Sepasang Pedang Iblis 37
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 37
"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
"Apa kau bilang?"
Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut. Milana juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu keras-keras,
"Aku membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."
Sekali berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran huruf-huruf yang coretannya indah dan kuat itu, mula-mula perlahan kemudian dibacanya lagi agak keras, diulang-ulangi. SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN, KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN MANUSIA. Belum pernah dia bertemu dengan kalimat seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya dengan pertanyaan Maharya! Ia menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat dalam kitab-kitab yang pernah dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya,
"Hampir sama dengan makna dalam kitab To-tik-keng ayat pertama!"
Milana yang biarpun sudah banyak membaca namun sejak dahulu memang tidak menaruh minat terhadap kitab-kitab filsafat dan agama, bertanya,
"Bagaimana bunyinya, Paman?"
Suma Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab To-tik-keng seperti yang diingatnya :
Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan Nama adalah ibu segala benda.
Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya.
keduanya berpasangan walau namanya berbeda.
pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!
Tiba-tiba Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru,
"Wah! Kalau begitu cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta Maharya itu, Paman!"
Suma Han melongo.
"Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"
"Jawabannya adalah itu! Tidak ada apa-apa!"
"Ah, masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu, diperkuat pula oleh bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada persamaan dengan kalimat di dinding itu."
"Justeru keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus menghancurkan pertanyaan itu, Paman"
"Alan, engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah pertanyaan gawat yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding dan ayat pertama To-tik-keng sama sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"
"Sudah jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu bukan, karena diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama sejati! Awal Langit Bumi adalah Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini yang sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"
"Husshh! Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman dahulu tentu sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada yang memiliki kesucian sedemikian tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu dengan Aku-nya yang Sejati!"
"Ah, hal itu tidak mungkin, Paman!"
"Mengapa tidak mungkin?"
"Misalnya aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan siapa pula yang ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu dan yang sejati saling bertemu, yang palsu maupun yang sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman. Karena pikiran mengingat akan pelajaran yang pernah dipelajarinya, pernah mendengar tentang Aku Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati yang bukan lain juga khayalan pikiran sendiri belaka!"
Suma Han mengangguk-angguk.
"Hemm.... hemm.... biarpun uraianmu itu tidak berdasarkan filsafat-filsafat kuno, akan tetapi masuk diakal pula!"
Suma Han termenung, wajahnya makin lama makin terang, dan beberapa kali dia mengangguk-angguk dan menggumam.
"Engkau hebat, Alan.... engkau membuka kesadaranku.... engkau membuka mata batinku...."
Milana tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa wajah Pendekar Super Sakti itu kini berubah, berseri dan bersinar seolah-olah kemuraman yang tadinya selalu merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini terusir bersih.
"Terima kasih, Alan....!"
Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu dan memeluknya, mencium dahinya. Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan, akan tetapi ketika ayahnya itu mencium dahinya, Milana terisak dan memejamkan matanya. Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan ayah, akan tetapi perasaan ini ditahannya. Suma Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu dan Milana melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh kebahagiaan.
"Ahhh, siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"
"Apa.... apa maksudmu, Paman?"
"Aku tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban dari segala macam pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang mulai menyalakan api penerangan itu, Alan. Biarpun tidak kau sengaja, karena engkau polos, wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah yang menyalakan api penerangan! Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia merindukan kebahagiaan, dia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan kebahagiaan, maka kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak akan kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu. Kalau terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja! Ha-ha-ha! Dan semua pelajaran itu.... ha-ha-ha, semua itu sungguh menggelikan. Hanya permainan khayal, lelucon hidup!"
Milana memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat dan mendengar ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut merasa gembira walaupun bingung juga karena tidak mengerti.
"Bagaimana, Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"
"Sudah terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut dan pikiran! Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar atau dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"
"Wah, sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!"
Milana berseru sambil memijit-mijit pelipis kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua kata-kata ayahnya.
"Aku sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku, Alan. Pikiran merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan coretan-coretan beraneka warna, tidaklah mudah untuk membersihkannya, walaupun bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas goresan, bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum budiman di jaman dahulu, memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan kertas putih belum ternoda oleh goresan-goresan kotor!"
Tiba-tiba dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin.
"Heiii! Pendekar Super Sakti, Suma-Taihiap! Lapat-lapat aku mendengar engkau bilang sudah mendapatkan jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera memberitahukan kepadaku, jangan menjual mahal!"
Suma Han tersenyum, lalu menjawab,
"Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan jawablah bahwa Aku Sejati yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias palsu!"
Hening sampai lama sekali di bawah karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin menjadi bingung dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang dianggapnya aneh itu. Kurang lebih seperempat jam kemudian, barulah terdengar suaranya.
"Suma-Taihiap, apakah engkau sengaja memperolok-olokkan aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah jawaban!"
"Mengapa bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab dengan dasar filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar filsafat lain. Akan tetapi jawaban ini berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Siapa yang dapat membantah kenyataan? Dengarlah baik-baik, Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah, jawabannya yang dinamakan Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan khayalan pikiran alias palsu!"
"Kenapa begitu?"
"Karena, yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah didengar dari seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan pikiran. Jadi jelas bahwa yang dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan pikiran, palsu."
"Hemm, seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya. Bagaimana kalau dia tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku Sejati, bukan mempersoalkan ada atau tidaknya. Ada atau tidak bukanlah persoalan manusia, bukan persoalan hidup."
"Kau benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan kutempiling kepalanya kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma-Taihiap, di antara kita sendiri, apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita ingin mengerti, kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidak ada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita belum mengerti, dan tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah ada Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan pernah mengerti tentang Aku Sejati, atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Bu-tek Siauw-jin, dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya itu dan menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku dan engkau dan dia dan mereka!"
"Wah-wah-wah! Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-Taihiap! Belum pernah selama hidupku aku mendengar orang berbicara seperti itu."
"Aku pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu, sekarang mari kita menjumpai Koksu dan para pembantunya."
"Kita?"
"Benar, karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah sana, Siauw-jin dan Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"
Terdengar suara ledakan keras ketika Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang lantai dan lantai batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara itu meloncat turun ke dalam kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin. Ketika Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali dan baru sekarang dia mengenal gadis itu setelah gadis itu muncul, bersama pamannya.
"Kau.... kau.... Milana....!"
Teriaknya. Milana juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi?
"Kwi Hong....!"
Katanya dan ia terisak.
"Milana....? Engkau.... engkau.... Alan.... engkau Milana....?"
Suma Han merasa seperti disambar petir ketika ia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana.
"Aihh, betapa bodohku! Dan ibumu.... Nirahai.... dia.... dia...."
Milana masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya.
"Be.... benar Ayah....!"
Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana dan tiba-tiba dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi, pintu kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti itu lenyap bersama Milana.
"Paman....!"
Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak berada di situ lagi. Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan robohnya para pengawal yang menjaga ketika mereka itu secara berani mati mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar Super Sakti. Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang.
"Waaah, aku kecelik! Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru kepadaku. Benar-benar aku merasa malu sekali!"
Dia terus menggeleng-geleng kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum.
"tsk-tsk-tsk!"
Tiada hentinya.
"Akan tetapi ilmu yang kau ajarkan kepadaku juga hebat, Suhu,"
Bantah Kwi Hong.
"Sudahlah, mari kita keluar."
Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring sekali,
"Haiii! Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini dan terima jawabankuuuu....!"
Bersama Kwi Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja yang sudah ambrol, berjalan seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.
"Ayah.... harap jangan marah, Ayah.... ampunkan aku, Ayah.... dan jangan marah kepada Ibu.... hu-hu-huuuk...."
Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk keluar, merobohkan siapa saja yang menghalanginya sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan. Suma Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika dia menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk Milana, mendekap kepala puterinya itu di dadanya dan mengelus-elus rambut yang halus itu.
"Milana.... ah, anakku.... aku seperti buta tidak mengenalmu....! Milana, betapa kejam hati ibumu, mengapa merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang, melakukan hal-hal keji dan menggegerkan dunia kang-ouw? Mengapa dia begitu kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu? Di mana dia? Di mana Nirahai? Aku harus bertemu dengannya dan menegurnya!"
"Ayah, jangan memarahi Ibu...." "Aku akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan mempertimbangkan siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."
"Ayah, aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah ingin bertemu dengan Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari, Ibu berada di cabang kami dekat kota raja kalau aku tidak salah duga!"
Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke markas Thian-liong-pang dekat kota raja yang baru saja didirikan setelah Thian-liong-pang membantu pemerintah. Para anggauta Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar Super Sakti datang mengunjungi perkumpulan mereka.
Mereka yang belum pernah melihat pendekar ini, memandang dengan mata terbelalak ketika teman-temannya yang pernah bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan bisik-bisik bahwa itulah Pendekar Siluman To-cu Pulau Es yang amat terkenal itu. Andaikata Suma Han datang seorang diri, biarpun jerih, agaknya mereka masih akan menghadangnya, sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di luar sebelum mereka melapor kepada ketua mereka. Akan tetapi karena kedatangan pendekar ini bersama Milana, tidak ada seorang pun anggauta Thian-liong-pang yang berani mencegah mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam, dua orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, menyambut mereka dengan muka pucat melongo.
"Siocia, apa artinya ini....?"
Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun dari kursinya ketika melihat Suma Han.
"Nona, tahan dulu....!"
Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan ragu-ragu dan bingung karena tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan terhadap To-cu Pulau Es yang sudah diketahui kelihaiannya itu. Milana membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua.
"Harap kedua kakek suka mundur dan jangan mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan Thian-liong-pang. Kakek Bhok, di mana Ibu?"
"Di dalam taman,"
Jawab Sai-cu Lo-mo yang memegang tangan kawannya dan memberi isarat agar jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan ruangan itu. Sai-cu Lo-mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah diberi tahu oleh ketua mereka bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti, yaitu ketika dia dahulu melamar dara itu untuk cucu keponakannya, Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu, suami Ketua Thian-liong-pang, telah datang dan agaknya rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini, akan tetapi karena maklum bahwa urusan itu adalah urusan keluarga, maka dia menarik tangan Chie Kang dan berkata,
"Chie-sute, mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh kita kalau kita mencampurinya."
"Eh, apa yang terjadi, Suheng?"
"Sssstt, diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."
Suma Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti Milana yang sudah lari ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir sebuah anak sungai yang airnya mengalir tenang.
Tempat ini adalah pemberian dari Koksu sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan cabang yang terbesar karena dari sinilah dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu pemerintah membasmi para pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw. Tiba-tiba Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk menunjukkan kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang duduk di bawah pohon di tepi anak sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi itu. Seketika kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup angin ketika ia melihat wanita berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini dia mengenal betul bentuk tubuh Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biarpun mereka telah saling berpisah lama sekali.
"Nirahai....!"
Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil ketika dia mencelat ke dekat wanita itu dan berdiri dalam jarak tiga meter. Wanita berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri sambil membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.
"Han Han....!"
Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan tetapi dia melihat Milana menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa rahasia telah terbuka oleh Milana. Sekali renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona melihat wajah isterinya itu masih cantik jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia bertemu dengan Nirahai pada waktu Milana berusia tujuh-delapan tahun yang lalu, bahkan masih seperti waktu masih gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin mereka saling berpisah!
"Kau.... kau mau apa datang ke sini....?"
Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar dan kedua matanya seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya bergerak seperti hendak menahan tangis.
"Nirahai!"
Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah marah lagi mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang.
"Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang yang telah melakukan segala macam perbuatan keji dan rendah itu?"
Kalau tadinya Nirahai gemetar dan pucat pandang matanya sayu dan dia seperti setangkai kembang yang hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba wajahnya menjadi kemerahan, pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak, dada membusung, dagu terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara dingin tegas keras, seperti biasanya suara Ketua Thian-liong-pang.
"Benar! Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han? Seperti telah kukatakan padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu bertanding! Majulah, Suma Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua Thian-liong-pang sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di tempat ini!"
Setelah berkata demikian, Nirahai menggerakkan tangan dan kerudungnya telah menutup mukanya kembali. Dia berdiri dan bertolak pinggang, sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah mengeluarkan sinar berapi yang ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.
"Nirahai! Aku tidak peduli untuk apa kau lakukan itu semua, tidak peduli untuk menantang aku atau siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut itu engkau telah menyeret anak kita Milana ke dalam pecomberan! Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu mementingkan perasaan hatimu sendiri, tidak ingat sama sekali akan kepentingan anak kita!"
"Cukup!"
Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di sebelahnya tergetar dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han dan dia berkata,
"Tidak perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengoklah tengkukmu sendiri dan bercerminlah! Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak Milana kulahirkan, pernahkah engkau datang mencarinya? Pernahkah engkau sebagai ayahnya menimang anakmu itu satu kali saja? Engkau melupakan anak kita, engkau hidup dengan angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau Es."
"Sang Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi, begitu sakti seperti dewa! Sekarang setelah Pulau Es hancur, engkau pura-pura mencari anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan aku?"
"Nirahai! Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biarpun aku sekarang sudah tidak punya apa-apa, kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah ikut bersamaku, sebagai isteriku yang tercinta, marilah kita melanjutkan sisa hidup ini untuk mendidik anak kita...."
"Tidak sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"
"Nirahai, engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo membunuh orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu gara-gara bujukan Bhong Koksu. Baik, sekarang juga aku akan menghancurkan dia, membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya. Selamat tinggal, Nirahai!"
Dengan wajah pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han membalikkan tubuh dan berloncatan pergi.
"Ayaaaahhh....! Ayaaahh.... tungguuuu....!"
Milana menjerit dan meloncat lalu lari mengejar, tidak mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi melainkan terhuyung ke belakang dan berpegang pada batang pohon sambil menangis! Mendengar jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi ia tetap berdiri tegak, tidak menoleh.
"Ayahh....!"
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu.
"Ayah, mengapa Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak menderita karena Ayah. Dan lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di dalam tahanan? Mengapa Ayah menurutkan nafsu hati yang terdorong oleh ingatan? Apakah Ayah kembali hendak memasuki alam penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran sendiri yang palsu? Ayahhh....!"
Lemas seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia menghela napas panjang dan berkata lirih,
"Anakku.... engkau jauh lebih bersih daripada aku atau ibumu, aku.... aku hanya manusia lemah.... manusia canggung yang tak tahu lagi apa yang akan kulakukan.... aku tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga cacad batiniah, lemah dan canggung. Mungkin ibumu lebih benar, biarkan aku pergi dulu, Milana...."
"Ayaaahhh....!"
Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.
"Ibuuu....!"
Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung dan hampir roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua orang ibu dan anak ini bertangis-tangisan.
"Ibu, mengapa kita menjadi begini?"
Nirahai memeluk puterinya, menahan isaknya.
"Entahlah, anakku.... entahlah.... aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan ayahmu...."
"Ibu mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."
"Tidak ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia sudah menyakiti hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang rusak hanya...."
"Hanya bagaimana, Ibu?"
"Biar dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau buka rahasia kerudungku kepadanya."
"Ah, tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar tahanan di gedung Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"
"Di kamar tahanan gedung Koksu?"
Nirahai menghentikan isaknya, memandang puterinya dengan heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh ayah kadungnya sendiri, menceritakan betapa baik ayah kandungnya itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In kalau tidak ada ayahnya yang menolong, kemudian tentang pengintaiannya ke gedung Koksu.
"Ibu, mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang diadakan oleh Koksu itu sebetulnya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki tangannya mempunyai rencana pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela kerajaan."
"Apa....?"
Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan kemarahannya mendengar ini. Milana menceritakan sejelasnya akan semua percakapan yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong Ji Kun. Kemarahan Nirahai memuncak.
"Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus dibunuh, dia berbahaya bagi kerajaan!"
Nirahai meloncat bangun, semua kelemahan akibat keharuan dan kedukaan sudah lenyap dan semangatnya bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang tegas! Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya dengan langkah terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut memasuki taman, dan dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata,
"Maaf, Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka parah dan perlu segera menghadap Pangcu...."
Nirahai mengangkat tangan ke atas.
"Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang telah terjadi?"
Dengan suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan tentang perbuatan Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan.
"Kami tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia lihai bukan main, iblis cilik Pulau Neraka itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada punggung kami dan menyuruh kami menghadap Pangcu. Dia.... dia.... mengajukan pinangan kepada Nona Milana.... kalau dalam waktu sebulan Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan Wan Keng In, dia datang membasmi Thian-liong-pang....!"
"Bresss! Krraaaakkk!"
Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan Nirahai yang menjadi marah bukan main.
"Bangsat cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang? Bangsat itu harus mampus di tanganku!"
"Harap Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka parah,"
Tiba-tiba Sai-cu Lo-mo berkata. Nirahai meghampiri seorang anggauta Thian-liong-pang yang berlutut di depannya, merobek bajunya dan dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di punggung orang itu.
"Apakah semua terluka seperti ini?"
Tanyanya kepada Wi Siang. Tang Wi Siang mengangguk.
"Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati, kecuali kalau Pangcu menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami, demikianlah pesannya."
"Hemm, si keparat!"
Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya tidak hebat itu, hanya merupakan "cap"
Merah dari tiga buah jari tangan. Ia mencoba dengan menyalurkan sin-kang, telapak tangannya ditempelkan di punggung untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.
"Hemm, pukulan beracun ini amat aneh dan aku tidak mengenal racun apa yang terkandung dalam hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."
Sai-cu Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang pisau tajam meruncing terbuat daripada perak. Nirahai menggerakkan ujung pisaunya menggurat tanda tapak jari tangan di punggung orang itu yang menggigit bibir menahan rasa nyeri agar tidak menjerit.
"Aihh....!"
Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan pisau itu memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih perlahan, kemudian tak bergerak sama sekali, dan ketika Nirahai memeriksanya, ternyata dia telah mati! Tentu saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan teman-temannya yang terluka. Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya dan berkata,
"Pangcu, harap Pangcu bunuh saja saya dengan sekali pukul. Pukulan beracun ini agaknya hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan saya lebih baik mati daripada Nona Milana diperisteri olehnya. Daripada menanggung derita sebulan lamanya, biarlah sekarang saja Pangcu membunuh saya."
Nirahai mengerutkan alisnya.
"Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan obatnya. Waktu sebulan masih lama...."
"Percuma saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat menyembuhkan luka beracun itu!"
Nirahai dan semua orang cepat menengok.
Mereka sama sekali tidak mendengar ada orang datang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik sekali biarpun usianya sudah tidak muda lagi, kurang lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan pada wanita ini yaitu mukanya. Mukanya itu berwarna putih seperti kapur! Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat wanita ini, timbul rasa kasihan di dalam hati Milana! Gadis ini, dan semua anggauta Thian-liong-pang sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, wajah di dalam kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi pucat sekali ketika dia mengenal wanita bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai mengenalnya karena wanita itu bukan lain adalah sumoinya sendiri ketika mereka berdua dahulu menjadi murid Nenek Maya. Wanita bermuka putih dan amat cantik itu bukan lain adalah Lulu!
"Bibi yang baik, benarkah Bibi akan dapat menyembuhkan mereka ini?"
Milana bertanya dan mengagumi wajah yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna putih seperti kapur karena sesungguhnya wanita itu cantik sekali, terutama sekali matanya yang seperti bintang dan yang membuat dia merasa suka adalah karena wajah wanita ini mirip-mirip dengan wajah ibunya yang tersembunyi di balik kerudung.
Wanita ini mengangguk, mukanya tetap dingin sungguhpun sepasang mata yang indah itu memandang Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan suka.
"Tentu saja aku dapat menyembuhkan mereka dengan mudah."
Nirahai menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka? Dan ke mana saja selama ini perginya?"
Dia lalu melangkah maju, merubah suaranya menjadi suara Ketua Thian-liong-pang yang dingin dan berwibawa,
"Siapakah engkau? Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka mereka ini?"
Lulu menatap muka berkerudung itu, bertemu pandang dan ia kagum melihat sepasang mata yang begitu bersinar-sinar penuh semangat dan wibawa. Orang ini memang patut menjadi Ketua Thian-liong-pang yang terkenal pikirnya.
"Aku merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menyembuhkan mereka ini, biarpun engkau akan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari manapun juga, karena obat penawar racun ini hanya terdapat di Pulau Neraka."
"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?"
Lulu hanya menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat ini, Nirahai bergidik. Dahulu Lulu adalah seorang wanita yang periang, jenaka dan ramah, mengapa sekarang menjadi segunduk es beku, dingin dan mengerikan?
"Pangcu, Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa menyembuhkan mereka!"
Terdengar seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat bangun dan memandang dengan mata terbelalak.
"Engkau.... Ketua Pulau Neraka....?"
Lulu mengangguk dan berkata muak,
"Bekas.... ketua boneka...."
"Iblis betina!"
Para anggauta Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak meloncat bangun dan menyerang Lulu, dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan diikuti pula oleh beberapa orang anak buah Thian-liong-pang lain yang sudah berada di situ.
Tidak kurang dari dua puluh orang menyerbu Lulu, ada yang memukul, ada yang mencengkeram, ada yang menendang. Terdengar suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk ketika tubuh dua puluh orang itu terlempar ke sana-sini dan terbanting keras. Setelah semua penyerang roboh terjengkang, kini tampaklah Lulu yang masih berdiri dengan tenang dan matanya yang indah itu mengerling ke sekelilingnya dengan muka digerakkan ke kanan-kiri. Melihat mereka sudah mencabut senjata dan hendak bangkit lagi, Lulu mengangkat kedua lengan ke atas dan berkata, suaranya melengking nyaring dan penuh wibawa karena dikeluarkan dengan pengerahan khi-kang.
"Tahan....! Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak buahmu yang lancang dan bodoh ini? Kalau aku datang dengan iktikad buruk, perlu apa aku bicara lagi? Tanpa turun tanganpun, dengan membiarkan mereka, anak buahmu yang terluka itu akan mati semua. Kalau aku berniat jahat, perlu apa aku menawarkan penyembuhan?"
Nirahai sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan tetapi dia terlalu heran mendengar Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau Neraka sehingga dia melongo dan tidak sempat melarang anak buahnya menyerang Lulu yang akibatnya amat luar biasa itu, yaitu anak buahnya terjengkang semua dan roboh seperti daun kering tertiup angin. Kini dia cepat membentak,
"Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo mundur semua dan jangan turun tangan kalau tidak ada perintah!"
Kemudian Nirahai menghadapi Lulu dan berkata, suaranya masih dingin,
"Jadi engkau adalah Majikan Pulau Neraka yang tersohor itu? Hemm, sungguh aneh. Akan tetapi, bicara tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad baikmu. To-cu (Majikan Pulau), kau sembuhkan dulu anak buahku, barulah kita bicara."
Lulu mengangguk dan merasa kagum.
"Engkau patut menjadi Ketua Thian-liong-pang. Buka baju kalian bagian punggung dan berlututlah berjajar agar mudah aku mengobati kalian!"
Mereka yang terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan anak buahnya, segera menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang ada tandanya tapak tiga buah jari tangan merah, kemudian berlutut dan berjajar menjadi barisan punggung telanjang yang lucu juga.
Kalau keadaan tidak demikian menegangkan, tentu kejadian ini akan menimbulkan ketawa. Lulu memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah menggunakan pukulan yang mengandung racun akar merah seperti yang diduganya, ketika tadi ia melihat akibat yang menewaskan seorang anggota yang terluka pada waktu Ketua Thian-liong-pang menorehnya dengan pisau untuk melihat darah dan menyelidiki racunnya. Dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hijau. Dengan jari tangan kiri dia memukul punggung itu untuk memunahkan hawa pukulan puteranya, kemudian tangan kanannya melaburkan obat bubuk dan menekankannya ke atas tanda tapak jari merah di punggung. Setelah selesai mengobati semua orang, dia berkata,
"Luka dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan, kemudian dalam waktu sehari akan kering seperti bekas luka yang merobek kulit. Kalian sudah sembuh, hanya sayang seorang di antara kalian tak tertolong."
Ia memandang mayat yang masih menggeletak di situ. Nirahai menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya.
"Bagaimana rasanya sebelah dalam tubuhmu?"
"Sesak napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."
Nirahai lalu menjura kepada Lulu dan berkata,
"Terima kasih atas pertolongan To-cu, silakan To-cu masuk ke dalam di mana kita dapat bicara."
Lulu tadi mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan puteranya yang melamar puteri Ketua Thian-liong-pang, maka dia mengangguk karena dia pun ingin bicara akan hal itu. Tanpa bicara, kedua orang wanita aneh itu berjalan menuju ke dalam gedung, hanya diiringkan oleh Milana karena Nirahai memberi isyarat dengan gerak tangan kepada Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain untuk tidak mengganggu mereka. Tiga orang wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak mereka saling pandang, kemudian Nirahai berkata,
"Sungguh tidak pernah kusangka-sangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan menerima kunjungan To-cu Pulau Neraka seperti keadaan ini!"
Lulu menarik napas panjang.
"Harap jangan menyebut To-cu kepadaku karena sekarang Pulau Neraka sudah tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai anak buah...."
"Akan tetapi, anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!"
Milana berkata, membantah. Kembali Lulu menarik napas panjang.
"Itulah yang menyusahkan hatiku. Puteraku itulah.... ahhh, Pangcu. Justeru karena puteraku itulah maka aku sekarang berhadapan denganmu, dan marilah kita bicara sebagai dua orang ibu membicarakan masa depan kedua orang anaknya!"
Diam-diam Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu yang dahulu amat riang gembira dan jenaka itu. Dan kini putera Lulu ingin berjodoh dengan puterinya! Kalau saja keadaan ternyata lain, tidak seperti sekarang ini. Alangkah akan bahagianya peristiwa ini! Akan tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau Neraka, sudah berubah seperti iblis betina, dan puteranya itu, demikian kejam dan kurang ajarnya!
"Maksudmu bagaimana, To-cu?"
Tanya Nirahai.
"Pangcu, terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk mengobati luka anak buahmu. Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah jalan aku melihat anak buahmu yang terluka oleh pukulan Jari Tangan Merah, sebuah pukulan dari Pulau Neraka. Aku terkejut dan diam-diam aku mengikuti mereka. Setelah mereka masuk ke sini menghadapmu, aku mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah aku tahu akan segala hal yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah Thian-liong-pang, bahkan baru aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku, dan terutama sekali, baru aku tahu bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu dan mengajukan pinangan kepadamu dengan cara itu!"
"Cara yang amat bagus!"
Nirahai mencela. Lulu menarik napas panjang.
"Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal itu, Pangcu. Bukankah anak buahmu telah kusembuhkan? Hal itu berarti penebusan kesalahan puteraku. Yang penting sekarang, setelah aku mengetahui bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu, tentu dia inilah puterimu dan aku tidak heran mengapa puteraku jatuh cinta kepada dara yang cantik jelita ini, maka aku mempergunakan kesempatan ini untuk mengajukan lamaran secara resmi."
"Tidak! Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!"
Nirahai mengepal tangannya membentuk tinju.
"Sabarlah, Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak menjalaninya, bukan urusan kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi penonton. Yang terpenting adalah anak-anak itu sendiri. Puteraku sudah jelas mencinta puterimu, maka setelah kini puterimu hadir pula, sebaiknya kita mendengar pendapatnya akan pinangan ini. Bukankah sebaiknya begitu?"
Nirahai terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya sudah matang dan sikapnya begitu tenang! Dia merasa kalah bicara, maka sambil menoleh kepada Milana dia bertanya,
"Hemmm, coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu? Maukah kau menerima pinangannya?"
Wajah Milana seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan ia bangkit berdiri.
"Aku tidak sudi! Aku.... aku benci kepadanya!"
Setelah berkata demikian, Milana membalikkan tubuh dan meloncat pergi dan meninggalkan dua orang wanita itu.
Lulu memejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu membayangkan kedukaan, dan kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di hati Nirahai terhadap bekas sumoinya itu.
"To-cu, kau maafkan sikap anakku."
Lulu membuka matanya, memandang heran,
"Betapa anehnya! Aku mendengar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah seorang iblis betina yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Sekarang, anakku telah melakukan penghinaan kepadamu, dan anakmu baru bersikap sewajarnya seperti itu saja engkau mintakan maaf. Pangcu, apakah engkau ini seorang dewi berkedok iblis, ataukah seorang iblis bertopeng dewi? Aku memuji dan kagum kepada puterimu. Memang seharusnya begitulah sikap orang menghadapi urusan cinta. Kalau cinta mengaku cinta, kalau benci mengaku benci, tidak boleh pura-pura yang akan mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan seperti yang telah kualami!"
Jantung Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik muka seperti topeng berwarna putih itu? Apakah yang dialami oleh Lulu selama berpisah dengannya? Dahulu dia mendengar dari suaminya bahwa Lulu telah menikah dengan Wan Sin Kiat dan tentu Wan Keng In adalah putera Wan Sin Kiat. Apakah kini Wan Sin Kiat juga ikut menjadi pimpinan di Pulau Neraka?
"To-cu, marilah kita melupakan sebentar bahwa aku adalah pangcu dari Thian-liong-pang dan engkau To-cu dari Pulau Neraka, dan mari kita bicara seperti dua orang wanita. Engkau tadi bilang bahwa menghadapi urusan cinta tidak boleh berpura-pura karena akan mengakibatkan kesengsaraan seperti yang kau alami. Maukah engkau menceritakan kepadaku?"
Lulu memandang sepasang mata di balik kerudung itu.
"Andaikata engkau membuka kerudungmu dan aku melihat engkau sebagai seorang manusia, tentu aku lebih baik mati daripada menceritakan isi hatiku. Akan tetapi, berhadapan denganmu aku seperti berhadapan dengan bukan manusia, dan engkau malah ibu dari gadis yang dicinta puteraku! Hemm, kau dengarlah rahasia yang selama ini hanya kusimpan di dalam hatiku saja. Aku membenarkan puterimu karena perjodohan yang dipaksakan akan membawa akibat mengerikan, sebaliknya, cinta kedua pihak yang dipisahkan juga mendatangkan kesengsaraan. Bukan hanya akibat yang menimpa diri sendiri saja, akan tetapi juga menimpa kepada orang lain, kepada keturunan! Aku sendiri mengalaminya. Aku mencinta seseorang, semenjak remaja puteri aku cinta kepadanya, dan dia cinta kepadaku, akan tetapi kami berpura-pura, malu untuk mengaku, sehingga aku dipaksa menikah dengan pria lain yang kusangka dapat kucinta sebagai pengganti dia. Sampai aku mempunyai seorang putera. Akan tetapi sia-sia belaka, aku tidak bisa memindahkan cinta kasih, akhirnya aku meninggalkan suamiku dan suamiku membunuh diri secara tidak langsung dan halus.... dan aku membawa anakku ke neraka dunia! Aihhh, itulah yang paling membuat hatiku menyesal, aku telah merusak anakku sendiri sehingga dia menjadi seperti itu....! Keng In.... akulah yang membuat engkau rusak.... kalau aku tidak menuruti hati yang dirundung kerinduan, dimabuk cinta kasih, dan aku rela berkurban, hidup di samping ayahmu, agaknya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa dan terhormat....!"
Lulu menutup muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan kesedihannya yang tarpancar dari kedua matanya yang mulai membasah sehingga dia tidak melihat betapa mata di balik kerudung itu memancarkan pandang mata yang aneh sekali. Dia tidak tahu betapa jantung Nirahai seperti diremas-remas mendengar penuturannya itu, biarpun dia tidak menyebut nama karena Nirahai sudah dapat menduga siapakah pria yang dicinta oleh Lulu itu! Suma Han. Tentu saja! Setelah melihat Lulu dapat menguasai dirinya, Nirahai bertanya dengan suara biasa, namun dengan penekanan hatinya yang berdebar tegar.
"Lalu sekarang bagaimana dengan pria yang kau cinta itu?"
"Dia.... diapun seperti aku, dia.... dia menikah dengan wanita lain!"
"Hemm, dan dia masih mencintaimu?"
"Tentu saja, biarpun dia juga mengaku bahwa dia mencinta isterinya itu."
Jantung Nirahai berdebar makin kencang. Jadi Suma Han telah bertemu dengan Lulu dan mengaku bahwa suaminya itu mencintanya?
"Dan engkau?"
"Aku? Aku sekarang.... benci kepadanya! Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua, yaitu menjadi isterinya atau menjadi musuhnya sampai seorang di antara kami mati!"
Lulu menggenggam ujung meja saking gemasnya dan terdengar suara keras. Ujung meja itu hancur dan hangus!
"Kresss!"
Terdengar suara keras lain dan ujung meja di depan Nirahai juga hancur menjadi tepung diremas Ketua Thian-liong-pang ini. Dua orang itu saling pandang. Nirahai bangkit berdiri.
"To-cu, sekali lagi terima kasih atas pengobatanmu terhadap anak buahku. Dan sudah jelas bahwa pinangan anakmu itu kami tolak. Kalau engkau hendak menggunakan kekerasan seperti yang dikatakan anakmu, marilah aku siap melayanimu."
"Pangcu, biarpun aku pernah menjadi ketua boneka dari Pulau Neraka, namun dalam urusan cinta kasih, aku tidak mau bersikap keras. Bahkan aku akan menentang tindakan anakku kalau dia berkeras."
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sesukamulah. Akan tetapi katakan kepadanya, kalau dalam sebulan dia tidak datang memenuhi ancamannya hendak membasmi Thian-liong-pang, aku sendiri yang akan mencari dia untuk memberi hajaran!"
"Hemm, kalau sampai terjadi demikian, sebagai ibu kandungnya sudah pasti aku akan membelanya!"
"Hemmm, kita sama lihat saja nanti!"
"Pangcu, kuharap saja tidak akan terjadi demikian karena engkau tentu akan mati di tanganku!"
"Itupun sama kita buktikan saja nanti!"
"Selamat tinggal!"
"Selamat berpisah!"
Tubuh Lulu berkelebat dan lenyap dari situ, menerobos jendela ruangan itu dan berloncatan dengan cepat sekali me-ninggalkan markas Thian liong pang. Perpisahan yang aneh antara dua orang wanita yang aneh!
Nirahai duduk termenung. Terlalu banyak peristiwa menimpanya pada hari itu. Pertemuan dengan suaminya. Disusul munculnya Lulu dengan ceritanya yang hebat! Berita yang dibawa Milana tentang niat jahat koksu, untuk membunuhnya! Terlalu banyak peristiwa hebat yang menghimpit perasaannya, membuat wanita berkerudung yang ditakuti lawan atau kawan ini termenung sambil menunjang dagu dengan tangannya. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Gak Bun Beng! Yang terakhir kita melihat dia, pemuda yang berwatak lembut itu, mengubur semua mayat yang jatuh sebagai korban pertandingan besar di daerah tandus di puncak Ciung lai san di Se cuan, di mana diadakan pertemuan oleh Thian liong pang. Setelah selesai mengubur semua jenazah yang terlantar itu, Bun Beng menunggang kudanya kembali dan menjalankan kudanya perlahan menuju ke timur.
Dia telah berhasil merampas kembali Hok mo kiam, bahkan berhasil membunuh dua orang di antara musuh musuhnya, yaitu Tan siucai dan terutama sekali Thai Li Lama. Tadinya dia tidak bermaksud membunuh Tan-siucai seperti yang dilakukan terhadap Thai Li Lama karena dia tidak mempunyai dendam pribadi dengan Tan Ki. Adapun Thai Li Lama merupakan musuhnya karena Lama ini termasuk mereka yang sudah membunuh gurunya, yaitu Kakek Siauw Lam Hwesio. Akan tetapi musuh musuhnya masih amat banyak dan mereka itu malah jauh lebih lihai daripada Thai Li Lama. Thian Tok Lama adalah suheng Thai Li Lama yang tentu lebih lihai lagi, Im kan Seng-jin Bhong Ji Kun kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang lebih hebat.
Belum lagi Kakek Maharya yang sakti. Bergidik Bun Beng kalau teringat akan kakek ini, yang pernah ia saksikan ketika kakek itu mengadu ilmu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Baru bertemu dan melawan Thai Li Lama saja karena kurang hati-hati, dia terluka. Dia harus giat melatih diri. Mematangkan ilmu-ilmunya, terutama yang dia latih di dalam guha rahasia di bawah markas Thian liong pang di lembah Huang ho itu, sebelum dia meng-hadapi musuh musuhnya yang sakti. Juga dia harus mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan Hok mo kiam, karena pendekar itulah yang berhak atas pedang buatan Kakek Nayakavhira ini. Di sam-ping itu, dia harus mencari pemuda Pulau Neraka yang telah merampas Lam-mo kiam!
Bun Beng melakukan perjalanan perlahan. Dia tidak tergesa gesa dan di sepanjang jalan dia terus melatih ilmunya. Ketika ia menggunakan Hok mo-kiam untuk melatih ilmu Pedang Lo-thian Kiam sut yang amat dahsyat itu, dia menjadi girang karena mendapat kenyataan betapa pedang itu cocok ukurannya dan tepat pula beratnya sehingga pedang dan tangannya seolah-olah telah melekat dan bersambung menjadi satu! Barulah hatinya puas setelah dia berhasil memainkan seluruh jurus Lo thian Kiam sut tanpa berhenti. Padahal ilmu pedang ciptaan manusia sakti Koai Lojin itu bukanlah sembarangan ilmu sehingga Ketua Thian liong pang sendiri pun tidak mampu memainkan seluruhnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa pekan dan terpaksa meninggalkan kudanya dan melepas binatang yang sudah payah itu dalam sebuah hutan, tibalah Bun Beng di kaki pegunungan Lu-liang san, di tepi Sungai Kuning dan di perbatasan Mongolia selatan. Kota raja sudah tidak jauh lagi dan selagi dia berjalan seenaknya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Bun Beng cepat minggir dan menutupi mulut dan hidungnya dengan lengan baju karena tanah yang kering itu menghamburkan debu tebal ketika barisan kuda itu berlari datang. Pasukan atau rombongan berkuda itu terdiri dari tiga puluh orang lebih. Bun Beng merasa heran karena rombongan ini terdiri dari bermacam macam bangsa yang dapat dilihat dari bentuk pakaian mereka. Ada orang Mongol, ada pula orang Tibet dan banyak di antara mereka adalah orang-orang Han.
Akan tetapi melihat cara mereka menunggang kuda dan duduk dengan tegak, melihat senjata senjata pedang yang tergantung di punggung, melihat gerak mereka, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa rombongan itu terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi. Setelah rombongan berkuda itu lewat dan debu yang mengebul sudah habis tertiup angin, Bun Beng baru menurunkan lengan baju dari depan mukanya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke barat, ke mana rombongan tadi membalapkan kuda. Di dalam hati timbul kecurigaan dan keheranan. Dia merasa aneh dan tertarik sekali. Orang-orang Mongol, Tibet, dan orang-orang Han menjadi satu dalam sebuah rombongan? Aneh sekali! Mengapa tidak tampak orang Mancu yang pada waktu itu menjadi bangsa yang paling "tinggi"
Karena bangsa inilah yang berkuasa? Ada terjadi apakah?
Karena hatinya tertarik. Bun Beng mempercepat langkahnya, bahkan mempergunakan ilmu lari cepat untuk mengejar. Setelah malam tiba, dia berhenti di sebuah dusun dan mendapat keterangan bahwa baru saja rombongan itu lewat dan mereka tidak berhenti di dusun itu. Bun Beng membeli makanan, kemudian malam itu juga melanjutkan perjalanan karena merasa makin heran dan curiga. Hari sudah malam, dan dari dusun itu ke timur merupakan hutan lebat, mengapa mereka itu tidak berhenti di dalam dusun? Ketika dia melakukan pengejaran, dia melihat bahwa mereka itu berhenti di luar dusun dan beristirahat di tempat sunyi itu, membuat api unggun dan makan dari perbekalan mereka. Kiranya mereka itu hendak menjauhkan diri dari tempat ramai, maka mereka memilih tempat sunyi itu untuk melewatkan malam daripada di sebuah dusun.
Bun Beng terus membayangi rombongan ini dan dari percakapan percakapan mereka, dia mendengar bahwa mereka itu menuju ke daerah Cip hong yang berada di perbatasan Mongolia, di sebuah utara kota raja. Ketika ia mendengar disebutnya Koksu dan Pangeran Jeng Han dari Mongol dan Pangeran Yauw Ki Ong dari istana, dia makin tertarik, apalagi ketika mendengar percakapan
(Lanjut ke Jilid 36)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 36
mereka itu membayangkan sebuah persekutuan antara Tibet, Mongol, pejuang-pejuang Han, dan dari dalam istana sendiri! Tentu merupakan persekutuan gelap, pikirnya. Ketika rombongan itu tiba dipersimpangan jalan, Bun Beng merasa ragu-ragu. Kalau ke selatan, dia akan sampai di kota raja, tempat yang ditujunya semula. Akan tetapi, rombongan itu besuk pagi tentu akan membelok ke kiri, ke utara.
Untuk apa dia mengikuti mereka ini? Urusan persekutuan itu tidak menarik hatinya karena dia tidak mempunyai sangkut paut dengan itu. Akan tetapi, malam itu, ketika ia mengambil keputusan untuk melakukan pengintaian yang terakhir kalinya, dia mendengar percakapan yang benar benar mengejutkan dan menarik perhatiannya. Dari percakapan mereka, dia mendengar bahwa persekutuan itu, yang dikepalai oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu Bhong Ji Kun, merencanakan untuk membunuh kaisar dan untuk merampas kekuasaan pemerintahan! Dan rombongan itu merupakan bala bantuan untuk memperkuat pasukan orang gagah yang dipusatkan di dekat Cip-hong, di daerah yang terkenal sebagai tempat "api abadi", yaitu daerah sete-ngah tandus di mana terdapat api yang bernyala nyala dari tanah dan tak pernah padam selamanya.
Tanah di situ sebetulnya mengandung sumber minyak yang tergali, dan minyak dari tanah itulah yang membuat api tak pernah padam. Karena Bun Beng merasa benci kepada Koksu yang dianggapnya musuh besar, maka biarpun dia tidak berhasrat menyelamatkan Kaisar Mancu, dia ikut pula ke utara, terus membayangi rombongan itu karena dia ingin menggagalkan persekutuan yang dipimpin oleh Koksu musuh besarnya itu. Lebih lebih ketika dia mendengar bahwa pasukan orang-orang lihai yang tergabung dan dipusatkan di Cip hong itu merupakan pasukan khusus untuk menghadapi Thian liong pang! Hemm, mereka juga memusuhi Thian-liong pang dan pasukan ini khusus dipersiapkan untuk melawan orang-orang Thian liong pang!
Kisah Pendekar Bongkok Eps 20 Pendekar Super Sakti Eps 32 Pendekar Super Sakti Eps 29