Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 28


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



"Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi ke mana?"

   Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biarpun kedua kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia dan kakek itu ada tujuh meter jauhnya! Bulu tengkuknya berdiri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian manusia! Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh. Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka yang datang, dia lebih celaka lagi!

   Dikerahkannya tenaga sin-kangnya, namun tetap saja tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh girang mempermainkan dara itu. Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun seorang laki-laki berkaki buntung sebelah. Pendekar Super Sakti Suma Han! Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanannya didorongkan ke depan di antara keponakannya dan kakek itu. Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan "terputuslah"

   Tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hidungnya yang kecil mancung itu mencium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor,

   Akan tetapi kulit tubuhnya tidak sampai terluka. Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia melihat pamannya telah berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung rajawali yang kini bertengger di batu karang dan kelihatan tenang-tenang saja. Pamannyalah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh! Suma Han berdiri dengan kaki tunggalnya, bersandar tongkat dan memandang kakek kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun memandang dan agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebetah sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti benang-benang perak itu.

   "Kau.... kau.... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es....?"

   Kakek itu bertanya, suaranya agak gemetar! Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab dan sedang meneliti kakek di depannya. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka yang pucat tak berdarah, dan sukar sekali menaksir usia kakek ini, tentu lebih dari seratus tahun! Juga kulit pembungkus tulang tanpa daging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manusia, maka dia bersikap hati-hati. Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut!

   "Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!"

   Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut kepalanya, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara halus dan hormat,

   "Locianpwe siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?"

   Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata,

   "Aku sudah memenuhi sumpah dan kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka sudah minta maaf. Sekarang, karena kita bertemu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!"

   "Locianpwe dari Pulau Neraka?"

   Suma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia merasa heran sekali.

   "Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?"

   "Ketua Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka, ha-ha-ha! Kamilah yang sebetulnya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua, aku Cui-beng Koai-ong dan Suteku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?"

   Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu.

   "Mengapa Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?"

   "Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman, karena dia itu adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biarkan saja! Kami senenek moyang kami telah disumpah untuk menjadi orang buangan dari Pulau Es, tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin? Maka kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah merupakan umpan agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es. Sayang, ketika kau berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Suteku sedang pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau Neraka, kita sama-sama tidak berpulau, sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratusan tahun itu kita selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayarnya!"

   "Nanti dulu, Locianpwe! Setelah Pulau Neraka dibumihanguskan oleh pasukan pemerintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?"

   Suma Han masih khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya.

   "Dia? Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh dia, akan tetapi mengingat bahwa puteranya menjadi muridku, maka.... eh, sudahlah, banyak ngobrol. Hayo kau kalahkan aku!"

   Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju dengan gerakan aneh namun ganas dan dahsyat sekali ke depan, Suma Han mencelat ke atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek itu debu mengepul menandakan betapa hebatnya pukulan tadi.

   "Kwi Hong, pergilah, tempat ini berbahaya untukmu!"

   Suma Han berkata ketika melihat keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya. Mendengar kata-kata yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak menyaksikan pamannya yang sudah bertanding dengan kakek itu.

   Matanya menjadi silau dan pandang matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nyawa saja, dan sama sekali tidak akan menguntungkan pamannya. Li-mo-kiam, sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini, Kwi Hong lalu meninggalkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma Han menjadi agak lega hatinya. Lawannya ini berbahaya sekali, biarlah andaikata dia sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa juga melihat betapa keponakannya itu lari seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata bernyali demikian kecil.

   "Desss!"

   Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat bertumbukan ketika Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai lima langkah.

   "Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan kesaktian Bu Kek Siansu. Aku masih sanggup menandingimu, ha-ha!"

   Kakek itu tertawa dan siap menerjang lagi.

   "Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Suma Han biarpun tinggal di Pulau Es dan menjadi pemimpin di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke Pulau Neraka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan tetapi perlu apa kita bertanding mati-matian sedangkan kita mengalami nasib yang sama? Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita harus saling gempur sendiri?"

   "Cukup banyak bicara! Dendam Pulau Neraka yang turun-temurun harus dilunasi sekarang juga!"

   Kakek itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang, atau seperti sebatang tombak dilontarkan menuju ke tubuh Suma Han. Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya menjejak tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas mengelak. Kakek itu menahan luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah mengirim pukulan derhsyat yang tidak dapat ditariknya kembali, dan terus hawa pukulan itu menghantam jauh ke depan.

   "Brakkkk!"

   Batu karang di mana burung rajawali bertengger itu hancur. Burung itu terbang dan memekik ketakutan, kemudian hinggap di atas batu karang yang lebih tinggi lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan.

   "Bukan main."

   Suma Han diam-diam memuji,

   "Kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi."

   Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang, Ilmu Soan-hong-lui-kun membuat tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari, seolah-olah seekor kumbang yang beterbangan di atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan memuji.

   "Bukkk!"

   Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia hanya tergetar saja dan terhuyung, sama sekali tidak terluka, padahal tamparan Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan sebatang pohon yang besarnya setubuh manusia! Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena dengan Ilmunya Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandinginya dalam hal kecepatan, juga dalam hal tenaga sin-kang, keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya ketika mereka tadi mengadu tenaga dan saling terpental ke belakang.

   Akan tetapi kakek ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menyerang dengan tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya. Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok kepala kakek itu. Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat tongkatnya mengenai kepala dan diam-diam Suma Han menyesal karena sesungguhnya dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.

   "Trakkk!"

   Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan tetapi sama sekali tidak terluka! Bukan main! Kalau kekebalannya itu sudah menjalar sampai ke kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana dia harus mengalahkan kakek ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu.

   Dan dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang matanya yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan pukulan maupun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat ditangkis dengan lengan tangannya yang biarpun hanya tulang terbungkus kulit, namun amat kuat dan kebal itu. Diam-diam Suma Han menghela napas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan dapat menang? Tubuh lawan tak dapat dia lukai, sedangkan dia selalu harus mengelak dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu, sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat bertahan kalau begini? Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong juga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat cepatnya,

   Mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit ke bukit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk menyerang dengan tepat. Tiba-tiba Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan sebelah kakinya, kedua lengannya bersedekap dan tongkatnya dikempit. Tiba-tiba dari ubun-ubun kepala Pendekar Siluman itu keluar bayangan Suma Han yang memegang tongkat dan bergerak-gerak hendak melawan kakek itu. Sejenak kakek itu melongo, kemudian terkekeh-kekeh dan tanpa mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma Han yang masih bersila.

   "Aihhhh!"

   Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini juga kebal terhadap kekuatan mujijat! Dia mencoba lagi, mengerahkan pandang matanya dan membentak,

   "Cui-beng Koai-ong, robohlah!"

   Dengan tongkatnya ia menuding dan baik dalam sinar mata, maupun dalam suara dan gerakan tangannya itu terkandung hawa mujijat yang amat berpengaruh.

   "Heh-heh, nanti dulu. Aku belum kalah mana mau roboh?"

   Jawab kakek itu dan menyerang terus. Suma Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mujijat dalam dirinya, tidak mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali bertapa di antara mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia itu, sehingga dia telah memiliki kekebalan terhadap segala pengaruh batin dan ilmu sihir. Pertandingan dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan ilmu-ilmunya yang tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan, batu-batu karang yang berdekatan pecah berantakan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tumbang, mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari jauh, pantasnya ada dua ekor gajah yang mengamuk dan saling serang itu, bukan seorang kakek yang seperti mayat hidup dan seorang yang sebelah kakinya buntung.

   "Heh-heh, aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!"

   Tiba-tiba kakek itu berkata dan.... dia melempar tubuh ke belakang, kakinya mencelat ke depan dan menendang bergantian ke arah muka dan pusar Suma Han. Pendekar ini terkejut sekali, merendahkan tubuh mengelak tendangan ke mukanya dan menangkis dengan tangan kirinya ke arah kaki yang menendang pusar.

   "Desss!"

   Tubuh kakek itu terpelanting dan dia bergulingan sambil menyeringai, akan tetapi ia segera bergulingan dan rebah terlentang! Suma Han menjadi girang karena maklum bahwa dia menemukan titik kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada telapak kakinya. Buktinya, kalau bagian tubuh lain amat kebal, telapak kaki itu ketika bertemu dengan tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan bahwa telapak kakek itu tidaklah sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah mencelat ke atas dan melihat kakek itu rebah terlentang, dia segera meluncur turun dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya mendorong ke atas.

   "Wusss.... bukkk!"

   Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke atas tanah, akan tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan main akan ilmu kakek yang aneh ini. Kiranya dengan tubuh terlentang itu, pukulan Si Kakek menjadi berlipat ganda kuatnya, seolah-olah kakek itu telah mempergunakan daya tahan bumi! Dan kakek itu tertawa, tetap terlentang.

   "Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong berloncatan itu sekarang!"

   Suma Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik sekali. Kelihaian Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak kaki tunggal yang memantul menurut keseimbangan tubuh yang berkaki satu, dan dengan kecepatan itu membingungkan lawan dan dapat mengirim serangan tiba-tiba dari samping, depan atau belakang lawan. Kini kakek itu hanya rebah terlentang, tentu saja tubuh bagian belakang terlindung tanah, juga sukar menyerang dari kanan-kiri. Satu-satunya tempat untuk diserang hanyalah depan dan yang depan ini terlindung oleh kedua tangan kakek yang mempunyai kekuatan lipat ganda setelah rebah terlentang itu.

   Benar-benar sukar mengalahkan kakek ini. Namun Suma Han yang juga merasa penasaran, masih terus menyerang dengan tongkat dan tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek itu sambil "tiduran"

   Seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan turun berdiri ke atas tanah, tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu meluncur dan menyerangnya dengan dahsyat, bagaikan tombak besar dilontarkan kepadanya! Dan kalau dia menggunakan Soan-hong-lui-kun, kembali kakek itu rebah terlentang! Dua ratus jurus lewat dan pertandingan antara dua manusia sakti dan aneh itu masih berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan belum ada yang terdesak. Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han bertemu dengan lawan yang begini lihai, yang kesaktiannya mengatasi semua lawan sakti yang pernah dilawannya.

   "Heh-heh-heh, kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba sekarang kau terima ini!"

   Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba mengeluarkan pekik dahsyat yang mendirikan bulu roma, tidak seperti manusia lagi dan tubuhnya sudah mencelat dan menubruk ke arah Suma Han dengan kedua tangan terpentang.

   Dari kedua tangan itu menyambar hawa yang berputar-putar seperti angin puyuh dan Suma Han mak-lum bahwa kalau dia mengelak, ada bahayanya dia terkena sambaran angin pukulan itu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyambut pukulan itu, mengadu sin-kang, keras lawan keras. Apalagi dia memang sudah bosan untuk terus bermain kucing-kucingan dengan kakek ini, maka jalan satu-satunya untuk menentukan kemenangan hanyalah mengadu tenaga sin-kang yang ia percaya tidak akan kalah mengingat bahwa dia telah berlatih sampai matang di Pulau Es. Suma Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangannya menerima dorongan kakek itu.

   "Jieeetttt!"

   Dua pasang tangan bertemu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk, saling mengerahkan sin-kang yang mengalir penuh melalui kedua pasang tangan mereka.

   Pertandingan mati-matian terjadi karena kini tidak ada lagi istilah mengelak. Yang ada hanya saling menekan dan mendorong, dan siapa kalah kuat tentu akan binasa! Kedua orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu nyawa, lebih mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Keduanya berdiri tanpa bergerak, tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Akan tetapi kalau orang melihat kedua kaki Si Kakek dan kaki tunggal Pendekar Super Sakti, orang akan terkejut melihat kaki mereka itu amblas ke dalam tanah sampai selutut! Lebih dari setengah jam mereka mengadu sin-kang ini. Dari ubun-ubun kepala Suma Han keluar uap putih, sedangkan dari kepala botak kakek itu mengepul uap kehitaman.

   Muka kedua orang sakti itu penuh keringat yang besar-besar dan mata mereka saling pandang tanpa berkedip. Pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah datang dengan pedang di tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat. Li-mo-kiam sebatang dari Sepasang Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi, Kwi Hong yang melihat betapa pamannya mengadu sin-kang dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya, lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu. Cui-beng Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti kilat yang mendatangkan hawa yang mujijat itu, tahulah dia bahwa pedang itu merupakan pusaka yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik mengerikan, dari mulutnya menyembur darah merah ke arah muka Suma Han.

   Pendekar sakti ini kaget, cepat dia pun mengerahkan tenaganya sekuatnya mendorong, membarengi gerakan kakek itu yang juga mendorong dan keduanya terpental ke belakang, sedangkan pedangnya tidak mengenai sasaran. Melihat pamannya terpental dan terhuyung, juga kakek itu terhuyung, Kwi Hong cepat menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata kakek itu. Sekali ini, Cui-beng Koai-ong tidak berani menangkis, hanya cepat mengelak dan tangannya meluncur ke depan, hendak merampas pedang sedangkan tangan kanannya mencengkeram kepala Kwi Hong. Dara itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir terampas sembil melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja pundaknya tersentuh jari tangan kakek itu dan ia terpelanting, merasa betapa seluruh pundak kirinya seperti lumpuh!

   "Heh-heh-heh, pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!"

   Kakek ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar pedang melindungi tubuhnya.

   Untung ia melakukan hal ini karena kalau hanya mengelak, tentu dia akan celaka. Kecepatannya masih kalah jauh, tidak dapat mengelak hawa sin-kang kakek yang luar biasa itu. Akan tetapi begitu ia memutar pedang, membuat pedang itu membentuk gulungan sinar yang merupakan perisai bagi tubuhnya, kakek itu tidak berani menyerangnya. Suma Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa hawa panas menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan napas dan tahulah dia bahwa adu tenaga tadi telah membuat dia terluka sebelah dalam tubuhnya! Dia tidak tahu bahwa kakek itu pun terluka di sebelah dalam, dan karena Si Kakek nekat menyerang Kwi Hong maka tidak tampak bahwa kakek itu pun terluka. Karena khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan melarikan diri karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka Suma Han berkata,

   "Kwi Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!"

   Biarpun seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong, akan tetapi tanpa ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari gulungan sinar pedang itu meluncur sinar kilat yang membabat ke arah telapak kedua kaki Cui-beng Koai-ong! Kakek ini kaget, sama sekali tidak mengira bahwa rahasianya telah diketahui Suma Han, maka tentu saja dia tidak mau membiarkan bagian tubuhnya yang tidak begitu kebal itu tertusuk atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang itu, terpaksa ia mengibaskan tangannya menangkis.

   "Crakkk!"

   Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari kelingking tangan kiri kakek itu pun terbabat putus oleh Li-mo-kiam! Anehnya, tidak ada darah keluar dari luka itu! Si Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma Han cepat meloncat pula ke depan.

   "Bresss!"

   Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar lagi ke belakang. Suma Han merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, akan tetapi kakek itu masih dapat bangkit dengan cepat. Kwi Hong melihat bahwa pamannya tetap duduk di atas tanah, akan tetapi kakek itu pun berdi-rinya bergoyang-goyang tidak tegak lagi. Melihat ini, dan karena hatinya besar menyaksikan betapa pedangnya dapat membuntungi kelingking lawan, ia menerjang lagi, menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah kepala. Kini dia merasa yakin bahwa pedangnya akan dapat menembus kekebalan kakek luar biasa itu.

   "Trangggg.... aihhhh!"

   Kwi Hong menjerit kaget ketika pedangnya tertolak ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah yang memegang pedang persis pedangnya sendiri, hanya agak lebih panjang! Ternyata pedang pemuda itu sanggup menandingi pedangnya dan ia teringat kini wajah yang tampan itu, dan ingat pula akan cerita Bun Beng, bahwa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera Pulau Neraka.

   "Kau....? Keparat....!"

   Dia membentak. Akan tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan kirinya, kemudian setelah memandang dengan mata mendelik penuh kebencian kepada Suma Han, lalu meloncat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, meninggalkan pantai itu.

   "Tunggu, jahanam....!"

   Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.

   "Kwi Hong, jangan kejar....!"

   Suma Han berseru. Dara itu berhenti, menengok dan terkejutlah dia ketika melihat pamannya muntahkan darah segar dari mulutnya.

   "Aihhh, Paman....!"

   Ia meloncat menghampiri. Akan tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuhnya.

   "Tidak apa-apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi gerakannyapun hebat. Kalau kau mengejar, bisa berbahaya.... coba ambilkan tongkatku...."

   Kwi Hong mencabut tongkat pamannya dan menyerahkan kepadanya.

   "Mari kita menemui bibimu Phoa Ciok Lin...."

   Katanya menuding dan dari utara tampak Phoa Ciok Lin datang berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang tokoh Pulau Es yang membawa senjata. Mereka sudah mendengar dari Kwi Hong akan munculnya kakek sakti dan hendak membantu. Alis Ciok Lin berkerut penuh kekhawatiran ketika ia melihat Suma Han terluka, namun Suma Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung rajawali yang segera terbang turun.

   "Rajawali Pulau Neraka...."

   Katanya tersenyum duka.

   "Beterbangan bingung kehilangan tempat, dapat kutundukkan.... kau pelihara baik-baik Kwi Hong. Mari kita ke tempat kalian.... aku perlu mengaso...."

   Dengan perawatan penuh perhatian dan teliti oleh Phoa Ciok Lin, Suma Han mengobati sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur napas dan bersamadhi. Dia seringkali tampak termenung memikirkan perkembangan hidupnya yang makin diselimuti kesukaran dan kegagalan. Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia teringat akan Nirahai dan Lulu, dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan pemerintah. Di dalam perjalanannya, dia mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah hancur dan terbakar.

   Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat anak buahnya yang telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma Han mengubur semua mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan pulau itu dan cepat menuju ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar bahwa pulau ini pun menjadi sasaran penyerbuan pasukan pemerintah pula. Juga di pulau ini dia melihat kehancuran, hanya tidak ada sebuah pun mayat di situ. Di pulau inilah ia bertemu dengan rajawali yang dapat ia tundukkan ketika rajawali yang kebingungan itu menyerangnya. Kemudian dia menunggang rajawali, dengan niat untuk mencari Maharya, merampas Hok-mo-kiam dan menghukum orang-orang yang telah menghancurkan kedua pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu Bhong Ji Kun.

   Akan tetapi, dia tidak berhasil menemui mereka karena mereka itu pergi ke Cui-lai-san, di mana di-adakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas undangan Thian-liong-pang. Suma Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari udara. Dia tidak akan mau mencampuri, karena dia maklum bahwa pasukan pemerintah pasti tidak akan mudah dilawannya dan dia harus menanti kesempatan yang lebih baik untuk menghadapi Bhong Ji Kun dan pembantu-pembantunya, tanpa ribuan orang pasukan yang menjaganya. Maka terbanglah rajawali itu ke utara, di mana dia tahu tentu bersembunyi sisa anak buahnya di pantai utara yang telah ia beritahukan Phoa Ciok Lin sebagai tempat mengungsi kalau terjadi sesuatu di Pulau Es.

   Memang jauh sebelum peristiwa menyedihkan di Pulau Es, Suma Han telah bersiap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat pergi mengungsi karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak buah Pulau Neraka bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang yang makin besar kekuasaan dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap memusuhi Pulau Es. Demikianlah, secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya terancam oleh kakek yang amat lihai sehingga akhirnya dia sendiri terluka. Kurang lebih sebulan kemudian, sembuhlah lukanya, akan tetapi kembali Suma Han harus mengalami tekanan batin ketika mendengar bahwa Kwi Hong telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit, tidak tahu ke mana perginya dan tak seorangpun mengetahui apa kehendak dara yang kadang-kadang memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu, Suma Han menghela napas panjang.

   "Biarlah, dia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya aku khawatir, dengan pedang itu di tangannya, akan terjadi banyak bencana. Mudah-mudahan saja tidak demikianlah."

   "Taihiap, mengapa kau tidak minta saja pedang itu? Sepasang Pedang Iblis adalah pedang yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji memiliki dasar yang baik dan kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan pedang itu benar-benar mengandung hawa yang mengerikan."

   "Hemmm, betapa mungkin kuminta? Pedang itu adalah pemberian Gak Bun Beng, aku tidak berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke tangan Tuhan, dan aku sendiri akan mencari Hok-mo-kiam, karena hanya dengan Hok-mo-kiam sajalah Sepasang Pedang Iblis dapat ditundukkan. Yang berada di tangan Kwi Hong kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan tetapi yang berada di dangan anak itu...."

   Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah pemuda tampan murid Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian. Pemuda itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!

   "Anak yang mana, Taihiap? Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?"

   Suma Han mengangguk

   "Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka...."

   "Aihhhh....!"

   Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia sampai lupa diri dan menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar akan hal ini, cepat-cepat dia menarik kembali tangannya dan menarik napas panjang.

   "Putera.... Lulu....?"

   Suma Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan orang lain, seperti bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak kecil adalah wanita inilah. Tentu Kwi Hong telah menceritakan semua pengalamannya ketika terculik di Pulau Neraka.

   "Lalu.... bagaimana baiknya, Taihiap?"

   "Aku harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku harus menghajar mereka yang menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Aku harus mencari Lulu dan Nirahai.... dan aku akan mengumpulkan Sepasang Pedang Iblis untuk kuhancurkan agar kelak jangan menimbulkan banyak keributan lagi di dunia ini,"

   Kata Suma Han dengan suara tegas. Ciok Lin menghela napas panjang lagi.

   "Mudah-mudahan kau berhasil, Tai-hiap. Terutama sekali.... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan berhasil berkumpul lagi dengan mereka...."

   Terdengar suara wanita itu yang mengandung isak tertahan. Kini Suma Han yang menggerakkan tangan memegang lengannya.

   "Ciok Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung di dalam hatimu, dan aku merasa betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku. Akan tetapi, engkau pun tentu tahu pula akan keadaan hatiku, Ciok Lin. Andaikata tidak ada kedua orang wanita itu di dunia ini, aku tentu akan berbahagia sekali hidup bersamamu. Akan tetapi, mereka...."

   Phoa Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehingga dua titik air mata yang bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa diri tersenyum dan memaksa wajahnya berseri ketika berkata.

   "Taihiap, saya mengerti bahwa hidupmu hanya untuk Lulu dan Nirahai.... dan saya bukanlah seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya akan merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup bahagia bsrsama mereka."

   Suma Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh rasa syukur dan berterima kasih.

   "Engkau seorang wanita yang amat mulia, Ciok Lin,"

   Katanya dan kata-kata ini memang keluar setulusnya dari dalam hati. Dia maklum bahwa cinta kasih seperti yang terdapat di hati Ciok Lin terhadap dirinya itulah yang mcrupakan cinta kasih murni,

   Cinta yang bebas dari rasa sayang diri, bersih dari rasa ingin memiliki dan ingin senang untuk diri sendiri, melainkan seratus prosen ditujukan untuk melihat orang yang dicinta berbahagia. Phoa Ciok Lin makin berseri wajahnya. Dia maklum bahwa biarpun semenjak tinggal di Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah yang tiada keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula siapa orang yang dicintainya. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat mengharapkan cinta kasih Suma Han terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau dapat bersahabat dengan pendekar ini, apalagi dianggap sebagai seorang sahabat yang baik! Melihat betapa pelimpahan cintanya membuat pendekar itu makin merasa berdosa dan berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan pertanyaan yang serius.

   "Taihiap, kalau engkau pergi mencari Hok-mo-kiam dan memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah dengan anak buah kita? Agaknya pada waktu seka-rang, tidak mungkin lagi bagi kita untuk kembali ke Pulau Es, dan untuk membiarkan mereka tinggal di tempat ini sebagai buronan yang bersembunyi, amat menyengsarakan mereka pula. Apakah yang harus saya lakukan, Taihiap?"

   "Engkau benar, Ciok Lin. Memang telah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahulu aku tidak bermaksud mendirikan sebuah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya karena kasihan melihat anak murid In-kok-san dan para bekas pejuang yang tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau yang banyak penghuninya dan aku dianggap sebagai Majikan atau Ketua Pulau Es. Karena pulau kita terkenal, maka timbullah penentang-penentangnya dan hal itu sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, setelah kini pulau kita dihancurkan pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pulau Es. Kau keluarkan semua pusaka dan harta yang dapat kau larikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu kepada mereka agar mereka dapat menggunakannya sebagai modal dan hidup di dunia ramai, membentuk keluarga yang bahagia. Semua itu kuserahkan kepadamu untuk mengatur seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin."

   "Ohhh, saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan terbaik. Akan tetapi, mengerjakan perintah Taihiap itu dapat saya selesaikan sebentar saja, harap Taihiap suka menyaksikannya dan meninggalkan kata-kata perpisahan untuk mereka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya untuk.... pergi bersama Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan menemukan kembali kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan mengganggu, saya.... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang Taihiap cinta, selama-lamanya...."

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ciok Lin, harap jangan bicara seperti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan. Bhong-koksu dan teman-temannya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan, apalagi kini muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin. Engkau belumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu. Engkau masih belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk sebuah keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan, biarlah aku pergi lebih dulu sekarang juga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan."

   Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu untuk membantah, Suma Han menekankan tongkatnya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang duduk anteng di atas punggung rajawali itu. Phoa Ciok Lin kini tidak dapat menahan lagi air matanya yang turun bercucuran ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan kedua tangan sedangkan mulut-nya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar dari lubuk hatinya.

   "Duhai, Suma Han.... betapa aku dapat menikah dengan orang lain? Apa artinya hidup bagiku kalau (Lanjut ke Jilid 27)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27
harus berpisah dari sampingmu?"

   Beberapa hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembunyian para penghuni Pulau Es itu menjadi sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi mencari jalan hidup masing-masing dan orang terakhir yang meninggalkan tempat itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi masih cantik, berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar matanya mengandung kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang wanita ber-ilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang kang-ouw! Ke mana perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah lama sekali dia terdorong oleh hasrat untuk pergi meninggalkan pantai laut, pergi merantau.

   Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun Beng! Semenjak dia ditolong oleh pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada pemuda itu. Setelah pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus mambantu Ciok Lin monjaga para anak buah Pulau Es yang mangungai di situ, menanti sampai pamannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biarpun pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis bertanding melawan kakek yang seperti mayat hidup itu,

   Namun dia percaya bahwa pamannya yang sakit akan dapat sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di situ, tenaga bantuannya tidak dibutuhkan lagi. Dengan sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong meninggalkan pantai, melakukan perjalanan cepat barlari-larian menuju ke selatan, melalui sepanjang pantai laut. Dia merasa gembira, merasa bebas seperti seekor burung di angkasa. Dia akan memperlihatkan kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa yang akan membalas terhadap mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es! Dia akan memperlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu memberi pedang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya karena dengan pedang itu,

   Dia akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan membasmi penjahat-penjahat, akan melakukan hal-hal yang lebih hebat daripada yang telah dilakukan oleh guru dan pamannya, Pendekar Siluman! Langkahnya cepat sesuai dengan hatinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan sinar matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun! Wajahnya bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua di belakang kepala, dijadikan dua buah kuncir yang besar dan dibiarkan bermain-main di punggung dan pundaknya kalau dia berjalan. Anak rambut halus berjuntai di atas dahi dan di depan kedua telinganya, melingkar indah seperti dilukis.

   Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-sinar penuh gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bahkan ada sinar memandang rendah kepada segala apa yang dihadapinya. Hidung-nya mancung dan mulutnya dijaga sepasang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali berubah-ubah, kalau tersenyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut amat menyeramkan seperti awan gelap mengandung kilat. Pakaiannya terbuat daripada sutera berwarna yang halus mahal, akan tetapi bentuknya sederhana. Betapapun juga, segala macam pakaian yang menempel di tubuh itu takkan mungkin mampu menyembunyikan bentuk tubuh dara yang sudah padat dan masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat, seolah-olah hendak memberontak dari kungkungan pakaian yang mengurungnya.

   Ketika dia berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa dibuat-buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh keserasian, mengandung daya tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata kaum pria! Setelah melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi Liau-neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat daripada musuh-musuh yang harus dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau Es itu datang dari kota raja dan dipimpin oleh Koksu negara yang tentu berdiam di kota raja?

   Sebelum Bun Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es mengungsi, pemuda itu sudah menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang membantu Koksu menghancurkan Pulau Es. Mereka adalah kedua orang Lama yang menurut pamannya amat lihai dan adalah musuh-musuh lama pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama dan ditambah lagi dua orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya! Dia harus mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk membalas kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk berusaha merampas kembali Hok-mo-kiam dari tangan Si Sasterawan Gila, Tan-siucai. Dia maklum bahwa semua lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan tetapi dia tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan siapapun juga.

   Bahkan kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu melawan dan mendesaknya! Apalagi yang lain-lain itu! Siapa lagi musuh-musuhnya? Demikian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan perjalanannya. O, ya! Thian-liong-pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang yang menurut kabar adalah perkumpulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang pernah menculiknya adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang pamannya untuk memusuhi.... eh, siapa namanya? Oh, dia ingat sekarang. Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan memusuhi Bibi Lulu, akan tetapi bocah kurang ajar itu! Kwi Hong menggigit bibirnya dengan gemas kalau teringat kepada Wan Keng In! Bocah itu tentu putera Bibi Lulu, pikirnya.

   Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu ketika masih kecil saja sudah nakal luar biasa. Apalagi sekarang! Dan ketika menolong Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam berada di tangan-nya! Dia harus mengalahkan bocah itu dan merampas Lam-mo-kiam karena sebetulnya Bun Beng yang berhak atas pedang itu! Hari telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu memasuki dusun Kang-san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu masuk ke sebuah restoran di pinggir jalan. Ketika para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandangnya dengan terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki memandangnya terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia alami semenjak dia berusia lima belas tahun dan melakukan perantauannya keluar Pulau Es.

   Mula-mula memang dia marah-marah dan seringkali dia menghajar pemilik mata yang memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing melihat daging itu, akan tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak mengacuhkan lagi ketika semua laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyambut kehadirannya dengan mata terbelalak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi Hong bahwa dia adalah seorang dara yang cantik menarik. Teringat akan ini, makin girang hatinya karena terbayang olehnya betapa di antara sekian banyaknya mata laki-laki yang bengong mengagumi-nya terdapat sepasang mata Bun Beng! Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.

   "He, Bung Pelayan! Ke sinilah!"

   Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga berdiri di sudut melongo memandangnya. Ketika ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aih, pandang mata mereka itu tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm, apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka apa sih? Tak puas hati Kwi Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia membentak,

   "Heii, mengapa semua orang memandangku seperti anjing-anjing takut digebuk?"

   Seketika mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pandang mata ke bawah, bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.

   "Maaf.... maaf.... Lihiap. Kami.... eh, kami tidak apa-apa, hanya kagum melihat kegagahan Lihiap...."

   "Hushhh! Bohong kamu!"

   Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja.

   "Kressss!"

   Ujung meja kayu itu patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu hancur menjadi tepung!

   "Hayo terus terang bicara kalau hidungmu tidak lebih keras daripada kayu ini!"

   Kwi Hong men-desis lirih, akan tetapi penuh ancaman. Otomatis tangan kiri Si Pelayan meraba hidungnya, matanya melotot memandang tangan dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan remuk kalau kena dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah sampai kepala dan lehernya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia bicara,

   "Maafkan saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum melihat Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu sering kali muncul gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Entah betapa banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama beberapa hari terjadi pertandingan-pertandingan yang menggegerkan penduduk, terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu melihat Lihiap, kami menyangka bahwa Lihiap tentulah seorang di antara mereka dan kami kagum sekali."

   Kwi Hong sudah menjadi sabar kembali.

   "Hemm, buka mata lebar-lebar sebelum menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi godok istimewa!"

   "Istimewa? Maksud Lihiap....?"

   "Bodoh! Bakmi istimewa berarti pakai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!"

   "Eh, araknya pakai telur?"

   Pelayan itu melongo.

   "Tolol kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di sini."

   Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya tidak marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang dianggapnya bodoh itu, apalagi ada beberapa orang tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli biarpun mereka menyembunyikan tawa mereka dengan menutupi muka atau memutar tubuh membelakanginya. Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara derap kaki kuda itu berhenti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para penunggang kuda yang duduk tegak di atas punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan pimpinan mereka adalah seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong tertarik sekali.

   "Siapakah mereka itu?"

   Tanyanya kepada pelayan yang sedang menaruh pesanannya ke atas meja dengan sikap hormat.

   "Ah, sekarang saya yakin bahwa Nona bukanlah seorang di antara mereka. Mereka itulah rombongan yang saya ceritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun ini, setiap malam terjadi pertandingan dan pada keesokan harinya tampak macam-macam orang bergelimpangan."

   "Mayat-mayat siapa?"

   "Orang-orang yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini."

   "Apakah rombongan itu orang jahat?"

   "Sukar dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin mereka selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan tetapi, kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka itu memiliki kepandaian seperti iblis!"

   "Hemmm...."

   Kwi Hong mulai menyumpit bakminya, akan tetapi sebelum memasukkannya ke mulutnya yang kecil dia bertanya lagi.

   "Rombongan orang apakah itu! Dan apa namanya?"

   "Saya tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang yang...."

   "Hem, Thian-liong-pang?"

   Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti dan Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan.

   "Kudengar tadi kuda mereka berhenti tak jauh dari sini, mereka ke mana?"

   "Mereka bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini, hanya terpisah tujuh rumah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu, terpaksa harus meninggalkan penginapan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada belasan orang. Hemm, hati para penduduk menjadi gelisah terus selama mereka berada di sini, Nona. Sungguhpun kami tidak pernah diganggunya, akan tetapi semenjak mereka datang, suasana menjadi penuh ketegangan dan hati siapa tidak akan menjadi ngeri kalau melihat hampir setiap malam terjadi pembunuhan? Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi tentang mereka."

   Pelayan itu pergi dan Kwi Hong menjadi panas hatinya. Hemm, orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini?

   Harus dia selidiki! Malam hari itu Kwi Hong menyembunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandaiannya meloncat ke atas genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus oerloncatan, mengerahkan gin-kangnya sehingga kedua kakinya tidak menimbulkan suara gaduh, terus berlompatan menuju ke rumah penginapan di mana bermalam orang-orang Thian-liong-pang yang akan dia selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan rumah, kelihatan sunyi sekali.

   Tiba-tiba Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian gelap ketika pandang matanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang dari sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng mempergunakan gin-kang yang cukup lumayan. Ketika mereka lewat dekat, Kwi Hong dapat memandang wajah mereka di bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan yang menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang. Mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua, yang dua orang berpakaian seperti peranakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang berpakaian seorang pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah mengherankan karena di dusun itu yang termasuk Propinsi Liu-neng, daerah utara, banyak terdapat orang-orang bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi.

   Akan tetapi yang membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka. Mereka tentu bukan orang biasa, karena mereka menggunakan jalan di atas genteng seperti dia. Tentu mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong untuk melakukan hal ini karena tingkat gin-kang mereka itu masih jauh di bawahnya sehingga dia dapat membayangi mereka tanpa mereka ketahui. Jantungnya berdebar tegang ketika ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke rumah penginapan di mana orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi tempat yang akan diselidikinya. Apakah tiga orang itu anggauta rombongan mereka? Pertanyaan ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara mereka, yang berpakaian sasterawan atau pelajar, berseru nyaring,

   "Manusia-manusia penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhianat bangsa! Keluarlah kalian! Kami bertiga, Sepasang Biruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok, datang untuk membalas kematian kawan-kawan seperjuangan kami!"

   Kwi Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ dan memandang ke depan penuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut Thian-liong-pang sebagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang ini dan mengapa pula Thian-liong-pang mereka sebut pengkhianat bangsa?

   Sepanjang pendengarannya Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah perkumpulan atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah pengkhianat bangsa. Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka dia mengambil keputusan untuk mendengarkan dan menonton saja tanpa mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti bahwa Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah dia akan turun tangan membasmi mereka! Tiba-tiba suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang berpakaian sasterawan yang bernama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil Besi) itu,

   "Heeiii, kalian orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah pemberontak hina yang menggunakan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk mengelabuhi mata rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang yang mencari kedudukan dan kesempatan untuk merampok? Kalau sudah bosan hidup, turunlah!"

   "Ha-ha-ha! Orang lain boleh jadi takut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Biruang dari Utara tidak takut kepada siapapun juga!"

   Seorang di antara kedua orang peranakan Mongol tadi tertawa bergelak, perutnya yang gendut berguncang.

   "Kalian hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang berani!"

   Kembali suara halus tadi menantang. Tiga orang itu mencabut senjata masing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok mencabut sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat daripada besi, sedangkan kedua orang Mongol itu mencabut sepasang tombak pendek masing-masing, kemudian ketiganya melayang turun ke pekarangan belakang rumah penginapan yang diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan cepat, seperti tiga ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di atas tanah, ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar melindungi tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan. Akan tetapi ternyata tidak ada senjata rahasia yang menyambar ke arah mereka,

   

Pendekar Super Sakti Eps 37 Pendekar Super Sakti Eps 37 Kisah Pendekar Bongkok Eps 16

Cari Blog Ini