Pendekar Super Sakti 26
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
"Yang membuntungi adalah Toat-beng Ciu-sian-li...."
"Wah-wah, Bu Ci Goat perempuan tak tahu malu itu? Hemmm, mengapa?"
Karena maklum bahwa wanita tua yang menjadi seorang di antara penghuni Pulau Es ini adalah seorang yang amat sakti, maka Han Han tidak berani berbohong.
"Dahulu, di waktu masih kecil, saya pernah menjadi muridnya dan karena saya tidak senang, melarikan diri darinya, setelah berjumpa kembali saya lalu dihukum potong kaki."
"Bu Ci Goat sungguh tak tahu diri, Tidakkah dia tahu bahwa engkau telah menjadi ahli waris Pulau Es?"
Han Han yang tidak mengerti, apa hubungannya nenek ini dengan Toat-beng Ciu-sian-li yang disebut Bu Ci Goat itu, mengangguk.
"Sudah tahu bahwa engkau telah menjadi murid kami bertiga, masih dia berani mengganggu? Apakah engkau kalah olehnya?"
Nenek itu membentak, agaknya penasaran dan marah. Mendengar itu, giranglah hati Han Han. Kiranya nenek yang aneh ini telah menganggapnya sebagai murid. Jelas bahwa nenek itu tidak mempunyai niat buruk terhadap dirinya, maka ia cepat berkata.
"Teecu (Murid) melawan sekuatnya, akan tetapi selain Toat-beng Ciu-sian-li amat lihai, juga Kang-thouw-kwi Gak Liat membantunya sehingga teecu tertawan dan kaki teecu dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li."
"Biar dikeroyok dengan Si Setan Botak sekalipun, sebagai murid Istana Pulau Es, amat memalukan kalau engkau sampai kalah."
Nenek itu berkata penasaran.
"Maafkan atas kebodohan teecu, locianpwe. Teecu telah beruntung sekali menemukan kitab-kitab rahasia Pulau Es dan mempelajarinya, akan tetapi karena teecu tidak menerima petunjuk langsung dari locianpwe bertiga, bagaimana teecu dapat mewarisi ilmu kepandaian tinggi? Mohon petunjuk locianpwe."
Sejenak nenek itu memandang Han Han, kemudian menghela napas panjang.
"Hemmm, setelah menemukan Pulau Es dan mempelajari kitab-kitab di sana, berarti engkau telah menjadi murid kami bertiga. Kemudian engkau dengan setia membawa surat-surat peninggalan suhengku dan menyampaikannya kepadaku, berarti engkau adalah orang sendiri yang patut mendengar riwayat kami. Sekarang kakimu buntung, sama dengan kakiku, padahal selama delapan puluh tahun aku menciptakan ilmu silat yang khusus untuk seorang yang sebelah kakinya buntung, kalau tidak kuajarkan kepadamu, habis kepada siapa lagi? Akan tetapi sebelum itu engkau sebagai murid tunggal harus mengenal siapakah sebetulnya guru-gurumu, siapakah penghuni-penghuni Pulau Es yang selama ini menjadi rahasia dan tidak dikenal, sungguhpun setiap orang kang-ouw mengharapkan kemurahan penghuni-penghuni Pulau Es untuk mengulurkan tangan memberi satu dua ilmu pukulan kepada mereka. Dari manakah tokoh-tokoh macam Setan Botak mendapatkan Hwi-yang Sin-ciang, Si Muka Kuda mendapatkan Swat-im Sin-ciang kalau tidak dari Pulau Es."
Han Han terkejut.
"Teecu mendengar mereka itu menerima petunjuk dari seorang manusia dewa bernama Koai-lojin...."
"Dialah suhumu yang pertama, Sie Han. Koai-lojin adalah suhengku, adalah penulis surat-surat yang kau sampaikan kepadaku."
"Ahhhhh....."
Han Han makin terkejut dan terheran-heran.
"Dengariah baik-baik, muridku. Akan kuceritakan secara singkat kepadamu rahasia besar itu. Guru kami, manusia dewa Bu Kek Siansu pada akhir kali muncul sebagai manusia, menggembleng kami bertiga di Pulau Es. Hanya tiga orang murid beliau, pertama adalah Kam Han Ki yang menjadi keponakan pendekar sakti Suling Emas. Kedua adalah seorang puteri suku bangsa Khitan yang cantik jelita bernama Maya, masih keturunan dari Ratu Khitan sendiri. Adapun orang ketiga yang menjadi murid manusia dewa itu adalah aku sendiri, Khu Siauw Bwee."
Sampai di sini nenek itu menghela napas dan pandang matanya merenung jauh. Han Han merasa betapa jantungnya berdebar-debar. Nama-nama yang disebutkan itu membuat ia kaget, heran, kagum dan mengkirik karena nama-nama itu pernah ia dengar dari murid-murid Ma-bin Lo-mo, dan dianggap sebagai nama tokoh-tokoh dalam dongeng.
"Kami bertiga menerima gemblengan Bu Kek Siansu guru kami, tidak hanya dalam ilmu silat, melainkan juga ilmu sastra dan ilmu batin. Tentu saja aku tidak dapat menandingi kelihaian suciku Maya, apalagi suhengku Kam Han Ki. Akhirnya tiba saatnya guru kami meninggalkan kami dengan pesan agar kami bertiga meninggalkan Pulau Es dan hidup berpencar, berpisahan karena kalau kami bertiga berkumpul, akan timbul bencana di antara kami, bencana yang ditimbulkan oleh nafsu."
"Ahhhhh, teecu ingat akan bunyi syair yang diukir pada dinding istana Pulau Es....."
Tanpa disadarinya Han Han berseru karena memang ia teringat akan syair itu, ditimbulkan oleh ucapan nenek buntung tentang malapetaka yang ditimbulkan nafsu.
"Syair apa? Ketika aku pergi, tidak ada terdapat syair di dinding. Bagaimana bunyinya?"
"Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata: bebaskan dirimu
daripada ikatan nafsu
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
Tanpa adanya perpaduan Im dan Yang
dunia takkan pernah tercipta
betapapun juga,
cinta segi tiga tak membahagiakan
menyenangkan yang satu
menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara.
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu bahwa
sengsaralah buah daripada nafsu"
Ketika Han Han mengucapkan syair ini dengan suara lantang dan jelas, nenek itu memandangnya dengan bengong dan menggantungkan pandang mata pada bibir Han Han yang bergerak-gerak. Kemudian, setelah Han Han menghabiskan syair, keadaan menjadi sunyi dan nenek itu kembali menarik napas panjang.
"Ahhh, seolah-olah aku mendengar dia sendiri membacakan tulisan syairnya. Dialah yang menulis itu, Sie Han dan dapat kubayangkan betapa dia menulisnya dengan hati bercucuran darah. Kasihan Han Ki suheng."
"Apakah yang terjadi di antara subo bertiga?"
Han Han yang makin terseret dan tertarik kini merasa dirinya dekat dengan nenek itu dan otomatis ia tidak lagi menyebut locianpwe melainkan menyebut subo.
"Apa yang terjadi? Telah tersurat dalam syair Koai-lojin Kam Han Ki tadi. Engkau tidak perlu tahu, muridku, urusan itu adalah urusan yang menyangkut kepribadian dan akan tetap menjadi rahasia kami." (Baca: ISTANA PULAU ES).
"Ahhhh....."
Han Han tak dapat menahan seruan kecewa ini. Nenek itu tersenyum dan makin jelaslah kini persamaan antara wajah keriputan ini dengan wajah cantik jelita dari patung di dalam Istana Pulau Es.
"Asmara gagal hanya merupakan cerita sedih. Engkau yang masih bersih dan hatimu belum disentuh tangan asmara yang jahil perlu apa tahu akan hal itu? Pendeknya, terjadi kekusutan dalam pertalian saudara kami bertiga, atau lebih tepat, antara Maya Suci dan aku. Dari dua orang kakak beradik seperguruan yang saling mencinta, kami berubah menjadi dua orang musuh, seperti dua ekor harimau memperebutkan kelinci. Kami bertanding dan aku lengah, sebelah kakiku buntung...."
"Yang mana, subo? Teecu tidak dapat membedakan, yang kanan ataukah yang kiri?"
Kembali nenek itu tersenyum dan kini Han Han merasa yakin bahwa sesungguhnya nenek buntung yang mengaku bernama Khu Siauw Bwee ini sesungguhnya merupakan seorang yang amat halus budi dan peramah, hanya menjadi "beku"
Di luarnya, mungkin karena penderitaan batin yang hebat.
"Yang kiri, Sie Han. Kelak kalau engkau sudah mempelajari ilmu ciptaanku, engkau pun akan dapat mengubah kaki buntung menjadi kaki tunggal. Setelah kakiku buntung sebelah, Maya Suci menjadi menyesal seperti gila, lalu membunuh diri."
"Membunuh diri?"
Han Han terbelalak, teringat ia akan patung wanita yang luar biasa cantiknya, yang telah mendatangkan perasaan aneh di dadanya ketika memandang patung itu, perasaan cinta dan tergila-gila.
"Begitulah agaknya, dia melempar dirinya ke dalam jurang yang amat curam. Dan demikianlah, kami tiga murid Bu Kek Siansu yang tadinya rukun dan setia penuh kasih sayang, menjadi terpecah-pecah. Maya suci mungkin mati mungkin tidak, akan tetapi selama delapan puluh tahun aku tidak lagi mendengar tentang dia. Juga aku tidak pernah tentang mendengar tentang dia.... ah, surat-suratnya...."
Sepasang mata itu menjadi basah akan tetapi mulutnya tersenyum bahagia. Han Han termenung. Teringat ia akan segala penuturan Im-yang Seng-cu tentang nenek-moyangnya. Dia adalah cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, Si Dewa Pemerkosa Wanita, manusia cabul dan sesat. Dalam darahnya mengalir darah Suma yang terkutuk dan jahat.
Akan tetapi, juga mengalir darah keturunan keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas. Dan kini, penghuni Pulau Es yang merupakan manusia setengah dewa, manusia rahasia yang disebut oleh orang-orang kang-ouw dengan sebutan Koai-lojin, ternyata bernama Kam Han Ki, keponakan Suling Emas, jadi ada hubungan darah dengan dia sendiri. Dorongan perasaan Han Han membuat ia menggerak-gerakkan bibir hendak memperkenalkan diri, akan tetapi ia teringat bahwa hal itu adalah urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan nenek yang menjadi gurunya ini. Pula, dia sudah mengambil keputusan, untuk selanjutnya menggunakan she Sie tidak mau memakai she Suma yang amat dibencinya itu. Lebih baik dia tidak mengaku kepada siapapun juga bahwa dia masih keturunan keluarga Suma yang sama sekali tidak boleh dibanggakan. Nenek itu kini tersenyum lagi.
"Orang-orang di dunia kang-ouw tidak ada yang mengenalku dan tentu menganggap aku telah tewas karena selama delapan puluh tahun aku bersembunyi di sini. Demikian pula dengan Maya Suci, mungkin dia sudah mati karena tidak pernah muncul di dunia. Hanya suheng yang melanjutkan sepak terjang guru kami. Dahulu, guru kami Bu Kek Siansu selalu merantau dan melakukan hal-hal yang luar biasa, melindungi yang benar dan menyadarkan yang salah. Dahulu, nama Bu Kek Siansu kadang-kadang disebut Koai-lojin, dan sekarang pun suheng disebut orang Koai-lojin sehingga tidak ada yang tahu siapa sebenarnya Koai-lojin. Mungkin juga suhu, mungkin juga suheng."
"Subo, apakah.... apakah sukong Bu Kek Siansu itu masih hidup? Teecu pernah mendengar dongeng bahwa beliau telah menjadi seorang kakek tua renta di jamannya pendekar sakti Suling Emas. Kalau begitu, berapakah usianya?"
Nenek itu menggeleng-geleng kepala.
"Tidak ada manusia yang mengetahuinya. Beliau boleh jadi masih hidup, boleh jadi sudah tiada. Dan tidak ada perlunya bagi kita untuk mengetahui akan hal itu. Yang penting sekarang, engkau akan kulatih dengan ilmu silat yang kuciptakan di sini, ilmu yang khusus untuk seorang yang berkaki satu. Mari, kau ikutlah."
Han Han tidak berani bertanya-tanya lagi dan segera bangkit lalu berloncatan dibantu tongkatnya keluar dari pondok mengikuti gurunya. Nenek itu memang buntung seperti dia, namun gerakannya cepat dan lincah sekali, jauh melebihi gerakan orang yang tidak buntung kakinya.
Dia berloncatan dengan payah dibantu tongkatnya, akan tetapi nenek itu berloncatan tanpa dibantu tongkat, dan kakinya seperti ada pernya, menotol-otol tanah tanpa mengeluarkan suara dan tubuhnya begitu ringan seperti terbang saja, makin lama makin jauh dan cepat loncatannya. Dengan susah payah Han Han mengikuti nenek itu dan baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa daerah tempat tinggal nenek itu merupakan daerah yang amat aneh, dacrah penuh batu-batu licin hitam, akan tetapi anehnya, di antara batu-batu itu dapat tumbuh pohon-pohon dan yang jarang terdapat di daerah tanah biasa. Nenek itu berhenti di sebuah telaga yang mempunyai air jernih kebiruan, akan tetapi juga penuh pula dengan batu-batu yang licin menghitam, permukaannya mengkilap tertimpa cahaya matahari. Setelah Han Han dapat menyusulnya dan pemuda ini berdiri di dekatnya, nenek buntung itu lalu berkata,
"Berapa lama engkau berada di Pulau Es?"
"Kurang lebih enam tahun, subo."
"Apa saja yang kau pelajari selama itu?"
"Maaf, subo. Teecu memang bodoh. Kitab-kitab di sana terlalu tinggi bagi teecu, bahkan setiap kali teecu berusaha melatih diri dengan petunjuk kitab di sana, teecu jatuh sakit dan peredaran darah teecu menjadi kacau. Yang cocok hanya kitab-kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan kitab-kitab Siang-mo-kiam."
"Eh, Siang-mo-kiam? Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa? Kau ketemu denggn mereka dan menerima warisan kitab mereka pula? Mereka adalah murid-murid pendekar sakti wanita Mutiara Hitam?"
Khu Siauw Bwee, nenek itu, makin heran dan terkejut saja mendengar pengakuan Han Han tadi. Secara singkat Han Han lalu menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Sepasang Pedang Iblis yang saling bunuh dan yang menyerahkan kitab kepadanya, kemudian menceritakan pula betapa selama enam tahun di Pulau Es, dia hanya mencurahkan tenaga dan perhatiannya untuk melatih sin-kang, sedangkan dalam hal ilmu silat, biarpun ia membaca banyak kitab-kitab di situ, namun karena tidak ada yang membimbing, dia tidak dapat memetik hasilnya. Mendengar ini, nenek itu menggeleng-geleng kepala penuh takjub.
"Dan tanpa kepandaian silat, hanya mengandalkan sin-kang saja, engkau berani menentang orang-orang macam Kang-thouw-kwi, Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Ciu-sian-li? Gila benar. Akan tetapi ada untungnya bagimu, Sie Han. Ilmu ciptaanku ini adalah khusus untuk orang buntung sehingga orang yang berkaki dua tidak akan mungkin dapat mempelajarinya dengan sempurna. Andaikata engkau sebelum buntung sudah mempelajari banyak ilmu silat, tentu saja ilmu silat biasa bukan untuk orang buntung, agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mempelajari ilmuku ini, karena engkau akan terpengaruh oleh ilmu-ilmu silat biasa. Aku sendiri, karena sebelum buntung telah menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari bandingnya, baru setelah delapan puluh tahun dapat menciptakan ilmu ini. Engkau masih kosong dan telah memiliki dasar sin-kang yang kuat. Bagus sekali. Engkau akan cocok sekali dan dapat jauh lebih mudah mempelajarinya dari siapapun juga. Nah, sekarang aku hendak mencoba dulu kekuatan sin-kangmu. Engkau telah kuat menangkis pukulanku, akan tetapi aku masih belum yakin akan ukuran kekuatanmu, apakah perlu ditambah atau tidak. Masukkan tanganmu di dalam air ini dan kerahkan sin-kangmu melawanku."
Han Han meniru gurunya yang duduk di atas batu. Gurunya telah memasukkan tangan kirinya ke dalam air, sebatas siku. Ia pun lalu mengulur tangan kanannya, dimasukkan ke dalam air telaga di dekat batu yang didudukinya itu. Terkejutlah ia ketika merasa betapa air itu amat dinginnya. Tadinya, ia mengira bahwa memang air telaga itu dingin, akan tetapi ketika merasa betapa air itu makin lama makin dingin, tahulah dia bahwa rasa dingin itu adalah akibat pengerahan tenaga sakti Im-kang dari gurunya yang lihai.
"Pertahankan dan lawanlah."
Gurunya berkata dan tiba-tiba air itu menjadi begitu dinginnya sampai membeku dan berubah menjadi es sehingga tangan Han Han tidak dapat dicabut kembali. Han Han terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Dia maklum bahwa gurunya mempergunakan Im-kang dan untuk melawannya ia lalu mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga Yang-kang. Seperti telah diketahui, dahulu Han Han melatih Yang-kang menurut ilmu Hwi-yang Sin-ciang dari Si Kepala Botak Gak Liat dengan merendam tangan di air masakan batu bintang yang mendidih, bahkan di dalam api, kemudian ia memperdalam dan memperkuat sin-kangnya di Pulau Es. Biarpun bertahun-tahun melatih diri dengan sin-kang, kiranya tingkat Han Han tidak akan mungkin dapat melawan tingkat Khu Siauw Bwee murid Bu Kek Siansu ke tiga ini kalau tidak terjadi ketidakwajaran dalam tubuh Han Han sebagai akibat malam terkutuk ketika ibu dan encinya diperkosa para perwira Mancu itu.
Karena ia dibenturkan ke dinding pada saat ia dalam keadaan marah, mendendam dan batinnya tertekan, terjadi kekacauan susunan syaraf dalam tubuhnya yang mendatangkan kekuatan-kekuatan mukjizat. Air yang tadinya membeku dan amat dingin itu, kini makin lama makin mencair dan hawa dingin perlahan-lahan berubah menjadi hangat, bahkan tak lama kemudian, setelah mengerahkan seluruh tenaga sehingga mukanya berubah merah, air itu mulai mendidih. Hanya air di sekitar kedua tangan mereka saja, yaitu yang dekat batu, yang terpengaruh sin-kang Han Han yang amat hebat. Khu Siauw Bwee diam-diam menjadi kaget, heran dan kagum sekali. Akan tetapi nenek ini masih belum puas dan tiba-tiba ia mengubah sin-kangnya, mengerahkan Yang-kang sehingga air itu menjadi makin panas mendidih yang takkan tertahankan oleh kulit manusia biasa.
"Lawanlah yang ini."
Serunya dengan pandang mata berseri saking girangnya. Ketika merasa betapa air itu menjadi amat panas dan wajah gurunya yang tadi agak pucat kehijauan ketika mengerahkan Im-kang kini berubah menjadi merah, tahulah Han Han bahwa gurunya sudah mengubah sin-kangnya, menjadi Yang-kang. Maka dia pun cepat mengubah sin-kangnya, menjadi tenaga dingin yang amat kuat untuk melawan tenaga panas gurunya. Pertandingan adu tenaga sakti ini berjalan amat lama, namun akhirnya nenek itu merasa puas dan harus mengakui bahwa muridnya ini memiliki dasar kekuatan sin-kang yang tidak lumrah. Ia menghentikan ujiannya lalu berkata.
"Sekarang kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat yang kuciptakan semenjak kakiku buntung."
Nenek itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking dan.... lenyaplah dia dari atas batu di depan Han Han. Pemuda ini terkejut dan cepat memandang ke depan.
"Aihhhhh....."
Ia melongo dan matanya terbelalak, mulutnya ternganga ketika akhirnya ia dapat menemukan gurunya dengan pandang matanya.
Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat melihat dengan jelas dan hanya melihat sinar dan bayangan berkelebatan dari batu ke batu, cepatnya bukan main, seperti kilat menyambar. Bayangan gurunya itu seperti sebuah mainan bola yang dilontarkan kian kemari, dari sebuah batu melayang ke batu lain, akan tetapi tidak ada sedetik lamanya hinggap di sebuah batu karena begitu menotolkan kaki turun terus mencelat lagi ke jurusan lain, kadang-kadang ke belakang, ke depan, ke kiri dan ada kalanya ke atas. Kecepatannya melebihi gerakan seekor burung walet. Makin dipandang, makin pening dan berkunang pandang mata Han Han. Tiba-tiba sinar berkelabatan lenyap dan gurunya telah berdiri kembali di sampingnya, di atas batu sambil tersenyum, sedikit pun tidak kelihatan lelah.
"Bagaimana pendapatmu?"
Han Han menjatuhkan diri berlutut.
"Hebat luar biasa.... akan tetapi, bagaimana teecu akan dapat mempelajari ilmu sehebat itu, subo?"
"Bisa, tentu saja bisa, apalagi engkau memiliki kemauan keras dan memiliki sin-kang yang lebih dari cukup."
"Teecu amat bodoh, subo. Dua buah kitab dari suhu dan subo Siang-mo-kiam saja yang sudah teecu hafalkan di luar kepala, hanya dapat teecu petik tentang pelajaran sin-kangnya, sedangkan pelajaran ilmu silat pedangnya teecu sama sekali tidak dapat melatihnya,"
Kata Han Han menggeleng kepala.
"Karena engkau belum punya dasar, Han-ji. Akan tetapi setelah engkau berlatih dengan ilmuku, kelak engkau akan dapat mempelajari ilmu silat yang bagaimanapun juga. Dengar baik-baik. Ilmu ciptaanku ini kuberi nama Soan-hong-lui-kun (Ilmu Silat Badai dan Kilat). Aku menciptakannya menjadi gerakan-gerakan kilat yang berdasarkan ilmu gaya yang hanya dimiliki dan dirasakan oleh orang buntung berkaki satu seperti kita. Karena kaki kita buntung dan hanya sebuah, tiap kali kita bergerak lalu menghentikan gerakan kita tidak dapat langsung berdiri tegak seperti orang berkaki utuh. Kita akan terdorong oleh gerakan kita sendiri sehingga terhuyung ke depan, ke belakang atau ke kanan kiri menurut gerak dorongan dari mana kita datang, selalu bergoyang-goyang untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. Sebuah bola pun akan lama sekali baru dapat diam, dan begitu bergerak, bola itu akan bergoyang-goyang ke kanan kiri sampai dapat keseimbangan baru diam. Nah, gaya inilah yang kupakai sebagai landasan sehingga terciptalah Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun ini. Ilmu ini hanya dapat dikuasai dan dirasakan oleh manusia kaki satu, sukar diselami dan dipelajari oleh orang yang kakinya utuh."
Han Han mengangguk-angguk. Pemuda ini memang pada dasarnya memiliki kecerdikan yang menonjol, apalagi perubahan mukjizat dalam dirinya membuat ia memiliki kekuatan otak yang tidak lumrah manusia maka sekali mendengarkan ia sudah dapat menangkap inti sari yang dimaksudkan oleh penjelasan Khu Siauw Bwee.
"Karena ada tenaga mendorong oleh gerakan pertama, maka timbullah daya tolak yang dapat kita pergunakan untuk bergerak lagi, atau menyambung gerakan pertama kita itu. Gerakan berlandaskan daya tolak ini lebih hebat karena kita dapat meminjam gerak dorongan ditambah gin-kang kita sendiri, maka begitu kita menggunakan daya tolak untuk melakukan gerakan ke dua, gerakan kita akan menjadi lebih cepat. Gerakan ke tiga, ke empat dan selanjutnya akan makin cepat. Seperti sebuah bola karet yang kita ketukkan ke atas lantai dengan tangan, makin lama akan melambung makin cepat, Demikian pula gerak silat dari Soan-hong-lui-kun ini memiliki kecepatan yang tak terbatas. Karena itu, hal yang paling sukar dan paling penting dikuasai adalah penggunaan jurus-jurus yang akan menahan gerakan daya tolak berantai ini. Karena kalau hal ini tidak kau kuasai benar-benar, engkau akan menjadi permainan dari kekuatan daya tolak berantai itu sehingga engkau sendiri takkan dapat menghentikan gerakanmu sehingga tentu saja engkau akan mudah celaka di tangan lawan. Soan-hong-lui-kun ini kubagi menjadi tujuh puluh dua jurus, dan nanti mulai jurus ke tiga puluh tujuh, separuh dari ilmu silat ini, engkau akan mulai kulatih dengan penguasaan gerakan yang timbul dari daya tolak berantai ini."
Demikianlah, mulai saat itu, Han Han digembleng oleh nenek buntung yang luar biasa itu, sedikit demi sedikit, sejurus demi sejurus. Han Han memiliki kemauan yang hebat dan ketekunan yang mentakjubkan, sehingga biarpun nenek itu sendiri amat bersemangat melatih muridnya, ia masih kadang-kadang menggeleng kepala penuh kagum menyaksikan ketekunan dan keuletan muridnya. Seperti juga dalam hal kekuatan sin-kang, ia harus mengakui bahwa dalam hal kebulatan tekad dan besarnya kemauan, ia tidak dapat menandingi muridnya ini. Makin sayanglah ia kepada Han Han, apalagi ketika muridnya itu ia minta menceritakan riwayatnya, ia merasa betapa riwayat hidup muridnya itu malah lebih mengenaskan daripada riwayatnya sendiri.
Ia melihat munculnya seorang manusia yang lebih besar daripada dia, dan bertekad untuk menurunkan semua kepandaiannya kepada Han Han. Makin lama Han Han berlatih di bawah gemblengan Khu Siauw Bwee, makin terbukalah matanya bahwa sebetulnya, sebelum ia berlatih silat di bawah bimbingan gurunya yang baru, ia telah mempunyai banyak ilmu, hanya ilmu-ilmu itu terpendam dan hanya diketahui teorinya belaka. Kini, ia mulai dapat melatih semua ilmu yang pemah ia pelajari, bahkan permainan pedang dari kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis yang bernama Siang-mo Kiam-sut, yaitu penggabungan dari ilmu Pedang Iblis Jantan dan Iblis Betina, kini dapat ia mainkan dengan tongkatnya.
Setahun lamanya Han Han tekun melatih diri dengan Ilmu Soan-hong-lui-kun. Ketekunannya sungguh tidak lumrah manusia. Dia tidak peduli akan siang atau malam, pagi maupun sore, terus berlatih, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar, hanya tidur kalau matanya sudah tak mau dibuka, dan hanya mengaso kalau tubuhnya sudah tidak dapat digerakkannya lagi saking lelahnya. Dengan semangat dan ketekunan seperti ini, tidaklah mengherankan kalau dalam waktu setahun saja sudah dapat menguasai ilmu silat itu dan pada pagi hari itu tubuhnya sudah tampak berkelebatan dari batu ke batu dan dia sudah berlatih Ilmu Silat Soan-hong-liu-kun. Tubuh yang berkelebatan seperti hampir tidak tampak, karena terlalu cepat.
Baru saja tampak di atas batu sini, tahu-tahu sudah lenyap dan berada di batu sebelah sana, terus bergerak dan terus berpindah, tongkat di tangan kiri dan cara ia meloncat seperti terbang saja, makin lama makin cepat. Biarpun dia sedung berlatih dengan gerakan-gerakan kilat, pandang matanya yang amat tajam dapat melihat berkelebatnya bayangan yang telah berdiri di atas batu dan memperhatikan gerakan-gerakannya. Han Han makin bersemangat dan ia mulai bersilat lagi, mengulang dari jurus pertama sampai jurus terakhir, tujuh puluh dua jurus ia mainkan sebaik-baiknya. Diam-diam Khu Siauw Bwee kagum dan terkejut bukan main. Pemuda yang menjadi muridnya itu benar-benar amat luar biasa. Ilmu yang ia ciptakan, selama puluhan tahun, kini dapat dikuasai muridnya dalam waktu setahun saja.
"Bagus, muridku Han Han. Bagus sekali. Engkau telah berhasil menguasai Soan-hong-lui-kun hanya dalam waktu setahun. Dengan ilmu ini, kiranya akan jarang dapat ditemukan orang yang akan mampu menandingimu. Betapapun juga, di dunia terdapat banyak orang lihai dan sayanglah kalau semua ilmu yang pernah kau pelajari teorinya tidak kau latih prakteknya. Karena itu, mulai sekarang kau latihiah semua ilmu yang kau ketahui, ditambah ilmu silat yang pernah kau pelalari, agar kau menguasai semua silat tinggi sehingga kelak tidak canggung menghadapi lawan berat."
Han Han berlutut di depan gurunya.
"Terima kasih atas semua petunjuk subo dan teecu akan mentaati semua perintah subo."
Demikianlah, mulai hari itu, Han Han melatih ilmu silat-ilmu silat tinggi yang pernah ia pelajari dari kitab-kitab di Pulau Es, juga Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut ia sempurnakan latihannya di bawah petunjuk gurunya.
Daerah Mancuria bagian timur laut adalah menjadi pusat suka bangsa Khitan yang pada masa itu telah hampir musnah dan masuk menjadi bangsa Mancu yang makin berkembang dan berkuasa. Banyak di antara keluarga bekas Kerajaan Khitan menjadi pembesar-pembesar Mancu, dan karena kaum wanita Khitan banyak yang cantik jelita, maka sebagian besar di antara mereka ini menikah, sebagian besar secara paksa, dengan para Pangeran Mancu. Betapapun juga, diam-diam suku bangsa Khitan, terutama sekali kaum bangsawannya yang masih berdarah keluarga bekas Kerajaan Khitan, masih memiliki keangkuhan dan mengangkat tinggi derajat mereka sebagai bangsa Khitan.
Di kaki Pegunungan Cang-kwang-cai-san, di mana mengalir air Sungai Sungari yang bersumber dari gunung itu, terdapatlah sebidang tanah pekuburan yang berisi kuburan keluarga Kerajaan Khitan. Di sini pula dikubur jenazah tokoh-tokoh besar, bukan hanya besar bagi bangsa Khitan, melainkan juga tokoh-tokoh besar yang dikenal di dunia kang-ouw. Di sinilah terdapat kuburan pendekar-pendekar sakti Suling Emas dan isterinya yang bernama Yalina, Ratu Khitan. Bahkan di situ pula kuburan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam, puteri Suling Emas dan Ratu Yalina, di samping kuburan keluarga kerajaan dan para tokoh terpenting dari Kerajaan Khitan. Akan tetapi, di antara semua kuburan kuno, yang paiing menyeramkan adalah kuburan ayah ibu dan puteri mereka, yaitu kuburan Suling Emas, Ratu Yalina dan Mutiara Hitam.
Hanya kuburan keluarga Suling Emas inilah yang masih terpelihara baik-baik sekalipun kini suku bangsa Khitan telah lenyap dan dilebur menjadi bangsa Mancu. Sunyi sekali keadaan di tanah kuburan itu. Tanah dan pohon-pohon di sekelilingnya kelihatan gundul dan di mana-mana mulai tampak air membeku keputihan, karena musim salju hampir tiba. Air Sungai Sungari yang mengalir tepat di depan tanah kuburan, kelihatan malas karena hampir membeku oleh hawa dingin. Keadaan amat sunyi, tidak ada tampak seekor pun burung, seolah-olah alam di sekeliling kuburan ikut mati seperti mereka yang dikubur di situ. Salju yang mulai terbentuk mengecat seluruh tempat menjadi keputih-putihan, putih bersih menambah sunyi.
Dilihat sepintas lalu, semua orang tentu akan mengira bahwa tempat sunyi seperti itu tidak ada penghuninya. Akan tetapi, kadang-kadang tampak asap mengepul dari genteng pondok yang cukup kokoh dan megah, yang berdiri di antara batu-batu nisan di tanah kuburan itu. Dan melihat dupa yang selalu berkelap-kelip di depan bongpai (batu nisan) keluarga Suling Emas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di situ tidaklah tanpa penghuni seperti orang kira. Dan sesungguhnyalah. Pondok itu dahulu dibuat oleh keluarga Kerajaan Khitan menjadi tempat para penjaga tanah kuburan. Bahkan tanah kuburan itu sendiri tidak selalu sunyi ketika Kerajaan Khitan masih jaya. Akan tetapi, semenjak bangsa Khitan terdesak dan dilebur menjadi bangsa Mancu yang makin berkuasa sehingga Kerajaan Khitan pun lenyap, di tempat ini tidak dilakukan penjagaan lagi seperti dahulu, tidak pula dikunjungi keluarga raja yang berziarah.
Bahkan kuburan itu tentu akan terlantar dan rusak kalau saja tidak muncul seorang kakek tua bongkok yang menjaga tanah pekuburan keluarga Suling Emas itu. Dan sejak kakek bongkok ini menjaga di situ, kuburan keluarga Suling Emas menjadi terawat baik dan tidak pernah sedetik pun kakek itu meninggalkan tanah pekuburan yang dijaganya dengan penuh kesetiaan. Kakek ini menjadi satu-satunya orang yang tinggal di daerah dingin bersalju ini, dan asap yang kadang-kadang nampak berkepul adalah asap dari dapur di kala ia memasak makanan. Semenjak kakek bongkok menjaga tanah kuburan itu, tempat itu menjadi tempat angker dan keramat, ditakuti orang karena kakek bongkok itu ternyata amat galak dan juga amat lihai sehingga siapa pun yang berani mendatangi tanah kuburan tentu akan dibunuhnya.
Mula-mula, begitu mendengar akan runtuhnya suku bangsa Khitan dan tanah kuburan keluarga Suling Emas itu tidak terjaga lagi oleh tentara Khitan, banyak orang-orang kang-ouw mencoba datang ke tanah kuburan itu karena mereka mendengar bahwa pusaka peninggalan keluarga Suling Emas berupa kitab-kitab dan senjata-senjata, terutama senjata Suling Emas sendiri berupa sebatang suling terbuat daripada emas dan sebuah kitab, berada di tempat itu. Mereka ini berusaha untuk mendapatkan pusaka peninggalan. Akan tetapi banyak sekali tokoh kang-ouw datang ke tempat itu untuk mengantar nyawa. Banyak yang tewas di tangan kakek bongkok dan banyak pula yang dipukul mundur dan terpaksa melarikan diri membawa luka-luka berat.
(Lanjut ke Jilid 25)
Pendekar Super Sakti (Serial 07 - Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
Semenjak itu, tidak ada lagi orang yang berani coba-coba mengganggu kuburan keluarga Suling Emas, bahkan bangsa Mancu dan suku bangsa lainnya tidak ada yang berani mendekati tempat itu. Selama puluhan tahun ini, hanya ada dua buah tempat yang selalu menarik perhatian orang-orang kang-ouw, yaitu Pulau Es, dan kuburan keluarga Suling Emas. Akan tetapi kedua-duanya amat sukar didatangi. Yang pertama, Pulau Es, sungguhpun kabarnya menjadi tempat tinggal Koai-lojin yang tak mau mengganggu orang bahkan suka membagi ilmu kepada siapa saja, namun amat sukar dicari karena tersembunyi di antara pulau-pulau yang banyak terdapat di utara, di samping sukarnya pelayaran di lautan yang kadang-kadang penuh es dan salju itu.
Yang ke dua adalah tanah kuburan ini yang biarpun lebih mudah dicari, namun dijaga oleh kakek bongkok yang memiliki kesaktian yang sukar dilawan dan galaknya melebihi harimau menjaga anak-anaknya. Akan tetapi, pada suatu pagi yang cerah, tampak sebuah joli (tandu) yang dipikul dua orang laki-laki tinggi besar berlari cepat menempuh hujan salju rintik-rintik menuju ke tanah kuburan di tepi Sungai Sungari. Dari jauh sudah tampak tanah pekuburan keluarga Suling Emas yang sunyi. Dua orang pemikul tandu itu adalah orang-orang Mancu yang bertubuh kuat, namun mereka kelihatan lelah dan napas mereka terengah-engah ketika mereka tiba di tepi sungai, masih agak jauh dari tanah kuburan.
"Berhenti di sini."
Terdengar suara nyaring merdu dari dalam joli. Dua orang pemanggul joli berhenti dan menurunkan joli. Tirai joli tersingkap dan tampaklah wajah seorang gadis yang amat cantik jelita, berhidung kecil mancung dengan dagu meruncing dan sepasang mata lebar terbelalak indah dan bening. Tubuh yang ramping itu keluar dan ternyata dia seorang dara jelita yang masih amat muda, tubuhnya yang ramping berpakaian indah, pakaian seorang Mancu dengan baju panjang berlengan pendek sehingga tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sebatas siku.
Rambutnya yang hitam panjang dan subur tertutup sebuah topi putih dari bulu beruang, dan di atas topi terhias sehelai bulu burung, tanda bahwa dia adalah seorang pemimpin pengawal Kerajaan Mancu. Rambutnya dikat dengan pita kuning di belakang tengkuk, dan sepasang telinganya terhias anting-anting emas, demikian pula kedua pergelangan tangannya. Ketika turun, dara ini membawa sebatang payung yang gagangnya melengkung dan ujungnya runcing mengkilap. Dara ini bukan lain adalah Puteri Nirahai, Puteri Mancu yang amat lihai sehingga dia menjadi pimpinan para pengawal istana"
Kalau melihat mata yang lebar indah, bibir yang tipis merah basah, gerak-geriknya yang lemah gemulai, takkan ada orang mengira bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Kalian berdua pergilah sembunyi di balik batu gunung itu dan jangan sekali-kali berani menampakkan diri sebelum kupanggil,"
Kata pula Nirahai dalam bahasa Mancu kepada dua orang itu. Dua orang tinggi besar itu adalah ahli-ahli petunjuk jalan yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian tinggi, kakak beradik yang merupakan tokoh-tokoh terkenal pula di daerah utara ini. Akan tetapi ketika menerima perintah dari "Sang Puteri"
Untuk mengantarnya ke pekuburan keluarga Suling Emas, mereka ketakutan setengah mati dan dengan hati berat mereka terpaksa mengantarkan Nirahai. Kini, pada saat rasa takut mereka membuat wajah mereka pucat dan napas mereka terengah, mendengar perintah Nirahai agar mereka bersembunyi, hati mereka lega dan girang sekali. Setelah memberi hormat mereka berdua lalu melompat dan bersembunyi di belakang sebuah batu besar, meninggalkan joli di dekat sungai.
Nirahai bersikap hati-hati dan dia tidak berani lancang menuju ke tanah kuburan. Dengan bersembunyi di balik sebuah batu yang menonjol di pinggir sungai, ia mengintai ke arah pondok di tengah kuburan. Keadaan amat sunyi. Tiba-tiba pandang mata Nirahai yang tajam sekali dapat melihat munculnya sebuah perahu kecil yang melawan arus air sungai. Karena air sungai yang dingin hampir membeku itu arusnya lambat sekali, maka perahu itu bergerak cepat, didayung oleh dua pasang tangan yang kuat. Mereka itu adalah dua orang kakek bertubuh tinggi besar berkulit hitam. Nirahai tidak mengenal mereka, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka itu tentu bangsa Mongol Utara, melihat dari pakaian mereka yang tebal terbuat dari bulu binatang dan cara mereka menggelung rambut mereka.
Diam-diam Puteri Mancu ini memperhatikan dan ia melihat betapa dua orang Mongol itu tiba-tiba melompat ke darat, seorang di antara mereka memegang sehelai tali panjang yang mengikat ujung perahu. Setelah keduanya mendarat dengan sebuah loncatan cepat dan jauh yang membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang pandai, si pemegang tali menggerakkan tenaganya dan perahu itu seperti dilontarkan oleh angin menuju ke arah mereka. Kakek kedua mengangkat tangan kiri menyambut perahu itu dengan mudah, lalu meletakkan perahu ke atas tanah. Melihat gerakan mereka, Nirahai maklum bahwa kedua orang kakek Mongol itu memiliki tenaga yang besar.
"Haiiiii.... Setan Bongkok...."
Keluarlah, kami datang menagih hutangmu sepuluh tahun yang lalu."
Seorang di antara dua orang kakek itu berseru, suaranya nyaring bergema dan ia menggunakan bahasa Mongol yang dimengerti baik oleh Nirahai. Suara yang keras itu menggema sampai lama, kemudian terdengar suara orang batuk-batuk dari dalam pondok di tengah tanah pekuburan, disusul suara orang yang menggunakan bahasa Mongol yang kaku.
"Hemmm, Sepasang Anjing Hitam padang pasir Go-bi. Pergilah sebelum terlambat. Aku tidak suka mengotorkan tempat suci ini dengan darah kalian. Pergilah."
Mendengar suara itu, Nirahai merasa tegang hatinya, jantungnya berdebar. Dia belum pernah melihat kakek bongkok penjaga tanah kuburan keluarga Suling Emas, akan tetapi sudah mendengar tentang kakek itu yang kabarnya memiliki kesaktian hebat, galak dan mati-matian menjaga dan membela kuburan itu. Kini, baru mendengar suaranya saja sudah menyatakan bahwa kakek itu seorang yang keras, juga tinggi hati, namun amat menghormati kuburan itu.
Nama Sepasang Anjing Hitam dari padang pasir Go-bi juga amat terkenal. Dua orang jagoan Mongol itu merupakan datuk-datuk di daerah padang pasir Go-bi yang amat disegani sehingga setiap rombongan kafilah yang melalui daerah ini tentu akan meninggalkan "tanda persahabatan"
Di depan gua-gua di kaki bukit kecil yang disebut Bukit Anjing Hitam, untuk menghormati dua orang tokoh itu sehingga rombongan mereka takkan terganggu. Akan tetapi, sekarang kedua orang datuk padang pasir itu tidak dipandang mata sama sekali oleh penjaga kuburan keluarga Suling Emas, dan mendengar ucapan kakek dari dalam pondok, jelas bahwa dua orang Mongol tinggi besar itu pernah dikalahkan sepuluh tahun yang lalu.
"Heh, Si Bongkok setan tua bangka yang sombong. Selain sombong, engkau pun pelit sekali. Untuk apakah sekalian pusaka dan kitab peninggalan Keluarga Suling Emas untukmu? Engkau sudah hampir mampus. Berikan kepada kami sebuah dua buah pusaka sebagai pengganti nyawamu. Kalau engkau masih pelit, sekali ini kami tidak akan memberi ampun kepadamu."
Kakek Mongol yang ada tahi lalatnya di ujung hidung dan bertubuh tinggi besar, berkata dengan suara keras. Sedangkan orang ke dua, yang lebih tinggi, memandang tajam ke arah pondok, siap menghadapi kakek penjaga kuburan. Setelah ucapan itu keluar dari mulut orang Mongol penuh tantangan, keadaan sunyi sekali dan terdengar suara
"gerrriiittttt."
Disusul terbukanya pintu pondok. Suara pintu terbuka ini memecah kesunyian dan terdengar menyeramkan, seolah-olah yang terbuka adalah sebuah peti mati. Kemudian muncullah seorang kakek bongkok di ambang pintu. Setibanya di depan pintu pondok, ia berhenti sebentar dan mengangkat mukanya. Nirahai bergidik ketika melihat betapa sepasang mata tua itu seolah-olah merupakan sinar yang menerangi tempat-tempat yang dipandang mata itu, bahkan ia merasa seolah-olah tempat persembunyiannya ketahuan ketika pandang mata kakek bongkok itu menyapu ke arah batu besar di mana ia bersembunyi. Nirahai cepat-cepat menarik diri untuk bersembunyi lebih baik, akan tetapi ia mengintai terus.
Kakek itu sebetulnya bertubuh tinggi, akan tetapi karena di punggungnya terdapat punuk yang membuat dia tidak dapat berdiri tegak dan membongkok, maka kelihatan pendek. Pakaiannya serba putih dan sederhana, juga sepatunya berwarna putih. Pakaian itu potongannya seperti pakaian pelayan, akan tetapi putih dan bersih. Wajahnya tampak kurus, alisnya tebal, kumisnya melintang ke kanan kiri dan jenggotnya menutupi dagu. Baik rambutnya, maupun rambut yang tumbuh di pelipis menjuntai ke bawah, sampai kumis dan jenggotnya, sudah hampir putih semua. Dia berdiri dengan kedua tangan kosong, dan kini perhatiannya ditujukan kepada dua orang Mongol yang melangkah datang menghampiri kakek bongkok.
Mereka saling berhadapan, sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling memandang. Sikap kakek bongkok itu tenang akan tetapi pandang matanya jelas membayangkan kemarahan dan juga memandang rendah. Sedangkan dua orang Mongol itu biarpun memaksa diri bersikap tenang, masih saja kelihatan bahwa mereka sebetulnya jerih terhadap kakek bongkok itu. Nirahai diam-diam merasa heran. Kakek bongkok itu sama sekali tidak kelihatan seperti seorang sakti, bahkan kelihatan lebib pantas menjadi seorang pelayan tua yang sudah patut dipensiun. Dara Mancu ini tidak ingat bahwa dia sendiri pun tidak pantas menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, lebih patut menjadi seorang puteri yang lemah lembut dan menggairahkan.
"Orang tua, benar-benarkah engkau mempertahankan semua pusaka itu? Engkau telah mendengar nama Siang-hek-sin-kauw (Sepasang Anjing Hitam Sakti) yang menjadi sahabat seluruh orang gagah di utara dan barat"
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami mengulangi permintaan kami sepuluh tahun yang lalu, hanya ingin meminjam sebuah dua buah kitab peninggalan Keluarga Suling Emas, meminjam selama beberapa bulan saja, pasti akan kami kembalikan."
Orang Mongol yang lebih jangkung berkata dan mendengar nadanya, jelas kini bahwa setelah berhadapan, dua orang Mongol itu bersikap lebih lunak.
"Selagi aku hidup, tak seorang pun manusia boleh menjamah pusaka-pusaka keluarga majikanku. Setelah aku mati pun, rohku akan tetap menjaga di sini. Pergilah."
Ngeri hati Nirahai mendengar ucapan itu, dan diam-diam gadis ini mencari akal bagaimana ia dapat berhasil menghadapi kakek bongkok yang galak itu. Ia mengintai terus dan ingin lebih dulu menyaksikan kelihaian kakek bongkok seperti yang sudah ia dengar akan tetapi belum pernah ia saksikan.
"Setan Bongkok keparat! Kalau begitu terpaksa kami menggunakan kekerasan."
Bentak orang Mongol bertahi lalat di hidung. Bersama adiknya, dia lalu siap untuk menyerang. Tubuh yang bongkok itu makin bongkok, mukanya tunduk, matanya terbuka dan melirik ke atas sehingga dipandang dari depan, sikap kakek itu seperti seekor lembu marah memasang tanduk siap menghadapi lawan yang bagaimanapun juga.
"Kalian yang akan mati. Sekali ini aku tidak akan membiarkan kalian hidup."
Jawab kakek itu.
"Setan Bongkok, sambutlah."
Tiba-tiba orang Mongol yang bertahi lalat di hidungnya berseru, tubuhnya merendah sampai hampir berjongkok, dan kedua lengannya didorongkan ke depan ke arah kakek bongkok. Terdengar bunyi tulang berkerotokan dan angin yang kuat menyambar ke arah kakek bongkok. Nirahai terkejut sekali. Ia dapat menduga bahwa pukulan atau dorongan kedua lengan orang Mongol itu amat lihai, merupakan pukulan tenaga sin-kang yang kuat sekali. Belum pernah ia melihat atau mendengar pukulan jarak jauh dengan tenaga sakti sampai mengeluarkan bunyi berkerotokan seperti itu. Kakek bongkok kelihatan tercengang juga, akan tetapi dengan tenang sekali tubuhnya sudah bergerak ke kiri, tahu-tahu tubuhnya sudah miring mengelak dan lengannya bergerak menangkis, yaitu dengan sambaran angin pukulan menangkis serangan lawan.
"Hemmm.... bukankah ini Thai-lek-kang....?"
Terdengar kakek bongkok berseru heran.
"Setan Bongkok mampuslah."
Bentak lawan ke dua yang bertubuh tinggi. Tubuh orang Mongol ke dua ini sudah bergerak ke depan dengan cepat sekali dan tahu-tahu tubuh itu berpusing makin lama makin cepat, sambil berpusingan cepat sekali tubuh itu menerjang ke arah kakek bongkok. Tubuh orang Mongol itu lenyap, yang tampak hanya bayangan berpusing dan kadang-kadang tampak kaki tangannya bergerak keluar dari bayangan yang berputar cepat seperti kitiran angin itu.
"Ayaaaaa, bukankah ini pun ilmu dari Thai-lek Kauw-ong yang disebut Soan-hong-sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai)?"
Kakek bongkok itu berseru kaget dan kembali tubuhnya bergerak dan kini Nirahai merasa kagum karena kakek bongkok itu ternyata dapat bergerak amat lincahnya.
"Ha-ha-ha, Setan Bongkok. Apa kau kira kami selama sepuluh tahun ini tinggal diam saja? Ha-ha-ha."
Orang Mongol bertahi lalat di hidung menerjang lagi dengan pukulan sakti Thai-lek-kang sambil berjongkok, sedangkan adiknya tetap menyerang dengan ilmu silat yang aneh itu, yaitu sambil memutar-mutar tubuh amat cepatnya. Sejenak kakek bongkok itu terdesak dan menghindar ke sana ke mari sambil mengomel,
"Hemmm, Thai-lek Kauw-ong sudah lama mampus, kini ilmu-ilmunya yang jahat muncul lagi. Kim-siauw Locianpwe (Orang Sakti Suling Emas), maaf, terpaksa boanpwe (aku yang rendah) mengotorkan pusaka locianpwe."
Dua orang Mongol itu sudah merasa girang karena serangan-serangan mereka yang benar-benar amat luar biasa dan dahsyat itu berhasil mendesak kakek bongkok. Mereka ingin membunuh penjaga kuburan ini agar mereka dapat menggeledah dan mencari pusaka-pusaka peninggalan keluarga Suling Emas di tempat itu.
Dengan penuh kepercayaan akan kelihaian ilmu-ilmu mereka yang baru, yaitu ilmu pukulan Thai-lek-kang (Tenaga Sakti Halilintar) dan ilmu Silat Soan-hong-sin-ciang, mereka mendesak lebih keras lagi. Kedua macam ilmu ini sebetulnya memang sudah lama lenyap dari dunia persilatan. Dahulu ilmu-ilmu ini dimiliki oleh Thai-lek Kauw-ong yang pernah bertanding melawan Suling Emas dan dikalahkan (baca cerita Mutiara Hitam), dan semenjak Thai-lek Kauw-ong lenyap dari dunia persilatan, ilmu-ilmunya pun turut lenyap. Akan tetapi ternyata kini ilmu-ilmu yang lihai itu telah terjatuh ke tangan Sepasang Anjing Hitam gurun pasir Go-bi dan begitu melihat ilmu-ilmu ini terus mengenalnya membuktikan pengetahuan yang luas kakek bongkok itu yang lihai.
Kedua orang Mongol yang merasa girang karena yakin akan menang itu tiba-tiba mengeluarkan suara kaget disusul jerit melengking yang keluar dari mulut mereka ketika berkelebat sinar kuning menyilaukan mata. Tubuh mereka roboh terpelanting dan ternyata kedua orang Mongol itu telah tewas. Nirahai terbelalak memandang, penuh kagum. Tangan kiri kakek bongkok itu memegang sebatang suling emas, sedangkan tangan kanannya memegang sebuah kipas. Itulah sepasang senjata dari pendekar sakti Suling Emas seperti ia dengar dari dongeng-dongeng lama. Kakek bongkok sejenak berdiri bongkok memandang dua sosok mayat bekas lawannya, kemudian mencium kipas dan suling bergantian sambil berkata,
"Kim-siauw Locianpwe, sampai sekarang pun senjata-senjata pusaka locianpwe masih terlalu ampuh bagi orang-orang jahat."
Setelah berkata demikian kakek bongkok itu menggerakkan kedua tangan dan lenyaplah suling dan kipas itu di balik baju pelayannya.
Kemudian ia mengempit mayat dua orang Mongol itu, membawanya ke dekat perahu mereka tadi. Tali tambang perahu ia gunakan untuk mengikat dua sosok mayat bersama perahunya erat-erat, kemudian sekali angkat dan melontarkan, perahu dengan dua sosok mayat itu terlempar jauh ke tengah sungai dan perlahan-lahan perahu itu terbawa arus sungai yang lamban. Kakek bongkok memandang sejenak, kemudian ia kembali ke depan pondok tempat pertempuran tadi, menggunakan sepatunya menggosok-gosok sampai bersih tetesan darah yang mengotori tempat itu. Melihat kakek itu menggosok-gosok dan membersihkan tanah yang terkena darah dengan teliti dan hati-hati sekali. Nirahai memperhatikan dan menjenguk dari balik batu. Kakek itu berdiri membelakanginya, maka ia berani menjenguk keluar.
Ia tidak tahu betapa kakek bongkok itu sejak tadi sudah menduga akan kehadirannya dan betapa kakek itu kini sambil membelakanginya dan menghapus darah dengan sepatu, sebenarnya memperhatikan belakang penuh selidik. Tiba-tiba tubuh kakek bongkok yang membelakanginya itu bergerak melayang ke belakang seperti seekor burung garuda menyambar kelinci, kakinya menendang dan kedua tangannya mencengkeram. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang mengintai itu seorang dara, ia berteriak kaget dan tubuhnya membalik cepat, membuat gerakan poksai beberapa kali dan meloncat turun ke atas tanah, memandang dengan mata terbelalak kepada Nirahai yang berdiri tenang sambil tersenyum. Mata kakek itu menjelajahi muka dan pakaian Nirahai, kemudian mengerling ke arah joli kosong yang indah akan tetapi tanpa pemanggul itu.
"Nona, mau apakah Nona datang ke tempat terlarang ini?"
Kakek itu marah sekali melihat ada orang berani mendatangi tempat yang baginya suci itu, akan tetapi karena pelanggarnya seorang dara muda, ia menjadi tidak enak untuk bersikap kasar. Hanya pandang matanya yang bengis. Nirahai tersenyum manis.
"Orang tua, bukankah engkau penjaga kuburan keluarga pendekar besar Suling Emas? Aku datang untuk berziarah, untuk bersembahyang di depan kuburan para pendekar."
"Hemmm, sudah bertahun-tahun tempat suci ini menjadi tempat terlarang, mana mungkin tempat suci ini dikotorkan sembarang orang yang hendak berziarah? Engkau ini gadis muda berani lancang mendatangi tempat terlarang di sini, siapa kau?"
Nirahai masih tersenyum, sikapnya sabar akan tetapi sebetulnya matanya ingin sekali dapat menembus baju kakek itu untuk melihat suling emas yang tadi ia lihat sekelebatan ketika kakek ini mempergunakannya untuk merobohkan dua orang Mongol. Suling itulah yang ingin ia dapatkan. Jauh-jauh ia datang dengan susah payah hanya untuk mendapatkan suling itu. Senjata pusaka dari pendekar sakti Suling Emas"
Dengan pusaka itu, agaknya akan mudah baginya menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang masih belum mau tunduk, bahkan yang kini berpusat di barat, di Secuan, membantu Bu Sam Kwi"
"Kakek yang baik, aku adalah Puteri Nirahai."
"Puteri? Puteri Mancu? Masih ada hubungan apa dengan mendiang Pangeran Dorgan?"
Kakek ini bertanya, alisnya yang banyak putihnya itu berkerut, matanya memandang tajam.
"Mendiang Pangeran Dorgan adalah masih Kakekku, Paman Kakekku. Aku adalah puteri Kaisar yang sekarang."
Makin tidak enak hati kakek itu dan terpaksa ia lalu membungkuk dengan sikap normat.
"Ah, kiranya Paduka ini puteri Kaisar Kang Hsi? Maaf, saya tidak dapat menyambut Paduka sepantasnya karena tempat ini adalah kuburan, tempat suci. Akan tetapi, sungguh saya merasa heran, mengapa Paduka hendak berziarah di tanah kuburan ini? Yang terkubur di sini adalah keluarga Kerajaan Khitan, keluarga pendekar sakti Suling Emas...."
"Engkau benar, orang tua. Ayahku, Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Mancu, memang tidak mempunyai hubungan dengan tanah pekuburan ini. Akan tetapi ketahuilah, Ibuku adalah seorang puteri Khitan. Ibuku termasuk seorang di antara puteri-puteri Khitan yang dipersembahkan kepada Kaisar Mancu, sehingga biarpun aku puteri Kaisar Mancu, namun aku pun mempunyai darah keturunan Khitan. Karena itu, kurasa sudah sepatutnya kalau aku berziarah dan bersembahyang di depan kuburan suci ini, Kakek yang baik."
Kakek bongkok itu mengerutkan alisnya makin dalam dan ia menggeleng-geleng kepaia.
"Kalau Paduka benar puteri Kaisar Mancu, mengapa Paduka datang sendiri tanpa pengiring? Bagaimana saya dapat membuktikan bahwa Paduka ini puteri Kaisar Mancu dan keturunan keluarga Kerajaan Khitan?"
Nirahai tersenyum.
"Orang tua, andaikata engkau menjadi seorang keluarga raja, apakah engkau juga akan suka setiap keluar dari pintu dikawal banyak orang sehingga gerakanmu tidak bebas, selalu diawasi?"
Kakek bongkok itu memandang sejenak, tidak menjawab karena ia agaknya bingung dan tidak mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.
"Orang-orang seperti kita yang sudah biasa bergerak bebas lepas seperti burung di udara dan seperti ikan di samudera, mana bisa merasa senang kalau selalu dikawal orang? Itulah sebabnya aku tidak pernah membawa pengawal biarpun aku puteri kaisar. Memang aku tidak bisa membuktikan bahwa aku puteri kaisar, akan tetapi orang tua yang baik, aku sungguh seorang yang berdarah Khitan, dan lebih daripada itu, akulah yang mewarisi ilmu kepandaian pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang kuburannya berada di sini pula."
Kakek itu mengerutkan keningnya dan memandang tajam.
"Harap Paduka tidak main-main. Kalau yang datang ke sini adalah Sepasang Pedang Iblis, saya tentu tidak akan ragu-ragu menerima sepasang manusia sinting itu sebagai pewaris ilmu mendiang Mutiara Hitam. Sudahlah, Nona. Lebih baik lekas Nona panggil dua orang pemanggul joli Nona dan cepat pergi dari tempat ini. Tempat ini bukanlah tempat pesiar bagi seorang puteri seperti Nona. Kalau orang lain yang berani datang, tentu sudah saya bunuh."
"Hemmm, seperti yang kau lakukan kepada Sepasang Anjing Hitam dari Go-bi, dua orang Mongol tadi?"
Nirahai mengejek.
"Ahhh, Paduka melihatnya?"
"Tentu saja. Sudah kukatakan bahwa aku pun seorang tokoh kang-ouw, bukan seorang puteri lemah yang doyan pelesir dan pesiar, dan aku mewarisi ilmu-ilmu Mutiara Hitam. Dan kedatanganku ke sini untuk merundingkan sesuatu denganmu."
"Bagaimana saya dapat yakin bahwa Paduka benar-benar pewaris ilmu mendiang pendekar wanita perkasa Mutiara Hitam yang mulia?"
Kakek itu berkeras tidak mau percaya.
"Crekkk."
Tangan Nirahai bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah menyambar sebatang payung berujung runcing yang tadi ia taruh di dalam joli, kakinya memasang kuda-kuda dan ia berkata sambil tersenyum.
"Bukalah matamu lebar-lebar, orang tua yang keras kepala. Kenalkah engkau dengan senjata ini?"
"Sebuah Tiat-mo-kiam...."
Kata kakek itu.
"Bukan merupakan bukti...."
"Memang bukan, akan tetapi lihat gerakan pedang payung ini."
Nirahai menggerakkan tubuh dan payungnya, bersilat dengan gerakan lincah dan dari ujung payungnya keluar angin yang berbunyi bercuitan ketika menyambar ke depan, terus mengitari sebatang pohon yang sudah kehabisan daun karena dirontokkan hawa dingin dan tinggal cabang-cabang dan rantingnya saja. Sinar terang ujung payung yang menyambar-nyambar mengintari pohon tiga kali dan terdengar suara keras ketika cabang dan ranting pohon itu tumbang semua sehingga pohon itu kini kelihatan seperti raksasa dibuntungi tangannya.
"Pat-mo Kiam-hoat....."
Kembali kakek itu berkata.
"Dan engkau mengenal ini?"
Nirahai melakukan gerakan dengan tangan kirinya, lengan kirinya bergerak seperti menari, atau lebih tepat lengan yang kecil penuh berkulit halus itu melenggang-lenggok seperti ular, kemudian dengan telapak tangan terbuka ia tiba-tiba memukul atau mendorong arah pohon yang sudah buntung cabang-cabangnya itu.
Istana Pulau Es Eps 34 Kisah Pendekar Bongkok Eps 20 Istana Pulau Es Eps 18