Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 43


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 43



"Eh, kau mau membantu siapa?"

   "Membantu Puteri Nirahai dan puterinya."

   "Mengapa? Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?"

   "Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, kita sudah melihat bahwa pemberontak dipimpin oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah yang menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena itu maka merekalah yang akan saya tentang."

   Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk.

   "Hemm, boleh kita menonton, akan tetapi kalau tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang hanya merupakan penyembelihan antara manusia?"

   Bun Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju ke tempat di mana terjadi perang yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat mengejutkan, Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan tetapi ketika pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan muncullah seekor gajah yang amat besar. Binatang raksasa inilah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada paling depan segera berhadapan dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam yang menunggang gajah itu. Pendeta Maharya sendiri mengeluarkan aba-aba dan gajah itu mengamuk!

   Dengan belalainya yang besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang perajurit musuh, membantingnya remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan, membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng. Maharya yang berada di atas gajah itu masih menggerakkan senjatanya tombak bulan sabit, tampak sinar berkelebat dan empat orang perajurit pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca di tempat itu menjadi gelap, debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah pasukan Nepal yang dipimpin oleh Maharya, menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan! Pasukan pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung, apalagi ketika dua orang perwira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh amukan gajah dan melihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka makin panik.

   "Pasukan siluman....!"

   Terdengar teriakan.

   "Pasukan siluman.... laporkan ke induk pasukan!"

   Kiranya, pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang dinanti-nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya, Maharya segera menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan Maharya sendiri yang memimpin pasukan istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh pasukan istimewa ini yang menggunakan debu dan asap hitam untuk mengacau musuh. Jumlah mereka sebetulnya hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu terlatih dan mempunyai cara-cara berperang yang aneh, mereka mampu mendatangkan kekacauan dan banyak di antara pasukan pemerintah yang roboh menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah, seekor di antaranya yang ditunggangi Maharya sendiri.

   "Locianpwe, kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!"

   Bun Beng berkata, kemarahannya timbul menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas membunuh pasukan pemerintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.

   "Ha-ha-ha! Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini, siapa lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?"

   Bu-tek Siauw-jin tertawa sambil menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.

   "Maharya, sejak dahulu engkau mendatangkan keributan saja!"

   Bun Beng membentak lalu meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan ke arah kepala. Melihat munculnya pemuda ini, Maharya memandang rendah. Biarpun pemuda itu dia tahu cukup lihai seperti yang diperlihatkan-nya ketika pemuda itu membela Pulau Es ketika pulau itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun, baginya, pemuda itu tidak ada artinya. Yang membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya Bu-tek Siauw-jin tadi. Kakek pendek itulah yang perlu diperhatikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan dapat menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia dibantu oleh gajah-gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apalagi Koksu, Thian Tok Lama, dan banyak tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini harus dibunuh lebih dulu.

   "Mampuslah!"

   Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya bergerak, gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi, menusuk ke arah pusar pemuda itu. Melihat gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak membiarkan dirinya disate gagang tombak.

   "Haaiiittt....! Plak! Wiiirrr....!"

   Tangan Bun Beng menangkis gagang tombak itu dengan meminjam tenaga tusukan gagang tombak ini, dia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan membuat salto jungkir-balik, kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia menyerang ke arah ubun-ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia menusuk ke arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.

   "Aahhhh!"

   Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan telinga gajah. Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya. Gerakan ini tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke belakang dan otomatis terbebas dari serangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu.

   Dengan geram Maharya menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh pemuda itu! Bun Beng tidak merasa kaget menghadapi kegagalannya dan melihat serangan berbahaya ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini, maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak di bawah bulan sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya menyentuh gagang tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran, kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangannya! Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia elakkan di tengah udara.

   "Plakkk!"

   Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat, tubuhnya bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata kecilnya betapa manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas tanah di depannya, gajah itu lalu menghempaskan kedua kakinya hendak menginjak tubuh itu sampai lumat. Namun, dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah menyerang Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari tangan kanannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan ke arah lambung Maharya. Kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangan!

   "Uuuh....!"

   Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke kanan untuk menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukulan dahsyat, dan pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh pemuda itu yang melayang cepat. Biarpun dia merasa kaget sekali karena tombaknya menyeleweng terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia sudah dapat menggunakan lengannya menangkis dattangnya tamparan tangan Bun Beng ke arah lambungnya itu

   "Dess....! Aihhh....!"

   Maharya kini terpaksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh dan tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya! Dia tidak terbanting dan masih dapat menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan penasaran. Pemuda itu dapat memaksakannya turun dari punggung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan wajah tenang dan topi caping lebar masih di atas kepalanya!

   "Hemm, orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?"

   "Tidak salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa terhormat sekali bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!"

   Bun Beng menjawab tanpa berani menentang pandang mata pendeta itu. Biarpun dia telah memiliki kekuatan sin-kang yang mujijat, namun dia maklum betapa hebat pengaruh pandang mata kakek ahli sihir ini, yang dalam ilmu itu bahkan berani menentang dan mengadu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Kalau sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya yang mujijat, dia bisa celaka!

   "Gak Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan dirimu? Mengapa?"

   Suara pendeta itu terdengar halus menimbulkan rasa malu dan iba. Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya dengan tenaga dalam, dan dia menjawab, suaranya lantang,

   "Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuanggap musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila, Tan-siucai, mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu menghancurkan Pulau Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut ditentang."

   "Hok-mo-kiam....? Hemm, karena pedang itu, muridku telah tewas, dan pedang itu lenyap. Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang muda."

   "Bukan soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu dengan Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak segan-segan untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang, akan tetapi diam-diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kaukira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar dahulu itu?"

   Maharya memandang tajam.

   "Eh? Kau tahu? Kalau begitu.... kau tahu pula tentang kematian Tan Ki dan Thai Li Lama....?"

   "Tentu saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah kukembalikan kepada yang berhak."

   Merah muka Maharya dan tombak bulan sabit di tangannya menggetar.

   "Jadi.... engkaukah orangnya yang membunuh muridku?"

   "Dia mencari kematiannya sendiri...."

   Bun Beng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah meluncur ketika Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan dan penuh nafsu membunuh. Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan merampas Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya sekali.

   "Robohlah! Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!"

   Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat herpengaruh, namun Bun Beng sama tidak mempedulikannya, juga tidak pernah menentang pandang mata kakek itu. Dia hanya mengelak dengan cepatnya karena tombak bulan sabit itu bergerak seperti kilat menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan lawan yang tangguh itu.

   Sementara itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman bangsa Nepal, menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah. Pasukan pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika tiba-tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana datangnya sehingga banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban anak panah lawan. Melihat ini, Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendorong ke depan berkali-kali dan dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah-anak panah yang menyambutnya dan yang mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan, dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini menyambar angin yang membuat debu dan asap itu membuyar dan tertiup membalik ke arah para pasukan Nepal sendiri!

   Mulailah pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para perajurit pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang campuh yang amat dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu perajurit pemerintah. Bu-tek Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan perajurit-perajurit Nepal yang baginya terlalu lemah itu, dan dia bergembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh perwira-perwira Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh binatang itu, namun terlampau berat, mendorongnya pun amat berat dan agaknya merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan dengan kepala dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.

   "Desss!"

   Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah dan.... binatang raksasa itu terjengkang dan roboh!

   Dua orang perajurit Nepal yang tidak menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan itu, terhimpit perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu, seorang perwira Nepal yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting pingsan! Amukan kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan istimewa Nepal itu, apalagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu telah roboh oleh Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar. Tadinya anak buah pasukan itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi kakek India itu sendiri sedang bertanding hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal yang melemahkan semangat pasukan Nepal ini sebaliknya mendatangkan semangat baru kepada para perajurit pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.

   Pertandingan antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian. Kakek India itu benar-benar amat lihai dan andaikata Bun Beng belum menerima ilmu terkhir dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya dia pun tidak akan mudah untuk dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tentu saja Bun Beng memiliki dasar yang lebih murni dan lebih tinggi tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak kalah kuat. Kekalahannya dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh keunggulannya karena ilmu silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi tingkatnya. Akan tetapi, yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan adalah tenaga mujijat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya.

   Bun Beng harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pandang mata dengan lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa betapa ada hawa tenaga mujijat menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh yang membuat bulu tengkuknya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang disiksa, suara tertawa wanita yang tidak lumrah manusia. Seolah-olah tempat itu, atau di kanan-kiri dan belakang lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan terasa pula sambaran angin pukulannya! Bun Beng melawan dengan mati-matian. Dia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting itu, biarpun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak pernah melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu,

   Atau hanya sebentar saja kadang-kadang dia mengalihkan perhatian. Dia selalu menjaga dan siap untuk melindungi pemuda yang disukanya itu. Diam-diam kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak terjang Maharya dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan mati-matian ini, memang hebat sekali pendeta itu dan dia sendiri pun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya. Namun pemuda yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu, dengan tangan kosong mampu menandingi Maharya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih, sedangkan Maharya yang tadinya menunggang gajah bersenjatakan tombak bulan sabit, kini sudah kehilangan gajahnya dan agaknya tombaknya itu pun sudah tidak banyak artinya dalam pertempuran hebat itu.

   Kini Maharya telah melolos kalung tasbehnya yang terbuat dari mutiara-mutiara putih yang besar-besar, memegang tombak bulan sabit di tangan kanan tasbeh di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang ganas dan dahsyat dari dua senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya, akan tetapi dia pun sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk membantunya menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi. Di bagian lain, di balik puncak Pegunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan seru lagi karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!

   Dalam perang dahsyat ini, Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi Hong tentu saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang dianggap musuhnya dan musuh pamannya. Apalagi ketika dia mendapat keterangan dari Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak Koksu. Memang sudah dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai
(Lanjut ke Jilid 41)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 41
petugas, tentu saja dia tidak dapat terlalu menyalahkan Koksu, dan Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh pamannya. Kini Kaisar mengirim pasukan, apalagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang dan Pulau Neraka yang sejak dahulu memang bukan sahabat Pulau Es,

   Bahkan ketika dia masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran, Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya. Para perajurit pemerintah yang berhadapan dengan amukan dara perkasa ini menjadi ngeri karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat putus berikut tubuh pemegangnya! Betapapun juga, karena jumlah pasukan jauh kalah banyak, pasukan pemberontak terdesak hebat. Kwi Hong sendiri, biarpun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para perajurit musuh gentar,

   Terpaksa harus menggunakan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi tubuhnya karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang bagaikan hujan menyerangnya. Koksu merasa girang sekali melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar membantunya. Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan terhadap Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran ini, tidak mungkin dia akan mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada pangeran ini, dan berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup. Dia pun mengerahkan seluruh pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan mati-matian.

   Dia mengharapkan agar paman gurunya Maharya, yang memimpin pasukan bantuan musuh, dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang membantunya. Namun, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar pelaporan anak buahnya bahwa pasukan siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari pihak musuh! Sama sekali Koksu tidak menyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan itu adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir sekali, apalagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin yang sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar kepada Kwi Hong. Betapa pun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh terlampau kuat dan jauh lebih besar jumlahnya.

   Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di dalam pondoknya, mendekam di atas pembaringannya dengan muka pucat dan dikelilingi para pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai perisai terakhir. Pasukan pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncullah Nirahai dan Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga oleh Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan Koksu. Memang Nirahai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah mendesak dan hampir menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak, yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan kaki tangannya.

   "Yauw Ki Ong, pemberontak laknat!"

   Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa orang anggauta pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu.

   "Menyerahlah untuk kuseret ke depan kaki Kaisar!"

   Yauw Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah keturunan Kaisar, berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian Nirahai, maka mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan para pembantunya, terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga di situ dan kini mereka meloncat keluar menghadapi Nirahai dan Lulu.

   "Bhong Ji Kun, manusia rendah! Seekor anjing sekalipun akan ingat akan budi orang. Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan India engkau telah diangkat menjadi Koksu negara. Akan tetapi engkau tidak berterima kasih malah menjadi pemberontak hina! Manusia macam engkau ini tidak ada harganya untuk hidup!"

   Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah menggunakan pedangnya menerjang Bhong-koksu. Kakek botak tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di tangan Nirahai yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-kiam, pedang yang dahulunya terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya, kemudian pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas bersama Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang mencuri atau merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan bekas Ketua Thian-liong-pang ini!

   "Tar-tar.... singgg....!"

   Pecut kuda berbulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar, golok perang di tangan kanan Koksu itu menyambar ganas.

   "Cringgg.... trakkk!"

   Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan Hok-mo-kiam, akan tetapi Nirahai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang karena ujung cambuk merah sudah mengancam lengannya yang memegang pedang. Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba dan menerjang ke depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya.

   Juga Thian Tok Lama dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu. Tidak seperti Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat hebat dan menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat yang amat halus dan tinggi tingkatnya, serta menggunakan tenaga mujijat Toat-beng-bian-kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun dari Pulau Neraka. Dua orang pembantu Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan berani menyambut pukulan tangan yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka, mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka roboh terjengkang dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian!

   Repot juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pandai itu sehingga mereka tdak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada pasukan pengawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki pondok untuk membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong! Akan tetapi Nirahai yang berpemandangan tajam, dapat menduga akan keadaan ini. Melihat Koksu dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah mereka, dia segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke atas wuwungan.

   "Yauw Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?"

   Bentaknya sambil melayang turun membobol genteng. Tiba-tiba dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terkejut, maklum bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba menyambutnya ketika tubuhnya baru saja turun dari atas.

   "Tranggg....!"

   Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti berhasil merusak senjata lawan, kini tergetar hebat!

   Juga Nirahai kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang pedang yang amat kuat sehingga tidak patah, apalagi ketika dia melihat seorang gadis cantik dan gagah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat! Kedua orang wanita itu, yang satu dara remaja yang lain wanita setengah tua, keduanya sama cantik dan sama keras hati, saling berhadapan dan saling pandang, pedang pusaka yang ampuh menggila di tangan masing-masing! Kini Nirahai tidak lagi mengenakan kerudung muka sehingga Kwi Hong dapat memandang wajahnya yang cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang dahulu bertemu dengan pamannya,

   Wanita cantik yang kabarnya puteri kerajaan dan menjadi isteri pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri pamannya! Akan tetapi, Nirahai tidak lagi mengenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan Suma Han, keadaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan orang lain sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini. Karena dara cantik yang memegang sebatang pedang pusaka ampuh mengerikan itu berada di situ dan telah menyerangnya, sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah lari dari dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang di antara kaki tangan Koksu yang tangguh, maka dia segera menyerangnya.

   "Trang-trang-cringggg....!"

   Kembali dua orang wanita itu terhuyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah sedangkan Kwi Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapapun juga, dara itu masih belum mampu menandingi tenaga sin-kang yang dimiliki Nirahai, sungguhpun dia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga api yang muncrat ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam bertemu dengan Li-mo-kiam menyilaukan mata. Kedatangan Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini, agaknya Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong.

   Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak buah Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih banyak jumlahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, perang itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya. Ketika dia menengok dan tidak melihat Koksu dan para pembantunya, yaitu Thian Tok Lama dan para jagoan yang berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Ke manakah mereka pergi? Dia harus mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum terlambat. Dengan pikiran ini, Kwi Hong membuka jalan darah dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw dan sekutunya. Kedatangannya tepat sekali. Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan diri.

   "Ahhh, keadaan musuh terlampau banyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri, Lihiap,"

   Kata Koksu begitu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam yang berlepotan darah.

   "Sebaiknya begitu,"

   Jawab Kwi Hong singkat.

   "Akan tetapi, ke manakah kita akan lari? Apakah Nona mempunyai usul yang baik?"

   Koksu memancing, padahal di dalam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke.... Pulau Es, pulau yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan aman dari kejaran pemerintah. Tempat itu merupakan tempat yang sukar didatangi, dan hanya mereka yang tahu jalan saja yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja. Kalau nona ini mau tentu akan dapat membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa tempat itu sudah kosong, dan kalau rombongannya dapat sampai ke tempat itu lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh sebuah tempat pertahanan yang kuat!

   "Kalian larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau Es,"

   Jawab Kwi Hong. Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Akan tetapi dia cerdik dan cepat dia menjawab,

   "Akan tetapi.... apakah To-cu pulau itu sudi menerima kami? Dan penghuninya....?"

   "Pulau itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Pula, kalau paman tahu bahwa kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Paman sendiri pun seorang pelarian. Cepat pergilah....!"

   Pada saat itu Nirahai datang, meloncat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya sendiri, ibu dari Milana! Tentu saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau bermusuhan dengan isteri pamannya ini.

   Akan tetapi karena dia diserang terus dan karena dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran Yauw, terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa mengeluarkan kata-kata. Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini melegakan hatinya karena kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah keponakan Pendekar Super Sakti, tentu akan menjadi marah sekali sedangkan dia sendiri pun tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap wanita ini. Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah, dan mungkin puteri ini yang memimpin pasukan pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita cantik ini patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan melawannya?

   Betapa pun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin dan dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan dengan Nirahai, dia menjadi repot juga. Apalagi Nirahai menggunakan sebatang pedang pusaka yang amat hebat pula. Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang sanggup menandingi Sepasang Pedang Iblis yang ganas. Andaikata Nirahai tidak memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita perkasa ini masih akan repot sekali harus menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-kiam. Uutung bagi Kwi Hong bahwa dia tidak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-tubi dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim bala bantuan berupa dua puluh orang lebih pengawal pribadi pangeran yang sudah menyerbu dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai.

   Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Hong untuk mencelat ke luar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai yang di-kepung dan dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan rombongan Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui pegu-nungan dan jurang-jurang. Sementara itu, pertandingan antara Gak Bun Beng melawan Maharya yang berlangsung amat hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari pinggir sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang menganggur karena pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang pulih kembali semangat mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu lagi kakek ini membantu sehingga kini dia dapat menonton dengan enaknya, menonton pertandingan antara Maharya dan Gak Bun Beng.

   "Ha-ha-ha, Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-ha!"

   Bu-tek Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya untuk membanggakan dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya menurunkan inti tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan sin-kangnya dengan sin-kang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan "muridnya"

   Saja Maharya tidak mampu menang, apalagi melawan dia yang menjadi gurunya?

   "Siauw-jin, asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku...."

   "Heh-heh-heh, siapa sudi mengeroyokmu?"

   Bu-tek Siauw-jin mengejek. Inilah yang dikehendaki Maharya. Betapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting itu sudah merupakan janji.

   Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi dengan hanya bertangan kosong dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia tidak akan mampu mengalahkannya? Untuk mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini sudah diketahuinya sejak tadi, karena pemuda itu sama sekali tidak pernah mau beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki sin-kang yang amat kuat. Apalagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ, tentu saja dia tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya. Sebetulnya tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti sinting ini, kalah menang bukanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan sudi turun tangan membantu Bun Beng biarpun pemuda itu andaikata terancam bahaya maut kalau pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan pertempuran yang adil dan pantas.

   Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu terjebak ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Kalau pemuda itu dikeroyok, tentu saja dia akan membelanya, juga kalau Maharya mengguna-kan ilmu sihir, tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan dan pengaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi dalam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa diminta pun dia tidak akan mencampurinya. Bu-tek Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah siapa yang menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia merasa tegang karena pertandingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan seimbang.

   "Heeaaahhh!"

   Tiba-tiba Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena merasa penasaran, menubruk maju, tombak bulan sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang memegang tasbih sudah siap pula mengirim serangan susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya hendak mempercepat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan seluruh ke-pandaiannya untuk menyerang.

   "Haiitt!"

   Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran tombak bulan sabit, akan tetapi bukan semata-mata hendak mengelak saja karena sambil berjungkir-balik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat luar biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang tajam itu.

   Maharya terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalaman dalam pertandingan melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimanapun juga, bahkan yang kelihatannya mengerikan, dapat dia manfaatkan sebaiknya demi keuntungannya. Karena itu, dia sengaja tidak mau menarik tombaknya untuk merampas kembali senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan menggunakan kesempatan selagi tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar dada! Bun Beng sudah siap karena memang dia pun sudah menduga bahwa lawannya tidak akan berhenti di situ saja. Maka dia pun menggerakkan capingnya untuk menangkis.

   "Trakkkk!"

   Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba lagi di atas tanah. Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan tombaknya dan berbalik merampas topi capingnya.

   Karena gerakan Maharya ini tidak disangka sama sekali, dan ketika memegang tombak lawan dia mengerahkan tenaga, tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan melibat lehernya! Bun Beng mengerahkan tenaga. Lehernya tercekik dan terdengar suara lawannya tertawa. Bun Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar lawan. Maharya yang memegang caping rampasan, menangkis sodokan gagang tombak itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena tiba-tiba tombaknya ditarik kembali dan kini bagian yang tajam berbentuk bulan sabit itu membabat ke atas, ke arah tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.

   "Cringgg.... rrrttt!"

   Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih yang membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu jatuh berserakan.

   "Wuuuttt.... brakkkk!"

   Pada saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum bahwa dia tidak dapat menyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat datangnya caping dengan kecepatan kilat. Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia menekuk kedua lututnya, memberi kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan tombak yang diangkat melintang dan menerima hantaman caping itu. Hebat bukan main pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak patah-patah, pundak Bun Beng masih terpukul pecahan caping demikian kerasnya sehingga tubuhnya terguling ke atas tanah.

   "Mampuslah!"

   Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng, akan tetapi pemuda itu dengan sigapnya berhasil menggulingkan tubuhnya sehingga enam tujuh kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu dapat dihindarkannya. Karena serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan untuk membalas atau meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling, tangannya menyambar tanah dan sambil berguling dia melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biarpun melontarkannya sambil bergulingan, na-mun tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi Maharya. Melihat datangnya sinar hitam ini, terpaksa Maharya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk meloncat bangun.

   Pundaknya terasa nyeri, akan tetapi dia sudah siap sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan ke depan. Maharya sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia sudah terkepung sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga Bu-tek Siauw-jin, hanya menonton. Namun kakek ini maklum bahwa dia telah terkepung dan sukar untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalahkan pemuda ini dan mengalahkan Bu-tek Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun dalam keadaan terluka pundaknya, dia sudah mengirirn serangannya yang paling dahsyat dengan memukulkan kedua telapak tangannya yang penuh dengan tenaga sin-kang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu hitamnya.

   "Bresss!"

   Bukan main hebatnya pertemuan tenaga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng terjengkang dan bergulingan! Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah, maka dia berlaku nekat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia menubruk tubuh Bun Beng yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa, mengajak lawan mati bersama. Akan tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya dari kakek Bu-tek Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk, dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari bawah, dengan telapak tangan kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.

   "Desss....!"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Terdengar pekik mengerikan ketika tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas, terbanting ke atas tanah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah darah segar, kemudian mengejang dan tewas. Bun Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biarpun lukanya tidak hebat, namun pukulan dengan caping yang pecah mengenai pundaknya tadi menggetarkan isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan sin-kang. Bu-tek Siauw-jin menoleh kepada para perajurit pemerintah yang menonton, lalu membentak ke arah mereka.

   "Hayo pergi kalian! Mau apa menonton? Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami terpaksa ikut berperang. Sialan!"

   Para perajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini dan pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua orang itu tadi bertempur membantu mereka, maka mereka tidak berani membantah dan segera meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih mengejar-ngejar pasukan pemberontak. Pasukan pemberontak telah dihancurkan, sebagian kecil yang merupakan pasukan khusus, pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melarikan diri dan mengawal rombongan pangeran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang telah kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang tergesa-gesa itu.

   Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda. Nirahai dan Lulu merasa penasaran sekali. Biarpun pasukan-pasukan pemberontak dapat dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, namun biang keladi pemberontak dapat melarikan diri. Ketika mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti yang membantu pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai segera menduga bahwa mereka itu tentulah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia mengajak Lulu untuk mendatangi tempat itu. Ternyata benar dugaannya. Gak Bun Beng masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat Nirahai.

   "Wah-wah, setelah kerudungnya dibuka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa cantiknya!"

   Kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara dengan bekas Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi panglima besar.

   "Bu-tek Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal yang membantu pemberontak dapat dihancurkan,"

   Kata Nirahai, suaranya tenang saja. Dia bukanlah seo-rang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek sinting ini, apalagi dia sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak lumrah manusia.

   "Ha-ha-ha, engkau sendiri pernah menolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!"

   Agak merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting ini pernah berdiri bertelanjang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu! Dia melirik ke arah Bun Beng dan bertanya,

   "Apakah dia terluka?"

   Sebelum Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan memberi hormat.

   "Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Sukur bahwa Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh...."

   "Aihh, dialah orangnya yang dahulu membantu Koksu di kapal ketika menyerang Pulau Es!"

   Ucapan ini keluar dari mulut Lulu ketika dia memandang mayat Maharya Mendengar ini, Bu-tek Siauw-jin tertawa,

   "Ha-ha-ha, dia pula yang membasmi Pulau Neraka akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan pulaunya!"

   Lulu mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepasang matanya yang lebar dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu.

   "Siapa engkau?"

   Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya,

   "Muridku inilah yang telah berhasil membunuhnya, maka engkau harus berterima kasih kepadanya!"

   Lulu melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut.

   "Bukankah engkau pemuda yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerintah?"

   Bun Beng memberi hormat dan memandang penuh heran, kaget dan kagum.

   "Dan kalau saya tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang dahulu melepas bahan-bahan ledak, kemudian mengacau di kapal Koksu."

   "Hemmm, agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana engkau hadir dan bercampur tangan!"

   Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan main bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian lihai!

   "Sungguh aku heran sekali mengapa semua orang muda kau akui sebagai muridmu, Bu-tek Siauw-jin?"

   Nirahai bertanya karena sudah mendengar dari puterinya bahwa Kwi Hong juga diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin. Sebelum kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadapan dengan kakek cebol itu.

   "Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?"

   Ketika Nirahai untuk pertama kalinya menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhatikan karena perhatiannya lebih tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar nama itu dan kemarahannya bangkit.

   "Dan mana yang satu lagi? Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?"

   Bu-tek Siauw-jin tertawa.

   "Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami? Tentu puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!"

   "Tua bangka sialan!"

   Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya menjadi marah mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini.

   "Kau kira aku takut kepadamu? Biarpun engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau Neraka, aku tidak takut!"

   "Lulu, kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!"

   Nirahai memperingatkan Lulu, akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja Lulu dibikin sabar. Dia sudah menerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat mengelak, akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil tertawa kakek itu menjauhkan diri bergulingan lalu meloncat bangun.

   "Eit-eit, sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah pewaris kitab-kitab Pendekar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati, apakah aku akan melarang suheng menghancurkan engkau? To-cu (Majikan Pulau) yang memiliki warisan senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan), mengapa tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?"

   Lulu terbelalak.

   "Kau.... kau.... tahu akan itu semua?"

   "Heh-heh, sehari setelah To-cu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang To-cu bawa, karenanya aku bersikeras melarang suheng turun tangan karena To-cu adalah ahli waris Suling Emas."

   "Lulu!"

   Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang dengan penuh selidik.

   "Jadi engkau yang mengambil benda-benda pusaka itu? Jadi engkau yang membunuh Kakek Gu Toan....?"

   Lulu membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang dialaminya.

   Di bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mulai dengan perantauannya bersama anaknya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga Suling Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh Kakek Gu Toan dia disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga Suling Emas. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau mempergunakannya karena ingin menyembunyikan diri di Pulau Neraka sampai niatnya berhasil, yaitu bertemu dengan orang yang dicintainya, menjadi isteri orang itu atau menjadi musuh besarnya. Kiranya keadaan menghendaki lain dan semua niat dan cita-citanya hancur berantakan, puteranya menyeleweng menyakitkan hatinya, Pulau Neraka hancur dan Suma Han.... menambah sakit hatinya!

   "Tidak! Aku tidak membunuhnya. Dahulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti orang India menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang kurus itu. Bukan lain adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu apakah Kakek Gu Toan mati atau hidup dalam pertandingan itu karena dia minta kepadaku untuk mengambil benda-benda pusaka dan melarikan-nya."

   "Di mana benda-benda itu sekarang?"

   Tanya Nirahai.

   "Ada kusimpan sebelum Pulau Neraka dihancurkan. Mengapa, Suci?"

   Tanya Lulu, suaranya penuh tantangan. Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan sin-kang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara melengking seperti itu.

   "Ha-ha-ha! Dia baru datang!"

   Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu. Nirahai dan Lulu saling pandang, agaknya baru menduga setengahnya, dan baru mereka terkejut ketika lengking itu disusul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat jelas.

   "Nirahai....! Lulu....! Kalian memang patut dihajar!"

   Wajah Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar ke kanan-kiri mencari-cari. Tentu saja kedua orang wanita ini mengenal suara itu, suara yang mereka takkan lupakan selama hidup mereka, suara yang selalu terdengar oleh telinga mereka di waktu mereka melamun atau di waktu mereka bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang dan seolah-olah dalam pandang mata mereka itu terjadilah sebuah permufakatan tanpa direncanakan atau dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan. Bun Beng memandang dengan hati penuh ketegangan, apalagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita cantik itu. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti marah-marah,

   Dan mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang dikagumi itu dengan jarum-jarum di tangan kiri! Bagaikan seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas, gerakannya cepat bukan main karena dia telah mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan aneh itu bersinar-sinar, kedua pipinya kemerahan dan wajahnya berseri, dagunya mengeras membayangkan kemauan keras yang tidak dapat dibantah, pendekar itu kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.

   "Singg.... wir-wir-wir.... siuuuttt....!"

   Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari kedua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang selain mengandung racun mematikan, juga dilempar dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga jarum-jarum kecil itu cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali tidak mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, bibirnya tersenyum dan sinar matanya amat tajam.

   "Cep-cep-cep, wir-wir-wirrr!"

   Jarum-jarum yang saking cepatnya telah menjadi sinar-sinar merah dan hitam itu seolah-olah menembus tubuh Suma Han. Padahal, tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh kulitnya, karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju di sekeliling tubuhnya, menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han. Kiranya, biarpun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan senjata rahasia mereka dengan terarah, sama sekali tidak ada yang ditujukan kepada tubuh orang yang mereka cinta, melainkan membidik ke sekeliling tubuhnya.

   "Ihhhh....!"

   Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak.

   "Ohhhh....!"

   Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi mulutnya.

   Kedua orang wanita itu kaget setengah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka, rahasia bahwa mereka itu biarpun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi, namun di balik sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehingga mereka tidak mau menyerang sungguh-sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan karena inilah mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan betapa Suma Han sama sekali tidak mengelak atau menangkis! Mereka maklum bahwa biarpun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekalipun, tak mungkin mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka mengharapakan pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mereka dengan kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak sehingga andaikata mereka tadi menyerang sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han telah terkena jarum beracun!

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 8 Kisah Pendekar Bongkok Eps 4 Pendekar Super Sakti Eps 31

Cari Blog Ini