Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 21


Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Tapi di sini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako datang."

   "Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya."

   Tanpa memberi kesempatan lagi kepada Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang tangannya dan diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sunsai itu ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin.

   Sebetulnya kalau Bu Sin dan Sian Eng melakukan perjalanan cepat dan sengaja mengejar rombongan yang membawa Lin Lin, agaknya dalam waktu setengah hari akan dapat menyusul mereka. Akan tetapi kakak beradik ini tidak tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang melambat dengan harapan akan segera dapat tersusul Suling Emas karena betapapun juga, berpisah dari kakak yang sakti ini mereka merasa tidak enak. Mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai sambil setengah menanti munculnya Suling Emas. Dan inilah sebabnya maka jarak antara mereka dan rombongan orang Khitan tetap jauhnya, bahkan makin menjauh karena kadang-kadang perahu besar itu sengaja dipercepat untuk membikin Lie Bok Liong yang mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.

   Suling Emas setelah melihat kedua orang adiknya pergi cepat, menjadi lega hatinya. Ia tadi melihat munculnya Toat-beng Koai-jin dan beberapa orang di belakang kakek berpunuk itu yang gerakan-gerakannya cukup membayangkan kepandaian tinggi. Oleh karena inilah maka ia bersikeras menyuruh kedua adiknya pergi lebih dulu, karena ia maklum bahwa menghadapi lawan-lawan setangguh itu, kehadiran Bu Sin dan Sian Eng merupakan bahaya. Sekarang hatinya lega dan sambil tersenyum mengejek ia berkata.

   "Tok-sim Lo-tong, karena aku tidak bermusuhan dengan Thian-te Liok-koai, juga denganmu pribadi tidak ada dendam mendendam. Mengapa kau bersikeras dan tidak mau membuka mata bahwa sejak tadi aku berlaku murah dan mengalah? Sekarang suhengmu datang dan teman-temanmu, aku tidak bisa bersikap mengalah lagi"

   Tiba-tiba Suling Emas menggerakkan sulingnya secara aneh, yaitu ia telah mainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Awan) ini adalah ilmu kesaktian yang ia terima dari kakek sakti Bu Kek Siansu dan selama ini merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib ini tidak akan sembarangan ia keluarkan kalau tidak perlu.

   Dengan ilmu silatnya yang sudah amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu simpanan ini pun Suling Emas jarang menemukan tandingan. Akan tetapi karena sekarang ia melihat keadaan mendesak dengan munculnya Toat-beng Koai-jin yang lihai, sedangkan ia harus menyusul kedua orang adiknya, harus segera mencari Lin Lin dan merampas kembali tongkat kebesaran Beng-kauw, maka terpaksa ia mengeluarkan ilmu simpanannya ini untuk menghadapi Tok-sim Lo-tong yang benar-benar lihai dan tangguh itu. Tok-sim Lo-tong terkesiap, mengeluarkan pekik aneh ketika tiba-tiba matanya menjadi silau. Di depan matanya hanya berkelebatan sinar keemasan dari suling lawan yang bergerak membentuk coret-moret tidak karuan, namun selain indah gayanya, juga mengandung tenaga mujijat yang sukar ia lawan. Selama hidupnya kakek ini belum pernah gentar menghadapi ilmu silat dari manapun juga, akan tetapi menghadapi gerakan aneh yang mengandung getaran mujijat ini, ia benar-benar kaget sekali.

   Cepat ia mengerahkan tenaga sin-kangnya, dan mengingat bahwa suling bukanlah senjata tajam, Tok-sim Lo-tong lalu mencengkeram dengan tangan kirinya untuk merampas suling sedangkan tangan kanannya mencengkeram pundak lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika cengkeramannya pada pundak meleset seperti mencengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang bertemu dengan suling, seketika menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke belakang, membuat gerakan jungkir balik tiga kali lalu ia menggelinding sampai sepuluh meter lebih jauhnya. Untung ia membuat gerakan ini untuk menolong dirinya, kalau tidak tentu ia akan celaka, sedikitnya akan terluka parah. Kehebatan jurus yang dikeluarkan Suling Emas ini tidaklah mengherankan. Ia tadi mengeluarkan jurus ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat dengan dasar coretan huruf TO. Huruf ini merupakan huruf sakti, atau huruf ajaib bagi para ahli filsafat. Memang bagi orang biasa, huruf ini berarti JALAN, akan tetapi bagi ahli kebatinan memiliki arti yang lebih mendalam dan luasnya bukan main.

   Bahkan Nabi Locu dengan kitab To-tik-keng (Tao-te-cing) yang terkenal di seluruh dunia itu mendasarkan filsafat-filsatatnya bersumber pada huruf TO inilah"

   Demikian dalam dan penuh rahasia serta gaibnya huruf TO ini sehingga di dalam kitab itu disindirkan bahwa TO tidak dapat diterangkan, tidak dapat disebut, tiada bernama, saking kecilnya tidak tampak, saking besarnya memenuhi alam semesta, lebih gaib daripada yang gaib, sumber segala yang ada dan tidak ada, semua rahasia. Demikianlah untuk menggambarkan huruf TO ini, dan sebagian kaum cerdik pandai membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN TERTINGGI. Nah, dengan mendasarkan jurusnya pada huruf gaib ini mana bisa Tok-sim Lo-tong menghadapinya? Sekali gebrakan saja, kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, tentu ia akan mengalami celaka besar.

   Pada saat Tok-sim Lo-tong bergulingan, Toat-beng Koai-jin sudah tiba di tempat itu, bersama tiga orang temannya yang sebetulnya adalah anak buah It-gan Kai-ong. Seperti kita ketahui, kakak beradik liar ini dapat dibujuk oleh It-gan Kai-ong dan menjadi pembantu-pembantunya. Kini mereka berdua, dibantu tiga orang anak buah pengemis itu, memang ditempatkan di situ untuk menghadang perjalanan Suling Emas. Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek aneh ini amat sembrono maka tadi yang berada di jembatan tambang hanya Tok-sim Lo-tong, sedangkan Toat-beng Koai-jin yang menganggur menjadi tidak betah, dan mengajak tiga orang pembantu itu memasuki hutan mencari daging binatang. Toat-beng Koai-jin melihat sutenya bergulingan, cepat menghampiri dan dengan suara khawatir bertanya,

   "Bagaimana, Sute? Kau tidak apa-apa, kan, Sute?, Ia merangkul si kurus itu dan mengelus-ngelus kepalanya yang gundul, sikapnya seperti scorang kakak menghibur adiknya. Dan anehnya, Tok-sim Lo-tong menangis dalam rangkulan suhengnya. Tangis manja seorang anak kecil.

   Adapun tiga orang pembantu It-gan Kai-ong itu ketika melihat Suling Emas segera menyerbu dengan golok di tangan. Mereka semua maklum akan kelihaian Suling Emas, akan tetapi karena di situ ada Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, tentu saja mereka berbesar hati dan berani menyerbu, pada saat itu tangan Suling Emas masih bergerak melanjutkan coretan-coretan terakhir dari huruf To, hanya dua kali gerakan coretan lagi, namun ini sudah cukup karena terdengar tiga orang itu memekik keras, tubuh mereka terpental didahului golok yang patah-patah, roboh terbanting di atas tanah dan tidak dapat bangun kembali. Karena Suling Emas memang tidak mempunyai niat untuk menunda perjalanannya dengan pertempuran-pertempuran yang tidak beralasan, tanpa menoleh lagi ia lalu melompat dan pergi meninggaikan tempat itu.

   "He, Kim-siauw-eng, tunggu. Kau sudah berani mengganggu Suteku, beraninya hanya pada anak-anak, hayo kau lawan aku"

   Bentak Toat-beng Koai-jin sambil melompat berdiri dan melontarkan sebuah batu karang yang besar. Suling Emas tertawa dan mengelak sehingga batu besar itu dengan suara hiruk-pikuk menimpa pohon yang tumbang seketika.

   "Kau bilang Tok-sim Lo-tong anak-anak? Ha-ha, anak-anak tua bangka, seperti juga kau. Aku tidak ada waktu banyak, selamat tinggal"

   Suling Emas tidak berhenti berlari, tidak pedulikan lagi pada Toat-beng Koai-jin yang memaki-makinya dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong. Karena gin-kang dari Suling Emas sudah mencapai tingkat tinggi sekali, sebentar saja ia dapat meninggalkan dua orang pengejarnya dan lari menuruni bukit menuju ke arah Sungai Kan-kiang. Adapun tiga orang yang dirobohkannya tadi masih belum dapat bangun, biarpun tidak tewas namun masih "ngorok"

   Seperti babi disembelih.

   Kalau tadi Sian Eng dan Bu Sin menghabiskan waktu satu jam untuk menuruni bukit itu, bagi Suling Emas hanya membutuhkan belasan menit saja. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat banyak sekali orang menghadangnya di tepi Sungai Kan-kiang. Ia kaget melihat It-gan Kai-ong sudah berada di situ, dan ia heran menyaksikan puluhan orang yang ia kenal sebagai tamu-tamu yang tadinya berkumpul di Nan-cao dan yang sudah meninggalkan Nan-cao dua tiga hari yang lalu. Ada tokoh-tokoh besar wakil dari partai-partai persilatan besar, ada pula hwesio-hwesio Siauw-lim, ada pendeta-pendeta tosu dari Go-bi-pai dan Kong-thong-pai. Dan mereka ini semua rata-rata bersikap keren dan bermusuh.

   "Para sahabatku, itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi"

   Kalau bukan dia yang harus membayar hutang mendiang ibu kandungnya, siapa lagi?"

   Terdengar It-gan Kai-ong berseru sembil tertawa mengejek. Kini Suling Emas sudah berhadapan dengan mereka. Melihat semua orang itu siap mengeroyoknya, Suling Emas cepat mengangkat tangan ke atas sambil berkata.

   "Saudara-saudara sekalian ini bukankah tadinya menjadi tamu-tamu terhormat di Nan-cao? Mengapa tidak lekas kembali ke tempat masing-masing dan menghadangku di sini? Ada urusan apakah?"

   Orang banyak itu melangkah maju, dan seperti seribu burung berkicau mereka menjawab dengan ucapan masing-masing. Akan tetapi rata-rata mereka itu marah dan Suling Emas masih sempat mendengar betapa mereka itu menaruh dendam atas perbuatan-perbuatan mendiang ibunya. Ia menjadi bingung, kemudian melihat seorang hwesio tua dari Siauw-lim-pai yang dikenalnya baik ia cepat menegur hwesio itu.

   "Cheng San Hwesio, kau mengenal baik padaku dan kiranya cukup maklum bahwa aku selamanya tidak memusuhi Siauw-lim-pai dan lain-lain golongan. Mengapa sekarang terjadi pencegatan ini mengapa pula kau ikut-ikutan hendak memusuhiku? Apakah salahku terhadap Siauw-lim-pai?"

   "Hemmm, Suling Emas, memang kau tak pernah memusuhi kami, bahkan kau selalu berbaik dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi kebaikanmu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kejahatan ibu kandungmu. Tiga orang suhengku tewas dua puluh tahun yang lalu dan seorang suteku diculik ibumu, kemudian tewas pula tidak tentu kuburnya setelah dijadikan barang permainan ibu kandungmu. Dosa itu tak berampun, dan karena ibumu sudah tewas, kaulah yang harus membayar hutangnya. Harap saja kau suka menyerahkan agar pinceng (aku) bawa kau menghadap ketua kami di Siauw-lim"

   "Mana bisa, Cheng San Hwesio"

   Bantah seorang tosu yang dikenal pula oleh Suling Emas sebagai seorang tokoh Hoa-san bernama Kok Seng Cu.

   "Pinto (aku) juga mempunyai urusan dengan Suling Emas karena ibunya, Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang lalu mengobrak-obrik Hoa-san, membunuh lima orang suhengku, mencuri pedang pusaka dan menghina ketua. Kami berusaha mencarinya selama ini, akan tetapi ia bersembunyi dan sekarang begitu keluar lalu binasa. Perhitungan lama belum dilunaskan, tahun yang lalu di Thai-san, seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu tewas oleh Siang-mou Sin-ni yang ternyata juga murid Tok-siauw-kui. Hemmm, siapa lagi kalau bukan Suling Emas yang harus mempertanggungjawabkan? Suling Emas, hayo kau ikut dengan pinto ke Hoa-san"

   "Tidak bisa"

   Kata seorang hwesio lain yang bermuka hitam bernama Hek Bin Hosiang tokoh Go-bi-pai.

   "Tok-siau-kui mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, tentu diberikan kepada puteranya. Suling Emas, kau kembalikan kitab itu, baru pinceng mau pergi"

   Sambil berkata demikian, hwesio muka hitam ini seperti yang lain-lain lalu melangkah maju sambil melintangkan toya baja di tangannya.

   Masih banyak yang bicara dan rata-rata mereka itu mengemukakan perbuatan-perbuatan Tok-siauw-kui dan menuntut balas pada Suling Emas. Pendekar ini menjadi kaget, menyesal, sedih dan juga bingung. Tak disangkanya bahwa ibunya yang selama ini menjadi kenangan yang dibela sehingga ia rela meninggalkan ayahnya, hidup terlunta-lunta, ternyata adalah seorang tokoh yang begini banyak musuhnya dan yang telah melakukan banyak perbuatan jahat. Rasa sesal di hatinya membuat ia ingin menebus dosa itu dengan nyawanya, ingin membiarkan dirinya dikeroyok dan dibunuh, ingin menebus dosa ibunya dengan cucuran darah dan melayangnya nyawa. Akan tetapi, ia masih mempunyai banyak tugas di dunia ini. Apalagi ia telah berdosa kepada ayah kandungnya, mengira ayahnya yang jahat terhadap ibunya.

   Kini ibunya yang banyak dosa telah tewas, ayahnya yang agaknya menjadi korban ibunya, yang ditinggal pergi ibunya telah tewas pula. Akan tetapi anak-anak ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng dan juga Lin Lin, ia harus melindungi mereka untuk menebus dosanya sendiri terhadap ayahnya. Pula semua tuduhan terhadap ibunya itu harus ia selidiki dulu. Dengan sudut matanya Suling Emas melihat orang-orang yang menghadapinya. Ada dua puluh empat orang, belum terhitung It-gan Kai-ong. Mereka itu rata-rata berilmu tinggi dan selain di situ ada It-gan Kai-ong yang tangguh, di sebelah belakang masih datang pula Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Kalau mereka semua maju, biarpun ia tumbuh sepasang sayap, kiranya ia takkan mungkin dapat menandingi mereka.

   "Kalian terburu nafsu. Andaikata mendiang ibuku melakukan semua itu, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak ada waktu untuk melayani kalian yang sedang mabuk dendam"

   Setelah berkata demikian, Suling Emas memutar sulingnya dan melompat jauh, lalu melarikan diri.

   Tentu saja ia tidak mau lari ke hilir karena hal itu tentu akan membawa ia ke tempat adik-adiknya dan kalau hal ini terjadi akan berbahayalah bagi adik-adiknya. Maka ia sengaja mengambil jalan yang sebaliknya. Yaitu ke hulu sungai, berlawanan dengan aliran air. Dengan suara gemuruh orang-orang itu melakukan pengejaran sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing. Suling Emas menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka, dan dengan ilmu silatnya yang tinggi, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi, menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang berilmu tinggi tentu saja ia akan terpaksa untuk mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan hal ini tentu akan mengakibatkan banyak korban jatuh.

   Hanya dengan jalan merobohkan dan membunuh ia akan dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini justeru sama sekali tidak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti ia menambah dosa-dosa ibunya. Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat larinya. Akan tetapi, para pengejarnya adalah tokoh-tokoh pilihan dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu saja pandai mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini dapat terus melakukan pengejaran den tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di belakangnya, bentakan yang amat nyaring dari seorang wanita.

   "Kau harus menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu. Lihat pedang"

   Suling Emas kaget sekali, cepat ia menghindar dengan langkah nyerong. Sinar pedang yang putih seperti perak meluncur lewat di atas pundaknya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik berpakaian serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah keren, pakaiannya sederhana dari sutera warna hijau, usianya sekitar tiga puluh tahun. Melihat cara pedang bersinat putih perak itu tadi menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak murid pilihan dari seorang ahli pedang dan ahli Sin-kang yang sakti. Gerakan wanita itu ringan bukan main, seakan-akan pandai terbang, dan gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling Emas terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas untuk mengebut pedang itu tiap kali sinarnya menyambar.

   "Kau siapa, Nona?"

   "Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai timur. Mendiang ayahku, Tan Hui, tewas di tangan ibu kandungmu yang jahat setelah ia mengelabuhi ayah sehingga berhasil mewarisi gin-kang dari ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus dosanya"

   Bentak wanita itu sambil menyerang lagi. Suling Emas kaget. Ia ingat akan nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur.

   "Ayahmu yang berjuluk Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang)?"

   "Betul dan sekarang menanti di akhirat untuk menunggu nyawamu"

   Diam-diam Suling Emas mengeluh. Apalagi setelah melihat para pengejar yang lain sudah datang dekat. Ia tidak tega merobohkan wanita ini. Nama besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar yang berbudi, kalau pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang anaknya berusaha membalas, bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?

   "Ibuku yang berbuat, aku tidak tahu apa-apa,"

   Katanya sambil mengebut pergi pedang yang kembali telah menusuknya dengan cepat.

   "Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi sedikit darahku"

   Sambil berkata demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling Emas sengaja membiarkan ujung bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga baju serta kulit dan sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi baju, akan tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena secara lihai sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas pada jalan darah di dekat siku.

   "Maafkan aku"

   Setelah berkata demiklan, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari secepatnya sebelum para pengejarnya datang dekat.

   Hanya sebentar saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas sengaja dilakukan perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak berdaya beberapa menit agar ia dapat melarikan diri. Gadis itu berdiri termenung. Ia maklum bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah roboh binasa, dan maklum pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi membiarkan pundaknya terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah merah dan ia memandang sedikit darah yang berada di mata pedangnya.

   "Ayah, cukupkah darah ini..?"

   Bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang cepat diusapnya.

   "Dia sudah terluka"

   "Hayo kejar, dia sudah terluka"

   Demikian teriakan para pengejar dan karena tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya, Tan Lian terpaksa ikut pula mengejar, seakan-akan terseret oleh gelombang para pengejar itu yang dipanaskan oleh It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin juga sudah ikut mengejar. Para pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan hujan berbagai macam jarum, piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah Suling Emas.

   Mendengar suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling Emas membalikkan tubuh dan memutar suling, juga mengibaskan kipasnya. Ia maklum bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak boleh dipandang ringan. Di antara senjata-senjata gelap itu yang terdiri daripada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling menyolok adalah "senjata rahasia"

   Yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar. Karena maklum akan bahayanya serangan senjata rahasia yang datang bagaikan hujan dan dilepas oleh orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan, tidak berani hanya mengandalkan kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan suling dan kebutan kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia berhenti berlari dan sebentar saja para pengejarnya sudah dapat menyusul dan kembali ia dihujani serangan.

   Masih untung baginya, agaknya para pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut menyerangnya itu membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah menjadi penghalang gerakan yang lain. Dengan adanya penyerangan yang kacau-balau ini, Suling Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menangkis dan berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri lagi. Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak. Tidak terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar Pedang Terbang Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini membuat hatinya lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang musuh.

   Ia amat mengagumi gin-kang gadis itu, karena biarpun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat berbahaya baginya, namun dengan gin-kang seperti itu, pedang di tangan si gadis menjadi ampuh juga, luar biasa cepat gerakannya. Heran ia memikirkan apakah yang terjadi antara ibu kandungnya dan Pendekar Pedang Terbang itu? Apa pula yang terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia mendengar tuduhan-tuduhan yang amat buruk terhadap ibunya. Mengacau markas besar perkumpulan silat yang besar-besar, mencuri kitab pusaka, mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak mengerti dan hal-hal yang didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang beracun. Dengan hati perih Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam menyesali nasibnya yang amat buruk.

   Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang dikejar-kejar seperti orang buronan oleh dua puluh orang lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti. Mari kita ikuti perjalanan Bu Sin dan Sian Eng yang oleh Suling Emas disuruh melanjutkan perjalanan lebih dulu menurutkan aliran Sungai Kan-kiang. Sepekan sudah mereka melakukan perjalanan dan selama itu mereka makin menjadi gelisah karena Suling Emas belum juga menyusul mereka.

   "Sin-ko, mengapa Bu Song koko belum juga menyusul? Bagaimana kalau dia celaka? Lebih baik kita kembali menengok.."

   "Ah, Song-ko seorang sakti, dia akan selamat, Moi-moi"

   Jawab Bu Sin dengan kening berkerut karena ia sendiri pun merasa gelisah.

   "Betapapun juga, dia sudah menyuruh kita berjalan lebih dulu, tak boleh kita tidak mentaati perintahnya."

   "Kalau begitu, kita berhenti saja untuk menunggu kedatangannya"

   "Jangan, Moi-moi, kita harus berjalan terus. Lihat, dari tempat tinggi ini tampak sungai membelok ke kanan, melalui lereng bukit itu. Akan lebih cepat kalau kita memotong jalan melalui puncak bukit di sana. Sebelum malam tiba kurasa kita akan dapat sampai di kaki gunung seberang sana. Kalau sudah sampai di sana, biar nanti aku yang mencari perahu agar tidak melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul."

   Sian Eng tidak berani membantah lagi. Memang dari tempat mereka berdiri, tampak dari tempat tinggi ini Sungai Kan-kiang membelok ke kanan dan mengitari puncak bukit. Kalau melakukan perjalanan memotong bukit itu melalui puncaknya, tentu perjalanan menjadi lebih cepat. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepandaian, karena bagi orang biasa, biarpun jarak lebih dekat, akan tetapi mendaki puncak merupakan pekerjaan yang sukar dan memakan waktu lebih lama. Kakak beradik itu lari mempergunakan ilmu lari cepat, melintas dan mendaki puncak. Matahari telah mulai condong ke arah barat ketika mereka menuruni puncak bukit itu. Tiba-tiba Sian Eng berhenti dan memandang ke bawah, mukanya berubah pucat.

   "Sin-ko, itulah tempatnya..?"

   Bu Sin berhenti, kaget melihat muka adiknya berubah, lalu ia menoleh ke arah yang ditunjuk.

   "Tempat apa, Eng-moi?"

   "Itu.. kuburan tua itu.. di sanalah tempat aku diculik si iblis Hek-giam-lo dahulu.."

   Tak salah lagi, aku ingat betul tempatnya juga berada di lereng seperti itu.."

   "Hemmm, kalau begitu tempat itu mungkin menjadi sarang iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita ke sana. Bukankah kakak kita hendak mengejar Hek-giam-lo untuk merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Kita harus membantunya"

   "Tapi.."

   "Eng-moi, takutkah kau?"

   "Iblis itu lihai sekali, Sin-ko."

   "Aku tahu, akan tetapi kita tidak perlu takut. Selain Song-twako berada di belakang kita, juga kita bukanlah orang-orang tiada guna yang tidak mampu bekerja apa-apa. Kita hanya menyelidiki tempat itu, adikku. Sungguh mengecewakan kalau kita sebagai anak-anak ayah yang berjiwa gagah perkasa, harus menyerahkan segala tugas berbahaya kepada Song-twako. Apakah kita akan tinggal peluk tangan saja sebagai orang-orang yang tidak mempunyai nyali?"

   "Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian dari kakek sakti seperti yang kau ceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang gadis lemah. Kau betul, mari kita ke sana, aku masih ingat betul tempatnya"

   Berlarilah kedua orang kakak beradik itu menuruni puncak dan tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah kuburan kuno yang penuh dengan batu-batu bongpai (pusara) berukir. Setelah mencari-cari beberapa lamanya, akhirnya Sian Eng berhenti di depan sebuah bongpai besar yang terhias beberapa buah arca-arca sebesar manusia, arca-arca dari sastrawan-sastrawan terkenal di masa dahulu.

   "Di situlah.."

   Bisiknya sambil menudingkan telunjuknya yang agak gemetar ke arah lantai depan makam.

   "Di situ terdapat sebuah pintu batu rahasia yang menembus ke terowongan di bawah tanah pekuburan ini."

   "Kau tidak melihat orang lain dahulu ketika kau dibawa masuk?"

   Tanya Bu Sin. Adiknya menggelengkan kepala.

   "Kalau begitu, mari kita selidiki ke sana. Siapa tahu tongkat pusaka itu disembunyikan di tempat ini. Besar kemungkinan si iblis tidak berada di sini, dan mudah-mudahan saja begitu bisa mengambil tongkatnya kalau benda keramat itu ia sembunyikan di sini. Aku akan girang sekali kalau dapat membantu Song-twako."

   Sian Eng mengangguk setuju dan mereka menghampiri lantai depan makam. Setelah menyelidiki tempat itu, benar saja mereka melihat ada batu lantai yang merupakan pintu penutup, besarnya kurang lebih satu meter persegi. Ketika mereka mencoba untuk mengungkitnya, ternyata batu itu dapat terbuka dan di bawahnya terdapatlah lobang. Tampak pula anak tangga dari batu. Dengan tabah Bu Sin lalu melangkah masuk, diikuti adiknya. Akan tetapi pemuda ini berhenti dan ragu-ragu setelah berjalan beberapa langkah, karena keadaan terowongan itu gelap bukan main.

   "Kenapa berhenti?"

   Tanya Sian Eng.

   "Gelap sekali, kita harus membuat obor dulu. Mundur, Moi-moi, kita keluar dulu mencari obor."

   Mereka mundur dan keluar kembali. Bu Sin segera mencari bahan, kulit pohon yang dapat terbakar lama, membuat obor, menyalakannya dan kembali mereka memasuki terowongan itu. Bu Sin berjalan di depan, obor di tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di belakangnya, mereka tidak dapat berjalan cepat. Tanah yang mereka injak agak basah dan licin, juga makin lama terowongan itu makin rendah, hampir kepala Bu Sin tertumbuk batu karang di atas kalau ia tidak membungkuk. Setelah bergerak melalui beberapa tikungan, Sian Eng berbisik.

   "Seingatku dahulu terdapat ruangan yang lebar seperti kamar.."

   Mereka maju terus mata dan hidung terasa pedas oleh asap obor. Terowongan di sebelah depan menyempit dan Bu Sin yang berada di depan sudah mulai berjongkok dan merayap.

   "Agak terang di sini.."

   Katanya, gembira karena benar saja, keadaan mulai terang, tidak segelap tadi.

   "Entah dari mana datangnya sinat terang ini.."

   Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan gadis itu mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh tidak jelas. Kiranya Sian Eng tahu dari mana datangnya sinar terang itu karena ia merasa seperti ada sesuatu di belakangnya dan ketika ia menengok.. hampir Sian Eng menjerit dan pingsan. Demikian kaget dan ngerinya sehingga jeritannya hanya keluar sebagai suara ah-uh-ah-uh saja, mukanya pucat matanya terbelalak memandang Hek-giam-lo yang sudah berdiri di belakang mereka. Hek-giam-lo si iblis muka tengkorak berpakaian hitam, berdiri dengan tangan kanan memegang obor dan tangan kiri memegang senjatanya yang mengerikan, kiranya obor di tangannya itulah yang membuat terowongan itu menjadi terang.

   "Eng-moi kau kenapa..?"

   Bu Sin bertanya ketika mendengar suara aneh adiknya. Ia menoleh dan alangkah herannya ketika ia melihat wajah adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya terbelalak menengok ke belakang. Ia cepat menoleh dan.. dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika ia melihat apa yang menyebabkan adiknya takut.

   "Hek-giam-lo.."

   Katanya dan pemuda ini membesarkan suaranya, mengusir rasa takut.

   "Kalau kau memang menjadi tuan rumah tempat ini, mengapa menyambut kedatangan kami dari belakang?"

   Iblis bertopeng tengkorak itu mendengus.

   "Hemmm, maju terus atau.. hemmm, kurobek-robek badan kalian di sini juga"

   Tiba-tiba Sian Eng menggerakkan tangannya dan dua buah batu karang melayang ke arah muka dan dada iblis itu. Kiranya gadis ini sudah dapat menenangkan hatinya dan dengan nekat lalu meraih dua buah batu di dekatnya, kemudian menyambitkannya dan ketika iblis itu sedang bicara. Hek-giam-lo miringkan kepalanya sehingga batu pertama lewat di pinggir kepala, adapun batu ke dua ia terima begitu saja dengan dadanya.

   "Brakkk"

   Batu itu pecah berantakan"

   "Gadis lancang, sekali kau tertolong oleh Suling Emas, jangan harap kali ini akan dapat lolos lagi. Hemmm, bagus, biar kau menjadi umpan pancingan untuk Suling Emas. Ha-ha-ha"

   Ketika melihat iblis itu dengan langkah lebar menghampiri Sian Eng yang berada di belakangnya, Bu Sin segera berkata, nadanya penuh ejekan,

   "Hek-giam-lo, seorang tokoh besar seperti engkau ini, sungguh tak tahu malu melayani seorang wanita seperti adikku. Kalau memang kau gagah, mari kita mencari tempat lapang dan kita bertanding secara laki-laki"

   "Heh-heh, orang muda sombong. Majulah terus, di depan ada tempat luas, boleh kau buktikan betapa kesombonganmu tidak ada isinya"

   Memang bukan maksud Bu Sin untuk menyombong. Ia tadi sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk mencegah si iblis mengganggu Sian Eng karena ia maklum bahwa kalau hal ini terjadi, sukarlah baginya untuk melindingi adiknya terhadap iblis yang luar blasa lihainya itu. Dengan begini, setidaknya Sian Eng untuk sementara akan bebas daripada ancaman dan ia boleh mencari waktu panjang untuk memikirkan akal bagaimana harus melawan iblis ini.

   "Marilah, Moi-moi, kau bergeraklah di depanku, sini.."

   Sian Eng sudah menjadi putus asa menyaksikan kehebatan si ibils yang menerima sambitannya begitu saja dengan dada, membuat batu itu hancur. Dengan muka pucat ia lalu menyelinap ke depan Bu Sin dan kakak beradik yang sudah tak berdaya lari seperti dua ekor tikus masuk jebakan ini merangkak maju melalui terowongan yang sempit. Di belakang mereka, tanpa mengeluarkan suara lagi, Hek-giam-lo melangkah dengan gerakan perlahan, lalu merangkak di bagian yang sempit itu di belakang Bu Sin.

   Benar saja seperti yang dikatakan Hek-giam-lo, tak lama kemudian terowongan sempit itu berubah menjadi lebar dan beberapa puluh meter kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan di bawah tanah yang luas. Selain luas, juga di situ tidak gelap. Agaknya sinar matahari, entah bagaimana, dapat menembus ke tempat itu. Sejenak timbul akal dalam benak Bu Sin untuk menyerang si iblis secara tiba-tiba dengan membalik dan menggunakan obor sebagai senjata, akan tetapi jiwa satria di hatinya mencegahnya. Serangan seperti itu amat rendah, apalagi kalau dipikir usaha ini belum tentu akan berhasil terhadap lawan yang sakti ini. Dengan tenang ia lalu mendorong adiknya perlahan, menyuruhnya menjauh ke pinggir, kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi Hek-giam-lo.

   "Nah, Hek-giam-lo,"

   Katanya dengan tenang sambil memadamkan obornya, akan tetapi masih memegangi gagang obor.

   "terus terang saja, kami berdua telah lancang memasuki tempatmu ini. Sekarang kau telah berada di sini, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?"

   "Orang-orang muda lancang, Katakan apa maksud kalian datang ke sini?"

   "Adikku ini mengenal tanah kuburan di atas dan menceritakan bahwa dia pernah kau culik dan kau bawa ke sini. Karena itu aku merasa tertarik dan hendak menyaksikan dengan mata sendiri tempat rahasia ini."

   "Hanya itu?"

   Hek-giam-lo mendesak.

   
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tentu saja kalau kami melihat tongkat pusaka Beng-kauw di tempat ini, akan kami curi kembali dan kami bawa dan kembalikan kepada Beng-kauw."

   Jawab Bu Sin sejujurnya.

   "Hemmm, tidak ada orang luar yang masuk ke sini dapat kembali hidup-hidup. Kalian berani masuk ke sini, bahkan berani mencoba untuk merampas tongkat Beng-kauw? Hu-huh, tak tahu diri. Biar pun kalian adik-adik tiri Suling Emas, apa dikira aku takut? Huh-huh, hendak kulihat apakah Suling Emas berani masuk ke sini. Ha-ha-ha, kalian merupakan umpan-umpan yang baik, biar dia datang hendak kulihat"

   "Sombong, Aku pun tidak takut padamu, iblis busuk. Tak usah kakak kami, aku pun sanggup menghadapimu"

   Sambil berkata demikian, Bu Sin menggerakkan bekas obor dan menusukkan benda ini ke arah kedok tengkorak itu.

   "Huh, bocah bosan hidup"

   Si iblis menggerakkan obornya pula, menangkis dengan gerakan perlahan.

   "Dukkk"

   Gagang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas dari tangan pemuda itu, sedangkan gagang obor di tangan Hek-giam-lo yang tadinya menangkis itu terus bergerak mengemplang kepala Bu Sin. Gerakan ini biarpun dilakukan dengan perlahan, namun cepat dan tak terduga sama sekali sehingga tahu-tahu kepala pemuda itu sudah kena pukul.

   "Prakkk"

   Kini gagang obor di tangan Hek-giam-lo itu yang menjadi patah-patah ketika beradu dengan kepala Bu Sin. Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus marah.

   "Bocah sombong, keras juga kepalamu"

   Katanya sambil melemparkan sisa gagang obor di tangannya.

   Tentu saja iblis itu tidak tahu bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian yang dilatihnya di bawah air terjun yang menimpa kepalanya sehingga bagian kepalanya ini boleh dibilang menjadi sumber daripada tenaga mujijat yang dimilikinya akibat latihan aneh itu. Hek-giam-lo tidak tahu bahwa ilmu pemuda ini jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin tidak sempat mengelakkan serangan tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya. Karena mengira bahwa pemuda ini yang ia tahu adalah adik tiri Suling Emas memiliki kesaktian seperti Suling Emas, Hek-giam-lo tidak mau main-main lagi. Senjatanya yang menyeramkan itu sudah ia angkat ke atas kepala.

   "singgg"

   Sian Eng mencabut pedangnya, berdiri tegak di depan iblis itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut.

   "Iblis sombong, aku pun berani melawan kejahatanmu"

   "Eng-moi, mundur. Dia bukan musuhmu"

   Kata Bu Sin yang khawatir melihat adiknya menjadi nekat.

   "Aku tahu, Koko, akan tetapi dia pun bukan musuhmu. Kalau kita berdua mati melawannya, aku ingin mati dulu dari padamu."

   Diam-diam jantung Bu Sin seperti tertusuk mendengar ini. Ia maklum bahwa adiknya merasa ngeri kalau sampai melihat dia mati terlebih dulu, meninggalkannya seorang diri menghadapi lawan yang demikian sakti dan ganas mengerikan.

   "Jangan khawatir, Moi-moi. Kita berdua dapat melawan iblis ini"

   Katanya dan mencabut pedangnya.

   "Akan tetapi biarkan aku menghadapinya lebih dulu dan kau keluarlah agar dapat memanggil kalau Song-koko lewat di atas"

   Mendengar ini, Sian Eng menjadi girang dan timbul pula harapannya. Tadinya gadis ini telah putus harapan karena maklum bahwa kakaknya takkan menang menghadapi iblis itu. Satu-satunya orang yang boleh diharapkam dapat menolong mereka hanyalah kakaknya Suling Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau Suling Emas sudah benar-benar menyusul dan sampai di atas sana.

   "Sin-ko, kau pertahankan dia, biar aku naik menanti Song-koko"

   Ia cepat meloncat untuk berlari keluar melalui terowongan itu. Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tergulihg ketika Hek-giam-lo mengerakkan lengan baju ke arahnya sambil mendengus.

   "Huh, kau takkan dapat pergi ke mana-mana"

   "Setan, berani kau mengganggu adikku?"

   Bu Sin sudah memerjang maju dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga saktinya karena maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang luar biasa lihainya.

   "Tranggg"

   Pedang di tangan Bu Sin terpental dan saking kerasnya Bu Sin memegang pedang, tubuhnya sampai ikut terpental dua meter jauhnya. Telapak tangan kanannya serasa terkupas kulitnya, perih dan panas. Sian Eng membentak marah sambil menusukkan pedangnya. Akan tetapi sekali tangan kiri Hek-giam-lo bergerak, pedang itu sudah terpukul patah, menjadi tiga potong, terpukul oleh ujung lengan baju hitam. Selagi Sian Eng terhuyung-huyung, jari tangan Hek-giam-lo sudah menotoknya, membuat gadis itu roboh terguling tak dapat berkutik lagi.

   "Ibils keparat"

   Bentak lagi Bu Sin yang menerjang dengan nekat. Ia mengambil keputusan untuk mengadu nyawa sebelum iblis itu dapat mengganggunya atau mengganggu adiknya. Ilmu yang ia warisi dari kakek sakti hanyalah ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, akan tetapi ilmu pedangnya sendiri masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan ilmu kepandaian Hek-giam-lo yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis Dunia.

   Ketika tadi memukul kepala Bu Sin yang mengakibatkan gagang obornya patah, Hek-giam-lo mengira bahwa pemuda itu sakti. Akan tetapi setelah menangkis pedang yang membuat pemuda itu terlempar, Hek-giam-lo tahu bahwa lawannya ini merupakan lawan lunak yang mempunyai tenaga aneh terutama di bagian kepalanya. Hatinya menjadi besar dan ia memandang rendah lagi. Untung bagi Bu Sin dan Sian Eng bahwa si iblis ini tidak menghendaki mereka mati, kalau tidak, sudah pasti keselamatan nyawa mereka tidak akan dapat tertolong lagi. Menghadapi terjangan Bu Sin kali ini, si iblis tidak menangkis dengan senjatanya yang aneh, melainkan dengan ujung lengan baju kiri seperti ketika ia menghadapi Sian Eng tadi. Ujung lengan baju ini memapaki pedang dan seperti seekor ular hidup ujung lengan itu seketika menggulung dan membelit pedang.

   "Aihhhhh"

   Bu Sin mengerahkan tenaga sakti sekuatnya dan..

   "brettttt"

   Putuslah ujung lengan baju hitam itu. Hek-giam-lo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, senjatanya berkelebat mengancam leher Bu Sin. Pemuda ini cepat mengangkat pedang menangkis.

   "Trangggg.."

   Kali ini Bu Sin tidak kuat mempertahankan lagi, pedangnya terpukul patah dan terlepas dari tangannya.

   Melihat sinar hitam berkelebat di depan mukanya, Bu Sin cepat mengerahkan gin-kang berdasarkan tenaga sakti untuk mengelak. Bagaikan seekor burung terbang, pemuda ini sudah menyelinap ke kiri menerobos di antara sinar hitam untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi walaupun gerakannya itu cepat bukan main, ia masih terlambat. Memang, gerakannya tadi menyelamatkan dadanya daripada kehancuran ketika ujung lengan baju Hek-giam-lo menyambar dengan kekuatan yang dahsyat itu, namun ia tidak dapat menghindarkan lagi ujung pangkal lengannya keserempet hawa pukulan dahsyat. Bu Sin merasa betapa lengan kanannya seakan-akan lumpuh dan patah-patah, ia terhuyung-huyung dan pada saat itu Hek-giam-lo sudah menotoknya sehingga Bu Sin roboh dan tak dapat bergerak pula.

   "Hu-huh, bocah-bocah sombong. Adik-adik Suling Ems kiranya hanya begini saja, Mana dia Suling Emas? Biar dia datang, kurobohkan sekalian"

   "Hek-giam-lo, kalau kakak kami datang, kau pasti akan dihajar mampus"

   Teriak Sian Eng marah. Hek-giam-lo tertawa-tawa, kemudian ia melangkah ke ruangan yang berdampingan dengan ruangan itu. Tak lama ia keluar lagi, tangannya membawa sebuah kitab yang tinggal sepotong.

   "Kutinggalkan kalian di sini, kalau tidak ada kakak kalian datang menolong, kalian akan membusuk dan menjadi setan-setan penjaga kuburan di sini.

   Orang-orang tiada gunanya macam kalian, percuma dibunuh juga. Sampaikan salamku kepada Suling Emas dan kalau memang ia berkepandaian, dia boleh minta kembali tongkat Beng-kauw ke Khitan, ha-hah"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Hek-giam-lo lenyap dari tempat itu. Bu Sin dan Sian Eng berusaha keras untuk membebaskan totokan. Akan tetapi sia-sia belaka, malah makin hebat mereka berusaha, makin payah keadaan mereka. Totokan yang dilakukan Hek-giam-lo atas diri mereka itu amat aneh, membuat seluruh urat mereka lumpuh dan tiap kali mereka mengerahkan sin-kang, tubuh serasa dibakar dan nyeri-nyeri. Terpaksa mereka akhirnya tinggal menanti nasib saja, rebah tak berkutik di atas tanah yang lembab. Bagaimanakah Hek-giam-lo bisa berada di terowongan rahasia itu?

   Memang tadinya iblis ini berada dalam perahu bersama orang-orang Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin menjadi tuan terhormat. Akan tetapi ketika perahu itu lewat di daerah ini, Hek-giam-lo menyuruh anak buahnya berhenti dan mendarat. Karena tempat ini memang menjadi sarangnya, di pinggir sungai terdapat pula sebuah rumah pondok yang indah dan jauh daripada tetangga. Inilah tempat peristirahatan Hek-giam-lo dan juga para mata-mata Khitan apabila melakukan tugasnya dan tiba di tempat ini. Ke rumah inilah Lin Lin dibawa, sedangkan Hek-giam-lo seorang diri pergi ke tanah kuburan kuno untuk mengambil kitabnya, yaitu kitab yang dahulunya ia rampas dari tangan kakek sakti Bu Kek Siansu dan yang akhirnya hanya ia dapatkan "tengahnya"

   Karena yang separoh terampas oleh It-gan Kai-ong. Memang ia tidak berani membawa-bawa kitab yang ia tahu menjadi incaran It-gan Kai-ong, Suling Emas dan Siang-mou Sin-ni, mungkin juga Bu Kek Siansu sendiri itu.

   Ketika melawat ke selatan, ia menyimpan kitab pusaka itu di dalam terowongan dan sekarang ia hendak mengambil dan membawanya kembali ke Khitan. Secara kebetulan ia mendapatkan Bu Sin dan Sian Eng memasuki tempat sembunyinya. Lin Lin merasa jengkel sekali. Biarpun ia selalu diperlakukan dengan hormat, dipanggil tuan puteri, setiap kali mendapat hidangan-hidangan yang lezat dan segala macam kebutuhannya, dipenuhi segala macam perintahnya, kecuali perintah agar ia bebas, ditaati, namun ia maklum bahwa sebenarnya ia menjadi tawanan. Ia merasa tidak berdaya menghadapi Hek-giam-lo yang kosen, juga para anak buah Khitan itu terdiri daripada orang-orang pilihan.

   Oleh karena itu, gadis ini maklum bahwa takkan mungkin ia memberontak atau melarikan diri, hal itu hanya akan membuat ia menderita saja. Pikiran inilah yang membunt ia akhirnya tidak rewel minta dibebaskan lagi, ia diam saja, malah kini memaksa diri bergembira, akan tetapi diam-diam ia amat mengharapkan munculnya Suling Emas. Ia merasa gemas juga mengapa sampai begitu lama Suling Emas tidak juga muncul menolongnya? Dan di samping ini, ia merasa amat sengsara dan sedih kalau ia mengingat Bok Liong. Kadang-kadang ia masih dapat melihat bayangan pemuda itu di pinggir sungai, pakaiannya kotor, rambutnya kusut dan kelihatannya sengsara. Memang pemuda yang keras hati ini sudah nekat untuk terus mengikuti perahu yang membawa gadis pujaannya.

   "Liong-twako, sudahlah jangan mengikuti perahu. Pergilah dan cari Suling Emas, suruh dia membebaskan aku"

   Dari atas perahu Lin Lin berteriak ke arah bayangan Lie Bok Liong yang bergerak di pinggir sungai. Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang mendengar dan melihat ini hanya tersenyum-senyum saja.

   "Aku tidak bisa meninggalkanmu, Lin-moi. Tidak tahu Suling Emas berada di mana, kalau aku pergi, bagaimana kalau mereka orang-orang liar itu mengganggumu? Aku akan mengadu nyawa dengan mereka. Jangan khawatir selama aku berada di dekatmu"

   Lin Lin menghela napas diam-diam ia merasa terharu. Akhir-akhir ini mulailah terasa olehnya betapa mulia dan jujur hati pemuda itu, dan betapa besar pembelaan dan pengorbanan pemuda itu untuk dirinya. Mulai terbuka mata Lin Lin bahwa Lie Bok Liong amat mencinta dirinya dan hal ini membuatnya sedih dan terharu.

   Bukan pemuda ini yang selalu menjadi kenangan, menjadi harapan, menjadi pujaan hatinya. Hati dan perasaan cinta kasih dalam dadanya terampas oleh Suling Emas. Ia merasa amat khawatir melihat tingkah laku Bok Liong yang begitu nekat hendak melindungi dan membelanya, biarpun pemuda itu sendiri tahu betul bahwa menghadapi Hek-giam-lo dan anak buahnya, ia tidak berdaya. Lin Lin merasa khawatir kalau-kalau Bok Liong akan nekat dan akhirnya akan mengorbankan nyawanya, apalagi ketika ia diturunkan dari perahu dan diajak beristirahat di pondok tepi sungai itu. Dan kekhawatitannya terbukti. Sore hari itu, ketika Hek-giam-lo sudah pergi meninggalkan pondok, sampailah Lie Bok Liong ke tempat itu. Pemuda ini tertinggal jauh oleh perahu, maka setelah sore baru ia dapat menyusul.

   Ketika melihat perahu yang diikutinya itu tertambat di pinggir, ia segera menghampiri rumah pondok. Dengan tubuh lemas dan sakit-sakit ia melangkah ke halaman pondok itu, sedikit pun tidak merasa takut. Padahal pemuda ini sebenarnya sedang tidak sehat tubuhnya panas dan lemas, karena selama dalam perjalanan mengikuti perahu, ia jarang sekali makan, pula ia masih menderita luka ketika bertempur dengan Hek-giam-lo di atas perahu beberapa hari yang lalu. Agaknya rasa cinta kasih yang besar membuat ia kuat menahan segala derita. Ketika melihat pondok itu sunyi saja, Bok Liong melangkah lebar menuju ke ruangan depan. Ia sudah nekat, hendak mencari Lin Lin dan mengajak gadis itu lari, atau membiarkan gadis itu lari sedangkan dia akan menahan orang-orang Khitan kalau mereka akan mengejarnya.

   "Lin-moi.."

   Ia memanggil dengan suara parau. Suaranya menjadi parau karena batuk. Kurang tidur membuat ia terserang batuk pula. Memang perahu itu tak pernah berhenti sehingga di waktu malam sekalipun Bok Liong harus terus berjalan kalau ia tidak ingin tertinggal jauh. Selama hampir sepuluh hari lamanya ini Bok Liong terus berjalan siang malam, makan sedapatnya, kadang-kadang hanya daun-daun muda, itu pun dilakukan sambil berjalan terus. Bahkan tidur pun sambil berjalan, kalau itu boleh dikatakan tidur.

   "Lin-moi.."

   Kembali Bok Liong berteriak, lalu tangannya menggedor pintu depan yang tertutup. Karena tidak juga ada jawaban, Bok Liong melompat ke pintu samping, yaitu pintu yang menuju ke taman di samping pondok. Pintu ini terbuat daripada kayu dan tidak sekokoh pintu depan. Sambil mengerahkan tenaganya, Bok Liong menendang pintu kecil ini dan robohlah pintu itu. Akan tetapi sebelum ia melompat masuk, dari dalam keluar seorang laki-laki berkumis.

   "Jahanam liar, Berani kau datang ke sini?"

   Teriak orang Khitan itu yang segera menerjang ke depan dengan pukulan-pukulan keras. Bok Liong mengelak sambil melompat ke belakang, akan tetapi karena tubuhnya lemah dan gemetar,

   Ia terhuyung-huyung sampai ke ruangan depan. Lawannya yang kelihatan kuat itu terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan keras, betapapun juga, tingkat ilmu kependaian Bok Liong jauh lebih tinggi, maka biarpun terhuyung-huyung, Bok Liong selalu dapat mengelak, kemudian setelah peningnya agak berkurang, sekali tangan kanannya menyambar, lawan itu terkena pukulannya pada leher sehingga orang Khitan itu terpelanting. Akan tetapi dari pintu taman itu bermunculan orang-orang Khitan. Bok Liong cepat mencabut pedangnya, akan tetapi karena enam orang Khitan itu serentak maju menubruknya, Bok Liong yang sudah lemas itu tak dapat bergerak lagi dan di lain saat ia telah ditelikung, kedua lengannya dibelenggu di belakang tubuh dan kedua kakinya pun diikat"

   Pemuda ini hanya dapat memaki-maki saja dengan suara parau. Seorang Khitan mengambil pedangnya, pedang Goat-kong-kiam yang terjatuh di tanah ketika terjadi pergulatan tadi.

   Bok Liong diseret masuk ke ruangan dalam. Tahulah sekarang Bok Liong mengapa Lin Lin tidak muncul. Kiranya gadis pujaannya itu berada di dalam ruangan dalam dan tubuhnya terikat pada sebuah tiang. Memang, sebelum pergi meninggalkan pondok, Hek-giam-lo mengikat tubuh Lin Lin pada tiang itu. Ia cukup maklum akan kelihaian gadis ini, sehingga kalau dia tidak berada di situ, amukan gadis ini akan cukup membahayakan, sungguhpun dua puluh orang anak buahnya merupakan pasukan yang cukup tangguh. Iblis itu tidak mengkhawatirkan kedatangan Lie Bok Liong karena iblis sakti ini sudah tahu bahwa pemuda itu sudah hampir kehabisan tenaga. Melihat Lin Lin diikat pada tiang, Bok Liong makin marah. Dengan sisa tenaganya ia meronta-ronta. Namun ia terlalu lemah untuk dapat mematahkan belenggu yang mengikat kaki tangannya.

   "Lepaskan dia, Kalian binatang-binatang liar. Hayo lepaskan Lin-moi. Orang gagah tidak mengganggu wanita. Kalian ini kalau memang laki-laki, jangan ganggu wanita dan boleh siksa atau bunuh aku"

   Lin Lin memandang Bok Liong dan amatlah terharu hatinya. Pemuda itu benar-benar menderita, wajahnya pucat, rambutnya kusut, matanya merah, dan tubuhnya lecet-lecet di sana-sini. Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini masih hendak membelanya. Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata gadis ini.

   "Liong-twako, kenapa kau menyusul ke sini?"

   Tegurnya perlahan.

   "Lin-moi, bagaimana aku bisa meninggalkan kau yang masih menjadi tawanan?"

   Balas tanya Bok Liong, suaranya penuh perasaan sehingga Lin Lin makin merasa tertusuk jantungnya. Apalagi ketika ia melihat betapa Bok Liong diikat tiang lain di depannya, kemudian seorang Khitan yang berkumis panjang mencambuknya.

   "Tahan, Jangan bunuh dia"

   Teriak Lin Lin.

   "Awas, kalau sampai dia dibunuh, setelah kelak aku menjadi permaisuri di Khitan, kalian akan kuberi hukuman berat, akan dikupas kulit kalian"

   Orang Khitan yang berkumis tadi menjura, akan tetapi mulutnya tersenyum ketika ia berkata,

   "Tuan Puteri, harap Paduka jangan marah. Hamba sekalian hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Hek-lo-ciangkun. Hamba tidak akan membunuhnya, akan tetapi harus memberi hukuman kepadanya."

   Setelah berkata demikian, ia memberi aba-aba dalam bahasa Khitan. Majulah dua orang Khitan tinggi besar yang membawa cambuk berdetak-detak, dua batang ujung cambuk lemas itu melecut dan bertubi-tubi menghantam punggung, leher, muka dan seluruh tubuh Lie Bok Liong"

   "Tar-tar-tar.."

   Bunyi cambuk nyaring meledak-ledak dan jantung Lin Lin terasa tertusuk-tusuk.

   "Boleh siksa aku, bunuhlah aku, keparat-keparat jahanam. Akan tetapi bebaskan Lin-moi"

   Biarpun dicambuki dan bajunya robek-robek, kulitnya robek pula sampai sebentar saja badannya berlepotan darah, namun Bok Liong masih memaki-maki dan menuntut supaya Lin Lin dibebaskan. Sedikit pun ia tidak mengeluh, matanya terbelalak dan suaranya nyaring. Akan tetapi tubuhnya lemas karena ia tak dapat bergerak lagi. Mukanya menjadi matang biru, darah mengucur keluar dari hidungnya dan beberapa menit kemudian lehernya menjadi sengkleh dan ia tergantung pada ikatannya. Bok Liong pingsan.

   Lin Lin meramkan mata. Tiap kali cambuk melecut, ia merasa seakan-akan tubuhnya yang tercambuk. Air matanya mengalir membasahi pipinya ketika ia mendengar betapa di antara hujan cambuk, Bok Liong selalu masih menuntut pembebasannya. Setelah bunyi cambuk terhenti, barulah ia berani membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa hancur dan terharu hatinya melihat Bok Liong dalam keadaan seperti itu. Seluruh pakaiannya compang-camping, kulit tubuhnya penuh jalur-jalur merah dan biru, mukanya sukar dikenal lagi karena bengkak-bengkak dan penuh darah. Dengan kasar orang-orang Khitan itu melepaskan ikatannya, menyeret keluar pondok dan melemparkannya ke dalam semak-semak belukar. Lin Lin yang tidak berdaya itu merasa tersiksa hatinya. Semalam itu, ia direbahkan di atas pembaringan dengan kaki tangan terbelenggu. Akan tetapi ia tak dapat tidur karena selalu terkenang kepada Bok Liong.

   Tentu saja ia tidak melihat betapa pemuda itu benar-benar mengalami derita yang hebat sekali. Bok Liong siuman tak lama sesudah ia dilempar di dalam semak-semak. Ia merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit dan sukar sekali bangkit karena setiap kali menggerakkan kaki tangan, terasa amat nyeri. Ia memaksa diri untuk bangkit, merangkak keluar dari dalam semak-semak, berjalan terhuyung-huyung menuju ke sungai dengan maksud untuk mencuci tubuhnya yang penuh darah. Ketika tiba di tepi sungai, ia jatuh tersungkur dan kembali ia pingsan di pinggir sungai. Sampai jauh malam barulah ia sadar, akan tetapi tubuhnya terasa demikian sakitnya sehingga setelah mencuci tubuh, ia tidak dapat berdiri lagi. Namun Lie Bok Liong adalah seorang pemuda yang keras hati. Ia tidak mengeluh, tidak putus asa. Ia lalu duduk bersila di pinggir sungai, mengatur napas dan mengerahkan tenaga. Menjelang pagi, ia sudah merasa mendingan.

   "Liong-twako.."

   Ini suara Lin Lin. Cepat Bok Liong membuka mata, akan tetapi ketika ia memandang, ia merasa kecewa. Ternyata Lin Lin berjalan di depan rombongan orang Khitan, agaknya keluar dari pondok menuju ke perahu, akan tetapi di dekat gadis itu berjalan pula Hek-giam-lo.

   "Aku tidak apa-apa, Lin-moi. Kau jagalah dirimu baik-baik"

   Ucapan ini tentu saja diterima dengan hati perih oleh Lin Lin yang untuk kesekian kalinya mendapat kenyataan akan cinta kasih yang luar biasa besar dan tulusnya dari pemuda ini. Sambil menahan isak gadis itu menundukkan mukanya dan berjalan terus menuju ke perahu bersama Hek-giam-lo. Dengan tokoh sakti ini di dekatnya, Lin Lin merasa tiada gunanya melawan. Orang Khitan yang berkumis panjang lewat dekat Bok Liong, lalu melemparkan pedang Goat-kong-kiam ke dekat pemuda itu sambil meludah dan tertawa mengejek.

   

Bu Kek Siansu Eps 5 Suling Emas Eps 16 Bu Kek Siansu Eps 24

Cari Blog Ini