Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 25


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Haiiii....!"

   Tiba-tiba muncul dua orang anak buah Pulau Es dari tempat sembunyinya dan ketika mereka melihat bahwa orang yang mereka tegur itu adalah Kwee Sui, mereka terheran-heran.

   "Kwee-kongcu.... apa yang sedang kau lakukan itu?"

   Seorang di antara mereka menegur. Kwee Sui terkejut dan ketika ia menoleh ke sana-sini dan tidak melihat adanya orang lain, secepat kilat dia mencabut pedang Li-mo-kiam. Dua orang itu tak sempat berteriak karena sinar pedang itu saja sudah membuat mereka menggigil dan bergidik, tak dapat berkutik lagi. Di lain saat sinar kilat berkelebat dan kepala mereka menggelinding putus dari leher, terbabat Li-mo-kiam! Pedang yang sudah sekian lamanya tidak minum darah itu kini mulai melepaskan dahaganya dan ketika Kwee Sui memandang pedang itu dengan hati penuh kebanggaan, ia melihat pedang itu lebih bersinar-sinar lagi setelah mencium darah manusia. Hebatnya, pedang yang telah membabat putus dua leher manusia itu sedikit pun tidak ternoda merah, seolah-olah darah telah mencucinya lebih cemerlang dan bersih.

   "Li-mo-kiam.... hebat....!"

   Kwee Sui mencium pedang itu lalu menyarungkannya kembali, kemudian menyeret dua orang itu ke balik batu dan menguruk mayat mereka berikut dua buah kepala mereka dengan salju. Noda darah di atas tanah bersalju ia hapus dengan injakan kakinya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya. Baru saja ia selesai memberi tanda-tanda di semua jurusan, tiba-tiba terdengar sorak-sorai disambut teriakan-teriakan gegap gempita dan tahulah dia bahwa pasukan-pasukan pemerintah telah mulai menyerbu!

   Memang koksu telah mengabarkan kepada pimpinan kapal masing-masing bahwa di darat telah ada pembantu mereka yang memasang tanda kain-kain putih yang harus dijadikan petunjuk untuk menyerbu ke pulau itu. Terjadilah perang yang hebat dan di lima penjuru pulau itu! Para pasukan pemerintah dapat menyerbu pulau itu dengan mudah karena mereka terbebas dari tempat-tempat yang dipasangi jebakan dan alat rahasia berkat petunjuk robekan kain-kain putih yang dipasang oleh Kwee Sui. Melihat ini, para penghuni Pulau Es terpaksa menyambut mereka dengan senjata dan terjadi perang yang mati-matian. Biarpun jumlah penghuni pulau kalah banyak dan ilmu silat para pasukan pengawal itu lebih tinggi, namun para penghuni menang kuat dalam tenaga sin-kang.

   Selama tinggal di pulau, mereka terbiasa oleh hawa dingin dan melatih sin-kang dengan menghimpun Im-kang sehingga tenaga mereka mengandung hawa dingin yang lebih kuat daripada para penyerbu. Para penyerbu rata-rata menggigil kedinginan, bukan hanya oleh hawa yang keluar dari bumi Pulau Es, akan tetapi juga karena benturan senjata dengan para penghuni Pulau Es itu dilandasi Im-kang yang membuat para lawan selalu terserang hawa dingin yang menusuk tulang. Serangan serentak dari lima buah kapal itu membuat para tokoh Pulau Es tidak dapat saling membantu karena mereka itu menghadang musuh masing-masing yang menyerbu dari lima jurusan. Bahkan Yap Sun sendiri kini bersama pasukannya telah menghadapi serbuan pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Tan Ki atau Tan-siucai.

   "Ha-ha-ha, kakek tua bangka. Mengapa engkau tidak mau menakluk saja dan berani melawan pasukan pemerintah?"

   "Selamanya Pulau Es tidak pernah mengganggu pemerintah, kalau sekarang pemerintah menyerang kami, terpaksa kami akan mempertahankan pulau mati-matian!"

   Jawab kakek Yap Sun dengan suara keren.

   "Ha-ha-ha! Kalian anak buah Pulau Es memang tidak berdosa terhadap pemerintah akan tetapi majikan kalian berdosa besar sekali, karena itu kalian pun ikut berdosa kalau melawan."

   "Orang muda, engkau berpakaian seperti sasterawan namun memimpin pasukan! Terang bahwa engkau tergolong penjilat penjajah. Tak perlu banyak cakap lagi, siapa takut kepada engkau dan pasukanmu? Anak-anak, serang mereka!"

   Kakek Yap Sun memberi aba-aba dan berloncatan keluarlah anak buahnya yang berjumlah hanya tiga puluh orang menghadapi lawan yang jumlahnya dua kali lipat banyaknya. Dia sendiri sudah menerjang maju dengan tangan kosong menyerang pemuda berpakaian sasterawan itu. Tan-siucai terkejut ketika merasakan hawa panas sekali menyambar dari kedua tangan kakek itu. Memang Yap Sun telah diberi Ilmu Pukulan Hwi-yang Sin-ciang oleh Pendekar Super Sakti. Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) merupakan ilmu pukulan sakti yang amat hebat, karena di dalam tenaga ini terkandung hawa sakti yang melebihi api panasnya, dapat menghanguskan lawan yang tidak kuat menerimanya.

   "Bagus!"

   Tan-siucai berseru dan sekali tangan kanan bergerak, dia telah mencabut sebatang pedang yang berwarna hitam. Inilah senjatanya yang dibuat oleh gurunya sendiri, Pendeta Maharya, sebatang pedang yang ampuh karena diberi racun yang merendam pedang itu sampai bertahun-tahun sehingga pedang itu berwarna hitam! Sambil mencelat ke samping mengelak dari pukulan ampuh kakek itu, Tan Ki mengelebatkan pedangnya. Sinar hitam menyambar ke arah Yap Sun. Kakek ini pun maklum akan berbahayanya pedang itu yang mengeluarkan bau amis, namun dia tidak gentar.

   Dorongan tangan kirinya dengan jari terbuka mengeluarkan hawa pukulan yang dapat menangkis dan mendorong mundur sinar pedang itu sehingga Tan Ki terpaksa meloncat lagi dan menyerang dari lain jutusan. Sementara itu, pasukan kedua pihak sudah saling serang dengan hebat dan terjadilah perang tanding mati-matian di mana setiap orang anak buah Pulau Es dikeroyok dua orang lawan. Ternyata hanyalah Kakek Yap Sun seorang dari pihak Pulau Es yang kebetulan bertemu lawan yang seimbang. Kawan-kawannya ternyata bertemu lawan berat dan keadaan mereka terdesak hebat. Phoa Ciok Lin, yang merupakan orang ke dua setelah Kwi Hong dalam hal kelihaian ilmu silatnya, bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Thai Li Lama, pendeta Lama kurus yang lihainya luar biasa itu. Phoa Ciok Lin terpaksa harus mengeluarkan semua ilmunya,

   Mengeluarkan seluruh gin-kang dan ilmu silatnya untuk menghadapi lawan yang memiliki ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang mengandung campuran hawa mujijat dari ilmu hitam. Berkali-kali Thai Li Lama mengeluarkan bentakan-bentakan yang amat berwibawa, membuat wanita sakti itu kewalahan dan hampir celaka karena hampir saja dia tidak dapat menahan pengaruh bentakan-bentakan yang mengandung ilmu hitam I-hun-to-hoat (hypnotism) itu. Untung bahwa sebagai pembantu istimewa yang telah digembleng oleh Pendekar Siluman, dia memiliki batin yang kuat sehingga dengan segala kekuatan batinnya dia masih berhasil mempertahankan diri. Namun jelas bahwa dia terdesak hebat, seperti juga anak buahnya yang terdesak oleh serbuan anak buah Thai Li Lama.

   Thung Sik Lun, tokoh Pulau Es yang bertubuh kurus dan yang memiliki keistimewaan gerak cepat, lebih payah lagi karena dia bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh pendeta India, Kakek Maharya yang tentu saja jauh lebih lihai daripada dia! Begitu kakek ini mendarat, Thung Sik Lun menyerangnya dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang yang dapat membikin beku darah di tubuh lawan. Namun Kakek Maharya menerima pukulannya dengan enak saja dan begitu tangan kiri Thung Sik Lun mendarat di dada yang kerempeng itu, tangan Thung Sik Lun tak dapat ditarik kembali, melekat dan tersedot oleh dada kerempeng itu! Thung Sik Lun terkejut, cepat menggerakkan tangan kanannya dengan pengerahan Im-kang sekuatnya memukul ke pusar.

   "Desss!"

   Kembali tangannya melekat di kulit keriput perut Maharya, tak dapat ditarik kembali.

   "Heh-heh-heh!"

   Maharya terkekeh, sekali tangan kirinya bergerak, dia telah menjambak rambut di ubun-ubun kepala Thung Sik Lun, mencengkeram dan begitu dia mencabut, kepala itu berikut kulit dan tulang kepala bagian ubun-ubun copot! Otak dan darah mengucur keluar dan Maharya membuka mulutnya menerima dan menggelogok darah campur otak segar itu seperti orang kehausan menerima air sejuk! Setelah darah berhenti mengucur dan Maharya melepaskan sin-kangnya, tubuh Thung Sik Lun yang sudah tak bernyawa lagi itu terguling! Tentu saja robohnya pimpinan ini membikin kacau para anak buah Pulau Es.

   Di antara mereka banyak yang roboh dan mereka bergidik ngeri menyaksikan kematian pimpinan mereka, maka mereka cepat mengundurkan diri ke tengah pulau sambil menahan majunya musuh-musuh dengan senjata rahasia mereka yang ampuh, yaitu butiran-butiran es yang dingin sekali, yang dapat mereka kumpulkan dan gali dari lorong bawah tanah di belakang Istana Pulau Es! Hujan butiran es yang dingin ini sedikit banyak menghambat kemajuan para penyerang dan memungkinkan mereka untuk mundur dan mengatur pertahanan lagi tanpa pimpinan. Thian Tok Lama yang memimpin pasukannya disambut oleh anak buah Kwee Sui. Akan tetapi ketika anak buah Pulau Es melihat Kwee Sui menyambut kedatangan pendeta gundul itu tertawa-tawa dan mereka berdua itu bercakap-cakap sambil berjalan ke darat, mereka menjadi kacau. Apalagi ketika Kwee Sui berseru.

   "Kita tidak boleh melawan pasukan pemerintah! Kita bukan pemberontak! Lebih baik menyerah saja tentu diampuni!"

   Mendengar ini, anak buah Pulau Es menjadi bingung. Akan tetapi mereka semua adalah orang-orang yang setia, bahkan di antara mereka banyak terdapat bekas pejuang yang menentang penjajahan Mancu, maka mendengar seruan ini, maklumlah mereka bahwa Kwee Sui menjadi pengkhianat. Maka mereka segera melawan sambil mundur ke tengah pulau, juga mempertahankan diri dengan serangan butiran-butiran es dingin. Yang berat seperti keadaan Thung Sik Lun adalah Kwi Hong sendiri.

   Gadis perkasa yang penuh semangat ini bertemu dengan induk pasukan musuh yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun sendiri! Biarpun Bhong Ji Kun masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan kelihaian paman gurunya, Maharya, namun bagi Kwi Hong dia telah merupakan lawan yang amat berat, apalagi tentu saja pasukan yang dipimpin Koksu ini adalah pasukan pengawal yang paling kuat! Kwi Hong juga terkejut ketika berhadapan dengan orang tinggi kurus berkepala botak yang memakai pakaian indah dan mentereng ini, dan dapat menduga bahwa tentu inilah orangnya yang disebut koksu oleh Kwee Sui. Cepat dia mencabut Pek-kong-kiam sehingga tampak sinar putih menyilaukan mata dari pedang yang berlapis perak ini. Bhong Ji Kun tertawa bergelak.

   "Hemm, agaknya engkaukah murid Pendekar Siluman, Nona? Pantas.... pantas...., banyak pemuda yang tergila-gila kepadamu. Kiranya engkau benar-benar cantik jelita, sungguh tidak disangka di pulau kosong seperti ini dapat tumbuh setangkai mawar yang begini cantik...."

   "Keparat, tutup mulutmu yang busuk!"

   Kwi Hong marah sekali dan pedangnya menyambar menjadi sinar yang panjang dan besar.

   "Hehhh....!"

   Bhong Ji Kun terpaksa mengelak cepat karena tak disangkanya bahwa nona itu dapat menggerakkan pedang sedemikian cepatnya. Baru ia teringat bahwa dara yang jelita ini adalah murid Pendekar Super Sakti. Dia sendiri merasa jerih terhadap pendekar itu, yang menurut pendapat paman gurunya memang memiliki kesaktian sukar dilawan. Kalau gurunya sedemikian hebatnya, tentulah muridnya tak dapat dipandang ringan, sungguhpun muridnya merupakan seorang gadis muda yang manis dan kelihatan lemah.

   Maka ia pun cepat memerintahkan anak buahnya untuk menyerbu anak buah Pulau Es, dan dia sendiri sudah mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang aneh, yairu sebatang pecut kuda yang berwarna merah dan panjangnya ada tiga meter, gagangnya terbuat dari emas dihias permata! Koksu ini di waktu kecilnya, di India, pernah bekerja sebagai seorang penggembala kuda, maka dia suka sekali mempergunakan cambuk kuda, apalagi di waktu dia menyiksa lawan. Sebetulnya dia memiliki banyak senjata yang ia keluarkan sesuai dengan keadaan lawan. Melihat Kwi Hong cukup lincah dan lihai memegang pedang pusaka, maka dia pun mengeluarkan cambuknya. Cambuk ini digulung di dekat gagang dan jika perlu dapat dipergunakan menyerang lawan yang tiga meter jauhnya, juga amat cocok untuk menghadapi senjata tajam, untuk melibat dan merampas.

   "Tar-tar-tar!"

   Cambuknya meledak-ledak di atas kepala dan meluncur turun, mengirim totokan-totokan berantai ke arah jalan darah di leher, tengkuk dan kedua pundak Kwi Hong.

   "Haiiiittt!"

   Kwi Hong melengking nyaring. Pedangnya diputar cepat di atas kepala, membentuk sinar seperti payung melindungi tubuh atasnya, dan tangan kirinya sudah menyodok ke depan, mengirim pukulan jarak jauh ke arah uluhati lawan. Bukan main kagetnya hati koksu itu. Gerakan pedang gadis itu benar-benar membendung serangan cambuknya, dan kini pukulan tangan kiri itu mengandung hawa dingin yang terasa menghantam dadanya, terus menyerang ke jantung!

   "Hehhhh!"

   Ia mengerahkan sin-kang, mengeraskan perut dan dada, menahan pukulan jarak jauh itu sambil menarik pecutnya, dan sekali pergelangan tangannya bergerak, ujung pecutnya menyambar dari bawah hendak melibat kaki Kwi Hong.

   Gadis ini melocat ke atas, cepat mainkan pedangnya yang merupakan pecahan dari Siang-mo Kiam-sut seperti yang diajarkan pamannya, dan tangan kirinya tidak lupa mengirim pukulan-pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara bergantian. Koksu itu makin terheran-heran dan kagum. Bukan main gadis ini, pikirnya. Belum pernah ia menghadapi lawan seorang muda yang begini lihai. Yang membuatnya kagum sekali bukan hanya kegesitan dara itu, melainkan terutama sekali sin-kangnya yang kuat dan aneh. Betapa mungkin gadis semuda ini sudah dapat membagi kedua lengannya dengan saluran hawa Im-kang dan Yang-kang? Kalau tangan kanannya melancarkan pukulan berhawa dingin, pedangnya terasa mengeluarkan hawa panas. Sebaliknya kalau dari tangan kiri menyambar hawa panas, pedangnya menjadi dingin luar biasa!

   Timbul dalam pikiran koksu ini rasa sayang untuk membunuh gadis itu. Dia akan menawannya hidup-hidup, bukan hanya untuk memenuhi permintaan Kwee Sui yang telah berjasa, akan tetapi juga kalau dia dapat membujuk gadis itu membantu pemerintah tentu kaisar akan senang sekali! Soal Kwee Sui, mudah diselesaikan, karena baginya, gadis ini lebih berharga sepuluh kali dari pemuda itu! Akan tetapi, pikiran untuk menawan gadis itu hidup-hidup jauh lebih mudah daripada melaksanakannya. Tingkat kepandaian Kwi Hong sudah amat tinggi dan menghadapi Koksu itu, dia hanya kalah matang dan kalah pengalaman. Namun, gadis ini telah mempelajari ilmu-ilmu silat tingkat tinggi yang sebetulnya kalau sudah dilatih sematang koksu itu, tidak akan mampu ditandingi oleh Bhong Ji Kun!

   Biarpun koksu itu jauh lebih berpengalaman dan lebih matang, namun dia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk tidak roboh di tangan gadis ini, apalagi untuk menawannya hidup-hidup! Kwi Hong yang kini percaya akan laporan Kwee Sui bahwa kepandaian para penyerang benar-benar amat hebat, bersilat dengan hati-hati sekali. Diam-diam dia agak menyesal mengapa dia tadi menyerahkan Li-mo-kiam kepada Kwee Sui. Kalau dia menggunakan pedang mujijat itu, agaknya dia masih akan mampu mengalahkan lawan yang jauh lebih berpengalaman ini. Akan tetapi, dia lalu teringat akan keadaan pemuda itu sendiri, dan keadaan bibinya, dan kedua orang pamannya. Kalau mereka itu pun menghadapi lawan seberat ini, akan celakalah Pulau Es. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya agar dapat mengalahkan koksu ini dan dapat membantu kawan-kawannya.

   Namun, tidaklah mudah, karena sesungguhnya, tingkatnya masih kalah sedikit oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Pada saat Pulau Es diserbu dan semua tokohnya mengalami ancaman bahaya itu, bahkan Thung Sik Lun telah tewas secara mengerikan, tak jauh dari pantai, tampak sebuah perahu kecil yang dijalankan dengan pesat, didayung oleh seorang pemuda tampan yang memandang ke arah Pulau Es penuh takjub, kemudian memandang ke arah kapal-kapal besar itu dengan alis berkerut. Pemuda ini bukan lain adalah Gak Bun Beng. Setelah Bun Beng meninggalkan Thian-liong-pang, dia mengambil keputusan untuk mencari Pulau Neraka. Kini dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menghadapi siapa pun juga.

   Oleh karena itu, dia tidak takut pergi ke Pulau Neraka untuk mencari pemuda putera Majikan Pulau Neraka dan minta kembali pedang Lam-mo-kiam yang dahulu dirampasnya. Surat dan peta yang ia terima dari Pendekar Super Sakti telah lenyap ketika ia terjun ke pusaran maut, akan tetapi ia masih ingat sedikit gambaran itu. Pokoknya, di sebelah utara melewati sekelompok pulau kecil yang berjajar seperti baris! Demikianlah, karena sama sekali tidak ada pengalaman berlayar, tanpa disadarinya pada siang hari itu layar perahunya yang terbawa angin membuat perahunya melaju cepat membawanya sampai ke dekat Pulau Es! Melihat pulau yang putih itu dan melihat kapal-kapal besar, dia terheran-heran dan menggulung layar, lalu mendayung perahunya dengan hati-hati mendekati pulau.

   "Tolongggg....!"

   Tiba-tiba teriakan ini mengagetkan Bun Beng yang segera menoleh ke kiri dan menahan perahunya. Dilihatnya seorang laki-laki dengan susah payah berenang menuju ke perahunya. Ketika Bun Beng melihat bahwa orang itu ternyata luka parah, cepat ia mendayung perahunya mendekat, lalu menyambar baju di punggungnya dan menariknya ke atas perahu. Ternyata orang itu adalah Thung Ki Lok yang hampir saja tidak kuat lagi, lukanya oleh pedang Kwee Sui hebat dan ia telah kehilangan banyak darah. Ia memandang dengan napas terengah-engah kepada Bun Beng, lalu berkata.

   "Sahabat, siapa pun adanya engkau.... tolonglah.... tolonglah cari Taihiap...." "Taihiap siapa? Dan engkau siapa?"

   "Taihiap.... To-cu Pulau Es.... katakan.... ahhh, katakan.... pulau Es diserbu pasukan pemerintah.... Koksu Negara.... dan si pengkhianat Kwee Sui.... pulau kami terancam.... aaahhhh...."

   Pemuda yang gagah perkasa itu menghembuskan napas terakhir, tidak melihat betapa kagetnya Bun Beng mendengar ucapan tadi.

   Ia merebahkan kepala yang tadi dipangkunya, dan mengangkat mukanya memandang ke pulau itu. Itukah Pulau Es? Dan kapal-kapal itu milik pemerintah yang menyerbu Pulau Es di waktu Pendekar Super Sakti tidak ada? Dan Koksu Negara. Si laknat Bhong Ji Kun! Bun Beng cepat mendayung perahunya dengan pengerahan tenaga sehingga perahunya meluncur cepat sekali ke pulau itu. Ia kini mendengar suara hiruk-pikuk di atas pulau, suara orang bertempur. Ketika ia melihat tanda robekan kain yang diikatkan pada tetumbuhan di pantai, ia lalu mendarat. Tentu itu merupakan tanda penunjuk jalan, pikirnya. Setelah mengikatkan perahu dan meninggalkan perahu di mana menggeletak mayat Ki Lok, Bun Beng melompat ke darat dan berlari cepat ke tengah pulau.

   Tepat seperti diduganya, ia melihat kain-kain putih dan segera memasuki pulau melalui jalan kecil di mana ada tanda-tanda kain putih itu sehingga sebentar saja dia telah berada di tengah pulau. Ia melihat pertempuran hebat, dan melihat betapa perajurit-perajurit seragam yang tentu adalah pasukan pemerintah mendesak dan mengejar penghuni pulau yang mengundurkan diri ke tengah pulau. Pada saat itu, Kwi Hong telah tertawan. Ketika gadis ini bertanding mati-matian melawan Bhong Ji Kun, tiba-tiba muncul Thian Tok Lama dan Kwee Sui. Melihat betapa gadis itu mengadakan perlawanan yang hebat terhadap koksu, Thian Tok Lama segera meloncat dan membantu. Dikeroyok dua oleh koksu dan Lama itu, tentu saja Kwi Hong terdesak hebat. Tiba-tiba ia melihat Kwee Sui yang datang bersama Thian Tok Lama.

   "Sui-ko, bantu aku....!"

   Teriaknya, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri menonton sambil tersenyum. Seketika mengertilah Kwi Hong bahwa pemuda tampan ini telah berkhianat dan tadi sengaja meminjam pedang Li-mo-kiam. Maka kemarahannya memuncak, dan setelah memutar pedangnya membuat kedua orang lawannya mundur, ia lalu melompat ke arah Kwee Sui sambil memaki.

   "Engkau pengkhianat hina!"

   Akan tetapi, tiba-tiba pecut di tangan Bhong Ji Kun berkelebat membelit lengannya yang memegang pedang dan sebelum Kwi Hong dapat membalikkan tubuh, Thian Tok Lama telah memukulnya dari belakang dengan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang.

   "Desss!"

   Angin pukulan yang membawa uap hitam itu mengenai punggung Kwi Hong membuat gadis itu roboh pingsan dan pedangnya terampas oleh ujung pecut koksu. Dia memandang rendah Thian Tok Lama sehingga kena terpukul, tidak tahu bahwa ilmu kepandaian Lama itu setingkat dengan kepandaian Bhong Ji Kun.

   "Ha-ha-ha, bawalah Nona pengantinmu ke kapal, jaga jangan sampai dia lolos,"

   Kata Bhong Ji Kun kepada Kwee Sui,

   "Dan pedang Li-mo-kiam....?"

   "Sudah di sini!"

   Jawab Kwee Sui, menepuk pedang di pinggangnya.

   "Baik, bawa ke kapal, jangan sampai dia lolos dan jangan sampai pedang itu hilang."

   Kwee Sui girang sekali, cepat memondong tubuh Kwi Hong yang pingsan itu dan membawanya lari ke pantai, di mana terdapat perahunya, lalu ia membawa tubuh itu ke atas kapal besar. Setelah Kwi Hong kena ditawan, anak buahnya mundur ke tengah pulau, dikejar oleh pasukan pemerintah. Yap Sun yang mengamuk dan menghadapi Tan-siucai dengan gigih, terpaksa roboh pula, ketika tiba-tiba muncul Kakek Maharya yang sudah mengejar sampai ke situ. Maharya marah sekali melihat betapa muridnya belum mampu merobohkan kakek itu.

   "Bodoh, kenapa tidak mempergunakan Hok-mo-kiam?"

   Teriaknya sambil menonton pertandingan itu, tidak mau membantu muridnya. Tan Ki yang mendengar seruan gurunya itu, tertawa, tangan kirinya mencabut pedang di pinggangnya. Sinar kilat berkelebat dan Kakek Yap Sun berteriak mengerikan ketika berbareng dengan sinar kilat pedang itu yang menangkis tangannya, lengannya sebatas siku menjadi buntung! Kakek itu menggigit bibir, menggunakan tangan kirinya menerjang terus, dan kembali sinar kilat berkelebat dan lengan kirinya juga terbabat buntung! Pedang mujijat itu berkelebat lagi, terdengar teriakan ngeri dan tubuh Yap Sun terjengkang ke belakang, dadanya tembus oleh pedang Hok-mo-kiam dan nyawanya melayang! Tan Ki menyimpan pedang Hok-mo-kiam dan pedang hitamnya, menoleh kepada suhunya,

   "Saya memang sengaja mengajaknya berlatih, dia merupakan lawan yang boleh juga."

   "Sudah, mari kita membantu Thai Li Lama yang masih belum mampu mengalahkan lawannya. Kulihat wanita itu lihai juga."

   Memang, hanya tinggal Phoa Ciok Lin seorang yang masih mengadakan perlawanan terhadap Thai Li Lama, bahkan wanita yang marah sekali ini mengamuk, mendesak pendeta itu dengan pedang yang sudah sejak tadi ia pergunakan karena dia tidak mampu mengalahkan lawan dengan tapgan kosong. Tiba-tiba muncul Maharya dan Tan Ki. Tan Ki yang melihat bahwa Phoa Ciok Lin yang setengah tua itu masih cantik, segera meloncat maju.

   "Eh, manis, kenapa engkau nekat? Menyerahlah saja, hidup di kota raja tentu senang!"

   Phoa Ciok Lin tidak menjawab, melainkan mengamuk lebih hebat, menangkis sinar pedang hitam yang dipergunakan Tan Ki.

   "Tranggg!"

   Pedang Ciok Lin patah ujungnya, akan tetapi Tan Ki terhuyung ke belakang dan seluruh lengan kanannya tergetar.

   "Wah, lihai juga....!"

   Serunya.

   "Hemmm....!"

   Maharya meloncat maju, tangan kirinya bergerak menampar dan angin pukulan yang kuat berhembus ke arah wanita itu. Ciok Lin menjerit dan terlempar ke belakang. Cepat ia menjatuhkan diri bergulingan, lalu meloncat bangun lagi dan mengambil keputusan nekat untuk melawan musuh-musuh lihai itu sampai napas terakhir. Maharya memukul lagi,

   "Wuuuuttt! Plakkkk! Aahhh!"

   Maharya terhuyung ke belakang, memandang terbelalak kepada seorang pemuda tampan yang telah menangkis tamparannya itu dengan tangan. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang sanggup menangkis tamparannya dan membuat ia terhuyung ke belakang. Kalau yang menangkisnya itu Pendekar Siluman, dia tidak akan heran. Tadi pun ia mengira, bahwa Pendekar Siluman muncul, kiranya seorang pemuda yang bertangan kosong!

   "Toanio, harap lekas tarik mundur anak buahmu, biar aku yang melawannya!"

   Kata Bun Beng.

   "Eh, dia pemuda yang menemukan Sepasang Pedang Iblis!"

   Tiba-tiba Tan Ki berseru kaget. Maharya menjadi bengong. Dahulu pemuda ini tidaklah sedemikian hebat tenaganya, mengapa sekarang begini lihai? Dengan penuh hati penasaran, dia menerjang lagi, kini mengirim dorongan dengan telapak tangan terbuka ke arah dada Bun Beng. Pemuda ini yang sudah percaya penuh akan kekuatan sendiri, kembali menyambut telapak tangan itu dengan dorongan telapak tangan pula.

   "Plakkkk!"

   Dua telapak tangan bertemu, asap mengepul dari pertemuan telapak tangan itu yang seolah-olah melekat. Maharya berseru keras sebelah tangannya memukul lagi akan tetapi tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap. Demikian cepat gerakan pemuda ini yang sudah meloncat ke atas dan ujung sepatunya menotok ke arah ubun-ubun kepala Maharya.

   "Aeeehhhh....!"

   Maharya cepat melempar tubuhnya ke atas dan bergulingan, wajahnya yang berkulit hitam itu menjadi agak pucat, keringat dingin mengucur karena dia maklum bahwa hampir saja nyawanya melayang!
(Lanjut ke Jilid 24)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
"Serbu....!"

   Tan Ki berseru dan kini dia bersama Maharya dan Thai Li Lama menerjang maju. Phoa Ciok Lin kini juga maju membantu Bun Beng yang belum ia kenal siapa adanya itu, sungguhpun wajah pemuda tampan itu seperti pernah dilihatnya. Tentu saja dia pernah melihat Bun Beng, yaitu ketika terjadi pertempuran di pulau muara Huang-ho. Akan tetapi ketika itu Bun Beng masih kecil sehingga dia tidak mengenalnya lagi. Sebaliknya Bun Beng masih mengenal Ciok Lin maka serunya.

   "Phoa-toanio, mundurlah. Anak buahmu terdesak, bantulah mereka!"

   Ciok Lin melongo, dan tiba-tiba ia teringat. Ini adalah bocah yang dahulu diperebutkan di pulau muara Huang-ho, bocah yang oleh Pendekar Siluman akan dirampas dan dibawa ke Pulau Es. Gak Bun Beng, putera Gak Liat dan Bi-kiam Bhok Khim. Mendengar ucapan itu, dia menengok dan benar saja anak buahnya terdesak sehingga kocar-kacir dan banyak yang sudah roboh. Juga ia melihat betapa anak buah dari pantai lain telah mundur ke tengah pulau, mendekati Istana Pulau Es, dikejar pasukan pemerintah. Maka dia lalu meninggalkan Bun Beng dan mengamuk, membantu anak buahnya merobohkan banyak tentara pengawal pemerintah.

   "Hancurkan mereka, serbu Istana Pulau Es!"

   Teriak Maharya.

   "Biar aku melayani bocah sombong ini!"

   Sambil berkata demikian, Maharya yang merasa bahwa pemuda itu tidak akan dapat ia kalahkan mengandalkan tenaga sin-kang, sudah mencabut keluar sebuah senjata yang aneh. Senjatanya itu bergagang pendek, dan berbentuk bulan sabit yang pinggirnya tajam sekali dan kedua ujungnya yang melengkung amat runcing.

   "Sing-sing-sing....!"

   Tampak sinar kilat menyambar-nyambar ketika senjata itu dia pergunakan untuk menyerang. Namun Bun Beng dapat mengelak dengan tenang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut karena dia telah mainkan Ilmu Silat Sam-po-cin-keng yang mujijat. Berkali-kali Maharya mengeluarkan seruan kaget dan heran. Pemuda itu benar-benar lincah dan memiliki ilmu silat yang amat ajaib, yang dia kenal mempunyai dasar-dasar ilmu silat golongan kaum sesat! Sementara itu, Bun Beng yang melihat betapa Thai Li Lama, Tan Ki bahkan ada Thian Tok Lama, dan Bhong Ji Kun mulai memimpin pasukan membakari rumah-rumah pondok sederhana tempat tinggal para anak buah Pulau Es yang kewalahan, menjadi khawatir sekali.

   "Orang muda, engkau merasa takut, lumpuh, hayo berlutut!"

   Tiba-tiba Maharya membentak, menggunakan kesempatan selagi perhatian Bun Beng terpecah karena mengkhawatirkan keadaan Pulau Es. Bun Beng otomatis jatuh berlutut dan dia merasa heran sekali. Baru ia teringat ketika kakek India membacok ke arah kepalanya dengan senjatanya yang aneh. Untung pada detik terakhir Bun Beng teringat lagi. Dia sudah mengerahkan sin-kang dan menghimpun tenaga batin, cepat ia melempar tubuh ke belakang sehingga bacokan itu luput.

   "Dar! Dar! Blengggg....!"

   Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras, tampak tanah muncrat dan asep hitam bergulung-gulung. Beberapa orang perajurit pemerintah roboh, bahkan Maharya sendiri cepat meloncat ke belakang ketika ada sebuah benda hitam menyambar kepalanya. Sambaran itu luput dan benda itu menghantem tanah, meledak dan mengeluarkan asap hitam. Bun Beng meloncat bangun.

   Keadaan menjadi gelap karena asap hitam itu. Dia cepat berlari ke arah Istana Pulau Es dan di sepanjang jalan, terjadi ledakan-ledakan yang merobohkan perajurit pemerintah. Pasukan pemerintah menjadi kacau balau, lari bersembunyi, ada yang bertiarap. Bahkan Koksu dan rombongannya, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Tan Ki, diserang oleh benda-benda hitam yang dapat meledak sehingga mereka sibuk mengelak ke sana sini. Bun Beng mengerti bahwa ada bantuan datang. Entah siapa, hanya dia mengenal alat-alat ledak itu seperti yang biasa dipergunakan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka! Dia tidak peduli dan cepat menghampiri rombongan anak buah Pulau Es yang dipimpin oleh Phoa Ciok Lin. Mereka ini sama sekali tidak diserang alat-alat peledak sehingga mudah diduga bahwa memang yang melempar-lemparkan alat peledak itu bermaksud membantu anak buah Pulau Es.

   "Phoa-toanio....! Cepat bawa anak buah bersembunyi. Ada orang pandai membantu kita. Di mana adanya Kwi Hong?"

   "Ahhh, menurut laporan anak buahnya, dia.... tertawan, dikhianati orang kita sendiri dan dibawa ke kapal di sebelah timur pulau."

   "Kwee Sui....?"

   Bun Beng bertanya, teringat akan cerita pemuda di perahunya tadi.

   "Eh, bagaimana engkau tahu? Engkau.... Gak Bun Beng, bukan?"

   "Benar, Toanio, lekas bawa anak buahmu bersembunyi, kalau tidak ada lain jalan, bawa keluar dari pulau ini. Aku akan berusaha menolong Nona Kwi Hong!"

   Baru saja habis ucapannya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Phoa Ciok Lin melongo saking kagum dan herannya, akan tetapi dia segera membawa anak buahnya memasuki istana dan bersembunyi di lorong bawah tanah istana. Dia sendiri bersama orang yang dapat diandalkan menjaga di depan, melihat betapa pasukan musuh kocar-kacir oleh ledakan-ledakan yang asapnya mengandung racun itu sehingga banyak anggauta pasukan yang roboh tewas. Akhirnya Bhong Ji Kun terpaksa menarik mundur pasukannya dan memerintahkan kembali ke kapal masing-masing agar tidak jatuh lebih banyak korban sedangkan musuh yang melepas bahan-bahan ledakan itu tidak tampak sama sekali.

   Bhong Ji Kun mengajak paman gurunya, Maharya, ke kapalnya untuk diajak berunding membicarakan munculnya Gak Bu Beng dan pelempar peledak yang asapnya hitam beracun itu. Begitu naik ke kapal dia menjenguk ke ruangan bawah, lega melihat betapa Kwi Hong telah terikat pada tiang, duduk di atas bangku dengan wajah muram, sedangkan Kwee Sui menjaga di situ bersama selusin orang perajurit. Gadis itu memaki-maki Kwee Sui, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja dan berusaha membujuknya dengan suara manis. Melihat ini Bhong Ji Kun naik lagi dan berunding dengan Maharya di geladak kapal. Senja telah datang akan tetapi sinar keemasan matahari masih menerangi geladak kapal. Mereka duduk dan bicara dengan serius.

   "Bocah itu hebat juga,"

   Terdengar Maharya berkata.

   "Sungguh mengherankan sekali, belum ada setahun aku melawan dia, kepandaiannya masih belum begitu hebat, bahkan aku telah melukainya, mestinya dalam waktu tiga bulan dia mampus. Bagaimana sekarang dia masih dalam keadaan sehat dan kepandaiannya malah demikian hebat?"

   "Hemmm, mungkin dia menerima latihan dari Pendekar Siluman,"

   Jawab Bhong Ji Kun sambil mengelus jenggotnya.

   "Akan tetapi yang aneh adalah pelempar peluru peledak yang mengandung asap beracun itu. Apakah dia Pendekar Siluman sendiri? Dia tentu lihai bukan main."

   "Ah, Pendekar Super Sakti tidak mungkin mau melakukan penyerangan gelap seperti itu,"

   Jawab Maharya.

   "Benar, dan sepanjang pendengaranku, yang bisa menggunakan senjata rahasia macam itu adalah orang Pulau Neraka."

   "Akan tetapi, tidak mungkin,"

   Bantah Maharya.

   "Bukankah Pulau Neraka selalu bertentangan dengan Pulau Es?"

   Selagi dua orang ini bercakap-cakap, Bun Beng telah berhasil meluncurkan perahunya dan terjun ke air, berenang lalu bergantung kepada rantai jangkar. Dia merayap naik, akan tetapi melihat Maharya dan Bhong Ji Kun berada di situ, di atas geladak dia tidak berani naik. Melihat musuh-musuh besarnya ini, ingin sekali dia meloncat dan membuat perhitungan. Bhong Ji Kun telah membunuh gurunya, dan dengan Maharya dia mempunyai perhitungan lain. Akan tetapi, kedatangannya ini adalah untuk menolong Kwi Hong, kalau dia meloncat dan menerjang kedua orang yang dia tahu amat lihai itu, harapannya untuk menulong Kwi Hong tentu akan buyar. Maka dia menanti kesempatan baik dan bersembunyi di rantai jangkar, mepet di badan kapal.

   "Sebaiknya besok pagi kita sendiri bersama kedua orang Lama turun ke pulau melakukan penyelidikan,"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Maharya.

   "Kita harus mengetahui siapa orangnya yang begitu berani menyerang kita dengan peluru-peluru peledak itu."

   "Kebakaran....!"

   Terdengar teriakan bersama dengan datangnya ledakan yang tiba di atas bilik kapal dan tampak api berkobar. Maharya dan Bhong Ji Kun terkejut, apalagi ketika mendengar suara dari atas.

   "Akulah yang melepaskan alat-alat peledak, kalian manusia-manusia busuk mau apa?"

   Keduanya meloncat bangun dan ketika memandang ke atas, jauh di atas, di tali-temali layar dekat tiang besar, tampak tubuh seorang wanita bergantung pada tali, bergantung dengan kedua kakinya sedangkan kepalanya tergantung di bawah, rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin. Di bawah sinar matahari senja, wanita berpakaian hitam yang bermuka putih sekali itu benar-benar amat menyeramkan,

   Apalagi kehadirannya dengan cara bergantung terbalik seperti itu! Baik Maharya maupun Bhong Ji Kun terkejut, bukan oleh kehadiran wanita yang bergantung seperti itu, yang hanya memperlihatkan kemahiran gin-kang luar biasa yang mampu mereka lakukan juga. Yang mengejutkan mereka adalah kehadiran wanita itu yang tidak mereka ketahui sama sekali! Siapakah wanita itu? Dia bukan lain adalah Majikan Pulau Neraka. Dia adalah Lulu, adik angkat Pendekar Super Sakti (baca cerita Pendekar Super Sakti)! Bagaimana Lulu yang menjadi majikan Pulau Neraka dapat hadir di situ, membantu anak buah Pulau Es yang diserbu pasukan pemerintah? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita meninjau keadaan Pulau Neraka di mana telah terjadi perubahan besar sekali.

   Putera Lulu bernama Wan Keng In, telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas atau delapan belas tahun, tampan dan tinggi ilmunya karena semenjak kecil digembleng oleh ibunya sendiri. Lulu terlalu memanjakan puteranya itu, apalagi setelah ia mendengar bahwa ayah puteranya itu, Wan Sin Kiat, sengaja membunuh diri dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu. Pada suatu hari, Keng In pulang dari perantauannya. Anak itu seringkali keluar dari Pulau Neraka menunggang burung rajawali dan biarpun berkali-kali Lulu memarahinya, namun anak itu yang amat manja selalu melanggar larangannya. Ketika Keng In pulang, dia menghampiri ibunya dan tertawa-tawa bangga, lalu menepuk pinggangnya di mana tergantung sebatang pedang bersarung indah sambil berkata,

   "Ibu, coba terka pusaka apa yang kudapatkan dalam perantauanku sekarang ini. Ibu selalu melarang aku merantau, kalau aku tidak merantau, mana mungkin mendapatkan pusaka ini?"

   Lulu mengerutkan alisnya memandang.

   "Hemm, engkau mendapatkan sebatang pedang baru. Pedang apakah yang kau banggakan itu?"

   "Lihat, Ibu!"

   "Singggg....!"

   "Aihhhh....!"

   Lulu terkejut sekali menyaksikan sinar kilat keluar ketika pedang itu dicabut, dan ada hawa yang menyeramkan keluar dari sinar pedang itu.

   "Itu.... itu.... seperti Sepasang Pedang Iblis!"

   "Ha-ha-ha! Pandangan Ibu tajam bukan main. Memang inilah Lam-mo-kian, pedang jantan, sebatang di antara sepasang Pedang Iblis yang berhasil kurampas!"

   "Siang-mo-kiam....!"

   Lulu menghampiri anaknya, merampas pedang itu, lalu mendekap pedang itu dan menangis.

   "Han-koko....! Ah, Han-koko.... kita dahulu menemukan pedang-pedang itu.... Sepasang Pedang Iblis....!"

   Keng In menarik napas panjang.

   "Kenapa Ibu menangis? Dan kenapa menyebut dia? Aku muak mendengarnya. Ibu selalu menyebut-nyebut nama Han-koko! Hemmm, tentu Si Pendekar Siluman yang bernama Suma Han itu, bukan? Dia telah banyak membuat Ibu menderita. Teringat olehku betapa dahulu, ketika aku masih kecil, Ibu sering mimpi dan menyebut-nyebut namanya. Aku telah mendapatkan pedang Lam-mo-kiam, aku akan mencari dia dan akan kubunuh dia dengan pedang ini agar tidak menyusahkan hati Ibu pula!"

   "Keng In....!"

   "Aku tahu, Ibu mencinta Suma Han. Akan tetapi laki-laki macam apa dia itu? Kakinya buntung, rambutnya putih seperti kakek-kakek. Dan kalau dia mencinta Ibu, mengapa dia membiarkan Ibu merana di sini? Dan mengapa pula Ibu seringkali menyatakan ingin memperdalam ilmu, ingin memperkuat Pulau Neraka agar kelak dapat menyerbu Pulau Es? Bagaimanakah sebenarnya Ibu ini? Mencinta ataukah membenci dia? Betapapun juga, Pendekar Siluman dari Pulau Es itu telah banyak membikin Ibu menderita, maka pada suatu hari aku pasti akan menantangnya dan akan membunuhnya dengan pedang ini."

   "Keng In.... kau.... kau tidak mengerti.... jangan kau bicara demikian. Tak perlu engkau mencampuri urusan pribadiku dengan dia. Pula mudah saja kau bicara. Sedangkan kepandaianku sendiri masih belum ada setengahnya, apalagi engkau. Kau kira akan mudah saja mengalahkan Pendekar Super Sakti?"

   Terdengar oleh telinga Keng In yang sedang marah itu betapa dalam menyebut nama Pendekar Super Sakti dan mengucapkan kalimat terakhir itu, terdengar nada bangga sekali dalam suara ibunya. Hati pemuda ini makin panas dan dia cepat menjawab,

   "Harap Ibu tidak memuji lawan merendahkan diri. Mungkin Ibu masih belum mampu menandingi dia, akan tetapi lihatlah Ibu, lihatlah ilmu pedang anakmu."

   "Singggg.... cuit....!"

   Tampak sinar kilat menyilaukan mata dan Keng In sudah mencabut Lam-mo-kiam, lalu dia bermain pedang dengan gerakan yang luar biasa hebat dan dahsyatnya. Tubuhnya lenyap dan yang tampak hanya sinar pedang yang kadang-kadang mencuat ke udara, kadang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran-lingkaran yang saling menyambung, indah dan hebat bukan main sampai membuat Lulu melongo keheranan. Dia tidak mengenal ilmu pedang itu dan harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan puteranya itu betul-betul dahsyat sekali. Setelah Keng In menghentikan permainannya dan menyimpan kembali Lam-mo-kiam, dengan napas biasa dan wajahnya yang tampan berseri dia menghadapi ibunya dan bertanya,

   "Bagaimana pendapat Ibu? Apakah ilmuku tidak cukup untuk menghadapi Pendekar Siluman itu?"

   Lulu masih terbelalak memandang wajah puteranya.

   "Keng In, anakku...., dari mana engkau mempelajari ilmu pedang itu?"

   Keng In tertawa, lalu berkata,

   "Bukan hanya ilmu pedang itu, Ibu, melainkan masih banyak lagi. Di antaranya ini, harap Ibu lihat!"

   Tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas, tinggi sekali dan berjungkir balik beberapa kali di udara. Ketika ia melayang turun dengan kecepatan kilat, kedua tangannya telah menangkap dua ekor burung walet kecil yang terkenal cepat terbangnya itu. Keng In tertawa-tawa, melepas lagi burung-burung itu, kemudian ia menghampiri sebatang pohon sambil berkata,

   "Dan Ibu saksikanlah pukulan ini!"

   Setelah berkata demikian, ia menggunakan tangan menampar batang pohon itu.

   "Prakkkk!"

   Pohon itu tidak tampak terguncang, akan tetapi tak lama kemudian, biarpun hanya ada angin kecil bersilir, daun-daun pohon itu rontok semua sehingga tinggal batang dan cabang-cabang serta ranting-rantingnya yang gundul tanpa sehelai daun pun! Lulu terkejut bukan main. Gin-kang yang diperlihatkan puteranya tadi sudah hampir melalui tingkatnya, atau setidaknya sudah setingkat, sedangkan pukulan tadi adalah semacam pukulan ganas sekali, akan tetapi juga amat dahsyat, membuktikan adanya sin-kang yang mengandung hawa beracun jahat!

   "Keng In! Darimana engkau mempelajari semua itu? Hayo katakan!"

   Keng In duduk di atas batu depan rumah mereka dan berkata,

   "Ibu, sebetulnya aku harus merahasiakan ini, akan tetapi karena dalam penasaran tadi aku telah memperlihatkan ilmu-ilmuku kepadamu, terpaksa aku membuka rahasia. Ibu, telah beberapa tahun ini aku menjadi murid Cui-beng Koai-ong."

   "Siapakah Cui-beng Koai-ong (Raja Aneh Pengejar Roh)?"

   Keng In tertawa.

   "Ha-ha-ha, Ibu menjadi Ketua Pulau Neraka, akan tetapi tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi raja dari Pulau Neraka. Ibu, para kakek muka kuning termasuk Kakek Kui-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang ibu kalahkan itu hanyalah tokoh-tokoh tingkat ke tiga saja dari Pulau Neraka. Masih ada dua orang lagi yang memiliki kesaktian luar biasa, melebihi dewa! Mereka berdua itulah yang sebenarnya menjadi tokoh-tokoh pertama dan ke dua dari Pulau Neraka, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang aneh yang tidak pernah mau memperebutkan kedudukan, bahkan jarang berada di pulau, tak seorang pun melihat mereka."

   "Hehh....? Benarkah kata-katamu ini?"

   Lulu bertanya, penasaran dan heran. Dia telah menundukkan orang-orang Pulau Neraka dan diangkat menjadi pemimpin selama bertahun-tahun, mengapa dia tidak pernah mendengar tentang dua orang itu?

   "Siapa mereka dan di mana mereka sekarang?"

   "Ibu, mereka itu adalah dua orang saudara tua dari kakek yang bermuka kuning. Yang pertama adalah Cui-beng Koai-ong yang menjadi saudara tertua, dan kebetulan sekali aku bertemu dengan dia di tempat sembunyinya ketika beberapa tahun yang lalu dia kembali ke Pulau Neraka. Aku diangkat menjadi muridnya sehingga memperoleh kemajuan besar."

   "Dan yang ke dua?"

   "Menurut Suhu, orang ke dua itu adalah sutenya, seorang kakek yang aneh sekali, seperti orang gila, akan tetapi suka merantau dan bahkan jarang sekali muncul di Pulau Neraka. Suhu berpesan agar aku berhati-hati kalau bertemu dengan Susiok itu, julukannya Bu-tek Siauw-jin (Orang Rendah Tanpa Tanding)! Kata Suhu, wataknya aneh dan angin-anginan sehingga mungkin saja dia menentang Pulau Neraka hanya untuk mengumbar wataknya yang ugal-ugalan dan suka berkelahi!"

   Lulu menjadi makin penasaran.

   "Di mana mereka? Aku ingin mencoba kepandaian mereka. Sebagai Majikan Pulau Neraka, aku harus mengalahkan semua tokoh Pulau Neraka."

   "Jangan, Ibu. Ibu akan kalah, dan pula, tak mungkin Ibu dapat menjumpai mereka. Selain itu, bukankah mereka tidak mengganggu Ibu?"

   "Ya, mengapa demikian? Kalau mereka berilmu tinggi, sebagai tokoh-tokoh pertama Pulau Neraka, mengapa mereka membiarkan saja aku berkuasa di sini?"

   "Ha-ha-ha! Mereka itu tidak takut terhadap setan atau dewa, apalagi terhadap manusia lain, kecuali.... eh, terhadap Pendekar Super Sakti! Mereka sengaja membiarkan Ibu memimpin Pulau Neraka dan kelak kalau Ibu menyerang ke sana, tentu mereka akan turun tangan membantu. Mereka hendak mempergunakan permusuhan Ibu dengan Pulau Es untuk menantang Pendekar Siluman!"

   "Ohhhh!"

   Lulu menjadi pucat wajahnya. Dia merasa tidak senang sekali bahwa urusan pribadinya dengan Suma Han diperalat oleh orang-orang lain. Dia sebetulnya bukan hendak memusuhi Suma Han. Betapa mungkin?

   Betapa mungkin dia memusuhi dan membenci orang yang ia cintai itu? Tidak. Kalau dia menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu, semua itu ia lakukan demi cintanya kepada Suma Han! Hendak ia perlihatkan kepada bekas kakak angkatnya yang tercinta itu bahwa dia bukanlah seorang wanita sembarangan, bahkan sudah patut untuk memperoleh perhatian dan cinta kasih seorang pendekar besar seperti Suma Han. Apalagi setelah ia mendengar bahwa Suma Han menjadi suami Nirahai, dia ingin memperlihatkan bahwa dia lebih hebat daripada Nirahai! Sekarang ternyata tokoh-tokoh yang utama dan sesungguhnya dari Pulau Neraka malah hendak memperalatnya dan puteranya, putera tunggal yang dia cinta dan manjakan, ternyata telah menjadi murid dari tokoh pertama Pulau Neraka!

   Tidak, dia tidak sudi diperalat tokoh-tokoh Pulau Neraka, yang menganggapnya sebagai boneka saja! Dia harus datang sendiri ke Pulau Es dan terang-terangan menantang Suma Han, seorang diri, tidak perlu mengandalkan orang-orang Pulau Neraka. Suma Han harus memilih, membunuh dia atau menerimanya sebagai isteri! Dengan hati penuh duka dan penasaran, Lulu diam-diam meninggalkan Pulau Neraka tanpa memberi tahu siapa juga, bahkan puteranya sendiri pun tidak diberi tahu. Dengan sebuah perahu hitam kecil, Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka, yang kini berwajah putih dan berpakaian hitam, melakukan pelayaran mencari Pulau Es di mana dahulu di waktu kecil dia pernah tinggal berdua dengan Suma Han (baca cerita Pendekar Super Sakti).

   Kedatangannya di Pulau Es bertepatan dengan penyerbuan pasukan pemerintah terhadap pulau itu. Kemarahan dan rasa penasaran di hati Lulu terhadap Suma Han lenyap terganti oleh kemarahan terhadap para penyerbu yang mendahuluinya, yang dianggapnya pengecut, melakukan penyerbuan terhadap sebuah pulau yang sedang ditinggal majikannya. Maka dia lalu diam-diam membantu anak buah Pulau Es, melepas senjata rahasia peledak yang berhasil mengundurkan para penyerbu. Bahkan dengan hati penuh kemarahan diam-diam Lulu menyelundup naik ke atas kapal, melepas senjata rahasia pembakar dan memberitahukan kehadirannya dengan bergantung pada tali layar dengan tubuh berjungkir, kepada Koksu Bhong Ji Kun dan Maharya.

   "Wanita iblis....!"

   Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru marah. Maharya sudah menggerakkan tangan kanannya dan meluncurlah sebuah senjata rahasia berbentuk gelang yang berputar cepat ke arah kepala wanita yang menggantung di atas itu.

   "Wiirrr.... singggg....!"

   Senjata rahasia yang dilepas oleh Maharya ini hanyalah gelang biasa berwarna putih, akan tetapi karena pelemparnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka berbahaya sekali. Gelang ini seperti peluru terkendali, kalau luput dapat berputar kembali dan menyerang lawan seperti benda hidup!

   Juga suaranya yang berdesing, mengaung seperti gasing berlubang itu dapat mendatangkan panik kepada lawan. Menghadapi serangan senjata rahasia gelang ini, Lulu tidak bergerak dan seolah-olah tidak melihatnya. Akan tetapi ketika gelang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba ujung rambutnya yang riap-riapan itu seperti hidup, seperti ujung cambuk yang bergerak ke bawah menerima gelang itu, terus melibatnya sehingga gelang itu berhenti gerak luncurnya. Tiba-tiba, kepala Lulu bergerak sedikit dan gelang itu menyambar dengan kecepatan kilat ke bawah, ke arah Maharya! Pendeta India ini terkejut bukan karena diserang oleh senjatanya sendiri karena dengan mudah ia dapat mengelak sehingga gelang itu mengenai papan geladak dan amblas ke bawah, melainkan dia terkejut menyaksikan betapa lihainya wanita yang muncul secara aneh itu.

   "Toanio, siapakah engkau?"

   Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menegur. Pembesar ini pun maklum bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan, maka dia mengambil siasat halus.

   "Dan mengapa pula Toanio membela Pulau Es dan menentang kami dari pemerintah?"

   Lulu tersenyum. Wajahnya memang cantik sekali dan senyumnya amat manis sungguhpun usianya sudah hampir empat puluh tahun, akan tetapi karena keadaannya seperti itu dan mukanya berwarna putih sekali, maka dia seperti mayat tersenyum, menimbulkan rasa ngeri kepada mereka yang memandang dari bawah.

   "Aku siapa tak menjadi soal, yang penting kalian telah mengganggu ketenteraman daerah ini, berlaku curang menyerang tempat yang sedang ditinggal pergi pemiliknya!"

   "Wanita sombong! Bukankah engkau datang dari Pulau Neraka?"

   Maharya membentak marah. Lulu tidak menjadi heran akan dugaan yang tepat ini. Tentu saja orang telah mengenal senjata rahasianya.

   "Kalau benar demikian, engkau mau apa, Pendeta asing yang buruk?"

   "Tak mungkin!"

   Bhong Ji Kun yang mendahului pendeta itu menjawab.

   "Pulau Neraka tak pernah saling bantu dengan Pulau Es, bahkan semenjak pertemuan di pulau muara Huang-ho telah saling bertentangan. Tidak mungkin kalau Toanio dari Pulau Neraka dan mau membantu penghuni Pulau Es!"

   "Mengapa tidak! Kalau kalian berhasil menduduki Pulau Es, tentu kelak akan menyerbu pula Pulau Neraka!"

   Mendengar ini, marahlah koksu itu.

   "Perempuan pemberontak! Berani kau menentang pemerintah? Semua pulau di sini, termasuk Pulau Es dan Pulau Neraka, adalah wilayah kekuasaan kerajaan! Tangkap pemberontak!"

   Para panglima dan pasukan yang berada di geladak segera mengepung tiang itu, dan terdengar Lulu tertawa mengejek, tubuhnya yang bergantung di atap tiba-tiba melayang turun, seperti seekor burung menyambar. Para anak buah pasukan menggerakkan senjata, akan tetapi tiba-tiba mereka menjerit dan robohlah empat orang, tombak mereka patah-patah!

   "Tar-tar-tar!"

   Cambuk di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar dengan serangan dahsyat, bahkan Maharya juga menyusul dengan serangan-serangan yang luar biasa, yaitu senjata aneh bulan sabit yang bergagang pendek.

   "Siuuuuttt.... singgg!"

   Lulu bergerak cepat, berkelebat menghindar dan kakinya menendang roboh seorang perwira di belakangnya sehingga tubuh perwira itu terlempar. Ketika menendang, lengan kiri Lulu menjepit tombak perwira itu, kini tombak itu ia lontarkan menembus perut tubuh perwira yang masih melayang di udara! Semua perajurit menjadi gentar menyaksikan kelihaian wanita itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun dan Maharya sudah menerjang lagi dengan hebatnya.

   Seorang perwira cepat memberi isyarat kepada kapal-kapal lain untuk datang membantu, maka bergeraklah dua buah kapal yang berdekatan, mendekati kapal yang sedang terbakar itu. Sebagian para perajurit sibuk memadamkan api yang membakar bilik kapal. Cuaca sudah mulai gelap dan Lulu mengamuk. Dia maklum akan kehebatan cambuk di tangan Koksu dan senjata bulan sabit di tangan kakek India, maka ia selalu menghindar dengan gerakan lincah sekali, merobohkan banyak perajurit dengan pukulan dan tendangan. Ketika koksu kembali melancarkan serangan dengan cambuknya, Lulu berhasil menangkap ujung cambuk. Koksu malah melangkah dekat dan menghantamkan tangan kirinya dengan pengerahan sin-kang, Lulu menerima dengan ilmu sakti Toat-beng-bian-kun.

   "Cessss!"

   Dua tangan bertemu dan dengan kaget Koksu merasa betapa telapak tangan kirinya bertemu dengan tangan yang lunak sekali sehingga semua tenaganya amblas seperti tenggelam. Lulu telah melepaskan ujung cambuk dan tangan kirinya melayang ke arah pelipis kanan lawan. Koksu terkejut sekali, dan untung baginya bahwa pada saat itu Maharya telah datang menolong, membacok punggung Lulu dari samping. Sambaran angin senjata ini membuat Lulu terpaksa membatalkan pukulannya dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke belakang, kemudian dia terus berloncatan dan sekali melayang dari pinggir kapal, dia telah berada di kapal ke dua yang datang mendekat.

   "Dar-darrrr....!"

   Dua buah senjata rahasia dilepasnya mengenai bilik kapal ke dua sehingga menimbulkan kebakaran.

   Kapal ke dua ini dipimpin oleh Thian Tok Lama. Pendeta ini menyambut kedatangan Lulu dengan serangan maut, sekaligus memukul dengan Ilmu Hek-in-hwi-hong-ciang. Tubuhnya merendah dan perutnya mengeluarkan bunyi. Lulu baru saja melontarkan senjata-senjata rahasianya, terkejut sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi, karena dia kalah dulu, tangkisannya kurang tepat dan tubuhnya terhuyung, dadanya terasa agak sakit. Marahlah wanita ini dan dia menghadapi Lama itu dengan Ilmu Hong-in-bun-hoat yang amat lihai. Ilmu ini adalah ciptaan Bu Kek Siansu, amat indah seperti orang menulis di udara, sesuai dengan namanya, Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastera Angin dan Awan). Namun setiap coretan merupakan gerak tangkisan maupun serangan yang mengandung tenaga sin-kang mujijat.

   Thian Tok Lama segera terdesak dan kalau saja tidak cepat datang Maharya dan Bhong Ji Kun yang melompat ke kapal itu, tentu dia terancam bahaya hebat. Kini munculnya dua orang itu membuat Lulu yang terdesak dan kembali wanita ini mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini menyelinap di antara para pasukan dan merobohkan mereka. Adanya pasukan yang mengepungnya ini malah merupakan rintangan bagi tiga orang sakti itu, karena andaikata tidak ada anak buah pasukan, tentu Lulu akan dapat mereka kejar, kepung dan robohkan dengan pengeroyokan mereka bertiga. Selagi pertandingan yang kacau-balau mengejar dan mengepung Majikan Pulau Neraka itu terjadi di geladak tiga buah kapal di mana Lulu berpindah-pindah dengan loncatannya dan kini yang mengeroyoknya ditambah lagi dengan Thai Li Lama,

   Di ruangan bawah kapal induk pimpinan Bhong Ji Kun tadi terjadi hal lain yang mendatangkan kegemparan baru. Para perajurit yang selosin orang banyaknya, dipimpin oleh Kwee Sui, telah menerima perintah untuk tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan menjaga Kwi Hong yang dianggap seorang tawanan penting. Kwee Sui dan para penjaga yang selosin orang banyaknya itu tenang-tenang saja sungguhpun di geladak terjadi keributan, apalagi ketika mendengar bahwa yang mengacau hanyalah seorang wanita. Betapapun lihainya musuh itu, dia percaya takkan mampu menandingi koksu yang dibantu orang-orang sakti dan pula di atas terdapat banyak sekali pasukan. Maka dia enak-enak saja menjaga dan maki-makian Kwi Hong dilayani sambil tertawa saja.

   "Pengkhianat Kwee Sui! Ingatlah kau, begitu ada kesempatan, yang lebih dulu kuhancurkan adalah kepalamu!"

   Kwi Hong memaki-maki.

   "Hong-moi, manisku, mengapa engkau masih marah-marah terus? Kalau tidak ada aku, apa kaukira masih dapat hidup sampai sekarang ini? Kurasa semua tokoh Pulau Es sekarang telah menjadi mayat! Ingatlah, kita tidak mungkin melawan pemerintah, itu namanya pemberontakan! Tenanglah, dan mari kita bersama menikmati hidup di kota raja, di mana aku akan menjadi seorang pembesar dan engkau menjadi isteriku, menjadi nyonya besar yang terhormat dan kucinta, Manis."

   

Pendekar Super Sakti Eps 37 Pendekar Super Sakti Eps 28 Kisah Pendekar Bongkok Eps 15

Cari Blog Ini