Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Iblis 44


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 44



"Kau.... kau mau apa....?"

   Lulu bertanya, gagap.

   "Pendekar kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?"

   Nirahai juga menegur, suaranya ketika menyebut "Pendekar Kaki Buntung"

   Menyakitkan hati sekali. Akan tetapi Suma Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka lalu terdengar suaranya menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.

   "Apa yang kalian lakukan ini? Mengapa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri dengan urusan negara? Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu dihajar!"

   Nirahai dan Lulu terbelalak memandang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu bersikap le-mah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan tetapi, di samping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han membangkit-kan kemarahan besar.

   "Peduli amat engkau dengan apa yang kami lakukan?"

   Nirahai balas membentak.

   "Engkau mau apa kalau kami mencampuri urusan negara?"

   "Tentu saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seorang isteri menjadi tanggung jawab suaminya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi tanggung jawabku! Aku melarang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian dengan urusan pemerintah!"

   "Suma Han, enak saja kau bicara!"

   Lulu membentak marah dan bertolak pinggang.

   "Nirahai-suci boleh jadi isterimu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!"

   Suma Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua sendi tulang di tubuh wanita ini.

   "Lulu, berani engkau bicara seperti itu kepadaku? Engkau adik angkatku...."

   "Aku tidak sudi menjadi adikmu!"

   "Aku tahu, biarlah kurubah sebutan, itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga yang kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus menurut kata-kataku!"

   Lulu membanting-banting kaki kanannya, kebiasaan yang belum juga dapat dihilangkannya semenjak dia masih seorang dara remaja!

   "Tidak tahu malu! Tak tahu malu....!"

   "Suma Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk membadut? Ataukah engkau sekarang sudah gila?"

   "Ha-ha-ha! Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu....! Lucu....! Belum pernah aku melihat yang selucu ini! Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!"

   Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa sambil memegangi perutnya. Bun Beng yang tadinya merasa tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan melihat sikap kakek sinting itu. Di sana-sini terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh ke kanan-kiri. Kiranya tempat itu penuh dengan perajurit-perajurit anak buah Nirahai yang menonton!

   "Keparat kalian semua! Pergi dari sini....!"

   Suma Han yang menjadi merah mukanya itu membentak ke kanan-kiri, ditujukan kepada para perajurit. Para perajurit menjadi kaget, akan tetapi mereka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada di situ, mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang luar, sungguhpun mereka mendengar bisikan-bisikan bahwa yang mengusir mereka itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana! Nirahai menoleh ke kanan-kiri dan dia pun membentak,

   "Kalian pergi! Pergi....! Pergi jauh dan jangan ada yang mendekat!"

   Tentu saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh sekumpulan domba. Mereka terkejut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan diri dan pergi dari tempat itu. Tak seorang pun berani mendekati tempat itu, biar dengan sembunyi sekalipun, karena mereka tahu bahwa sembunyi pun percuma, tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.

   "Nirahai, sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku hendak membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus ikut denganku!"

   "Tidak sudi!"

   "Sudi atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan keributan di mana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang, berkerudung, menggegerkan kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali menjadi panglima pemerintah. Apa-apaan ini?"

   "Setan! Kau kira akan mudah saja memaksaku!"

   Nirahai hampir menjerit saking marahnya. Mukanya merah, sepasang matanya mendelik dan tangannya sudah meraba gagang pedang Hok-mo-kiam di pinggangnya.

   "Lawan saja, Suci. Dia memang seorang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau, Suci!"

   Lulu berkata, juga suaranya terdengar marah sekali.

   "Lulu, engkau pun mulai saat ini harus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak mau, engkau harus berada di sampingku untuk selamanya!"

   Kembali Suma Han berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah lagi.

   "Apa? Lebih baik aku mati!"

   Lulu membentak.

   "Engkau takkan kubiarkan mati. Kalian harus ikut bersamaku dan habis perkara!"

   Kembali Suma Han berkata.

   "Sing....!"

   Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai menerjang maju menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia pun sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut.

   "Bagus! Memang aku harus menundukkan kalian dengan kekerasan, hal yang semestinya kulakukan sejak dahulu!"

   Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan tubuhnya sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang dicintanya, dua orang wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia menderita amat hebat! Tongkatnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam, dan dia menghadapi dua orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik Nirahai maupun Lulu, bukanlah dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang lalu, melainkan telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi.

   Nirahai dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-mentah sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa terharu, bangga dan juga bahagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk hidup bersama mereka! Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han ini, Nirahai dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu sehingga tentu saja kedudukan mereka kuat bukan main, membuat Suma Han yang sudah mempergunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!

   "Ha-ha-ha, lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti kanak-kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha, jangan mau kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur, biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat sembarangan, tak boleh dipermainkan. Ha-ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau tidak mampu menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala memang semestinya ditundukkan dengan kekerasan. Itulah yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau engkau menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah muak! Hayo, gaplok saja! Wah, ramai....! Ramai....! Ha-ha-ha!"

   Tiga orang itu saling serang dengan hebat, Bun Beng menonton dengan hati gelisah akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan menyiram minyak pada api di hati tiga orang itu saling bergantian agaknya ingin melihat pertandingan itu makin seru dan mati-matian. Lagaknya seperti kalau dia mengadu, jangkerik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak, kedua pihak dipujinya juga dicelanya!

   "Locianpwe, bagaimana Locianpwe dapat mengatakan lucu? Teecu tidak melihat sesuatu yang lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-benar amat berbahaya."

   Biarpun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata Bun Beng tidak pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu. Dia kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari keluarga Suling Emas yang terkenal sepanjang masa itu.

   "Eh? Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Mereka seperti orang gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!"

   Bun Beng mengerutkan alisanya dan kini dia mengalihkan pandang matanya dari pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek yang sakti ini demikian memandang rendah cinta? Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh urusan perasaan yang paling halus, terutama dia berpendapat seperti itu setelah pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Akan tetapi kakek ini bicara soal cinta seolah-olah cinta merupakan hal yang remeh dan lucu!

   "Locianpwe, menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih. Tidak ada yang lebih suci daripada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya lucu?"

   Suaranya mengandung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh, apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?

   "Ha-ha-ha, itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta! Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!"

   "Wah, teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!"

   Bun Beng membentak dan mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang. Kini mereka berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding, bukan bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta!

   "Bagaimana Locianpwe dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari Suma-Taihiap terhadap mereka itu palsu?"

   "Cinta antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan maupun mengenai watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh dengan keinginan menguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, disamping keinginan menikmati kepuasan dari hubungan badan yang didorong nafsu berahi. Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena itulah, asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita yang kau agung-agungkan itu!"

   Bun Beng masih penasaran.

   "Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apapun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!"

   "Ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kau cinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tidak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?"

   "Cintaku takkan berubah...."

   Bun Beng menjawab akan tetapi jawabannya yang keluar dengan suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan berkata,

   "Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut pendapat Locianpwe?"

   "Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasarkan kepada kepentingan Si Aku masing-masing."

   "Ah, masa begitu, Locianpwe? Bagaimana dengan cinta seorang anak kepada ibunya?"

   Bun Beng mengajukan pertanyaan dengan penuh semangat, karena dia merasa bahwa tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?

   "Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka. Andaikata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku, coba kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih mendekat kepada suami, isteri, dan anak-anaknya?"

   "Wah, Locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada anaknya? Nah, beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?"

   "Memang palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana ada cinta, di situ tidak mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedukaan."

   "Wah, kalau begitu pendapat Locian-pwe, cinta bukan perasaan manusia biasa! Agaknya hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!"

   Bun Beng membantah.

   "Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya bukan cinta, melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka."

   "Haaaiiittt.... desss! Desss!"

   Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terpaksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai dan Lulu tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh Suma Han mencelat ke atas dan ketika kedua orang wanita itu mengejar dengan loncatan cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap mereka. Mereka menangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir terbanting kalau tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai. Melihat ini, Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin.

   "Locianpwe yang begitu pandai menguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu, tentunya sudah mempunyai banyak sekali pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang, seorang wanita maksud teecu?"

   Bu-tek Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa, matanya terbelalak.

   "Hehhh....? Aku....? Aku mencinta seorang wanita? Gila kau! Aku.... aku belum pernah terjeblos ke dalam perangkap asmara!"

   "Kalau begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?"

   "Bukan karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi dan dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar saja tiga orang itu! Jelas, bukan? Mereka tidak saling mencinta, dalam arti kata cinta suci, kalau demikian, mana ada duka, mana ada benci, dan mana ada pertempuran seperti sekarang ini?"

   "Haiii, Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusaha untuk menundukkan mereka ini!"

   Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh menonton. Dia terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang ini karena kini barulah dia tahu bahwa pertandingan yang kelihatan mati-matian itu sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu! Biarpun Suma Han melancarkan pukulan-pukulan hebat,

   Namun semua pukulan itu hanya dimaksudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu bukan untuk merobohkan. Dan lucunya, pedang Hok-mo-kiam itu biarpun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung, sesungguhnya lebih banyak merupakan ancaman daripada serangan betul-betul, seolah-olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu betul-betul akan menembus tubuh Suma Han. Demikian pula dengan Lulu, pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh orang yang dicintanya! Tiga orang itu melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan, apalagi saling membunuh!

   "Cringgg....! Bun Beng, terimalah pedang ini!"

   Sebuah tangkisan tongkat yang digetarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang Hok-mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda itu tentu tidak akan berani menerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan tetap berdiri dengan pedang di tangan, memandang penuh perhatian.

   "Kalian benar-benar keras kepala!"

   Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan menubruk dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita itu, terus diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak melakukan penotokan, tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andaikata mereka hendak mencelakai Suma Han. Kaki tangan mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak,

   "Lepaskan! Lepaskan aku!"

   Akan tetapi mereka sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal dalam keadaan seperti itu, kalau mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan mampu menjaga dirinya!

   "Tidak akan kulepaskan kalian lagi!"

   Kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.

   "Lepaskan aku, kalau tidak, kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!"

   Lulu berteriak, tangannya dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.

   "Hayo lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di tengkukmu!"

   Nirahai mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di tengkuk Suma Han. Suma Han hanya tersenyum dan kelihatan gembira sekali.

   "Biar kalian membunuhku, aku tidak akan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi permintaanku."

   "Manusia tak tahu malu! Apa permintaanmu?"

   Nirahai membentak.

   "Nirahai, engkau adalah isteriku, maka mau atau tidak, engkau mulai sekarang harus ikut ber-samaku, ke mana pun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku sebagai suamimu!"
(Lanjut ke Jilid 42)
Sepasang Pedang Iblis (Serial 08 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 42
"Suma Han! Nirahai-suci mungkin saja kau paksa karena dia isterimu. Akan tetapi aku tidak semestinya kau paksa!"

   Lulu meronta dan berteriak.

   "Kita telah melakukan kekeliruan, biarpun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup bersamaku!"

   Jawab Suma Han, suaranya tegas.

   "Suma Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kau cinta? Aku ataukah Lulu-sumoi?"

   Nirahai menuntut.

   "Aku.... aku mencinta kalian berdua, dan aku mau menghabiskan sisa hidupku disamping kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati."

   "Aku tidak sudi menjadi adik angkatmu!"

   "Kalau begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai sekarang menjadi isteriku juga."

   "Gila! Mana mungkin suci mau menerima aku sebagai madunya?"

   "Lulu-sumoi! Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku pun tidak akan sudi ikut bersamanya."

   "Nirahai-suci....!"

   Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan mengandung isak.

   "Sumoi, sudah semestinya begini....!"

   Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di atas kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu, saling rangkul sambil menangis. Bun Beng yang menonton dan mendengarkan semua ini, menjadi terharu bukan main. Kalau menurutkan perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan dijunjung tinggi itu mendapatkan kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang wanita yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang telah dihimpit duka nestapa dan kesengsaraan selama belasan tahun kini seolah-olah orang-orang yang kelaparan mendapatkan makanan atau orang-orang yang menderita penyakit payah mendapatkan obat, ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang keluar dari lubuk hatinya, Bun Beng menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan berkata,

   "Suma-Taihiap, teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap bertiga!"

   "Ha-ha-ha, Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan menghaturkan selamat, melainkan memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini. Ha-ha-ha! Eh, Suma-Taihiap, Pendekar Siluman, tahukah engkau mengapa murid kita ini memberi selamat? Karena dia terlalu bahagia melihat orang-orang yang menderita penyakit asmara dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang dilanda penyakit itu. Sekarang biarlah aku mewakili dia, di sini, di depan isteri-isterimu, aku meminang puterimu yang bernama.... eh, Bun Beng, siapa nama dara yang kau tolong di atas pohon itu?"

   Merah muka Bun Beng. Biarpun sinting, kakek ini melakukan hal yang di luar dugaannya sama sekali, maka dia menjawab lirih,

   "Milana...."

   "Oya, puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng. Bagaimana? Bagaimana, Tuan Puteri Nirahai?"

   Nirahai yang masih berangkulan dengan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang punggung Suma Han, menjawab,

   "Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan apalagi, sih?"

   "Ha-ha-ha, belum apa-apa sudah bertobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagaimana Suma-Taihiap?"

   Suma Han mengerutkan alisnya. Menurut rencana hatinya dia ingin menjodohkan Kwi Hong dengan pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang mencintanya.... dan hal ini harus dia selidiki terlebih dahulu. Maka dengan suara tegas ia menjawab,

   "Bu-tek Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutuskan, akan tetapi harus mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun Beng, kau bawalah Hok-mo-kiam itu dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari Milana, dan mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan, biarlah kita bicarakan kelak. Terima kasih atas kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hendak pergi, selamat berpisah!"

   
Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Setelah berkata demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh pendekar itu melesat dan lenyap dari situ sambil memanggul tubuh dua orang wanita itu!

   "Heeiii.... Pendekar Siluman....! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu denganmu....!"

   Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak, suaranya melengking nyaring sehingga Bun Beng yang berada di dekatnya cepat mengerahkan sin-kang untuk melindungi jantungnya. Khi-kang dari kakek ini benar-benar amat luar biasa. Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara Pendekar Super Sakti,

   "Sekarang aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Akan tetapi sewaktu-waktu boleh datang ke Pulau Es....!"

   Bu-tek Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa.

   "Ha-ha-ha, sungguh heran sekali. Semenjak puluhan tahun aku menganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar dari nenek moyangku. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap sama sekali. Dan aku ikut puas menyaksikan kebahagiaannya. Orang seperti dia tidak sepatutnya hidup sengsara."

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi, Bun Beng?"

   "Seperti yang Locianpwe telah mendengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari Nona Milana dan mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya Nona Milana, teecu akan ke kota raja dan menyelidikinya dari sana."

   "Memang seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang menjadi calon mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan kembali ke Pulau Neraka. Setelah bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api permusuhan di hatiku padam sama sekali, perlu apa lagi aku berkeliaran di dunia ini? Nah, aku pergi!"

   Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan berkelebat lenyap dari situ.

   "Locianpwe, teecu belum menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu!"

   Bun Beng mengerahkan khi-kangnya seperti yang dilakukan kakek itu tadi. Dari jauh terdengar suara ketawa kakek itu.

   "Ha-ha-ha! Kalau kau menghaturkan terima kasih, berarti terhapus hutangmu! Dan aku ingin kau membayar hutangmu dengan tiga cawan arak merah kelak, di Pulau Es!"

   Bun Beng menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasaan terharu. Kakek itu boleh jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di dalam kesintingannya, banyak kebaikan daripada keburukan yang muncul dari pribadinya. Setelah memberi hormat ke arah suara kakek itu, Bun Beng bangkit berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam yang tadi tanpa bicara telah dilemparkan ke bawah oleh Nirahai, memasangkan pedang itu di punggungnya, kemudian mengambil capingnya yang pecah-pecah, membetulkan caping, memakainya di atas kepala, kemudian menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang kepada mayat-mayat yang malang-melintang memenuhi tempat itu. Dia menghela napas panjang.

   "Maharya, maafkan aku. Tidak mungkin aku dapat mengubur jenazah semua orang yang gugur dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak mungkin kukubur sendiri."

   Dia lalu meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andaikata hatinya tidak dikejar oleh keinginan untuk cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda ini terpaksa akan mencoba untuk mengubur jenazah semua korban perang itu! Di dalam perjalanan menuju ke selatan ini,

   Masih terbayang semua peristiwa mengenai Pendekar Super Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia merasa terharu dan girang, juga tidak mengerti, merasa heran karena dia pun kini dapat merasakan betapa aneh kelakuan tiga orang itu. Yang sudah gila diserang penyakit asmara, kata Bu-tek Siauw-jin. Benarkah begitu? Apakah dia sendiri pun akan melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan aneh-aneh kelak karena penyakit asmara ini? Akan tetapi hal yang paling membuat dia tidak mengerti adalah keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita bangsawan, ibu Milana pujaan hatinya itu? Kalau Pendekar Super Sakti tidak mengambil Lulu sebagai isterinya, dia pun tidak akan sudi ikut bersama suaminya itu! Tentu saja Bun Beng yang masih muda itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu, bagi Nirahai adalah hal yang amat wajar dan lumrah.

   Dia adalah puteri seorang Kaisar yang mempunyai banyak selir. Bahkan dia sendiri puteri seorang selir. Pada waktu itu kehidupan kekeluargaan seorang bangsawan amat berbeda dengan kehidupan keluarga orang sekarang. Semua bangsawan tentu mempunyai isteri lebih dari seorang. Bahkan kalau ada seorang bangsawan tidak mempunyai selir hanya mempunyai seorang isteri saja, hal ini merupakan suatu kejanggalan dan keanehan besar. Keadaan demikian itu telah menjadi kebiasaan, dan karena biasa inilah maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang biasa, yang sama sekali tidak mendatangkan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja Nirahai merasa girang sekali mempunyai madu Lulu, sumoinya sendiri dan yang dia tahu telah saling mencinta dengan suaminya sebelum suaminya itu bertemu dengan dia!

   Di lubuk hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta suaminya daripada dia, dan betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat sekali. Memang tak dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wanita menjadi sumber segala peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi poros yang memutar roda penghidupan dengan segala suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara antara pria dan wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia akan berubah sama sekali, dan sukarlah membayangkan akan bagaimana keadaannya, sungguhpun kita tidak berani menentukan bahwa perubahan itu buruk adanya! Milana menghentikan gerakannya meronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja. Kalau tadinya dia meronta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena tubuhnya tertotok lemas,

   Bukanlah untuk membebaskan diri karena dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin, melainkan untuk menarik perhatian orang. Dia melihat betapa para penjaga yang berusaha menolongnya malah menjadi korban kelihaian dan keganasan Wan Keng In, maka dia berteriak-teriak dan memaki-maki hanya untuk meninggalkan jejak ke mana dia dilarikan agar para petugas istana itu dapat membayangi arah larinya Wan Keng In dan gurunya. Akan tetapi setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada penolong datang, harapannya menipis. Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik pemuda Pulau Neraka ini, karena kalau ayah bundanya sudah mendengar, tentu sekarang mereka sudah mengejar dan menolongnya dari cengkeraman pemuda iblis yang gila ini. Kini dia tidak dapat mengandalkan orang tuanya, para pengawal, atau siapapun juga.

   Dia harus menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang dan tidak lagi meronta-ronta. Akan tetapi ketika Wan Keng In dan kakek seperti mayat hidup itu mulai mendaki sebuah gunung dengan gerakan cepat sekali seperti terbang, Milana kembali merasa ngeri. Bagaimana kalau ayah bundanya mencarinya dan kehilangan jejak? Dia tidak memperlihatkan rasa gelisahnya, akan tetapi diam-diam dia merobek-robek saputangannya dan melempar-lemparkan robekan saputangan itu di sepanjang jalan menuju ke atas puncak gunung itu.

   "Malam hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk, sebaiknya kita beristirahat dan melewatkan malam di sini, Suhu."

   Wan Keng In berkata ketika mereka tiba di puncak.

   "Sesukamulah,"

   Jawab gurunya tak acuh sambil memandang ke arah barat di mana matahari telah menjadi sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan minyak.

   "Nah, engkau manis sekali kalau begini, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan tidak memaki-maki aku lagi."

   Keng In berkata kepada dara yang dipondongnya.

   "Kalau engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap baik pula, tidak melawan dan tidak memaki. Kau turunkanlah aku, aku bukan anak kecil yang harus dipondong saja."

   Wan Keng In tertawa gembira.

   "Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana. Aku tidak akan menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap baik selama engkau tidak memberontak."

   Keng In menurunkan tubuh dara itu, meraba pundaknya dan membebaskan totokannya. Milana segera duduk di atas rumput dan menyalurkan jalan darahnya untuk memulihkan tenaga. Biarpun dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk mencoba melawan atau melarikan diri. Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan dia bukanlah tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja seorang diri, dia tidak akan mampu melawan atau melarikan diri, apalagi di situ masih ada guru pemuda itu yang amat mengerikan. Tentu gurunya ini sakti seperti iblis sendiri!

   "Suhu, lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan? Pilihan teecu (murid) tidak akan meleset, Suhu. Dia cantik jelita, manis, halus, pintar.... pendeknya tidak ada keduanya di dunia ini!"

   Wan Keng In tersenyum-senyum senang sekali melihat Milana tidak memberontak lagi.

   "Huhhh....! Perempuan....!"

   Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong, kemudian dia membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama sekali tidak bergerak lagi seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu pula. Milana yang melihat gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan suara yang dikeluarkan kakek itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu tiada ubahnya seperti mayat hidup, gerakannya seperti kaku akan tetapi cepat dan tiba-tiba, amat mengejutkan. Kelingking jari tangan kiri yang putus separuh itu menambah seram keadaannya. Sementara itu Wan Keng In dengan wajah berseri telah membuka buntalan, mengeluarkan beberapa potong roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia letakkan di depan Milana dan dia berkata ramah,

   "Milana pujaan hatiku, makan dan minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau tidak mau makan atau minum sedikit pun, membuat hatiku menjadi tidak enak dan khawatir!"

   Milana masih memandang punggung kakek yang duduk di atas batu.

   "Dia juga tidak pernah makan atau minum selama ini,"

   Katanya perlahan karena memang hatinya selalu bertanya-tanya, kalau dia menderita kelaparan selama dua hari itu karena dia selalu menolak makan atau minum, mengapa kakek itu pun tidak pernah makan minum, bahkan pemuda itu tidak pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu makan minum sendiri kalau Milana menolak.

   "Suhu? Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun."

   Kembali Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang seperti itu?

   "Aku tidak mau makan dan minum,"

   Katanya lirih.

   "Aihhh, jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu? Kalau sampai engkau jatuh sakit, siapa yang susah? Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih sejuk, baru kuambil siang tadi di lereng gunung."

   Ingin rasanya Milana membuat pemuda itu susah selama hidupnya, akan tetapi memang benar, dia tidak mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarang pun dia merasa amat haus dan lapar. Akan tetapi dia menahan diri. Kesempatan baik, pikirnya.

   "Aku tidak bisa makan seperti ini."

   Katanya sambil memandang roti kering itu.

   "Aku biasanya hanya makan nasi dan masakan yang enak."

   "Wah, jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta masakan apa saja, tentu akan kusediakan. Akan tetapi di sini, mana ada nasi dan masakan?"

   "Tidak peduli!"

   Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gembira bahwa dia dapat merongrong pemuda itu, ke dua karena timbul harapannya untuk mencari kesempatan meloloskan diri.

   "Pendek-nya, aku hanya mau makan kalau ada nasi, ada arak dan setidaknya ada daging panggang!"

   Wan Keng In memandang dengan mata terbelalak kepada gadis itu, akan tetapi kemarahannya lenyap ditelan penglihatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara itu! Untuk bibir itu saja mau kiranya dia melakukan apapun juga, jangankan hanya mencarikan nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh memetik bintang dari langit sekalipun, kalau dia bisa, tentu akan dilakukannya!

   "Aihhh.... bibirmu itu...."

   Keng In menghela napas dan Milana yang mengira ada sesuatu pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidahnya untuk menjilati sepasang bibirnya. Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona sampai dia melongo memandang dan menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa pemuda itu memuji bibirnya. Seketika sepasang pipinya menjadi kemerahan dan dia memandang dengan tajam.

   "Sudahlah! Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!"

   "Serrr!"

   Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang menancap di ulu hatinya.

   "Aihhh.... matamu.... dan bibirmu.... eh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya mencarikan semua itu untukmu, Sayang?"

   Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak dan sekali berkelebat dia telah lenyap ke dalam hutan di bawah puncak yang sudah mulai gelap.

   Berdebar jantung Milana. Pancingannya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk memenuhi permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta arak? Pemuda itu tentu akan pergi mencari dusun dan belum tentu akan mendapatkan yang dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan hati-hati Milana melirik ke arah kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya. Kakek itu masih duduk bersila di atas batu, sama sekali tidak bergerak, bahkan agaknya bernapas pun tidak. Kakek itu seperti arca mati yang sudah melekat dan menjadi satu dengan batu yang didudukinya. Bagaimana kalau dia lari sekarang? Akan tetapi dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng In akan menjaga ketat lagi, mungkin tidak akan membebaskannya dari totokan.

   Dia memang harus berusaha lari, akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil. Milana bangkit berdiri dan berjalan-jalan, matanya tak pernah dialihkan dari tubuh kakek yang masih duduk bersila. Dengan memberanikan diri, dia berjalan perlahan melewati depan kakek dan dia melihat bahwa kakek itu duduk bersila sambil memejamkan mata dan.... agaknya benar-benar tidak bernapas! Biarpun cuaca sudah remang-remang, namun dia masih dapat melihat keadaan kakek itu. Sampai tiga kali dia berjalan perlahan seperti orang melemaskan kaki, mengelilingi kakek itu dan berhenti di sebelah belakangnya. Kakek itu sama sekali tidak pernah bergerak apalagi menengok. Milana membungkuk, mengambil sepotong batu, lalu melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan kakek itu, matanya memandang tajam.

   Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali, seolah-olah telah mati, atau telah tidur nyenyak! Jantung Milana berdebar tegang. Tentu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang tidur, atau demikian tenggelam dalam samadhinya sehingga seperti orang mati. Berindap-indap Milana melangkah menjauhi kakek itu, mengambil arah yang berlawanan dengan perginya Keng In tadi. Makin lama langkahnya yang gemetar itu menjadi makin tetap, langkah kecil-kecil menjadi makin melebar dan karena kakek itu sudah tidak tampak lagi dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi menengok dan selagi dia mengambil keputusan hendak lari, tiba-tiba terdengar suara orang di depannya. Seketika dia menjadi lemas melihat Keng In muncul dengan seekor ayam hutan di tangannya.

   "Aihh, sudah begitu laparkah engkau, Sayang? Apakah engkau sengaja menyongsong aku? Lihat, kuperoleh seekor ayam, gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam panggang!"

   Milana memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira,

   "Aku hendak menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat lapar!"

   "Aduh kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau memanggangnya untuk kita makan bersama, bukan?"

   Milana menahan kemarahan dan kekecewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan yang gemuk itu, kemudian sengaja berkata,

   "Ahhh, kenapa hanya ayam saja? Apakah aku hanya kausuruh makan daging panggang? Mana nasinya? Mana araknya? Wan Keng In, aku sudah mulai menurut karena sikapmu yang baik akan tetapi kalau permintaan macam itu saja kau tidak mampu penuhi, apa gunanya aku tunduk?"

   "Wah-wah.... sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar dapat kau panggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak, jadi tidak ada waktu terbuang sia-sia, bukan?"

   Milana tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian mengangguk.

   "Baiklah, Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya? Perutku sudah lapar sekali."

   "Hi-hik, perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?"

   Ingin Milana meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan wajahnya. Keng In tertawa kemudian berkelebat pergi, kini menuju ke kanan, agaknya di sebelah sana terdapat dusun terdekat. Kembali berdebar jantung Milana. Sekaranglah saatnya, pikirnya. Tidak boleh membuang waktu lagi. Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In mendapatkan dia tadi sedang melarikan diri, sedang berlari cepat, tentu rahasianya ketahuan dan mungkin sekarang dia sudah rebah terbelenggu atau tertotok. Dia bergidik, kemudian setelah menanti sejenak agar Keng In berlari cukup jauh ke sebelah kanan puncak, Milana lalu membanting bangkai ayam hutan lalu meloncat melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri puncak.

   "Bresss....!"

   Milana terjengkang dan cepat berjungkir balik agar jangan terbanting. Ketika dia berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba menghalang di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit karena yang ditabraknya adalah tubuh kakek iblis guru Keng In yang entah bagaimana dan kapan tahu-tahu telah berdiri di situ dengan kedua lengan bersedakap dan kedua mata terpejam!

   "Augghhh....!"

   Milana merintih menahan rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari lagi.

   "Brukkk....!"

   Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan memandang, lagi-lagi kakek iblis itu yang ditabraknya.

   "Aihhh....!"

   Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek yang menyeramkan itu, akan tetapi ke manapun juga dia lari, dia selalu menabrak tubuh kakek berdiri itu, yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di depannya. Rasa ngeri bercampur takut membuat dia marah sekali, dengan nekat dia lalu menghantam dada kakek itu! "Buk-buk-desss!"

   Tiga kali dia menghantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras seperti baja, sama sekali tidak bergoyang terkena pukulan-pukulannya yang disertai sin-kang! Tiba-tiba rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret.

   Dengan mata terbelalak Milana memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak rambutnya dan yang menyeretnya. Dia menangis dan mengeluh, sama sekali tidak melawan karena maklum bahwa menghadapi kakek ini, dia lebih lemah daripada seorang anak kecil! Setelah tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan jambakannya dan melemparkan tubuh Milana ke atas rumput, sedangkan dia sendiri lalu duduk di atas batu, bersila dan meram seperti tadi, seolah-olah telah berubah menjadi arca! Milana menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah, dan putus harapan serta kecewa. Kini dia memandang kepada kakek itu dengan kemarahan meluap. Biar iblis sekalipun, kakek itu menghalanginya untuk lari, menggagalkan kesempatan baik yang diperolehnya.

   "Iblis tua bangka....!"

   Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu, menggunakan jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari tangan kiri menotok ke tengkuk membidik jalan darah kematian, tangan kanan dengan jari terbuka membacok ke arah lambung dengan pengerahan sin-kang. Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga teratur dan disertai pengerahan seluruh te-naganya. Dara yang keecewa ini sudah nekat dan hendak membunuh atau terbunuh oleh kakek itu!

   "Plakkk! Bukkk!"

   Milana terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua tangannya terasa nyeri dan lengannya seperti lumpuh.

   Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke belakang dan menotok jalan darah di pundak Milana, membuat tubuh dara itu kehilangan tenaga dan roboh lemas! Totokan kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan sama sekali tidak dapat digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia rebah miring dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat mengganggu, akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kepalanya. Benar seperti dugaan Milana, menjelang pagi, setelah ayam hutan mulai berkeruyuk dan cahaya di langit timur sudah mulai muncul, baru Keng In muncul, membawa bungkusan nasi, sayur-mayur, dan seguci arak!

   "Milana kekasihku, inilah permintaanmu.... heiiii! Mengapa kau?"

   Pemuda itu meletakkan bawaannya, berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang membuat dara itu lemas. Begitu terbebas dari totokan, biarpun tubuhnya masih lemas dan jalan darahnya belum pulih benar, Milana sudah mencelat bangun dan menyerang Wan Keng In!

   "Brukkk! Heiii.... mengapa kau ini....?"

   Keng In cepat menangkap lengan Milana dan merangkulnya, meringkusnya membuat dara itu tak mampu melepaskan diri.

   "Milana bidadariku, pujaan hatiku, kenapa kau....? Mana daging panggang itu dan kenapa kau tertotok?"

   Mau rasanya Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa hatinya. Mendengar pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan murid ini.

   "Mau tahu? Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!"

   Ingin dia membohong, ingin dia menjatuhkan fitnah kepada kakek itu, mengatakan bahwa kakek itu hendak memperkosanya, akan tetapi karena sejak kecil dia tidak biasa membohong kata-kata ini tidak bisar keluar dari mulutnya. Keng In menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya.

   "Suhu, apa yang terjadi? Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?"

   "Keng In, engkau ini laki-laki macam apa? Tidak semestinya seorang laki-laki membiarkan dirinya dihina perempuan! Kalau kau suka dia dan dia banyak rewel paksa saja!"

   Milana merasa benci bukan main kepada kakek itu setelah melihat kakek itu bicara tanpa menggerakkan bibir dan mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkan wanita itu. Kalau dia tidak tahu bahwa melawan kakek itu percuma saja, tentu dia sudah menerjang mati-matian.

   "Aahh, Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana? Tentu dia tadi hendak melarikan diri maka Suhu menotoknya, bukan? Wah, jangan sekali-kali engkau melarikan diri, biarpun aku tidak ada. Masih untung bahwa Suhu hanya merobohkanmu, tidak membunuhmu."

   "Aku tidak takut mati!"

   Milana membentak.

   "Huh, perempuan keras hati ini,"

   Kembali kakek itu mengomel.

   "Dan kau mencinta dia?"

   "Benar, Suhu. Aku cinta Milana, aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang tercinta, yang membalas cintaku, karena itu, sangat mustahil kalau aku harus mengganggu badan atau nyawanya dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar menghadapi Milana."

   "Huh, agaknya kau takut mengganggunya. Anak siapa dia?" "Dia bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua Thian-liong-pang."

   "Huh!"

   Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah. Milana sudah bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu, suaranya lantang ketika dia berkata,

   "Ibuku tidak hanya Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri Kaisar yang perkasa, dan ayahku adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, To-cu Pulau Es! Kalau ayah bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu mereka akan datang dan mencabut nyawa kalian berdua seperti mencabut rumput saja!"

   Kakek yang tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan Keng In juga kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara yang dicintanya itu adalah puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian tubuhnya mencelat dekat, tangannya bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah cepat.

   "Brettt-brett-brettt....!"

   Milana menjerit kaget melihat tubuhnya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali karena tiga kali renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat seluruh pakaiannya, luar dan dalam, terobek dan tanggal semua!

   "Suhu....!"

   Cui-beng Koai-ong melemparkan pakaian itu ke atas tanah.

   "Perkosa dia! Hayo kau perkosa puteri Pendekar Siluman ini!"

   Katanya kepada Keng In. Keng In membuka jubah luarnya dan menubruk gadis telanjang bulat yang matanya terbelalak lebar dan mukanya pucat, yang dengan sia-sia mencoba untuk menggunakan tangan menutupi tubuhnya, menutupkan jubah itu menyelimuti tubuh Milana. Dengan cepat gadis itu menggunakan jubah menutupi tubuhnya dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kebencian akan tetapi juga kengerian.

   "Keng In, perkosa dia!"

   Kembali Cui-beng Koai-ong berkata.

   "Kalau tidak, aku yang akan melakukannya!"

   "Suhu, jangan, Suhu. Aku ingin mendapatkan dia dengan suka rela, aku cinta padanya."

   "Aku tidak peduli kau cinta atau tidak. Saat ini aku ingin melihat engkau memperkosa seorang perempuan, dan kau harus melakukan hal itu!"

   "Suhu, tunggu....! Ada orang....!"

   Wan Keng In berseru dan meloncat ke depan. Benar saja tampak bayangan berkelebatan dan muncullah lima orang yang gerakannya gesit dan bersikap gagah. Empat orang laki-laki setengah tua yang bersenjata pedang dan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun, juga gagah sikapnya, bersenjata sebatang cambuk.

   Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bebaskan Nona itu!"

   Wanita itu sudah membentak dan cambuknya bergerak mengeluarkan suara meledak-ledak. Juga empat orang laki-laki itu sudah mener-jang maju, disambut oleh Keng In yang sudah mengeluarkan pedangnya. Begitu pemuda ini mengelebatkan pedangnya, tampak sinar berkilat dan sinar ini menyambar ke arah empat orang penyerangnya.

   "Cringgg, trak-trak-trak-trak!"

   Empat batang pedang di tangan empat orang laki-laki gagah itu patah semua ketika bertemu dengan Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, bahkan disusul robohnya tubuh mereka yang hampir putus menjadi dua potong. Mereka roboh dan tak bergerak lagi, mandi darah mereka sendiri.

   Milana tadinya hendak bergerak membantu para penolongnya, akan tetapi terpaksa mengurungkan niatnya karena teringat akan tubuhnya yang telanjang bulat dan hanya terselimut jubah luar. Kalau dia bergerak, tentu jubahnya terbuka! Apalagi melihat betapa dalam segebrakan saja Keng In telah membunuh empat orang itu, harapannya lenyap kembali. Wanita bercambuk itu menjadi kaget dan marah. Cambuknya menyambar ke arah Wan Keng In yang sambil tersenyum telah menyarungkan Lam-mo-kiam kembali. Cambuk menyambar dan mengenai leher Keng In, melibat leher dan wanita itu menarik. Namun, tubuh Keng In sama sekali tidak bergoyang, bahkan sekali Keng In menarik leher ke belakang, tubuh wanita itu terhuyung ke depan, tertangkap oleh pelukan kedua lengan Keng In. Wanita itu hendak meronta, akan tetapi cambuknya sudah mengikat kedua tangannya sehingga tidak dapat berkutik.

   "Apakah Suhu masih ingin melihat aku memperkosa perempuan?"

   Keng In yang sengaja tidak membunuh wanita ini karena ingin menolong Milana, menoleh kepada gurunya.

   "Hem, hayo cepat!"

   Gurunya yang gila itu berkata. Keng In menotok wanita itu sehingga menjadi lemas, kemudian dia menanggalkan seluruh pakaian wanita itu satu demi satu, melempar-lemparkan pakaian itu kepada Milana sambil berkata,

   "Milana, kau pakailah pakaiannya, pakaianmu sudah robek semua."

   Milana tidak mengerti apa yang akan terjadi, akan tetapi melihat pakaian itu dilempar-lemparkan kepadanya ia lalu memakainya. Untung bahwa bentuk tubuh wanita itu hanya sedikit lebih besar dari tubuhnya, maka pakaian itu, dari pakaian dalam sampai pakaian luar, dapat dipakainya dengan baik. Akan tetapi, betapa kaget dan ngeri hati Milana ketika melihat Keng In mulai menanggalkan pakaiannya sendiri kemudian menubruk wanita tawanan yang sudah menggeletak di atas rumput tanpa pakaian itu.

   "Kau....!"

   Milana marah bukan main, lupa diri dan bergerak menyerang Keng In.

   Akan tetapi, dengan tangan kirinya Keng In menyambar cambuk wanita tadi, menggerakkan cambuk itu sehingga ujungnya menotok pundak Milana yang terguling roboh dan tidak mampu bergerak lagi. Gadis ini mula-mula terbelalak memandang penglihatan yang terjadi hanya dua meter di depan matanya, kemudian dia memejamkan matanya dan seluruh tubuhnya menggigil. Hatinya penuh dengan kebencian dan dia berjanji untuk membunuh Wan Keng In dan gurunya itu karena dia menganggap mereka itu bukan manusia, kejam melebihi binatang buas, bahkan iblis sendiri belum tentu seganas dan sejahat mereka! Biarpun dia telah memejamkan matanya, namun Milana tetap saja mendengar rintihan wanita itu. Betapa heran dia setelah beberapa lama, terdengar wanita itu berkata diseling isak,

   "Aku.... aku akan membantumu.... aku bersedia menjadi pembantumu yang setia.... asal jangan bunuh aku.... ampunkanlah aku...., aku telah berani menentang seorang gagah seperti engkau...."
Ucapan itu terhenti, terdengar suara

   "prakkk!"

   Dan keadaan menjadi sunyi. Tidak terdengar apa-apa lagi. Setelah agak lama, barulah Milana merasa pundaknya disentuh dan dia terbebas dari totokan. Dibukanya matanya dan dia terbelalak. Sinar matahari pagi menimpa tubuh yang telanjang bulat, tubuh yang berkulit putih bersih, akan tetapi kini kulit yang putih kuning itu telah berlepotan darah, diantaranya darah yang masih menetes keluar dari kepalanya yang pecah!

   "Ihhh....!"

   Milana menutupi mata dengan kedua tangannya. Wan Keng In yang sudah berpakaian lagi itu merangkulnya dan berbisik,

   "Terpaksa kulakukan untuk memuaskan hati Suhu, dan sebagai penggantimu...."

   

Kisah Pendekar Bongkok Eps 16 Pendekar Super Sakti Eps 2 Kisah Pendekar Bongkok Eps 26

Cari Blog Ini