Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 39


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 39



Dibandingkan dengan gurunya, keadaan Kwi Hong lebih payah. Dua belas orang panglima itu berkepandaian tinggi, dan andaikata hanya mereka yang mengeroyok, kiranya Kwi Hong akan mampu menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua belas orang panglima itu, masih terdapat puluhan, bahkan kini ratusan orang tentara pengawal yang mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah sekali setelah berhasil merobohkan tiga puluh orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung ketat karena yang datang jauh lebih banyak daripada yang roboh. Kini, enam orang panglima yang me-lihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat, meninggalkan pimpinan pengeroyokan kepada enam orang temannya dan mereka sendiri lalu membantu Bhong-koksu menyerbu Bu tek Siauw jin.

   "He he he, bagus, bagus....! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih menggembirakan....!"

   Bu tek Siauw jin tertawa dan tiba-tiba tubuhnya roboh menelungkup ke depan, berputar dan tahu tahu kedua kakinya menendang ke belakang, inilah ilmu yang baru, Si Jengkerik menyentik atau Si Kuda
(Lanjut ke Jilid 37)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 37
menyepak yang didapatkan ketika dia mengadu jengkerik.

   Serangan ini amat tiba-tiba dan tidak terduga oleh Maharya dan Bhong koksu, sehingga biarpun mereka berdua cepat menghindar, tetap saja angin tendangan kedua kaki itu menyambar ke arah muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah sehingga muka mereka terkena tanah dan lumpur! Pada detik detik berikutnya, terdengar jerit nyaring dan dua orang panglima roboh tewas terkena tendangan kaki yang kekuatannya tidak kalah oleh sepakan lima ekor kuda itu! Andaikata Maharya atau Bhong koksu yang terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan tetapi dua orang panglima yang tingkat sin kangnya kalah jauh itu, terkena sepakon pada dada mereka, seketika tewas dengan tulang tulang iga remuk dan jantung tergetar pecah!

   "Tar tar tar....!"

   Cambuk panjang di tangan Bhong koksu melecut seperti halilintar menyambar nyambar ke arah ke-pala Bu tek Siauw jin.

   "Aihh.... wuuutt!"

   Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan dicengkeramnya. Tentu saja Bhong-koksu mempertahankan senjatanya itu dan mereka bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan dapat mulur itu meregang dan tiba-tiba Bu tek Siauw jin melepaskan ujung cambuk. Terdengar suara nyaring dan ujung cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong koksu sendiri! Bhong koksu kaget bukan main melepaskan gagang cambuk dan menundukkan muka merendahkan tubuh.

   "Aduhhh....! Aduhhh....!"

   Dua orang panglima pembantu yang berdiri di belakangnya berteriak dan roboh, merintih-rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam gagang cambuk sedangkan orang ke dua kulit dadanya robek disambar ujung cambuk. Dengan kemarahan meluap Bhong koksu kini menerjang maju dengan hanya mempergunakan pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan sabitnya.

   "Kwi Hong, kau larilah!"

   Tiba-tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat melewati di atas kepala Bhong koksu dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang terdesak hebat dan terkurung ketat. Akan tetapi, begitu tubuhnya tepat berada di atas kedua orang musuhnya terdengar suara memberobot disusul bau yang cukup membikin Bhong koksu dan Maharya merasa muak hendak muntah!

   "Tidak, Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!"

   Kwi Hong yang tahu-tahu melihat gurunya sudah berada di sampingnya dan dengan mudah mendorong dorong roboh beberapa orang pengeroyok, membantah.

   "Hushhh, musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol di sini? Heran sekali pamanmu, Pendekar Siluman itu. Ke mana saja dia minggat dan mengapa membiarkan kita dikeroyok tanpa membantu? Hayo kau pergi cari pamanmu, minta bantuannya!"

   "Suhu yang harus pergi!"

   "Hushhh, aku masih belum kenyang main main di sini. Pula, perutku mules ingin buang air besar. Lekas kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan, kalau dia tidak mau membantu aku, kelak akupun tidak sudi membantunya kalau dia membutuhkan tenaga bantuan. Hayo!"

   "Tapi, Suhu sendiri...."

   "Ihhhh, anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan bandel ini. Pergi, atau minta kugaplok?"

   Kwi Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau dia benar benar akan digaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong koksu dan Maharya belum roboh, akan tetapi dia mengerti juga kalau pertandingan ini dilanjutkan, dia tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan kalah.

   "Baik, Suhu. Hati-hati menjaga dirimu Suhu!"

   "Weh weh! Kau kira aku anak kecil, ya? Pakai ditinggali pesanan segala. Pergilah, aku membuka jalan!"

   Kakek itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap kedua lengan dikembangkan dan didorongkan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke kanan-kiri, membuka jalan. Kwi Hong berkelebat ke depan, tubuhnya dilindungi sinar pedang Li mo kiam sehingga senjata senjata rahasia dan anak panah yang berusaha mencegah dia lari, runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia keluar dari tempat itu. Kini kemarahan Bhong koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu tek Siauw jin.

   "Kakek tua bangka keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pedangku, aku Im kan Seng jin takkan mau sudah!"

   "Singg.... siuuutt....!"

   Hampir berbareng, pedang di tangan Bhong koksu menyambar dari kanan dan tombak bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri. Namun, tiba-tiba tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa menahan serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu akan mengguna-nakan jurus tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi mereka kecele karena Si Cebol tua renta itu sama sekali tidak menendang, melainkan terus menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki taman.

   "Kejar....!"

   "Tangkap....!"

   "Bunuh....!"

   Teriakan teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal, akan tetapi yang berkelebat lebih dulu melakukan pengejaran adalah Bhong-koksu dan Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang besar dan indah itu, akan tetapi tidak tampak bayangan Bu tek Siauw jin.

   "Celaka, jangan jangan dia telah berhasil melarikan diri...."

   Bhong koksu berkata.

   "Belum tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi melihatnya,"

   Kata Maharya sambil mencari terus ke seluruh taman. Para panglima dan pasukan pengawal yang ikut mengejar telah tiba di situ pula, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.

   "Heiiii, kalian mencari apa? Aku berada di sini!" Semua orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari-cari itu berada di atas pohon, duduk ongkang ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, pakaiannya tergantung di cabang pohon. Tentu saja Bhong koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri pohon yang berdiri di tepi telaga di dalam taman.

   "Aku gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita lanjutkan lagi."

   Setelah berkata demikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke bawah dan terjun ke dalam air telaga.

   "Byuuurrr!"

   Air muncrat tinggi dan sampai lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia muncul lagi yang tampak hanya kepala sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di dasarnya terdapat tanah lumpur sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu tek Siauw jin terbenam ke dalam lumpur. Tentu saja muka dan kepalanya penuh lumpur ketika dia tersembul keluar sambil megap-megap!

   "Siauw jin, engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah daripada seorang siauw jin (manusia hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya hanyut di air!"

   Maharya berseru dan kini semua orang telah mengurung telaga itu dengan senjata disiapkan. Bu tek Siauw jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air. Air telaga itu jernih sekali, dan di situ terdapat banyak ikan emas peliharaan Koksu. Sambil menyembur-nyemburkan air dari mulut dan menggosok kedua matanya, Bu tek Siauw jin memandang kepada Koksu dan Maharya, terkekeh gembira mempermainkan dan mengejek.

   "Ha ha ha, sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah Im kan Seng jin Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan anjing peliharaan Maharya pendeta palsu untuk mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh, Bhong koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa aku harus mandi dulu?"

   Maharya yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu, menahan gejolak kemarahan hatinya. Dia pun tersenyum lebar, sungguhpun senyumnya agak pahit, kemudian berkata,

   "Tentu saja aku tahu, Siauw jin. Memang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu agar tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan mayatmu. Biarlah engkau mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu di sini."

   Jawaban itu dikeluarkan dengan suara halus dan ramah, namun sebetulnya merupakan ejekan yang menyakitkan hati.

   "Bukan! Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau seorang manusia tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan tetapi engkau tidak bisa mengelabuhi aku! Engkau bertapa di puncak gunung-gunung, bukan untuk membersihkan batin melainkan untuk memupuk ilmu agar dapat kau pergunakan untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau memakai cawat dan pakaian sederhana, makan seadanya, memamerkan hidup sederhana, bukan untuk mempertajam pandang mata batin melainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah engkau menipu orang, seperti seekor srigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku mandi? Karena sudah terlalu lama aku bertanding dengan kalian, dan terlalu banyak kotoran dari kalian mengotori tubuhku. Maka itu harus membersihkan dulu tubuhku agar tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha ha ha!"

   Bhong koksu marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba-aba dan mulailah para panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi itu dengan senjata rahasia.

   Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang), peluru besi, paku dan lain lain ke arah tubuh Bu tek Siauw jin. Sambil tertawa kakek itu mengelak ke kanan-kiri kemudian tenggelam. Karena pergerakannya, tentu saja air menjadi keruh dan tubuhnya tidak tampak. Tahu tahu dia telah muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua tangannya digerak gerakkan menyambit ke daratan. Berhamburanlah air keruh, lumpur dan batu batu kecil ke arah para pengurungnya! Bahkan ada dua buah benda kekuningan menyambar ke arah muka Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat mengelak dan dua buah benda itu dengan tepat mengenai muka dua orang panglima yang berada di belakang Koksu dan Maharya.

   "Plok! Plok! Uuhhhgg.... hak.... haek-haek....!"

   Dua orang panglima itu muntah muntah karena dua "benda"

   Yang mengenai mulut dan hidung mereka itu adalah tahi (kotoran manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu bukan hanya mandi, melainkan juga membuang air besar! Kiranya dia tadi tidak membohong ketika menyuruh muridnya pergi dan dia ingin membuang air besar lebih dulu. Pantas saja dia merendam tubuh bertelanjang bulat dan ketika ia membuang air besar diam diam ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan untuk membalas serangan senjata rahasia lawan dengan "senjata rahasia"

   Yang luar biasa itu!

   "Ha ha ha ha, benar benar anjing yang suka makan tahi!"

   Bu tek Siauw jin tertawa bergelak, akan tetapi terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak pengurungnya telah datang anak panah seperti hujan menyerang dirinya. Terjadilah main kucing kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani serangan, dia menyelam, kemudian timbul di lain bagian sambil membalas dengan sambitan batu-batu dan lumpur. Agaknya permainan ini mendatangkan kegembiraan besar di hati Bu tek Siauw jin, apalagi ketika dia berhasil mengotori pakaian Koksu dan sorban di kepala Maharya dengan lumpur membuat dua orang sakti itu memaki-maki dan menyumpah nyumpah. Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke kanan-kiri sambil menjulurkan lidah.

   "Ambil minyak! Kita bakar permukaan telaga!"

   Tiba-tiba Bhong koksu mengeluarkan perintah. Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup membuat Bu tek Siauw jin terkejut dan kha-watir.

   "Wah, itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau begitu!"

   Akan tetapi Bhong koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka, telah menanti di tepi telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah telaga kembali sambil memaki maki.

   "Kalian cacing cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?"

   "Singgg.... cuppp....! Wirrrr!"

   Maharya dan Bhong koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas tanah di depan mereka itu, sebatang pedang yang tadi meluncur dari atas, menancap di atas tanah depan mereka. Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu tahu di depan mereka, dekat pedang di atas tanah tadi, telah berdiri seorang wanita bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thian liong pang!

   "Pa.... paduka....?"

   Bhong koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua Thian-liong pang yang dikenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.

   "Aihhh, Ketua Thian liong pang hendak memberontak?"

   Maharya juga berseru.

   "Bhong Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Engkaulah yang hendak mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Tibet dibantu orang-orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan diperalat Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak merebut tahta kerajaan. Berlututlah engkau pengkhianat busuk agar kutangkap dan kuhadapkan kaisar!"

   Ketua Thian liong pang atau Puteri Nirahai itu membentak dengan suaranya yang nyaring. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong koksu dan semua panglima yang menjadi kaki tangannya mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk menyembunyikan rasa khawatirnya, Im kan Seng jin Bhong Ji Kun tertawa.

   "Ha ha ha! Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang telah mencemarkan nama kerajaan, berpura pura hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali, Nirahai, engkau menjadi musuh kerajaan dan hadapilah kematianmu di ujung pedangku sendiri!"

   Bhong koksu melintangkan pedang di depan alisnya sedangkan Maharya telah menggerakkan senjata tombak bulan sabitnya.

   "Haiii.... engkaukah Ketua Thian-liong pang? Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi aku Bu tek Siauw jin tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro coro kacoa bau itu aku belum membutuhkan bantuanmu!"

   Bu tek Siauw jin berteriak teriak dari tengah telaga, kemudian meloncat ke darat dekat Ketua Thian liong-pang. Nirahai, wanita berkerudung itu secepat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi dilontarkan menancap tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik kerudungnya, mukanya menjadi merah padam melihat betapa kakek cebol di sebelahnya itu bertelanjang bulat!

   "Kakek sinting, pergilah!"

   Bentaknya ketus.

   "Aku tidak butuh bantuanmu!"

   Bu tek Siauw jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak pinggang, lupa sama sekali betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan sama sekali tidak berpakaian!

   "Wah wah weh weh! Siapa yang membantu dan siapa yang dibantu? Sebelum kau muncul aku sudah mereka keroyok sampai kelelahan dan terpaksa aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau tidak, aku terpaksa harus menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu Maharya!"

   Maharya, Bhong koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

   Bhong koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih berbahaya, bukan ilmunya karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan berbahaya karena Nirahai telah mengetahui rahasianya, sudah cepat-cepat menerjang Nirahai dengan pedangnya. Pedang itu dengan gerakan cepat membabat leher Nirahai, ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang dapat ditangkis pula oleh pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu yang seperti hidup, tahu tahu sudah membabat ke arah kedua kaki lawan! Nirahai maklum bahwa lawannya bukan orang sembarangan, melainkan seorang ahli silat tinggi yang sakti, maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik ke atas menghindarkan babatan pedang, namun kaki itu tidak hanya mengelak saja, melainkan dari atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada dan muka lawan!

   "Wuuut! Wuuutt!"

   Bhong koksu berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan kalau saja dia tidak cepat-cepat mencelat mundur.

   Dan keadaannya yang terdesak itu tertolong oleh majunya tiga orang panglima pembantunya yang mengurung dan menyerang Nirahai sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat mendesak Bhong koksu yang dibencinya. Biarpun dihadapi tiga orang panglima yang rata rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, Nirahai masih dapat mencelat melalui mereka dan pedangnya menyambar ke arah Maharya yang berada di tempat lebih dekat dengannya daripada Bhong koksu yang melompat mundur tadi. Dia sengaja menyerang pendeta ini karena dia maklum bahwa di antara para pembantu Bhong koksu, pendeta inilah yang paling berbahaya. Pedangnya yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang cepat menggerakkan tombak bulan sabitnya sambil membentak,

   "Robohlah!"

   Tangkisan Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi nyaring sekali, dan bentakannya tadi mengandung pengaruh mujijat ilmu sihirnya, namun selain Nirahai telah memiliki sin kang yang amat kuat, juga muka wanita ini terlindung kerudung sehingga sinar mata Maharya yang penuh kekuasaan mujijat itu tidak mempengaruhinya. Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan getaran hebat bagi Nirahai yang cepat mengerahkan sin kang melindungi jantungnya. Lebih hebat lagi, tangkisan tombak kepada pedang itu disambung dengan meluncurnya tiga batang jarum yang keluar dari leher tombak menyambar ke arah Nirahai!

   "Pendeta curang...!"

   Tiba-tiba Bu tek Siauw jin berteriak dan tiga batang jarum beracun itu runtuh semua oleh sambitan Si Kakek cebol ini yang menggunakan lumpur! Sambitan ini menyelamatkan Nirahai sungguh pun belum tentu wanita perkasa ini akan menjadi korban jarum andaikata tidak dibantu Bu tek Siauw jin, akan tetapi baju Nirahai terkena noda sedikit lumpur.

   "Singgg.... wuuusss.... hayyaaa....!"

   Bu tek Siauw jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba-tiba pedang Nirahai menyambar ke arah lehernya!

   "Wah wah, Ketua Thian liong pang benar ganas! Diberi madu membalas racun! Ditolong membalas dengan niat membunuh!"

   "Siapa membutuhkan pertolonganmu? Engkau mengganggu saja!"

   "Weh weh, sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang melawan mereka ini?"

   "Aku tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek tua bangka tak bermalu, baru kita bicara tentang bantuan!"

   Nirahai terpaksa sudah meninggalkan Bu tek Siauw jin lagi untuk mengamuk dengan pedangnya karena Bhong koksu dan Maharya sudah menerjangnya lagi. Suara pedangnya menangkis senjata mereka dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan bertubi tubi kemudian terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena sambaran sinar pedang wanita berkerudung yang sakti itu. Bu tek Siauw jin yang merasa penasaran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil mengomel meloncat ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa gesa mengenakan pakaiannya beberapa kali dia memakai pakaian dengan terbalik! Akhirya selesai juga dia berpakaian.

   "Thian liong pangcu! Lihat aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uh uh! Pikiran gila yang menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita berlomba, siapa lebih banyak merobohkan cacing cacing tanah ini!"

   Dari atas, tubuh yang cebol itu melayang turun, berputar putar seperti ge-rakan seekor anak burung belajar terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari atas ke arah kepala Maharya. Memang pendeta inilah yang dicarinya! Begitu Bu tek Siauw jin menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri menyambar lengan yang memegang tombak bulan sabit, tangan kanan mencengkeram ke arah ubun ubun kepala, kedua kaki menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan mulutnya masih mengeluarkan suara

   "cuhhh!"

   Meludah ke arah tengkuk Maharya! Diserang secara luar biasa itu, Maharya gelagapan. Dia dapat menyelamatkan diri dengan memutar senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu bergulingan, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengelak dari air ludah yang berubah menjadi hujan kecil menimpa sebagian dagunya!

   "Siauw jin manusia kotor!"

   Dia membentak setelah mencelat berdiri lagi sambil menyerang ganas, dibantu oleh beberapa orang panglima. Bu tek Siauw jin maklum akan kelihaian Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki tangan untuk mengelak dan menangkis, mulutnya tertawa-tawa mengomel.

   "Heh heh, kau kira engkau ini manusia bersih? Mana lebih baik kotor luarnya bersih dalamnya dibandingkan dengan engkau yang bersih luarnya kotor dalamnya? Heh heh heh! Aku memang Bu tek Siauw jin, namaku saja sudah manusia rendah, apanya yang aneh kalau aku kotor! Engkau adalah seorang pendeta, baik pakaian maupun namamu menunjukkan bahwa engkau pendeta, akan tetapi sepak terjangmu sama sekali berlawanan!"

   "Mampuslah!"

   Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan tampak sinar kilat berkelebat. Namun, dengan tubuhnya yang cebol, Bu tek Siauw jin dapat mencelat ke kiri, kakinya menendang sebatang golok di tangan seorang pengawal yang mencoba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan, diterima oleh pinggul kakek cebol yang digerakkan ke samping.

   "Desss! Augghh....!"

   Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan menabrak dua orang temannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling guling. Hanya Maharya dan Bhong koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu tek Siauw jin dan Nirahai secara ber-depan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka yang banyak jumlahnya itu hanya berteriak teriak dan membantu mengurung serta menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan-kiri atau belakang,

   Karena amukan kakek cebol dan wanita berkerudung itu benar benar amat dahsyat dan sudah banyak jatuh korban di antara para pengawal yang berani menyerang terlampau dekat. Memang kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh Bu tek Siauw jin, sedangkan Bhong koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai yang pada tahun tahun yang lalu memperoleh kemajuan banyak sekali berkat mengambil inti sari ilmu-ilmu silat tinggi dari partai partai lain. Akan tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, sedangkan para panglima yang membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan wanita berkerudung itu terkurung ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya dan Bhong koksu.

   Tiba-tiba muncul belasan orang Tibet dan Mongol yang memiliki gerakan cepat dan jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi daripada kepandaian para panglima. Mereka adalah bala bantuan yang didatangkan oleh seorang panglima dan kini mereka langsung menerjang maju mengeroyok Bu tek Siauw jin dan Nirahai! Terpaksa dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung saling membelakangi. Bu tek Siauw jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas sebatang toya dan melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk, lalu dirampasnya sebatang golok untuk melanjutkan gerakannya melindungi tubuh sendiri dari serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya.

   "Kita harus keluar dari sini,"

   Tiba-tiba Bu tek Siauw jin berkata kepada Nirahai di belakangnya.

   "Hemmm, apakah engkau takut?"

   Nirahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil merobohkan seorang Nepal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh berkejotan untuk tak dapat bangun kembali.

   "Siapa takut? Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai sekarang pun tidak muncul batang hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh menghadapi cacing-cacing ini!"

   "Aku tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!"

   Mendengar disebutnya Pendekar Super Sakti, Nirahai marah.

   "Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu."

   "Eh-eh, benar-benar kau wanita sombong dan galak! Untung bukan isteriku!"

   Nirahai terbelalak di balik kerudungnya dan memutar pedangnya menangkis serangan yang datang bertubi-tubi sehingga tampak bunga api berpijar menyusul suara berdencing nyaring.

   "Apa kau bilang? Mengapa untung?"

   "Punya isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!"

   Bu-tek Siauw-jin berkata lagi.

   "Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan sombong. Eh, Thian-liong-pangcu, aku menganjurkan kita keluar dari sini bukan karena takut melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu sedang dihancurkan oleh mereka!"

   "Apa....?"

   "Bodoh! Apakah engkau melihat pembantu-pembantu mereka itu lengkap? Engkau kena dipancing di sini, kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu, akan habislah Thian-liong-pang!"

   Karena percakapan itu dilakukan dengan suara keras, tentu saja terdengar oleh Bhong-koksu yang tertawa bergelak,

   "Si Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang sedang kami gempur habis, ha-ha!"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Singgg.... tranggg....!"

   Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke belakang.

   Serangan Nirahai tadi benar-benar hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan Bhong-koksu membuat kakek ini terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan. Para pembantunya, orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali. Kini dua orang sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh lawan sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar dari tempat itu, keluar dari taman istana Koksu untuk menyelamatkan Thian-liong-pang. Tentu saja Nirahai yang mempunyai keinginan ini, sedangkan Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli akan nasib Thian-liong-pang karena dia sendiri ingin mencari muridnya disamping sudah lelah sekali bertempur sejak tadi.

   Sudah bosan dia dan ingin menyusul muridnya, ingin bertemu dengan Pendekar Super Sakti yang dikagumi akan tetapi yang juga menimbulkan kemendongkolan hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga membantunya! Adapun Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari kepungan, berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi sehingga terjadilah pertandingan yang lebih hebat dan mati-matian. Dugaan Bu-tek Siauw-jin memang benar. Biarpun kakek cebol ini kelihatan sinting dan ketolol-tololan, namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada di tempat itu selama beberapa hari, mendengar percakapan-percakapan antara Koksu dan Nirahai, percakapan-percakapan yang dilakukan para pengawal ketika dia dan muridnya ditahan, sudah cukup baginya untuk mengerti duduknya perkara.

   Dugaannya bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman, memang tepat sekali. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang menganggap bahwa kalau Thian-liong-pang belum dihancurkan lebih dahulu, tentu perkumpulan yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi pemberontakan yang diaturnya bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin perkumpulan-nya itu untuk membela ayahnya kaisar. Pada saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan tentara dipimpin oleh Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan kanan Koksu, dan beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi dibantu pula oleh orang-orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan Tibet, menyerbu markas besar Thian-liong-pang di luar kota raja.

   Karena puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu dengan persekutuan pemberontaknya, maka begitu ibunya meninggalkan markas untuk membuat perhitung-an dengan Koksu, dara perkasa ini telah mengadakan persiapan. Penjagaan dilakukan dengan ketat dan dibantu oleh para tokoh Thian-liong-pang, yaitu Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek Muka Singa, dan para pembantu lainnya. Jumlah anak buah Thian-liong-pang bersama para pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu masih ada kurang lebih seratus orang. Mereka semua siap sedia menanti perintah dari puteri ketua mereka dan di lain pihak Milana juga menanti kembalinya ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia maklum bahwa pasti akan terjadi sesuatu yang hebat berhubungan dengan pemberontakan yang diatur oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.

   Karena persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang inilah, maka ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan pengawal yang dipimpin oleh Thian Tok Lama, terjadi pertempuran yang amat seru dan hebat. Pihak Thian-liong-pang mengadakan perlawanan mati-matian dan karena rata-rata anggauta Thian-liong-pang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, maka biarpun pasukan tentara lebih besar dan lebih kuat, tidak mudah bagi mereka untuk menumpas Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak korban di pihak tentara. Betapapun juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapapun para tokoh Thian-liong-pang membela diri mati-matian,

   Tak seorang pun di antara mereka yang mampu menandingi pendeta Lama dari Tibet yang kosen ini. Agaknya hanya Milana seoranglah yang hampir dapat mengimbanginya, akan tetapi pada saat penyerbuan terjadi, Milana telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal dan dua orang Tibet pembantu Thian Tok Lama, sedangkan Lama itu sendiri memimpin orang-orangnya menyerbu ke dalam dan mengamuk, ditahan oleh Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok. Terjadilah pertandingan dahsyat di sebelah luar dan dalam markas Thian-liong-pang. Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai setengah hari lebih! Betapa gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua mereka di situ, akhirnya mereka itu runtuh juga.

   Seorang demi seorang roboh dan tewas, mula-mula Tang Wi Siang tewas oleh Thian Tok Lama, kemudian Lui-hong Sin-ciang Chie Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga terluka parah dan hanya karena di situ tidak ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari, bukan karena dia takut mati, melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada ketuanya, apalagi setelah dilihatnya betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian Tok Lama. Hanya beberapa orang saja yang berhasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan seperti juga Sai-cu Lo-mo, para anggauta Thian-liong-pang yang berhasil lolos dan melarikan diri itu menderita luka-luka parah. Karena telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali dapat menawan Milana,

   Thian Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang Thian-liong-pang. Hari telah menjadi sore dan dia hendak cepat-cepat membawa Milana sebagai tawanan ke kota raja. Dara itu merupakan seorang tawanan penting sekali, karena dengan adanya dara itu sebagai sandera, tentu Ketua Thian-liong-pang tidak akan mampu berbuat hal-hal yang akan merugikan persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan Bhong-koksu. Berangkatlah sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas Thian-liong-pang yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota raja. Milana dengan kedua tangan terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke atas punggung seekor kuda, digiring di tengah-tengah mereka dan dikawal sendiri oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok Lama dan para pembantunya.

   Yang menjadi pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal! Yang bersorban dan rata-rata bertubuh tinggi besar. Mereka merasa bangga karena dalam kemenangan ini mereka melihat tanda yang baik bahwa persekutuan mereka akan berhasil, dan kalau kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi bukan hanya dari kaisar baru, akan tetapi terutama dari raja-raja mereka sendiri karena Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanjikan persahabatan, bukan penaklukan se-perti sekarang, kepada Nepal, Mongol dan Tibet. Karena hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan itu melakukan perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema di dalam hutan dan pasukan yang berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah berlari.

   Sembilan orang jagoan Nepal yang merasa berjasa dan bergembira, tidak dapat menahan kegembiraan hati mereka dan terdengarlah suara mereka bernyanyi-nyanyi dalam bahasa Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan mereka mendahului pasukan karena memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan janggal sekali suara mereka itu, suara asing yang bergema di sepanjang hutan yang dilalui pasukan itu. Kadang-kadang suara nyanyi hiruk pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan teriakan-teriakan mereka bersendau-gurau. Semua ini diperhatikan dan didengarkan oleh Milana yang duduk dengan sikap tenang di atas kudanya. Dara perkasa ini merasa berduka mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang dan kematian tokoh perkumpulan ibunya. Namun sedikit pun dia tidak merasa gelisah atau takut. Hanya terpaksa dia ditawan.

   Akan tetapi setiap saat ia bersiap untuk melawan dan memberontak jika terdapat kesempatan. Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya hanyalah keadaan ibunya. Ibunya belum tahu akan malapetaka yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu di mana adanya ibunya, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam bahaya besar yang direncanakan oleh Koksu dan kaki tangannya. Dengan sikap angkuh dan agung Milana mengerling kepada Thian Tok Lama dan Panglima Bhe Ti Kong yang menunggang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang kepercayaan Koksu dan kedua orang ini, terutama Thian Tok Lama, yang mengawal dan menjaganya. Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu, agaknya masih ada harapan baginya untuk meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu benar-benar amat lihai.

   "Tidak enakkah dudukmu, Nona? Menyesal sekali, terpaksa kami membelenggu kedua tanganmu."

   Terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata. Milana tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak memandang ke depan seolah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapapun juga, dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, malah lebih jelas lagi, puteri dari Puteri Nirahai! Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh lebih tiggi daripada kedudukan seorang panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana dapat duduk dengan tegak dan sikap agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe Ti Kong maupun Thian Tok Lama.

   "Hemm, tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak mampu menghadapi kekalahan dan berkeras kepala."

   Kembali Bhe Ti Kong berkata karena diapun tahu bahwa dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar, merupakan seorang tawanan yang amat penting dan membuat dia merasa tidak enak sendiri. Milana tersenyum mengejek, mengerling dan berkata,

   "Perlu apa banyak cerewet? Tunggulah saja kalau sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!"

   Pada saat itu, sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan di sebelah depan. Sampai tiga kali terdengar jerit mengerikan itu jerit memanjang, jerit orang yang ketakutan, jerit kematian. Setelah gema suara jerit itu lenyap, yang terdengar hanya derap kaki kuda dan suasana menjadi menyeramkan dan menegangkan sekali.

   "Harap Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan pengawalan di belakang. Kumpulkan semua tenaga untuk mengawal dia,"

   Kata Thian Tok Lama. Bhe Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal, dan pasukan itu bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.

   "Apakah yang terjadi? Siapa yang menjerit tadi?"

   Bhe Ti Kong bertanya. Para pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu.

   "Kawan-kawan yang berada di depan tentu akan dapat memberi keterangan nanti,"

   Kata mereka. Mereka adalah tiga orang di antara sembilan jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Adapun yang enam orang lain telah mendahului gerakan pasukan sebagai pelopor dan pembuka jalan, juga sebagai pengawas agar jalan yang akan mereka lalui aman. Milana tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah antara para panglima dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat tubuhnya terayun-ayun mengikuti gerakan kuda, dan rambut dara yang panjang itu berkibar. Mereka memasuki bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah mulai suram dan agak gelap.

   "Haiii....! Lihat di depan itu....!"

   Tiba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul seruan-seruan kaget para jagoan Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju ke depan di mana tampak sesosok tubuh orang bersorban membujur di atas tanah. Milana memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa orang yang rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi.

   Dugaannya memang tepat. Setelah mereka datang dekat dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti Kong meloncat turun dari kuda memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang di antara para jagoan Nepal yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan sebatang pisau, pisaunya sendiri yang menjadi kebanggaan para jagoan Nepal itu, menancap di tenggorokannya! Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir berbareng dua orang penunggang kuda itu tiba di situ. Yang datang dari belakang adalah Thian Tok Lama yang telah mendengar akan kematian seorang pembantunya dari Nepal, adapun yang datang dari depan adalah seorang jagoan Nepal lain yang bermuka pucat dan yang begitu datang melapor dengan suara terengah-engah kepada Thian Tok Lama,

   "Celaka.... di depan ada lagi tiga orang teman yang tewas....!"

   Thian Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara menggereng keras dia melayang turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan memandang ke depan, mulutnya mengeluar-kan suara yang nyaring melengking sampai bergema di seluruh hutan.

   "Pinceng Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah begitu berani mati menggang-gu kami dan membunuh empat orang anggauta pengawal pasukan kami?"

   Semua orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan keadaan di hutan itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian Tok Lama mengulang teriakannya namun belum juga ada ja-waban. Suara Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeramkan itu.

   "Hem, mengapa kalian begini ketakutan?"

   Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok orang-orang yang di-bencinya itu. Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh orang-orang Nepal itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu kawan ataukah lawan. Melihat caranya membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat diduga bahwa pembunuhnya tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia yakin bukan ibunya yang melakukan hal itu. Cara yang dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya membunuh lawan secara menggelap macam itu. Ibunya adalah seorang gagah perkasa sejati sedangkan cara yang dipergunakan pembunuh ini menyeramkan penuh rahasia. Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau menjawab pertanyaan mengejek dari Milana tadi.

   "Kalau Nona Milana tidak segera dibebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor yang tewas, melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku, berarti bosan hidup!"

   Diam-diam Milana terkejut dan kecewa sekali mendengar suara yang dikenalnya itu. Dia merasa gelisah. Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Nepal itu adalah pemuda Pulau Neraka yang amat dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga ditakutinya.

   Namun tentu saja dara jelita ini tidak memperlihatkan rasa khawatirnya dan masih tetap bersikap biasa dan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat dia merasa khawatir. Tentu saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga siapa orang yang mengeluarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia menduga bahwa tentulah orang itu berniat merampas tawanan. Satu-satunya orang yang ditakutinya di dunia ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan biarpun dia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga amat lihai dan mungkin saja ketua itu tiba-tiba muncul untuk menolong puterinya, namun dengan bantuan para jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat, dia merasa cukup kuat menghadapi bekas puteri kaisar itu.

   "Siapa berani main-main dengan pinceng? Harap suka keluar untuk bicara!"

   Kembali Thian Tok Lama mengeluarkan seruan dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya mengandung getaran berpengaruh.

   "Blarrr....!"

   Sebuah ledakan keras me-ngejutkan semua orang. Tempat itu menjadi gelap tertutup asap hitam. Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat kuda yang diduduki Milana untuk menjaga jangan sampai dalam keadaan gelap itu tawanan yang penting ini dilarikan orang.

   "Pasukan tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini tidak berbahaya....!"

   Thian Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak mengandung racun. Sedangkan dia sendiri diam-diam bergerak di dalam asap, memasang mata untuk mencari musuh yang melepas asap hitam tebal. Akan tetapi tidak tampak ada gerakan sesuatu, maka diapun hanya berdiri dan bersikap waspada karena untuk bergerak di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar merupakan bahaya, salah-salah bisa menyerang anak buah sendiri.

   "Wir-wir-wirrr....!"

   Asap hitam membuyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga tak lama kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai menipis. Thian Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main melihat bahwa angin yang menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua lengan seorang pemuda tampan yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang ditunggangi Milana, sedangkan seorang panglima tua yang tadi mendekati dan menjaga tawanan telah menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri!

   "Keparat, siapa engkau....?"

   Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap menyerang. Pemuda itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian Tok Lama merasa seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat, memperdengarkan suara tertawa, akan tetapi mulut dan matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis mayat tertawa!

   "Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono menggerakkan tangan menyerang!"

   Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap, bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena senja mulai mendatang dan tempat itu penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang seolah-olah membisikkan kewaspadaan kepadanya, maka kini dia melangkah maju dan memandang penuh perhatian.

   Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya membayangkan ketinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang pernah muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan pertandingan! Hatinya menjadi agak lega. Pemuda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang, sungguhpun dia dan pasukannya tidak dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah itu.

   "Orang muda, kalau pinceng tidak salah mengenal orang, engkau adalah orang yang pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?"

   Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu. Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau mengacuhkan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya, memandang jauh.

   Pemuda itu adalah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila kepada Milana itu, mendengar pertanyaan Thian Tok Lama tersenyum dingin dan hanya mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan! Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apalagi melihat bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua orang kakek seperti setan yang pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thian-liong-pang. Dengan adanya pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi pemuda yang masih amat muda itu.

   "Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pasukan pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?"

   Kembali Thian Tok Lama bertanya. Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata dari wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, kemudian dia berkata,

   "Thian Tok Lama, tak perlu menggertak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu pasukan apa ini, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu bersama Pangeran Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kau kira aku tidak melihat betapa kalian membasmi Thian-liong-pang? Sungguh bagus....!"

   Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua anggauta pasukan sudah meraba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum memberi aba-aba, mereka semua hanya bersiap-siap mengha-dapi pemuda yang mendatangkan suasana menyeramkan itu.

   "Orang muda, di pihak siapakah engkau berdiri?"

   Thian Tok Lama memancing, tidak mau berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.

   "Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!"

   Wan Keng In menjawab.

   "Kalian membasmi Thian-liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak pinanganku. Akan tetapi engkau telah berani menawan dan menghina tunanganku ini, hemm...., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau Koksu tidak minta maaf kepada Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!"

   "Manusia sombong....!"

   Bhe Ti Kong berseru marah sekali. Panglima ini adalah seorang yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang pandai namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang pemuda bersikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali. Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari kudanya dan langsung menyerang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya melakukan gerakan serangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher, dan dada Wan Keng In.

   "Plak-plak-plak.... bressss....!"

   Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua kakinya yang masih berdiri terpentang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi menggerakkan tangan kiri, menyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak itu menyambar. Tiga kali dia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan dorongan yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak mengeroyok.

   "Tahan....!"

   Thian Tok Lama mengangkat tangan ke atas sehingga pasukarinya tidak berani maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek.

   "Orang muda, engkau siapakah, dan apakah kehendakmu? Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu sebagai sahabat. Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan."

   Pendeta itu memang cerdik sekali. Biarpun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di antara pembantu-pembantunya melihat pemuda itu secara lihai bukan main telah mengalahkan Bhe Ti Kong dalam segebrakan saja. Apalagi kalau diingat bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia berhasil menarik pemuda lihai ini sebagai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan main dan akan memujinya. Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah.

   "Huhh! Kau kira aku ini orang macam apa yang membutuhkan anugerah Koksu? Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan minta maaf kepada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir tentang kerja sama yang kau sebut-sebut itu."

   Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat sombong itu! Namun, sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat menduga bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil memperoleh pendidikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada kepandaian sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar, bahkan tersenyum dan berkata,

   "Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana tidak akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai. Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kaisar setelah kaisar datang sendiri mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya. Akan tetapi, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang sendiri oleh Koksu, harus lebih dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu yang sudah memperoleh kepercayaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan nama."

   Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang biasanya dimanja menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah menyama-kannya dengan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita Hong-sin-pong) yang menjadi pujaan semua manusia karena kebijaksanaannya sehingga sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk kepadanya!

   "Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu karena aku marah melihat kekasih dan tunanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi jangan menyesal kalau engkau tewas dalam pertandingan ini!"

   Benar-benar ucapan yang amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah mencabut pedangnya yang membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan pemuda itu mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.

   "Aihh.... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?"

   Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.

   "Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Si-cu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu"

   Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam. Wan Keng In masih melintangkan pedangnya di depan dada, alisnya berkerut, kemudian dia menjawab,

   "Dengan dua syarat!"

   "Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu."

   "Pertama, Nona Milana ini adalah kekasih dan tunanganku, tidak boleh diganggu dan bahkan harus disyahkan menjadi isteriku. Ke dua, aku menjadi pembantu langsung dari Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat mengalahkan kepandaianku!"

   Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong dan berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Koksu adalah seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan yang tinggi. Tentang Nona ini.... ehhh....!"

   Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika tadi Milana mendengar percakapan di antara mereka dan melihat perkembangan yang tidak menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas. Tadinya dia mengharap akan terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In sehingga dalam kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa dan mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan bersekutu, maka habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak melihat jalan lain, dan merasa ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemuda gila itu, dia lalu berusaha mengaburkan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu kedua tangannya putus.

   

Pendekar Super Sakti Eps 29 Pendekar Super Sakti Eps 30 Pendekar Super Sakti Eps 30

Cari Blog Ini