Kisah Pendekar Bongkok 20
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
Setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersentuhan. Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi dan denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah! Ketika memasuki restoran itu barsama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah enam puluh tahun masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu. Gadis itupun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum,
Wanita itupun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat! Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di depannya, membelakangi meja Bong Gan. Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu dan Song Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka,
Nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu. Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan, iapun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan iapun mengerling ke arah meja itu. Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, dengan pedang di punggung, tentu saja iapun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apalagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian. Melihat betapi Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan diapun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz Han yang memang memiliki kecantikan istimewa. Yang berada di sampingnya adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan tampan gagah itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Thai-yang Suhu mendapat tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu. Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai "siluman merah"
Dan menculiki gadis-gadis dusun yang cantik.
Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sinto. Akan tetapi, ketika gerombolan ini yang bersembunyi di Bukit Onta sedang mengumpulkan gadis-gadis itu, muncul Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai-yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang di antara Tibet Sam Sinto tewas di tangan Pendekar Bongkok. Thai-yang Suhu dan Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Lasha karena Thai-yang Subu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw.
Dan dalam rumah makan ini, di mana Thai-yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah! Gairahnya segera bangkit, dan Pek Lan sudah menentukan pilihannya untuk bersenang-senang malam nanti! Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Biarpun ia melakukan perjalanan bersama Thai-yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, namun setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha untuk menundukkannya. Thai-yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan diapun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiripun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja!
Maka, melihat betapa Pek Lan memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah Thai-yang Suhu mengambil sikap tidak perduli. Setelah selesai makan, Bong Gan manggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa iapun menanggapi perasaan hati Bong Gan! Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat dan dia mengambil keputusan untuk malam nanti mancari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang amat mempesona ini. Ketika pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda ini yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian, segera bertanya,
"Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah engkau barangkali mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?"
Bi Sign tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, dan iapun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimanapun juga, pertanyaan itu tidak akan mandatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok. Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.
"Kongcu.... eh, apakah dia.... eh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?"
Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.
"Benar dia! Di manakah dia?"
"Dia....? Ah, saya tidak tahu, kongcu...."
Pelayan itu menoleh ke arah kamar pemilik rumah makan, yang juga dijadikan kantoran.
"Saya tidak tahu, akan tetapi majikan saya mungkin tahu...."
Dan dia kelihatan seperti orang ketakutan, lalu cepat meninggalkan meja itu sambil mumbawa uang pembayaran yang diberikan Bong Gan. Tentu saja Bi Sian merasa penasaran sekali. Dia bangkit dan berbisik kepada Bong Gan.
"Mari kita bertanya kepada pemilik rumah makan...."
Bong Gan mengangguk dan mengikuti suci-nya. Ketika mereka melewati meja sebelah dan Bong Gan memandang, Pek Lan menghadiahi sebuah senyum manis dan kedipan mata penuh arti.
Melihat ini, Bong Gan tersenyum dan mengangguk sedikit, untuk memberi isyarat bahwa dia dapat menangkap semua isyarat gadis manis itu dan merasa setuju kalau mereka dapat mengadakan hubungan yang lebih dekat! Bi Sian yang sudah merasa tertarik sekali mendengar berita tentang Sie Liong, sudah langsung menuju ke kantor pemilik rumah makan. Pemilik rumah makan itu sudah mendengar dari si pela-yan bahwa gadis cantik berpakaian aneh dan pemuda tampan itu bertanya-tanya tentang Pendekar Bongkok. Kini, melihat mereka mendatangi kantornya, si pemilik rumah makan menyambut dengan pandang mata penuh perhatian. Semenjak dia membantu Pendekar Bongkok, yaitu mencarikan tempat pemondokan untuk gadis peranakan Tibet Han yang menjadi adik angkat Pendekar Bongkok itu, dia tidak lagi pernah bertemu dengan Pendekar Bongkok.
"Apa yang dapat saya lakukan untuk ji-wi (kalian bordua)?"
Tanyanya ramah. Bi Sian yang sudah tidak sabar lagi untuk segera mengetahui di mana adanya Sie Liong, segera langsung berkata,
"Kami ingin mengetahui tentang seorang pemuda bongkok yang bernama Sie Liong dan yang terkenal dengan sebutan Pendekar Bongkok! Engkau tahu banyak tentang dia, maka kami harap engkau suka menceritakan di mana dia sekarang!"
Bagaimanapun juga, pemilik rumah makan itu bersimpati kepada Pendekar Bongkok yang pernah mengganti kerugiannya ketika terjadi keributan di rumah makan itu, dan bahkan adik angkat Pen-dekar Bongkok pernah tinggal bersama bibinya, yaitu bibi Cili. Maka, diapun merasa ragu apakah benar kalau dia bicara tentang Pendekar Bongkok kepada dua orang yang belum dikenalnya dan tidak diketahui maknud mereka mencari Pendekar Bongkok.
"Maaf, kalau boleh saya mengetahui, siapakah ji-wi dan ada hubungan apakah antara ji-wi dengan Sie Taihiap?"
Kini Bi Sian sudah tidak ragu lagi bahwa pemilik rumah makan ini jelas mengenal Sie Liong dan tahu di mana dia berada, maka kesabarannya habis. Ia ingin segera mengetahui di mana adanya musuh besarnya itu! Ketika melihat ada sumpit-sumpit berdiri di gelas tempat menyimpan sumpit, tangannya mengambil segenggam sumpit, lalu ia mengerahkan tenaganya pada jari-jari tangan yang menggenggam sumpit.
"Krekk! Krekkk!"
Sumpit-sumpit itu patah-patah dan remuk dalam genggaman tangan yang kecil dan berkulit halus lunak itu!
"Sobat, katakan saja cepat-cepat di mana adanya Sie Liong dan jangan berbohong!"
Kata Bi Sian, lirih dan wajah pemilik rumah makan itu berubah pucat. Hampir dia tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Tangan yang kecil dan berkulit halus itu memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya!
"Saya.... saya tidak tahu di mana dia sekarang. Baiklah saya ceritakan perjumpaan saya dengan dia. Silakan duduk, silakan duduk...."
Bi Sian dan Bong Gan duduk dan pemilik rumah makan itu lalu berecrita. Diceritakannya betapa hampir dua bulan yang lalu, Sie Liong Si Pendekar Bangkok pernah makan bersama seorang gadis yang bernama Sam Ling dan diaku sebagai adik angkatnya, di rumah makan itu. Betapa kemudian terjadi keributan yang dilakukan oleh seorang anggauta Kim-sim-pai dan betapa kemudian semua orang baru mengetahui si bongkok itu adalah seorang sakti.
"Setelah terjadi keributan itu, Sie Taihiap minta bantuanku untuk mencarikan tempat pemondokan bagi adik angkatnya dan saya menunjukkan rumah bibiku. Kemudian adik angkatnya itu tinggal bersama bibi Cili, akan tetapi Sie Taihiap pergi entah ke mana. Sejak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia."
"Apakah adik angkatnya itu masih tinggal di sini?"
Tanya Bi Sian. Pemilik rumah makan itu menggerakkan pundaknya.
"Sejak tinggal di sana, baru satu kali saya pernah menengok. Dua minggu sejak ia tinggal di sana dan sejak itu, saya tidak pernah lagi ke sana karena repotnya pekerjaan."
"Hayo cepat antar kami ke sana, sekarang juga!"
Kata Bi Sian dan pandang matanya penuh kepastian. Pemilik rumah makan itu tidak berani membantah, lalu memesan kepada para pelayannya bahwa dia akan pergi sebentar.
Tak lama kemudian, keluarlah dia dari rumah makan itu, diikuti Bi Sian dan Bong Gan. Ketika hendak meninggalkan rumah makan, Bong Gan sempat menengok ke arah gadis cantik itu dan melihat gadis itu dan pendeta yang menemaninya memandang padanya dengan penuh perhatian. Kembali gadis cantik itu berkedip kepadanya. Bong Gan tersenyum dengan jantung berdebar. Sayang, pikirnya. Dia belum sempat membuat kencan dengan gadis manis itu. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa gadis itupun "ada hati"
Kepadanya dan tentu mereka akan dapat saling bertemu lagi dalam suasana yang lebih bebas, berdua saja! Pemilik rumah makan itu mengantar Bi Sian dan Bong Gan ke rumah bibi Cili. Akan tetapi ketika mereka tiba di situ, gadis yang bernama Sam Ling atau oleh bibi Cili disebut nona Ling itu sudah tidak berada lagi di situ!
"Kurang lebih seminggu yang lalu, ia pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit!"
Kata bibi Cili ketika keponakannya datang bersama pemuda dan gadis cantik itu.
"Aku sendiri tidak tahu ke mana ia pergi karena memang tidak pamit."
Tentu saja Bi Sian marasa kecewa sekali.
"Akan tetapi, kenapa ia pergi tanpa pamit?"
Bibi Cili menggeleng kepalanya.
"Mungkin karena ia hendak mencari kakak angkatnya, Sie Taihiap itu. Setelah sebulan tinggal di sini, setiap hari ia menanti datangnya Sie Taihiap dan setiap malam ia menangis. Ia mengatakan kepadaku bahwa Sie Taihiap berjanji akan menjemputnya setelah satu bulan ia tinggal di sini. Kemudian, se-minggu yang lalu, setelah tinggal di sini kurang lebih satu setengah bulan, ia pergi tanpa pamit."
Bi Sian mengerutkan alisnya.
"Apakah selama ia berada di sini, Pendekar Bongkok tidak pernah datang menjenguk?"
"Pendekar Bongkok....? Ah, nona maksudkan Sie Taihiap? Tidak, tidak pernah lagi. Semenjak meninggalkan adik angkatnya di sini, dia pergi dan tak pernah muncul kembali."
"Apakah gadis itu tidak pernah menceritakan kepadamu ke mana perginya Sie Taihiap itu?"
Bi Sian mendesak terus. Wanita setengah tua itu mengerutkan alis dan mengingat-ingat,
"Pernah ia bercerita bahwa kakak angkatnya itu seorang pendekar yang akan melakukan penyelidikan terhadap Kim-sim-pai...."
Menyebut nama perkumpulan ini, wanita itu kelihatan takut-takut, juga pemilik rumah makan itu kelihatan khawatir sekali dan memandang keluar pintu rumah, seolah takut kalau sampai terdengar orang lain bahwa mereka membicarakan Kim-sim-pai.
"Apa itu Kim-sim-pai dan di mana tempatnya?"
Wanita itu semakin ketakutan dan menggeleng kepalanya.
"Aku tidak tahu.... ah, aku tidak tahu...."
Pemilik rumah makan itu segera membantu bibinya.
"Nona, sebetulnya kami semua merasa takut untuk menyebut nama itu, nama yang amat ditakuti seluruh penduduk Lasha. Kami hanya dapat memberitahukan kepadamu bahwa perkumpulan itu berada di sekitar Telaga Yan-so di sebelah selatan Lasha.... Sudahlah, kami tidak berani banyak bicara dan kami juga tidak tahu apa-apa lagl. Kalau nona hendak mencari Sie Taihiap, sebaiknya mencari ke sana...."
Bi Sian mengerutkan alisnya.
Ia tahu, bahwa pemilik rumah makan dan bibinya itu bicara sejujurnya dan memang mereka ketakutan. Pernah Sie Liong bercerita tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa di Himalaya, bahkan ada pendeta Lama yang melakukan pengejaran sampai ke Kun-lun-san untuk membunuhi para pertapa dan tosu yangg melarikan diri ke sana. Juga gurunya, Koay Tojin, pernah bicara tentang para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa di Himalaya. Apakah penyelidikan yang dilakukan Sie Liong ada hubungannya dengan hal itu? Memang, jalan satu-satunya untuk mencari Sie Liong adalah mengejarnya ke sarang perkumpulan Kim-sim-pai yang akan diselidiki Pendekar Bongkok itu! Sementara itu, Bong Gan yang cerdik segera bertanya kepada wanita itu.
"Bibi, coba gambarkan bagaimana rupanya gadis bernama Sam Ling itu, agar kalau kami bertemu dengannya, kami akan mudah mengenalnya."
Bi Sian menyetujui pertanyaan sutenya, karena kalau mereka mengenal Ling Ling, siapa tahu gadis itu akan dapat membawa mereka kepada Sie Liong. Diam-diam Bi Sian juga merasa heran bukan main mendengar bahwa pamannya itu mempunyai seorang adik angkat!
"Ia seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat manis, kulitnya agak gelap, sikapnya pendiam namun ia manis budi dan penurut. Sungguh aku sudah mulai merasa cinta kepada anak itu, dan aku khawatir sekali membayangkan betapa ia melakukan perjalanan seorang diri. Seorang gadis yang demikian manis dan menarik, tentu akan banyak mengalami ancaman bahaya...."
Diam-diam hati Bong Gan yang menjadi hamba nafsu berahinya itu sudah tertarik bukan main. Seorang gadis yang hitam manis!
"Apakah ia seorang gadis Tibet?"
Tanyanya.
"Ia peranakan Tibet Han,"
Jawab bibi Cili. Bi Sian dan Bong Gan lalu meninggalkan rumah itu.
"Kita harus cepat mencari ke daerah Telaga Yan-so!"
Kata Bi Sian penuh semangat. Akan tetapi Bong Gan mempunyai rencana lain. Wajah cantik manis yang dijumpainya di rumah makan itu masih terus membayanginya.
"Suci, kurasa kita harus bertindak hati-hati. Kita selidiki dulu perkumpulan macam apa sesungguhnya Kim-sim-pai yang ditakuti penduduk itu, dan di mana letak Telaga Yan-so. Hari telah sore, sebentar lagi gelap. Sungguh tiduk menguntungkan kalau kita meningialkan kota ini dan berada dalam perjalanan yang asing di waktu malam gelap. Kita selidiki dulu, dan setelah jelas, baru kita berangkat mencari ke sana. Bagaimana pendapatmu?"
"Baiklah, kita mencari rumah penginapan,"
Kata Bi Sian singkat. Ia sudah ingin sekali dapat menemukan Sie Liong dan membalas dendamnya! Juga sungguh mengherankan, ia ingin sekali melihat seperti apa "adik angkat"
Pamannya itu, dan hubungan apa sesungguhnya yang ada di antara mereka! Di sebelah selatan kota Lasha terdapat sebuah telaga yang terkunung pegunungan yang amat luas. Telaga ini indah bukan main, akan tetapi juga sunyi karena jalan menuju ke telaga itu melalui bukit dan jurang.
Apalagi semenjak beberapa tahun ini, daerah itu merupakan daerah yang rawan. Tidak ada orang berani melalui daerah itu yang kabarnya dihuni banyak orang jahat dan iblis. Juga dikatakan bahwa akhir-akhir ini, perkumpulan Kim-sim-pang berpangkal di daerah itu. Makin takutlah orang untuk melewati daerah itu. Kim-sim-pang atau Kim-sim-pai (Perkumpulan atau Partai Hati Emas) amat ditakuti. Menurut kabar angin, Kim-sim-pat dipimpin oleh seorang tokoh pendeta Lama yang pernah menjabat sebagai wakil Dalai Lama yang berjuluk Kim Sim Lama. Karena terjadi perbedaan paham dengan Dalai Lama, Kim Sim Lama lolos dari Lasha, kemudian dia membentuk perkumpulan Kim-sim-pai yang berdiri sendiri, terlepas dari kekuasaan Dalai Lama, terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat Tibet.
Karena tidak ada bukti-bukti bahwa Kim-sim-pai melakukan kejahatan apalagi pemberontakan, maka pemerintah Tibet tidak mengambil tindakan apapun. Hal ini adalah karena Dalai Lama mengingat akan jasa-jasa Kim Sim Lama ketika masih menjadi wakil Dalai Lama dahulu. Bahkan, Kim Sim Lama merupakan seorang tokoh besar, memiliki pengaruh yang besar pula dan jasanya sudah banyak. Kim Sim Lama merupakan seorang pendeta Lama yang tertua, dan Dalai Lama sendiripun dahulu diangkat menjadi Dalai Lama karena desakan Kim Sim Lama, dan atas pilihan Kim Sim Lama! Kim Sim Lama merupakan orang ke dua paling berkuasa dan berpengaruh sesudah Dalai Lama. Karena dia tidak memiliki tanda-tanda sebagai reinkarnasi Dalai Lama yang meninggal dunia, maka tidak mungkin dia menjadi pengganti Dalai Lama dan karena itu, dia menjadi pendukung utama ketika Dalai Lama yang baru dipilih.
Dalai Lama yang baru itu seorang anak dusun saja yang memlilki ciri-ciri sebagai penitisan Dalai La-ma. Bahkan Kim Sim Lama tidak segan-segan mempergunakan kekerasan untuk memaksa bocah itu menjadi Dalai Lama yang baru, dan ketika para penduduk dusun menentang, dia tidak segan mengamuk dan membunuh mereka yang dianggapnya memberontak. Peristiwa ini membuat para pertapa dan para tosu di Himalaya menjadi marah. Malah Pek Thian Sian-su, guru dari Himalaya Sam Lojin, atau suheng dari Pek-sim Sian-su, turun tangan sendiri untuk membela penduduk dusun itu. Pertapa sakti ini bertanding melawan Pek Sim Lama yang dibantu oleh sembilan orang pendeta Lama yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Pek Thian Sian-su berhasil merobohkan dan menewaskan tiga orang pendeta Lama, akan tetapi dia sendiri terluka dan anak itu tetap saja dibawa lari Kim Sim Lama. Karena ketika peristiwa itu terjadi Pek Thian Sian-su audah berusia hampir delapan puluh tahun, maka luka yang dideritanya membuat dia tewas tak lama kemudian. Beberapa tahun lamanya tidak lagi terjadi keributan, akan tetapi setelah anak itu dewasa dan dijadikan Dalai Lama sudah berjalan dua tiga tahun, mulailah terjadi penyerbuan terhadap para tosu dan pertapa di pegunungan Himalaya. Banyak yang jatuh korban dan para tosu itu segera meninggalkan Himalaya dan pergi mengungsi ke pegunungan lain. Para pertapa menganggap bahwa Dalai Lama sungguh merupakan orang yang tidak mengenal budi. Dahulu dibela oleh para tosu, setelah menjadi Dalai Lama bahkan memusuhi para tosu!
Para tosu itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Kim Sim Lama memilih Dalai Lama baru, dia beranggapan bahwa akhirnya dialah yang berkuasa di Tibet karena Dalai Lama baru tentu akan tunduk terhadap semua pimpinannya. Mula-mula memang demikian. Akan tetapi, setelah Dalai Lama yang baru itu mengerti urusan, dia tidak sudi dijadikan boneka! Dalai Lama yang baru itu lalu mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menentang semua kebijaksanaan Kim Sim Lama yang dianggapnya tidak bijaksana! Dan mulailah terjadi pertentangan antara Kim Sim Lama dan Dalai Lama. Karena kalah kedudukan, maka Kim Sim Lama tidak berani secara berterang memusuhi Dalai Lama yang banyak pendukungnya. Maka dia lalu mengundurkan diri dan membentuk Kim-sim-pang itu.
Dan mulailah dilakukan pengejaran terhadap para tosu! Semua ini dilakukan oleh kaki tangan Kim Sim Lama, dengan maksud menjatuhkan nama baik Dalai Lama dan memancing agar para tosu memusuhi Dalai Lama sehingga kedudukan Dalai Lama menjadi semakin lemah. Sementara itu, diam-diam Kim-sim-pai juga mengadakan persekutuan dengan seorang pangeran pemberontak dari Nepal yang sudah diusir oleh Raja Nepal. Pangeran itu dengan pengikutnya yang ternyata cukup banyak, bergabung dengan Kim-sim-pai dan keduanya merencanakan pemberontakan-pemberontakan untuk bersama-sama mengusai Tibet dan Nepal. Di sebuah bukit dekat Telaga Yan-so, Kim-sim-pai menyusun kekuatan.
Kim Sim Lama maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan anak buahnya dan pasukan Pangeran Nepal itu untuk menyerbu Lasha, dia akan mengalami kegagalan. Dalai Lama memiliki pasukan yang amat kuat, terdiri dari para pendeta Lama dan banyak di antara para pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan banyak yang sakti. Maka, diapun tidak tergesa-gesa. Di samping usaha yang dilakukan anak buahnya untuk memusuhi berbagai pihak dengan dalih diutus oleh Dalai Lama, juga dia mulai menyusupkan pengaruh ke dalam istana dan kuil di Lasha untuk menghasut dan mempengaruhi tokoh-tokoh di pemerintahan Tibet. Bagaikan seekor laba-laba dengan amat tekun dan sabar Kim Sim Lama mulai menyusun kekuatan untuk mengambil alih kekuasaan di Tibet.
Pangeran Nepal itu sudah siap di perbatasan, sudah siap membantu gerakan Kim Sim Lama dengan janji bahwa kelak, kalau Kim Sim Lama sudah berhasil menguasai Tibet, maka dia akan membalas kebaikan pangeran itu dengan membantunya mengadakan pemberontakan di Nepal! Dalam kedudukannya yang bagaimana pun juga, manusia tidak akan dapat terlepas dari nafsunya sendiri. Dia boleh berusaha dengan cara bagaimanapun, bertapa, menjauhi keramaian dunia, menyendiri, berpuasa, berpantang apapun, namun tetap sekali waktu dia akan dicengkeram dan dikuasai nafsunya sendiri. Semua usahanya itu hanyalah usaha yang dilakukan oleh akal pikirannya sendiri belaka, dan akal pikiran takkan mungkin membebaskan batin dari cengkeraman nafsu.
Nafsu sudah melekat kepada kita, merupakan alat yang amat penting bagi kita, namun juga merupakan penggoda yang paling berbahaya, yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan dan perbuatan yang tidak benar. Kalau sudah begitu, maka nafsu tidak lagi menjadi alat kita, bahkan kita diperalat oleh nafsu! Semua usaha untuk membebaskan diri dari nafsu digerakkan oleh nafsu itu sendiri yang sudah menjadi satu dengan hati dan akal pikiran, bersatu dengan panca indera kita. Apapun yang kita lakukan melalui pikirin, tentu berpamrih. Nafsu selalu berpamrih, yaitu pamrihnya mencari senang atau yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan. Dan untuk semua perbuatan yang timbul dari dorongan nafsu, pikiran kita yang amat licik dan cerdik selalu sudah mempersiapkan diri menjadi pembela,
Dengan segala daya akan mencari alasan untuk membenarkan tindakan kita itu. Nafsu memang penting bagi kita, sebagai pendorong agar kita dapat memenuhi semua keperluan hidup di dunia ini, keperluan jasmani kita, makan, pakaian, tempat tinggal, dan semua kebutuhan lain. Nafsu mutlak perlu untuk hidupnya jasmani kita, karena tanpa nafsu berarti mati. Akan tetapi, kalau nafsu sudah mencampuri urusan batin, maka nafsu hanya menjadi sebab timbulnya duka dan sengsara, nafsu mendatangkan iri, marah, benci, cemburu, dengki takut, malu dan segala macam perasaan. Nafsu bagaikan api, kalau terkendali menjadi pelayan yang baik sekali, sebaliknya kalau liar tak terkendali, dapat menimbulkan kebakaran dan kerusakan. Kim Sim Lama adalah seorang yang sejak kecil hidup sebagai pendeta.
Dia sudah biasa berlatih mengendalikan dan menguanal nafsu-nafsu badannya sendiri. Namun, pengendalian yang dilakukannya adalah pengendalian yang dilakukan dengan akal pikiran, dengan kemauan yang bukan lain adalah daya rendah pula. Yang dikendalikan nafsu, yang mengendalikannya juga bergelimang nafsu. Oleh karena itu, walaupun nampaknya dia hidup sebagai orang yang bebas dari cengkeraman nafsu, namun sesungguhnya nafsu masih menguasainya dan sekali waktu akan runtuh pertahanannya. Yang mendorong dia untuk menentang Dalai Lama, untuk dapat menguasai Tibet, apa lagi kalau bukan nafsu? Namun, tentu saja pikirannya dapat melakukan pembelaan secara cerdik sehingga dia beranggapan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah suci murni, demi kebaikan, demi kesejahteraan rakyat, demi menentang pemerintah lalim dan sebagainya.
Padahal, di dasar semua itu, mendekati nafsu ingin mendapatkan sesuatu yang dianggap akan menyenangkan hatinya, dalam hal ini kekuasaan! Lalu bagaimana sebaiknya bagi kita? Kalau dibiarkan, nafsu merajalela dan menguasai kita, bagaikan api membakar dan merusak. Kalau dikendalikan, tidak akan berhasil karena yang mengendalikan juga pikiran bergelimang nafsu sehingga selalu berpamrih. Kalau dimatikan, orangnya harus mati pula! Apa yang dapat kita lakukan? Tidak ada apa-apa yang dapat kita lakukan! Tidak ada apa-apa, karena yang dapat mengatur nafsu, yang dapat mengatur alat-alat bagi kehidupan kita adalah yang menciptakannya, yang membuatnya. Dan penciptanya adalah Tuhan! Oleh karena itu, kita hanya dapat menyerah, hanya dapat pasrah, kepada kekuasaan Tuhan. Menyerah sepenuhnya, sebulatnya, selengkapnya, penuh ketawakalan, kesabaran dan keikhlasan.
Badan ini hanya sebuah tempat, sebuah rumah. Semua daya rendah, panca indrya, hati, akal pikiran dan nafsu-nafsunya, hanya merupakan alat-alat dalam rumah. Penghuni rumah yang menguasai semua alat itu sesungguhnya adalah jiwa! Jiwa menjadi majikannya, nafsu, hati dan akal pikiran menjadi pelayan dan alat. Namun sungguh sayang, karena kita sudah lupa bahwa kita ini jiwa, lupa karena setiap hari dipermainkan oleh nafsu akal pikiran yang merajalela dan merebut kekuasaan menjadi majikan dalam badan kita. Kita ini bukan pikiran. Pikiran bisa mati namun badan tetap hidup. Sebaliknya, kalau jiwa meninggalkan badan, semua pelayan dan alat itupun akan mati. Dalam keadaan tidur atau pingsan, hati akal pikitan untuk sementara seperti mati, tidak bekerja. Namun, kita tetap hidup karena jiwa masih bersemayam di dalam badan.
Kita tidak pernah memiliki rasa diri ini, lupa akan keadaan yang lebih dalam karena kita selalu terseret oleh keadaan lahir yang dangkal saja, karena dipermainkan nafsu yang selalu mengejar kesenangan dangkal. Kim Sim Lama memiliki banyak pembantu yang pandai. Dan pembantu-pembantu utamanya bukan lain adalah Lima Harimau Tibet! Seperti sudah kita ketahui, para pembantu utamanya inilah yang diutus untuk melakukan pengejaran terhadap para tosu dan pertapa Himalaya yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Pengejaran dan pembunuhan yang dilakukan Lima Harimau Tibet terhadap para tosu itu bukan semata-mata karena mereka membenci para tosu, melainkan terutama sekali, dengan dalih sebagai utusan Dalai Lama, mereka hendak merusak nama Dalai Lama agar dibenci dan dimusuhi semua golongan, terutama golongan orang-orang sakti.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, sesosok tubuh berkelebat seperti terbang cepatnya, datang dari arah telaga Yam-so menuju ke bukit yang menjadi markas Kim-sim-pai. Melihat gerakannya yang cepat, larinya bagaikan terbang itu, mudah diketahui bahwa dia adalah seorang yang memiliki gin-kang dan ilmu berlari cepat yang hebat. Orang akan merasa terkejut dan terheran-heran kalau melihat orangnya. Setelah dia berhenti dan menyelinap di bawah sebatang pohon, memandang ke atas, ke arah puncak bukit itu, baru nampak bahwa dia adalah seorang pemuda yang tubuhnya bongkok! Dia adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok! Setelah meninggalkan Ling Ling di rumah bibi Cili, hati Sie Liong merasa lega dan mulailah dia melakukan penyelidikan di Lasha tentang Kim-sim-pang.
Ketika dia melihat munculnya pemungut derma di rumah makan membawa bendera Kim-sim-pai, teringatlah dia akan nama Kim Sim Lama yang pernah didengarnya dari pengakuan seorang di antara
Tibet Sam Sinto. Tentu ada hubungan antara Kim-sim-pai dan Kim Sim Lama, pikirnya. Agaknya pemberontakan terhadap pemerintah Tibet seperti yang diceritakan Coa Kiu orang ke tiga Tibet Sam Sinto itu tentulah perkumpulan Kim-sim-pai itu yang dipimpin oleh Kim Sim Lama dan dibgntu oleh Lima Harimau Tibet yang harus diselidikinya. Dan dia mendapat kenyataan bahwa hampir semua orang yang ditanyanya tentang Kim-sim-pai menjadi ketakutan dan tidak berani menjawab. Yang berani menjawab mengatakan singkat bahwa Kim-sim-pai adalah perkumpulan orang-orang Tibet yang berpusat di sebuah bukit dekat Telaga Yam-so.
Semakin jelas dan yakinlah hatinya bahwa jejak yang diikutinya benar. Memang di tempat itulah dia harus menceri keterangan tentang apa rahasianya maka para pendeta Lama memusuhi para pertapa dan tosu dari Himalaya. Dari kaki bukit itu, yang nampak di atas hanyalah dinding tembok yang berwarna putih, panjang dan melingkar-lingkar seperti benteng. Akan tetapi, segera dia melihat beberapa orang mendaki bukit itu. Ada sebuah jalan besar yang cukup baik menuju ke atas bukit dan kini terdapat beberapa orang menuju ke puncak, ada yang berjalan kaki, ada pula yang menunggaug keledai atau kuda. Akan tetapi mereka itu sama sekali bukan kelihatan sebagai pasukan atau pendeta, melainkan penduduk biasa dan mereka semua membawa perbekalan untuk sembahyang.
Tentu saja dia merasa heran, akan tetapi diam-diam diapun lalu mendaki bukit, agak jauh di belakang serombongan orang yang memanggul atau memikul sebuah kursi di mana duduk setengah rebah seorang yang nampaknya sedang sakit. Dari keadaan itu saja mudah diduga bahwa orang-orang ini sedang pergi ke suatu tempat untuk bersembahyang, agaknya ke sebuah kuil. Dugaannya benar. Kini mereka tiba di pintu gerbang dinding tembok yang panjang itu. Bukan dinding tembok benteng, melainkan dinding yang melingkari sebuah kuil yang luas sekali. Terdapat banyak bangunan di dalam kompleks atau perkampungan itu. Akan tetapi bangunan paling depan adalah sebuah kuil yang besar dan cukup megah. Di depan puntu kuil itu terdapat papan dengan tulisan tinta emas berbunyi: KUIL HATI EMAS. Kim-sim-tang? Apakah ini pusat Kim-sim-pai? Dan di sini pula tinggal pemimpin pemberontak yang berjuluk Kim Sim Lama itu?
Sungguh di luar dugaan sama sekali. Tempat ini sama sekali tidak menyeramkan seperti tempat yang menjadi sarang pemberontak. Bahkan me-rupakan sebuah kuil yang besar dan di mana datang banyak penduduk dusun untuk bersembahyang dan mohon sesuatu! Akan tetapi dia segera teringat bahwa andaikata benar mereka itu pemberontak, mereka tetap saja adalah pendeta-pendeta yang biasanya memang berusaha untuk hidup saleh dan beribadat, menjauhi kejahatan dan mendekatkan diri dengan kebajikan. Merekapun bukan memberontak terhadap suatu kerajaan, melainkan terhadap Dalai Lama, seorang pimpinan pendeta pula. Mungkin saja suasananya menjadi lain dengan para pomberontak biasa yang biasanya terdiri dari orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, kejam dan liar.
Dia mulai memperhatikan keadaan luar kuil. Setelah melalui pintu gerbang dinding tembok yang tingginya lebih dari dua meter, nampak kuil itu, jauhnya kurang lebih lima puluh meter dari pintu gerbang. Di kanan kiri kuil itu terdapat bangunan-bangunan besar seperti pengawal kuil dan terdapat banyak jendela yang tertutup. Agaknya itu merupakan asrama para pendeta, pikirnya. Di depan kuil terdapat halaman yang luas penuh dengan tanaman bunga-bunga dan juga tanaman yang mengandung khasiat pengobatan. Di sana sini terdapat arca-arca Buddha yang besar dan megah, juga pahatannya amat halus. Asap dupa mengepul tebal dari cerobong yang dipasang di tengah bangunan kuil, akan tetapi ada juga asap yang mengepul keluar dari pintu depan yang besar, dan membawa keharuman yang khas.
Sie Liong melangkah masuk ke dalam kuil. Dua orang pendeta Lama berdiri di kanan kiri pintu sebelah dalam dan menyambutnya dengan doa-doa yang tidak terdengar jelas, namun kedua tangan mereka yang dirangkap dan berada di depan dada selalu menyambut para pendatang dengan doa dan puja-puji. Ketika Sie Liong memandang kepada mereka, kedua orang pendeta Lama yang masih muda-muda itu nampak memejamkan mata dan mereka itu kelihatan alim dan sopan. Kuil itu penuh tumu dengan berbagai kesibukan sembahyang. Yang menyolok adalah tidak adanya sseorangpun wanita di situ. Sungguh berbeda dengan kuil-kuil lain yang selalu dipenuhi wanita. Kemudian dia teringat bahwa kehidupan seorang pcndeta Lama memang amat keras dan satu di antara pantangan yang paling kuat adalah wanita.
Karena kuil itu dilayani oleh para pendeta Lama, maka agaknya tidak ada tamu wanita diperkenankan masuk! Teringat dia akan kuil Siawu-lim-si yang juga pantang dimasuki wanita, apalagi wanita yang muda dan menarik. Di sebelah dalam kuil, terdapat pula pendeta-pendeta tua dan muda yang melayani semua kebutuhan mereka yang datang bersembahyang. Mereka semua rata-rata bersikap ramah, pendiam, sopan dan lembut. Sikap pendeta tulen, tidak nampak sikap keras dan liar sehingga orang takkan mau percaya kalau mendengar bahwa para pendeta Lama itu adalah pemberontak-pemberontak. Meja-meja sembahyang yang besar-benar penuh dengan perabot sembahyang, lilin-lilin besar bernyala. Pendeknya, kuil itu lengkap dan juga amat luas. Akan tetapi hanya merupakan sebagian kecil saja dari daerah perumahan yang luas sekali itu.
Di kanan kiri ruangan besar tempat sembahyang itu terdapat pintu-pintu kayu tebal dan besar, akan tetapi kedua pintu itu tertutup dan terkunci. Memang tidak ada hubungan pintu itu dengan keperluan sembahyang. Dan di sebelah dalam, terdapat pintu yang lebar sekali. Ketika mendekati pintu yang menuju ke dalam ini, Sie Liong melihat bahwa di situ terdapat sedikitnya tujuh orang pendeta yang berjaga, ada yang bersila, ada yang duduk, ada pula yang berdiri. Mereka itu tidak bergerak macam arca-arca saja, akan tetapi mata mereka tajam mengamati para tamu dan jelas bahwa tamu tidak diperkenankan masuk, karena jalan meauk itu tertutup atau terhalang oleh para penjaga ini. Sie Liong melihat betapa pintu itu menembus ke jalan lorong yang panjang, kemudian membelok ke kiri sehingga dari situ tidak dapat melihat apa yang berada di belakang kuil itu.
"Apakah kongcu hendak melakukan sembahyang dan belum membawa perlengkapan? Kami dapat membantumu."
Sie Liong membalikkdn tubuhnya dan melihat seorang pendeta berusia empat puluhan tahun telah berdiri di depannya dengan kedua tangan terangkap di depan dada. Mendaki bukit berkunjung ke kuil tidak aembahyang, tentu saja tidak masuk akal. Dia belum ingin memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya bertemu dengan Tibet Ngo-houw.
"Saya ingin bertanya tentang nasib diri saya,"
Jawabnya karena memang dia tidak bermaksud untuk bersembabyang. Tadi dia melihat bagian kiri ruangan itu dan di sana terdapat sebuah meja sembahyang di mana orang-orang bertanya tentang nasib mereka.
"Ah, mari kami bantu, kongcu. Bertanya nasibpun harus melakukan sembahyang dan kalau kongcu tidak membawa perlengkapan, dapat membeli di sini, harganya tidak lebih mahal daripada kalau membeli di toko."
Kata pendeta itu dengan sikap ramah.
"Terimakasih,"
Kata Sie Liong dan diapun mengikuti pendeta Lama itu yang mengambilkan perlengkapan bersembahyang berupa lilin dan hioswa (dupa biting). Kemudian, di bawah petunjuk pendeta itu, Sie Liong melakukan sembahyang di depan meja sembahyang, kemudian dia,
Seperti para tamu lain, dipersilakan untuk mengocok ciam-si, yaitu batang-batang bambu sebesar jari tangan yang pada ujungnya bernomor. Batang-batang bambu kecil sepanjang satu kaki ini berada di dalam tabung bambu besar dan mereka yang menanyakan nasib, setelah sembahyang dan dalam hati mengajukan permohonan tentang apa yang ingin diketahui mengenai nasibnya, diharuskan memegang tabung bambu sambil berlutut di depan meja sembahyang dan mengguncang-guncang tabung itu. Batang-batang bambu itu akan terguncang dan setelah ada sebatang meloncat atau terloncat keluar, maka itulah batang bambu yang menjadi jawaban pertanyaannya. Sie Liong mengguncang tabung itu dan berloncatlah sebatang bambu dari dalamnya.
Akan tetapi hal itu belum menentukan bahwa pilihan jawaban itu benar. Dia harus pula melemparkan dua potong bambu yang permukaannya berbeda. Kalau dua potong bambu itu terjatuh ke atas lantai lalu kedua permukaannya sama dengan yang lain, dengan ada tulisan BENAR, maka batang bambu yang terloncat itu sudah sah akan kebenarannya. Sebaliknya, andaikata dua potong bambu itu terletak dengan permukaan yang berbeda menghadap ke atas, dia harus mengguncang sekali lagi dan memilih lagi. Juga apa bila kedua potong bambu itu menghadapkan tulisan SALAH, dia harus memilih lagi. Setelah mendapat tanda BENAR, Sie Liong menyerahkan batang bambu itu kepada pendeta Lama yang bertugas di bagian pertanyaan nasib itu, dan setelah dicocokkan nomornya, pendeta itu memberinya sehelai kertas yang sudah ada tulisannya.
Biasanya, kertas ini berisikan sajak atau syair yang merupakan jawaban dari permintaan orang yang bersembahyang dan minta sesuatu, dan karena sajak itu selalu mengandung perumpamaan dan maksud tersembunyi, maka ada pula pendeta yang bertugas memberi tafsirannya. Hal ini sudah pernah didengar dan diketahui Sie Liong walaupun baru sekarang dia sendiri mengocok batang bambu untuk mendapatkan ramalan nasibnya. Akan tetapi, ketika dia membuka gulungan kertas selembar itu, jantungnya berdesir. Di situ tertulis dengan jelas, dengan tulisan tangan yang indah, sebuah pesan untuknya!
KALAU PENDEKAR BONGKOK INGIN BICARA DENGAN KAMI, SILAKAN MASUK SELATAN PINTU PAGAR BELAKANG.
Sie Liong mengangkat muka memandang kepada pendeta yang melayaninya, akan tetapi pendeta itu hanya merangkapkan kedua tangan depan dada dan menundukkan mukanya. Sie Liong merasa kagum sekali. Kiranya para pendeta Lama ini memiliki perkumpulan yang kuat dan dapat bekerja dengan rapi sehingga dia yang ingin melakukan penyelidikan, bahkan lebih dahulu menjadi bahan penyelidikan dan keinginannya sudah diketahui oleh mereka! Diapun segera keluar dari kuil itu, keluar dari pintu gerbang pagar tembok dan mengambil jalan memutar. Kalau pihak Kim-sim-pai sudah tahu akan keadaan dirinya, bahkan mungkin tahu pula akan maksud kedatangannya, diapun tidak perlu berpura-pura lagi.
Memang lebih baik kalau bicara dengan sejujurnya, menuntut sikap para pendeta Lama yang memusuhi para tosu dan pertapa Himalaya, yang kini mengungsi ke Kun-lun-san, daripada melakukan penyelidikan secara rahasia, hal yang amat tidak enak kalau sampai ketahuan pihak yang diselidiki. Dengan sikap tenang dan hati tabah Sie Liong menuju ke arah belakang. Ternyata, memang tempat itu luas sekali, bentuknya memanjang ke belakang, seperti sebuah perkampungan saja. Ketika dia memutari pagar tembok itu, akhirnya di sebelah belakang dia melihat sebuah pintu yang tidak besar, bukan pintu umum, melainkan pintu untuk keluar masuk para pendeta anggauta perkampungan itu sendiri. Di pintu kecil itu, Sie Llong disambut oleh dua orang pendeta Lama yang usiauya sekitar lima puluh tahun.
"Sie Taihiap, silakan masuk dan mengikuti kami. Para suhu telah menanti di dalam,"
Kata seorang di antara mereka berdua yang bersikap hormat. Kembali Sie Liong kagum bukan main. Mereka itu agaknya telah lama mengikuti gerak geriknya dan sudah tahu benar siapa dia! Hal ini amat tidak menguntungkan bagi dia, karena tentu mereka yang sudah mengetahui akan kedatangannya itu telah membuat persiapan-persiapan, Bagaimanapun juga, dia telah tiba di situ dan tidak mungkin dapat mundur kembali. Maka, sambil mengucapkan Terimakasih, diapun mengikuti mereka masuk ke dalam melalui subuah taman yang indah. Ketika dia malewati sebuah bangunan besar, lapat-lapat dia mendengar suara ketawa wanita! Namun, segera suara ketawa itu terhenti dan diapun pura-pura tidak mendengarnya.
Sie Liong hanya mencatat di dalam hatinya. Agaknya, sikap hormat dan sopan yang dia lihat di kuil tadi, sikap saleh dan beribadat para pendeta Lama yang melayani para tamu, masih perlu diselidiki lebih seksama lagi. Dari luarnya saja nampak bahwa pendeta itu hidupnya secara saleh dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi, namun di sini dia mendengar suara ketawa wanita! Tak mungkin dia salah dengar. Dua orang pendeta Lama itu membawanya ke sebuah ruangan yang luas sekali. Sedikitnya lima ratus orang akan dapat berkumpul dalam ruangan yang luas itu. Ruangan itu terbuka dan di sudut terdapat bangku-bangku mengelilingi beberapa buah meja yang dideretkan menjadi meja panjang dan di situ dia melihat belasan orang pendeta Lama duduk bagaikan arca-arca tak bergerak,
Hanya mata mereka saja yang mencorong tajam menyambut kedatangannya. Dua orang pendeta yang mengantarnya lalu memberi hormat dengan menyembah kepada belasan orang itu, kemudian mengundurkan diri membiarkan Sie Liong seorang diri berhadapan dengan tiga belas orang pendeta Lama itu. Sie Liong juga melayangkan pandang matanya kepada mereka. Segera dia mengenal lima orang di antara mereka yang duduk berjajar. Biarpun usia mereka kini sudah enam puluh tahun lebih, dan sudah tujuh delapan tahun yang lalu dia pernah bertemu dengan mereka, namun dia tidak melupakan lima orang pendeta Lama itu. Siapa lagi kalau bukan Tibet Ngo-houw (Lima Harimati Ti-bet) yang pernah datang ke Kun-lun-pai dan menyerang Himalaya Sam Lojin dahulu!
Dan karena mereka berlima inilah maka kini dia datang ke Tibet, karena para gurunya minta kepadanya untuk menyelidiki mengapa Dalai Lama mengutus lima orang pendeta Lama ini untuk memusuhi para pertapa dan para tosu dari Himalaya, bahkan mengejar-ngejar mereka yang sudah melarikan diri mengungsi ke pegunungan Kun-lun. Selain lima orang ini, delapan yang lain dia tidak mengenalnya. Akan tetapi, melihat seorang pendeta Lama yang usianya sudah tujuh puluh tahunan, tinggi kurus dengan muka kemerahan kekanak-kanakan, berjubah merah dan memegang sebatang tongkat pendeta yang berlapis emas, berwibawa dan duduk di kursi paling depan, juga kursinya berbeda dengan bangku-bangku yang lain, terbuat dari gading gajah, diapun dapat menduga bahwa mungkin kakek itulah yang berjuluk Kim Sim Lama!
"Orang muda, apakah engkau yang bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok?"
Kakek itu bertanya dan diam-diam Sie Liong terkejut. Ketika dia bicara, suaranya demikian tinggi dan tajam sekali, membuat jantungnya tergetar dan wajah yang kekanak-kanakan itu mengeluarkan sinar, dan matanya mengandung wibawa yang amat kuat. Bukan main, pikirnya. Kakek ini bukan orang sembarangan dan akan merupakan lawan yang amat berat. Akan tetapi dia lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat kepada belasan o-rang itu.
"Benar, losuhu, nama saya adalah Sie Liong dan adapun julukan itu mungkin hanya kelakar orang-orang yang melihat keadaan tubuh saya yang cacat saja."
"Sie Liong, engkau telah berada di sini. Katakan apa yang kau kehendaki maka engkau datang ke tempat kami."
Hemm, kakek ini demikian terus terang, maka diapun tidak perlu menyembunyikan lagi keperluannya. Sejenak dia memandang ke arah lima orang pendeta Lama yang duduk di sebelah kanan kakek itu, kemudian dengan suara lantang dia pun menjawab.
"Losuhu, sesungguhnya saya datang ke Tibet untuk bertemu dgn bicara dengan Tibet Ngo-houw. Karena saya mendengar bahwa Tibet Ngo-houw berada di sini, maka saya memberanikan diri untuk datang berkunjung, tanpa bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai."
Sambil berkata demikian, sepasang mata Sie Liong dengan tajam menatap kepada lima orang pendeta Lama yang dimaksudkannya itu. Namun, mereka berlima itu tetap duduk tak bergoyang seperti arca. Hanya mata mereka yang ditujukan kepadanya, seperti mata para pendeta lainnya, dan Sie Liong kini melihat betapa pandang mata itu sama sekali tidak bersahabat, bahkan nampak marah.
"Hemm, orang muda. Kalau engkau tidak bermaksud untuk berurusan dengan Kim-sim-pai, kenapa engkau menghina orang kami yang sedang mengumpulkan sumbangan di Lasha?"
Kini suara kakek itu tidak lagi lembut, melainkan mengandung kemarahan dan lengkingan suara itu makin meninggi. Sie Liong kini merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya dan dia mulai merasa menyesal telah datang ke situ, namun hal ini agaknya telah terlambat karena dia melihat gerakan banyak orang di luar dan ketika dia menengok, ternyata ruangan itu telah dikepung oleh banyak sekali orang di luar. Bukan hanya pendeta-pendeta Lama berjubah merah, akan tetapi ada pula yang bukan pendeta Lama, dan jumlah mereka itu tentu mendekati lima puluh sampai seratus orang! Namun, dia tetap bersikap tenang.
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Losuhu, saya sama sekali tidak pernah menghina siapapun juga, apalagi menghina orang Kim-sim-pai yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya. Peristiwa di rumah makan itu adalah karena saya tertekan dan saya hanya membela diri, juga saya terpaksa mencegah pengumpulan sumbangan yang dilakukan dengan paksaan. Bukan hanya Kim-sim-pai, biar dari manapun, kalau saya melihat orang minta sumbangan secara paksa, sudah menjadi kewajiban saya untuk mencegahnya. Saya tidak bermaksud menghina Kim-sim-pai, dan harap para losuhu suka maafkan saya. Saya hanya ingin berurusan dengan Tibet Ngo-houw, tidak bermaksud berurusan dengan Kim-sim-pai. Tibet Ngo-houw, harap kalian cukup gagah untuk mempertanggung jawabkan perbuatan kalian di Kun-lun-san tujuh delapan tahun yang lalu!"
Karena tahu bahwa ancaman bahaya terhadap dirinya datangnya dari Kim-sim-pai, maka Sie Liong sengaja menujukan tantangannya kepada Tibet Ngo-houw saja. Tiba-tiba terdapat gerakan pada lima orang pendeta Lama itu yang sejak tadi diam seperti arca.
"Omitohud, dia itu anak bongkok yang dahulu menggagalkan desakan kita terhadap Himalaya Sam Lojin!"
Tiba-tiba seorang di antara mereka berlima yang bermata satu berseru. Dia adalah Thay Hok Lama, orang ke empat dari Lima Harimau Tibet Itu. Mendengar seruannya ini, empat orang saudaranya juga teringat dan mereka semua merasa heran. Anak bongkok itu kini berani datang dan bersikap demikian tenang dan gagah!
"Benar sekali, Tibet Ngo-houw. Aku adalah anak bongkok yang dulu itu dan kini aku datang mencari kalian sebagai utusan dari Himalaya dan kini berada di Kun-lun-san. Sudah tiba saatnya kalian berlima mempertanggung jawabkan perbuatan kalian dahulu itu dan menjelaskan kepadaku apa yang menjadi sebab maka kalian memusuhi mereka yang sama sekali tidak berdosa."
"Omitohud.... betapa lancang dan sombongnya anak ini!"
Tiba-tiba seorang di antara para pendeta yang hadir di situ berseru. Dia bukan seorang di antara Lima Harimau Tibet, melainkan seorang pendeta Lama Jubah Merah yang tubuhnya pendek kecil seperti kanak-kanak berusia belasan tahun. Akan tetapi melihat wajahnya, tentu usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Dia bangkit berdiri dan menjura ke arah Kim Sim Lama.
"Susiok (paman guru), perkenankan teecu (murid) menghajar bocah lancang yang sama sekali tidak menghormati kita ini. Bocah ini tidak pantas dilayani oleh para suheng berlima!"
Kakek tua renta itu mengangguk.
Juga Tibet Ngo-houw diam saja karena merekapun merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda yang bongkok pula. Akan menurunkan nama besar mereka sebagai pembantu-pembantu utama Kim-sim-pai! Pendeta Lama yang bertubuh pendek kecil itu bernama Ki Tok Lama dan diapun merupakan seorang di antara "dua belas besar"
Yang menjadi para pembantu utama Kim Sim Lama. Sebagai seorang di antara para pembantu utama, tentu saja dia memiliki tingkat ilmu kepandaian yang cukup hebat. Dua belas orang pembantu utama itu masih terhitung murid-murid keponakan Kim Sim Lama sendiri, demikian pula Tibet Ngo-houw juga merupakan murid keponakannya, sehingga tingkat kepandaian mereka satu dengan yang lain tidak banyak berselisih.
Hanya Tibet Ngo-houw sudah memiliki nama besar dan mereka berlima itu sudah biasa bertindak sebagai kelompok yang bekerja sama, maka merekalah yang menjadi pembantu-pembantu utama. Maka kedudukan mereka berlima itu agak leblh tinggi dibandingkan para pembantu lainnya. Ketika Ki Tok Lama sudah berdiri di depan Sie Liong, pemuda ini maklum bahwa keadaannya sungguh tidak menguntungkan baginya. Dia bukan seorang pemuda yang bodoh. Dia tahu bahwa dia telah terjebak, memasuki guha harimau yang amat berbahaya. Bagaimana mungkin dia yang seorang diri dapat menandingi lawan yang demikian banyaknya! Akan tetapi, untuk mundurpun tidak mungkin. Tempat itu telah terkepung. Jalan keluar telah buntu dan kalau dia nekat melarikan diri, tentu akan dikepung dan dikeroyok.
"Sie Liong!"
Ki Tok Lama membentak,
"Engkau masih bocah ingusan sudah berani memakai julukan pendekar, dan engkau berani menghina para suhengku Tibet Ngo-houw! Hemm, coba keluarkan semua ilmu kepandaianmu, hendak pinceng (saya) lihat apakah sepak terjangmu juga sehebat suara dan sikapmu. Majulah!"
Setelah berkata demikian, pendeta Lama yang bertubuh katai ini memasang kuda-kuda yang aneh. Kedua kakinya berdiri di ujung jari seperti berjingkat, tangan kanan miring di depan dada, sedangkan tangan kiri berada di balik punggung dengan bentuk cakar.
Melihat ini, diam-diam Sie Liong dapat menduga akan keadaan batin orang ini. Dengan berjingkat dia ingin mengangkat diri lebih tinggi sesuai dengan watak seorang yang masih dikuasai nafsu-nafsunya. Nampak dari depan, tangan kanannya seperti sikap seorang yang beribadat, yang menaruh tangan berdiri lurus di depan dada, akan tetapi diam-diam, tangan yang lain bersembunyi di punggung dalam bentuk cakar. Ini menandakan bahwa dia seorang munafik, yang pura-pura alim akan tetapi sesungguhnya batinnya masih bergelimang nafsu sehingga siap untuk melakukan kekerasan. Tentu saja bukan demikian maksud Ki Tok Lama, hanya gerakannya itu mungkin saja tanpa disadarinya menggambarkan keadaan batinnya. Sie Liong memberi hormat dan berkata dengan sikap tenang dan suara lembut.
"Losuhu, maatkan saya. Kedatangan saya ini untuk bicara dengan Tibet Ngo-houw, bukan untuk bertanding dengan siapapun juga. Sudah saya katakan bahwa saya tidak mempunyai urusan pribadi dengan Kim-sim-pai...."
"Pengecut! Engkau sudah masuk ke sini dan bersikap sombong dan sekarang engkau tidak berani menyambut tantangan pinceng?"
"Bukan tidak berani, melainkan karena saya tidak melihat adanya suatu alasan apapun untuk menyambut tantangan ini."
"Ada alasan atau tidak, mau atau tidak, engkau harus menerima seranganku ini. Nah, sambutlah!"
Ki Tok Lama tidak memperdulikan semua alasan Sie Liong dan tubuhnya sudah bergerak dan dengan kecepatan yang luar biasa, tubuh itu sudah meluncur ke depan dan tangan kirinya yang membentuk cakar tadi, dari belakang telah melayang dari atas ke depan, dan karena tubuhnya tadi meloncat tinggi, maka tangan itu mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sie Liong!
"Hyaaaaattt....!"
Dia mengeluarkan pekik melengking. Diserang seperti itu, tentu saja Sie Liong tidak mungkin dapat tinggal diam. Serangan itu merupakan serangan maut dan diapun terkejut melihat betapa cepatnya gerakan lawan. Tahulah dia bahwa lawannya yang cebol itu memiliki gin-kang yang tinggi. Namun, masih belum terlalu cepat gerakan itu baginya. Dengan mudah diapun menggeser tubuh ke kiri dan terkaman itu luput. Ki Tok Lama menjadi semakin marah. Begitu tubuh turun, dia sudah membalik dan kembali dia sudah menyerang, kini lebih dahsyat, dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri. Sekali lagi Sie Liong mengelak dengan loncatan mundur.
"Losuhu, aku tidak ingin bertanding denganmu!"
Katanya masih lembut, akan tetapi tidak begitu hormat lagi. Ki Tok Lama tidak perduli. Dua kali serangannya dengan jurus pilihan gagal. Hal ini saja sudah membuat dia merasa malu dan menganggap bahwa pemuda itu menghinanya.
"Haiiiiiitttt....!"
Dia menyerang lagi, kini dengan pukulan-pukulan yang bertubi dan tubuhnya yang ringkas itu bergerak-gerak bagaikan seekor tupai melompat-lompat dan setiap kali serangannya luput, sudah disusulkannya serangan berikutnya.
Istana Pulau Es Eps 19 Mutiara Hitam Eps 17 Istana Pulau Es Eps 6