Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 19


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



Pukulan Beng-kong-tong-tee ini adalah ciptaannya sendiri dan merupakan pukulan yang ia banggakan, oleh karena itu ia beri nama sebagai lambang daripada Agama Beng-kauw (Agama Terang) yang ia pimpin. Jurus ini demikian hebat dan gemilang seakan-akan Agama Beng-kauw yang merupakan sinar terang menggetarkan bumi. Karena ingin sekali memperoleh kemenangan atas lawannya yang amat tangguh ini, Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan pukulan itu akan tetapi oleh karena ia diam-diam memang menaruh sayang kepada Kim-mo Taisu dan tidak ingin mencelakainya, maka ia hanya mempergunakan tiga perempat bagian saja dari tenaga sin-kangnya. Menyaksikan gerak pukulan lawan, terkejutlah Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, sekali pandang saja dapatlah ia mengenal pukulan ampuh, maka ia pun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan dengan kaki terpentang kokoh dan kuat dan kedua lengannya pun ia hantamkan ke depan dengan tangan terbuka. Tak berani ia mempergunakan tangan kapas lagi, karena maklum bahwa kedua tangan lawannya amatlah kuat dan berbahaya, maka ia juga mengerahkan sin-kangnya untuk melawan keras sama keras.

   "Wuuuttt! Dess...!!"

   Jarak antara mereka dekat, maka dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara, hebatnya bukan main pertemuan dua tenaga sin-kang kedua orang sakti ini. Akibatnya pun hebat karena keduanya terlempar kebelakang dan terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya sampai mereka terpisah sepuluh meter jauhnya.

   Kim-mo Taisu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan ia cepat bersila dan mengatur pernapasannya. Pat-jiu Sin-ong juga jatuh terduduk, dari mulutnya tersembur keluar sedikit darah segar. Untung bagi Ketua Beng-kauw ini bahwa Kim-mo Taisu juga mempergunakan tiga perempat tenaganya saja untuk menghadapi pukulannya tadi, dan karena tenaga mereka memang seimbang, maka keduanya tidak sampai menderita luka dalam. Hanya Pat-jiu Sin-ong lebih rugi karena dia yang menyerang, maka benturan tenaga seimbang itu membuat tenaga serangannya membalik sendiri dan membuat ia menderita lebih banyak daripada lawannya. Dalam penggunaan tenaga dalam, tenaga dan napas, tidak sampai lima menit keduanya sudah melompat bangun.

   "Ha-ha-ha, kau hebat, Kim-mo Taisu. Akan tetapi aku masih belum kalah. Hayo kita lanjutkan!"

   Kata-kata ini diucapkan dengan wajah berseri, tanda bahwa kakek itu girang dan puas sekali dapat bertanding dengan seseorang lawan yang dapat menandinginya. Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak punya nafsu lagi bermain-main dengan kakek itu.

   "Cukuplah, Kauwcu. Aku harus menyimpan tenaga karena akan menghadapi lawan yang lebih tangguh daripadamu di puncak ini besok. Lain kali saja kita lanjutkan."

   Biarpun sudah tua, watak Pat-jiu Sin-ong yang tak mau kalah itu masih tetap ada. Mendengar ada lawan yang lebih tangguh daripadanya, ia menjadi penasaran sekali.

   "Hemm, siapakah dia yang kau katakan lebih tangguh daripada aku?"

   Kim-mo Taisu tersenyum. Memang ia cukup mengenal watak kakek ini maka tadi ia sengaja bilang demikian agar Si Kakek mau berhenti.

   "Dia seorang tokoh baru, masih muda, agaknya kau belum mengenalnya, julukannya Raja Pengemis yang menguasai seluruh kai-pang diempat penjuru."

   "Hemm, hemm ada kai-ong baru, ya? Ingin sekali aku melihat macamnya bagaimana. Kau hendak bertanding dengannya? Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, kalau kau kalah olehnya kemudian aku mengalahkannya, bukankah itu sama saja dengan pertandingan kita dilanjutkan? Ha-ha, kita lihat saja nanti!"

   Sambil tertawa-tawa Pat-jiu Sin-ong lalu berjalan menghampiri keledainya, sekali kaki kanannya diayun keatas ia sudah duduk dipunggung keledai kecil itu dan berlarilah si keledai ketika mendengar kelenengan yang dibunyikan oleh penunggangnya. Setelah bunyi itu kelenengan itu lenyap dan bayangan Pat-jiu Sin-ong tak tampak lagi, barulah Kim-mo Taisu sadar dari lamunannya. Perjumpaannya dengan kakek itu sekaligus membangkit kan ingatannya kepada Lu Sian. Jadi Lu Sian telah menikah dengan Kam Si Ek, jenderal muda yang amat terkenal itu? Jodoh yang tepat! Akan tetapi mengapa Lu Sian kemudian meninggalkan suaminya? Bukan urusannya semua itu, namun sukar baginya untuk tidak memikirkannya. Ia mengeluh dan membalikkan tubuh. Tampaklah buntalan pundi-pundi uang, akan tetapi ia tidak melihat Bu Song. Baru sekarang ia teringat kepada Bu Song.

   "Bu Song!"

   Ia memanggil. Tiada jawaban. Ia menyambar buntalan dan melihat bahwa di dalamnya ada beberapa buah apel, ia makin heran. Anak itu telah berhasil mencarikan buah untuknya, menaruh dalam bungkusan, mengapa lalu pergi? Dan kemana perginya?

   "Bu Song....!"

   Ia berseru lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Tidak enaklah hatinya dan mulai ia mencari-cari sambil berseru memanggil-manggil nama muridnya. Kemanakah perginya Bu Song? Anak ini setelah mendengar bahwa orang tua yang bercakap-cakap dengan gurunya itu adalah kakeknya, meninggalkan tempat itu sambil berlari-lari cepat.

   Ia berlari-lari terus tanpa tujuan tertentu, naik turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia tidak mau berhenti. Akhirnya dari puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah dilereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya karena tak dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling diluar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga dilereng itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun bersih dan cukup luas. Bu Song merangkak bangun, memandang kearah rumah itu. Dari bagian belakang rumah tampak asap mengepul dan terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan ludah beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu pemilik rumah bekerja, seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan rumah.

   "Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?"

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu dibelakangnya berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat. Bu Song tersentak kaget. Tadi dipekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini tiba-tiba muncul seperti keluar dari dalam bumi?

   "Maafkan aku, kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah makan."

   Katanya sambil menjura dengan hormat. Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar setengah melotot, mulutnya yang ompong itu berkemak-kemik.

   "Kau akan mengemis makanan?"

   Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula.

   "Aku bukan pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau disini tidak ada pekerjaan, sudahlah!"

   Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun, kakek itu sudah berada didekatnya dan tersenyum mengejek.

   "Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan bisa mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari sumber di puncak itu dipikul kesini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."

   Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek inilah yang merobohkannya.

   "Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air disini."

   "Tak perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"

   Dibagian dapur rumah itu, Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang kedua seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Adapun yang wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan kakek tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.

   "Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?"

   Tegur Si Tanpa Baju kepada kakek pertama.

   "Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin bekerja membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi makanan kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"

   Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga Si Nenek berpaling memandang.

   "Sam-hwa, kau isilah padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi semua tempat air disini. Lucu, kan?"

   Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa mengapa ia tadi minta pekerjaan ditempat ini. Agaknya orang serumah tidak ada yang waras!

   "Kau makanlah dan ambil sendiri diatas meja itu."

   Kata Si Nenek tak acuh. Karena yakin bahwa yang akan dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi Bu Song menghampiri meja dan melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya makin memberontak lagi. Ia segera mengambil mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu mulai makan dengan lahapnya. Lezat benar masakan itu, sungguhpun bahannya sangat sederhana. Bu Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan buah-buahan saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok kosong dan berhenti makan, persediaan nasi ditempat nasi tinggal setengahnya lagi!

   "Ho-ho-ha-ha-hah! Malam ini kita berpuasa, A-kwi!"

   Kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak tertutup baju itu berguncang-guncang.

   "Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula."

   Kata A-kwi sambil menggeleng-geleng kepalanya. Sam-hwa muncul dari pintu. Melirik kearah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan dua orang kakek itu.

   "Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? biar dia kuberi buah. Anak, mari terima!"

   Ia melemparkan sebutir buah merah kearah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak kaget karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi ia roboh terjengkang. Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa saja, sama sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat berat buah tadi menjadi berat adalah tenaga lontaran Si Nenek yang hendak mengujinya. Melihat dia roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan Bu Song keluar dapur.

   "Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya bawa keluar."

   Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia sudah menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang terletak disudut rumah.

   "Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang air."

   Celanya sambil mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna putih.

   "Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber air di puncak."

   Mereka berjalan keluar. Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan dan alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya rusak, ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan sepasang kaki.

   "Siapa dia?"

   Suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga. A-kwi sudah memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir patah dua,

   "Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."

   Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah.

   "Siapa namamu?"

   "Nama saya Bu Song, Kek."

   "Hushh, jangan kurang ajar!"

   A-kwi menjiwir telinga Bu Song.

   "Kau harus sebut Ong-ya!"

   Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia mengangkat muka memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya? Sebutan seolah-olah kakek ini seorang raja muda. Bu Song yang banyak membaca tahu akan peraturan, maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh ini tak mungkin menjadi raja muda maupun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan tidak mau menyebut Ong-ya!

   "Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Dimana Nyonya Muda?"

   "Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci."

   "Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada urusan penting."

   "Baiklah, Ong-ya."

   Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap kedalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja dikeluarga perampok! Celaka, kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.

   "Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Dibawah pohon itulah letaknya, lekas kau pergi kesana mengisi kedua tahang ini, bawa kesini dan terus saja ke dapur, A-liong dan Sam-hwa akan memberi tahu kemana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!"

   Setelah berkata demikian, kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari setengah terbang. Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya.

   Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah terjatuh kedalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air dan, kemudian segera meninggalkan tempat ini. Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur keluar dari sebuah guha kecil, membentuk kolam air yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah dibawah yang tampak dari tempat itu. Dahinya penuh peluh ketika ia tiba didapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa.

   "Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air kedalam kolam itu."

   Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah kedua tahang air berpindah tempat, ia lalu mendaki lagi. Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya seperti hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali lagi, kolam itu akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!

   "Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir lulus, tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh kasihan kepadamu."

   Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek.

   "Aku tidak membutuhkan kasihan orang!"

   Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan kedua kakinya tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jenkel dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat. Untuk kesepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba dibawah pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air. Biarpun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan mampu menyelesaikan pekerjaannya.

   Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia rasakan bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh! Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak! Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa didepan tiga orang laki-laki. Seorang diantara mereka bermuka bopeng penuh totol-totol hitam orang yang berdiri ditengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti tikus.

   "Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil semua sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kai-ong. Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa diantara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah siap?"

   Demikian kata Kim-mo Taisu. Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai.

   "Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka mendengar namamu dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka. Sahabatku ini adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga gunung (perampok)."

   Ia menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng.

   "Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma (Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja daripada bajak. Masih ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah kau takut?"

   Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu orang-orang jahat, pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijiwir orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi yang menjiwirnya.

   "Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!"

   Bisik Si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu Song. Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali kesini menonton gurunya. Kakek A-kwi melirik kearah mereka yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar anak itu berjalan lebih cepat. Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel.

   "Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak tontonan didunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul. Hayo cepat dan jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai dirumah. Aku jalan lebih dulu!"

   Sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh kedepan, dan Bu Song sambil mengeluh didalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu untuk menjumpai gurunya. Sementara itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak mendengar ucapan Pouw-kai-ong.

   "Ha-ha-ha, segala rampok dan bajak. Pantas menjadi sahabat pengemis. Akan tetapi aku tidak punya urusan dengan segala macam rampok dan bajak. Aku sengaja datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong. Mari kita mulai!"

   Capan itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak dan tokoh rampok itu. Si Muka Bopeng Hwa-bin-liong sudah melangkah maju, diikuti oleh Si Kuda Laut. Mereka ini belum tua, paling banyak berusia empat puluh tahun. Begitu tiba di depan Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang golok besar yang terselip dipunggungnya, adapun Si Kuda Laut mengeluarkan sebatang cambuk yang terbuat daripada ekor ikan pee. Keduanya berdiri dengan sikap menantang.

   "San-ong (Raja Gunung), biarkan aku menghadapi jembel kelaparan yang sombong ini!"

   Kata Si Tokoh Bajak yang menyebut temannya raja gunung, cambuk ikan pee ditangannya digerak-gerakkan diatas kepala sehingga terdengar suara bersiutan mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh duri-duri yang runcing, kalau sekali mengenai kulit tubuh manusia benar-benar akan mengakibatkan luka yang hebat.

   "Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku menghadapinya lebih dulu. He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama mendengar namamu yang baru muncul, dan dengan maksud baik aku ingin sekali berkenalan dan menyaksikan kelihaianmu. Siapa kira, kau begini sombong dan tidak memandang orang lain. Keluarkan senjatamu, biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana kehebatanmu maka kau bersikap sesombong ini!"

   "Ha-ha-ha-ha, raja pengemis dibantu oleh raja laut dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala macam raja sudah berkumpul disini, biarlah kuantar kalian menghadap raja akhirat!"

   Tentu saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah sekali. Hwa-bin-liong Si Muka Bopeng yang sudah bertahun-tahun merajalela di hutan-hutan dan gunung-gunung, menjadi raja dari sekalian kecu dan rampok, baru kali ini merasa dipandang rendah orang. Ia membentak marah dan tanpa menanti lawan mengeluarkan senjata, ia sudah menyambar kedepan dan golok besarnya diayun mengarah leher Kim-mo Taisu.

   "Wuttt... syuuuutttt! Tringgg...!!"

   Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok berkelebat, tidak mengelak malah menggerakkan tangannya, dengan jari tengah tangan kanan ia menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah lehernya itu. Hebatlah tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok itu terlepas dari pegangan Si Muka Bopeng, bahkan raja gunung itu terhuyung-huyung hampir roboh! Marahlah Si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu. Senjatanya ekor ikan pee yang menyeramkan itu melecut diudara, mengeluarkan bunyi

   "swing-swing-swing...!"

   Dan berkelebatan diputar-putar diatas kepalanya lalu menyambar bertubi-tubi kearah Kim-mo Taisu. Pendekar sakti ini tidak berani bertindak sembrono. Ia belum tahu bagaimana sifat senjata lawan yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak.

   Gerakannya perlahan dan lambat saja, akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan pee itu dapat menyentuh kulitnya. Setelah mempergunakan hidungnya mencium-cium dikala senjata itu lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa senjata ini hanya mengerikan tampaknya, akan tetapi tidak mengandung racun berbahaya, maka sambil mengelak daripada tusukan golok Si Raja Gunung yang sudah mengeroyoknya, Kim-mo Taisu menyambar ekor ikan pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan kiri! Ia menggunakan tenaga membetot sehingga ekor ikan pee itu menegang, kemudian pada saat Si Raja Gunung Hwa-bin-liong dengan girang menyerangnya dari belakang, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga betotan dan... melayanglah cambuk ekor ikan pee itu kearah penyerang dibelakangnya.

   Hwa-bin-liong berteriak kesakitan, Kim-mo Taisu cepat membalik, sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu dan dilain saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha raja laut yang masih terlongong karena senjatanya tadi kena dirampas lawan. Ia terguling dalam saat hampir berbareng dengan raja gunung, masing-masing terluka oleh senjata kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup hebat untuk membuat mereka tak mampu bertempur lagi dan harus beristirahat untuk beberapa pekan! Tanpa mempedulikan lagi mereka berdua yang kini merangkak-rangkak menjauhkan diri dari itu, Kim-mo Taisu menghampiri Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata,

   "Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan segala rampok dan bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat macam begitu untuk menggangu pertemuan kita? Segala macam penjahat kecil yang tidak ada artinya, memuakkan saja!"

   Pouw Kee Lui tersenyum menyeringai.

   "Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa tekebur dan bangga. Masih ada beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu denganmu."

   Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui lalu membalikkan tubuh, menjura dan memberi hormat sambil berkata,

   "Cu-wi Locianpwe, harap sudi memperlihatkan diri!"

   Dari balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa orang dan dapat dibayangan betapa heran dan kagetnya hati Kim-mo Taisu melihat mereka. Diantaranya banyak yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang pernah menjadi lawannya, yaitu Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya yang memang ia cari untuk membalaskan kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa Si Ratu Pelacur!

   Orang kedua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma Thai Kun, sute (adik seperguruan) Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya karena cemburu dan iri hati karena paman guru ini mencintai murid keponakannya sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti ia membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah, merenggut wanita terkasih. Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu Kim-tung Sin-yang dan Koi-tung Tiang-lo dari Sin-yang. Didekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan serius, sikapnya gagah. Dia ini adalah Lauw Kiat, murid terkasih Ban-pi Lo-cia. Lauw Kiat ini seorang petualang dari selatan yang merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan Ban-pi Lo-cia lalu menjadi muridnya, ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkat suhengnya, yaitu Bayisan.

   "Ha-ha, Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku memperkenalkan mereka kepadamu?"

   Kim-mo Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan, aku dan dia adalah kenalan lama. Kau adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis jembel gila lalu berjuluk Kim-mo Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan lama!"

   "Orang she Kwee ini dengan aku pun mempunyai perhitungan lama yang belum dibereskan, Pouw-pangcu."

   Kata Ma Thai Kun yang tidak suka banyak bicara lalu maju menerjang Kim-mo Taisu dengan pukulan yang mengeluarkan sinar merah.

   Melihat tangan yang kemerahan itu, maklumlah Kim-mo Taisu bahwa Ma Thai Kun telah dapat menyempurnakan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang memang telah dimilikinya sejak dahulu. Namun, ketika ia mengelak, kagetlah ia karena dari kepalan tangan merah itu tampak uap mengepul putih yang seakan-akan menyambar mukanya dengan hawa pukulan yang amat hebat.

   Biarpun pukulan itu tidak mengenai sasaran, namun hawa pukulannya yang berupa uap putih itu masih merupakan ancaman hebat. Dengan kaget Kim-mo Taisu mencelat mundur dan mengatur sikap, karena lawannya ini ternyata telah maju amat pesat kepandaiannya. Memang sesungguhnya tepat dugaan Kim-mo Taisu itu. Kini Ma Thai Kun yang meninggalkan Beng-kauw, bertahun-tahun bertapa sambil menggembleng diri sehingga ia berhasil menyempurnakan Ang-tok-ciang sedemikian rupa dan merobahnya menjadi ilmu pukulan yang ia namakan Cui-beng-ciang, (Tangan Pengejar Nyawa)! Kembali Ma Thai Kun menerjang maju, dari kedua tangannya keluar hawa pukulan berputar-putar yang amat panas. Terpaksa kali ini Kwee Seng menggunakan Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) untuk menangkis karena selain tak mungkin menghadapi desakan lawan tangguh hanya dengan berkelit, juga ia ingin menguji kekuatan lawan. Ketika kedua lengan bertemu,

   Ma Thai Kun kaget sekali karena merasa betapa tanaganya seperti tenggelam dan tangan lawan sedemikian lunaknya sehingga ilmunya Cui-beng-ciang tidak berpengaruh sedikit pun, sebaliknya ada hawa dingin yang menjalar dari tangannya sampai kepangkal lengan. Oleh karena ini, cepat ia menarik tangannya, menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan. Hanya dengan cara ini ia dapat terbebas dari pengaruh Bian-sin-kun. Sambil melompat berdiri, diam-diam Ma Thai Kun juga maklum bahwa ilmu kepandaian Kwee Seng ternyata telah meningkat hebat. Maka ia bersikap hati-hati dan menyerang lagi dengan Cui-beng-ciang, ditujukan ke arah anggota tubuh yang berbahaya, tidak mau lagi bertanding mengadu tenaga seperti tadi. Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak.

   "Hua-ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Kiranya kau telah memperoleh sedikit kemajuan, pantas saja kau berani berlagak. Kau makan cambukku!"

   Ucapan ini disusul suara ledakan cambuk diudara dan tampaklah gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil melayang dari tangan Ban-pi Lo-cia. Itulah cambuknya yang hebat, yang terkenal sebagai senjata tunggalnya yang ampuh disebut Lui-kong-pian (Cambuk Petir), terbuat daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat ditemukan di laut utara, di antara gunung-gunung es!

   "Bagus! Kalian pengecut-pengecut besar boleh mengeroyokku!"

   Kim-mo Taisu tertawa mengejek dan berkelebat cepat menyelinap diantara garis-garis lingkaran yang dibentuk sinar cambuk, kemudian membalas lawan lama ini dengan sebuah tendangan kilat.

   Ketika Ban-pi Lo-cia menangkis tendangan ini dengan tangan kirinya, Kim-mo Taisu mempergunakan tenaga tangkisan lawan untuk mencelat ke arah Ma Thai Kun dan sudah mendahului orang she Ma ini dengan sebuah gerakan dari ilmu silat Lo-hai-kun (Pengacau Lautan). Demikian cepat dan tak terduga gerakannya ini sehingga biarpun Ma Thai Kun sudah cepat menangkis, namun pundaknya masih kena tampar, kelihatannya tidak keras namun cukup membuat Ma Thai Kun terlempat dan bergulingan sampai lima meter jauhnya! Namun Ma Thai Kun memiliki kekebalan, dan tenaga dalamnya sudah cukup kuat, maka ia dapat melompat bangun kembali sambil menerjang maju dengan kemarahan meluap-luap. Pada saat itu, murid Ban-pi Lo-cia yang bernama Lauw Kiat sudah maju pula. Dia ini bersenjatakan sebuah tongkat dan gerakannya ternyata cukup hebat.

   Pemuda ini menerjang tanpa banyak suara, akan tetapi serangannya selain kuat juga sungguh-sungguh sehingga sekali gebrakan saja ia sudah mengirim serangan sampai tiga jurus. Kim-mo Taisu menggunakan ginkangnya menghindarkan diri dan ia belum sempat membalas pemuda she Lauw itu karena kini kedua orang ketua kai-pang sudah menerjangnya juga sehingga dalam sekejap mata ia sudah dikurung oleh lima orang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali tentu saja Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun, Kim-mo Taisu maklum bahwa orang-orang pandai dan keadaannya berbahaya, namun seujung rambut pun ia tidak terjadi gentar. Sambil mengerakan gin-kangnya yang kini menanjak tinggi tingkatnya sejak ia berlatih di dalam Neraka Bumi, ia malah mengejek kepada Pouw Kee Lui yang masih berdiri menonton. Hatinya panas bukan main dan diam-diam ia kagum akan kecerdikan raja pengemis yang masih muda itu, yang dapat mengerahkan dan mempergunakan orang-orang pandai sedangkan dia sendiri enak-enak menonton.

   "Aha, tikus busuk she Pouw yang mengaku raja pengemis, kiranya kau hanyalah raja pengecut yang mengandalkan kawan banyak!"

   Ia terpaksa berhenti untuk menangkis pukulan tongkat Lauw Kiat yang tak dapat ia elakkan. Tangkisan ini disertai tenaga dalam sehingga Lauw Kiat berteriak kaget dan terlempar sampai jauh bersama tongkatnya! Kemudian Kim-mo Taisu sudah berkelebat lagi menghindar dari sambaran cambuk Ban-pi Lo-cia, sambil mengelak kakinya mencongkel kearah Koai-tung Tiang-lo. Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan pengemis di Sin-yang dan sudah terjatuh ke dalam tangan Pouw-kai-ong ini berteriak kaget, roboh terguling-guling dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut kanannya terlepas!

   "Ha-ha, Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi aku, bukan?"

   Melihat betapa dikeroyok lima, lawannya itu masih dapat mengejeknya bahkan merobohkan Koai-tung Tiang-lo, diam-diam Pouw Kee Lui terkejut sekali. Ia maklum bahwa Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak mengira akan dapat menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia dan yang lain-lain itu.

   "Kim-mo Taisu, kematian sudah didepan mata masih berani mengoceh!"

   Teriak si Raja Pengemis dan cepat ia menerjang maju, menggabungkan diri dengan barisan pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok lima. Akan tetapi pengeroyokan yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding dengan tadi. Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang yang memiliki kepandaian seperti raja pengemis ini. Begitu maju dan menerjangnya dengan tubuh berputar-putar sehingga tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti angin badai dan kelihatannya seperti berubah menjadi belasan banyaknya.

   
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kim-mo Taisu maklum bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak kalah berat jika dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, malah lebih lihai daripada Ma Thai Kun! Sibuklah Kim-mo Taisu sekarang, tadi pun ia sudah repot melayani desakan para pengeroyoknya dan hanya menghindar mengandalkan kecepatan gerakannya, akan tetapi sekarang pengeroyokan ditambah dengan Pouw-kai-ong yang ternyata memiliki gerakan yang hampir sama cepatnya dengan dia sendiri. Betapa pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian, tetap ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Namun, kelima orang lawannya itu pun terheran-heran betapa orang yang mereka keroyok itu selalu dapat menghindar dari serangan yang bertubi-tubi itu.

   "Ha-ha-ha, alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal mengeroyok seorang lawan yang bertangan kosong!"

   Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan ini ia bayar dengan terpukulnya pinggang oleh tongkat di tangan Kim-tung Sin-kai. Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka pencurahan panca inderanya terganggu dan pada detik yang bersamaan, setelah berhasil menghindarkan yang lain, ujung cambuk Ban-pi Lo-cia menyambar dari atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang. Tiga orang pengeroyok lain telah menutup jalan keluarnya, maka ia harus mengadakan pilihan.

   Menghindarkan tongkat berarti membuka jalan untuk datangnya cambuk, menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman tongkat. Kim-mo Taisu tentu memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya maut, sedangkan Kim-tung Sin-kai biarpun lihai, dapat ia atasi tenaganya.

   "Bukkk!"

   Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi dilain pihak Kim-tung Sin-kai menyeringai aneh dan tubuhnya terangkat keatas. Kim-mo Taisu menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua kaki Kim-tung Sin-kai yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga empat orang pengeroyoknya tidak berani turun tangan khawatir akan mengenai tubuh kawan sendiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-mo Taisu untuk meloncat tinggi ke atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah turun kembali keatas tanah, tangan kanannya memegang sebatang cabang pohon itu!

   "Ha-ha-ha, sekarang ada senjata ditanganku, majulah!"

   Ia menantang dan kagum juga melihat bahwa Kim-tung Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka. Ia heran tadinya karena tahu betul bahwa ketika pinggangnya terpukul, ia mengerahkan sin-kang yang tentu akan membuat tenaga kakek itu membalik dan melukai isi perutnya sendiri.

   Akan tetapi ketika melirik kearah Pouw-kai-ong yang baru saja mengantongi bungkus merah, ia dapat menduga bahwa tentulah Si Raja Pengemis itu yang mempunyai obat penawar yang manjur sekali. Kini tanpa menanti datangnya pengeroyokan, Kim-mo Taisu mendahului menggerakkan cabang pohon liu itu dan serta-merta ia mainkan Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) yang ia cipta dan sempurnakan dengan dasar ilmu yang ia baca dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi. Hebat sekali gerakannya ini, karena selain ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang diciptakan menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang seluruh anggota tubuh Kim-mo Taisu sudah terlatih sehingga hawa sin-kang di dalam tubuhnya sudah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi.

   Cabang kayu ditangannya itu mengeluarkan bunyi seperti angin mendesir-desir, membentuk sinar kehijauan bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh belas batang kayu kelihatan jelas sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke mari membagi-bagi serangan kepada lima orang lawan. Dengan bersenjatakan cabang kayu mainkan Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus bertahan, akan tetapi tidak sepayah tadi. Kini ia mampu balas menyerang, akan tetapi karena daya serangnya hanya satu bagian saja sedangkan yang sembilan bagian dipakai untuk bertahan, maka tentu saja serangan balasannya itu tidak ada artinya bagi lawan seperti Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong dapat mengimbangi. Hanya kedua orang lainnya Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia yang tingkat kepandaiannya lebih rendah, terpengaruh serangan balasannya.

   Melihat ini, Kim-mo Taisu lalu menujukan serangan balasan kepada dua orang itu. Ketika ia mendapat kesempatan, cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak disertai seruan keras, tubuhnya menyambar laksana seekor burung garuda. Kedua orang yang diserang itu tiba-tiba menjadi silau matanya oleh sinar yang menyambar dahsyat. Mereka mencoba untuk menangkis dengan tongkat di tangan mereka, akan tetapi tongkat mereka, seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa, terlepas dari tangan mereka, kemudian sinar hijau berkelebat cepat dan robohlah Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat, muntah darah! Beberapa orang anggota pimpinan pengemis yang kiranya sudah berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju menolong dan membawa mereka mundur.

   "Ha-ha-ha. Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah pengeroyokan?"

   Kim-mo Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di tangannya. Marahlah tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia. Beberapa tahun yang lalu, ia masih dapat mengatasi kepandaian Kim-mo-eng, dan selama ini kepandaiannya sendiri tidak berkurang, sungguhpun tenaga dalam dan hawa sakti didalam tubuhnya tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu menuruti nafsu birahinya yang tak kunjung padam. Namun ia merasa lebih unggul daripada seorang lawan semuda Kim-mo-eng yang kini menjadi Kim-mo Taisu. Ia jauh lebih tua, tentu lebih terlatih dan lebih berpengalaman.

   Maka mendengar ejekan ini, matanya melotot besar kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti beruang terluka dan tanpa berkata apa-apa Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan kerasnya lalu membentuk sinar hitam yang melingkar-lingkar dan bagai hujan datang menyambar ke arah Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah, cepat memutar cabang liu ditangannya, membentuk sebuah bayangan payung yang melindungi tubuhnya dari atas. Pouw Kee Lui biarpun masih muda, namun dia belum pernah menemui lawan tangguh, maka sekali ini ia pun amat penasaran. Ilmu kepandaiannya adalah warisan orang sakti yang merupakan ilmu yang jarang ditemui orang di dunia persilatan, dan dalam hal tenaga dalam hawa sakti, dia boleh dibilang termasuk orang tingkatan tinggi.

   Ketika tadi Kim-mo Taisu mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia pun sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang tongkat pula, yang ia mainkan seperti orang bermain toya, kini melihat betapa lawan yang dikeroyok itu berhasil merobohkan dua orang kawan, ia menjadi marah dan penasaran. Pouw Kee Lui berseru keras, menekan ujung tongkat yang ada rahasianya sambil mencabut dan tahu-tahu sebatang pedang telah ia keluarkan dari dalam tongkat, pedang yang mempunyai sinar merah! Kemudian dengan gerakan yang tangkas sekali ia menyerbu, pedang ditangan kanan diputar dan tongkat di tangan kiri digerakkan secara aneh. Belum pernah dalam sejarah ilmu silat ada orang mainkan pedang ditangan kanan dan tongkat ditangan kiri, karena sebetulnya kedua senjata ini mempunyai gaya permainan yang amat berbeda, bahkan berlawanan.

   Namun raja pengemis itu dapat memainkannya seakan-akan ia menjadi dua orang yang memegang pedang dan toya. Hanya Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang bekas tokoh Beng-kauw
(Lanjut ke Jilid 19)
SULING EMAS (Seri ke 02 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
ini tidak suka menggunakan senjata, hanya mengandalkan keampuhan kedua tangannya yang sejak puluhan tahun telah digembleng telah di "isi"

   Hawa beracun sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh dan lebih berbahaya daripada sepasang senjata. Kalau senjata tajam hanya melukai kulit dan daging namun tangan Ma Thai Kun ini selain merusak kulit daging, juga memasukkan hawa beracun! Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan Cui-beng-ciang yang amat hebat. Terlalu benci ia kepada Kim-mo Taisu yang membuat ia kehilangan wanita yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw, maka setiap pukulannya merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan.

   namun Kim-mo Taisu agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan maut ini sehingga membuat Ma Thai Kun menjadi makin marah dan penasaran. Setelah tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap, diam-diam Kim-mo Taisu harus mengakui bahwa sekali ini ia benar-benar dihadapkan kepada ujian berat sekali. Kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, biarpun mereka ini merupakan lawan yang jarang dapat dicari bandingnya, namun ia masih sanggup merobohkan mereka seorang demi seorang. Akan tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama seperti ini, benar-benar amatlah berat karena mereka bertiga itu memiliki kepandaian khusus yang harus dihadapi secara khusus pula.

   Dengan pengeroyokan ini, tak mungkin ia memecah perhatian menjadi tiga untuk menghadapi mereka secara khusus, hanya dapat mempertahankan diri dan sekali-kali membalas dengan serangan yang tak berarti. Setelah kekurangan dua orang pengeroyok, tiga orang ini bukan menjadi lemah, bahkan makin kuat. Hal ini adalah karena dua orang yang telah toboh tadi memiliki tingkat jauh lebih rendah sehingga mereka berdua tadi bukannya membantu, bahkan menjadi penghalang gerakan bagi gerakan tiga orang ini dan sekarang setelah lapangannya lebih luas dan longgar, mereka ini dapat bersilat leluasa dan mencurahkan seluruh daya serangnya. Kim-mo Taisu terdesak hebat. Apalagi kini Ban-pi Lo-cia menyelingi ayunan cambuknya dengan pukulan Hek-see-ciang, yaitu pukulan beracun dari Tangan Pasir Hitam yang hanya setingkat lebih lunak daripada tangan Cui-beng-ciang milik Ma Thai Kun!

   Bukan ini saja, juga Pouw-kai-ong menambah permainan tongkat dan pedangnya dengan serangan air ludah! Luar biasa berbahaya, dan menjijikkan sekali cara bertempur Si Raja Pengemis ini. Akan tetapi air ludah yang kadang-kadang ia semburkan dari mulutnya itu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Ketika Kim-mo Taisu kurang cepat mengelak sehingga ada air ludah sedikit mengenai betisnya, terasa panas seperti terpercik air mendidih! Ia kaget sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga orang pengeroyoknya yang lihai ini dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai-kun. Kalau tadi ia mainkan Cap-jit-seng-kiam, maka permaianannya itu hanyalah ilmu pedang belaka, ilmu pedang yang luar biasa namun masih kurang berhasil untuk menghadapi pengeroyokan lawan yang begini saktinya. Kini ia mainkan kedua ilmu itu yang sebetulnya merupakan ilmu yang sudah ia rangkai menjadi sepasang, dapat dimainkan berbareng.

   Pada dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang, penyempurnaan dari Pat-sian Kiam-hoat atas petunjuk manusia dewa Bu Kek Siansu, sedangkan Lo-hai-kun aslinya adalah Lo-hai-san-hoat, ilmu kipas yang juga telah mendapat petunjuk Bu Kek Siansu. Jadi kalau menurut semestinya, Kim-mo Taisu harus bermain pedang dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara sempurna. Akan tetapi sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi sehingga ia tidak memiliki pedang maupun kipas, hanya mengandalkan tangan kaki dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebatai pedang. Tentu saja tidak bisa sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena tidak ada pedang, kini ia menggantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan kirinya karena tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah menjadi ilmu pukulan yang mendatangkan angin.

   Betapapun juga, Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia sibuk mengelak dan menangkis desakan pukulan Ma Thai Kun dan pedang serta tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam ditangan Ban-pi Lo-cia telah membelit pinggangnya! Kim-mo Taisu terkejut sekali. Dahulu ketika bertanding melawan Ban-pi Lo-cia, pernah terbelit juga pinggangnya dan ia tidak mampu melepaskan diri begitu saja. Oleh karena ini seperti juga dahulu, ia cepat mengerahkan tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk, tubuhnya melayang ke arah Ban-pi Lo-cia dan cabang di tangannya menusuk dada sedangkan tangan kirinya menampar kepala! Hebat bukan main serangan ini dan Ban-pi Lo-cia tidak menyangka bahwa lawannya akan melakukan perlawanan senekat ini. Terpaksa ia melepaskan cambuknya yang melibat tubuh lawan dan bergulingan ke belakang!

   Memang Kim-mo Taisu juga hanya menggunakan siasat agar terlepas dari libatan cambuk, maka ia tidak mengejar karena pada saat itu, pedang ditangan Pouw Kee Lui sudah menyerangnya dengan ganas sekali, disusul pula hantaman tongkatnya. Kim-mo Taisu cepat menangkis pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa sakti dari tubuh mereka, ketiga senjata ini melekat, saling mengisap dan saling membetot. Pada saat itu, Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang lutut Kim-mo Taisu, membuat pendekar ini roboh terguling. Namun cabang liu itu masih menempel pada pedang dan tongkat Pouw Kee Lui dan kini dalam keadaan setengah berbaring, Kim-mo Taisu mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee Lui yang hendak menindas atau membikin patah cabang itu ditangannya. Adu tenaga dalam terjadi. Kim-mo Taisu di bawah dan Pouw Kee Lui diatas. Namun perlahan-lahan cabang liu itu terangkat keatas, menjadi bukti bahwa raja pengemis itu kalah kuat. Ma Thai Kun sudah melangkah maju, wajahnya merah dan membayangkan kegirangan hatinya.

   "Sekarang mampus engkau!"

   Katanya lalu mengirim pukulan Cui-beng-ciang kearah kepala Kim-mo Taisu! Kagetlah pendekar ini. Karena senjatanya masih saling lekat dengan senjata Si Raja Pengemis, maka tak mungkin ia mengelak lagi dalam keadaan setengah terbaring itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga sakti dan menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk menangkis.

   "Plakk!"

   Kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain sehingga kini dalam keadaan setengah terbanting itu Kim-mo Taisu harus menahan tekanan kedua orang lawan dengan kedua tangannya! Keadaannya menjadi berbahaya sekali karena Ban-pi Lo-cia sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya untuk menghantam lawan yang sudah tak dapat menghadapinya lagi itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak disusul ucapan nyaring.

   "Ha-ha-ho-ho! Setelah mendurhakai Beng-kauw, kau masih berani bersekongkol dengan segala macam penjahat? Benar memalukan sekali!"

   Dan munculah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah lebar menghampiri tempat pertandingan itu. Bukan main kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya bekas suhengnya ini. Dalam keadaan tangannya lekat pada tangan Kim-mo Taisu, berbahayalah kalau ia diserang, sedangkan ia maklum akan watak suhengnya ini yang keras seperti baja dan tidak mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik kembali tenaganya melompat mundur dan dengan mata beringas ia memandang suhengnya, lalu memaki.

   "Lui Gan, diantara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi, mengapa kau selalu menentang aku?"

   "Cerewet, sebelum menghajar mampus padamu dengan tangan sendiri, hatiku takkan tentram karena pada suatu saat tentu kau mampus di tangan orang lain dan hal ini sama sekali tidak kukehendaki!"

   "Liu Gan, kau benar-benar terlalu!"

   Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan sambil mengeluarkan teriakan garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat menangkis. Di lain saat kedua orang yang tadinya menjadi kakak beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan seru. Biarpun sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo Taisu masih dalam bahaya, karena Ban-pi Lo-cia kini sudah mengayun cambuk menghantam kepalanya, sedangkan ia masih setengah berbaring. Akan tetapi, tiba-tiba Ban-pia Lo-cia berseru marah, tubuhnya terhuyung kebelakang dan otomatis serangannya tadi tidak dilanjutkan.

   "Setan iblis manakah yang berani main-main dengan Ban-pi Lo-cia?"

   Bentaknya. Terdengar jawaban nyaring pula,

   "Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan. Tempo hari, karena kecurangan dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang, kau rasakanlah tanganku!"

   Dan muncullah seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan kumisnya panjang, yang "berdiri"

   Bukan diatas kedua kaki melainkan diatas sepasang tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin atau bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang terkenal dengan julukan Sin-jiu Couw Pa Ong!

   "Couw Pa Ong! Kau masih belum mampus?"

   Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali. Ketika merobohkan Kerajaan Tang dan Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu Sin-jiu Couw Pa Ong sudah dipukul roboh dan menderita luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah tak dapat digunakan lagi.

   Bagaimana sekarang kakek itu dapat muncul kembali? Ia tahu betul betapa lihainya kakek ini, maka hatinya menjadi gentar. Apalagi ketika tadi melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah tak bernafsu lagi untuk melanjutkan pertandingan. Ban-pi Lo-cia yang cerdik sudah cepat membuat perhitungan di dalam hati. Ma Thai Kun tentu sukar dapat mengalahkan bekas suhengnya. Pouw-kai-ong juga agaknya sukar sekali dapat mengatasi Kim-mo Taisu, sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menangkan Couw Pa Ong, biarpun kakek itu kini sudah lumpuh kedua kakinya. Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak sambil berkata.

   "Couw Pa Ong, sekarang diantara kita tidak ada urusan lagi. Biarlah aku pergi saja!"

   Ia lalu melesat jauh dan pergi dari tempat itu.

   "Monyet dari Khitan, kau hendak lari kemana?"

   Kakek lumpuh itu lalu mencelat kedepan dan kedua tongkat yang menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari cepat sekali mengejar Ban-pi Lo-cia.

   Melihat seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati Pouw Kee Lui menjadi gentar. Ia menggunakan kesempatan selagi Kim-mo Taisu memandang kakek lumpuh dengan mata terheran-heran itu untuk meloncat pula dan lari pergi. Kim-mo Taisu tidak mengejar, karena pendekar ini sedang merasa terheran-heran. Sudah lama ia mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat betapa Ban-pi Lo-cia yang kosen itu lari ketakutan bertemu dengan kakek lumpuh ini, ia dapat menduga betapa kakek lumpuh ini tentulah amat lihai dan ternyata benar dugaannya karena cara kakek ini lari secepat itu dengan sepasang tongkat saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dengan Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai urusan yang amat penting, maka ia mendiamkan saja raja pengemis itu lari.

   Ma Thai Kun berusaha melawan bekas suhengnya, namun setelah beberapa kali mereka beradu lengan, maklumlah Ma Thai Kun bahwa ia masih belum dapat menandingi bekas suhengnya. Maka setelah melihat betapa Ban-pi Lo-cia lari juga Pouw Kee Lui yang dibantunya lari diam-diam ia mengutuk kecurangan dan sifat pengecut mereka. Ia mengerahkan tenaga, membentak dan menyerang dengan jurus Cui-beng-ciang yang paling hebat. Pat-jiu Sin-ong tertawa mengejek dan menyambut datangnya pukulan itu dengan kekerasan pula. Dua pasang tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga meter ke belakang, akan tetapi Ma Thai Kun terguling-guling muntahkan darah segar, melompat kembali dengan muka pucat lalu melarikan diri.

   "Kalau belum mampus hatiku belum tenteram!"

   Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat kemudian Kim-mo Taisu berdiri seorang diri di tempat yang kini menjadi amat sunyi itu. Ia termenung, menghela napas berulang-ulang. Tadi hampir saja ia menghadapi bahaya maut yang tak terelakkan lagi. Akhirnya datang pertolongan kalau memang Tuhan belum menghendaki dia mati, pikirnya. Ia cukup mengenal Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Mustahil kakek ini sengaja menolongnya. Andaikata seorang di antar para pengeroyok bukan Ma Thai Kun, agaknya kakek Beng-kauw itu akan menjadi penolong dan menikmati kematiannya dalam pengeroyokan.

   

Pedang Penakluk Iblis Eps 30 Tangan Geledek Eps 18 Bu Kek Siansu Eps 19

Cari Blog Ini