Sepasang Pedang Iblis 41
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 41
Yang paling nyaring suaranya adalah orang Nepal yang tidak ikut mengurung, yaitu kakek Nepal yang masih memegang guci arak dan kini kakek itu berada di loteng, menonton ke bawah sambil bernyanyi-nyanyi memimpin anak buahnya! Lulu tidak tahu bahwa mereka itu mempergunakan ilmu hitam untuk menundukkannya. Tak tertahankan lagi kepeningan kepalanya dan Lulu terpaksa memejamkan matanya. Pada saat itu, terdengar aba-aba dari atas loteng dan tiga di antara orang-orang Nepal menubruk maju dan menggerakkan senjata mereka. Seorang bersenjata golok, seorang menusuk dengan pisau-pisau belati di kedua tangan, dan orang ke tiga menghantamkan sebuah ruyung! Lulu merasa pening dan telinganya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia merasa akan datangnya serangan.
Dengan kemarahan meluap-luap, wanita sakti ini mengeluarkan jerit melengking yang tidak lumrah suara manusia, seperti suara iblis saja. Dia tidak mengelak, melainkan langsung menubruk maju menyambut serangan-serangan itu dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke depan! Tanpa disengaja, Lulu telah membuyarkan pengaruh suara nyanyian yang mengandung ilmu hitam itu, yaitu ketika dia menjerit dengan pengerahan khi-kang saking marah tadi. Akibat dari terjangannya yang dahsysat, senjata-senjata tiga orang itu terpental ke belakang, seorang Nepal kena dicengkeram dadanya oleh tangan kiri Lulu sehingga jari-jari tangan wanita itu menancap masuk dan merobek dada, seorang lagi terlempar oleh tamparan yang mengenai kepala, sedangkan orang ke tiga terhuyung-huyung mundur ketakutan!
Lulu melemparkan orang yang dicengkeram dadanya, kemudian cepat meloncat ke belakang melampaui kepala para pengurungnya karena pada saat itu, sudah datang pula senjata-senjata para pengeroyok menyerangnya seperti hujan lebat! Loncatan Lulu yang amat gesit ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh para pengurungnya, demikian cepat laksana kilat menyambar gerakan Lulu dan tahu-tahu wanita itu telah berada di atas sebuah meja! Orang-orang Nepal itu cepat mengurung lagi dan serentak maju menyerang, akan tetapi kini Lulu yang sudah marah mulai mengamuk dan wanita perkasa ini tidak pernah meninggalkan meja dan meja itu bergerak menerjang ke kanan-kiri, melayang-layang menggantikan kaki wanita perkasa itu! Terjadilah pertempuran yang aneh dan hebat sekali.
Karena dia selalu berada di atas meja tidak mudah bagi pengeroyok untuk menyerangnya tanpa terancam bahaya pukulan-pukulan mengandung hawa sin-kang yang dilancarkan Lulu dari atas meja, membuat mereka tak berani mendekat karena siapa yang terlalu dekat, kalau tidak terpelanting oleh pukulan jarak jauh, tentu roboh oleh sambaran jarum-jarum rahasia yang dilepas oleh bekas Ketua Pulau Neraka itu. Betapapun juga, karena rata-rata orang-orang Nepal itu memiliki kepandaian tinggi, Lulu juga tidak berani bersikap sembrono dan memandang rendah. Dia selalu membuat mejanya melayang ke luar dari kepungan setiap kali para pengeroyoknya berusaha untuk mengepungnya. Ketika dia berhasil merobohkan empat orang pula dan pihak pengeroyok mulai menggunakan pisau-pisau terbang, tiba-tiba meja itu melayang ke atas loteng!
Kakek Nepal yang tadinya minum arak dan memandang rendah karena yakin bahwa kepungan anak buahnya tentu akan merobohkan wanita itu, menjadi kaget dan penasaran sekali. Ditenggaknya arak dari guci, kemudian dia bergerak meloncat menyambut Lulu yang melayang bersama mejanya ke atas loteng, dan disemburkanlah arak dari mulutnya ke arah Lulu. Wanita ini mengerti bahwa ada serangan dari belakang. Mejanya berputar dan ia menghadapi kakek Nepal itu. Melihat ada gumpalan seperti uap hitam kemerahan menyerangnya, Lulu cepat menggerakkan tangan mendorong sambil mengerahkan sin-kang. Uap arak itu membuyar, akan tetapi Lulu terkejut bukan main melihat betapa uap itu seolah-olah hidup, terpecah-pecah dan seperti serombongan ular terbang, terus menyerang ke arah mukanya! Dan pada saat itu, kakek Nepal sudah melontarkan guci yang kosong ke arah meja yang diinjaknya.
"Desss!"
Lulu lebih memperhatikan serangan uap aneh ke arah mukanya, maka dia meloncat ke atas meninggalkan mejanya yang pecah berantakan dihantam guci, kemudian di udara dia berjungkir balik, melayang ke arah kakek Nepal melampaui gumpalan uap tadi, langsung menghantam dengan Ilmu Pukulan Toat-beng Bian-kun! Kakek Nepal itu sesungguhnya hanya kuat ilmu hitamnya dan dia terlalu memandang rendah Lulu, tidak tahu bahwa wanita itu adalah bekas Ketua Pulau Neraka yang tersohor. Melihat wanita itu dapat menghindarkan serangan uap araknya dan kini melayang sambil memukulnya dengan dorongan telapak tangan yang membawa angin pukulan halus, dia terkekeh, lalu melonjorkan tangan me-nyambut pukulan tangan Lulu dengan niat menangkap tangan wanita itu!
"Plakkk!"
Telapak tangan kakek itu bertemu dengan telapak tangan Lulu, dan kakek itu terkekeh makin girang ketika merasa betapa telapak tangan itu halus, lunak dan hangat, sama sekali tidak mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Akan tetapi, dia sama sekali tidak tahu bahwa Pukulan Toat-beng Bian-kun adalah semacam pukulan halus yang amat berbahaya. Lulu memperoleh ilmu pukulan mujijat ini dari Nenek Maya yang sakti, dan setelah dia tinggal di Pulau Neraka, pukulan ini diperhebat dengan hawa beracun. Jangankan baru kakek Nepal ini yang tidak berapa tinggi ilmunya, biar orang-orang terkuat di dunia kang-ouw jaranglah kiranya yang akan kuat menerima pukulan ini secara terbuka seperti itu.
Suara ketawanya tiba-tiba berubah menjadi pekik mengerikan, tubuhnya seketika kaku seperti kemasukan api halilintar dan begitu tangan kiri Lulu menyusul dengan tamparan mengenai kepalanya, kedua telapak tangan yang saling menempel tadi terlepas, tubuh kakek Nepal terjengkang dan dia sudah tewas dengan muka berubah hitam! Gegerlah orang-orang Nepal melihat betapa pemimpin mereka tewas. Mereka tadinya berloncatan mengejar ke atas loteng dan kini Lulu mengamuk, merobohkan tiga orang lagi. Sementara itu di antara mereka ada yang sudah melihat wanita yang ditugaskan membunuh Kaisar menggeletak tanpa nyawa di dalam kamar peraduan, maka maklumlah mereka bahwa usaha mereka gagal sama sekali. Mulailah mereka menjadi panik dan berusaha untuk melarikan diri.
Akan tetapi, Lulu yang telah menerima perintah kaisar, tidak membiarkan mereka lolos. Dia selalu berkelebat menyerang dan merobohkan lawan yang hendak melarikan diri dan tidak lama kemudian, muncullah pasukan pengawal yang dipimpin oleh Kaisar sendiri dari pintu samping! Pasukan pembunuh menjadi makin kacau, mereka melawan mati-matian akan tetapi akhirnya mereka roboh semua seorang demi seorang! Pada saat itu telah menjelang fajar dan beberapa detik setelah orang terakhir pasukan pembunuh roboh, daun jendela ruangan itu pecah dan dua sosok tubuh melayang masuk ke ruangan itu. Lulu memandang kaget ketika mengenal bahwa yang baru masuk melalui jendela ini bukan lain adalah Ketua Thian-liong-pang si wanita berkerudung bersama dara jelita Milana. Kedua orang itu memegang pedang terhunus!
"Tangkap Ketua Thian-liong-pang, sekutu pemberontak!"
Tiba-tiba kaisar membentak marah. Dia sudah mendengar akan kerja sama antara Koksu dan Thian-liong-pang yang tadinya dia setujui saja karena dia percaya kepada Koksu. Akan tetapi setelah kini ternyata Koksu memberontak, tentu saja Thian-liong-pang juga merupakan pemberontak, dan agaknya Ketua Thian-liong-pang inilah yang memimpin pasukan pembunuh. Kaisar hanya menerima laporan Koksu tentang Ketua Thian-liong-pang yang katanya amat lihai dan seorang wanita berkerudung yang penuh rahasia. Mendengar bentakan kaisar ini, lima orang pengawal menerjang maju dengan senjata terhunus, mengurung dan hendak menyerang.
"Jangan lancang!"
Nirahai, wanita berkerudung itu membentak sambil menggerakkan tangan kiri dan lima orang pengawal itu terpelanting ke kanan-kiri! Melihat ini para pengawal terkejut dan
(Lanjut ke Jilid 39)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 39
Kaisar sendiri pun kaget sekali.
"Biarkan hamba yang menghadapinya!"
Lulu berkata lantang dan sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan Nirahai. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan dan tempat yang jauh berlainan dari yang pertama, dua orang wanita sakti ini saling berhadapan!
Bagaimanakah Nirahai, Ketua Thian-liong-pang itu dapat muncul secara tiba-tiba di situ bersama puterinya? Seperti kita ketahui, Nirahai bersama Bu-tek Siauw-jin menghadapi pengeroyokan Bhong-koksu dan Maharya yang dibantu oleh banyak sekali perwira dan pengawal yang kuat. Pertandingan hebat itu terjadi di dalam taman di istana Koksu dibantu oleh Maharya dan banyak tokoh Tibet dan Mongol yang lihai sekali, namun Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk dan merobohkan banyak orang dalam usaha mereka membobol keluar dari kepungan. Tadinya Nirahai berniat akan mengamuk terus sampai dia berhasil membunuh Bhong-koksu yang telah memberontak kepada Kaisar dan bersekutu untuk membunuhnya dan menghancurkan Thian-liong-pang, akan tetapi ketika mendengar betapa pada saat itu Koksu telah mengirim pasukan untuk menyerbu Thian-liong-pang,
Dia menjadi khawatir sekali dan bersama dengan Bu-tek Siauw-jin yang sudah bosan bertempur, dia membuka jalan darah untuk keluar dari kepungan. Kepandaian Ketua Thian-liong-pang ini, terutama dengan adanya Bu-tek Siauw-jin kakek aneh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia, membuat kepungan Bhong-koksu dan kaki tangannya kurang kuat dan akhirnya, setelah merobohkan banyak lawan, dua orang sakti itu berhasil membobol kepungan dan melarikan diri ke luar dari taman di belakang istana Koksu. Mereka lari berpencar. Nirahai langsung menuju keluar dari kota raja untuk pergi ke markasnya, sedangkan Bu-tek Siauw-jin keluar pula dari kota raja untuk mencari jejak muridnya. Baru saja Nirahai keluar dari tembok kota raja, dia bertemu dengan Milana yang berlari-lari.
"Milana....!"
Dia memanggil dengan hati tidak enak. Puterinya bertugas menjaga di markas dan kalau tidak terjadi sesuatu, tak mungkin Milana berani meninggalkan markas Thian-liong-pang.
"Ibu....!"
Melihat ibunya, Milana terus saja menangis sehingga hati Nirahai makin tidak enak lagi.
"Apa yang terjadi?"
Nirahai bertanya sambil memeluk pundak puterinya yang menangis terisak-isak. Dengan suara terputus-putus Milana lalu menceritakan penyerbuan pasukan Koksu yang dipimpin Thian Tok Lama sehingga tokoh-tokoh Thian-liong-pang tewas semua, anak buah mereka pun sebagian besar tewas dan hanya sedikit saja yang kiranya dapat melarikan diri. Mendengar penuturan ini Nirahai marah bukan main.
"Anjing pengkhianat Bhong Ji Kun....!"
Dia memaki dan mengepal tinju.
"Kita harus membalaskan kematian Bibi Wi Siang dan yang lain-lain, Ibu."
Milana berkata penuh sakit hati.
"Bagaimana engkau dapat lolos?"
Tiba-tiba Nirahai bertanya. Milana lalu meceritakan betapa dia dijadikan tawanan dan ditolong oleh Gak Bun Beng.
"Dia memaksa aku melarikan diri dan memberikan pedang Hok-mo-kiam ini untuk diserahkan kepada Ayah."
"Hemmm...., anak itu memang baik sekali. Sungguh tidak tersangka. Milana, sekarang juga kita harus menghadap Kaisar. Agaknya sudah tiba saatnya aku kembali kepada kerajaan, membantu kerajaan dan membasmi Koksu pengkhianat itu dan kaki tangannya."
Demikianlah, ibu dan anak itu dengan cepat malam itu juga pergi ke istana dan tiba di istana menjelang pagi.
Sebagai bekas puteri kaisar, tentu saja dengan mudah Nirahai dapat menyelundup ke istana dan langsung menuju ke bangunan istana bagian puteri karena di waktu larut malam seperti itu dia tidak berani mengganggu Kaisar. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia bersama Milana melihat keributan di istana bagian ini, melihat banyak thaikam menggeletak tewas dan banyak pula orang-orang bersorban tewas, bahkan di ruangan dalam masih terjadi pertempuran dan teriakan-teriakan para pengawal kaisar yang membantu Lulu membunuh orang-orang Nepal. Ketika mendengar bentakan Kaisar yang menganggapnya sebagai sekutu Koksu dan perintah Kaisar untuk membunuhnya, Nirahai berdiri tegak dan dia mendorong roboh lima orang pengawal yang menyerangnya. Kini Lulu berdiri di depannya dengan sikap menantang!
"Hemm, sungguh tak kusangka kita akan saling bertemu lagi di sini, Thian-liong-pangcu! Lebih-lebih lagi tidak kusangka bahwa engkau begitu keji dan palsu, bersekutu dengan pemberontak untuk membunuh Kaisar! Setelah berada di depan Sri Baginda, engkau masih banyak berlagak. Orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"
Lulu berkata, dan diam-diam dia merasa tidak suka kepada wanita berkerudung yang telah mengancam puteranya dan yang telah menolak pinangannya itu.
"Kurung para pemberontak! Jangan biarkan mereka lolos!"
Kaisar berseru lagi ketika dari pintu-pintu ruangan itu bermunculan pengawal-pengawal yang mendengar akan peristiwa di istana bagian puteri dan cepat memimpin pasukan untuk membantu. Kini tempat itu penuh dengan pasukan pengawal dan semua pintu dijaga ketat sehingga tidak ada jalan keluar Pagi bagi Nirahai dan Milana.
"Pemberontak rendah, bersiaplah untuk mati!"
Lulu membentak dan tubuhnya sudah menerjang ke depan, menyerang Nirahai dengan pukulan-pukulan dahsyat. Karena dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang yang sakti, maka begitu menyerang, Lulu telah mainkan jurus dari Ilmu Silat Sakti Hong-in-bun-hoat dan tenaga pukulannya adalah Ilmu Toat-beng-bian-kun!
"Plak! Plak! Heiiiittt!"
Lulu melancat ke belakang setelah berseru nyaring, penuh keheranan karena Ketua Thian-liong-pang itu menangkis dan menghadapi serangannya dengan ilmu silat dan tenaga pukulan yang sama!
"Aihh, ternyata betul kabar yang tersiar bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah pencuri ilmu yang tak tahu malu!"
Bentak Lulu dengan penuh kemarahan.
"Lulu, betapa bodohnya engkau!"
Tiba-tiba suara di balik kerudung ini berubah halus dan Lulu tersentak kaget.
"Kau.... kau.... siapakah....?"
Pada saat itu, Milana sudah menjatuhkan diri. berlutut menghadap kepada Kaisar sambil menangis dan berkata,
"Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba dan ibu hamba....! Thian-liong-pang sama sekali bukan pemberontak, bahkan sebaliknya. Thian-liong-pang selalu membantu kerajaan! Karena itulah, baru saja kemarin, Thian-liong-pang diserbu dan dihancurkan oleh pasukan pemberontak Koksu pengkhianat, para pembantu Ibu tewas semua dan hamba sendiri pun nyaris tewas.... harap Paduka sudi mengampunkan ibu dan Ibu.... Ibu.... selamanya.... setia kepada Paduka...."
Milana tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Baru sekarang ini dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih kakeknya sendiri! Dia menangis bukan karena takut melihat ancaman terhadap ibunya dan dia, melainkan merasa berduka dan terharu. Lulu juga mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berkerudung itu dengan bingung. Kini wanita berkerudung itupun menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar dan terdengar suaranya lantang,
"Sesungguhnyalah apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu, hamba adalah puteri Paduka yang setia...."
Nirahai merenggut kerudung yang menutupi mukanya dan tampaklah wajah yang cantik agung dan diliputi penderitaan batin itu.
"Suci (Kakak Seperguruan)....!"
Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun tidak pernah diduganya bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah Nirahai!
"Nirahai....!"
Kaisar juga berseru girang, lalu melangkah maju.
"Aihhh.... jadi engkaukah yang selama ini menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan gadis ini.... dia anakmu....?"
Nirahai menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap dah berlutut di depan Kaisar.
"Harap Paduka sudi mengampunkan hamba, Milana adalah anak hamba dan...."
"....dan dia cucuku! Ahhhhh!"
Kaisar menyentuh kepada Milana dengan ujung jari tangannya.
"Nirahai, sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, kuserahkan seluruh pengawal. Seperti dahulu, pimpin mereka membersihkan pemberontak-pemberontak laknat itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong Ji Kun, seret mereka ke pengadilan! Dan.... wanita bernama Lulu ini, siapakah dia? Sumoi-mu?"
"Dia adalah Lulu, Sumoi hamba dan.... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan kerajaan."
Nirahai berkata dan Lulu sudah menjatuhkan diri berlutut. Kaisar mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang.
"Hemm...., semua adalah gara-gara perbuatan Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku bahwa Pulau Es dan Pu1au Neraka merupakan kekuatan-kekuatan berbahaya dan perlu dibasmi, dan aku selalu percaya kepadanya. Apalagi karena aku mengira bahwa engkau berada di Pulau Es.... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah mendengar bujukan Si Palsu itu."
"Baik Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi kerajaan!"
Nirahai berkata dan Lulu hanya menundukkan mukanya karena dia benar-benar menjadi bingung sekali setelah mendapat kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Nirahai. Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila kepada anak Nirahai? Dan anak Nirahai berarti anak.... Han-koko, pikirnya terharu dan terkejut, karena bukankah sucinya itu pernah menjadi isteri Suma Han Si Pendekar Super Sakti?
"Si keparat Bhong Ji Kun yang berdosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan tugas dan kekuasaan kepada kalian berdua untuk membasmi pemberontak. Setelah itu barulah kita bicara. Nah, terimalah pedangku sebagai lambang kekuasaan tertinggi!"
Kaisar meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung Hong, menyerahkan pedang itu kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut. Kemudian, dikawal oleh pengawal-pengawal pribadinya, Kaisar mengundurkan diri dan Nirahai lalu mengajak Lulu dan Milana untuk mengatur pasukan bersama para panglima istana yang kini menganggap Nirahai sebagai kepala mereka. Para panglima yang tua tentu saja masih mengenal Nirahai dan mereka girang sekali mendapatkan pimpinan wanita sakti ini karena yang mere-ka lawan adalah Koksu yang dibantu oleh banyak orang lihai.
Akan tetapi, ketika Nirahai yang dibantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk membikin pembersihan, ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan semua pembantunya, diam-diam telah lolos dari kota raja dan melarikan diri ke utara untuk bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan untuk menyerang kerajaan secara terbuka! Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu mengerahkan pasukan, melakukan pengejaran ke utara, tetap dibantu oleh Lulu. Adapun Milana tidak ikut membantu ibunya karena dara ini bersikeras untuk mencari ayahnya, menyerahkan pedang Hok-mo-kiam dan juga diam-diam dara ini mengkhawatirkan keadaan Bun Beng yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana nasibnya. Berangkatlah pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan utara untuk mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah amat terkenal sebagai seorang pemimpin yang pandai dan gagah perkasa.
Apalagi karena Puteri Nirahai adalah puteri kaisar sendiri! Tubuh Bun Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini maklum bahwa dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia tidak tahu siapa kakek ini, dan di dalam gelap tadi dia tidak dapat memperhatikan wajahnya. Kini, bulan sepotong menimpakan cahaya yang cukup terang, akan tetapi dia tergantung di ujung bambu seperti seekor binatang buruan, seperti seekor kijang atau babi hutan yang tertangkap, kaki dan tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang tubuhnya. Dari tempat ia bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan rambut riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang lucu, seperti menari-nari!
"Heh-heh-heh, tentu akan terjadi perang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul kotor dilanda barisan bala tentara yang berbaris. Ramai! Ramai!"
Kakek cebol itu lalu mengayun langkah pendek-pendek, berlenggang meniru gerakan pasukan berbaris. Bambu panjang yang dipanggulnya, bergerak naik turun dan dipegang seperti tentara memanggul tombak, mulutnya meniru aba-aba komandan pasukan,
"Tu-wa! Tu-wa! Tu-wa!"
Diam-diam Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut terangguk-angguk di ujung bambu, membuat kepalanya makin pening! Celaka, pikirnya, kakek cebol ini agaknya sudah terlalu tua dan pikun sehingga berubah seperti kanak-kanak, atau memang otaknya agak miring! Sukar diduga apa yang akan menimpa dirinya yang terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang sakti, sedangkan dia menderita luka dalam yang amat parah sehingga jangankan mempergunakan tenaga dan kepandaiannya,
Bahkan melepaskan diri dari belenggu kaki tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap pengerahan sin-kang akan mempercepat nyawanya melayang. Maka diapun tidak bergerak dan tidak bersuara, hanya menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu. Memang kalau orang belum tiba saatnya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun Beng. Dia sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi tawanan dan tiada harapan lagi baginya untuk meloloskan diri. Sungguh kebetulan sekali, ketika dia menolong Milana, berhasil membebaskan dara itu dan dia sendiri mengamuk, ada sepasang mata yang menonton semua itu dengan penuh rasa kagum. Sepasang mata itu adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang mengikuti jejak Pendekar Super Sakti.
Kalau saja Bu-tek Siauw-jin tidak menyaksikan semua peristiwa ketika Bun Beng menyelamatkan Milana di atas pohon, agaknya kakek ini tidak mau mencampuri urusan, apalagi menolong Gak Bun Beng yang sama sekali tidak dikenalnya. Bukan hanya sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu, menimbulkan kekaguman dan rasa suka, akan tetapi terutama sekali ketika ia menyaksikan dengan penuh keheranan betapa Gak Bun Beng mampu menghadapi Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang mengeroyoknya. Dia menyaksikan betapa ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan seandainya pemuda itu tidak menghadapi pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, agaknya belum tentu pasukan itu dapat menawannya.
Sebagai seorang sakti, Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin sekali tahu dari mana pemuda itu memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia mengambil keputusan untuk menculik Bun Beng. Bukan semata-mata karena dia tertarik dan kagum kepada Bun Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa tidak sukanya kepada Wan Keng In, murid suhengnya itu! Setelah kini Bun Beng dapat diculiknya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor babi hutan yang tertangkap, dibawa melanjutkan mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Apalagi ketika matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa pemuda yang ditolongnya itu menderita luka pukulan yang amat hebat, dan untuk menyembuhkannya bukan merupakan hal yang mudah. Biarlah kuserahkan dia ke pada Pendekar Super Sakti, pikir kakek itu.
Ketika Bun Beng dan Milana bercakap-cakap tentang cinta mereka di atas pohon, kakek ini mencuri dengar, maka dia tahu bahwa pemuda yang dipanggulnya ini saling mencinta dengan puteri Pendekar Super Sakti. Calon mantu! Tentu pendekar itu akan girang kalau dia beri "hadiah"
Calon mantunya ini! Bu-tek Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik bukit kecil di mana terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya Pendekar Super Sakti berdiri tegak dengan kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkatnya dan wajahnya diangkat memandang ke arah bulan sepotong, diam tak bergerak seperti arca! Rambutnya yang panjang putih itu tertimpa sinar bulan pucat, menjadi makin mengkilat putih seperti perak. Lengan kanannya menyilang depan dada, berpegang pada lengan kiri. Hanya ujung rambutnya yang putih panjang itu saja bergerak sedikit tertiup angin malam.
"Brukkkk!"
Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun Beng terbanting ke atas tanah, akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang terbanting. Ia tetap miring dan dapat melihat kakek cebol itu berjalan menghampiri Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah suara kedatangan kakek itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya sama sekali.
Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat ia kagumi. Akan tetapi betapa kecewa hatinya ketika ia menghampiri pendekar kaki buntung itu, ia melihat Suma Han sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ternyata sedang termenung memandang bulan dengan air muka penuh duka! Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu sambil menaruh kedua tangan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan pendekar itu, menatap wajahnya dan melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya berulang kali menghela napas panjang, kembali ia menggeleng-geleng kepala dan berjalan hilir-mudik lagi. Biarpun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang rebah miring itu memandang dengan bengong.
Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting! Akan tetapi mengapa Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka telah saling mengenal? Tadinya dia merasa tegang, tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main kalau sampai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu bertanding ilmu melawan Pendekar Siluman! Akan tetapi, sungguh sama sekali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu bersikap luar biasa sekali. Pendekar kaki buntung itu tetap berdiri tegak sedangkan kakek cebol itu berjalan hilir-mudik sambil menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu! Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak didengar, akan tetapi kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
Sekali hidup, siapa minta?
segala macam peristiwa menimbulkan suka duka, salah siapa?
Apapun yang terjadi tak mungkin dirobah tiada hubungan dengan suka duka, mengapa susah?
Kakek bulan pun tidak selalu sempurna, mengapa kecewa?
Tuhan tidak mengharuskan, setan tidak memaksa tawa atau tangis!
Yang senang memang bodoh, tapi yang berduka lebih tolol lagi!
Kini tubuh Suma Han bergerak. Terdengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan muka memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya.
"Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang menonton memang berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela, semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi yang merasakannya sendiri barulah dapat menilai akan ringan beratnya."
Kakek itu tertawa.
"Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Eh, Pendekar Siluman, engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat daripada bulan itu. Tentu engkau merasa betapa berat penanggungan derita hatimu setelah kau rasakan. Kalau begitu, mengapa dirasakan?"
"Karena aku ada pikiran."
"Siapa menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?"
"Tidak ada yang menyuruh."
"Nah, kalau begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempunyai pikiran, apakah tepat kalau pikiran itu kita pergunakan untuk memikirkan hal-hal yang menimbulkan duka? Daripada pikiran dipergunakan secara keliru seperti itu, jauh lebih baik dipergunakan untuk memikirkan mengapa kita sampai berduka! Karena sesungguhnya, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri itulah!"
"Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas daripada pengaruh Im dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi isi kepada hidup, tanpa mengenal duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?"
Suma Han menjawab setelah menghela napas panjang.
"Ha-ha-ha, Suma-Taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan, kiranya hanyalah seorang manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang. Sungguh mengherankan sekali, engkau yang membuka hati dan pikiranku di dalam kamar tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku, ternyata engkau sendiri tidak tahu akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nyenyak. Ternyata engkau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan kenangan masa lampau. Sungguh kasihan!"
Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali.
"Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!"
Dan pendekar ini menjatuhkan tubuhnya duduk bersila di atas sebuah batu.
"Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali membuktikan kelemahanmu, engkau tidak mau membuka mata melihat keadaan diriku, tidak mau mengerti melainkan menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan."
Kakek itupun menggerakkan tubuhnya dan "bruuk!"
Dia sudah duduk pula di atas sebongkah batu besar tak jauh di depan Suma Han.
Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring, mendengarkan dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia menyaksikan, bahkan mengharapkan terjadinya perang tanding di antara dua orang yang memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi dia kecewa! Ternyata kedua orang itu mulai bertanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup. Namun, makin didengar, makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu adalah hal-hal mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbukalah mata batin pemuda ini sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
"Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!"
Suma Han menyerang dengan suara mengejek.
"Kau seolah-olah memandang rendah kepada pikiran yang kau katakan selalu menyesatkan. Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?"
"Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku selama ini, kita manusia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan oleh pikiran. Coba buka mata batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini, keadaan pikiran kita. Memang hidup membutuhkan tenaga pikiran untuk mengingat-ingat dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala macam urusan lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup menjadi rusak karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!"
"Trakkk!"
Ujung batu yang diduduki Suma Han cuwil oleh tangan Si Pendekar yang mencengkeramnya.
"Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu? Hati-hatilah engkau bicara, jangan mencoba mengusik hatiku yang sedang tidak senang. Aku tidak ingin kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah bersikap baik kepada keponakanku!"
"Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-Taihiap. Kalau sampai engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukanlah aku yang mengusik hatimu, melainkan pikiranmu sendiri. Pikiran memang menjadi biang keladi segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?"
"Seperti kukatakan tadi, suka maupun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri, karena itu, sebagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa mau saja diperbudak oleh pikiran?"
"Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikurniai pikiran, mengapa tidak akan kupergunakan?"
"Ha-ha-ha, siapa yang mengurniaimu? Dan siapakah itu yang kau sebut aku yang mempunyai pikiran? Pendekar Super Sakti, dengarlah baik-baik segala yang hendak kukemukakan, karena semua kesadaran ini kudapat setelah mendengar petunjukmu di dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong terbuka, tanpa penilaian, tanpa kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi pelajaran kepadamu, bukan bermaksud menguliahi. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai daripada aku. Maukah engkau mendengarkan?"
"Bicaralah, kakek aneh."
"Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun yang lalu atau kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan. Dengan sendirinya pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan pemilihan, menghindarkan hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau sudah begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci dan sengsara?"
"Nanti dulu!"
Suma Han berkata nyaring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima ucapan tadi yang meresap di dalam diri mereka.
"Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran mula-mula mengemudikan dan menguasai kita."
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Tidak akan terjadi akibat sesuatu yang buruk dari kejadian ini. Akan tetapi pikiran masuk dan mengacaunya. Pikiran membayangkan hal-hal yang menyenangkan dari masa lalu menge-nai kembang itu, dan karena pikiran berputar dengan pusatnya Si Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya, dan untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan terus berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul percekcokan dan lain-lain."
"Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin, dan memang agaknya tidak salah lagi bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman masa lalu yang memisah-misahkan kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin didapatkan terus, sedangkan hal yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan oleh pusat yaitu Si Aku, sehingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentangan. Benar sekali! Akan tetapi, apa hubungannya dengan iri?"
"Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat yang menyenangkan dimiliki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri tentulah hanya yang menyenangkan saja."
"Bagaimana dengan dendam dan benci?"
"Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian inipun ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan hal-hal tidak menyenangkan yang dilakukan orang lain kepadanya. Kebenci-an kepada seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang, pikiran berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbulkan dendam kebencian. Semua ini tentu saja melahirkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan."
Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh kesadarannya, namun keadaan dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im dan Yang itu, membuyarkan kembali kekuatan pemersatu yang timbul dari pengertian itu, dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.
"Apa hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?"
"Kedukaan? Hemmmm.... kedukaanmu?"
Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar tahanan itu, belum menyerap benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin lebar-lebar dan menghilangkan segala penghalang yang menutupi dirinya sendiri selama ini. Maka pertanyaan itupun membuatnya ragu-ragu. Akan tetapi kemudian dia menjawab lancar,
"Sebelumnya maafkan kalau kata-kataku kau anggap tidak tepat. Akupun hanya seorang pencari yang baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang sesuatu yang telah lalu. Sebuah pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan keinginan hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbulnya duka, bukan? Dan bagaimana kedukaan timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu. Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah permainan pikiran yang menggali masa lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka. Sebetulnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian, Suma-Taihiap?"
Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah menjadi gelap dan dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya dapat menangkap semua percakapan.
Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih, kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng merasa seolah-olah dia hidup di dunia yang baru. Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran. Suara daun gemerisik ditiup angin, suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang menyambut malam, suara burung kemalaman yang terbang lewat mencicit bingung mencari sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan pula merusak kesunyian melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri.
Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap, rasa pegal di kedua lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu, tidak ada kemarin dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa! Dua orang sakti itu masih terus berdebat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu saja dalam kesempatan ini, Suma Han membongkar semua pengetahuan filsafat yang dimilikinya, untuk melawan ucapan kakek yang selalu mengemukakan fakta apa adanya, bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru, melainkan sebagai hasil pandangan mata batin yang terbuka lebar, tidak lagi di gelapkan atau dibikin suram oleh segala pendapat dan pelajaran hafalan yang telah lalu.
Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri bukan main. Teringatlah dia bahwa dia telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In. Dia berusaha melepaskan ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sin-kang, tentu sekali renggut saja akan putus ikatan kaki tangannya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga nyawanya mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu tidak memungkinkan dia mengerahkan sin-kang. Bun Beng perlahan-lahan menggulingkan tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai menggosok-gosokkan tali pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam.
Karena tidak berani mengerahkan tenaga dalam, Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya mengandalkan tenaga luar. Tekun sekali dia mengerjakan semua ini sehingga hanya kalau dia berhenti mengaso saja dia dapat mendengar percakapan dua orang itu sekarang. Baginya, lebih penting melepaskan ikatan kaki tangannya yang kalau dibiarkan dapat membuat jalan darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang lambat dan makan waktu ini, maka setelah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan kaki dan tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah pada pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua orang sakti itu masih berdebat!
"Memang enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda penderitaan batin seperti yang kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena memang agaknya hidupmu berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku? Terhadap orang seperti engkau tidak perlu aku menyembunyikannya lagi. Kau dengarlah dan coba pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka selama hidupku?"
Pendekar Super Sakti yang sedang tenggelam dalam kedukaan hebat itu lalu membuka semua rahasia hatinya kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, akan tetapi sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar penuturan semua itu, diapun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tidak disangkanya bahwa pendekar besar yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah seorang yang telah dilanda kepahitan hidup yang demikian hebatnya!
"Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena aku hendak mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksanya untuk menikah dengan orang lain! Kemudian aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan kedudukannya sebagai puteri kaisar dan panglima besar untuk menjadi isteriku. Namun, hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku karena kami tidak sepaham mengenai jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana, hatiku terobek oleh dua perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan terhadap isteriku. Aku berusaha mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih terus mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik angkatku yang telah berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang gugur dalam perang karena patah hati, dan ternyata adik angkatku itu pun menderita karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia karena dia menjadi Ketua Pulau Neraka. Adapun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang anak perempuan, anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?"
Sejenak keadaan sunyi, yang terdengar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang sakti itu. Setelah agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan
"Wahh, aku sendiri selamanya tidak berani berurusan dengan wanita, Taihiap. Menurut dongeng, wanita adalah satu-satunya mahluk yang dapat menguasai pria, satu-satunya mahluk yang paling aneh dan sukar dimenger-ti. Katanya, hanya wanita yang sanggup menciptakan surga dunia maupun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria banyak tergantung kepada seorang wanita. Memang sekarang kusadari bahwa segalanya tergantung kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau membayangkan betapa daya tarik seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan menjatuhkan segala pertahanan hati seorang pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti engkau pun roboh dan merana karena wanita, apalagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu! Hukkh, ngeri aku memikirkannya! Apakah.... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?"
"Agaknya demikianlah."
"Dan engkau pun mencinta mereka?"
"Sejak dahulu sampai saat ini."
"Huh, mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa mempertimbangkannya, apalagi memberi nasihat apa yang harus kau lakukan!"
Kembali sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, memikirkan jalan apa yang terbaik menghadapi dua orang wanita yang menghancurkan hidup pendekar kaki satu itu. Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring,
"Seorang isteri harus dalam keadaan apapun juga ikut dengan suaminya! Seorang kekasih harus setia dan ikut ke mana juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki sejati harus tidak lari daripada pertanggungan jawabnya dan tidak mengingkari perasaan hatinya sendiri!"
Dua orang sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang masih duduk bersila di atas tanah.
"Ahhh, engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?"
Bu-tek Siauw-jin bertanya heran dan agaknya baru kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.
"Ah, engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!"
Suma Han berseru kaget. Gak Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu.
"Harap Suma-Taihiap sudi memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan kepada Bu-tek Siauw-jin Locianpwe yang telah menolong saya."
"Engkau.... Gak Bun Beng!"
Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pemuda itu di bawah cuaca yang masih remang-remang.
"Ha-ha-ha-ha, sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe (orang tua gagah) pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?"
Bun Beng tak dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan kakek itu melanjutkan kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.
"Tahukah engkau mengapa aku menolongnya, Pendekar Siluman? Setelah engkau ceritakan padaku bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong pemuda ini karena pemuda ini telah menyelamatkan puterimu. Tadinya aku tidak tahu bahwa dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan sekali."
"Milana? Mengapa dia?"
Suma Han bertanya kepada Bun Beng. Bun Beng lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan dia melihat Milana menjadi tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang memimpin pasukan menghancurkan Thian-liong-pang. Betapa dia telah berhasil pula mengembalikan pedang Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan kepada Pendekar Super Sakti.
"Sukur bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa Hok-mo-kiam. Saya menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Wan Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya, dan Thian Tok Lama. Akhirnya saya roboh dan sebelum tertolong oleh Locianpwe ini, Wan Keng In telah memukul saya dengan pukulan beracun."
"Heh-heh, agaknya dia memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita pukulan ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah setan itu telah memiliki kepandaian tinggi dan tenaganya pun hebat. Nyawamu terancam, Gak Bun Beng,"
Kata Bu-tek Siauw-jin setelah memeriksa sebentar.
"Tidak, dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadap aku sudah terlampau besar sehingga aku rela mengorbankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan Milana, telah mengembalikan Hok-mo-kiam, dan.... dan terutama sekali ucapannya tadi telah membuka mata batinku, telah mendatangkan ketegasan dalam hatiku sehingga lenyaplah segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin, engkau harus membantuku mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan menuntut engkau yang lancang berani mengambil keponakan dan muridku sebagai muridmu,"
Kata Suma Han.
"Wah-wah, ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini. Dan kalau kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon."
Bun Beng terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah duduk bersila di depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun Beng dan berkata.
"Kau kerahkan Im-kang di punggungnya, Pendekar Siluman. Aku tahu cara mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suhengku yang amat keji ini."
Suma Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan mengerahkan Im-kang. Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang amat dingin menyerangnya dari belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan mengeluarkan bau amis menyerangnya dari depan.
Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh dibakar dan separuh direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat dia hampir pingsan. Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa itu seolah-olah menghentikan pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa hangat yang amat nyaman. Rasa nyaman ini mendesak rasa nyeri dari dada dan leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah hitam tiga kali. Baiknya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam yang keluar dari mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di depannya. Ternyata pengobatan yang hanya dilakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik. Kakek itu dan Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk memulihkan tenaga masing-masing.
Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang sudah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka, tanpa berani bergerak menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang memakan waktu kurang lebih dua jam. Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat betapa Bun Beng masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum sekali. Tidak disangkanya bahwa putera Si Datuk Sesat Gak Liat ini telah menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji, seorang pemuda yang tampan, gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang. Dia teringat akan Kwi Hong dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu dengan pemuda ini. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang bisik-bisik antara puterinya, Milana, dengan Bun Beng, maka hatinya menjadi bimbang.
"Bangkitlah, Bun Beng. Engkau telah sembuh,"
Katanya perlahan. Bun Beng memberi hormat kepada mereka.
"Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi nyawa baru kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat besar itu."
"Ha-ha-ha-ha, untuk membalas, engkau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua sekarang juga. Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta kembali nyawa yang kau bilang kami berikan kepadamu tadi."
Ucapan ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng menerima dengan sungguh-sungguh.
"Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi syaratnya."
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Mereka berdua semalam suntuk telah berdebat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan masing-masing.
Suma Han telah mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berdasarkan Im dan Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu, tidak seperti Suma Han yang mempergunakan kedua-duanya. Kini, mereka telah merasakan sendiri betapa tenaga sin-kang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng, ternyata dapat digabungkan menjadi satu! Biarpun tidak saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata, keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat yang luar biasa, memiliki tenaga sin-kang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup menerima gabungan ilmu mereka!
"Bun Beng, kami berdua telah bersepakat untuk menurunkan inti tenaga kami kepadamu. Tentu saja gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan dengan berhasil baik dalam sebuah gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba kau mainkan ilmu silat tertinggi yang kau miliki."
Bun Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai.
Baginya, ilmu silat tertinggi yang pernah dipelajari-nya adalah ilmu silat yang dia "curi"
Dari tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu itu adalah ilmu yang dicurinya dari Ketua Thian-liong-pang yang ternyata adalah isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau sampai diketahui oleh pendekar ini, apakah tidak berbahaya baginya? Tentu dia dianggap pencuri! Akan tetapi kalau tidak dimainkannya, berarti dia menyembunyikan sesuatu dan membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia mengambil keputusan nekat. Dia tidak sengaja mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-sut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang ia temukan di dalam guha bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempelajarinya tanpa sengaja mencuri!
"Ilmu itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang,"
Jawabnya lirih.
"Kau boleh memakai tongkatku ini!"
Kata Suma Han. Bun Beng menerima tongkat itu dengan jari-jari tangan gemetar. Betapa tidak akan terharu, bangga, dan gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar Super Sakti! Setelah menerima tongkat butut itu, dengan penuh keharuan dia mencium tongkat itu, kemudian memberi hormat kepada kedua orang itu dan mulailah dia meloncat bangun dan mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut. Gerakannya gesit dan ringan bukan main sehingga bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar yang dibentuk oleh tongkat itu.
Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan betapa sin-kang dari pemuda itu sudah amat kuat. Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin memandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling pandang dan kadang-kadang menarik napas panjang dan menggelengkan kepala saking kagumnya. Bun Beng bersilat sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan. Ketika selesai, dia meloncat turun dari jurus terakhir yang dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, sebatang tongkat yang ternyata cocok Sekali dipergunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat kembali kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah sekali karena pengerahan tenaga yang cukup melelahkan.
Pendekar Super Sakti Eps 43 Pendekar Super Sakti Eps 26 Kisah Pendekar Bongkok Eps 14