Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 16


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Dan aku... aku benci kepadamu! Kau perempuan lacur... kau..."

   Saking marahnya Tan Hui tak dapat melanjutkan kata-katanya, melainkan mencabut pedangnya.

   Lu Sian juga sudah mencabut pedangnya dan tanpa berkata-kata lagi, kedua orang muda yang semalam masih saling peluk cium dengan kasih sayang yang semesra-mesranya, kini bertanding pedang dengan hebat dan mati-matian karena hati dipenuhi kemarahan sehingga setiap serangan merupakan tangan maut yang mencari korban. Julukan Tan Hui adalah Pendekar Pedang Terbang, tentu saja ilmu pedangnya lihai sekali, akan tetapi sesungguhnya, yang membuat ilmu pedangnya menjadi lihai itu adalah karena ia memiliki ilmu gin-kang yang hebat. Ilmu meringankan tubuh ini membuat ia dapat bergerak cepat bukan main sehingga ilmu pedangnya tentu saja menjadi amat berbahaya karena cepatnya. Biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Liu Lu Sian yang diwarisi dari ayahnya, pada dasarnya kalah tinggi, namun andaikata Lu Sian belum mempelajari gin-kang istimewa itu, agaknya Tan Hui akan dapat mengimbanginya dengan kecepatan.

   Namun, kini Lu Sian telah memiliki gin-kang Coan-in-hui (Terbang Terjang Awan) yang dipelajari dan dilatih secara tekun dari Tan Hui sehingga biarpun dibandingkan dengan Tan Hui gin-kangnya masih kalah sedikit karena membuat ilmu pedangnya Pat-mo Kiam-hoat ciptaan ayahnya menjadi beberapa kali lipat dahsyatnya. Lu Sian adalah seorang wanita yang berwatak keras dan aneh. Memang tidak dapat disangkal pula bahwa semenjak meninggalkan suaminya, Kam Si Ek, belum pernah ia jatuh cinta lagi kecuali kepada Tan Hui. Ia mencinta Tan Hui dan agaknya akan bersedia menjadi isteri duda pendekar ini kalau saja tidak terjadi perselisihan dipagi hari itu. Karena ia berwatak keras, begitu Tan Hui memperlihatkan sikap membenci dan menghina, maka ia pun memaksa perasaannya untuk balas membenci, dan menganggap Tan Hui seorang musuh yang harus dibasmi.

   Pertandingan berlangsung makin hebat dan seru. Berdentingan pedang mereka saling beradu, diseling bersiutnya pedang menyambar membelah angin ketika dielakkan lawan. Setelah berjalan seratus jurus mulailah Tan Hui terdesak. Ilmu pedang yang dimainkan Lu Sian amat aneh dan banyak mengandung gerakan-gerakan yang curang. Disamping kalah tinggi ilmu pedangnya, juga didalam hatinya, Tan Hui tidaklah sebulat Lu Sian untuk membunuh lawan. Tan Hui marah hanya terdorong kekecewaan setelah mendengar bahwa kekasihnya yang benar-benar amat dicintanya itu adalah isteri orang! Ia menentang Lu Sian terdorong kemarahan karena kecewa inilah, maka setelah bertanding agak lama, mulai ia merasa menyesal dan tidak menyerang secara sungguh-sungguh. Berbeda dengan Lu Sian yang makin lama makin bersemangat. Melihat betapa lawannya mulai terdesak, ia berseru keras dan berubahlah pedangnya menjadi segulungan sinar yang amat hebat.

   Angin menderu-deru keluar dari sinar ini yang tadinya bergulung-gulung, tapi makin lama makin cepat membentuk lingkaran-lingkaran secara cepat sekali mengurung tubuh Tan Hui. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang dimainkan oleh Lu Sian. Ilmu pedang yang dimilikinya, biasanya sudah hebat sekali apalagi sekarang setelah gin-kangnya maju pesat. Maka cepatlah gerakannya dan makin hebat hawa pukulan yang keluar dari gerakan senjata itu. Tan Hui yang sudah terdesak hebat itu berseru keras saking kagumnya menyaksikan ilmu pedang yang demikian dahsyatnya. Cepat ia mempertahankan diri, namun kecepatan pedangnya tidak cukup untuk membendung datangnya lingkaran-lingkaran yang bergelombang seperti ombak badai ini. Baru saja pedangnya berdenting karena bertemu dengan pedang Lu Sian, pedang wanita itu sudah menyelinap dengan kecepatan yang tak dapat disangka-sangka, tahu-tahu sudah memasuki perut Hui-kiam-eng Tan Hui!

   "Cepppp!"

   Hanya sedetik terjadinya hal ini Lu Sian sendiri merasa kaget, cepat-cepat mencabut pedang dan meloncat mundur sejauh empat lima meter, lalu berdiri tegak dengan mata terbelalak memandang bekas kekasihnya yang kini menjadi musuhnya itu. Tan Hui masih berdiri tegak, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menutup luka diperutnya sambil menekan keras-keras namun tetap saja darahnya menetes-netes melalui celah-celah jari tangannya. Mukanya pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum pahit.

   "Tidak penasaran Hui-kiam-eng roboh ditangan puteri Beng-kauwcu, karena memang kiam-hoatmu hebat luar biasa. Akan tetapi sebagai bekas kekasihku, biarlah kunasehatkan kepadamu bahwa kalau kau melanjutkan kesukaanmu menggoda dan menghancurkan hati laki-laki, hidupmu kelak akan terkutuk, kau akan banyak dimusuhi orang. Sian-moi, kenapa kau tidak kembali saja kepada suamimu sehingga hidupmu kelak akan terjamin...?"

   "Cerewet! Kau tak berhak mencampuri urusan hidupku. Kau sudah terluka, aku memberi kesempatan kepadamu untuk pergi mengingat akan perkenalan kita yang lalu!"

   Senyum dimulut Tan Hui berubah makin pahit.

   "Seorang pendekar tidak akan lari daripada maut. Lukaku memang hebat, tak terobati, akan tetapi aku masih berdiri tegak, pedangku masih ditangan. Siapa bilang aku kalah? Baru kalah kalau pedang ini sudah terlepas dari tangan dan kedua kaki ini sudah tak dapat berdiri. Lihat serangan!"

   Tan Hui menerjang maju lagi dengan dahsyat, sambil menekan perut dengan tangan kiri. Karena gerakannya dalam menyerang ini mempergunakan tenaga, maka menyemprotlah darah dari luka yang ditutupnya dengan tangan. Lu Sian cepat mengelak sambil memutar pedangnya. Tadi saja selagi masih belum terluka, Tan Hui tidak mampu menandingi ilmu pedangnya, apalagi sekarang setelah pendekar itu terluka parah. Tiga kali berturut-turut ujung pedang Lu Sian mengenai dada dan leher dan sekali ini Tan Hui terjungkal roboh bergulingan lalu diam telentang, tubuhnya mandi darah, akan tetapi tangan kanan masih memegang pedang dan mulutnya tetap tersenyum! Melihat keadaan bekas kekasihnya ini, Lu Sian menarik napas panjang menyimpan pedangnya.

   "Salahmu sendiri, Tan Hui. Kau yang mencari mati..."

   Tan Hui menggigit bibirnya menahan sakit, napasnya terengah-engah, kemudian terdengar ia lirih berkata,

   "Seharusnya aku membencimu... Sian-moi..., tapi... tak mungkin. Aku sudah jatuh... aku terlalu mencintamu. Sian-moi, hanya pesanku... jangan kau turunkan gin-kang kepada orang lain... dan kalau kelak anakku... mencarimu untuk membalas.... Jangan kau layani dia... harap kau ampunkan dia..."

   Makin lirih suara Tan Hui akhirnya hanya terdengar bisik-bisik yang tak dapat dimengerti, kemudian ia diam tak bergerak lagi. Sejenak Lu Sian berdiri tegak tak bergerak. Ia menekan rasa haru yang hendak mencekam hatinya. Ia seorang yang berwatak keras, tak mau ia dipengaruhi rasa kasihan. Kemudian ia berlutut didekat mayat Tan Hui. Setelah mati wajah Tan Hui tampak tenang dan tampan sekali. Teringatlah Lu Sian akan malam-malam bahagia bersama pendekar ini. Ia membungkuk dan mencium muka Tan Hui sambil berbisik lirih.

   "Akan kupenuhi pesanmu, Koko, tenanglah!"

   "Celaka ia membunuh Tan-taihiap!"

   Terdengar suara "sing-sing"

   Dicabutnya golok dan pedang. Perlahan Lu Sian bangkit berdiri, ujung matanya menyapu sembilan orang piauwsu yang sudah mengurungnya, sinar matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah tersenyum mengejek dan ujung hidungnya agak berkembang kempis. Alamat celakalah mereka yang berhadapan dengan Lu Sian kalau dia sudah seperti itu, karena itu adalah tanda-tanda daripada kemarahan yang meluap-luap. Tadi Tan Hui mengenalnya oleh keterangan para piauwsu, sehingga secara tidak langsung, para piauwsu inilah yang merusak kebahagiaannya dengan Tan Hui!

   "Kalian piauwsu-piauwsu jahanam inilah yang menceritakan kepada Tan Hui siapa adanya aku?"

   Suaranya terdengar satu-satu perlahan dan jelas, diucapkan dengan mulut setengah tersenyum. Seorang piauwsu muda menudingkan telunjuknya dan memaki.

   "Kau siluman betina! Kau puteri Beng-kauwcu dan sudah menjadi isteri Jenderal Kam, akan tetapi kau membunuh Tan-taihiap... ah, perempuan keji, kau...!"

   "Syiuuutt, cring... crokkk!"

   Piauwsu muda itu sia-sia menangkis ketika sinar berkilauan menyambar kearahnya. Goloknya yang menangkis patah menjadi dua disusul lehernya yang terbacok sampai putus sama sekali dan kepalanya terpental jauh, tubuhnya yang tak berkepala lagi roboh dan menyemprotkan darah seperti air mancur!

   Ributlah delapan orang piauwsu yang lain dan cepat mereka itu menerjang dari segala penjuru. Namun Lu Sian sudah siap sedia, dan sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Pedang Toa-hong-kiam ditangannya berkelebat laksana naga mengamuk. Kini gin-kangnya sudah maju pesat sekali sehingga gerakannya sukar diikuti pandangan mata para piauwsu itu. Sungguhpun delapan orang itu menerjang berbareng, namun mereka masih kalah cepat oleh Lu Sian yang seakan-akan dapat melejit dan menyelinap diantara sinar golok dan pedang para pengeroyok, kemudian dengan kecepatan yang luar biasa sekali pedang Toa-hong-kiam di tangannya merobohkan mereka seorang demi seorang! Hanya terdengar bunyi senjata berdencingan diseling bunyi pedang golok menyambar bersiutan, kemudian yang terakhir disusul pekik kesakitan dan robohlah seorang pengeroyok, disusul orang ke dua ke tiga dan seterusnya dengan tangan buntung, perut robek, atau muka terbelah dua.

   Darah muncrat-muncrat dan tubuh bergelimpangan. Tidak sampai seperempat jam lamanya, sembilan orang piauwsu telah roboh mandi darah disekeliling mayat Tan Hui! Ada diantara mereka yang tidak tewas, akan tetapi mereka ini tentu akan menjadi orang cacat karena sebelah tangannya atau sebelah kakinya buntung! Sambil tersenyum mengejek Lu Sian membersihkan pedangnya, menyarungkannya kembali lalu pergi dari situ tanpa menengok lagi. Hanya beberapa loncatan saja dan ia sudah lenyap dari situ. Setelah Lu Sian pergi, barulah penduduk dusun itu geger, berlarian keluar dari rumah dengan muka pucat. Dihalaman pondok yang tadinya dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari orang-orang dusun melihat mereka berkasih-kasihan, kini penuh dengan tubuh bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka parah, dan kesemuanya mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka sedapatnya.

   Semenjak peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang selain cantik jelita dan mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi mereka yang ia anggap musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita ini tentu akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian, tentu akan berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang tidak mati, tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga sebentar saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!

   Seorang anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak pernah dikenalnya, tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal yang amat sengsara. Sembilan daripada sepuluh orang anak kecil tentu akan menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya kalau ia sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada siapa. Akan tetapi, Bu Song biarpun berusia sembilan tahun, namun ia bukan anak sembarangan. Semenjak berusia lima tahun ia sudah diajar membaca dan menulis. Setiap hari ia dijejali kitab-kitab dan pada masa itu, yang disebut kitab pelajaran hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya berat-berat, segalanya ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song sudah mempunyai pemandangan yang luas, sudah dapat mempergunakan kebijakan dan dapat menangkap suara batin.

   Ia adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang berdisiplin dan berbudi. Ibunya adalah seorang yang memiliki watak aneh dan keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini, maka hatinya keras, kemauannya besar dan kenekatannya bulat. Sekali ia mengambil keputusan, akan diterjangnya terus tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam perantauan yang tiada tujuan ini, kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan oleh ancaman maut sekalipun. Kemudian kebijaksanaan dan disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat saja mencari jalan hidup. Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama sekali, ia sudah mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun disetiap dusun, sekedar minta upah sebagai pengisi perutnya. Memotong kayu, menjaga sawah, mengembala kerbau, menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja akan dikerjakannya.

   Tenaga anak ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun tak pernah tinggal terlalu lama disebuah tempat, karena ia mau bekerja hanya untuk menyambung hidupnya. Biarpun ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang ditemui tandingannya, namun Bu Song yang berusia sembilan tahun itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ia pun tidak ingin belajar silat, karen sejak kecil, kitab-kitab filsafat dan nasihat-nasihat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan rendah terhadap ahli silat. Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan kasar dan kotor, demikian nasihat ayahnya. Menjadi tentara, menjadi tukang pukul, menjadi pengawal, atau menjadi perampok! Kesemuanya membutuhkan ilmu silat untuk melawan musuh, untuk membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat mempergunakan ilmu silat untuk menjadi pendekar dan berbakti untuk negera, membasmi musuh negara, akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali dibandingkan dengan yang menyeleweng menjadi penjahat mengandalkan kekuatan dan kepandaian silatnya.

   Inilah sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa ilmu silat, namun ia pandai bersajak, pandai pula menulis dan menggambar huruf hias. Karena kekerasan wataknyalah maka ia "memaksa diri"

   Untuk membenci ilmu silat, padahal wataknya yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap dan tenaganya yang besar itu menunjukkan bahwa ia memiliki bakat baik untuk menjadi pendekar, bukan menjadi seorang sastrawan! Karena semenjak kecil ia memang hidup sebagai putera seorang pembesar yang serba cukup, maka biarpun sekarang telah menjadi seorang "gelandangan", namun Bu Song selalu dapat menjaga dirinya agar tetap bersih dan sehat, biarpun pakaiannya kemudian habis dijualnya untuk makan sehingga yang dimilikinya hanya yang menempel pada tubuhnya, namun ia merawat pakaian itu dengan hati-hati, mencucinya setiap kali pakaian itu kotor. Oleh karena inilah, Bu Song selalu tampak sehat dan bersih, tidak seperti seorang anak jembel.

   Pada suatu hari dalam perantauannya tanpa arah, tibalah Bu Song di lembah Sungai Huai yang subur daerahnya. Ia meninggalkan Kabupaten Jwee-bun dimana ia tinggal selama sebulan dan bekerja membantu seorang pemilik rumah makan. Kini, dengan bekal sisa uang gajinya, Bu Song berangkat pagi-pagi meninggalkan Jwee-bun, terus ke timur melalui hutan-hutan kecil sepanjang lembah sungai. Matahari sudah naik tinggi, sinarnya menerobos celah-celah daun pohon diatas kepalanya. Angin semilir berdendang dengan daun bunga, mengiringi nyanyian burung-burung hutan. Disana-sini, binatang kelinci dengan telinganya yang panjang-panjang berlompatan saling kejar dan bermain "sembunyi-cari"

   Dengan teman-temannya diantara rumpun. Demikian indah pemandangan, demikian merdu pendengaran, demikian nyaman perasaan pada pagi cerah itu sehingga Bu Song lupa akan segala kesukaran yang pernah ia alami maupun yang akan ia hadapi. Anak ini berdiri diam tak bergerak agar jangan mengagetkan kelinci-kelinci itu, menonton mereka bermain-main dengan hati geli.

   "Ha-ha-ha-ha! Akulah raja diantara segala raja! Dikawal monyet-monyet berkuda! Ha-ha-ha!"

   Bu Song tersentak kaget mendengar tiba-tiba ada suara ketawa yang disambung kata-kata yang dinyanyikan itu.

   Suara itu datangnya dari belakang, masih jauh sekali. Heran sekali ia, mengapa didalam hutan sesunyi ini ada seorang bernyanyi seaneh itu. Orang gilakah? Akan tetapi ia menjadi makin heran ketika mendengar suaran kaki kuda, kemudian melihat munculnya lima ekor kuda besar-besar ditunggangi lima orang yang wajahnya kelihatan bengis-bengis. Kuda terdepan yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, menyeret seorang laki-laki yang rambutnya compang-camping penuh tambalan. Laki-laki aneh inilah yang agaknya bernyanyi tadi, karena memang keadaannya seperti orang gila. Kedua lengannya terikat dengan tali yang cukup besar dan kuat, dan ujung tali ikatan ini dipegang oleh Si Penunggang Kuda. Si gila ini tangan kanannya memegang sebuah paha panggang yang besar, mungkin paha angsa atau kalkun, yang digerogotinya.

   Biarpun kedua lengannya terikat, ia kelihatan enak-enak saja, diseret kuda ia malah menari dan bernyanyi-nyanyi, sama sekali tidak kelihatan takut. Terang dia gila, pikir Bu Song. Ia memperhatikan lima orang itu. Mereka kelihatan galak dan membawa senjata tajam. Rasa iba menyesak didadanya. Orang itu jelas gila, berarti dalam sakit. Kenapa harus disiksa seperti itu? Tentu saja Bu Song tidak tahu bahwa yang ia sangka gila itu adalah seorang sakti yang telah menggemparkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang hebat dalam menentang kejahatan, disertai tindakannya yang selalu edan-edanan seperti orang tidak waras otaknya. Dan agaknya sangat boleh jadi lima orang itu juga seperti Bu Song, tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka tangkap itu adalah Kim-mo Taisu, pendekar sastrawan gila yang dahulu adalah seorang sastrawan tampan dan gagah bernama Kwee Seng dan berjuluk Kim-mo eng! Terdorong oleh rasa kasihan, Bu Song berlari menghampiri orang gila itu.

   "He, bocah! Mau apa kau??"

   Seorang diantara para penunggang kuda itu membentak, tangannya bergerak dan cambuk ditangannya itu mengeluarkan bunyi "tar-tar-tar"

   Seperti mercon.

   "Aku hanya ingin bicara dengan Paman ini, apa salahnya?"

   Bu Song menjawab dan ia nekat mendekati terus biarpun ia diancam dengan cambuk yang panjang dan dapat berbunyi menakutkan itu. Laki-laki gila itu dengan enaknya menggigit sepotong daging dari paha panggang yang dipegangnya, lalu melirik kekanan memandang Bu Song, tertawa dan berkata.

   "Eh, bocah sinting! Kau lapar? Nih, kau boleh gigit dan makan sepotong!"

   Sedapatnya ia mengeluarkan tangannya yang terikat untuk memberikan paha panggang itu kepada Bu Song.

   "Tidak, Paman, aku tidak lapar. Kau makanlah sendiri."

   Bu Song terpaksa harus maju setengah berlari untuk mengimbangi orang gila yang terseret dibelakang kuda itu. Orang gila itu terpaksa pula melangkah lebar dan terhuyung-huyung.

   "Paman, kenapa kau ditawan? Apakah kesalahanmu? Dan kau hendak dibawa kemana?"

   "Bocah gila! Pergi kau! Tar-tar-tar!"

   Cambuk ditangan penunggang kuda yang paling belakang, melecut kearah Bu Song dan orang gila itu. Cambuk itu panjang dan tangan yang memegangnya biarpun kurus namun bertenaga sehingga lecutan itu keras sekali, tepat mengenai pundak Bu Song dan leher orang gila. Akan tetapi anehnya, Bu Song sama sekali tidak merasa sakit karena ujung cambuk itu ketika mengenai tubuhnya, terpental kembali seakan-akan tertangkis tenaga yang tak tampak.

   "Heh-heh-heh, bocah sinting, kenapa kau bertanya-tanya?"

   Si Gila itu berkata kepada Bu Song sambil tertawa menggerogoti paha panggang pula.

   "Aku kasihan kepadamu, paman. Biarlah kumintakan ampun untukmu..."

   "Hush, jangan goblok! Aku memang berdosa, aku mencuri paha panggang ini, ha-ha-ha, dan untuk itu aku harus menerima hukuman. Biarlah aku diseret dan baru hukum seret ini habis kalau paha ini pun habis kumakan."

   "Kau masih tidak mau pergi?!"

   Kembali Si Penunggang Kuda mencambuk, kini ujung cambuk mengenai pipi Bu Song, terasa sakit dan panas. Namun Bu Song memang keras hati, ia tidak mundur, dan terus berlari disebelah Si Gila. Kini orang gila itu memandang kepadanya dengan mata bersinar-sinar, memandang kearah jalur merah dipipi yang tercambuk.

   "Ha-ha-ha, bocah, kau lumayan! Kau mau tahu? Mereka ini adalah lima ekor monyet yang hendak menangkap anjing, akan tetapi sayang kali ini mereka menangkap harimau. Ha-ha-ha-ha! Nah, pergilah kau, sampai jumpa pula!"

   Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengerti akan maksud kata-kata Si Gila itu, hanya ia dapat menduga bahwa Si Gila ini tentu memaki para penawannya yang disebut sebagai lima ekor monyet. Menurut dugaannya, Si Gila ini malah mengumpamakan diri sebagai harimau. Mempergunakan kata-kata bersajak mengandung sindiran yang memaki orang!

   "Cerewet, masih pura-pura gila? Bocah setan, apa kau bosan hidup?"

   Kembali cambuk itu melecut, mengenai kaki Bu Song dan sekali cambuk itu digerakkan, Bu Song terlempar ke pinggir jalan, bergulingan. Kulitnya lecet-lecet, akan tetapi Bu Song tidak pedulikan rasa sakitnya. Cepat ia bangun berdiri dan sempat melihat betapa orang gila itu kini terseret-seret karena lima ekor kuda itu dilarikan cepat-cepat. Biarpun terseret-seret jatuh bangun dan terhuyung-huyung, namun Si Gila itu masih tertawa-tawa dan bernyanyi dengan suara riang dan nyaring. Bu Song berdiri bengong, penuh iba dan juga penuh kagum kepada orang gila itu. Biarpun kelihatannya terseret-seret kuda, tentu saja sebetulnya hal itu disengaja oleh Kim-mo Taisu Kwee Seng! Pagi hari itu, baru saja ia bangun dari tidur nyenyak di sebelah kuil bobrok di luar kota Kabupaten Jwee-bun ketika lima orang penunggang kuda itu serentak menyergapnya.

   Karena tidak tahu apa urusannya, Kwee Seng tidak melawan dan memang pada saat itu, gilanya sedang kumat. Malam tadi ia terlalu banyak minum arak yang dicurinya dari rumah makan terbesar di kota itu, minum-minum sampai mabok dan kalau sudah begini, tentu ia teringat akan semua pederitaannya sehingga membuat ia tertawa-tawa dan menangis seorang diri. Ketika lima orang itu menyergapnya dan mengikat kedua lengannya dengaa tali yang khusus dipergunakan ahli-ahli silat untuk membelenggu lawan, ia hanya tertawa-tawa dan memutar-mutar biji matanya. Orang tinggi besar muka hitam yang memimpin rombongan lima orang itu, setelah membelenggu kedua tangannya, lalu bertolak pinggang dan berkata,

   "Kami adalah murid-murid tertua dari perkumpulan Sian-kauw-bu-koan (Perkumpulan Silat Monyet Sakti). Kami mentaati perintah Suhu menyelidiki dan mengejar penjahat yang tiga malam yang lalu telah mengganggu rumah Suhu. Kau lah agaknya orangnya, karena kau lah orang baru yang kami temui dan jelas bahwa kau pandai ilmu silat, hanya berpura-pura gila. Kami takkan membunuhmu sebelum kau dihadapkan kepada Suhu."

   Demikianlah, Kwee Seng digusur keluar lalu mereka menunggang kuda dan menarik Kwee Seng yang dibelenggu itu keluar dari Jwee-bun. Akan tetapi, Kwee Seng menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.

   "Akulah raja-diraja! Pengawal-pengawalku monyet-monyet berkuda!"

   Ia menari-nari dipinggir-pinggir jalan dan ketika mereka lewat didepan rumah makan, kaki Kwee Seng menendang meja. Anehnya, meja itu tidak roboh, hanya panggang paha yang berada ditempatnya telah berloncatan. Kwee Seng tertawa dan menyambar sebuah paha panggang yang meloncat di dekatnya, terus saja digerogotinya paha panggang yang masih panas itu sambil mulutnya mengoceh,

   "enak... enak, gurih sedap...!"

   Pemilik warung marah-marah, bersama beberapa orang pembantunya memungut paha panggang yang berjatuhan ditanah, kemudian mereka hendak memukuli oarng gila itu. Akan tetapi Si Muka Hitam membentak.

   "Jangan sembarangan pukul tawanan kami! Nih, kerugianmu kuganti!"

   Ia melemparkan sepotong uang perak yang diterima oleh pemilik warung dengan girang. Arak-arakan itu kemudian menjadi tontonan, anak-anak menggoda Kwee Seng, orang-orang tua mempercakapkan kejadian aneh itu. Menyaksikan tingkah Kwee Seng yang mencuri paha panggang, dan melihat betapa kepala rombongan orang berkuda itu dengan baik membayar kerugian Si Tukang Warung, otomatis semua orang berpihak kepada para penunggang kuda dan menduga bahwa orang gila itu tentulah telah melakukan perbuatan jahat. Kwee Seng terus diseret berlari-lari dibelakang kuda sambil tetap menggerogoti daging paha. Setelah dagingnya habis semua tinggal tulang yang juga ia gigit pecah ujungnya untuk dihisap sum-sumnya, mendadak Kwee Seng berhenti dan berkata.

   "Sudah cukup! Paha curian sudah habis, hukumanku pun habis!"

   Kuda didepannya lari terus, akan tetapi penunggangnya, Si Muka Hitam yang memegangi ujung tali belenggu, tersentak kebelakang dan jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga ia dapat jatuh berdiri diatas tanah sambil membelalakkan matanya. Empat orang kawannya juga cepat melompat turun dan mencabut senjata masing-masing, sikap mereka mengancam, akan tetapi juga agak jerih. Kwee Seng menggerakkan kedua tangannya dan

   "bret, brett"

   Tali yang mengikat pergelangan kedua tangannya putus dengan mudah. Kembali lima orang itu terkejut, juga Si Tinggi Besar muka hitam sudah mencabut goloknya, siap menghadapi tawanan yang memberontak ini. Kwee Seng tertawa bergelak, menoleh kekanan kiri memandang lima orang yang mengurung nya.

   "heh-heh, habis makan tidak minum, sungguh tak enak sekali. Eh, sahabat-sahabat seperjalanan, siapa diantara kalian yang mempunyai arak? Aku ingin sekali minum!"

   Empat orang itu sudah gatal-gatal tangannya hendak menerjang, akan tetapi Si Muka Hitam menggeleng kepala, menghampiri kudanya yang sudah dipegang oleh seorang temannya, mengeluarkan sebuah guci arak dan melemparkannya kepada Kwee Seng. Kwee Seng tertawa-tawa menyambut guci arak lalu menuangkan isinya ke mulut, meneguk arak dengan lahap sekali tak kunjung henti sampai akhirnya guci itu kosong!

   "Heh-heh, arak tidak baik, tapi cukup menghilangkan dahaga!"

   Katanya sambil mengusap mulut dengan lengan baju.

   "Nah, sekarang kita bicara. Aku memang mencuri paha panggang, maka aku suka kalian hukum diseret-seret. Akan tetapi sekarang barang curian itu sudah habis, maka sampai disini pula hukumanku."

   "Tidak perlu segala pura-pura ini!"

   Si Muka Hitam membentak.

   "Seorang gagah tidak akan menyangkal perbuatannya. Kau jelas seorang kang-ouw yang pura-pura gila, apakah tidak malu kalau bersikap pengecut? Kaulah satu-satunya orang yang mungkin melakukan pengacauan di rumah Suhu, oleh karena itu, kami harap supaya kau ikut baik-baik menghadap Suhu untuk menerima pengadilan. Kalau kau berkeras menolak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan pula!"

   "Siapa guru kalian itu?"

   Kwee Seng bertanya tak acuh.

   "Suhu adalah guru silat yang mendirikan Silat Monyet Sakti, namanya terkenal sebagai seorang yang menghargai persahabatan dan tidak pernah mengganggu golongan lain."

   "Aha! Kiranya Sin-kauw-jiu (Kepalan Monyet Sakti) Liong Keng Lo-enghiong di kota Sin-yang."

   Lima orang itu cepat saling pandang dan wajah mereka berubah girang.

   "Hemm, kau sudah mengenal Suhu, sudah mengacau rumahnya tiga hari yang lalu, masih berpura-pura lagi!"

   Tegur Si Muka Hitam.

   "Ha-ha-ha! Liong-lo-enghiong memang patut menjadi monyet tua sakti, akan tetapi kalian ini benar-benar monyet buntung yang lancang sekali. Sudah kukatakan tadi, kalian hendak menangkap anjing, akan tetapi keliru menangkap hariamau, bukankah itu amat lucu? Sudahlah, aku hendak pergi!"

   Setelah berkata demikian, Kwee Seng melempar guci arak yang sudah kosong ke atas tanah, kemudian tanpa menoleh lagi ia berjalan melewati mereka dengan lenggang seenaknya dan bernyanyi-nyanyi!

   Kalau To menyuram, dianjurkan prikebajikan!
Prikebajikan muncul tampak pula kemunafikan!
Kalau rumah tangga hancur berantakan dianjurkan kerukunan!
Setelah negara kacau, baru timbul pahlawan!
Hayaaaaa......!
Hayaaaa...!
Hayaaaaa......!!!"

   Nyanyian itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tek-khing pelajaran Nabi Lo Cu. Kwee Seng amat tertarik oleh pelajaran Agama To-kauw ini setelah selama tiga tahun ia berada di Neraka Bumi, dimana terkumpul banyak kitab-kitab kuno tentang To-kauw milik nenek penghuni Neraka Bumi, dan banyak pula kitab-kitab ini dibacanya. Agaknya pengaruh pelajaran To ini pulalah yang membuat Kwee Seng kini menjadi tak acuh akan keduniawian, bersikap bebas lepas seperti orang tidak normal! Adapun lima orang itu ketika melihat Si Gila seperti hendak melarikan diri, cepat lari mengejar dan mengurungnya dengan senjata ditangan, sikap mengancam dan siap menerjang. Si Muka Hitam yang tinggi besar berdiri menghadapi Kwee Seng sambil membentak.

   "Kau tidak boleh pergi sebelum ikut kami menghadap Suhu!"

   "Ha-Ha-Ha, aku akan menghadap Suhumu sekarang juga!"

   Kwee Seng berkata sambil berjalan terus tanpa mempedulikan mereka. Tentu saja lima orang itu tidak sudi percaya dan menyangka Kwee Seng mempergunakan siasat untuk dapat melarikan diri. Si Muka Hitam memberi tanda dan menyerbulah mereka semua dengan golok dan pedang mereka. Senjata-senjata itu mereka tujukan pada tempat-tempat yang tidak berbahaya, bahkan ada yang hanya dipakai mengancam karena mereka tidak berniat membunuh Si Gila ini yang perlu dihadapkan kepada guru mereka untuk diperiksa.

   "Siuuuttt... wrr-wrr-wrrr!"

   Lima orang itu menjadi silau matanya melihat sinar menyilaukan mata disambung tubuh mereka terpental kebelakang. Entah apa yang terjadi, mereka tahu-tahu sudah terlempar dan jatuh duduk terjengkang sedangkan senjata mereka lenyap entah kemana bersamaan pula dengan lenyapnya orang gila yang mereka serang tadi! Mereka saling pandang dengan penuh keheranan. Mereka adalah murid-murid pilihan dari Sin-kauw-jiu Liong Keng, jagoan Sin-yang! Bagaimana mereka dapat dengan mudah saja, dalam segebrakan dirobohkan seorang lawan tanpa mereka ketahui bagaimana caranya?

   "Eh, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua)... lihat...!"

   Seorang diantara mereka berkata sambil menudingkan telunjuknya kebelakang. Si Muka Hitam dan adik-adik seperguruannya menoleh dan ternyata golok dan pedang mereka yang lenyap tadi telah menancap diatas tanah, disekeliling guci arak yang kosong! Entah bagaimana bisa menancap disitu, dan kapan terjadinya, mereka sama sekali tidak dapat menerka.

   Dengan penuh keheranan, kekaguman, juga kekhawatiran karena perguruan mereka menghadapi seorang musuh yang sedemikian saktinya, mereka bangkit, membersihkan pakaian lalu mengambi senjata dan meloncat keatas kuda yang mereka kaburkan cepat-cepat ke Sin-yang untuk memberi laporan kepada guru mereka. Dengan cepat lima orang itu membalapkan kuda karena mereka amat khawatir akan keselamatan perguruan mereka. Guru mereka harus diberi peringatan akan datangnya malapetaka dari tangan Si Jembel yang sakti itu. Lima ekor kuda mereka sampai mandi peluh ketika akhirnya mereka memasuki Sin-yang dan cepat-cepat mereka melompat turun didepan rumah besar yang pintu depannya terdapat tulisan Sin-kauw-bu-koan. Mereka berlima lalu lari masuk tanpa mempedulikan pertanyaan para murid lain yang berada didepan gedung.

   "Mana Suhu? Kami harus cepat-cepat menghadap Suhu!"

   Demikianlah ucapan mereka sambil berlari terus menuju keruangan dalam. Akan tetapi begitu mereka membuka pintu ruangan tamu, lima orang murid ini berdiri seperti patung, membelalakkan mata karena hampir tidak percaya kepada pandang mata dan pendengaran telinga sendiri. Suhu mereka, seorang tua berusia enam puluh tahun yang jenggotnya sudah putih semua, duduk diruangan tamu, menjamu seorang tamu yang tertawa-tawa bergelak sambil minum arak, menimbulkan suasana gembira sedangkan suhu mereka juga tertawa-tawa, seorang tamu berpakaian compang-camping yang bukan lain adalah.... Jembel gila yang mereka keroyok tadi! Orang gila itu kini menoleh kearah mereka sambil mengangkat cawan arak dan berkata sambil tertawa.

   "Ha-ha, percayakah kalian sekarang bahwa aku akan menghadap Liong-lo-enghing (Orang Tua Gagah she Liong)?"

   Lima orang murid itu masih bingung dan khawatir. Orang gila itu memang sikapnya edan-edanan, jangan-jangan suhu mereka kena ditipu pula. Suhu mereka memang selalu ramah kepada siapapun juga, siapa tahu bahwa Si Gila inilah mungkin orang jahat yang mengacau tiga hari yang lalu.

   "Suhu... eh, dia ini..."

   Si Muka Hitam berkata akan tetapi segera menghentikan kata-katanya ketika melihat sepasang mata suhunya memandang marah kepadanya.

   "Hemm, apa-apaan kalian ini? Bersikap tolol terhadap tamu agung? Hayo lekas memberi hormat kepada yang terhormat Kim-mo Taisu!"

   Lima orang itu merasa seakan-akan kepala mereka disiram air es! Tentu saja mereka sudah mendengar suhu mereka bicara dengan kagum akan seorang pendekar aneh yang menggemparkan dunia persilatan, yaitu seorang pendekar muda yang amat sakti dan jarang dapat ditemui orang namun yang perbuatan-perbuatannya membuat namanya menjulang tinggi diantara para pendekar lainnya, yaitu Kim-mo Taisu. Siapa kira nama besar ini dimiliki oleh seorang jembel muda! Patutnya nama julukan Kim-mo Taisu dipakai oleh seoarang tua yang berwibawa. Kalau saja bukan suhu mereka yang memperkenalkan, sampai mati pun mereka takkan dapat percaya. Meremang bulu tengkuk mereka menawan dan menyeret-nyeret Kim-mo Taisu. Serempak lima orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwee Seng sambil berkata,

   "Mohon Taisu sudi mengampuni kekurangajaran kami berlima!"

   Sin-kauw Liong Keng yang sudah tua itu tercengang dan bercuriga ketika melihat murid-murid kepala ini memberi penghormatan seperti itu kepada tamu-tamunya, maka cepat ia bertanya dengan suara keren.

   "Hemm, apakah yang telah kalian perbuat terhadap dia?"

   Si Muka Hitam segera menjawab, suaranya penuh penyesalan,

   "Suhu, teecu berlima dalam menyelidiki penjahat, telah salah duga dan kesalahan tangan menangkap Taisu, mohon Suhu dapat mengampunkan teecu."

   "Hah...?? Kalian menangkap Kim-mo Taisu? Wah celaka! Gila betul murid-muridku. Harap Taisu suka memaafkan aku orang tua yang mempunyai murid-murid tolol."

   Liong Keng cepat-cepat menjura kepada Kwee Seng. Kwee Seng tertawa dan balas menjura.

   "Wah, mengapa begini sungkan? Tidak aneh bila terjadi kesalahpahaman, kalau tidak ada kejadian itu, mana aku dapat mengetahui bahwa Lo-enghiong diganggu orang?"

   Liong Keng duduk kembali, mengelus jenggotnya dan wajahnya kelihatan murung. Ia menarik napas panjang lalu memberi perintah kepada lima orang muridnya untuk bangun. Dengan taat mereka bangkit dan mengambil tempat duduk dibelakang suhu mereka. Kini pandang mata mereka terhadap Kim-mo Taisu berobah sama sekali, penuh keseganan dan kekaguman.

   "Memang murid-muridku goblok, akan tetapi dapat dimengerti juga kesalahdugaan mereka karena dia pun seorang muda yang suka memakai pakaian jembel seperti Taisu. Dan dia lihai bukan main... hemm, ataukah agaknya aku yang sudah terlalu tua dan tiada guna...."

   Kembali guru silat tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Tiba-tiba ia bangkit berdiri, gerakannya cepat sekali, lalu ia menghadapi Kwee Seng sambil berkata.

   "Kim-mo Taisu, aku sudah tahu sampai dimana hebatnya kepandaianmu ketika kau membantuku setahun yang lalu di Hutan Ayam Putih membasmi perampok, coba sekarang kau uji, apakah kepandaianku sudah amat merosot?"

   Setelah berkata demikian, guru silat tua itu tiba-tiba menerjang Kim-mo Taisu yang masih duduk diatas bangkunya.

   
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Guru silat tua itu memukul dengan tangan kanannya, pukulan yang antep dan ampuh, namun Kwee Seng hanya duduk tersenyum. Ketika pukulan sudah tiba pada sasarannya, terdengar suara keras dan bangku yang diduduki Kwee Seng tadi hancur berkeping-keping, akan tetapi pendekar sakti itu sendiri sudah tidak berada disitu! Kejadian ini berlangsung cepat sekali, menghilangnya Kwee Seng juga amat luar biasa sehingga guru silat dan lima orang muridnya melongo, lalu celingukan mencari-cari dengan mata mereka.
(Lanjut ke Jilid 16)

   SULING EMAS (Seri ke 02 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
"Ha-ha, pukulan tanganmu masih ampuh sekali, Lo-enghiong!"

   Tiba-tiba terdengar suaranya dan ketika semua orang memandang, ternyata Kim-mo Taisu atau Kwee Seng itu telah berada disudut ruangan, punggungnya menempel pada sudut dinding bagian atas, seperti orang enak-enak duduk saja! Ternyata pendekar sakti itu sekaligus telah membuktikan kehebatan gin-kangnya ketika ia "menghilang"

   Dan juga kekuatan lwe-kangnya dengan cara menempelkan punggung pada dinding!

   "Hemm, kau anggap pukulan tanganku masih cukup ampuh? Sekarang harap kau suka melihat ilmu toyaku, bagaimana?"

   Cepat sekali guru silat itu tahu-tahu sudah menyambar sebatang toya, yaitu senjata tongkat atau pentung terbuat daripada sebuah kuningan dengan ujungnya baja, sebuah senjata yang berat dan keras bukan main. Kemudian toya itu diputar-putarnya sampai mengeluarkan angin berciutan, toyanya sendiri hilang bentuknya karena yang tampak hanya gulungan sinar kuning yang makin lama makin berkembang lebar. Terdengar suara keras berkali-kali dan dilain saat Si Guru Silat sudah meloncat turun, toyanya melintang didepan dada, dan ia bengong memandang keatas dimana tadi Kim-mo Taisu berada. Pendekar sakti itu sudah tidak berada diatas dinding itu memperlihatkan akibat serangan yang hebat tadi, yaitu berlubang-lubang pada tujuh tempat, tepat dibagian tubuh yang berbahaya.

   "Wah, ilmu toyamu masih amat luar biasa Lo-enghiong!"

   Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan kiranya pendekar ini tadi melompat kesudut lain dari ruangan itu dengan gerakan demikian cepatnya sehingga tak tampak oleh mereka yang berada diruangan itu. Kini ia menghampiri Si Guru Silat tua sambil menjura dan tertawa-tawa,

   "Kau yang begini tua masih sehebat ini, benar-benar harus diberi ucapan selamat dengan seguci arak wangi."

   Liong Keng tersenyum dan melempar toyanya ke arah muridnya yang cepat menerimanya dan menyimpannya.

   "Ha-ha-ha, pujianmu kosong, dan orang setua aku ini sudah tidak butuhkan itu lagi. Taisu kalau kau menganggap bahwa ilmuku masih belum berkurang, maka makin sukarlah penasaran ini dibereskan. Heeei, ambil lagi guci besar arak wangi untuk Taisu!"

   Biarpun tadinya guru silat itu tertawa-tawa melayani Kwee Seng minum arak yang baru dibuka dari guci, namun kerut-kerut di dahinya timbul lagi dan ia menarik napas panjang berkali-kali.

   "Lo-enghiong, mengapa kau simpan-simpan penasaran di hati? Ceritakanlah, apa yang terjadi dan siapa itu orang muda berpakaian jembel yang lihai sekali?"

   Liong Keng kembali menarik napas panjang.

   "Kalau diceritakan sungguh membikin orang mati penasaran! Aku Liong Keng selama puluhan tahun hidup sebagai guru silat tak pernah mencari permusuhan dengan siapapun juga, kecuali dengan orang-orang jahat sehingga selama ini namaku tetap disuka dunia kang-ouw. Siapa tahu, sekali ini namaku hancur oleh seorang bu-beng-siauw-cut (orang kecil tak terkenal)!"

   Dengan suara penuh penasaran ia lalu bercerita akan peristiwa yang menimpa padanya beberapa hari yang lalu. Liong Keng seorang guru silat yang terkenal, guru silat walaupun merupakan guru bayaran, namun dalam menerima murid ia tidaklah asal orang mampu membayarnya saja. Ia memilih calon murid yang berbakat dan yang berkelakuan baik-baik, bahkan banyak diantara muridnya yang karena miskin tidak mampu membayarnya.

   Ada seorang murid perempuan, anak seorang janda miskin yang amat dikasihinya sehingga ketika janda itu meninggal dunia, murid perempuan yang bernama Bi Loan itu ia pungut sebagai puterinya, karena guru silat itu sendiri memang tidak mempunyai keturunan. Bi Loan menjadi murid yang pandai dan anak yang berbakti, wajahnya cukup cantik sehingga guru silat itu tentu saja mengharapkan mantu yang pantas. Sebagai seorang gadis yang pandai silat, puteri Sin-kauw-jiu Liong Keng, Bi Loan bukanlah gadis pingitan yang selalu berada di dalam kamarnya. Ia sudah biasa keluar pintu, bahkan biasa pula menggunakan kepandaiannya untuk membela si lemah yang tertindas. Tidak ada orang yang berani mencoba-coba mengganggunya, karena selain gadis itu sendiri pandai silat, juga orang merasa sungkan bermusuhan dengan Sin-kauw-jiu itu, Liong Keng dan murid-muridnya yang banyak jumlahnya.

   "Akan tetapi, sepekan yang lalu,"

   Demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya.

   "Bi Loan memasuki sebuah tempat judi Karena tertarik. Ditempat itu tentu saja berkumpul banyak penjahat dan disitu pula Bi Loan mendengar ucapan kurang ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang langgang. Akan tetapi tiba-tiba seorang pengemis muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian jembel.

   Ia tidak terkenal dan menurut cerita mereka yang menyaksikan kejadian itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela para penjahat tadi. Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan diri sambil menyindir-nyindir. Bi Loan marah dan mengejar, sebentar saja mereka lenyap dari tempat itu."

   Guru silat itu berhenti bercerita dan menarik napas panjang.

   "Lalu bagaimana?"

   Kwee Seng tertarik.

   "Tak seorang pun tahu kemana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari semalam Bi Loan tidak pulang, aku menjadi kuatir dan pada keesokan harinya aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi Loan didalam sebuah kuil kosong di hutan sebelah barat kota...."

   Melihat wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga.

   "Dan pengemis itu?"

   "Dia tidak ada, entah berada dimana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali. Anakku itu dengan sikap yang aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah menjadi isteri Kai-ong!"

   "Kai-ong (Raja Pengemis)?"

   Kwee Seng tertegun.

   "Demikianlah pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah dan memaksanya pulang karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan setibanya dirumah, ia hanya menangis, tidak mau bicara apa-apa kecuali menyatakan hendak ikut kai-ong! Malam harinya, tiga hari yang lalu, didepan hidungku sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, bangsat itu datang dan membawa pergi Bi Loan!"

   "Apa? Bagaimana terjadinya?"

   Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya sudah lumayan, kalau laki-laki muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu saja, itu membuktikan bahwa ilmu kepandaian jembel muda itu tentulah hebat!

   "Sungguh aku harus merasa malu, menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, sama sekali tidak berdaya menghadapi seorang penjahat tak ternama seperti dia. Aku harus tutup perguruanku!"

   "Suhu...!"

   Lima orang murid kepala berseru.

   "Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?"

   Guru silat itu menghela napas.

   "Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku maupun ilmu toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa kuketahui padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya keluar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar puteriku berkata "Selamat tinggal, Ayah"

   Dan melihat berkelebatnya bayangan itu diatas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar keatas, lalu kuhantamkan toyaku pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia tidak apa-apa! Kemudian menghilang didalam gelap!"

   Makin kagum hati Kwee Seng. Selama ini, baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang muda yang berkepandaian hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda lain yang menyebut diri raja pengemis yang demikian lihai!

   "Nah, selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan penyelidikan, akan tetapi bukannya mengetahui dimana sembunyinya penjahat yang menculik anakku, malah berani berlaku kurang ajar kepadamu. Betapapun juga, hal ini kuanggap kebetulan sekali, karena, kalau tidak kau sahabat muda, siapa lagi yang dapat mencuci bersih namaku ini?"

   Suara guru silat itu terdengar sedih sekali, penuh permohonan sehingga nampak benar bahwa ia telah tua dan telah banyak berkurang semangatnya begitu menderita kekalahan.

   "Baiklah, Lo-enghiong."

   Kwee Seng menyanggupi.

   "Mendengar ceritamu, aku jadi ingin sekali bertemu dengan raja pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan dapat menemukannya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul dia itu telah memilih Si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu kau sendiri maklum betapa ruwetnya soal asmara..."

   Perih hati Kwee Seng berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir hatinya sendiri yang berkali-kali menjadi korban asmara jahil! Liong Keng menghela napas dan mengangguk-angguk.

   "Dia bukan keturunanku sendiri, bagaimana aku bisa mengetahui isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian tidak menghendaki aku mempunyai keturunan."

   Setelah menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee Seng lalu berpamit dan pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat menarik hatinya Si Raja Pengemis!

   Dua orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak itu memandang penuh perhatian, kemudian seorang diantara mereka yang berkepala botak bertanya seius,

   "Dari mana mau kemana?"

   Pertanyaan singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia tertawa dan menjawab seenaknya,

   "Dari belakang mau kedepan!"

   Sejenak kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka tertawa bergelak dan orang kedua yang hidungnya bengkok keatas menghardik.

   "Jembel kapiran! hayo lekas pergi, disini bukan tempat kau mengemis!"

   "Tempat apa sih ini?"

   Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting.

   "Disini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya? Hayo lekas minggat, apa kau ingin kupukul mampus?"

   Bentak Si Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar kepala Kwee Seng itu didepan hidung Si Pendekar Sakti.

   "Waduh, tanganmu bau kencing kuda!"

   Kwee Seng menutupi hidungnya, lalu menjauhkan mukanya dan memandang kepada papan nama didepan pintu, mengerutkan keningnya dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu otomatis menarik kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya memang bau tangannya itu, karena hidungnya bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat. Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan, akan tetapi sebelum ia sempat memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran karena pengemis itu sudah membaca papan nama dengan suara keras,

   "BAN HOA PO KOAN (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah, kebetulan sekali, aku paling gemar berjudi!"

   Sekaligus kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel pandai membaca huruf, dan mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula?

   "Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta, bagaimana kau bisa berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?"

   Ejek Si Botak dan kedua orang penjag apintu ini tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut. Mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mata mereka melotot lebar memandang tangan Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang perak yang berkilauan!

   "Apakah modal sekian ini kurang cukup?"

   Dua orang itu menelan ludah menaksir-naksir bahwa kantung itu isinya tidak kurang dari seratus tail perak. Kemudian mereka mengangguk-angguk.

   "Cukup... cukup... silakan masuk...!"

   Kwee Seng menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung ia melangkah masuk, diawasi dua orang penjaga yang terheran-heran. Akan tetapi Kwee Seng tidak mempedulikan mereka, terus saja melangkah masuk kedalam ruangan yang cukup luas, dimana terdapat banyak orang mengelilingi beberapa buah meja judi. Ngeri hati Kwee Seng ketika menyaksikan orang-orang yang berjudi. Bukan seperti wajah manusia lagi, melainkan seperti sekelompok binatang kelaparan.

   Muka penuh peluh, berkilauan basah, mata melotot dan seluruh uratnya menegang. Sinar mata penuh kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang kehabisan uang kelihatan putus asa, penasaran, dendam, dan iri. Tempat setan dan iblis berpesta-pora, pikir Kwee Seng. Hawa udara panas di dalam Rumah Judi Selaksa Bunga itu. Panas luar dalam. Luar panas Karen kurang hawa, dalam panas karena pengaruh uang. Kwee Seng menhampiri meja tengah yang paling besar dan paling ramai. Semua meja adalah meja permainan dadu. Meja tengah juga tempat bermain dadu, akan tetapi di sini agaknya tempat istimewa di mana taruhannya amat besar. Uang perak bertumpuk-tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas. Yang mainkan dadu adalah seorang laki-laki kurus bermata sipit seperti selalu terpejam. Orang itu usianya empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung sampai ke siku.

   Gerakan kedua tangannya cepat sekali ketika ia memutar biji-biji dadu di dalam mangkok, kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok itu ke atas meja dengan biji-biji dadu di bawah mangkok. Mulailah orang-orang memasang nomer yang ia duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika pemasangan selesai, dengan gerakan tangan cepat sekali pemain itu membuka mangkok, maka tampaklah dua biji dadu di atas meja dengan permukaan memperlihatkan titik-titik merah. Jumlah titik-titik inilah merupakan angka yang keluar. Bagi yang pasangannya kena, mendapat jumlah taruhannya yang diterima dengan wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Bagi yang kalah, dan sebagian besar memang kalah, mereka hanya melihat dengan mata sayu betapa tumpukan uang taruhan mereka digaruk oleh Si Bandar yang tertawa-tawa lebar.

   Agaknya yang nasibnya mujur adalah selalu Si Bandar, buktinya yang mendapat atau yang pasangannya terkena selalu hanya yang memasang kecil, sebaliknya yang taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya! Kedatangan Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang semua perhatian ditujukan ke atas meja. Setelah melihat tiga empat kali pasangan melalui pundak orang-orang yang bertaruh. Kwee Seng mendesak maju. Dengan lagak dibuat-buat ia mengeluarkan pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya di atas meja dengan keras. Jelas tampak bahwa pundi-pundi itu isinya berat dan banyak, maka tertegunlah semua orang. Yang merasa pasangannya hanya kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga akhirnya Kwee Seng dapat duduk berhadapan dengan Si Bandar Judi. Pundi-pundi itu belum dibuka, maka Si Bandar yang kurus itu memandang tajam dengan mata sipitnya, kemudian bertanya.

   "Pasangan dengan uang tunai. Apakah anda punya uang?"

   Diam-diam SI Bandar ini merasa heran mengapa penjaga pintu memperkenankan seorang jembel masuk ruangan itu.

   "Heh-heh-heh, kalau tidak punya uang, tentu aku tidak akan berjudi!"

   Kwee Seng membuka pundi-pundinya dan terdengar seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi pundi-pundi oleh mereka.

   "Tapi aku tidak sudi berjudi kecil-kecilan. Aku ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap, dengan hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"

   Kembali orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini, menantang bandar! Ban-hwa Po-koan adalah rumah judi besar, orang-orang yang menjadi bandar adalah ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini tersenyum-senyum memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi tikus.

   "Mengapa tidak berani? Berapa uangmu dan berapa akan kaupertaruhkan?"

   "Isi pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail, kupertaruhkan semua!"

   Terdengar seruan "ah-oh-eh"

   Ramai sekali ketika para penjudi mendengar ucapan ini. Sekali pasang seratus dua puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila yang dapat melakukan hal ini! Bahkan Si Bandar Kurus itu sendiri menjadi basah penuh keringat Karena betapapun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan yang begini hebat. Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepalanya seperti orang mencari kutu rambut.

   "Eh, Muka Tikus, berani tidak kau?"

   Akhirnya ia berkata kesal melihat bandar itu hanya memandang kepadanya. Ada yang tertawa geli, ada pula yang kuatir mendengar jembel itu berani menyebut muka tikus kepada bandar. Apalagi ketika mereka melihat betapa empat orang tukang pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap tubuhnya, diam-diam mendekati Kwee Seng dan berdiri di belakang Si Jembel ini sambil saling memberi tanda dengan mata, siap untuk menerjang kalau perlu.

   "Apa? Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau bertaruh genap atau ganjil?"

   Si Bandar menyisihkan sebuah dadu yang bermuka enam memasukkannya ke dalam mangkok yang telentang di atas meja. Suasana menjadi tegang, semua orang tidak ada yang mengeluarkan suara, menanti jawaban Kwee Seng sehingga keadaan menjadi sunyi dan sebuah jarum yang jatuh ke lantai agaknya akan terdengar pada saat itu. Kwee Seng masih tersenyum-senyum dan ia mendorong pundi-pundinya kedepan.

   "Seratus dua puluh tail perak kupasangkan untuk angka ganjil!"

   Katanya nyaring. Si Bandar tertawa, hatinya girang bukan main karena tiba-tiba ada makanan begini lunak tersodor di depan mulutnya. Jari-jari tangannya sudah terlatih sempurna sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat mempergunakan dua jari telunjuk dan tengah yang berada di belakang mangkok untuk membalik-balik biji dadu di waktu ia menutup atau membuka mangkok, tanpa seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan ini sudah ia lakukan bertahun-tahun dan tak pernah ada yang tahu.

   

Tangan Geledek Eps 6 Tangan Geledek Eps 30 Tangan Geledek Eps 6

Cari Blog Ini