ibunya bahwa Gak Bun Beng tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai keturunan Gak Liat, sama seperti dia yang tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai puteri Pendekar Super Sakti dan cucu Kaisar? Mengapa ibunya masih memandang keturunan dan kedudukan, setelah kesengsaraannya yang dialami ibunya karena kedudukannya sebagai puteri Kaisar? Milana tidak kecewa karena penolakan ibunya. Dia tidak terlalu ingin, bahkan tidak ada keinginan sama sekali menjadi isteri siapapun juga, tidak ingin menjadi isteri Bun Beng. Juga, dia tidak tahu apakah dia cinta kepada pemuda itu atau tidak. Yang jelas, dia suka kepada Bun Beng dan merasa kasihan kepadanya.

   

Pendekar Super Sakti Eps 30 Pendekar Super Sakti Eps 21 Pendekar Super Sakti Eps 34

Cari Blog Ini