Ceritasilat Novel Online

Kisah Pendekar Bongkok 16


Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Ling Ling...."

   Katanya lirih.

   "Biarkan aku mati saja.... ah, biarkan aku mati saja...."

   Gadis itu berbisik-bisik dan tangisnya mengguguk. Dengan kedua tangannya, Sie Liong memegang pundak gadis itu dan menariknya bangun
berdiri.

   "Ling Ling, jangan berkata demikian! Kalau engkau memang nekat dan berani menghadapi kesengsaraan, baiklah, aku suka menerimamu."

   Kedua tangan itu menurun dari depan mata, mata itu terbelalak, air matanya masih menetes-netes, muka itu masih pucat, akan tetapi mulut itu mengembangkan senyum.

   "Benarkan, taihiap? Ah, Terimakasih....! Aku tidak akan sengsara. Aku akan menjaga agar taihiap tidak sengsara! Aku siap menghadapi segala kesukaran tanpa mengeluh. Dan aku dapat bekerja, taihiap. Aku memiliki keahlian menyulam indah, dan dengan itu aku akan dapat mencari uang untuk dipakai keperluan kita sehari-hari! Ah, aku berbahagia sekali, Terimakasih, taihiap.... Terimakasih...."

   Pada saat itu terdengar suara sorak sorai dan ketika mereka menengok, nampak rumah itu telah dibakar. Api bernyala besar dan orang-orang dusun itu bersorak gembira. Kernudian mereka berbondong menghampiri Sie Liong, dipimpin oleh Gumo Cali, dan mereka kembali menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu, menghaturkan Terimakasih.

   "Saudara sekalian tidak perlu berterimakasih kepadaku. Kuharap saja mulai sekarang saudara sekalian dapat mempersatukan tenaga untuk menjaga keamanan dusun sendiri. Sekarang, perkenankan aku pergi."

   Pendekar Bongkok meninggalkan tempat itu dan Ling Ling mengikutinya. Semua orang memandang dengan heran melihat gadis itu ikut pergi bersama Pendekar Bongkok, namun tidak ada seorangpun yang berani bertanya.

   Mereka hanya mengira bahwa pendekar itu tentu hendak mengantarkan gadis yang tidak dijemput orang tuanya itu ke dusunnya sendiri. Merekapun bubaran dengap hati gembira karena gadis-gadis itu ternyata dalam keadaan selamat. Nama Pendekar Bongkok lebih dikenal daripada nama Sie Liong di dusun itu dan mereka takkan pernah melupakan pertolongan yang diberikan pendekar itu dalam mengusir para penjahat yang menyamar sebagai setan merah penculik gadis-gadis remaja yang cantik.

   "Ling Ling, aku mau mengajakmu pergi, akan tetapi engkau harus mentaati semua permintaanku,"

   Demikian Sie Liong berkata setelah dia dan gadis itu berada di kaki Bukit Onta, jauh dari para penduduk dusun.

   Wajah yang manis itu basah oleh keringat. Sejak tadi, Sie Liong berjalan saja, seolah tidak memperdulikan gadis yang berjalan di belakangnya, bahkan kadang-kadang dia melangkah lebar sehingga Ling Ling terpaksa harus setengah berlari untuk mengikutinya. Sie Liong mendengar langkah kaki pendek-pendek itu, dan mendengar pula betapa pernapasan gadis itu mulai membu-ru. Akan tetapi, sedikitpun dia tidak pernah mendengar gadis itu mengeluh. Kini, dia berhenti dan berkata demikian sambil menatap wajah itu. Wajah itu basah oleh keringat, dan napas gadis itu agak memburu namun wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan sedikitpun kekesalan hati. Bahkan wajah itu berseri penuh kegembiraan! Mendengar ucapan itu, ia menjawab lantang dan mantap, tanpa ragu.

   "Tentu saja, taihiap! Aku akan mentaati semua perintahmu, biarpun untuk itu aku harus berkorban nyawa...."

   Tiba-tiba ia menyambung cepat kalimat yang sebenarnya sudah berakhir itu,

   ".... asal saja taihiap tidak menyuruh aku pergi meninggalkanmu!"

   Sie Liong tersenyum. Gadis dusun ini sederhana dan tabah, akan tetapi dalam keserdahanaannya, ternyata ia cerdik juga.

   "Nah, kalau begitu, perintahku yang pertama adalah jangan sebut aku taihiap. Namaku Sie Liong dan mengingat engkau pantas menjadi adikku, sebut saja aku sebagai kakakmu."

   "Baiklah, Liong-ko (kakak Liong)!"

   Kata Ling Ling gembira.

   "Dan ke dua, sekarang engkau harus mengantar aku ke rumah orang tua angkatmu."

   Dia melihat wajah itu terkejut, maka disambungnya cepat,

   "Bagaimanapun juga, aku ingin menemui mereka dan mengatakan bahwa engkau tidak suka kembali ke sana dan akan ikut dengan aku. Hendak kulihat bagaimana sikap mereka, dan juga tidak baik pergi begitu saja tanpa pamit."

   Ling Ling mengengguk, nampak hilang kagetnya.

   "Baiklah, Liong-ko."

   Merekapun pergi nenuju ke dusun tempat tinggal orang tua angkat Ling Ling. Ketika mereka tiba di rumah itu, mereka disambut oleh sepasang suami isteri yang memandang kepada Ling Ling dengan mulut cemberut. Apalagi mereka melihat bahwa gadis itu pulang bersama seorang pemuda bongkok, segera ayah angkatnya yang dipenuhi kecewa dan cemburu segera menudingkan telunjuknya ke pada Ling Ling dan mulutnya segera mengeluarkan makian,

   "Perempuan tak tahu malu! Kiranya engkau bukan diculik siluman merah akan tetapi minggat bersama siluman bongkok ini, ya? Bagus, engkau membikin malu padaku!"

   "Dasar anak tak tahu diri, tak mengenal budi!"

   Bentak ibu angkatnya.

   "Bertahun-tahun kami memeliharamu, memberi makan dan pakaian sampai kau dewasa, kini tidak membalas budi malah melempar kotoran ke rumah kami!"

   Sejak tadi Sie Liong mengamati dua orang ini. Seorang pria tinggi kurus dengan muka pucat seperti berpenyakitan, berusia kurang lebih empat puluh tahun, mulutnya lebar dan giginya yang panjang-panjang itu kelihatan separuhnya lebih di luar bibir, matanya membayangkan wataknya yang kurang baik. Adapun wanita itu beberapa tahun lebih muda, tubuhnya gendut dan hidungnya pesek, muka yang tidak menarik dan nampaknya juga galak. Sungguh dia merasa heran bagaimana sepasang suami isteri seperti ini menjadi orang tua angkat seorang gadis seperti Ling Ling, bahkan dipuji oleh gadis itu sebagai orang-orang yang tadinya amat baik kepadanya.

   "Ayah, ibu, aku tidak minggat, memang benar diculik...."

   "Diculik setan bongkok ini, ya? Sungguh kalian pantas dihajar!"

   Berkata demikian, laki-laki jangkung itu menerjang maju, siap menghajar dan tangannya menampar ke arah kepala Sie Liong.

   Kalau menurutkan panasnya hati karena dimaki-maki, ingin Sie Liong sekali pukul menghancurkan mulut yang giginya panjang-panjang itu. Akan tetapi dia tidak menurutkan nafsu amarahnya, melainkan menangkap lengan yang memukul, memuntirnya dan mendorongnya. Pria itu mengeluarkan teriakan dan roboh terbanting lalu berguling-guling, mengaduh-aduh. Isterinya juga sudah maju dan dengan tangan membentuk cakar sudah siap mencakari muka Ling Ling yang berdiri diam saja tidak melawan. Akan tetapi sebelum kuku-kuku jari tangan wanita itu mengenai kulit muka Ling Ling, kakinya ditendang oleh Sie Liong dan wanita itu jatuh berdebuk. Pantat yang besar itu terbanting ke atas tanah dan ia mengaduh-aduh, mengelus pantatnya dan tidak mampu bangun, seperti seekor kura-kura yang jatuh telentang.

   "Berani kamu memukul orang....?"

   Ayah angkat Ling Ling sudah bangkit lagi dan membantu isterinya berdiri. Keduanya semakin marah, akan tetapi hanya mulut mereka saja yang nyerocos, tidak berani lagi menyerang. Pada saat itu, beberapa orang dusun yang tadi ikut menyerbu ke bukit Onta, mengiringkan dua orang gadis dusun itu yang terbebas dari penculikan. Melihat betapa ayah dan ibu angkat Ling Ling memaki-maki Pendekar Bongkok, mereka terkejut dan cepat semua orang lari ke situ.

   "Engkau setan bongkok, kunyuk bongkok berani melarikan gadis orang!"

   Teriak ayah angkat gadis itu yang menjadi semakin berani melihat para tetangga berlarian datang.

   "Heiii! Gumalung.... tutup mulutmu yang kotor itu!"

   Bentak beberapa orang dan mendengar ini, tentu saja Gumalung, demikian nama ayah angkat Ling Ling, memandang heran.

   "Sungguh engkau lancang mulut! Tahukah engkau siapa pendekar ini? Dia adalah Sie Taihiap! Dialah yang telah mengusir para penjahat yang menculik gadis-gadis itu! Bahkan anak kalian Ling Ling juga dibebaskannya. Sekarang, datang-datang dia kalian semprot dengan makian. Kalian sungguh orang-orang yang jahat!"

   Mendengar ini, seketika pucat wajah Gumalung dan isterinya.

   "Ahh.... ohh.... maafkan kami.... maafkan kami...."

   Kata Gumalung, diikuti oleh isterinya dan mereka membongkok-bongkok.

   "Sudahlah!"

   Kata Sie Liong membentak dan melihat banyak orang di situ dia menganggap kebetulan sekali untuk membersihkan nama Ling Ling.

   "Kalian memang suami isteri yang tidak berbudi! Ketika Ling Ling berusia sepuluh tahun, kalian dengan dalih tidak mempunyai anak, mengangkatnya sebagai anak. Ling Ling telah bekerja seperti budak di sini untuk membalas budi kalian. Akan tetapi setelah ia dewasa, engkau yang menjadi ayah angkatnya mulai bersikap tidak wajar, merayunya bahkan hendak memperkosanya. Karena Ling Ling tidak sudi memenuhi permintaanmu yang kotor itu, engkau membencinya. Dan isterinya, yang tak tahu diri ini, bukan menyalahkan suaminya, bahkan juga membenci Ling Ling karena cemburu. Nah, coba kalian berdua katakan, benar tidak apa yang kukatakan semua ini. Kalian harus mengaku terus terang, baru akan kumaafkan. Kalau kalian membohong, aku akan turun tangan menghajar kalian!"

   Suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa takut kepada Pendekar Bongkok, akan tetapi mereka juga merasa malu kalau harus mengaku di depan para tetangga yang kini sudah berdatangan ke tempat itu. Karena merasa bingung dan serba salah, akhirnya isteri yang galak itu menuding-nudingkan telunjuknya ke muka suaminya.

   "Memang engkau yang celaka! Engkau suami tidak setia, engkau suami mata keranjang, engkau rakus! Sudah kuduga bahwa tentu engkau yang hendak memaksa Ling Ling, akan tetapi engkau selalu mengatakan bahwa Ling Ling yang menggodamu! Pendusta besar! Perempuan mana yang sudi menggoda laki-laki bermuka buruk seperti mukamu? Engkau hendak memperkosanya, ya? Bagus, engkau memang layak mampus!"

   Wanita itu menerjang suaminya menggunakan kedua tangannya yang hendak mencakar-cakar. Suaminya cepat menangkap kedua pergelangan tangan istcrinya dan mereka bersitegang. Agaknya, si suami yang kerempeng kalah tenaga sehingga dia terbawa terhuyung ke kanan kiri.

   "Engkau perempuan cerewet! Engkaulah yang membenci Ling Ling, engkau iri hati melihat ia cantik jelita, tidak macam engkau ini babi gemuk!"

   "Apa kau bilang? Aku babi? Dan engkau ini monyet, engkau tikus kurus mau mampus!"

   Kedua suami isteri itu saling dorong dan para tetangga mulai tertawa melihat mereka berkelahi. Sie Liong dengan gerakan tidak sabar maju dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua suami isteri itu saling melepaskan cengkeraman dan keduanya terpelanting, untuk kedua kalinya mereka terbanting jatuh. Keduanya terkejut, kesakitan dan ketakutan, lalu mereka berdua berlutut menghadap Pendekar Bongkok.

   "Taihiap, ampunkan saya...."

   Wanita itu merengek.

   "Taihiap, ampunkan kami, kami mengaku salah. Kami bersalah terhadap Ling Ling...."

   Kata sang suami, lalu tanpa memandang wajah anak angkatnya, dia menyambung,

   "Ling Ling, maafkanlah ayahmu yang bersalah ini...."

   "Aku tidak mempunyai ayah dan ibu seperti kalian! Aku datang untuk berpamit, aku akan pergi meninggalkan kalian!"

   "Eh....? Kenapa, Ling Ling? Kenapa engkau hendak meninggalkan kami?"

   Gumalung berseru kaget, juga isterinya kaget mendengar ucapan ini. Mereka memang tidak sayang lagi kepada Ling Ling, dan kesayangan ayah angkat itu merupakan kesayangan yang terdorong nafsu, akan tetapi mereka akan repot kalau ditinggalkan Ling Ling yang mengerjakan semua pekerjaan rumah itu.

   "Tapi, kau tidak bisa meninggalkan kami begitu saja, Ling Ling!"

   Kata pula nyonya gendut itu. Sie Liong sudah merasa lega. Percekcokan suami isteri itu tadi saja sudah merupakan pengakuan dari mereka bahwa Ling Ling tidak berbohong, dan semua orang mendengarnya. Maka, diapun lalu berkata dengan suara tegas.

   "Ling Ling akan meninggalkan rumah ini, ia akan pergi bersamaku. Apakah kalian merasa berkeberatan?"

   "Tapi.... tapi.... ia merupakan bantuan bagi kami di rumah ini. Tanpa Ling Ling.... pakaian tidak tercuci bersih, masakanpun tidak enak rasanya...."

   "Anjing kurus, engkau mencela aku lagi, ya?"

   Bentak isterinya.

   "Kalau kurang bersih, kau cuci sendiri pakaianmu, dan kalau engkau tidak menyukai masakanku, pergi sana makan di luar! Taihiap, kami memang berkeberatan kalau Ling Ling pergi karena.... karena...."

   "Karena apa?"

   Sie Liong mendesak. Wanita gendut itu beberapa kali menelan ludah, agaknya ia takut untuk bicara, akan tetapi dengan memaksa diri akhirnya ia berkata,

   ".... anak itu sudah delapan tahun bersama kami.... entah sudah berapa banyak kami mengeluarkan uang untuk memeliharanya, makannya.... pakaiannya...."

   Sie Liong menahan diri untuk tidak menampar muka wanita itu.

   "Hemmmm, jadi engkau merasa rugi? Katakanlah, berapa banyak hutang Ling Ling kepada kalian?"

   "Sedikitnya seratus tail perak...."

   Terdengar suara orang-orang mengomel panjang pendek. Banyak penduduk yang merasa keterlaluan sekali sikap orang tua angkat Ling Ling itu. Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki beberapa ekor kuda dan ternyata yang muncul adalah Gumo Cali dan beberapa orang dusun lain yang tadi memimpin penyerbuan ke Bukit Onta. Gumo Cali cepat memberi hormat kepada Pendekar Bongkok dan dia menurunkan sebuah bungkusan kain dari atas kudanya.

   "Sie Taihiap, tadi ketika kami menggeledah rumah para penjahat di puncak Bukit Onta, kami menemukan uang sebanyak tiga ratus tail perak. Kami semua bersepakat untuk menyerahkan uang ini kepada taihiap!"

   Sie Liong tersenyum. Dia memang sedang bingung memikirkan bagaimana dia akan dapat membayar hutang Ling Ling kepada orang tua angkatnya itu, dan kini mereka datang menyerahkan uang, bukan seratus tail, bahkan tiga ratus tail! Kalau Tuhan hendak menolong, ternyata ada saja jalannya!

   "Terimakasih!"

   Katanya.

   "Tolong ambilkan seratus tail perak dan serahkan kepadaku."

   Gumo Cali membuka kantung itu dan mengeluarkan sepertiga bagian dari isi kantung. Gumpalan perak dari lima tail itu besar dan berkilauan, sebanyak dua puluh buah.

   "Lihat, inilah uang yang telah kau keluarkan untuk Ling Ling!"

   Berkata demikian, Sie Liong mengambil gumpalan-gumpalan perak itu dan melemparkannya ke arah dinding. Potongan potongan perak itu beterbangan dan menancap pada dinding, sampai masuk ke dalam, berjajar-jajar dua puluh lubang banyaknya. Tentu saja suami isteri itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kalau saja gumpalan perak itu diarahkan kepada mereka, tentu akan remuk dada mereka dan pecah kepala mereka!

   "Paman, harap sisanya paman bagi-bagikan kepada para gadis yang tadi menjadi korban penculikan. Nah, selamat tinggal dan Terimakasih!"

   Bersama Ling Ling yang sudah lari mengambil pakaiannya dari dalam kamarnya dan memasukkan bekal pakaian itu dalam buntalan kain, Sie Liong lalu meninggalkan tempat itu. Mereka duduk menghadapi api unggun di bawah pohon dekat hutan besar itu. Hawa amat dinginnya walaupun udara cerah pada sore hari itu. Bahkan panasnya api unggun yang dihadapinya tidak cukup kuat untuk dapat mengusir hawa dingin yang dirasakan Ling Ling. Ia kadang-kadang masih menggigil. Melihat keadaan gadis ini, Sie Liong merasa kasihan dan dia membuka baju luarnya yang agak tebal, diselimutkan dari belakang ke tubuh gadis itu. Melihat ini, Ling Ling tersenyum dan menarik baju luar itu agar lebih banyak menyelimuti lehernya.

   "Terimakasih...."

   Katanya lirih dan iapun termenung memandang ke arah api unggun yang bernyala indah. Ia merasa betapa kedua kakinya nyeri, kiut-miut rasanya karena sehari itu mereka hampir terus menerus berjalan naik turun bukit. Ia tidak pernah mengeluh walaupun kakinya terasa seperti akan patah-patah, dan telapak kakinya terasa tebal dan panas sekali. Kelelahan membuat ia merasa lemas, ditambah pula rasa lapar karena sejak pagi tadi mereka tidak pernah makan apapun. Minumpun hanya dari sumber air yang mereka lewati di kaki bukit terakhir tadi.

   Ia tidak tahu betapa pemuda itu sejak tadi mencuri pandang dan mengamati wajahnya. Ia merasa berbahagia! Biarpun ia merasa lelah bukan main, namun senyum manis tak pernah meninggalkan mulutnya, cahaya matanya tak pernah meredup, dan wajahnya berseri-seri. Apa lagi karena banyak bergerak jalan sepanjang hari, kedua pipinya menjadi kemerahan, puncak pipi di bawah dan kanan kiri mata bagaikan buah tomat masak. Sie Liong duduk di seberang api unggun. Dari atas nyala api, dia dapat memandang wajah gadis itu dengan jelas. Cuaca sudah mulai suram, akan tetapi cahaya api yang kuning kemerahan menimpa wajah yang manis itu. Diam-diam dia kagum sekali kepada Ling Ling. Sudah sepekan gadis itu melakukan perjalanan dengan dia. Sengaja dia membawa Ling Ling merasakan kelelahan, kekurangan makan dan minum, kepanasan dan kedinginan.

   Namun, gadis itu selalu tersenyum, tak pernah mengeluh. Dia sengaja menguji karena dia belum yakin apakah benar gadis ini hendak nekat ikut dengan dia mengembara dan hidup serba kekurangan. Dan selama sepekan ini, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang gadis ini hebat! Seorang gadis yang lemah badannya karena tidak pernah mempelajari silat, akan tetapi yang memiliki batin yang amat kuat, semangat membaja dan pantang mundur! Seorang gadis yang sama sekali tidak cengeng. Timbullah perasaan iba dan suka dalam hatinya terhadap Ling Ling. Agaknya Ling Ling merasa bahwa dirinya dipandang. Ia mengangkat muka dan pada saat itu, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sie Liong. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut agak lama. Akhirnya Sie Liong yang mengalihkan pandang matanya, merasa tidak enak memandang orang terlalu lama dan penuh perhatian.

   "Liong-ko, ada apakah? Engkau memandangku seperti hendak mengatakan sesuatu."

   Sie Liong memandang padanya dan tersenyum.

   "Aku hanya ingin bertanya apakah engkau masih kedinginan, Ling Ling?"

   Ling Ling merapatkan baju luar yang tebal itu dan tersenyum makin lebar.

   "Tadi memang, akan tetapi sekarang tidak lagi. Hangat dan nyaman, Liong-ko."

   Mereka diam sejenak.

   "Lelah....?"

   Terdengar Sie Liong bertanya. Gadis itu mengangkat mukanya dan kembali mereka bertemu pandang. Ia mengangguk.

   "Akan tetapi, betapa nyaman dan enaknya beristirahat seperti ini setelah merasa kelelahan!"

   "Kakimu terasa nyeri?"

   Sejenak Ling Ling tidak menjawab, mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan memandang kakinya, menarik kedua kakinya dari bawah untuk diluruskan. Gerakan ini mendatangkan perasaan nyeri bukan main, akan tetapi ia tidak mengeluh, hanya matanya tergetar sedikit dan juga bibirnya dikatupkan makin kuat. Akan tetapi ia menggeleng kepala.

   "Tidak, tidak nyeri...."

   Hening lagi sejenak. Dalam keheningan ini, pendengaran Sie Liong yang terlatih dan amat peka itu mendengar suara perut gadis itu berkeruyuk, seperti juga perutnya sendiri yang sejak tadi berkeruyuk.

   "Lapar....?"

   Tanyanya sambil menatap wajah itu. Ling Ling mengangkat muka dan kembali mereka bertemu pandang. Gadis itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya, sambil menambahkan kayu kering pada perapian di depannya.

   "Ling Ling, aku melihat engkau seorang gadis yang tabah dan jujur, akan tetapi mengapa engkau membohongi aku?"

   Gadis itu nampak terkejut sekali. Sebatang ranting yang dipegangnya terlepas dan matanya terbelalak ketika ia memandang kepada pemuda itu. Sepasang alisnya berkerut dan suaranya terdengar heran,

   "Aku? Bohong?"

   Sie Liong menganguk dan tersenyum.

   "Baru saja dua kali engkau berbohong kepadaku. Kakimu nyeri sekali dan engkau mengatakan tidak, perutmu lapar dan engkau juga mengatakan tidak. Bukankah itu bohong namanya?"

   Wajah yang tadinya menjadi agak pucat itu merah kembali, dan sepasang mata itu berseri kembali.

   "Aih, Liong-ko, engkau mengejutkan aku. Kiranya itu yang kaunamakan bohong. Itu bukan bohong, koko, melainkan untuk melawan keadaan dan untuk menguatkan hati."

   "Hemm, apa pula maksudnya itu?"

   "Sebelum kujawab, aku ingin tahu bagaimana engkau begitu yakin bahwa kakiku nyeri dan perutku lapar?"

   "Kita sudah berjalan sehari, naik turun bukit, sudah sepatutnya kalau kakimu nyeri dan ketika engkau meluruskan kakimu tadi, jelas nampak pada wajahmu bahwa engkau menahan rasa nyeri. Sejak pagi kita belum makan lagi, sudah sepantasnya kalau perutmu lapar, dan tadi, aku mendengar perutmu berkeruyuk."

   Ling Ling tertawa dan menutupi mulutnya. Ia merasa lucu, juga merasa malu.

   "Ih, engkau membikin aku malu saja, koko. Telingamu usil amat sih, mendengarkan bunyi perut orang! Sekarang aku jawab pertanyaanmu tadi. Memang kakiku nyeri, habis mengapa? Andaikata aku mengaku nyeripun, pengakuan itu tidak akan mengurangi rasa nyeri, bahkan akan menambah. Maka aku membohongi diri sendiri saja, mengatakan tidak nyeri sehingga rasa nyeri banyak berkurang. Demikian pula tentang perutku yang lapar. Kalau aku mengaku lapar juga tidak akan ada sesuatu yang dapat kumakan. Lebih baik mengaku tidak lapar agar rasa laparnya berkurang. Ketika tadi engkau bertanya apakah aku lelah dan dingin, aku menjawab ya karena di sini ada tempat beristirahat menghilangkan lelah dan api unggun penahan dingin. Nah, jelas, kan? Aku bukan pembohbng, ya koko?"

   Kalimat terkahir ini terdengar manja seperti rengek kanak-kanak sehingga Sie Liong memandang dengan senyum dan hatinya terharu karena dia teringat kepada Yauw Bi Sian. Teringat dia betapa ketika masih kecil, Bi Sian yang tidak mempunyai teman lain kecuali dia, juga suka merengek seperti ini kalau minta sesuatu kepadanya. Dan seperti juga dahulu, ketika dia selalu menuruti permintaan Bi Sian kalau keponakannya itu sedang merengek, kinipun ia menuruti permintaan Ling Ling dan dia mengangguk.

   "Engkau memang bukan pembohong, Ling Ling. Dan sekarang aku akan membuat pengakuan."

   Kini gadis itu yang memandang heran dan penuh selidik.

   "Engkau akan membuat pengakuan? Pengakuan apa lagi, Liong-ko?" "Aku telah bersikap kejam sekali kepadamu, Ling Ling...."

   "Aihhh! Sama sekali tidak, Liong-ko! Apa yang kaumaksudkan ini? Engkaulah satu-satunya orang yang paling baik di dunia ini bagiku. Engkau bagiku menjadi pengganti ayah ibu kandungku, pengganti saudara dan keluargaku, menjadi sahabat dan juga guruku...."

   "Jangan terlalu tinggi memuji, Ling Ling. Lihat dan rasakan, bukankah selama sepekan ini engkau kubawa berjalan sampai melampaui batas kekuatanmu, memaksamu berjalan jauh melalui bukit dan tempat yang amat sukar, lalu membiarkanmu kelaparan dan kehausan? Bukankah selama sepekan ini aku membiarkan engkau mengalami sengsara, tubuhmu lelah, kakimu nyeri, perut lapar dan mulut haus? Aku telah bersikap kejam sekali!"

   "Tidak, tidak! Aku tidak menganggapmu kejam, koko. Sudah sewajarnya karena memang kita berdua ini sepasang kelana yang merantau, tidak memiliki apa-apa, tidak memiliki rumah, bukan? Rumah kita adalah dunia ini, lantainya tanah ini, atapnya langit. Betapa indahnya rumah kita, koko, tidak ada di dunia ini yang seindah tempat tinggal kita. Di mana-mana tempat tinggal kita. Lantai kita bertilamkan rumput lunak, kebun kita penuh pohon dan bunga, kupu-kupu, burung...."

   Mau tak mau Sie Liong tertawa gembira. Bukan main gadis ini, pikirnya girang. Memiliki ketabahan dan tahan uji, akan tetapi juga memiliki kelincahan dan kegembiraan hidup sehingga baru berkumpul sepekan saja semua kenangan buruk dan perasaan nelangsa dalam hatinya tersapu bersih, membuat diapun ikut gembira. Tiba-tiba saja segala sesuatu di sekelilingnya nampak demikian indahnya!

   Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Engkau tidak tahu, Ling Ling. Selama sepekan ini, aku memang sengaja membuatmu menderita. Aku sengaja membuat engkau kecapaian, kelaparan dan kehausan!"

   Gadis itu memandang heran.

   "Kau sengaja? Aku.... aku tidak mengerti maksudmu, koko."

   "Aku memang hendak mengujimu. Setelah engkau menderita, hendak kulihat apakah engkau benar-benar sudah nekat untuk ikut denganku. Kalau engkau tidak kuat, aku akan mencarikan tempat yang baik untukmu, pada sebuah keluarga, yang dapat kupercaya dan...."

   "Liong-ko, kenapa begitu? Sudah kukatakan bahwa aku hanya mempunyai satu saja keinginan hidup ini, yalah ikut denganmu ke manapun engkau pergi. Jangankan hanya kesukaran yang tidak seberapa ini, hanya keletihan, kelaparan dan kehausan, biarpun sampai mati aku tidak akan menyesal telah ikut denganmu, koko!"

   Sie Liong menundukkan mukanya agar jangan nampak betapa wajahnya merasa terharu sekali. Apakah yang mendorong gadis ini demikian nekat? Mungkinkah gadis ini mencintanya? Ah, bagaimana mungkin? Semua orang, terutama kaum wanita, takut dan benci kepadanya, jijik melihat keadaan tubuhnya. Bagaimana mungkin ada yang jatuh cinta kepadanya? Dan gadis ini bukan seorang gadis yang buruk rupa ataupun cacat, melainkan seorang gadis yang sehat lahir ba-tinnya, bahkan cantik manis dan pasti akan mudah menundukkan hati pria yang manapun.

   "Maafkan aku, Ling Ling. Sudahlah, sekarang lebih baik kita makan. Perut kita sudah lapar sekali. Aku masih menyimpan roti tawar, hanya tinggal mencari daging segar untuk dijadikan teman roti."

   "Tapi...."

   "Ssstttt, di sana ada daging....!"

   Sie Liong yang sudah menyambar sebatang ranting dengan tangannya, tiba-tiba menyambitkan ranting itu ke arah kiri. Ranting itu meluncur bagaikan anak panah ke dalam semak-semak tak jauh dari situ dan seekor kelinci putih terguling keluar dengan leher tertembus ranting dan mati seketika. Melihat ini, tentu saja Ling Ling menjadi girang bukan main.

   "Hebat, engkau hebat, Liong-ko! Kelinci ini gemuk sekali.... ah, akan kubuatkan daging kelinci panggang yang lezat untukmu, Liong-ko."

   Tiba-tiba ia kelihatan masgul dan mengeluh.

   "Ahh, bagaimana mungkin dapat lezat tanpa bumbu?"

   Melihat wajah gadis yang tadinya amat gembira itu tiba-tiba menjadi sedih, Sie Liong tersenyum.

   "Jangan khawatir, Ling Ling. Bumbu apakah yang kaubutuhkan? Katakan saja!"

   Gadis itu memandang wajah Sie Liong dengan putus asa. Yang dibutuhkannya itu hanya dapat dibeli di pasar, mana mungkin pendekar itu akan bisa dia mendapatkan daging kelinci tadi? Dengan lesu iapun menjawab,

   "Lada untuk penghilang bau amis, atau jahe, bawang putih untuk penyedap, garam.... dan gula agar terasa gurih dan manis.... agar terasa gurih dan manis...."

   Akan tetapi, Ling Ling terbelalak ketika Sie Liong mengeluarkan barang-barang yang ia butuhkan itu dari dalam buntalan pakaian. Bumbu lengkap! Ling Ling bersorak gembira.

   "Searang pengelana harus selalu menyimpan dan membawa bekal bumbu-bumbu ini, Ling Ling."

   Akan tetapi gadis itu kini bekerja keras, apalagi ketika Sie Liong menyerahkan sebatang pisau yang tajam, yang juga menjadi bekal Sie Liong untuk keperluan memasak makanan. Ia lupa akan dinginnya hawa udara dan sambil bersenandung lagu rakyat Tibet, Ling Ling menguliti kelinci gemuk itu dan mengambil dagingnya. Kegembiraan gadis itu menular pada Sie Liong.

   Diapun merasa gembira dan lincah, merasa seolah dia menjadi kanak-kanak atau remaja kembali. Dia mempersiapkan ranting penusuk daging, membantu Ling Ling dan tak lama kemudian, bau daging panggang yang sedap karena bumbunya lengkap, membuat perut mereka semakin keras berkeruyuk saling bersahutan. Sie Liong mengeluarkan bungkusan roti tawar dan seguci anggur merah yang tidak keras, melainkan anggur manis. Dan kemudian merekapun makan roti tawar dengan daging kelinci panggang yang benar lezat karena masih segar, lunak dan gurih. Ketika mereka makan inipun Sie Liong menemukan kenyataan yang membuat dia semakin termenung dan hatinya berdebar aneh. Mengapa mereka berebut saling memilihkan daging terbaik? Mengapa mereka saling mementingkan dan saling memperhatikan? Inikah cinta? Dia merasa heran dan ragu.

   Pernah dia mengalami perasaan seperti ini, ketika berhadapan dengan Yauw Bi Sian, keponakannya! Hanya bedanya, kalau dari Bi Sian dia tidak merasakan perhatian lain kecuali kasih sayang yang kekanak-kanakan dari seorang keponakan yang sejak kecil menjadi temannya bermain, sebaliknya dari Ling Ling dia merasakan perhatian yang lain, yang lebih dewasa dan membuat dia merasa dimanja, merasakan suatu kemesraan yang belum pernah dirasakannya. Inikah cinta? Dia tidak dapat menjawabnya. Terlampau pagi untuk menduga sejauh itu. Kini, perut mereka tidak berkeruyuk lagi. Mereka menemukan sumber air tak jauh dari situ. Setelah mencuci tangan dan mulut, mereka duduk lagi menghadapi api unggun. Malam mulai larut dan mereka membesarkan api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk. Kembali mereka saling berpandangan melalui atas nyala api.

   "Ling Ling...."

   Sie Liong meragu, suaranya lirih dan seolah dia sangsi apakah perlu dia menyatakan isi hatinya. Gadis itu memandangnya dan bibir itu terseryyum. Bibir yang kini nampak merah segar, tidak layu dan agak pucat seperti ketika kelaparan dan keletihan menguasainya tadi.

   "Ya, Liong-ko?"

   "Aku heran sekali...."

   Melihat pemuda itu meragu, Ling Ling menjadi penasaran.

   "Apa yang kauherankan, Liong-ko?"

   "Engkau...."

   "Eh? Aku kenapa sih?"

   Ling Ling tertawa kecil.

   "Apakah mataku tiga? Hidungku dua? Apanya yang mengherankan pada diriku?"

   "Seorang gadis seperti engkau.... kenapa nekat ingin ikut dengan aku? Aku seorang laki-laki yang sebatangkara, miskin dan tidak mempunyai apa-apa...."

   "Sama dengan aku!"

   Ling Ling menyambung cepat.

   "Akan tetapi engkau seorang gadis yang cantik dan masih muda, sedangkan aku...."

   "Engkau seorang pendekar yang budiman, seorang jantan yang hebat sekali, mengagumkan dan...."

   "Bukan itu maksudku, Ling Ling. Aku seorang laki-laki yang cacat, bongkok dan menjijikkan...."

   "Cukup!"

   Ling Ling berteriak dan ia mengerutkan alisnya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti orang marah.

   "Liong-ko, kenapa engkau begitu merendahkan diri? Ketika engkau muncul di ambang pintu itu, ketika semua gadis ketakutan melihatmu dan mengira engkau seorang penjahat karena cacat tubuhmu, aku melihat betapa engkau seperti menerima tamparan atau tusukan. Aih koko, aku tidak dapat melupakan pandang matamu di saat itu dan di saat itu pula aku.... aku memutuskan untuk ikut denganmu, ke manapun engkau pergi...."

   Kini sepasang mata yang tadinya nampak marah itu menjadi lembut sinarnya, mata itu seperti redup.

   "Kenapa, Ling Ling? Itulah yang ingin sekali kuketahui! Kenapa tiba-tiba engkau mengambil keputusan yang begitu nekat? Pergi mengikuti aku yang tidak kaukenal sama sekali?"

   "Pada saat itu aku melihat pandang matamu seperti itu, koko, aku.... aku merasa hatiku tertusuk, aku merasa terharu dan kasihan sekali kepadamu. Ingatkah engkau betapa aku menangis sesenggukan, menangis dengan sedih? Bukan hanya karena aku tidak ada yang menjemput, bukan hanya karena aku takut membayangkan harus kembali ke rumah orang tua angkatku, melainkan terutama sekali karena kasihan kepadamu!"

   Sie Liong menatap tajam wajah gadis itu.

   "Engkau kasihan kepadaku karena.... aku bongkok? Karena cacat tubuhku?"

   Dengan tegas Ling Ling menggeleng kepalanya.

   "Sama sekali tidak! Kenapa cacat tubuhmu harus dikasihani? Biarpun engkau mempunyai cacat, akan tetapi cacat itu sama sekali tidak mengganggumu, bahkan engkau memiliki kesaktian luar biasa. Tidak, aku bukan kasihan karena cacatmu, koko, melainkan kasihan karena engkau begitu menderita batin karena cacat itu, yang membuatmu begitu merendahkan diri. Engkau tentu merasa betapa semua orang, terutama wanita, jijik dan benci kepadamu...."

   "Memang kenyataannya demikian!"

   Kata Sie Liong, suaranya agak keras.

   "Tidak, tidak semua merasa seperti itu! Hanya perempuan yang tinggi hati saja yang memandang rendah kepada seorang pria ydng cacat. Padahal, cacat tubuh bukan hal yang terlalu memalukan, tidak seperti cacat batin! Tidak, koko, tidak semua perempuan benci kepadamu, setidaknya.... aku kagum padamu, aku menganggap engkau orang yang paling baik di dunia ini, dan paling gagah...."

   ".... dan paling buruk?"

   Sie Liong menambahkan swnbil tersenyum pahit. Ling Ling mengerutkan alisnya.

   "Liong-ko, jangan tersenyum seperti itu! Begitulah engkau tersenyum ketika berdiri di ambang pintu itu, tersenyum seolah engkau melihat dunia kiamat dan engkau tidak perduli! Tidak, koko. Siapa bilang engkau paling buruk? Bagiku, engkau gagah dan tampan!"

   Sie Liong membelalakkan matanya, menatap wajah gadis itu, jantungnya berdebar keras. Dan diapun bertanya kepada matanya, bagaimana gadis itu nampak dalam pandangannya, dan dia melihat seorang gadis yang amat cantik menis, yang menimbulkan rasa iba dan suka, seorang gadis yang membuat dia merasa berbahagia, pandang mata yang bening itu seperti memberi nyala hidup dalam hatinya,

   Senyum manis di bibir itu seperti tetesan embun pagi pada perasaannya yang mulai mengering dan dia pun tiba-tiba tertawa bergelak. Suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, memecahkan kesunyian malam. Beberapa ekor burung yang bertengger di pohon yang berdekatan sampai terkejut, dan bunyi kelepak sayap mereka menandakan bahwa mereka itu terkejut dan terbang pergi menjauhi suara aneh itu. Ling Ling juga memandang kepada Sie Liong dengah sinar mata khawatir. Suara ketawa pemuda itu mula-mula perlahan, makin lama semakin kuat dan anehnya, ia seperti mendengar isak tangis terselip di antara bunyi tawa itu. Seperti terdorong oleh sesuatu, Ling Ling bangkit berdiri, menghampiri Sie Liong dan berlutut di dekat pemuda itu yang masih duduk bersila sambil tertawa. Dipegangnya pundak pemuda itu, diguncangnya dan iapun berteriak dengan gelisah.

   "Liong-ko....! Liong-ko... Kau.... kau kenapa, Liong-ko?"

   Ketika merasa betapa tubuhnya diguncang-guncang, Sie Liong baru sadar. Kalau tadi ketika tertawa dia menengadah, kini dia menundukkan muka dan suara ketawanya terhenti. Ketika dia melihat Ling Ling di dekatnya dan gadis itu kelihatan gelisah hampir menangis, mengguncang pundaknya, Sie Liong ingat akan keadaan dirinya dan seperti didorong oleh sesuatu yang amat kuat, dia lalu merangkul.

   "Ling Ling....!"

   "Liong-ko.... ah, Liong-koko....!"

   Keduanya Saling rangkul, hanya berpelukan saja dengan kuatnya seolah-olah ingin menjadi satu dan tidak akan berpisah lagi. Rangkulan yang penuh dengan keharuan dan rasa syukur, tidak mengandung nafsu berahi sama sekali. Sie Liong yang lebih dulu sadar bahwa keadaan mereka itu tidak semestinya. Dengan lembut dia melepaskan rangkulannya. Merasa akan hal ini, Ling Ling juga melepaskan rangkulannya akan tetapi ia diam saja ketika kedua tangannya dipegang oleh kedua tangan Sie Liong. Mereka berhadapan, saling berpegang tangan dan dengan suara menggetar karena keharuan Sie Liong berkata lirih.

   "Ling Ling, Terimakasih, engkau telah mengembalikan harga diriku!"

   "Dan engkau telah mengembalikan pengharapanku untuk menghadapi penghidupan yang kejam ini, Liong-ko."

   "Nah, sekarang mengasolah. Engkau harus tidur yang enak agar besok memiliki cukup tenaga untuk melanjutkan perjalanan, Ling Ling."

   Ling Ling bangkit berdiri, lalu membongkar buntalan pakaiannya. Dikeluarkan sehelai selimut, dibentangkan selimut itu di atas rumput dekat api unggun.

   "Akan tetapi engkau bagaimana, Liong-ko? Engkaupun harus mengaso!"

   Pemuda itu tersenyum.

   "Aku sudah terbiasa dengan kehidupan begini, Ling Ling. Aku tidak perlu tidur karena harus menjagamu, menjaga agar api unggun tidak padam. Tidurlah, dengan bersila saja aku akan dapat melepaskan lelah."

   "Baiklah, Liong-ko,"

   Gadis itu menguap dan menutupi mulut dengan punggung tangan karena ia merasa lelah sekali dan mengantuk. Begitu ia merebahkan diri miring, iapun pulas.

   Ia miring menghadap api unggun sehingga Sie Liong dapat melihat mukanya. Hatinya penuh rasa haru dan sayang melihat wajah itu tidur pulas dengan mulut tersenyum membayangkan kebahagiaan, dan napasnya amat halus. Seorang gadis yang baik! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah pergi ke sumber air dan mandi. Hawa amat dingin, akan tetapi karena tubuhnya memang kuat sekali, maka mandi di waktu pagi itu terasa amat segar dan nyaman. Tubuhnya mengepulkan uap putih ketika dia merendam tubuhnya ke dalam air yang amat dingin itu. Dia merasa segar sekali ketika dia kembali ke tempat mereka melewatkan malam dan dia mendapatkan Ling Ling sudah bangun. Pakaian dan rambutnya kusut, namun hal ini tidak mengurangi kecantikan gadis itu. Melihat Sie Liong datang dengan rambut masih basah, gadis itu tertawa kecil.

   "Aih, sepagi ini dan sedingin ini engkau agaknya telah mandi, koko! Hih, hih, aku tidak berani mandi. Hawa begini dinginnya dan air itu tentu dingin seperti salju!"

   Ia mengeluarkan pakaian dari dalam buntalannya.

   "Akan tetapi aku akan bertukar pakaian dan mencuci yang kotor. Kesinikan pakaianmu yang kotor, Liong-ko, akan kucuci sekalian!"

   Sie Liong memperlihatkan pakaian yang masih basah dan sudah diperasnya.

   "Sudah kucuci tadi!"

   Katanya. Gadis itu cemberut.

   "Aih, koko. Berulang kali engkau mencuci sendiri pakaianmu. Apakah kaukira aku tidak dapat mencuci bersih? Itu sudah menjadi kewajibanku, koko. Lain kali jangan kaucuci sendiri!"

   Sie Liong mengangguk dan tertawa.

   "Baiklah, Ling Ling, aku berjanji."

   Gadis itu berlari kecil menuju ke sumber air yang berada kurang lebih tiga ratus meter dari situ, menuruni tebing yang tidak curam. Sie Liong memandang sejenak dari belakang, tersenyum dan setelah gadis itu menghilang di balik semak dan batang pohon, diapun membuat persiapan untuk memanggang sisa roti tawar semalam untuk dipakai sarapan. Sie Liong merasa gembira bukan main pagi itu. Dia merasa seolah-olah mengalami hidup baru. Suasana nampak indah bukan main.

   Matahari pagi dengan lembut mengusir kabut pagi, menggugah burung-burung yang kini sibuk membuat persiapan untuk melaksanakan tugas kewajiban mereka sehari-hari, yaitu mencari makan. Rumput dan daun pohon juga tergugah, nampak berseri dan segar, dihias butir-butir embun yang seperti mutiara berkilauan tertimpa sinar matahari pagi yang masih lemah. Kicau burung bagaikan musik yang amat riang dan merdu. Sie Liong tersenyum-senyum seorang diri. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Roti yang dipanggangnya sudah matang sejak tadi. Terlalu lama gadis itu pergi ke sumber air, pikirnya. Biarpun dengan mencuci pakaian, pakaian itu tidak berapa banyak. Mestinya sudah selesai sejak tadi. Dia bangkit berdiri dan memandang ke arah hutan, di mana terdapat sumber air itu. Tidak nampak dari situ karena selain tertutup semak dan pohon, juga jalan ke sumber air itu agak menurun.

   "Ling Ling....!"

   Dia berteriak memanggil, mengerahkan tenaganya agar suaranya sampai ke sumber air itu. Dia menanti jawaban, namun tak kunjung tiba.

   "Ling Ling, rotinya sudah masak...."

   Dia berteriak lagi, lebih nyaring. Juga tidak terdengar jawaban. Dia mengerutkan alisnya. Tak mungkin gadis itu tidak mendengar, dan andaikata gadis itu menjawabnya, tentu dengan pendengarannya yang peka terlatih, dia akan dapat mendengarnya. Memang tidak pantas kalau dia mendatangi sumber air itu. Siapa tahu gadis itu sedang mandi dan telanjang. Akan tetapi kekhawatiran hatinya membuat dia melangkah ke arah sumber air. Setelah tiba di atas tebing, dia berhenti dan mendengarkan. Hanya suara gemercik air sumber bermain dengan batu-batu yang terdengar. Tidak terdengar suara orang mandi, bermain di air, atau mencuci pakaian. Akan tetapi dia masih belum mau turun.

   "Ling Ling....!"

   Dia memanggil lagi. Kini tidak mungkin sama sekali kalau gadis itu tidak mendengar karena sumber itu berada dekat di bawahnya, walaupun belum nampak dari situ karena terhalang batu-batu besar. Tidak ada jawaban. Sie Liong tidak ragu-ragu lagi, dengan hati gelisah dia meloncat turun. Dia memandang ke sana-sini. Tidak nampak bayangan Ling Ling.

   "Ling Ling....!"

   Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mendekat ke sumber air, dia terkejut sekali melihat pakaian Ling Ling berada di situ, baik pakaian kotor yang akan dicucinya tadi maupun pakaian kering untuk ganti.

   Gadis itu lenyap, tanpa berpakaian! Wajahnya seketika pucat ketika detik jantungnya seperti terhenti, kemudian jantung itu berdebar-debar penuh ketegangan. Diterkam harimau atau binatang buas lain? Tentu ada bekas darahnya. Dengan muka pucat dia lalu meneliti ke atas tanah, mencari bekas atau bercak darah. Tidak ada darah, yang ada hanyalah jejak-jejak kaki! Jejak banyak sepatu dengan ukuran besar. Banyak laki-laki baru saja berada di tempat itu! Dan jejak itu masih baru sekali. Celaka, pikirnya, Ling Ling tentu diculik oleh entah berapa orang laki-laki, dalam keadaan telanjang bulat! Dengan hati tidak karuan rasanya, dipenuhi kegelisahan, dia lalu mengikuti jejak itu dengan cepat. Jejak itu membawanya masuh hutan.

   Dia berlari dengan cepat mengikuti jejak itu dan tiba-tiba dia mendengar suara-suara tertahan, seperti mulut yang menjerit akan tetapi dibungkam. Cepat dia meloncat ke kiri, ke arah suara dan matanya terbelalak, melotot ketika melihat apa yang terjadi di balik semak-semak belukar, di atas rumput tebal itu. Ling Ling, dalam keadaan telanjang bulat, sedang menggeliat-geliat dan melawan mati-matian terhadap lima orang laki-laki yang hendak menggelutinya! Empat orang memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentang dan seorang lagi, yang brewokan, sambil terkekeh-kekeh berusaha untuk memperkosanya! Ling Ling meronta-ronta, menggigit, menjerit, akan tetapi mulutnya dibungkam. Biarpun demikian, bagaikan seekor singa betina Ling Ling mempertaruhkan kehormatannya.

   Dari dalam dada Sie Liong keluar lengking panjang yang menggetarkan hutan itu. Lima orang itu terkejut, menengok. Akan tetapi Sie Liong sudah tidak dapat lagi menahan kemarahan hatinya yang seolah-olah dibakar api. Matanya mencorong, napasnya seperti mengeluarkan uap panas, dan begitu tubuhnya menerjang ke depan, tangannya menyambar dan rambut kepala si brewok itu telah dijambaknya dan sekali angkat, tubuh si brewok yang setengah telanjang itu telah diangkat dan diayun-ayun ke atas kepalanya seolah-olah tubuh si brewok yang tinggi besar itu hanya sehelai kain saja. Si brewok berteriak-teriak ketakutan setengah mati, akan tetapi Sie Liong dengan kemarahan meluap-luap membanting tubuh itu ke atas sebongkah batu.

   "Prakkk!"

   Kepala si brewok itu pecah dan otaknya berantakan bersama darah. Melihat betapa pemimpin mereka tewas dalam keadaan demikian mengerikan, empat orang itu terbelalak dan mereka melepaskan kaki dan tangan Ling Ling.

   Dengan marah, mereka yang belum menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar sakti, mereka mencabut golok dari punggung masing-masing dan serentak mereka menyerang Sie Liong dengan golok mereka. Akan tetapi, Sie Liong mengeluarkan suara melengking lagi, menyambut mereka dengan kaki kanan yang melakukan tendangan berputar. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat batang golok terpental lepas dari tangan empat orang itu. Mereka mengaduh-aduh, memegangi tangan kanan dengan tangan kiri karena pergelangan tangan mereka telah patah disambar tendangan memutar tadi! Kini mereka memandang dengan mata terbelalak, penuh rasa takut melihat pemuda bongkok itu dengan langkah perlahan-lahan menghampiri mereka. Saking takutnya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
(Lanjut ke Jilid 16)
Kisah Pendekar Bongkok (Serial 06 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
"Ampun.... ampunkan kami...."

   Akan tetapi, lengkingan ketige kalinya terdengar dan kembali kaki Sie Liong bergerak menendang. Empat kali dia menendang, dan tubuh empat orang itu terjengkang dan mereka tewas seketika dengan tulang leher patah-patah! Ling Ling yang berlutut di atas tanah, memandang dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Biarpun ia merasa merah dan membenci lima orang itu, namun ia merasa ngeri melihat pembunuhan itu terjadi di depan matanya, melihat betapa lima orang itu tewas seketika, melihat Sie Liong yang biasanya lemah lembut itu mengamuk, seperti iblis maut sendiri! Sie Liong meloncat dan melihat gadis itu dalam keadaan telanjang bulat berlutut di atas tanah, diapun lalu menghampirinya.

   "Ling Ling...., kau tidak apa-apa....?"

   Tanyanya lembut.

   "Liong-ko....!"

   Ling Ling menjerit dan iapun pingsan dalam dekapan Sie Liong. Pemuda itu lalu memondongnya, membawanya ke sumber air, mengambil pakaian Ling Ling dan membawa gadis itu ke tempat mereka melewatkan malam tadi. Dengan memaksa matanya agar jangan melihat bagian terlarang dari tubuh gadis itu, dia merebahkan Ling Ling ke atas selimut dan menyelimuti tubuh yang telanjang. Baru ia memijat-mijat tengkuk gadis itu untuk menyadarkannya. Ling Ling siuman kembali, mengeluh dan membuka matanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan menjerit karena ia teringat akan peristiwa tadi. Jerit melengking ketakutan sambil bangkit duduk. Sie Liong merangkul gadis yang menjerit-jerit histeris itu. Begitu dirangkul, Ling Ling meronta dan menjerit semakin nyaring.

   "Lepaskan aku....! Lepaskan! Keparat jahanam kalian.... lepaskan akuuuu....!"

   Sie Liong mendorong gadis itu dan memaksanya untuk memandang kepadanya.

   "Ling Ling, lihat siapa aku....!"

   Katanya setengah membentak untuk menyadarkan gadis yang dilanda ketakutan dan kengerian itu. Ling Ling terbelalak memandang, sadar dan merangkul.

   "Liong-ko.... ah, Liong-ko....!"

   Dan diapun menangis di dada Sie Liong, tidak sadar bahwa selimut yang menutupi tubuhnya terbuka.

   "Tenanglah, Ling Ling. Tenanglah, engkau sudah terbebas dari lima orang anjing itu! Tenanglah, dan pakailah pakaian ini...."

   Sie Liong menutupkan lagi selimut menutupi tubuh gadis itu. Ling Ling baru sadar bahwa ia masih telanjang bulat. Hal ini mengingatkan ia akan pengalaman tadi dan ia bergidik ngeri. Lalu dengan kedua tangan gemetar ia mengenakan pakaiannya di balik selimut. Sie Liong duduk di atas rumput membelakangi gadis itu, alisnya berkerut dan berulang kali dia menarik napas panjang. Dia termenung dan wajahnya muram sekali. Tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, dan suara itu lirih berbisik penuh kekhawatiran.

   "Liong-ko, engkau kenapakah....! Liong-ko, kenapa kau diam saja? Tadi.... ketika aku berada di sumber, ketika aku habis mencuci muka membersihkan diri, ketika hendak berganti pakaian, tiba-tiba mereka itu datang menyergapku. Aku tidak dapat menjerit karena mereka membungkam mulutku. Aku melawan mati-matian. Ketika engkau berteriak memanggil namaku, mereka lalu membawa aku pergi ke hutan itu dan di sana.... ahh, untung engkau datang tepat pada waktunya, Liong-ko. Hampir aku tidak kuat bertahan lagi...."

   Tiba-tiba Sie Liong mengepal tinju dan tangan Ling Ling yang memegang pundak itu cepat ditarik kembali karena kaget. Pundak itu seperti mengeluarkan tenaga yang panas! Ling Ling melangkah maju dan memandang wajah pemuda itu. Ia terkejut. Wajah itu pucat, mata itu seperti sayu dan sedih, seperti akan menangis!

   "Liong-ko, engkau kenapakah? Engkau kelihatan begini berduka! Apa yang telah terjadi?"

   Suara itu parau dan penuh penyesalan.

   "Aku telah membunuh mereka...."

   Gadis itu memandgng heran.

   "Tentu saja, koko! Orang-orang seperti mereka memang layak kaubunuh! Mereka itu jahat sekali!"

   Sie Liong menghela napas panjang.

   "Untuk menentang kejahatan, memang kadang-kadang terpaksa membunuh, akan tetapi tidak seperti yang kulakukan tadi, Ling Ling. Membunuh karena benci! Membunuh dengan hati dipenuhi dendam kebencian, karena aku melihat mereka memperlakukan engkau seperti itu. Membunuh karena cemburu dan benci. Ah, aku menjadi kejam sekali, tidak ada bedanya dengan mereka....!"

   "Tentu saja engkau berbeda sekali dengan mereka! Engkau seorang pendekar sakti yang budiman, penentang kejahatan, dan mereka itu adalah segermbolan orang jahat yang berhati kejam, yang suka melakukan kejahatan. Bayangkan saja andaikata tidak ada engkau, Liong-ko, aih.... aku akan tertimpa malapetaka yang bagiku lebih mengerikan dan menyedihkan daripada maut sendiri. Engkau sudah benar, Liong-ko, tidak ada sesuatu untuk disesalkan."

   Sie Liong memandang gadis itu dan tersenyum, akan tetapi senyumnya tidaklah segembira malam tadi atau pagi tadi sebelum terjadi peristiwa itu.

   "Engkau tidak mengerti, Ling Ling. Sudahlah, mari kita kemasi barang kita untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, sebelum itu aku akan menguburkan dulu lima jenazah itu."

   "Menguburkan mereka?"

   
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gadis itu terbelalak, akan tetapi melihat sinar mata pendekar itu, iapun menunduk.

   "Baiklah, Liong-ko.... aku hanya menuruti semua perintahmu."

   Mendengar jawaban ini dan melihat sikap Ling Leing, senyumnya melebar dan tidak begitu pahit lagi. Gadis ini sungguh merupakan sinar baru dalam kehidupannya. Dia tadi merasa terpukul dan berduka sekali mengenangkan kekejaman yang telah dilakukannya terhadap lima orang yang tidak dikenalnya itu. Dan dia tahu bahwa kekejaman itu dia lakukan karena cemburu dan kebencian yang amat hebat. Padahal, kebencian merupakan suatu hal yang harus dihindarkan, demikian yang selalu dipesankan oleh Pek-sim Sian-su kepadanya. Tak lama kemudian, Sie Liong sudah membuat lubang kuburan untuk lima jenazah orang-orang yang tidak pernah dikenalnya itu.

   Ling Ling hanya menonton dari kejauhan, tidak mau mendekat karena merasa ngeri. Diam-diam gadis ini semakin kagum kepada Sie Liong. Seorang pendekar sakti yang budiman, gagah perkasa, namun berhati lembut. Mana ada orang mau menguburkan jenazah orang-orang jahat yang tadi menjadi musuhnya? Setelah selesai mengubur jenazah lima orang yang dibunuhnya itu dengan sederhana namun pantas, Sie Liong lalu mengajak Ling Ling melanjutkan perjalanan ke selatan. Penyesalan dan bertaubat tidak akan ada gunanya kalau hal itu datang dari pikiran belaka. Pikiran hanya alat dalam kehidupan ini, namun pikiran sudah bergelimang dengan daya rendah sehingga menjadi budak dari nafsu. Perbuatan apapun yang dilakukan menurut pikiran tentu mengandung nafsu, karena pikiran sendiri sudah bergelimang nafsu.

   Karena akibat dari perbuatan yang dikemudikan nafsu ini, yang dasarnya mengejar kesenangan dan kepuasan, menuju ke arah kerugian lahir batin, maka timbul penyesalan dan keinginan bertaubat. Penyesalan dan bertaubat ini selalu muncul kalau akibat dari pada perbuatan berdasarkan nafsu itu datang menimpa diri. Namun, kalau hanya pikiran yang berjanji untuk bertaubat, biasanya hal itu hanya sementara saja dan akan tiba saatnya pikiran melupakan janjinya atau sengaja melanggar karena tidak mampu menahan desakan nafsu. Penyesalan dan bertaubat baru ada gunanya kalau kita menyerahkan diri kepada Tuhan! Hanya Tuhanlah yang akan dapat membersihkan pikiran dari cengkeraman daya rendah. Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur segala Besuatu menjadi beres dan tertib, sesuai dengan kedudukan dan tugas masing-masing.

   Sebaliknya, pikiran tidak mungkin dapat menertibkan diri sendiri, karena usahanya itupun masih dalam tuntunan nafsu. Keinginan akan sesuatu, itulah sifat nafsu. Ingin begini atau tidak ingin begini masih sama saja, ditujukan untuk mencari kesenangan, keenakan, kepuasan. Ingin bebas dari nafsu! Inipun merupakan ulah nafsu! Yang "ingin"

   Bebas inipun nafsu, dengan harapan bahwa kalau bebas dari nafsu itu tentu menyenangkan, tidak menyusahkan, dan segala harapan yang enak-enak. Maka terjadilah keinginan bebas dari nafsu yang diinginkan oleh nafeu. Jelas tidak mungkin! Selama ada keinginan akan sesuatu, di situ nafsu bekerja dan merajalela. Lalu timbul pertanyaan tentunya. Bagaimanakah kita harus melangkah agar kita dapat terbebas dari nafsu?

   Kita harus berhati-hati karena pertanyaan inipun datang dari nafsu itu sendiri! Karena itu, satu-satunya jalan bagi kita adalah melihat kenyataan! Kenyataannya ialah bahwa pikiran kita bergelimang daya-daya rendah, pikiran kita dikuasai nafsu. Titik! Kita menyerah kepada Tuhan, menyerah dengan penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, tanpa membiarkan diri diseret ke dalam keinginan-keinginan ini dan itu. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Kasih! Telaga Nam berada di kaki Pegunungan Thang-la, di sebelah utara kota Lashe, ibu kota di Tibet. Biarpun telaga ini amat indah, namun tidak banyak orang datang berkunjung, karena tempat ini terlalu jauh di barat bagi mereka yang tinggal di Propinsi-propinsi Cing-hai, Sin-kiang, Se-cuan, atau Yun-nan. Hanya beberapa orang penduduk Tibet yang berkeadaan mampu saja yang kadang-kadang berpesiar ke Telaga Nam.

   Orang-orang Han jarang yang tiba di tempat itu. Orang Han yang berdatangan ke Tibet hanyalah mereka yang berdagang, dan yang mereka kunjungi hanyalah kota-kota besar seperti La-sha. Yang berkunjung ke telaga Nam hanya orang-orang Tibet atau peranakan Han Tibet. Akan tetapi, pada pagi hari yang cerah itu, nampak seorang pemuda dan seorang gadis mendayung perahu kecil di telaga itu. Mereka merupakan pasangan yang cocok sekali. Senang orang memandangnya. Yang pria merupakan seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh satu tahun, wajahnya tampan dan pakaiannya yang berwarna biru dan kuning itu rapi, menambah ketampanannya. Wajahnya dengan kulit muka putih bersih itu berbentuk bulat, sepasang alisnya berbentuk golok dan hitam sekali.

   Hidungnya besar mancung dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Sepasang matanya tajam mencorong, Akan tetapi kadang-kadang ada kilatan aneh seperti mengandung kekejaman. Adapun yang wanita adalah seorang gadis barusia kurang lebih delapan belas atau sembilan belas tahun. Seorang gadis yang berwajah manis sekali, dengan sepasang mata yang kocak, tajam dan jeli. Wajah yang manis ini menjadi semakin menarik karena selalu cerah, penuh dengan senyum dan pandang mata jenaka, wajah yang hampir selalu berseri. Anehnya gadis ini mengenakan pakaian tambal-tambalan, padahal pakaian itu bersih sekali dan kain-kain tambalan itu sama sekali bukan kain buntut. Agaknya memang dibuat tambal-tambalan, dari bahan kain yang baru!

   Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Mereka itu adalah Yauw Bi Sian dan sutenya, Coa Bong Gan. Biarpun Bong Gan lebih tua dari Bi Sian, namun dia terhitung sute (adik seperguruan) gadis itu karena gadis itu yang lebih dulu menjadi murid Koay Tojin. Seperti kita ketahui, Bi Sian marah dan mendendam kepada Sie Liong, adik ibunya yang dahulunya menjadi teman sepermainan dan dahulu amat disayangnya itu. Ia merasa yakin bahwa pamannya itu telah membunuh ayahnya, dan karena itu maka ia minggat dari rumah untuk mencari Sie Liong dan membalas dendam atas kematian ayahnYa. Dan ia minta bantuan sutenya, Coa Bong Gan, untuk membantunya mencari Sie Liong dan membalas dendam karena ia tahu bahwa Sie Liong amat lihainya sebagai murid supeknya, yaitu Pek-sim Sian-su.

   

Mutiara Hitam Eps 19 Mutiara Hitam Eps 8 Istana Pulau Es Eps 2

Cari Blog Ini