Pendekar Super Sakti 30
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 30
Han Han keluar dari gedung encinya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja, menuju ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah di kota raja demikian indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan musuh-musuhnya, juga tidak mendengar tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti yang diceritakan encinya. Ke manakah adiknya pergi? Kalau saja Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana, bersama Puteri Nirahai.
Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai sehingga Nyonya Giam Cu atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya. Setelah menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga. Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking lelah, sebentar saja Han Han tidur nyenyak. Menjelang pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.
"Kenapa berhenti di sini?"
"Aku lelah sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalam aku tidak dapat tidur dan kalau tidak mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan...."
"Ha-ha-ha, agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu."
"Tidak salah. Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia.... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk. Mana aku tega meninggalkannya?"
"Ha-ha-ha, engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita akan putus."
Agaknya mereka mengikat kendali kuda di depan dan tak lama kemudian Han Han, yang sudah meloncat ke atas dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya ruangan yang terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan tidur mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding. Kira-kira dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya.
"Loheng, bangunlah. Matahari telah naik tinggi. Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu lama, benar-benar kita akan dihukum berat."
Temannya bangun, menguap dan menggosok-gosok kedua matanya yang merah.
"Aaaaahhh.... sedang enak-enak mimpi dengan dia kau bangunkan."
"Wah, engkau benar tidak ada puas-puasnya. Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih dilanjutkan dengan mimpi lagi, Hayo."
Mereka berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal istana, diam-diam membayangi mereka. Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya. Akan tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan adiknya, maka ia membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu penting dan ke mana mereka hendak pergi.
Ternyata kemudian olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan kuda melalui sepanjang Terusan Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan. Di kota Thian-cin, dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan, terus membayangi mereka tanpa kesulitan. Biarpun kakinya buntung sebelah, namun kalau hanya membayangi larinya kuda, amatlah mudah bagi pemuda sakti ini. Hujan lebat membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu, kini mereka pakai untuk berlindung dari air hujan yang turun seperti dituangkan dari langit. Sambil berlindung mereka bercakap-cakap,
"Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir terusan?"
"Tidak salah lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya Su-ciangkun melakukan operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan pembersihan di sepanjang terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak."
"Heran benar itu pemberontak, mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan Se-cuan sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada di daerah ini? Sungguh memusingkan."
"Mereka itu tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di luar Se-cuan otomatis akan berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan, menaklukkan daerah pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw."
"Wah, kau terlalu, Loheng. Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh pandai sehingga beberapa kali pasukan-pasukan kita yang pilihan mengalami kegagalan dan jatuh banyak korban. Masa kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti makan bakpauw?"
"Sam-te, kau tidak tahu. Puteri Nirahai sangat sakti, selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga cerdik sekali. Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan sepucuk surat kepada Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau diperbolehkan membaca isi surat ini."
Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus dengan mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.
"Ihhh, hati-hati, Lohengm,"
Kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok.
"Siapa tahu di sini terdapat mata-mata pemberontak."
"Ah, andaikata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang penting, kedua kalinya, dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu makan sepuluh orang lagi."
"Betapapun juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan menyerahkan surat itu kepadanya."
Kata yang muda.
"Hujan sudah mereda, hayo kita berangkat lagi, Loheng."
Akan tetapi alangkah kaget hati kedua orang perajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena mereka memandang rendah ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han seorang pengemis.
"Heh, kau mau apa di sini?"
Bentak Si Tinggi Kurus.
"Bukankah kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena tempat beliau tidak boleh diketahui orang."
Dua orang itu terbelalak dan memandang tidak percaya.
"Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan Su-ciangkun?"
Han Han tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing.
"Bukankah Su-ciangkun itu orangnya kecil pendek?"
Dua orang itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak,
"Dia tinggi besar seperti raksasa. Engkau palsu."
Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan membacok. Akan tetapi, ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan golok diangkat ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku karena totokan ujung tongkat Han Han.
Pemuda itu memang sudah amat tertarik mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apalagi ketika mendengar disebutnya nama Su-ciangkun. Maka ia sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat kepastian ketika Si Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira yang membasmi keluarganya. Cepat ia merenggut ke dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot, mengeluarkan surat dari kota raja dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di depan sampul itu tercantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun Dengan sikap tenang namun hati gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca isinya.
Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai itu memerintahkan kepada Su-ciangkun untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauw-pangcu, ketua Pek-lian Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an. Demikian jelass surat perintah itu, bahkan diberi gembar pula yang menunjukkan di mana adanya sarang Lauw-pangcu. Diam-diam Han Han amar kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu. Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan bermain yang gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya.
Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik baginya, pertama untuk membalas dendam kepada Perwira Su Long Tek yang ia duga tentulah seorang di antara tujuh perwira pembasmi keluarganya, kedua ia akan dapat menyelamatkan Lauw-pangcu untuk membalas budinya, dan ketiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang dahulu, kesalahfahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri Nirahai yang amat cerdik. Han Han sudah mengangkat tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi ia menahan tangannya, tidak membunuh mereka melainkan membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya. Begitu terbebas dari totokan, dua orang pengawal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas, berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han. Pemuda ini menjadi girang.
Kalau sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi mereka tak mampu bergerak. Dia teringat akan sepak terjang para perajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan rakyat yang tidak berdosa, dan begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang tongkatnya bergerak menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya, kedua buah golok itu membalik dan membacok kepada pemiliknya sendiri. Terdengar jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan golok masing-masing menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka masih menggenggam gagang golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh diri. Sejenak Han Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia.
Andaikata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa surat perintah rahasia itu hilang, tentu mereka berdua akan dihukum mati juga. Han Han lalu berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang dikantonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han Han, jauh lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya daripada menunggang kuda. Dia mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho seperti tersebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han melanjutkan perjalanan menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah Huang-ho, di seberang kota Cin-an.
Ketika Han Han tiba di lembah Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil. Melihat cara mereka berjalan cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang menunggang kuda, dan sebagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang kang-ouw. Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum pelancong. Diam-diam ia membayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap.
Karena gerakan Han Han amat luar biasa, dia dapat membayangi mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika mendengar percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh. Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum menyaksikan penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu sehingga kedatangannya itu tidak dicurigai.
Memang, nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para tokoh kang-ouw yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhir-akhir ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan mengorbankan banyak sekali anggauta Pek-lian Kai-pang. Ketika mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari dua ratus orang. Dan ia terharu, ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di tempat terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja.
Keadaan kakek yang berpakaian butut itu amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil sederhana. Namun wajah kakek tua ini tampak berseri gembira menyambut para tannu yang terpaksa juga duduk di atas rumput, ada yang duduk di akar pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun, sungguh merupakan sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya. Amatlah mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu dengan membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan terima kasih dan minta maaf bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada.
Akan tetapi lebih mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja di atas rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang amat berharga dan mahal harganya. Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut menyambut dan memberi hormat kepada para tamu. Biarpun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan tetapi cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian gadis ini ringkas dan ketat, membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh kagum.
"Terima kasih.... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang tahun seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi daripada tumpukan barang sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke Se-cuan sebagai penambah biaya perlawanan menentang pemerintah penjajah. Saya sudah tua dan sejak dahulu, seorang pengemis seperti saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman penjajah."
"Hidup Lauw-pangcu yang gagah perkasa."
Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras isi saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawanan terhadap penjajah. Melihat ini, Lauw-pangcu memandang terharu sampai basah kedua matanya. Han Han juga terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng, penuh bekas cacar burik-burik. Janturgnya berdebar. Ia pernah melihat orang ini. Tak mudah melupakan muka bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana. Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang membawa pedang di punggungnya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauw-pangcu, mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.
"Saudara-saudara seperjuangan, kalian telah tersesat jauh."
Mendengar seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang. Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura kepada orang itu dan berkata.
"Mohon maaf jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka sicu sudi datang di tempat kami ini. Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?"
"Kita semua adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apa pun juga demi nusa bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur. Bagaimana mungkin kita harus bekerja sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?"
Ucapan itu hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara mati-matian dan gagah berani, menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pejuang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa tidak akan kaget?
"Aihhhhh, apa yang kau ucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya pemimpin kita menentang Mancu. Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan pejuang."
"Heh-heh-heh, sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu. Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali."
Suara ini amat nyaring dan berwibawa, dan tiba-tiba, setelah menyambar angin besar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya seperti muka kuda.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo. Lauw-pangcu pernah melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali mendengar nama besar datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hang-san dan kini dapat menduganya. Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang teringatlah ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu Ma-bin Lo-mo ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu. Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biarpun kakek ini termasuk tokoh kaum sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai teman seperjuangan.
"Kiranya Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang dapat bertemu dan berkumpul di sini."
Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan kepada kakek muka kuda, semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.
"Memang aku sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar merupakan penyelewengan besar, Lauw-pangcu. Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi"
Lauw-pangcu, apakah engkau pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara pemberontak-pemberontak dan pengkhianat besar yang menjadi sebab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apakah engkau lupa akan riwayat hitam yang menyelimuti diri Bu Sam Kwi?"
Wajah Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan kata-kata adalah seorang di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.
"Tentu saja saya tahu, locianpwe. Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya kekuasaan yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah dahulu adalah seorang panglima bala tentara Beng yang bertugas menjaga dan mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar, jauh lebih besar daripada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan kesenangan diri sendiri."
"Akan tetapi apa kau pura-pura menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah memberontak. Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara bersama dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sendiri menjadi raja di Shen-si, dan pemberontak Thio Han Tiong yang bersarang di barat. Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?"
"Maaf, locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa mereka itu memberontak, karena pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan lemah karena kaisar dan para menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan keadaan rakyat yang hidup sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan sebuah bangunan yang makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam. Sebagai orang-orang gagah yang mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan tetapi malah dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah yang bobrok."
"Huh! Omongan orang yang berjiwa pemberontak. Betapapun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang seorang pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam itu sekarang hendak kalian bantu? Penyelewengan besar. Tidak ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin barisan Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki kota raja yang telah dirampas pemberontak Lie Cu Seng."
"Maaf, locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk siasat perang...."
"Ha-ha-ha-ha. Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil. Setelah bersekutu, dia berani memasukkan srigala ke dalam kandang. Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar sampai lari terbirit-birit ke barat. Ha-ha-ha, dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?"
"Habis, kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?"
Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah karena terdesak, bertanya.
"Kita berjuang sendiri. Kita menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali Kerajaan Beng yang tercinta."
"Hemmm.... kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki istana."
"Masih banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini, Termasuk aku. Apa sukarnya kelak menentukan pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?"
Lauw-pangcu tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar dari mereka berjuang mati-matian hanya karena tidak suka melihat tanah air dijajah bangsa asing. Adapun mengenai urusan Kerajaan Beng yang sudah runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali tidak tahu dan tidak pula memperhatikan.
Mereka berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apalagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan seorang tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan terhadap penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi juga tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis. Melihat ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan suara tenang namun nyaring berwibawa kepada kakek itu.
"Siangkoan Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lo-mo. Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk diri pribadi, kami satu-satunya hanyalah untuk menentang kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah berhasil diusir dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli mengenai hal itu. Sudah jelas bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke sanalah kita menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka bekerja sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara sendiri untuk menghancurkan penjajah."
Semua tamu mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang tajam dan mengerutkan keningnya.
"Nona muda, engkau siapakah?"
"Dia adalah Lauw Sin Lian, puteriku,"
Kata Lauw-pangcu. Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis itu. Kemudian ia berkata,
"Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala pertentangan faham dan perbedaan pikiran hanya dapat diselesaikan melalui pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar."
Lauw-pangcu dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin Lian dan berkata.
"Ha-ha-ha, memang seharusnya begitu. Dan.... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini sudah bertunangan?"
Akan segala sopan santun kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar.
"Belum, Ouw-sicu."
"Bagus! Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum menikah, eh.... maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh...."
"Mulut busuk."
Sin Lian membentak marah sekali. Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang pula pengalamannya dan luas pandangannya, mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapapun juga adalah seorang kawakan. Akan tetapi, kini sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu.
"Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan daripada muka tikus selokan itu? Cih, tak bermalu. Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahankan pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk."
Sin Lian memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya, ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah sebentar pucat. Ia pun marah sekali, apalagi melihat betapa para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut di balik lengan baju.
"Bocah sombong! Kau mau mengenal kelihaian tuanmu?"
Ia membentak.
"Majulah dan cabut pedangmu."
Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si Muka Bopeng dan kalau dia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengannya beradu dengan lengan lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, Si Muka Bopeng ini tentulah lihai ilmu silatnya.
Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal oleh pedangnya itu, selama ia merantau sebagai perampok tunggal. sebelum ia ditundukkan Ma-bin Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda. Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk.
"Lihatlah kiam-sutku yang tiada tandingan."
Ouw Kian membentak lalu pedangnya berkelebatan menyilaukan mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu pedangnya gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya dan akan menyerah tanpa bertanding lagi.
"Hemmm....."
Sin Lian mendengus sebal dan membentak.
"Sambutlah."
Pedangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang). Kini, menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.
"Trang-trang-cringgg...., Ehhhhh....."
Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu.
Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan. Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat bukan main. Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun, tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit"
"Aahhh.... ayaaaaa.... trang-trang-trang....."
Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.
"Hemmm.... mundurlah."
Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sin-kang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.
"Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau mainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?"
"Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam."
Jawab Sin Lian tenang. Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.
"Pantas, kiam-hoatmu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah kalau mendengar engkau akan membantu pengkhianat Bu Sam Kwi."
"Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama menentang Mancu."
Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda marah,
"Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh. Sungguh memalukan, Sungguh tersesat dan menyeleweng jauh. Seorang pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?"
Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diajek.
"Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya tokoh yeng gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah benderanya, habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.
"Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?"
Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak.
"Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?"
Gadis muda yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum mengejek, lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cu-wi sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang tidak tahu bahwa dia melatih murid-muridnya di In-kok-san untuk membentuk barisan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri menjadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!"
Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot ia membentak,
"Memang benar, Dan mengapa tidak? Aku jauh lebih berharga daripada si pengkhianat Bu itu. Dan siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku lebih patut kalian jadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah daripada si pengkhianat bangsa Bu Sam Kwi."
Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat menghadapinya dan menjura penuh hormat.
"Harap Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja urusan ini. Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah menentang penjajah Mancu. Silakan."
"Tidak bisa."
Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya masih marah membayangkan ketidakpuasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba itu.
"Kalau kalian semua masih melanjutkan keinginan hendak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja. Dengan demikian kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa pula. Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?"
Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata.
"Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang. Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil, kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?"
Lauw-pangcu menghela napas panjang.
"Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir."
Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang.
"Tentu saja pendirian saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami."
Para tamu berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang mendukungnya.
"Lauw-pangcu! Kalau begitu engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat. Pantas....! pantas....! Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat. Sekarang, sudah menjadi pengemis gembel gelandangan pun masih menjadi pengkhianat. Sungguh tak tahu malu."
(Lanjut ke Jilid 29)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
"Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?"
Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki.
"Engkaulah yang tidak tahu malu. Sebagai tamu, seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah tamu yang diundang."
"Hi-yeh-heh-heh. Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin."
"Siangkoan Lee. Biarpun sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur....."
Lauw-pangcu menjadi marah.
"Tahan, Ayah. Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini."
Bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju dengan pedangnya. Karena ia maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari tubuh Ma-bin Lo-mo.
Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di atara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu datuk golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi daripada tingkat Sin Lian. Apalagi hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam sekalipun maju bersama, belum tentu akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam.
Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan kagum, memuji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat. Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, dia tidak mau sembrono menurunkan tangan keji, dan hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.
"Hi-yeh-heh.... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kaupergunakan untuk menyerangku, Nona Cilik."
Ia mengejek, kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapapun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya terseret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.
"Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah."
Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah gin-kang mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat.
Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka. Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan diri daripada sambaran dua pedang. Akan tetapi, kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat.
Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya membentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat terangnya menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang lihai itupun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang. Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu dengan "meminjam"
Tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget sekali karena tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan menjadi jerih. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara keras,
"Harap hentikan pertandingan. Saya datang membawa berita penting."
Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.
"Kau.... kau masih hidup....?"
Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu, dan dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar. Tentu saja ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ. Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han di balik dadanya.
"Siangkoan-locianpwe, apakah engkau baik-baik aja?"
Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk memberi hormat. Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat seperti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak muntah.
Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga dadanya sendiri. Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat, akan tetapi dia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat ia terluka dan jerih. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa pamit.
"Han Han....."
Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.
"Han-twako....."
Gadis yang datang bersama pemuda itupun berseru, wajahnya menjadi merah, akan tetapi, seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun memandang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran. Han Han tersenyum lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoinya, Lu Soan Li.
"Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja."
Tiga orang muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.
"Ah, engkau Sie Han....? Akan tetapi, kenapa kakimu....?"
Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan memegang pundak Han Han.
"Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa kakimu itu, Han Han?"
Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang,
"Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung, Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe diberkahi panjang usia dan kesehatan."
Lauw-pangcu tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah, juga matang bahkan ada sesuatu yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah memegang lengan tangan Han Han dan berkata.
"Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana.... di mana Nona Lulu?"
Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya.
"Entahlah, aku sedang mencari dia."
"Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi."
Kata Sin Lian dan Han Han menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab. Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata,
"Marilah kita bicara di dalam."
Ia memberi perintah kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya. Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.
"Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini."
"Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia...."
"Iiihhh, kenapa engkau sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala, apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?"
Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut. Hati Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini. Merah wajah Han Han ditegur gadis itu.
"Eh.... baiklah. Aku ulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li."
"Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap kurang hormat."
Akan tetapi Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu dengan alis berdiri. Betapapun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas luka akibat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata.
"Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali...."
Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya, watak Sin Lian adalah lincah dan peramah, kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.
"Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita sehingga peristiwa di piauw-kiok itu seolah-olah dapat kubayangkan dengan mata sendiri."
"Eh, Non eh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu.... bagaimana ini?"
Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang sudah banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti. Sungguhpun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.
"Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat."
Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas,
"Tadi telah disinggung oleh sumoi akan maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan persoalan salah paham akibat adu domba pihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw berada di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-san-pai."
Kisah Pendekar Bongkok Eps 8 Istana Pulau Es Eps 13 Kisah Pendekar Bongkok Eps 2