Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 10


Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



"Apa? Kau hendak menjumpai Suling Emas? Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak seorang pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi? Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak seorang pun dapat menemuinya."

   "Wah-wah, apa dia itu melebihi raja dan malaikat? Enci Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun juga, biar seribu kali dia menolong kita kalau dia menghendaki dipuja-puja karena pertolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau dia manusia biasa, kurasa aku akan dapat mencarinya"

   Sian Eng merasa khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia atau Bu Sin sekali pun, akan tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak pergi mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan bagaimana kalau adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andaikata benar dapat berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu Lin Lin akan menantangnya, akan menghinanya. Akan tetapi, mencegah pun ia tahu akan sia-sia belaka, apalagi sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.

   "Enci Eng, jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu dengannya. Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya seperti dewa. Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia baik sekali, Eng-cici, kiraku jauh lebih baik daripada Suling Emas."

   "Ihhhhh, kau bicara apa itu, Lin-moi? Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu? Cih, tak bermalu"

   "Hik-hik, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Tapi aku tahu, Enciku yang manis ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas yang gagah perkasa"

   "Idihhhhh, genit kau"

   Sian Eng mengejar hendak mencubit, akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas genteng. Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di atas.

   "Enci Sian Eng, aku pergi dulu"

   Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan Lin Lin yang menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah bahwa dia memuja Suling Emas? Ah, bocah itu terlalu lancang, menduga yang bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah dikatakan ia setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh pribadi Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia.. eh, tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia dianggap tergila-gila dan jatuh cinta kepada Suling Emas. Gila benar.

   Bukan laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang menyeramkan itu yang menjadi pria idamannya. Suling Emas terlalu tinggi. seperti manusia setengah dewa, bukan.. bukan pria macam itu yang dapat merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian Eng menjadi merah sekali, kedua pipinya terasa panas. Pikirannya membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan Suma Boan, ketika ia tertawan.. dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu.

   Kita tinggalkan Sian Eng yang menangis tergoda rahasia perasaannya sendiri dan mari kita ikuti Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang tadi ia melihat Suling Emas menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam gedung perpustakaan istana. seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan dan kaki tangannya bahwa kalau berada di kota raja, Suling Emas biasanya bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana.

   Pengalamannya dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung pusaka, merupakan pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia telah tahu jalan masuk yang paling aman, yaitu melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar pagar tembok. Karena kini ia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan Kim-lun Seng-jin, berkat latihan yang tak kenal lelah, dengan amat mudahnya Lin Lin melompati pagar tembok dan berada di daerah istana kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyusup di antara bangunan-bangunan besar.

   Beberapa lama ia berputaran di antara gedung-gedung besar dan ia menjadi bingung. Teringatlah ia bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung perpustakaan. Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur dan gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup lagi, sudah lupa. Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini banyaknya gedung-gedung besar? Tak mungkin ia harus memeriksa setiap gedung. Apalagi kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat banyak sekali pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah ia dengar dari Kim-lun Seng-jin.

   Karena kebingungan, akhirnya secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakeng tembok itu merupakan sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana tergantung lampu-lampu teng beraneka warna, seperti kalau orang merayakan hari raya musim semi saja. Taman yang penuh bunga beraneka warna, harum semerbak baunya dan lampu-lampu itu diatur secara artistik sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit tergantung di awang-awang. Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak terang dan indah. Di tengah-tengah taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang dihias bunga teratai merah putih. Air yang menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna karena tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi"

   Lin Lin berdiri terpaku di atas tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Melihat tanaman itu sunyi tak ada seorang pun manusia di situ, ia berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan yang luar biasa ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan batu-batu yang menghias jalan kecil di taman, semua merupakah hasil seni yang hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya ke kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung menghadapi kolam ikan, terkikik-kikik ketawa sendirian melihat tingkah solah ikan-ikan yang ekornya mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu sekali. Ia melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas betina berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran dengan megal-megol.

   "Hi-hik, renangmu begitu kaku, mana mampu menyusulnya?"

   Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri yang tampak di air menjadi kacau dan bergoyang-goyang. Pemandangan ini mendatangkan rasa geli di hatinya dan kembali ia tertawa.

   "Kau.. siapa?"

   Teguran ini halus, akan tetapi membuat Lin Lin terkejut bukan main. Ia melompat dan membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat indah, berusia tiga puluh lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri di depannya sambil memandang penuh perhatian. Belum pernah selamanya Lin Lin melihat seorang pria berpakaian seindah ini. Bahkan Suma Boan putera pangeran itu pun tidak seindah ini pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main sandiwara di panggung. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat, hatinya berdebar. Agaknya orang ini kaisar. Laki-laki itu melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang matanya yang lebar terbelalak, menjadi makin kagum, senyumnya melebar dan kembali ia bertanya.

   "Kau siapa? Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru?"

   "Kau.. kau..?"

   Lin Lin balas bertanya, gagap. Laki-laki itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening.

   "Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera Mahkota)."

   "Ahhhhh.."

   Lin Lin mundur selangkah.

   "Kenapa kaget? Kau siapa?"

   Kembali pangeran itu bertanya, kini perhatiannya makin terpikat karena gadis ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar bahwa dia adalah putera mahkota. Ini benar-benar aneh sekali"

   "Kau.. kau Pangeran yang kelak mengganti Kaisar? Kau calon Kaisar?"

   Sepasang mata jeli itu menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar seperti bintang timur. Pangeran itu tersenyum dan mengangguk, masih terheran-heran menyaksikan sikap gadis aneh ini.

   "Ohhh.."

   "Kenapa?"

   Hampir pangeran itu meledak ketawanya yang ditahan-tahan melihat sikap dan mendengar mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.

   "Aku.. aku salah masuk.. aku.. apakah aku harus berlutut di depanmu? Kalau diharuskan, lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku pergi saja karena tidak biasa aku berlutut di depan orang lain kecuali ayah bundaku yang.. yang sudah tiada.."

   Sepasang mata pangeran itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama hidupnya ada orang bersikap begini "biasa"

   Kepadanya, dan hal ini menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang muak akan sikap menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap hari dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan betul-betul masih aseli belum bau kepalsuan tata kerama istana yang menjemukan, ia menjadi tertarik bukan main.

   "Ah, tak usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan? Kau tadi bilang siapa namamu dari dan mana datangmu?"

   "Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu."

   Pangeran itu tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak berhasil pancingannya.

   "Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu?"

   "Namaku Lin Lin."

   "Wah, nama yang indah sekali. Kau datang dari mana? Mencari siapa disini?"

   "Sebetulnya aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di mana adanya gedung itu, aku tersesat ke mari dan terpesona oleh keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pangeran?"

   "Bukan main"

   Pangeran mahkota gembira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini. Segar dan menyenangkan sekali.

   "Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan emas? Yang di dalam pagoda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat melihat ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas sekali. Mari, mau lihat?"

   Sikap dan suara pangeran itu amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan hatinya. Akan tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan putera mahkota calon kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak menjawab hanya mengangguk.

   Dengan langkah tenang perlahan seakan-akan berjalan di dalam taman bersama seorang gadis yang sama sekali tidak memperlakukannya sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal biasa, seakan-akan Lin Lin memang merupakan sahabatnya yang bebas daripada segala aturan protokol, pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke sebuah bangunan pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan. Pangeran mahkota memang mempunyai "hobby"

   Taman bunga yang indah berikut peliharaan ikan-ikan emasnya dan kalau ia berjalan-jalan menikmati keindahan taman, baik siang maupun malam, ia tidak mau diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan minum arak atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu pun tak seorang pun pelayan berani muncul di taman itu.

   Begitu memasuki pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut "Pagoda Ikan", Lin Lin membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya berseru kagum. Karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh, sama sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ, yaitu kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan kebanggaan hati pangeran mahkota, pangeran itu tersenyum gembira. Memang indah di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau tempat-tempat ikan terbuat daripada kaca, di atas dan belakangnya diterangi lampu beraneka warna sehingga di dalam air itu berubah menjadi dunia mimpi yang luar biasa. Ada pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang, bahkan ada patung kecil merupakan kakek-kakek yang sedang memancing ikan.

   Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin Lin sampai ternganga memandangi itu semua. Pangeran itu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menikmati pemandangan baru yang baginya tak kalah menariknya daripada ikan-ikan di dalam kaca yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja, masih murni dan bebas lepas setengah liar, gadis yang terpesona oleh keindahan isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri merupakan keindahan tersendiri yang pada saatnya akan lebih menggairahkan daripada isi pagoda. Setelah Lin Lin puas memandangi semua ikan, mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya, barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas panjang melampiaskan kekagumannya dan berkata,

   "Hebat sekali. Aku merasa seakan-akan berada di dasar lautan"

   Pangeran itu tertawa. Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk permulaan sajak. Dan teringat akan pengakuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung perpustakaan, tiba-tiba timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan suara ramah ia bertanya.

   "Nona Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak mencari gedung perpustakaan istana. Mau apakah kau mencari gedung itu? Apakah kau termasuk seorang kutu buku?"

   "Kutu? Aku dianggap kutu? Kalau kutunya saja seperti aku besarnya, bukunya sebesar apa?"

   "Ha-ha-ha-ha-ha"

   Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu apa yang kumaksudkan? Kutu buku adalah sebutan bagi seorang yang hobbynya membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf."

   "Tentu saja aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku tidak suka banyak baca. Terlalu lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan.."

   Lin Lin menjadi ragu-ragu.

   "Melainkan apa? Hendak mencari kitab rahasia?"

   Lin Lin menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir tidak ada salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa sikap putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana kalau berada di kota raja.

   "Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak mencari Suling Emas yang kurasa berada di gedung perpustakaan istana."

   Betul saja dugaan Lin Lin, pangeran itu terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas berada di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh aneh itu.

   "Kau mencari.. dia? Ah, kiranya kau seorang gadis petualang dari dunia kang-ouw. Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan kelihaianmu.."

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras,

   "Thiancu, saat kematianmu tiba"

   Tampak sinar menyilaukan mata menyambar ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang di tangan, langsung menyerang pangeran mahkota"

   "Jangan, takut"

   Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang orang itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu dan orang itu memekik, pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan Pedang Besi Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus pedang Lin Lin. Pangeran itu membungkuk, memungut pedang buntung penyerangnya tadi sambil berkata perlahan,

   "Menjemukan benar.."

   Ia melangkah keluar dan tangannya bergerak, buntungan pedang itu meluncur ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga. Terdengar pekik kesakitan di tempat yang gelap itu. Lin Lin terkejut dan sekali melompat ia sudah sampai di tempat itu. Apa yang dilihatnya? Seorang laki-laki berpakaian hitam, agaknya teman penyerang tadi, sudah menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus buntungan pedang yang disambitkan oleh pangeran mahkota. Ketika Lin Lin kembali ke dalam pagoda pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut.

   "Tidak enaknya menjadi keluarga istana,"

   Katanya ketika melihat Lin Lin kembali.

   "sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi perebutan kekuasaan, selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh, menjemukan sekali"

   "Tapi dengan kepandaian seperti yang kau miliki, tak usah kau takut, Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai, sungguh tak kusangka"

   Lin Lin memuji. Pangeran mahkota memandang tajam.

   "Dan kiranya kau adalah gadis yang melakukan pencurian pedang di gedung pusaka, juga sama sekali tak kusangka"

   Lin Lin kaget. Pedang Besi Kuning yang belum ia sarungkan tadi digenggamnya erat-erat, dan ia menatap wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan tetapi senyumnya mengandung kepahitan.

   "Nona Lin Lin, terus terang saja, pertemuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum
(Lanjut ke Jilid 10)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
pernah kurasai selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan yang belum terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Kalau saja kau dapat menjadi sahabatku selamanya. Tapi.. aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di sini, tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini saja, kita asing satu kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan masih dapat bertemu seperti sekarang ini."

   Lin Lin mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai curiga.

   "Lin Lin, pertemuan ini menjalin persahabatanmu yang akan sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah pedang dibandingkan dengan persahabatan sejati? Kuhadiahkan pedang itu kepadamu. Akan tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus menjaga kehormatannya, aku tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak daripada ini. Kau harus dapat keluar sendiri dari lingkungan Istana dengan selamat. Akan tetapi jangan harap hal itu akan mudah karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu akan kehadiranmu. Nah, selamat malam."

   "Tapi.. tapi.. aku hendak ke gedung perpustakaan. Di mana itu..?"

   "Kau tidak takut? Benar-benar besar nyalimu. Gedung perpustakaan berada di sebelah kiri taman ini, melalul tiga bangunan. Atapnya dari kayu besi berwarna putih, kau cari saja tentu dapat."

   Lin Lin menyarungkan pedangnya.

   "Pangeran, kau seorang yang baik sekali. Sekarang, berubah pendapatku bahwa semua pangeran adalah jahat belaka model Suma Boan.."

   "Kau kenal Suma Boan?"

   "Pedangku yang akan mengenalnya, dia musuhku"

   Pangeran itu mengangguk-angguk dan memandang dengan termenung sampai bayangan Lin Lin lenyap di balik paga tembok. Ia lalu menoleh kepada ikan-ikannya dan berbisik.

   "Mudah-mudahan ia selamat"

   Pertemuan antara putera mahkota dan Lin Lin tanpa disengaja ini diceritakan di sini karena hal yang kelihatan remeh inilah yang menjadi sebab mengapa kelak setelah pangeran ini menjadi kaisar, permusuhan antara pemerintahnya dan Kerajaan Khitan berhenti dan berubah menjadi persahabatan. Lin Lin melompati pagar tembok taman itu dan menyelinap ke dalam gelap. Ia segera mendekam di balik sebatang pohon ketika melihat berkelebatnya dua bayangan orang.

   "Ke mana mereka..?"

   Bisik sesosok bayangan.

   "Memasuki taman Putera Mahkota.."

   "Ha-ha, mereka mencari penyakit. Kepandaian mereka belum begitu tinggi, berani mengganggu Thaicu. Mari kita masuk untuk mengambil mayat mereka."

   "Hush, jangan sembrono kau. Kalau belum ada tanda panggilan Thai-cu, siapa berani masuk taman? Minta mampus? Biar kita menanti di sini saja."

   Lin Lin bergerak menjauhi dua orang pengawal itu. Hatinya kebat-kebit. Benar kata pangeran, banyak pengawal pandai di sini. Dua orang itu saja sudah tahu akan adanya dua orang pembunuh itu, dan agaknya mereka sengaja membiarkan dua orang penjahat memasuki gua harimau. Lin Lin bergerak ke kiri dan akhirnya ia melihat bangunan atap putih, hatinya berdebar. Apakah Suling Emas berada di dalam gedung ini? Kelihatannya gedung itu sunyi dan gelap. Ia mendekat lagi.

   "Berhenti. Siapa kau berani mencuri masuk taman Thai-cu dan berkeliaran di istana? Hayo menyerah"

   Lin Lin sudah mendahului orang itu, menerjang dan berhasil mendorongnya roboh. Orang itu lihai dan cepat sudah melompat bangun. Tadi ia dapat dirobohkan karena sama sekali tidak mengira akan diserang, apalagi ketika ia terlongong keheranan melihat bahwa yang ditegurnya adalah seorang gadis remaja yang cantik dan cara gadis itu menerjang adalah luar biasa dahsyatnya. Hal ini tidak aneh karena memang Lin Lin tadi menggunakan tenaga Khong-in-ban-kin.

   "Gadis liar, jangan lari"

   Pengawal itu membentak dan menubruk. Akan tetapi cepat seperti seekor burung walet membalik, gadis itu sudah menyelinap ke kiri dan begitu tangannya bergerak, kembali orang itu roboh, kini robohnya malah dengan terhempas dan bergulingan. Barulah ia kaget setengah mati. Kakinya salah urat dan tanpa dapat bangun kembali ia hanya bisa bersuit keras memberi tanda bahaya.

   Lin Lin cepat menjauhkan diri, melompat ke dekat gedung perpustakaan. Ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertempuran dengan para pengawal sebelum ia bertemu dengan Suling Emas, karena memang itulah maksud kedatangannya. Akan tetapi, tiba-tiba berkelebatan bayangan orang dan di lain saat ia telah terkepung oleh lima orang pengawal istana yang berpakaian indah dan gagah, masing-masing memegang sebatang pedang dengan sikap mengancam. Di pihak para pengawal, mereka sejenak tercengang, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka akan mengurung seorang gadis jelita"

   Tentu saja mereka menjadi ragu-ragu karena pengawal-pengawal istana yang gagah perkasa seperti mereka, masa harus mmgeroyok seorang gadis muda? Melihat betapa lima orang pengawal itu memegang pedang dan sikap mereka mengancam, Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkilau. Melihat ini, lima orang pengawal itu terkejut.

   "Eh, kiranya kau pencuri pedang? Nona cilik, lebih baik kau menyerah saja daripada kami harus menggunakan kekerasan. Malu kami kalau harus.."

   "Banyak cerewet"

   Lin Lin sudah menerjang maju dan sinar pedangnya bergulung-gulung seperti awan kuning.

   Para pengawal kaget dan cepat menangkis. Di lain saat Lin Lin sudah dikurung. Maklum bahwa gadis ini berkepandaian tinggi, para pengawal itu tidak malu-malu lagi untuk mengeroyok, bahkan mereka terdesak hebat oleh pedang yang dimainkan secara dahsyat itu. Khong-in-lui-san adalah ilmu silat yang sakti, apalagi sekarang dimainkan dengan menggunakan pedang pusaka yang ampuh. Hebatnya bukan main. Segera Lin Lin berhasil melukai leher seorang pengeroyok, akan tetapi pada saat seorang lawan ini roboh, terdengar suara berkali-kali dan dari jauh berdatangan pengawal-pengawal lain.

   Lin Lin bingung juga. Harus ia akui bahwa kepandaian para pengawal ini tidak rendah, apalagi kalau mereka melakukan pengeroyokan. Bisa-bisa tenaganya dan akhirnya ia tentu akan tertawan. Ia pikir lebih baik melarikan diri dulu, keluar dari istana ini. Urusan dengan Suling Emas dapat dilakukan besok atau lusa malam. Ia berseru keras, pedangnya meluncur, merupakan sinar yang panjang mengancam. Empat orang lawannya kaget dan terpaksa menangkis sambil melompat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lin Lin untuk melompat jauh. Akan tetapi, kini para pengawal yang datang membanjiri tempat itu sudah tiba di situ dan kembali Lin Lin dihadang dan dikurung. Gemaslah Lin Lin. Ia menggigit bibirnya lalu memaki.

   "Aku datang bukan bermaksud bikin kacau. Aku tidak ingin berkelahi. Kenapa kalian memaksa? Mundur semua, tinggalkan aku. Awas jangan bikin aku hilang sabar"

   Biarpun maklum akan kelihaian nona ini, namun mendengar kata-kata besar ini para pengawal tertawa. Gadis itu hanya seorang diri, dan sekarang di situ telah berkumpul belasan orang pengawal, bagaimana gadis liar ini masih berani membuka mulut besar?

   "Dia pencuri pedang pusaka, Tangkap"

   Melihat dirinya dikurung rapat, Lin Lin tahu bahaya. Cepat ia mengerahkan tenaga, memutar pedangnya mendesak ke sebelah kiri. Pengurungan di sebelah ini segera terdesak mundur dan kesempatah ini ia pergunakan untuk melompat ke atas atap putih dari gedung perpustakaan. Akan tetapi pada saat ia melayang itu, seorang pengawal tua yang bertubuh tinggi kurus melontarkan sesuatu yang hanya tampak sebagai sinar hitam melayang-layang ke arah tubuh Lin Lin. Gadis ini kaget bukan main ketika melihat bahwa benda itu adalah sehelai tali yang dapat bergerak-gerak seperti ular hidup, mengancam hendak melibat tubuhnya. Ia maklum bahwa penggeraknya tentu bukan seorang biasa, maka ia segera membabat dengan pedangnya.

   "Iiihhhhh"

   Lin Lin berseru kaget. Pedangnya yang dipakai membacok malah terlibat tali hitam itu. Kalau ia mengerahkan tenaga menahan pedangnya, tubuhnya yang masih melayang di udara itu tentu akan jatuh ke bawah. Terpaksa, dengan hati bingung dan marah, ia melepaskan pedangnya sehingga tubuhnya dapat terus melayang ke atas gedung itu. Akan tetapi, begitu kakinya menginjak atap putih, tiba-tiba ia terjeblos dan tubuhnya melayang ke bawah, ke dalam gedung itu. Para pengawal girang. Dipimpin oleh pengawal kurus yang lihai tadi, mereka melompat ke atas atap. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdiri tertegun dan tidak berani bergerak, memandang kepada sebuah saputangan hitam yang berkibar seperti bendera di ujung atap. Saputangan hitam yang ada gambarnya suling berwarna kuning.

   "Dia.. dia di sini.."

   Bisik seorang pengawal dan kini para pengawal itu memandang penuh pertanyaan, menanti komando pengawal kurus yang menjadi pimpinan pasukan.

   "Dia di sini, tak boleh kita mengganggu. Mundur"

   Lakukan saja penjagaan sekeliling ini dan baru bergerak kalau gadis itu keluar, tangkap dia"

   Para pengawal melompat turun lagi, kemudian meninggalkan tempat itu yang menjadi sunyi kembali.

   Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang terjungkal ke sebelah dalam gedung perpustakaan. Agar jalannya cerita menjadi lancar, mari kita menengok keadaan Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.

   Telah kita ketahui betapa Bu Sin yang tadinya disiksa oleh Suma Boan dan digantung di atas kayu bersilang, dapat ditolong orang sakti yang tidak ia ketahui siapa adanya. Ia ditinggalkan di dalam hutan, luka di tubuhnya akibat anak panah Suma Boan telah sembuh sama sekali oleh obat ajaib yang tahu-tahu telah berada di luka-lukanya, tentu oleh penolongnya itu. Karena maklum bahwa kalau sampai tertawan lagi oleh Suma Boan ia akan celaka, Bu Sin lalu melarikan diri dari hutan itu dan beberapa hari lamanya ia terus menyusup-nyusup hutan, tidak berani menampakkan diri di tempat ramai.

   Sepekan kemudian, menjelang senja, ia tiba di sebuah tanah kuburan yang amat sunyi menyeramkan. Ia tidak tahu bahwa ia berada di sebelah utara kota raja, dan juga tidak tahu bahwa penduduk sekitar tempat itu tidak berani mendekati kuburan ini di waktu malam, karena sudah terkenal bahwa kuburan itu berhantu"

   Akan tetapi Bu Sin yang berusaha sembunyi dari kejaran Suma Boan dan orang-orangnya, merasa aman berada di tempat sunyi itu. Ia segera mencari sebuah tempat yang enak, di bawah pohon besar, duduk termenung memikirkan nasibnya. Dari jauh terdengar kokok ayam hutan yang agaknya hendak mengantar kepergian matahari, hendak menyambut sang bulan?

   
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Malam itu bulan purnama. Di tempat sunyi ini, sambil makan buah-buah yang tadi ia petik di tengah jalan dalam hutan, Bu Sin menikmati bulan yang muncul dari timur, tampak besar bundar kemerahan. amat indahnya. Akan tetapi ia tidak bergembira, ia malah berduka, teringat akan kedua orang adiknya yang masih belum ia ketahui bagaimana nasibnya. Juga kakaknya yang dicarinya. Kam Bu Song, amatlah tipis harapan untuk dapat dijumpainya, karena menurut pengakuan Suma Boan, agaknya kakaknya itu pun mengalami kesengsaraan dan sedikit saja harapan bahwa kakaknya itu masih hidup. Kakaknya seorang pelajar yang lemah, apa dayanya mempunyai musuh seperti Suma Boan yang lihai? Dia sendiri yang sejak kecil belajar ilmu silat, tidak berdaya menghadapi putera pangeran itu. Bu Sin makin sedih mengingat akan hal ini dan berkali-kali ia menarik napas panjang.

   Tiba-tiba napasnya terhenti, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang ke depan. Dikejap-kejapkannya kedua mata itu, kemudian digosok-gosoknya, akan tetapi tetap saja pemandangan di depan itu tidak bcrubah. Bulu tengkuknya berdiri satu-satu. Jantung berdebar-debar dan Bu Sin merasa ngeri. Dia bukanlah seorang penakut, bahkan ia terkenal tabah, akan tetapi siapa orangnya takkan merasa ngeri melihat betapa di sebuah kuburan sunyi, di dalam terang bulan, mendadak di depan batu nisan yang tua berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki? Wanita itu berdiri membelakanginya, akan tetapi melihat bentuk tubuhnya yang langsing, kedua lengan yang diangkat ke atas itu dari jauh kelihatan halus putih dan jari-jarinya mungil, rambutnya pun hitam halus mengkilap, dapat diduga bahwa wanita itu masih muda.

   Dari mana dia datang? Mengapa Bu Sin tidak melihatnya ia datang? Dan apa yang dilakukannya di tempat itu? Kuntilanak "Siluman"

   Tak salah lagi, pikir Bu Sin dengan jantung berdebar-debar. Otomatis tangannya meraba gagang pedang, dan ia tidak malu mendapat kenyataan bahwa tangannya menggigil. Ia membayangkan bahwa muka kuntilanak ini tentulah mengerikan, muka pucat seperti muka mayat, mata terbelalak tinggal putihnya saja, mulut bertaring.

   "Iiihhhhh"

   Lebih baik ia pergi, menjauhi tempat setan ini, pikirnya dengan hati-hati dan perlahan-lahan Bu Sin bangkit berdiri lalu melangkah pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru lima enam langkah ia berjalan, tiba-tiba ada angin menyambar dan terdengar bentakan yang merdu, nyaring dan halus,

   "Berhenti, Siapa itu?"

   Tengkuk dan punggung Bu Sin serasa tebal saking ngerinya. Suara itu sudah berada tepat di belakang punggungnya, seakan-akan siluman itu telah hinggap di atas punggung. Ia mengeraskan hatinya dan sambil mengepal tinju ia membalik, siap menghadapi wajah yang mengerikan.

   Ia membalik tiba-tiba dan.. Bu Sin ternganga menatap wajah yang cantik jelita, wajah yang amat manis dengan sepasang mata lebar bersinar-sinar, hidung kecil mancung dan mulut kecil dengan bibir merah yang selalu tersenyum mengejek. Bentuk tubuh langsing, padat, rambut yang hitam halus panjang terurai melalui punggung, pundak, dan dada. Lebih hebat lagi, bau yang amat harum semerbak menusuk hidung membuat Bu Sin terpesona. Sama sekali bukan siluman mengerikan. Andaikata siluman juga, inilah siluman cantik "Siluman"

   Teringat akan ini, Bu Sin sadar dan kekagumannya akan kecantikan wajah wanita muda ini berubah menjadi kecurigaan dan otomatis ia meraba lagi gagang pedangnya. Wanita itu tertawa, manis seperti madu bibirnya kalau tertawa, akan tetapi suara ketawanya mengerikan, hampir seperti tangis.

   "Hi-hik, kau tampan dan gagah. Siapa kau?"

   "Nama saya Bu Sin, Kam Bu Sin. Nona.. eh, Nyonya siapakah?"

   Wanita itu tertawa, giginya berderet putih rapi, sama sekali tidak ada taringnya.

   "Bagus sekali, Kau she Kam? Suaramu seperti orang selatan. Apamukah Jenderal Kam Si Ek?"

   Bu Sin terkejut dan memandang heran.

   "Dia.. dia adalah mendiang Ayahku."

   Sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak, lalu wanita itu tertawa lagi.

   "Hi-hi-hik, pantas saja tampan dan gagah. Betul, sekarang aku melihat persamaannya. Kau jauh lebih muda, lebih tampan. Hi-hik, kau tadi bertanya siapa aku? Aku Siang-mou Sin-ni, dahulu pernah menjadi sahabat baik Ayahmu. Karena kau puteranya, kau sekarang akan mampus di tanganku"

   Bu Sin makin kaget, dan kini ia menduga bahwa wanita ini tentulah miring otaknya. Kalau tidak gila, masa mengaku sahabat baik ayahnya tapi akan membunuh puteranya? Ia merasa tidak perlu banyak bertanya lagi, cepat tangannya bergerak mencabut pedangnya. Ia hendak menggertak dan mengusir wanita gila ini agar jangan mengganggunya lagi. Akan tetapi, wanita itu tertawa dan tiba-tiba rambut panjang terurai itu bergerak, melibat pedang dan tubuhnya dan

   "krak.. krak"

   Pedangnya telah patah-patah menjadi tiga potong sedangkan tangan, kaki dan pinggangnya sudah dibelit-belit rambut halus dan harum, membuat ia tak dapat berkutik sama sekali. Bu Sin berusaha meronta dan mengerahkan lwee-kangnya, namun hal ini hanya mendatangkan rasa sakit karena rambut-rambut itu menekan lebih keras seakan-akan hendak mengiris kulitnya.

   "Hi-hi-hik, Mau apa kau sekarang? Dengar baik-baik. Aku Siang-mou Sin-ni dahulu pernah dibikin sakit hati oleh Ayahmu, jenderal yang angkuh dan sombong itu. Mentang-mentang dia seorang jenderal yang tinggi kedudukannya, ia berani menolak aku. Hi-hik, dan sekarang kau puteranya jatuh ke tanganku. Apa yang akan kulakukan denganmu? Kau akan kujadikan korban yang ke empat puluh. Aku sedang menggembleng diri dengan Ilmu Sin-yang Hoat-lek (Ilmu Gaib Sin-yang) dan untuk keperluan itu aku membutuhkann hawa murni dan darah hidup jejaka-jejaka murni sebanyak-banyaknya. Dan kau masih muda remaja dan murni. Hi-hik, kau menjadi orang ke empat puluh, dan kau putera Kam Si Ek. Bagus sekali, tentu darahmu bersih, darah satria. Inilah yang kucari"

   Wanita itu tertawa-tawa. Bu Sin bergidik. Terang wanita ini gila. Ataukah dia bukan manusia?

   "Pergi kau, Lepaskan aku"

   Teriaknya.

   "Kau bohong. Usiamu takkan lebih tua daripada aku, mana bisa kau mengenal Ayah."

   Siang-mou Sin-ni menggunakan telapak tangannya mengelus-elus pipi dan dagu Bu Sin yang tak berambut.

   "Terima kasih, orang bagus"

   Pujianmu bikin aku tak tega membunuhmu. Kau betul-betul melihat aku lebih muda dari padamu? Hi-hik, usiaku hampir dua kali usiamu. Akan tetapi, inilah hasil pertama dari Sin-yang Hoat-lek. Aku takkan pernah menjadi tua, aku takkan.. takkan bisa mati. Nah, kau bersiaplah, sudah kemecer (berliur) mulutku, darahmu tentu manis dan hangat"

   Setelah berkata demikian, wanita itu mendekatkan mukanya ke muka Bu Sin. Pemuda ini bergidik dan meremang bulu tengkuknya. Hendak apakah perempuan ini? Ia mengira hendak dicium, akan tetapi wajah berkulit halus yang harum itu menunduk dan.. hidung dan mulut yang basah hangat itu menempel pada tenggorokannya. Bu Sin merasa ngeri bukan main. Mampus aku sekarang, pikirnya dan ia meramkan mata menahan sakit, siap menanti maut karena sama sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengangkat mukanya, kedua tangannya meraba-raba muka Bu Sin, membelai-belainya.

   "Kau tampan.. gagah, seperti Ayahmu.. sayang kalau dibunuh"

   Sejenak Bu Sin merasa betapa wajah yahg hdlus kulitnya itu menempel pada pipinya. Ia tak berani membuka mata karena ngeri. Tiba-tiba rambut yang mengikat kaki tangan dan tubuhnya terlepas. Ia membuka mata. Siang-mou Sin-ni berdiri di depannya, mata wanita itu bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis sekali.

   "Kau tampan dan ganteng, kau pemberani, seperti Ayahmu. Bu Sin.. eh, Kanda.. Kau sembuhkanlah luka di hatiku yang disebabkan Ayahmu dahulu. Kau perbaikilah apa yang telah dirusak Ayahmu. Kau tentu mau, Koko (Kanda) yang ganteng?"

   Siang-mou Sin-ni mendekat lagi, mepet-mepet dengan lagak genit dan mengambil hati. Bu Sin merasa tenggorokannya tercekik, mulutnya kering dan jantungnya berdebar tidak karuan.

   "Apa maksudmu? Apa kehendakmu?"

   Siang-mou Sin-ni mengangkat muka lalu dengan lagak genit mencubit dagu Bu Sin.

   "Hi-hik, kau benar-benar masih hijau. Tentu saja maksudku agar kau suka menjadi suamiku"

   Kalau saja pada saat itu ada gunung meletus, kiranya Bu Sin takkan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Wajahnya menjadi pucat dan seketika ia membentak,

   "Kau perempuan gila. Pergi, jangan dekat-dekat denganku. Aku tidak sudi menjadi suamimu. Huh, tak bermalu, lebih baik kau bunuh aku"

   Sambil berkata demikian, Bu Sin mengerahkan tenaga lalu menerjang wanita itu dengan pukulan. Ia mengerahkan semua tenaganya dalam pukulan ini karena ia amat benci dan hendak membunuhnya.

   "Bukkk"

   Kepalan tangan Bu Sin tepat menghantam dada, bertemu dengan daging lunak, akan tetapi akibatnya, tubuh Bu Sin yang terlempar ke belakang. Sebelum pemuda ini tahu apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhnya sudah menjadi lemas, jalan darahnya tertotok dan di lain saat tubuhnya yang lemas itu sudah di panggul dan dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni dari tempat kuburan itu. Sambil berjalan di malam terang bulan, Siang-mou Sin-ni bernyanyi-nyanyi, kadang-kadang mengomel panjang pendek,

   "Celaka, kenapa hatiku tertarik kepada bocah ini? Lebih celaka lagi. Dia menolak dan memaki-maki, keparat"

   Di sebuah anak sungai yang jernih airnya dalam sebuah hutan, ia berhenti, menurunkan tubuh Bu Sin yang ia lempar ke atas rumput.

   "Hei, Kanda Bu Sin, bagaimana sekarang? Maukah kau?"

   "Tidak sudi dan jangan sebut aku Kanda, perempuan hina dan gila"

   "Hi-hik, seperti Ayahnya"

   Tiba-tiba rambutnya bergerak dan tahu-tahu tubuh Bu Sin sudah dilibat rambut, lalu tubuh pemuda itu terlempar ke dalam air di depan Siang-mou Sin-ni. Bu Sin gelagapan, akan tetapi tak mampu berenang karena kedua tangan dan kakinya dibelenggu rambut. Ia gelagapan dan minum air, sedangkan tubuhnya menggigil kedinginan. Siang-mou Sin-ni mengangkat muka pemuda itu ke atas air, tapi tubuhnya masih terendam.

   "Jawab, mau tidak kau"

   "Tidak sudi"

   Bu Sin membentak. Dan kembali ia dilelapkan ke dalam air, berkali-kali sampai sukar bernapas dan perutnya kembung kemasukan banyak air.

   "Apakah kau masih bandel tidak mau?"

   Siang-mou Sin-ni kembali bertanya ketika muka pemuda itu diangkat agar dapat bernapas. Bu Sin tak dapat mengeluarkan suara lagi. Ia setengah pingsan, akan tetapi ia masih cukup kuat untuk menggeleng-geleng kepalanya tanda tidak sudi.

   "Bandel"

   Siang-mou Sin-ni berteriak marah dan melelapkan kepala Bu Sin sampai pemuda ini menjadi pingsan. Baru ia angkat tubuh itu ke atas daratan, memegangi punggungnya dan membalikkan kepala Bu Sin ke bawah, menepuk perutnya sehingga dari mulut pemuda itu keluar banyak air.

   Ketika Bu Sin sadar daripada pingsannya, ternyata ia telah berada di tempat yang amat tinggi, di atas pohon yang tingginya lebih dari sepuluh meter. Pakaiannya sudah kering kembali dan ternyata ia digantungkan di sebuah cabang patah, bajunya digantung dari belakang sehingga tubuhnya tergantung menempel batang pohon yang kasar, ia berusaha menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia. Kiranya ia telah tertotok pula, tak mampu bergerak. Baju dalamnya sudah tidak ada, agaknya disobek oleh perempuan iblis itu sehingga ketika bajunya tergantung pada cabang pohon, perut dada serta lehernya telanjang. Perempuan itu duduk di atas sebatang dahan kecil di depannya.

   Luar biasa sekali. Bagaimana seorang manusia, dapat duduk enak-enak di atas ranting demikian kecilnya seperti seekor burung saja? Bagaimana kalau ranting itu patah? Siang-mou Sin-ni duduk merangkapkan jari-jari tangan, kakinya bergoyang-goyang tergantung, rambutnya riap-riapan, hitam halus mengkilap, matanya meram melek ketika ia menatap wajah Bu Sin. Nampaknya wanita itu terheran-heran, kagum, juga jengkel dan kehilangan akal.

   "Bu Sin koko, kau buka matamu dan pandang baik-baik. Apakah aku tidak cantik molek? Lihat kulitku begini putih kemerahan dan halus, lihat rambutku begini panjang hitam, halus dan harum. Tubuhku padat dan denok. Semua orang bilang wajahku cantik seperti bidadari. Apakah kau menganggap aku kurang cantik?"

   Bu Sin mendongkol sekali. Benar-benar wanita iblis dan ia lebih senang seribu kali mati daripada harus menjadi suami iblis macam ini.

   "Huh, Siang-mou Sin-ni, kau kira aku Kam Bu Sin seorang laki-laki macam apakah? Kau memang cantik jelita, akan tetapi apa artinya cantik jelita kalau wataknya busuk dan jahat seperti iblis? Apa artinya buah yang tampak indah dan lezat kalau di dalamnya tersembunyi banyak ulatnya yang menjijikkan? Kecantikan hanya terbatas pada kulit belaka, di bawahnya hanya daging dan darah yang lekas membusuk dan di dalam sendiri hanya tengkorak yang menjijikkan. Aku tidak butuh kecantikanmu, dan aku muak melihat kejahatanmu"

   "Ck-ck-ck.. semuda ini sudah bisa bicara tentang jahat dan baik. Hi-hik, kau seperti anak kecil yang muntah-muntah melihat tahi, tidak tahu bahwa di dalam perutnya sendiri penuh tahi. Hi-hi-hik, kau kira aku tak dapat menundukkanmu? Masih banyak jalan."

   Ia lalu berkelebat pergi, tapi belum lebih lima menit ia telah kembali, membawa daun lebar penuh madu lebah. Ia lalu memercik-mercikkan madu itu pada muka, leher, dada, perut dan kedua lengannya, kemudian sambil tertawa-tawa ia melempar daun itu dan duduk kembali seperti tadi.

   Bu Sin tidak mengerti apa kehendak wanita ini. Ia maklum bahwa wanita ini kejam sekali dan ia sudah siap menanti datangnya siksaan, akan tetapi apa maksudnya memercik-mercikkan madu kepadanya? Apakah madu ini mengandung racun sehingga sebentar lagi aku akan merasakan akibatnya? Bermacam-macam dugaan Bu Sin, akan tetapi baru sepuluh menit kemudian ia mengerti apa artinya madu dipercikkan itu dan ia bergidik penuh kengerian. Kiranya semut-semut besar mulai berdatangan melalui batang, cabang, ranting dan daun-daun, dan tak lama kemudian semut-semut itu telah merayap di seluruh tubuhnya, menggigitnya"

   Bu Sin menggeliat-geliat, geli dan gatal. Bukan main hebatnya siksaan ini.

   Tadi ketika ia dilelapkan di dalam air yang dingin, sebentar saja ia tidak kuat dan pingsan. Kalau pingsan, tidak ada derita lagi, tidak terasa. Akan tetapi sekarang lain lagi. Semut-semut ini menggigit, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli yang bukan main hebat penderitaannya. Akan tetapi yang paling hebat di antara segala adalah kenyataan bahwa ia tidak akan menjadi pingsan karenanya. Ia akan terus sadar untuk merasakan penderitaan ini, yang membuat seluruh urat syarafnya tegang dan terganggu, membuat perasaannya tersiksa mati tidak hidup pun tidak. Tak tertahankan lagi oleh Bu Sin, ia mulai berteriak-teriak menahan perasaan yang tak dapat dilukiskan lagi penderitaannya.

   "Hayo bilang bahwa kau mau menjadi suamiku dan aku akan membebaskanmu"

   Berkali-kali Siang-mou Sin-ni berkata membujuk. Hanya kata-kata inilah yang kadang-kadang menjadi penguat semangat Bu Sin, karena ia lalu memaki-makinya dan untuk sementara melupakan penderitaannya.

   Akan tetapi kalau wanita itu diam saja dan duduk menonton, ia tersiksa lagi, akhirnya Bu Sin tertawa-tawa, lalu menangis, tertawa lagi seperti orang gila karena penderitaannya yang tak tertahankan. Kalau diteruskan beberapa jam lagi, ia tentu akan menjadi gila benar-benar. Agaknya Siang-mou Sin-ni memaklumi hal ini, maka ia lalu mengusir semut-semut itu memanggul tubuh Bu Sin dan melompat turun dari atas pohon, lalu berlari cepat sekali pergi dari situ. Bu Sin meramkan matanya, merasa seperti dibawa terbang oleh wanita sakti yang berhati iblis ini. Ia tidak putus asa selama nyawanya belum melayang, akan tetapi ia bertekad lebih baik mati daripada dijadikan suami seorang iblis betina yang demikian keji dan jahatnya. Ia seorang laki-laki sejati dan nama baik serta kehormatannya jauh lebih berharga daripada selembar nyawanya. Demikianlah tekad hati pemuda jantan ini.

   Akan tetapi Bu Sin adalah seorang pemuda yang masih hijau dan belum berpengalaman. Ia sama sekali tidak tahu sampai di mana jahat, keji, dan lihainya seorang tokoh besar dunia hitam seperti Siang-mou Sin-ni yang terkenal sebagai seorang di antara enam tokoh Thian-te Liok-koa. Selama menjadi tawanan wanita iblis ini, beberapa hari kemudian, ia telah berubah menjadi seorang yang kehilangan semangat, menjadi seorang yang tak ingat apa-apa lagi, menjadi penurut seperti binatang peliharaan, disuruh apa saja oleh Siang-mou Sin-ni, akan ditaatinya tanpa mempedulikan nyawanya sendiri, tidak ingat lagi akan nama dan kehormatan, bahkan nama sendiri pun ia tak ingat lagi. Bu Sin telah menjadi korban kekejian Siang-mou Sin-ni setelah diberi minum racun yang disebut racun perampas semangat. Dan iblis betina itu tercapai maksud hatinya yang kotor, menjadikan Bu Sin sebagai seorang kekasihnya, suatu hal yang hanya merupakan siksaan dan hukuman karena ia tetap tidak dapat merampas cinta kasih Bu Sin, tidak dapat memiliki Bu Sin yang sebenarnya, seperti yang diinginkannya.

   Bersama Bu Sin yang menjadi tawanan dan kekasihnya, yang menuruti segala kehendaknya seperti patung hidup, Siang-mou Sin-ni pergi ke selatan. Ia hendak mengunjungi Nan-cao negeri di selatan yang mengadakan persekutuan dengan Hou-han. Biarpun Siang-mou Sin-ni seorang tokoh dunia hitam, namun bagi Kerajaan Hou-han yang kecil itu ia merupakan seorang tokoh yang patriotik dan ia bekerja untuk kerajaan ini. Oleh karena itu, tentang persekutuan dengan Kerajaan Nan-cao, Siang-mou Sin-ni sudah mendapat wewenang dan tugas untuk mengurusnya, dan kini ia pergi mengunjungi, selain untuk tugas ini, juga untuk menghadiri perayaan yang diadakan di Nan-cao berhubung dengan peringatan seribu hari wafatnya kauw-cu dari Beng-kauw yang mempunyai kedudukan tinggi di Kerajaan Nan-cao, juga bertepatan dengan hari ulang tahun berdirinya perkumpulan Agama Beng-kauw.

   Siang-mou Sin-ni di dunia persilatan terkenal sebagai seorang di antara keenam iblis Thian-te Liok-koai, akan tetapi di negerinya sendiri, yaitu daerah Kerajaan Hou-han, orang akan menjadi terheran-heran melihat ia dihormati semua orang, juga ditakuti dan ia keluar masuk istana seperti keluar masuk rumahnya sendiri saja"

   Dia merupakan seorang tokoh yang selain keji dan kejam, juga amat luar biasa anehnya, penuh diliputi rahasia dan kepandaiannya luar biasa hebatnya. Inilah yang membuat dia menjadi seorang di antara keenam Liok-koai (Enam Iblis), sifat-sifat yang harus dimiliki seorang tokoh untuk disebut iblis dunia. Banyak orang jahat, akan tetapi ia tidak sakti dan tidak luar biasa anehnya, maka ia tidak bisa disamakan dengan Thian-te Liok-koai. Keenam orang tokoh ini disebut Iblis Dunia karena memang mereka terlalu amat jahat, kejam dan tinggi ilmunya.

   Alangkah buruk nasib Bu Sin, terjatuh ke dalam cengkeraman seorang iblis betina seperti Siang-mou Sin-ni. Agaknya akan lebih baik kalau ia dibunuh, karena nasib yang menimpa dirinya memang lebih hebat daripada kematian. Ia menjadi seorang manusia yang kehilangan segala-galanya. Bu Sin sama sekali tidak ingat lagi akan diri sendiri, juga ia tidak tahu ke mana ia dibawa pergi oleh Siang-mou Sin-ni. Satu-satunya yang ia ketahui adalah bahwa ia harus taat kepada segala kehendak Siang-mou Sin-ni. Nan-cao adalah sebuah negeri kecil, atau lebih tepat lagi sebuah kerajaan kecil yang berada di daerah Yu-nan.

   Di antara kerajaan-kerajaan di daerah selatan dan barat, Kerajaan Nan-cao yang kecil ini terhitung kerajaan yang paling kuat dan paling gigih menentang dan tidak mau tunduk kepada Kerajaan Sung. Lain-lain kerajaan seperti Kerajaan Nan-ping di Hu-pei dan Kerajaan Su di Se-cuan, suka mengakui Kerajaan Sung dan pemimpin mereka oleh Kaisar Sung malah diganjar pangkat dan kedudukan. Akan tetapi Nan-cao tidak mengakui kedaulatan Kaisar Sung. Yang memperkuat kedudukan Kerajaan Nan-cao sesungguhnya adalah Agama Beng-kauw. Agama ini dipimpin oleh orang-orang sakti dan karena kaisarnya sendiri juga termasuk pemeluk Agama Beng-kauw, maka boleh dibilang para pemimpin agama ini adalah keluarga raja di istana.

   Apakah sebetulnya yang disebut Agama Beng-kauw? Mari kita mengenalnya dari catatan sejarah, Beng-kauw yang berarti Agama Terang aselinya disebut Manicheism, yaitu menurut nama penemunya yang bernama Mani. Mani seorang berbangsa Persia (Iran), putera seorang bangsawan. Pada hahekatnya, Agama Manicheism atau Beng-kauw ini merupakan perkawinan antara Agama Kristen dan Agama Zoroastrianism yang dianut oleh sebagian besar bangsa Persia. Agama ini mendasarkan filsafatnya pada filsafat kuno tentang Im Yang (Positive & Negative). Menurut ajaran agama ini, segala kejahatan lahir daripada kegelapan yang merupakan sebuah Kerajaan Gelap yang dirajai setan. Oleh karena inilah, Mani menamakan diri sendiri sebagai Duta Terang, dan ini pula yang menyebabkan mengapa agama ini disebut Agama Terang atau Beng-kauw. Segala macam kotoran harus dibersihkan, segala macam kegelapan harus dikalahkan dan diusir oleh Terang.

   Agaknya karena banyak orang berilmu tinggi dan memiliki kesaktian mendukung lahirnya agama ini, maka sebertar saja Beng-kauw menjadi sebuah agama yang besar dan dianut manusia secara luas. Seperti juga dengan agama-agama lain, Agama Beng-kauw tersebar luas setelah penemunya, Mani meninggal dunia (dihukum mati pada tahun 274 Masehi). Agama ini meluas sampai jauh ke barat menurut catatan sampai ke Perancis dan pada tahun 694 Masehi mulailah agama ini masuk ke Tiongkok yang oleh para penganutnya lalu disebut Beng-kauw (Agama Terang). Dua abad lebih kemudian, biarpun di Tiongkok Agama Beng-kauw sudah amat menurun pengaruhnya, namun masih berpusat dan bersisa di selatan, di negara Nan-cao.

   Puluhan tahun, ketua Beng-kauw adalah seorang tokoh yang amat terkenal akan kesaktiannya, bernama Liu Gan yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Tangan Delapan). Hebat kepandaian ketua Beng-kauw ini dan orang-orang, terutama para pemeluk agama itu, percaya bahwa tokoh ini adalah seorang yang tidak bisa mati"

   Usianya pun katanya lebih dari seratus lima puluh tahun. Agaknya hal ke dua ini mungkin sekali karena semua tokoh kang-ouw yang paling tua tidak ada yang tidak mendengar nama besarnya yang berarti bahwa Pat-jiu Sin-ong ini sudah amat lama tersohor di dunia kang-ouw. Akan tetapi agaknya tidak benarlah desas-desus yang mengatakan bahwa ia tidak bisa mati karena buktinya bulan depan ini di sana akan diadakan sembahyangan untuk memperingati dan menghormat seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong.

   Pernah disebut dalam cerita ini bahwa Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mempunyai seorang puteri bernama Liu Lu Sian yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Berbisa). Tiga puluh tahun yang lalu, Liu Lu Sian merupakan seorang tokoh besar pula di dunia kang-ouw, amat tersohor karena kecantikannya yang seperti bidadari, kecantikan yang aneh dan asing karena darahnya adalah darah campuran antara Tiongkok dan Persia, matanya agak kebiruan, kulitnya yang putih agak kemerah-merahan. Tidak hanya kecantikannya yang luar biasa itu saja yang membuat ia terkenal, akan tetapi juga kepandaiannya yang tinggi, yang ia warisi dari ayahnya dan terutama sekah ia tersohor karena keganasannya. Inilah agaknya yang membuat ia dihadiahi julukan Setan Cilik Berbisa. Seperti banyak sekali wanita di waktu itu, Liu Lu Sian juga tergila-gila kepada jenderal muda Kam Si Ek yang terkenal tampan dan gagah perkasa.

   Sebaliknya, Jenderal Kam juga jatuh hati terhadap puteri ketua Beng-kauw ini. Sungguhpun Jenderal Kam cukup sadar akan keadaan gadis ini yang terkenal ganas dan merupakan seorang tokoh yang bernama buruk, namun cinta selalu mengalahkan perasaan dan kesadaran hati manusia muda. Ia menikah dengan Liu Lu Sian, hal yang amat menggemparkan dunia kang-ouw di waktu itu. Perkawinan ini mendatangkan seorang putera, yaitu Kam Bu Song. Sayang sekali, mungkin karena perbedaan watak, pernikahan itu tak dapat dipertahankan terlalu lama dan jiwa petualang Liu Lu Sian tak dapat dikekang lagi. Akhirnya, wanita ini pergi meninggalkan suaminya setelah mereka bercekcok. Bu Song yang ditinggalkan ibunya itu baru berusia empat tahun dan selanjutnya telah kita ketahui bahwa anak ini pun akhirnya meninggalkan ayahnya, agaknya darah ibunya mengalir di tubuhnya mewariskan jiwa petualang yang besar.

   Pengganti Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang telah wafat adalah adiknya sendiri, bernama Liu Mo yang usianya juga sudah amat tua, sukar diketahui berapa usia ketua baru ini. Tubuhnya sama dengan kakaknya, tinggi besar dengan kulit hitam dan mata agak biru. Ia pendiam, namun kabarnya juga amat sakti. Beng-kauwcu Liu Mo ini tidak mempunyai julukan yang menyeramkan, namun seperti juga kakaknya, ia mempunyai pengaruh yang amat besar di negara Nan-cao dan menjabat kedudukan sebagai koksu (guru/penasehat kerajaan) yang agaknya menentukan keputusan yang diambil oleh raja. Seperti juga mendiang kakaknya, biarpun dia sendiri sudah tua dan usianya tak ada yang mengetahui berapa, namun ia masih kuat dan mempunyai empat orang isteri muda-muda dan cantik. Akan tetapi, hanya seorang saja di antara isterinya itu yang mempunyai anak, seorang anak perempuan yang pada saat itu sudah berusia dewasa, sedikitnya sembilan belas tahun. Gadis remaja ini diberi nama Liu Hwee.

   

Tangan Geledek Eps 32 Bu Kek Siansu Eps 5 Bu Kek Siansu Eps 15

Cari Blog Ini