Cinta Bernoda Darah 16
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Takut apa, Loheng? Biarpun dia lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang tanggung,"
Sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan membuka tali pengikat mulut karung.
"Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat marah dari Kongcu"
Kedua temannya yang tadinya hendak melarangnya, ketika mendengar ucapan terakhir ini saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.
Apakah isinya? Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka menarik keluar tubuh seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas, sebagian menutupi pipi kiri. Pakaian gadis ini agak aneh, terbuat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu.
Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.
"Coba lihat, alangkah manisnya"
Kata si juling.
"Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,"
Sambung si kepala besar.
"Suheng, suheng.., a.. aku.. kan boleh ya aku.. menciumnya satu kali saja?"
Kata si bopeng, berkali-kali menelan ludah dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik itu.
"Sam-te, jangan gila kau"
Seru si kepala besar.
"Mencium sih tidak ada halangannya, biarpun kita bertiga melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia belum sadar?"
Bu Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil membentak.
"Buaya-buaya kaki dua"
Di siang bolong menculik gadis, benar-benar sudah bosan hidup"
Tiga orang itu kaget sekali dan dengan gerakan ahli mereka sudah melompat berdiri. Akan tetapi si mata juling kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan kaki kiri Bu Sin. Ia roboh dan bergulingan, ketika dapat merangkak bangun, matanya menjadi makin juling karena menahan rasa nyeri, napasnya sesak dan ia terbatuk-batuk. Akan tetapi dua orang pengemis lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan sekarang mereka berdiri menghadapi pemuda itu si kepala besar sudah menyambar tongkatnya, sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.
"Bocah jahanam, siapakah kau berani main gila di depan Tiat-kak-cao (Ular Tanduk Besi)?"
Seru si kepala besar yang mempunyai "tanduk"
Daging di jidatnya.
"Tak perlu tahu aku siapa, lekas kalian minggat dan tinggalkan nona ini sebelum kuantar kalian ke neraka"
Bentak Bu Sin, hampir tidak kuat menahan kemarahannya. Si kepala besar yang berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu berkata kepada temannya yang bermuka bopeng.
"Sam-te, kau masukkan lagi dia ke dalam karung agar leluasa kita memberi hajaran kepada bocah lancang ini."
Setelah berkata demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak. Si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap mengeroyok, mendengar perintah ini, mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri tubuh gadis yang masih pingsan,
"Heh-heh.. pipimu begini halus.."
Ia pikir tidak ada salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik, maka ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk memberi ciuman kurang ajar.
"Plakk, Ngekkk.."
Si muka bopeng memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis itu meronta dan melompat ke samping. Kiranya gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu telah menggerakkan tangan menyodok ulu hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang roboh kini berkelojotan tanpa dapat mengeluarkan suara, agaknya genjotan pada leher merusak alat suaranya.
"Siluman betina, berani kau memukuli temanku?"
Teriak si mata juling yang sekarang sudah mencabut sebatang pedang, langsung ia menusukkan senjatanya ke arah dada si gadis. Dengan gerakan masih lemah dan terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri, namun ia didesak terus oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini masih pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat mengeroyok biarpun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah bangkit duduk, tapi belum dapat berdiri, menekan ulu hati dan meraba lehernya sambil mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit ayan.
Sementara itu, Bu Sin yang bertangan kosong pula menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah sekali. Pemuda ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala dan lebar mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi, ilmu tongkatnya ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun, dengan ilmunya yang baru, ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya sedemikian rupa sehingga sekaligus gin-kangnya juga mengalami kemajuan pesat dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya. Dengan gesit bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar tongkat. Hatinya girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata telah siuman dan sama sekali di luar dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian tinggi pula.
Hal ini menambah semangatnya dan dengan gerakan indah Bu Sin menyelinap di bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas, sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke depan, kepalanya meluncur ke arah pusar lawan. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia menggeser kaki ke kanan belakang. Akan tetapi kiranya pukulan dahsyat itu tidak dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda itulah yang betul-betul bekerja, yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan diri dari pukulan tadi, cepat tangan kiri Bu Sin sudah mencengkeram tongkat lawan. Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga membetot untuk merampas kembali tongkatnya,
Akan tetapi Bu Sin melangkah maju setindak dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar. Tiada jalan lain bagi Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali meloncat mundur dan untuk melakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya yang kini pindah ke tangan Bu Sin. Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam menyambar turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras, Bu Sin kaget bukan main, sedetik mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular besar. Cepat ia menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya.
"Dukkk"
Pemuda ini melompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di tangannya hancur, tangannya pedas dan panas sekali, sebelum ia tahu apa yang terjadi, dua jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat berkutik lagi. Kekagetannya bertambah ketika ia mengenal wajah kakek berambut riap-riapan yang mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan Kai-ong. Gadis jelita itu masih terdesak hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.
"Bocah tiada guna, minggir"
Tiba-tiba terdengar seruan dan si juling itu terlempar seperti seekor kucing ditendang saja, kemudian gadis itu melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau saja ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan diri dengan ilmunya yang tinggi. Namun, lawannya kini adalah seorang tokoh besar yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih pening ini pun seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar biasa.
"Huh, kalian ini tiga orang gentong kosong sungguh memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku"
Kata It-gan Kai-ong. Tiga orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat tubuh Bu Sin dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu mengikuti It-gan Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sekti ini berjalan dengan terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di depan sebuah kuburan kuno.
Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan.. tiba-tiba batu nisan itu terbuka. It-gan Kai-ong memasuki lubang kuburan, diikuti tiga orang anak buahnya atau murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki tempat menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri. Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu nisan itu tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali dan tak seorang pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini merupakan pintu terowongan jalan rahasia di bawah tanah.
Bu Sin dan gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan di bawah tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan yang banyak terdapat gua-gua besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luasnya lebih dari lima meter persegi, Bu Sin dilempar ke sudut dan gadis itu tentu saja mendapat perlakukan yang lebih halus diletakkan di atas lantai ruangan kosong itu. Di pinggir kiri, menempel dinding, terdapat sebuah meja besar yang penuh dengan panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi arak dan air.
"Kalian jaga baik-baik di luar, jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini. Awasi nona ini, sekali-kali tidak boleh diganggu. Tahu?"
Terdengar It-gan Kai-ong meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika mereka meninggalkan ruangan itu. Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu Sin melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan dia rebah miring di sudut.
Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia pelajari dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan setelah mencoba-coba, akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan yang berdasarkan hawa panas. Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk bersila dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka mata dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Gerakannya terdengar oleh gadis itu yang segera bangkit pula. Mereka berpandangan, gadis itu tersenyum manis dan dengan suara ramah dan halus ia berkata,
"Terima kasih atas pertolonganmu.."
"Ah, tak perlu dibicarakan, Nona. Buktinya aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah bagaimana agar dapat membebaskan diri."
"Yang kunilai bukanlah hasilnya, melainkan sifat daripada perbuatan. Kau telah menolongku dan karenanya, berhasil maupun tidak, aku amat berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan saudara ini seorang tamu dari golongan mana?"
Bu Sin tidak menjawab karena dia sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis yang bergerak-gerak, seakan-akan ia bergantung kepada bibir itu.
"Eh, bagaimana ini? Harap kau jawab pertanyaanku."
"Ehhhhh.. ap.. apa..?"
Bu Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang linglung. Gadis itu tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih bagaimana butir-butir mutiara tersusun rapi, berkilau menyambarnya, menyilaukan mata menggetarkan hati, sepasang mata yang bersinar-sinar dan lincah menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin menyentuh dadanya yang dirasa seperti hendak meletup.
"Kau pelamun benar. Aku bertanya, siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia dan termasuk tamu dari golongan terhormat yang mana?"
"Oh.. aku.. namaku Kam Bu Sin, aku.. seperti yang Nona lihat sendiri, aku bukan tamu, aku.. aku masuk ke sini bukan atas kehendakku, aku tawanan bukan tamu dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya julukan, juga tidak mempunyai teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona maksudkan.."
Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang manis itu kini menatapnya dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu Sin.
"Kau.. namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?"
Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran.
"Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan mendiang Ayah?"
Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang.
"Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain, Kita masih ada hubungan.. eh, pertalian keluarga, biarpun amat jauh. Kau masih terhitung.. keponakanku"
Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, mendatangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah tertikam panah asmara yang berbisa.
"Ah, tidak mungkin"
Tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini.
"Maaf, Nona, mana mungkin kau menjadi.. bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru dua puluh tahun?"
"Sembilan belas"
Dara itu menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat membuatnya menjadi tua.
"Nah, sembilan belas malah. Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu?"
Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda itu.
"Heii..Dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai seorang keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan ibu dari keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku bibimu?"
Pening kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak jelas itu.
"Mana bisa? Kalau Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau.."
Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam.
"Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu Song?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di tempat ini, bersama kedua orang adiknya, mengalami suka duka dan terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua orang adiknya. Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.
"Di mana dia? Di mana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu Song?"
Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis tersenyum ia berkata, malah setengah menggoda.
"Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara"
Mendengar ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan kedua tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat.
"Maaf.. maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu dengan Kakak Bu Song dan justeru kepergianku dari kampung halaman adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu.. aku mengharapkan dapat bertemu dengannya."
"Sebut dulu aku bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku pula."
Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak marah.
"Nona, kau lebih muda dariku. Biarpun Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan tetapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau adik saja, bagaimana?"
Ia tersenyum dan memandang tajam. Gadis itu pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di samping jantung berdebar tidak karuan,
"Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin koko."
"ha..ha.. Adikku yang manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu."
"Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw.."
"Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar. Maaf kalau aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat dan.."
"Hushhh, apa-apaan ini? Bu Sin koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka bersahabat denganku?"
"Ti.. tidak begitu, tapi kau.."
"Sudahlah. Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong si Iblis gembel itu cukup menghormat kita sehingga di sini tersedia makan minum dan bangku untuk duduk."
Keduanya duduk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua Bengkauw. Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang adalah adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak tirinya itu.
"Hwee-moi, aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan perayaan. Bagaimanakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah berada di sini dan menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada di mana?"
"Bagus, Bu Sin koko, Ini barulah namanya sikap jantan, tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama sekali tidak mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan orang. Ketahuliah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini adalah terowongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami,"
"Tapi, bagaimana It-gan Kai-ong.."
"Sabar dan dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga. Memang terjadi hal-hal aneh dalam perayaan di kota raja dan agaknya ada komplotan gelap di antara para tamu untuk melakukan pengacauan, mungkin juga untuk mengadu domba antara para tokoh yang hadir sebagai tamu. Aku dan keponakanku.."
"Kau maksudkan Kakak Bu Song..?"
"Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami berdua menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang mau mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia.."
"Wah, dia hadir juga dan dia.. dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?"
Liu Hwee membelalakkan matanya lalu tertawa merdu.
"Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini. Dia selihai aku? Tentu saja tidak. Maksudku.. aku tidak selihai dia. Nah, kami berdua lalu melakukan penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan mencurigakan."
"Hal apakah yang terjadi dalam pesta perayaan itu?"
"Hal-hal yang memanaskan hati dan yang besar sekali bahayanya bagi persatuan antara kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari kerajaan-kerajaan lain. Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti penuh emas permata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum dari kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku memeriksa isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di atas saja, sedangkan di bawahnya hanya batu-batu sungai yang tidak berharga"
"Wah, alangkah menghinanya Kaisar Sung"
"Bukan demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan panglima tua itu sendiri pun tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang mampu melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan antara Nan-cao dan Kerajaan Sung."
"Hemmm, dan para tamu tahu akan hal itu?"
"Tidak. Memang Ayah menghendaki supaya hal itu dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan penyelidikan untuk menangkap pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang hadir. Tiga diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni.., eh kau kenapa?"
Tentu saja Liu Hwee kaget melihat perubahan muka pemuda itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat marah mendengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat mengendalikan perasaannya.
"Tidak apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali.."
"Memang jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang lain tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi juga datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka berdua hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang pun boleh dipercaya, tapi.."
"Bagaimana dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?"
"Tentang dia.. mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja keadaannya tidak mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi, di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah orang Khitan, sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung, di sana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak tirimu, Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gunung itu pun datang pula. Kami curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan untuk berlumba mencari keunggulan dalam kedudukan di dunia persilatan, karena kabarnya di antara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek Siansu. Bu Sin koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan penuturanku?"
"Ah, tidak.. tidak, aku tertarik sekali. Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku mendengarnya. Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi yang tak kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas.."
"Wah, Koko. Kau ini apakah hendak main-main?"
Dara itu melirik ke atas dan bersungut-sungut seorang diri.
".. hemmm, dia bilang pernah mendengar nama Suling Emas.. apakah tidak gila ini..?"
"Hwee-moi, apa maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti dari semua penjuru hadir dan.."
"Sin-koko, benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu daripada ini.."
"Maksudmu?"
"Keponakanku itu, kakak tirimu Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas.."
Bu Sin melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak lebar, keheranan memenuhi dada dan kepalanya.
"Kau bilang Kakak Bu Song itu Suling Emas? Jadi dia itu kakak kami sendiri..? Wah, pantas, pantas.. dia selalu menolong kami. Ah, memang patut ditampar kepalaku, Hwee-moi, wah, aku benar-benar goblok. Ha-ha-ha-ha"
Bu Sin tertawa-tawa girang, bergelak sambil menampari kepalanya sendiri.
"Ha-ha-ha, benar. Dia selalu berpakaian sebagai seorang pelajar. Wah, kakakku demikian gagah perkasa.. ah, alangkah akan girangnya hati Ayah kalau mengetahul hal itu.. sayang, Ayah.. takkan pernah tahu.."
Dengan kepalan tangannya, pemuda yang ditusuk rasa haru ini menghapus dua titik air mata dari pelupuk matanya. Sadar akan keadaannya yang tidak sewajarnya itu, Bu Sin memandang kepada Liu Hwee sambil tersenyum malu.
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf Hwee-moi, aku telah memperlihatkan sikap lemah sekali. Kau harus tahu, selama hidupku, belum pernah aku bertemu dengan kakakku itu, dan yang lebih hebat lagi, dahulu kami bertiga kakak beradik malah menyangka bahwa Suling Emas adalah pembunuh ayah bunda kami. Karena hendak mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kami, maka hari ini aku bisa berada di sini. Siapa tahu dan siapa sangka, orang yang kami sangka membunuh orang tua kami itu malah kakak sulung kami"
"Kau tidak lemah, Sin-koko. Memang kehidupan Suling Emas semenjak kecilnya telah diselubungi banyak rahasia yang kadang-kadang membingungkan. Bahkan aku sendiri tidak tahu sejelasnya, juga Ayahku tidak tahu. Kau tahu, ibunya, yaitu Cici Liu Sian, sampai kini pun tidak ada orang tahu, hanya dapat menduga-duga, namun tak pernah aku atau Ayah dapat menjumpainya. Aneh, memang aneh sekali enci misanku itu, juga puteranya aneh."
"Pertemuanku denganmu benar-benar mendatangkan rasa bahagia karena rahasia kakakku telah dapat kuketahui, Adik Liu Hwee. Sayang bahwa kebahagiaan itu kiranya takkan dapat berlangsung terus. Bagaimana aku akan dapat bertemu dengan kakakku itu kalau sekarang kita berada dalam tahanan di bawah tanah dan tidak ada jalan keluar? Ah, dasar aku yang tidak becus, tidak berhasil menyelamatkanmu, malah aku sendiri tertawan. Hwee-moi, kau yang berkepandaian tinggi, bagaimana kau sampai dapat ditawan pengemis-pengemis itu dan dimasukkan dalam karung dalam keadaan pingsan?"
"Belum kuceritakan hal itu kepadamu. Tadi telah kuceritakan bahwa aku dan Suling Emas melakukan penyelidikan. Tentu saja kami berpencar dan Suling Emas bertugas menyelidiki para tamu yang termasuk tokoh-tokoh tinggi, sedangkan aku menyelidiki ke tempat para tamu yang rendahan. Ketika aku tiba di ujung tempat-tempat pemondokan para tamu rombongan dari Kerajaan Sung, aku melihat dua orang pengemis yang mengempit tubuh dua orang pula sedang melarikan diri. Aku tertarik sekali, mengira bahwa mereka tentu melakukan kejahatan. Karena mereka berada di negeriku, aku harus mencegah orang berbuat kejahatan, maka aku lalu mengejar mereka. Setelah tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba dua orang itu melepaskan orang-orang yang dikempitnya dan.. ternyata dua orang yang dikempit tadi tidak apa-apa, malah juga berpakaian pengemis dan tertawa-tawa, lalu empat orang itu mengeroyokku. Mereka tidak menjawab pertanyaan-pertanyaanku, dan melihat betapa serangan-serangan mereka tidak ditujukan untuk membunuh, aku lalu menduga bahwa mereka bermaksud menculikku. Akan tetapi dengan cambukku di tangan, dengan mudah aku mendesak mereka bertiga, malah berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Pada saat aku sudah mendesak hebat dan takkan lama lagi mereka tentu akan roboh seorang demi seorang, muncullah It-gan Kai-ong. Aku melawan sampai seratus jurus lebih, akan tetapi dia bukan tandinganku. Terlampau kuat, akhirnya aku roboh pingsan dan selanjutnya kau menolongku."
"Agaknya mereka itu memang hendak menculikmu, Hwee-moi. Apakah kehendak mereka?"
"Mungkin karena kecurigaanku, atau mungkin juga karena It-gan Kai-ong hendak mempergunakan aku sebagai jaminan. Akan tetapi dia tidak mungkin berani menggangguku, karena sekali dia berani membunuhku, dia akan berhadapan dengan Ayah dan seluruh warga Beng-kauw. Kalau terjadi demikian, biar di dunia ini ada seratus It-gan Kai-ong, mereka akan dibasmi semua"
"Atau dia mempunyai rencana yang amat jahat. Ah, Moi-moi, kalau saja kita bisa keluar dari sini dan mendapat bantuan Kakak Bu Song.."
Bu Sin lalu berjalan memeriksa ruangan itu. Akan tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa tak mungkin keluar dari tempat itu. Ruangan ini tertutup semua oleh dinding batu karang yang amat kuat, adapun pintu satu-satunya adalah pintu terbuat daripada besi yang agaknya dipalang dari luar sehingga tak mungkin dibuka dari sebelah dalam.
"Sin-koko, tak usah dicari jalan keluar, tempat ini memang dahulu dipergunakan untuk tempat tahanan tawanan penting, dan rahasia. Hanya ada satu cara.."
"Bagaimana caranya? Adik Liu Hwee yang baik, lekas katakan dan mari kita segera keluar dari sini"
"Kita makan dan minum dulu sampai kenyang. Perutku lapar dan kita perlu memulihkan tenaga untuk menghadapi terjangan keluar."
Gadis itu lalu meraih panci dan memilih roti, menawarkannya kepada Bu Sin yang ragu-ragu untuk makan roti itu. Akan tetapi ia melihat Liu Hwee menggigit roti dengan enaknya dan mendengar gadis itu berkata kemudian.
"Tak usah khawatir, roti dan arak serta air ini tidak beracun."
Bu Sin tersenyum dan ia pun segera makan roti itu, karena selama ini ia hanya makan buah-buah saja maka roti sederhana itu terasa enak sekali,
"Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa makanan dan minuman ini tidak beracun?"
"Mudah saja. Kalau lawan hendak membunuh kita, apa sukarnya? Masa harus bersusah payah menaruh racun pada makanan atau minuman yang belum tentu kita sentuh?"
Bu Sin mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kecerdikan dan ketenangan dara muda itu. Setelah mereka kenyang mengisi perut, Bu Sin yang sudah tidak sabar bertanya.
"Bagaimana caranya supaya kita dapat keluar dari neraka ini?"
"Neraka? Aku sama sekali tidak merasa berada di dalam neraka, Sin-ko. Senang malah di sini seperti ini."
Tiba-tiba jantung Bu Sin berdegupan keras. Gadis jelita ini senang berada di situ bersama dia? Tentu karena ada dia, masa kalau sendiri merasa senang di tempat seperti itu? Tak mungkin.
"Adikku, Aku pun merasa senang sekali karena ada engkau bersamaku di sini, akan tetapi alangkah akan lebih menyenangkan sekali kalau kita berada di luar tempat tahanan."
Liu Bwee mengangkat muka memandang tajam. Kembali mereka saling berpandangan dan biarpun mulut mereka tidak mengeluarkan suara di saat itu, namun pancaran kasih terbawa sinar mata tampak nyata dan terasa oleh kedua fihak sehingga kembali kulit pipi menjadi merah sendiri dan keduanya untuk sejenak merenggut pandang mata yang saling peluk.
"Ruangan ini tidak mempunyai jalan keluar lain kecuali pintu itu. Pintu terkunci dan di luar pintu tentu dijaga. Kita tidak bersenjata, akan tetapi kalau tidak ada It-gan Kai-ong di situ, kita tidak perlu khawatir. Kalau sudah keluar dari ruangan ini, aku mengenal jalan-jalan rahasia di dalam terowongan ini yang belum tentu dikenal pula oleh mereka."
"Kalau begitu, bagaimana kita bisa keluar dari ruangan ini?"
"Kau seranglah aku dan kita bertempur mati-matian, saling serang, akan tetap jangan ragu-ragu untuk memukul dan merobohkan aku.."
"Apa kau bilang? Mana bisa.. apa artinya itu, Moi-moi?"
Melihat kebingungan pemuda itu, Liu Hwee merasa geli, juga besar hati karena pemuda yang telah membetot rasa kasihnya ini tentu saja bingung dan menolak untuk memukulnya roboh.
"Hanya ada satu cara untuk memancing mereka membuka pintu ini, Koko. Kau tadi dengar sendiri betapa It-gan Kai-ong memesan supaya mereka tidak mengganggu aku, ini hanya berarti bahwa It-gan Kai-ong tidak menghendaki aku mengalami malapetaka atau terganggu di sini karena dia tidak berani menghadapi kemarahan Ayah dan Beng-kauw. Maka kalau mereka tahu kita bertempur, tentu mereka merasa khawatir kalau-kalau aku sampai celaka, apalagi kalau mereka membuka pintu melihat kau memukul aku sampai roboh, tentu mereka menyerbu masuk untuk menghalangi maksudmu, atau untuk menolongku. Nah, saat itulah kita pergunakan untuk menerjang keluar. Mengertikah engkau?"
"Tapi.. Moi-moi, aku hanya akan memukul secara pura-pura saja dan kau lalu menggulingkan diri roboh. Mana bisa aku memukulmu sungguh-sungguh?"
"Sin-koko, mereka itu bukanlah anak-anak atau orang-orang bodoh yang mudah kita bohongi atau kita tipu. Mereka itu adalah ahli-ahli silat yang akan dapat melihat pukulan palsu atau tulen. Kau pukullah sungguh-sungguh, biar keras asal jangan kau pergunakan lwee-kang. Percayalah, hanya dengan cara itu usaha kita akan berhasil. Kau boleh pukul punggung kananku, akan kuberi lowongan sambil miringkan tubuh. Begitu pintu dibuka, kau desak aku dan aku mengelak sambil miringkan tubuh begini, dan.. Kau pukullah punggung kanan ini sampai aku terjungkal.."
Sambil berkata demikian Liu Hwee memperlihatkan gerakannya. Bu Sin mengangguk-angguk tanda mengerti biarpun hatinya merasa tidak enak sekali. Setelah mendengarkan petunjuk-petunjuk Liu Hwee, sepasang orang muda ini mulai berteriak-teriak, membuat gaduh dengan menyambitkan pecahan batu pada pintu, membentak dan berseru nyaring, pendeknya mereka membuat suara gaduh orang sedang bertempur hebat. Sampai lama mereka melakukan hal ini dan beberapa kali mereka menendang daun pintu. Akhirnya daun pintu bergerak perlahan. Liu Hwee memberi isyarat kepada Bu Sin dan sekarang keduanya bertempur sungguh-sungguh. Begitu bertanding, kagetlah Bu Sin karena dara jelita itu benar-benar hebat kepandaiannya. Pertemuan lengan membuat tubuhnya kesemutan, dan gerakan-gerakan Liu Hwee selain aneh juga amat cepatnya. Maklumlah ia bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, ia bukan lawan gadis perkasa ini.
"Jahanam, berani kau mengganggu puteri Beng-kauwcu?"
Liu Hwee berseru nyaring sambil memperhebat terjangannya.
"Nona manis, kalau tidak mau menyerah kepadaku lebih baik kau mampus"
Teriak Bu Sin dengan kata-kata dibuat kurang ajar.
Daun pintu terbuka makin lebar dan kini tampak muka yang bopeng mengintai ke dalam. Kiranya itu adalah muka pengemis bopeng tadi. Agaknya mereka yang berada di luar masih menaruh curiga, maka si bopeng tidak segera membuka pintu melainkan mengintai ke dalam. Melihat itu, Bu Sin berseru keras dan melancarkan pukulan dengan jurus yang berbahaya, sambil mengerahkan sin-kang yang ia pelajari dari kakek sakti. Ayunan tangannya mendatangkan siutan angin. Liu Hwee mengeluarkan seruan kaget dan mengelak ke belakang sambil miringkan tubuh dan terhuyung-huyung karena kakinya tertumbuk batu. Saat itu dipergunakan oleh Bu Sin untuk mendesak maju dan pukulan tangan kirinya dengan tepat menghantam punggung kanan gadis jelita itu. Ia memukul dengan keras akan tetapi menyimpan tenaga lwee-kang, hanya mempergunakan gwa-kang atau tenaga kasar, yaitu tenaga gerakan otot.
"Bukkkkk.."
Kepalannya mengenai sasaran yang lunak dan halus sehingga hatinya serasa ditusuk.
"Aduhhhh.."
Liu Hwee mengeluh, tubuhnya terlempar melayang ke belakang, menumbuk dinding batu dan terjungkal roboh. Bu Sin sampai menjadi pucat mukanya. Masa pukulannya yang hanya dilakukan dengan kasar itu dapat membuat Liu Hwee terlempar sampai begitu hebat? Ia lupa akan permainan sandiwaranya, dengan hati penuh kegelisahan ia meloncat ke dekat Liu Hwee, menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu, merangkulnya untuk memeriksa keadaannya.
"Setan kurang ajar, kau sudah bosan hidup"
Teriak si muka bopeng yang sekarang membuka daun pintu dan menerjang masuk, diikuti si mata juling dan si kepala besar. Mereka bertiga menerjang Bu Sin dengan senjata mereka. Akan tetapi Bu Sin sudah siap, cepat ia mengelak dengan gerakan gesit ke kiri dan bagaikan kilat menyambar kakinya sudah melayang, tepat memasuki rongga perut si
(Lanjut ke Jilid 16)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16
juling.
"Ngekkk"
Demikian si juling mengeluarkan suara tertahan, napasnya terengah-engah, matanya yang juling itu berputaran sebelum ia roboh pingsan.
Akan tetapi keadaan Bu Sin bukan tidak berbahaya karena ketika ia menendang tadi, dua orang lawan lagi menerjangnya dari kanan kiri. Kepandaian si bopeng dan si kepala besar itu cukup lihai. Golok si bopeng itu melayang ke arah leher kiri sehingga Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan tongkatnya ke arah iga kanan. Bu Sin terpaksa menggulingkan diri ke atas tanah, akan tetapi kedua orang lawannya mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin sudah berhasil menyambar pedang yang tadi terjatuh dari tangan si juling. Pedang ini ia ayun menangkis golok, akan tetapi dalam keadaan masih telentang itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.
"Blukkk, Aduhhhh.."
Tiba-tiba Tiat-kak-coa terjungkal, dari kepalanya sebelah belakang mengucur kecap dan ia berkelojotan tak dapat bangkit lagi karena kepalanya sudah retak, disambar batu yang dilontarkan oleh Liu Hwee. Dalam keadaan kaget dan khawatir, si bopeng tak sanggup menahan terjangan pedang di tangan Bu Sin dan pedang itu berhasil menusuk tembus bahu kanannya. Si bopeng berteriak kesakitan, goloknya terpental dan ia pun roboh mandi darah.
"Cepat, ikut aku"
Liu Hwee berbisik. Dengan pedang rampasan di tangan, Bu Sin mengikuti gadis itu. Girang hatinya bahwa gadis itu ternyata tidak apa-apa. Mereka berlari-larian melalui lorong sempit dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.
"Ssttt, di depan pintu lorong penuh penjaga. Tak mungkin kita keluar dari situ."
"Kita terjang saja, membuka jalan darah"
Kata Bu Sin gagah.
"Sia-sia, apalagi mungkin It-gan Kai-ong berada di sana. Aku tahu jalan rahasia. Mari.."
Gadis itu menyambar tangan kiri Bu Sin ditariknya pemuda itu berlari memasuki cabang lorong yang sempit lagi gelap. Berdebar jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak tangan yang berkulit halus dan lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat dan serasa ada getaran di antara jari-jari mereka. Kembali Liu Hwee berhenti tiba-tiba di bagian yang gelap, melepaskan tangannya dan berbisik.
"Sin-ko, kau pegang batu yang kiri, aku yang kanan. Setelah kutekan alat rahasianya yang menghilangkan ganjal di belakangnya, kita tarik batu ke kanan kiri. Itu, batu yang menonjol, kau raba karena agak gelap."
"Ah, inikah? Sudah siap, Moi-moi."
Liu Hwee memasukkan lengannya yang kecil ke sebuah lubang yang terdapat dalam celah antara dua batu, mengerahkan tenaganya dan begitu ia menekan, terdengar suara berkeretakan di sebelah sana di balik dinding batu,
"Nah mari mulai menarik. Geser batu itu ke kiri, Koko"
Mereka menarik, seorang ke kiri, seorang lagi ke kanan. Setelah mengerahkan sin-kang, barulah kedua batu itu bergerak menggelinding perlahan, membuka sebuah pintu"
"Cukup, lekas masuk"
Liu Hwee berbisik sambil menarik tangan Bu Sin. Pintu itu hanya dapat dimasuki Bu Sin dengan tubuh miring. Setelah mereka masuk, Liu Hwee mendorong alat rahasia dan kedua batu besar itu menggelinding secara otomatis menutup pintu rahasia. Kiranya mereka berada di terowongan lain yang tiga kali lebih lebar, juga tidak gelap seperti tadi karena ada cahaya masuk ke dalamnya.
"Selamat"
Bisik Liu Hwee sambil tersenyum.
"Kau pandai sekali mainkan sandiwara kita, Sin-koko."
"Ah, jangan mengejek, Moi-moi. Justeru aku tadi telah membuka rahasia kita karena lupa diri melihat kau terlempar dan menumbuk batu. Kukira kau betul-betul terluka hebat, maka aku menjadi lupa dan hendak menolongmu.."
"Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu itu tepat sekali. Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh bahwa kau betul-betul hendak.. berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya kau tadi tidak bersandiwara.. ah, kau baik sekali, Koko."
"Sudahlah Moi-moi, pujian-pujianmu yang berlebihan bisa-bisa menerbangkan aku ke langit. Sekarang bagaimana kita dapat keluar?"
"Mari ikut aku. Pesanku, kalau kau melihat apa saja yang luar biasa, harap kau jangan mengeluarkan suara, biarkan aku yang bicara. Ini penting sekali, Koko, karena sekali kau salah bicara, nyawamu terancam maut dan aku sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk menolongmu."
Bu Sin kaget dan mengangguk-angguk. Sudah terlalu banyak ia mengalami hal-hal aneh mengerikan, dan tempat yang seram seperti ini tentu saja mempunyai rahasia-rahasia yang menyeramkan pula. Akan tetapi hatinya besar, apalagi setelah ia merasakan kembali kehangatan, kehalusan dan kelunakan telapak tangan Liu Hwee yang menggandengnya. Lorong itu makin lama makin lebar, akan tetapi makin gelap dan akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali. Dari tekanan tangan Liu Hwee, Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di tempat berbahaya. Tiba-tiba tercium bau yang amat harum dan Liu Hwee menghentikan langkahnya, tangannya mencengkeram tangan Bu Sin erat-erat sehingga pemuda itu hampir saja berteriak kalau ia tidak segera ingat akan pesan gadis itu. Anehnya, Liu Hwee segera menariknya dan mengajaknya berlutut di atas tanah yang ternyata becek dan basah"
"Cici yang mulia, adikmu lancang mengganggu, mohon ampun"
Kata Liu Hwee dengan Suara aneh. Hening sejenak, bau harum makin keras dan terdengarlah suara dari sudut yang gelap.
"Siauw-moi, apa Ayahmu juga melarang kau main-main dengan pemuda tampan sehingga kau membawanya ke sini?"
Bu Sin diam-diam bergidik. Bau harum ini mengingatkan ia akan Siang-mou Sin-ni, serupa benar. Dan suara itu. Halus lembut dan merdu, akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan, apalagi kata-katanya begitu tak tahu malu.
"Tidak, Cici. Dia ini seorang tamu kita. Kami berdua ditawan It-gan Kai-ong di dalam terowongan sebelah. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa aku mempergunakan pintu rahasia dan dengan lancang lewat di sini."
"Hemmm, kau tahu siapapun dia yang berani menggangguku di sini harus mati. Untukmu, aku masih bisa mengampuni, tapi dia ini"
"Ampunkan dia, Cici. Bukan kehendaknya lewat di sini, melainkan aku yang mengajaknya karena dia telah menolongku dari tangan anak buah It-gan Kai-ong. Orang-orang seperti kita tidak bisa hidup senang sebelum membalas budi orang, bukan? Dia menolong nyawaku satu kali, aku pun harus menolongnya kembali dua kali. Kalau kau membunuhnya, lebih baik bunuh aku lebih dulu, Cici."
Terdengat suara ketawa lembut, tapi yang membuat bulu tengkuk Bu Sin meremang. Hanya suaranya kalau berkata-kata yang berbeda, akan tetapi harumnya dan ketawanya serupa benar dengan Siang-mou Sin-ni.
"Aku tidak bisa melihatnya jelas, tapi dia terang tampan dan muda. Tak bisa aku mengambil keputusan sebelum memeriksa dia orang apa."
Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bau harum menyengat hidung. Bu Sin kaget setengah mati ketika merasa betapa pipi dan dagunya diraba tangan yang halus sekali, juga leher dan kedua pundaknya disentuh orang yang tidak tampak. Hatinya lega bukan main ketika tangan yang meraba-raba itu lenyap kembali dan terdengar suara yang tadi.
"Tampan dan muda, juga gagah. Tapi sayang, dia lemah. Tak patut menjadi mantu Beng-kauwcu"
"Cici.."
Liu Hwee memprotes.
"Cerewet"
Aku tidak buta, aku tahu kau mencinta pemuda ini, Siauw-moi. Tapi dia tidak patut menjadi mantu Beng-kauwcu, kecuali kalau dia ini anak kaisar atau anak ketua partai persilatan yang besar. Dia orang apa, Siauw-moi?"
Bukan main mendongkolnya hati Bu Sin. Ia merasa bahwa siapapun juga adanya wanita iblis itu, bicaranya keterlaluan dan amat menghina Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut dan lidahnya untuk mendamprat, dan hal ini pasti telah ia lakukan kalau saja ia tidak merasa betapa jari-jari tangan Liu Hwee mencengkeram tangannya dengan erat.
"Dia orang biasa saja, Cici."
"Hemmm, adikku mencinta laki-laki biasa? Cih, mana bisa?"
"Cici yang mulia, cinta tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal derajat maupun tingkat, tidak mengenal kaya miskin, bahkan ada kalanya tidak mengenal usia. Cici sendiri sudah mengalaminya, mana ada aturan melarang orang lain?"
"Sudah, sudah"
Kau cerewet seperti Ibumu. Kau hendak menyerang dengan senjataku sendiri, ya? Cerewet, Pergi. Bawa kekasihmu ini pergi sebelum aku membikin bolong-bolong yang bagus di kepalanya"
"Terima kasih, Cici, selamat tinggal,"
Kata Liu Hwee yang cepat bangkit, menarik tangan Bu Sin dan setengah menyeret pemuda itu pergi dari situ, melalui lorong gelap tanpa mengeluarkan suara. Ada seperempat jam mereka lari dan akhirnya mereka muncul keluar dari sebuah gua yang tertutup rapat oleh alang-alang di sebuah hutan kecil. Setelah melompat keluar, barulah Liu Hwee melepaskan tangan Bu Sin dan.. ia menjatuhkan diri ke atas rumput sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang. Kagetlah Bu Sin. Cepat ia berlutut di dekat Liu Hwee,
"Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau menangis?"
"Aku malu.. aku malu setengah mati.."
Perlahan Bu Sin bangkit berdiri.
"Memang kurang ajar dia. Menghinamu sesuka hatinya. Biar kuhajar dia, Moi-moi"
Cepat Bu Sin melompat memasuki gua itu.
"Sin-koko, jangan.."
Liu Hwee kaget, berteriak dan melompat bangun. Akan tetapi ia terlambat mencegah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh, tubuh Bu Sin melayang keluar dari dalam gua. Jatuh berdebuk di depan kaki Liu Hwee bersama pedang rampasannya yang kini sudah patah menjadi tiga potong.
"Hi-hi-hik, sedikitnya kekasihmu bernyali juga. Selamat, Siauw-moi"
Suara ini halus sekali, sekejap tecium bau harum akan tetapi segera lenyap lagi.
"Sin-ko.."
Liu Hwee berlutut dan merangkul pundak Bu Sin yang merintih perlahan,
"Cici. Kalau kau bunuh dia, aku akan mengadu nyawa denganmu"
Teriaknya nyaring, akan tetapi tidak ada jawaban kecuali rintihan Bu Sin. Tak lama kemudian pemuda itu membuka mata dan Liu Hwee merasa lega ketika memeriksa ternyata pemuda itu tidak terluka berat, hanya pingsan karena terbanting keras. Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu Hwee merangkulnya, pipinya menjadi merah sekali dan cepat ia bangkit.
"Waaahhhhh.. bukan main.. aku menusuknya, pedangku malah patah-patah dan sekali ia mendorong aku terlempar melayang keluar gua dan tidak ingat apa-apa lagi. Sakti luar biasa dia. Siapakah dia itu Moi-moi? Kau menyebutnya Cici.."
Tiba-tiba Bu Sin berhenti bicara dan mukanya pucat.
"Dia kau sebut Cici.. kalau begitu.. dia itu.."
Ia tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi pandang matanya bicara banyak dan dapat dimengerti oleh Liu Hwee yang mengangguk-angguk.
"Betul. Sin-koko, dia adalah Enci Liu Sian ibu kakakmu Bu Song.."
"Dia Tok-siauw-kui (Setan Racun Cilik).. ibu tiriku.."
"Sssttttt, sudahlah. Aku pesan padamu, pertemuan ini tidak sekali-kali boleh kau ceritakan kepada siapapun juga. Ingat, sekali kau melanggar, nyawa kita berdua sukar diselamatkan lagi. Mari kita pergi ke kota raja. Entah apa yang terjadi di sana. Memang banyak hal luar biasa terjadi di Kota Raja Nan-cao. Pesta yang dirayakan selama tiga hari itu ternyata diisi dengan kejadian hebat dan seakan-akan pesta perayaan Beng-kauw itu menjadi pusat pertentangan dan adu ilmu.
Apalagi dengan munculnya bahaya baru yang mengancam ketenangan pesta itu, yaitu Lin Lin. Gadis ini sekarang telah berubah menjadi seorang Puteri Kerajaan Khitan yang berpengaruh dan ditaati perintahnya oleh orang-orang pandai. Dan menurutkan wataknya yang aneh di samping kecerdikannya mencari alasan agar ia jangan dibawa secara paksa ke Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang akan menimbulkan geger di Nan-cao. Telah dituturkan di bagian depan betapa Lin Lin dengan Pedang Besi Kuning telah berhasil menundukkan Pak-sin-tung si kakek buntung yang lihai, sute dari Hek-giam-lo dan dara cerdik itu kini bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota raja, diiringkan dua puluh empat orang-orang pilihan dari Khitan secara sembunyi. Hari sudah mulai gelap ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang waktu lagi, terus mengajak Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan.
Cepat sekali tempat ini dapat dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang dapat bekerja cepat itu. Pada saat itu, Suma Boan sedang berada di dalam kamar pondoknya. Pondok darurat yang cukup mewah. Sebagai seorang putera pangeran, apalagi seorang putera pangeran Kerajaan Sung, pemuda ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok berkamar satu untuk dirinya sendiri. Ia masih merasa mendongkol karena siang tadi ia telah dibikin malu oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya, berani membikin malu kepadanya di depan tuan rumah dan para tamu. Besok diadakan upacara sembahyang mendiang ketua Beng-kauwcu, dia akan mencari akal untuk membalas penghinaan itu. Sampai sekarang, semua rencananya berjalan dengan baik.
Biarpun ia seorang pemuda bangsawan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan lain, Suma Boan tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal. Hal ini adalah karena biarpun seorang bangsawan, dia adalah seorang pemuda ahli silat yang sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah boleh dibilang seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak suka akan segala ikatan dan pelayanan orang-orang lemah. Kali ini pun ia berada di pondok seorang diri, sama sekali tidak ada penjagaan di sekeliling pondoknya. Ia mempunyai banyak pembantu dan kaki tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah pergi menjalankan tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.
"Tok-tok-tok.."
"Siapa..?"
Tanya Suma Boan, terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani mengetuk pintu depan seperti itu.
"Suma-kongcu, aku datang mau bicara penting"
Terdengar suara halus seorang wanita. Suma-kongcu adalah seorang pemuda mata keranjang dan dalam keadaan biasa suara panggilan seorang wanita yang demikian merdu dan halus tentu akan mendebarkan jantungnya serta menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di samping kelemahannya ini, ia pun seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa pada saat itu dan di tempat itu banyak terdapat musuh berkumpul di Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan curiga.
"Siapa di luar? Aku tidak bisa menemui orang yang tidak kukenal,"
Jawabnya dan diam-diam ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suma-kongcu, aku.. Lin Lin, aku datang membawa pesan enciku Sian Eng"
Dari encinya, Lin Lin mendengar bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan kakaknya, Kam Bu Song, maka sengaja sekarang Lin Lin menggunakan nama encinya itu yang ia duga mempunyai hubungan yang lebih baik dengan kongcu ini daripada dia.
Benar saja dugaan Lin Lin, mendengar disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan, apalagi ia sekarang mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biarpun yang sudah-sudah gadis ini memusuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi gadis cantik itu. Wah, mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang hendak mengusir kesunyianku malam ini, pikirnya sambil tersenyunn, lalu membuka pintu. Benar saja, gadis jelita itu berdiri di depan pondok, biarpun keadaan remang-remang Suma Boan masih dapat mengenal Lin Lin. Akan tetapi di belakang gadis itu tampak seorang kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat, seorang kakek yang buntung kedua belah kakinya. Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi kehadirannya mendatangkan rasa kecewa.
"Silakan masuk, Nona,"
Katanya, menahan rasa kecewanya. Lin Lin tersenyum dan menoleh kepada Pak-sin-tung.
"Mari kita masuk, tuan rumah mengundang kita."
"Maaf, Nona."
Kata Suma Boan cepat.
"Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?"
"Dia? Dia pengawalku,"
Jawab Lin Lin bangga.
"Ah, aku hanya mengundang Nona, bukan dia. Eh, aku.. ngeri melihat kakinya. Silakan kau masuk, Nona."
Lin Lin sudah timbul marahnya, akan tetapi ia menindas perasaannya dan melangkah masuk. Setelah duduk Lin Lin melihat betapa kongcu itu memandangnya dengan mata berminyak. Cepat-cepat ia berkata,
"Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, di mana adanya Kakak Kam Bu Song seperti yang kau janjikan kepada Enci Sian Eng?"
Dengan pandang mata yang penuh gairah dan kagum kepada wajah jelita dan tubuh padat ramping itu, Suma Boan tersenyum-senyum lalu bertanya,
"Siapa yang mengutusmu ke sini?"
"Enci Sian Eng."
Suma Boan mempermainkan matanya, melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal. Ia cukup maklum betapa Sian Eng jatuh hati kepadanya, biarpun gadis itu tetap mempertahankan diri dan tidak sudi melayani kehendaknya yang tidak patut.
"Kalau dia ingin bertanya, kenapa tidak datang sendiri? Suruh ia datahg sendiri ke sini baru aku mau bicara."
"Dia tidak mau datang, dia menyuruh aku mewakilinya."
Kata Lin Lin, menahan hatinya yang makin marah. Senyum Suma Boan melebar, matanya berkedip-kedip penuh arti.
"Betulkah begitu? Ahai, adik manis, kau betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia datang, aku minta dia bermalam di sini semalam baru besok kuberi tahu tentang Kam Bu Song, apakah kau mau mewakili encimu tidur di sini semalam bersamaku..?"
Suma Boan cepat melompat ke belakang ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin tiba-tiba melayang ke arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar.
"Wah, jangan marah, Nona manis. Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan atas kehendakmu sendiri, bukan?"
Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat mengelak karena kini sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin sudah menerjangnya dengan hebat.
"Agaknya harus kurobek-robek kulit tubuhmu dengan pedang, baru kau mau bicara baik-baik"
Bentak Lin Lin dan terus melanjutkan serangannya. Namun biarpun Lin Lin berpedang mustika dan mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan tenaga sakti Khong-in-ban-kin, namun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih lebih tinggi dari padanya, juga latihan pemuda bangsawan ini lebih masak. Biarpun ia bertangan kosong, namun pukulan-pukulan balasan Suma Boan mendatangkan angin pukulan yang kuat, membuat Lin Lin beberapa kali berputar-putar untuk menghindarinya.
Suling Emas Eps 28 Suling Emas Eps 19 Suling Emas Eps 31