Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 23


Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



"Ceng Ceng.."

   Suling Emas mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang dideritanya semejak hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan. Ia kembali memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah yang mirip dengan wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin. Ia mengerutkan kening, lalu menggoyang-goyang kepalanya keras-keras sehingga bayangan itu lenyap dari pandang matanya. Suling Emas bangkit berdiri, sikapnva tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jantung di dalam dadanya seakan-akan menjeritkan nama itu berkali-kali,

   "Ceng Ceng.. Ceng Ceng.."

   Jeritan yang membuat ia makin lama makin rindu kepada yang punya nama ini. Makin dipikirkan, makin perih hatinya. Selama hidup di dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu berada di hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang ke dua adalah Suma Ceng. Akan tetapi ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia harap-harapkan perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu bertemu lalu meninggal dunia dan meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap jahat.

   Adapun Suma Ceng, gadis yang dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari pelukannya, kini telah menjadi isteri orang lain"

   Apalagi yang diharapkan di dunia ini? Untuk apalagi ia hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek Bu Kek Siansu, bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi kakek sakti itu bilang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa pun ia takkan mau? Semua renungan ini membuat ia merasa makin rindu kepada Ceng Ceng yang masih hidup. Andaikata ibu kandungnya masih hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng yang sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andaikata ayahnya masih hidup, ia tentu akan mendekati ayahnya yang selama ini ia benci karena berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal, hanya Suma Ceng yang masih hidup.

   "Ceng Ceng.. aku harus menemuimu.. sekali lagi.."

   Tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah kota raja di mana Suma Ceng berada. Ada memang ingatan akan tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja mengesampingkan dulu tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan melaksanakan tugas-tugas itu.

   Merampas kembali tongkat Beng-kauw, mewakili ibu kandungnya ke puncak Thai-san untuk menghadapi tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan orang-orang Khitan dan menyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san. Mengurus perjodohan, apabila mungkin, antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan oleh Bu Kek Siansu, yaitu memupuk perbuatan-perbuatan bermanfaat dan baik bagi orang lain untuk mengangkat kembali nama ibu kandungnya. Dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, sebentar saja tubuh Suling Emas tampak jauh, hanya sebesar titik hitam yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah. Seperti sudah menjadi sifat orang-orang kaya maupun pembesar-pembesar yang berkuasa, tentu saja ada kecualinya yaitu mereka yang tidak mabuk akan harta dan kedudukan, mereka adalah orang-orang malas yang enggan bekerja berat namun ingin mendapatkan hasil yang sebanyak mungkin.

   Mereka bangun siang, tidur malam-malam karena tiada hentinya mengejar kesenangan, malas dan ingin menang sendiri, ingin berkuasa saja dan enggan dikalahkan. Karena inilah agaknya, bangunan di sekitar istana yang dihuni oleh kaisar, para pangeran dan pembesar istana, amat sunyi di waktu pagi, dan baru nampak ramai dan hidup kalau matahari sudah naik tinggi. Kalau orang boleh melongok ke dalam kamar-kamar para manusia yang kebetulan dinasibkan menjadi pembesar dan penguasa itu, akan tampaklah orang-orang ini masih tidur mendengkur, bertilam kasur empuk bersutera kembang, berselimut tebal dan lunak. Para pelayan tidak ada yang berani mengeluarkan suara keras, berjalan pun berjingkat agar tidak menimbuikan gaduh.

   Namun pada pagi hari itu, seperti biasa pula, dalam sebuah taman bunga yang indah di belakang dan samping kiri sebuah bangunan mungil, termasuk sebuah di antara gedung-gedung dalam lingkungan istana, terdengarlah suara suling. Suling ini bunyinya cukup nyaring, akan tetapi pendek-pendek dan tidak dapat dibilang merdu, bahkan ada tanda-tanda bahwa yang meniupnya adalah seorang anak-anak. Lagunya adalah lagu kanak-kanak yang sederhana.

   "Liong-ji, suka sekalikah kau meniup suling?"

   Terdengar suara halus seorang wanita. Suara suling berhenti.

   Kiranya di dalam taman bunga yang indah itu, pagi-pagi sekali sewaktu penghuni gedung-gedung yang lain masih mendengkur, terdapat seorang wanita muda yang menilik pakaian dan gerak-geriknya pasti adalah seorang nyonya bangsawan. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh tujuh tahun, wajahnya cantik sekali dan wajahnya itu membayangkan kehalusan budi dan keagungan. Ia memondong seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih satu tahun. Seorang anak laki-laki lain berusia empat tahun berlari-lari ke sana ke mari sambil tertawa-tawa, seakan-akan ia hendak mengejar burung-burung kecil yang beterbangan sambil berkicau gembira di pagi hari itu. Anak yang menyuling adalah seorang anak laki-laki pula, usianya sembilan sepuluh tahun. Anak ini duduk di atas sebuah bangku dan asyik memegang sebatang suling bambu yang tadi ditiupnya. Mendengar pertanyaan wanita tadi, ia berhenti meniup dan menjawab.

   "Aku suka sekali, Ibu."

   Sejenak wajah cantik itu termenung, kemudian memaksa keluar sebuah senyum sambil berkata,

   "Aku akan suruh mencarikan seorang guru suling untuk mengajarmu, Liong-ji. Maukah kau belajar meniup suling?"

   Anak itu mengangguk-angguk gembira, lalu meniup lagi sejadi-jadinya. Ibunya memandang dengan penuh perhatian, jantungnya serasa tertikam yang membuatnya terharu, komat-kamit mengeluarkan kalimat yang hanya ia dengar sendiri.

   ".. serupa benar.."

   Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya lagi sambil tersenyum-senyum geli melihat puteranya yang ke dua berusaha mengejar burung-burung di udara dan membuat gerakan menangkap.

   "Sun-ji, hati-hati jangan lari-lari, nanti jatuh"

   "Bu, aku ingin bisa terbang seperti burung"

   Anak ke dua itu berseru gembira dengan suara pelo dan lucu, kemudian membuat gerakan dengan kedua lengannya, digerakkan seperti sepasang sayap burung, mulutnya menirukan bunyi burung bercuat-cuit.

   Si ibu gembira melihat anak-anaknya sehat-sehat, lalu diciumnya muka puteranya yang ke tiga, yang tertawa-tawa gembira. Pagi yang gembira, sehat dan menyegarkan jiwa raga, akan tetapi yang juga membangkitkan kenang-kenangan lama. Hal ini dapat dilihat dari wajah cantik ibu muda ini, sebentar ia bergembira terpengaruh oleh tiga orang anaknya, sebentar lagi ia termenung seperti ingat akan sesuatu yang membangkitkan kenang-kenangan yang berkesan. Anak yang dipanggil Liong itu sudah bersuling lagi, dengan amat tekun dan sungguh-sungguh ia meniup dan berganti-ganti menutupi lubang-lubang suling dengan jari-jari tangannya yang kecil.

   ".. Ceng Ceng.."

   Suara ini tertahan dan tersendat, seakan-akan sukar keluar dari mulut yang punya suara.

   Wanita itu tersentak kaget dan serentak bangkit berdiri dari bangkunya, sambil memondong anaknya yang paling kecil. Suara itu. Seketika wajahnya berubah pucat. Hanya ada satu orang saja di dunia ini yang memanggil namanya dengan suara seperti itu. Kedua kakinya menggigil dan ia tidak mau menggerakkan tubuh, tidak mau memutar tubuh menengok ke belakang ke arah suara, karena ia khawatir kalau-kalau suara tadi hanya suara dari kenangannya sehingga kalau ia menengok dan tidak melihat sesuatu, ia akan kecewa. Ia meramkan mata, diam-diam ingin menikmati kenangan lama yang sedemikian mendalam dan menggores kalbunya sehingga di pagi hari yang indah ini ia sampai-sampai mendengar suara orang yang menjadi sebab lamunannya.

   "Ceng Ceng.."

   Wanita itu mengeluarkan seruan tertahan, setengah isak. Kemudian dengan tiba-tiba dan cepat sekali, seakan-akan takut kalau orang yang bersuara itu sudah pergi lagi, ia memutar tubuh memandang.

   "Bu Song koko, Kau.. kaukah ini..? Kau di sini..?"

   Ia melangkah maju dua tindak, kemudian pandang matanya yang tadi melekat pada wajah laki-laki itu kini menurun, berhenti pada dada di mana terdapat gambar sebatang suling dari benang emas.

   "Koko.. kau.. kau Suling Emas..?"

   Dua pasang mata bertemu pandang, dua sinar mata saling belit, saling dekap, saling cumbu dan saling menampakkan rasa rindu berahi yang ditahan-tahan selama sepuluh tahun. Wanita itu memandang dengan mulut agak terbuka, terengah-engah dan dari sepasang matanya yang bening itu bertitik butiran-butiran air mata seperti mutiara. Keduanya mempunyai hasrat yang sama, ingin lari maju dan saling rangkul, namun keduanya menahan gelora hati ini sekuat tenaga. Akhirnya, melihat butiran-butiran air mata itu, laki-laki yang bukan lain adalah Suling Emas ini, secepat kilat membalikkan tubuhnya, wajahnya pucat sekali dan ia berdongak ke atas, meramkan kedua matanya, bibirnya agak menyeringai tanda betapa perihnya hati, seperti ditusuk-tusuk pedang rasanya.

   Kemudian ia membuka pelupuk mata, mengejap-ngejapkannya untuk menahan agar jangan sampai kedua matanya yang terasa panas dan gemetar itu menitikkan air mata. Kebetulan sekali ketika ia
(Lanjut ke Jilid 22)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22
membalikkan tubuh, ia melihat bocah yang memegang suling kini sudah berdiri di dekatnya. Melihat anak ini, Suling Emas menggerakkan tangan kiri dan mengelus-elus kepala yang gundul itu. Bocah ini dapat ia pergunakan untuk landasan kuat bagi perasaannya, untuk menolak gelora cinta dan keharuan yang seakan-akan hendak menjebol bendungan hatinya.

   "Kau.. kau pandai bersuling, Nak?"

   Tanyanya, suara serak, tanda bahwa hatinya penuh gelora dan haru, dan bahwa hampir saja pendekar sakti ini tadi terisak menangis. Bocah itu tertawa dan mengangguk.

   "Cobalah kau menyuling untukku. Kau mau diajar meniup suling?"

   "Mau.., Mau saja.. Ibu tadi bilang hendak memanggil guru suling. Apakah kau ini gurunya, Paman?"

   Suling Emas tersenyum dan mengangguk. Anak itu lalu meniup lagi sulingnya. Suling Emas mendengar isak tertahan di belakangnya, lalu disusul suara yang pilu dan gemetar, penuh perasaan.

   "Kau.. kau datang.. apakah kehendakmu, Koko..?"

   Suling Emas menarik napas panjang, masih membelakangi wanita itu dan tangan kirinya masih meraba-raba kepala bocah yang menyuling.

   "Tadinya aku sudah bersumpah pada diri sendiri takkan mengganggumu, Ceng Ceng, takkan menemuimu selama hidupku agar lukaku tidak semakin parah.."

   Ia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya yang tertelan oleh isak.

   "Song-koko, aku pun sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu lagi denganmu. Sama sekali aku tidak menyangka bahwa Suling Emas pendekar sakti yang selama ini disohorkan setiap orang itu kaulah orangnya, Ahhh.. siapa kira.."

   Dalam kalimat terakhir ini terdengar keluhan dari hati yang merasa amat menyesal. Suling Emas memutar tubuhnya. Kembali mereka berpandangan, akan tetapi kali ini mereka sudah kuat menahan. Untuk sejenak keduanya memandang penuh selidik, untuk mengetahui keadaan masing-masing, memandang sinar mata, memandang keadaan tubuh, kurus gemuknya, dan keduanya makin menduga-duga. Beruntunglah ia tanpa aku? Demikian agaknya pertanyaan yang terkandung di hati masing-masing.

   "Song-koko, aku mendengar bahwa Suling Emas belum berumah tangga.. apakah.. betulkah ini? Apakah kau belum juga menikah? Song-koko.. mengapa begitu? Apakah kau belum juga dapat melupakan aku..?"

   "Melupakan engkau? Ah.. Ceng Ceng, aku melupakan engkau? Bagaimana mungkin itu. Sudah kucoba-coba, sudah kupaksa-paksa hati ini, namun buktinya sekarang aku berada di sini"

   Agak keras dan kasar kata-kata ini dan sepasang mata pendekar itu memandang tajam, bagaikan menusuk-nusuk, membuat nyonya muda itu tertunduk.

   "Dunia serasa makin sempit bagiku, Ceng Ceng. Tadinya masih ada harapanku sembuh oleh ibuku, akan tetapi ibu meninggal. Aku meraba-raba bagaikan orang buta dalam gelap, tak tahu harus ke mana.. betapa aku tak dapat melupakan engkau, Ceng Ceng..., Karena itulah aku datang.. untuk melihat wajahmu lagi, aku.. tak tahan aku akan rindu.."

   "Song-koko.."

   Wanita itu yang bernama Suma Ceng dan kini adalah nyonya seorang pangeran, yaitu Pangeran Kiang, menjerit kecil.

   "Jangan begitu, Koko.. aku.. aku sudah menjadi ibu dari tiga orang anak. Kau lihat mereka ini.."

   Suma Ceng cepat-cepat mempergunakan anak-anaknya untuk perisai diri atau lebih tepat untuk pengendalian hatinya sendiri yang seakan-akan terbetot dan hendak dihanyutkan oleh bekas kekasihnya. Ia maklum kalau tidak cepat-cepat ia berpegang kepada tiga orang puteranya, bisa-bisa ia terbawa hanyut, karena sesungguhnya, sampai mati sekalipun ia takkan mungkin dapat melupakan Bu Song. Suling Emas menarik napas panjang, menekan gelora hatinya, kemudian ia menjadi sadar kembali ketika anak yang menlup suling itu tiba-tiba menarik tangannya dan bertanya,

   "Paman Guru, bagaimana dengan kepandaianku meniup suling?"

   Suara yang lantang dari bocah ini menariknya turun dari sorga lamunan, dan membuatnya kaget karena hampir saja tadi ia melakukan sesuatu yang tidak patut. Melihat wajah Suma Ceng kembali, berhadapan muka dengan wanita ini, benar-benar bisa membuatnya lupa akan segala.

   "Kau sudah pandai, tapi harus belajar lagu-lagu yang indah"

   Katanya sambil meraba kepala anak itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan jari-jari tangan kirinya tetap meraba-raba kepala yang gundul itu. Aneh "Ajaib"

   Kepala anak ini sama benar dengan kepalanya. Tak salah lagi, Jarang di dunia ini ada kepala seperti ini, kepala yang dahulu membuat mendiang gurunya, Kim-mo Taisu, tidak ragu-ragu menolongnya dan mengambilnya sebagai murid. Inilah "kepala pendekar"

   Seperti yang dulu disebut-sebut Kim-mo Taisu. Bagaimana potongan dan bentuk kepala anak ini bisa sama dengan kepalanya?

   "Ceng Ceng.."

   Suaranya gemetar ketika ia menoleh dan memandang wajah ayu itu. Suma Ceng tidak menjawab, hanya menjawab dengan pandang mata penuh pertanyaan.

   "Anak ini.. dia putera sulungmu?"

   Suma Ceng mengangguk dan gerakan ini membuat dua titik air mata yang tadi bergantung pada bulu matanya runtuh ke bawah, menimpa pipinya.

   "Dia.. dia ini.."

   Tiba-tiba Suling Emas berjongkok di depan anak itu, menatap wajah anak itu penuh perhatian, meraba kepala, meraba alis mata anak itu yang hitam tebal, seperti alis matanya. Hidung dan mata anak itu seperti hidung dan mata Suma Ceng, akan tetapi mulut itu, alis itu, kepala itu. Serentak ia bangkit berdiri lagi, malah kini melangkah maju sehingga ia hanya berdiri dalam jarak tiga langkah dari Suma Ceng.

   "Dia.. dia itu..?"

   Suaranya serak dan lirih.

   "dia itu..?"

   Tak kuasa ia melanjutkan kata-katanya, tercekik di lehernya.

   Kini Suma Ceng menangis. Air matanya bercucuran dan ia mengangguk-angguk. Melihat ibunya menangis, anak kecil yang dipondongnya juga ikut menangis. Cepat-cepat hal ini menahan air mata Suma Ceng dan ia mendekap anaknya, mengusapkan mukanya yang basah air mata pada pipi dan baju anak itu. Anaknya terdiam dan agaknya gangguan ini malah meredakan gelora hatinya.

   "Betul, Song-koko, dia.. dia anak kita.."

   "Ya Tuhan.., Dan kau.. kau diam saja..?"

   "Aku tidak tahu akan hal itu sebelum aku menikah dengan suamiku. Andaikata aku tahu sekalipun, apa yang dapat kulakukan, Song-koko? Kau sendiri pun tak berdaya apa-apa."

   "Andaikata kau dulu selihai sekarang.. ah, untuk apa kita melamunkan yang bukan-bukan? Andaikata aku tahu bahwa bahwa pertemuan di malam terakhir itu.. ah, andaikata aku tahu kau meninggalkan anak ini padaku, apakah yang akan dapat kulakukan? Menolak kehendak ayah dan kakak tak mungkin, paling-paling aku hanya dapat membunuh diri.."

   "Ceng Ceng, kau maafkan aku. Memang kau tak bersalah. Akan tetapi.. ah, anak ini dia anakku. Dia harus ikut denganku"

   "Tidak Song-koko. Apakah kau ingin menyiksa anak itu dan menyiksa diriku pula? Kurang hebatkah penderitaan batinku selama ini? Song-koko, demi kebaikan kita berdua, lebih baik kalau kau melupakan aku. Anggap saja kekasihmu Ceng Ceng ini sudah mati, dan kau.. kau kawinlah dengan gadis lain, berbahagialah, aku memuji siang malam, Koko.."

   "Ceng Ceng.. Ceng Ceng.., kau tetap berbudi, kau tetap jelita, kau tetap pujaan hatiku.."

   Hampir tak kuat Suling Emas, ingin ia memeluk wanita itu, ingin memondongnya, ingin menghiburnya. Namun pandang mata wanita itu kini tidaklah seperti dahulu. Memang, ada perubahan pada diri Ceng Cengnya, kekasihnya.

   "Heee, siapakah di situ?"

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki yang berpakaian indah berlari-lari mendatangi dengan pedang terhunus di tangan. Ia ini bukan lain adalah Pangeran Kiang"

   Ketika ia melihat Suling Emas, wajahnya berubah, pandang matanya dingin dan sikapnya mengancam ketika ia menghampiri Suma Ceng.

   "Hemmm.. jadi tidak salah omongan Kakak Suma Boan. Ternyata isteriku yang setia ini diam-diam bermain gila dengan laki-laki bekas kekasihnya dahulu. Perempuan tak tahu malu. Sudah punya tiga orang anak masih hendak main gila, berjina dengan laki-laki lain? Keparat"

   "Ooohhh.. tidak.., tidak"

   Suma Ceng menjerit tertahan. Tuduhan ini benar-benar merupakan ujung pedang yang menusuk ulu hatinya.

   "Aku dan dia.. kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar kesopanan, jangan kau menuduh yang bukan-bukan"

   "Bagus, ya? Kau masih hendak membelanya? Perempuan hina.. kupukul mukamu yang tak tahu malu.."

   Pangeran itu melangkah lebar menghampiri Suma Ceng dan tangan kirinya melayang, menampar ke arah pipi. Isterinya hanya tunduk dan menangis tersedu-sedu, tidak mempedulikan datangnya tangan yang menampar. Akan tetapi tangan yang menampar itu terhenti di tengah jalan. Pangeran itu berseru kaget dan heran, juga penasaran. Ketika ia menggerakkan tangannya ke belakang, tidak apa-apa, akan tetapi begitu ia menampar ke depan, tangan itu tiba-tiba berhenti seakan-akan tertahan oleh dinding yang tidak tampak.

   "Keparat, hayo mengaku bahwa kau telah berjina dengan.. dengan bangsat ini"

   Ia berteriak memaki untuk mengatasi kemarahan dan rasa penasarannya.

   "Sesungguhnya, kami tidak berbuat apa-apa.. suamiku dengarlah.. memang betul dia dahulu adalah seorang kenalanku, sebelum aku kawin denganmu, tapi.. tapi.. semenjak itu.. baru ini kami saling bertemu, dan kami tidak berbuat apa-apa yang melanggar susila. Percayalah.."

   "Perempuan rendah, Siapa tidak tahu bahwa dahulu kau berjina dengan kekasihmu? Aku masih berlaku murah dan sabar, akan tetapi siapa kira, sekarang kau mengadakan pertemuan gelap. Terkutuk.."

   Kali ini si pangeran menggerakkan pedangnya menyerang isterinya sendiri. Dua orang anak kecil, yang satu dipondong Suma Ceng, yang seorang memegangi gaunnya dari belakang, menjerit-jerit ketakutan menyaksikan adegan yang tidak mereka mengerti, akan tetapi yang mendatangkan rasa takut pada mereka itu. Hanya anak yang sulung tidak menangis, memandang dengan mata terbelalak sambil memegangi sulingnya. Adegan ini berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi tentu saja ia pun tidak mengerti apa artinya semua ini.

   Biarpun pedang itu mengancam nyawanya, Suma Ceng tidak bergerak, siap menerima tusukan pedang. Baginya, hidup ini penuh penderitaan batin, dan ia memaafkan kemarahan suaminya yang pada hakekatnya tidaklah menuduh yang bukan-bukan. Memang ia merasa berdosa terhadap suaminya yang sebetulnya amat mencintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mengelak bahkan melawan, karena adik dari Suma Boan ini pun memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan namun jauh lebih tinggi daripada kepandaian suaminya.

   Akan tetapi, seperti juga tadi, pedangnya yang meluncur ke depan itu tiba-tiba terhenti di tengah jalan, malah mendadak ia merasa tangan kanannya seperti lumpuh dan pedangnya itu tak dapat ditahannya lagi runtuh terlepas dari tangannya, menimbulkan suara berkerontangan. Cepat sang pangeran ini membalikkan tubuh memandang. Tak salah dugaannya. Kiranya laki-laki berpakaian serba hitam yang pernah ia dengar namanya sebagai Suling Emas, pendekar yang menggemparkan itu, berdiri tegak dan menggerak-gerakkan tangannya mengirim pukulan atau dorongan jarak jauh yang tadi menahan pukulan-pukulannya dan tusukan pedangnya.

   "Manusia berhati binatang"

   Pangeran Kiang melompat maju menghadapi Suling Emas.

   "Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak takut. Orang lain boleh menyebutmu pendekar, akan tetapi bagiku kau hanyalah seorang laki-laki buaya yang menganggu isteri orang. Kau seorang laki-laki rendah berjina dengan perempuan ini yang juga hanya seorang isteri berwatak pelacur.."

   "Plakkk"

   Pangeran itu terguling dan bibirnya pecah-pecah berdarah oleh tamparan tangan Suling Emas yang menjadi marah sekali. Muka pendekar ini menjadi agak pucat, matanya memancarkan cahaya berkilat.

   "Mulutmu busuk, Kau boleh memaki aku, akan tetapi kau terlalu menghina Ceng Ceng. Biarpun dia sudah menjadi isterimu, namun ia tetap seorang wanita yang agung, yang bersih, yang suci."

   "Dia perempuan jalang, pelacur tak tahu malu.."

   Pangeran itu dalam marahnya melompat bangun dan memaki lagi.

   "Bukkk"

   Sebuah dorongan membuat ia terjengkang ke belakang, berdebuk keras dan sambil meringis kesakitan pangeran ini merangkak bangun lagi.

   "Huh, pendekar macam apa ini? Menjinah isteri orang, menggunakan kepandaian untuk menghina orang dan merampas isterinya. Cih, yang begini mengaku pendekar? Kau boleh bunuh aku, akan tetapi namamu akan membusuk sampai akhir jaman"

   Mari kita mengadu nyawa.."

   "Jangan.., Suamiku, jangan.. kau takkan menang"

   Bu Song, kau pergilah.."

   Akan tetapi Suling Emas tidak mau pergi, ia maklum bahwa kalau ia pergi begitu saja, tentu Suma Ceng akan celaka, disiksa mungkin dibunuh suaminya.

   "Pangeran yang tolol, dengarlah. Aku sama sekali tidak melakukan perbuatan yang bukan-bukan dengan isterimu. Dia terlampau suci untuk mengkhianatimu. Memang dulu aku mencintainya, akan tetapi dia sudah menjadi isterimu sekarang, jangan kau memfitnah yang bukan-bukan."

   "Siapa bilang fitnah? Kau datang menjumpainya, sikap kalian.. dan perempuan hina ini membelamu.. hemmm, siapa tidak tahu bahwa kalian masih saling mencinta? Keparat, terkutuk, benar-benar menghina sekali. Hayo kau bunuh aku lebih dulu, baru kau bisa merampas isteriku, keparat"

   Dengan kemarahan meluap karena rasa cemburu, pangeran itu menubruk maju dan memukul. Pukulannya tepat mengenai dada Suling Emas, akan tetapi bukan yang dipukul yang roboh, melainkan pangeran itu sendiri yang terpelanting dan lengan kanannya yang memukul patah tulangnya.

   "Kau ingin mati? Apa sukarnya membunuhmu? Hemmm, Ceng Ceng, kalau manusia ini begini menghina kita, mengapa kau lebih senang tinggal menjadi isterinya? Biarpun kau sudah menjadi ibu dari tiga orang anak. Hemmm.. aku masih sanggup melindungimu selamanya dan membunuh tikus busuk bermulut kotor ini"

   Pada saat itu, Pangeran Kiang sudah berdiri lagi dan menyerang dengan tangan kiri. Biarpun rasa nyeri hampir membuat ia pingsan, namun panasnya hati membuat ia sanggup menahan dan terus menerjang lagi. Kaki Suling Emas bergerak dan sebuah tendangan membuat pangeran itu terlempar sampai empat meter jauhnya. Namun kembali ia merangkak bangun untuk menjadi roboh kembali di lain detik oleh tamparan tangan Suling Emas yang kelihatannya sudah marah sekali.

   "Kau ingin mampus, ya? Nih, terima. Dan ini, Kalau kau tak mau berlutut minta ampun kepada isterimu, mencabut semua kata-katamu yang kotor, demi Tuhan, kubunuh benar-benar engkau"

   Suling Emas menghajar terus sampai pangeran itu babak-belur, mukanya berdarah dan bengkak-bengkak.

   "Tahan. kau berani memukuli suamiku seperti ini? Laki-laki kejam. Kau boleh bunuh dia melalui mayatku"

   Tiba-tiba Suma Ceng yang sudah menurunkan anaknya dari pondongan dan telah memungut pedang suaminya, menerjang maju bagaikan seekor harimau betina. Pedangnya menusuk ke arah dada Suling Emas.

   "Ceng Ceng.."

   Suling Emas terbelalak heran dan kaget.

   "Ceppp"

   Ujung pedang itu menusuk dadanya. Untung ia dapat mengatasi heran dan kagetnya lalu cepat mengerahkan tenaga sehingga pedang yang sudah menancap itu tidak maju terus, menancap dan meleset ke atas sehingga pedang itu menancap dan menembus daging dan kulit dada dan pundak, akan tetapi tidak memasuki rongga dada. Karena pengerahan sin-kang dari Suling Emas hebat dan kuat sekali, Suma Ceng merasakan telapak tangannya panas dan lumpuh sehingga pedang itu dilepasnya dan masih menancap pada dada Suling Emas.

   
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Berani kau hendak membunuh suamiku? Ahhh.. dia suamiku, ayah anak-anakku, aku akan membelanya dengan nyawa"

   Suma Ceng berseru lagi dan kembali menerjang dengan pukulan-pukulan dahsyat.

   "Ceng Ceng.., aahhhhh.."

   Dengan jantung serasa ditarik-tarik Suling Emas berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Suma Ceng menubruk suaminya, merangkul dan menangis. Pangeran Kiang yang mukanya bengkak-bengkak itu tersenyum.

   "Isteriku.. akhirnya aku mendapat bukti nyata, kau memang mencinta aku seorang. Ha-ha-ha, tidak sia-sia pengorbananku, tidak sia-sia pembelaanku.., kau isteriku yang setia.. maafkan semua tuduhanku tadi."

   "Diamlah.. diamlah.. kau terluka. Tentu saja aku isterimu dan setia kepadamu.."

   Suma Ceng mengusap air matanya dan mengerling ke arah perginya Suling Emas, hatinya mengeluh penuh rasa nelangsa. Memang sebaiknya begini, pikirnya. Hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengusir Suling Emas, untuk mencegah suaminya cemburu dan mungkin sekali untuk mengobati hati kekasihnya yang terluka. Kalau melihat dia bersedia bersetia dan mencinta suaminya, mungkin Suling Emas akan lebih mudah untuk melupakannya. Dengan muka pucat ia lalu membantu suaminya meninggalkan taman, sedangkan anak-anaknya segera dipondong oleh pelayan-pelayan yang datang dengan muka ketakutan.

   Adapun Suling Emas melarikan diri dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga tubuhnya tak tampak, hanya bayangannya saja berkelebatan dan dalam waktu sebentar saja ia sudah keluar dari kota raja, terus ia berlari seperti orang gila, masuk keluar hutan. Menjelang tengah hari, setelah berlari-larian berjam-jam lamanya, akhirnya ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar dalam sebuah hutan. Ia jatuh tertelungkup di atas rumput, tak bergerak, kedua tangannya menutupi mukanya. Hanya terdengar ia mengeluh dan mengerang perlahan seperti orang menderita nyeri yang amat sangat. Darah masih membasahi bajunya, darah yang keluar dari luka di dada dan pundaknya. Pedang yang tadi menancap kini tidak tampak lagi. Luka-luka inikah yang membuat dia mengerang? Tak mungkin.

   Luka itu hanyalah luka daging dan kulit belaka, dan bagi seorang pendekar sakti seperti Suling Emas, luka macam itu tidaklah ada artinya. Namun luka yang berada di dalam rongga dadanya, luka pada hatinya itulah yang amat sakit rasanya. Jantungnya serasa perih seperti disayat-sayat. Ceng Ceng tidak cinta lagi padanya. Ceng Ceng mencinta suaminya, dan bahkan membenci dia yang dibuktikan dengan tusukan pedang tadi. Suling Emas mengeluh dan ketika ia bergerak dan bangun duduk di atas tanah berumput, wajahnya nampak pucat bukan main. Warna bulat kuning pada bajunya yang hitam, yaitu bagian dada, telah menjadi merah karena darahnya. Paduan warna hitam baju dan merah darah itu membuat mukanya kelihatan lebih pucat lagi. Agaknya peristiwa yang hanya beberapa jam lamanya itu membuat kerut-merut di antara kedua matanya makin mendalam, dan membuat sinar sepasang matanya menjadi redup sayu.

   Tanpa disadarinya, tangannya meraih ke pinggang dan di lain saat ia telah meniup sulingnya. Suara yang keluar dari sulingnya melengking tinggi, mengalun panjang dan menyuarakan lagu sedih yang penuh kepiluan hati. Bagi orang yang mendengar suara suling ini, tentu akan menyatakan bahwa suara itu memilukan dan menyedihkan. Namun sesungguhnya Suling Emas telah mempergunakan ilmunya Kim-kong Sin-im yang belum lama ini ia latih bersama Bu Kek Siansu. Dengan ilmu ini, perlahan-lahan kesedihannya lenyap dan setelah suara suling berhenti, wajahnya tidak sepucat tadi. Namun ia masih duduk melamun dan sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk mengolah semua peristiwa yang menimpa dirinya, seperti biasa ia hendak memetik buah bermanfaat, menarik pelajaran dari setiap pengalaman hidupnya. Kini pikirannya dapat bekerja baik, tidak lagi diselimuti perasaan hati yang pilu dan sayu.

   Suma Ceng telah mencinta suaminya dan membencinya. Hal ini sama artinya dengan kematian kekasihnya itu. Bukan orangnya yang mati, melainkan cinta kasih terhadap dirinya. Tidak ada lagi manusia yang boleh diharapkan di dunia ini. Ibu kandungnya telah meninggal, juga Ceng Ceng telah mati. Mengapa ia harus merasa berduka? Mengapa hatinya begini sakit? Mengapa ia membenci Pangeran Kiang? Suling Emas mengumpulkan ingatannya dan terngiang kembali di telinganya segala petuah, pelajaran dan nasihat yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, Kimmo Taisu, dan si kakek sakti Bu Kek Siansu. Suling Emas termenung. Dia manusia biasa. Tentu saja cintanya termasuk golongan kedua itulah. Ia mencinta Ceng Ceng karena wanita itu jelita, karena halusan budinya, karena keramahannya, karena kecocokan hatinya dan karena.. agaknya lebih daripada itu karena dahulu membalas cintanya.

   Sekarang wanita itu sudah menjadi isteri orang lain, sudah mengalihkan cinta kasihnya kepada suaminya itu, mengapa ia harus bersikeras melanjutkan cinta kasihnya? Bukankah itu akan sia-sia belaka? Menyiksa diri sendiri dan menyiksa Ceng Ceng, merusak pula hati Pangeran Kiang? Ia harus melupakan Ceng Ceng. Tapi anak laki-laki itu, putera sulung Suma Ceng adalah anaknya. Kembali Suling Emas merenung, gelisah dan bingung. Tentu saja mudah baginya, menggunakan kepandaiannya, untuk merampas bocah itu. Akan tetapi apa artinya? Apa gunanya? Bocah itu belum tentu berbahagia bersamanya dan Ceng Ceng tentu akan hancur hatinya. Pangeran Kiang yang agaknya tidak menduga akan hal itu tentu akan sakit hati kepadanya. Ah, akibatnya hanya merugikan semua pihak.

   "Aku harus melupakan dia, Harus"

   Mengapa aku begini lemah? Heeee, Bu Song, apakah kau bukan laki-laki?"

   Tiba-tiba Suling Emas melompat bangun, tertawa bergelak. Suara ketawa ini bergema di dalam hutan, mengagetkan burung-burung. Kemudian pendekar ini mainkan sulingnya sedemikian cepatnya sehingga terdengar angin menderu-deru dan yang tampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang kadang-kadang mengeluarkan kilatan cahaya kuning emas. Ketika beberapa menit kemudian pendekar ini berkelebat pergi dari situ, keadaan sunyi di situ, yang tampak hanyalah rumput yang kini penuh dengan daun-daun pohon yang telah menjadi gundul, rontok semua daunnya karena sambaran hawa pukulan yang berkelebatan dari suling emas tadi.

   Bu Sin dan adiknya, Sian Eng, tak dapat berkutik di atas tanah lembab dalam ruangan bawah tanah. Mereka tiada hentinya berusaha untuk membebaskan diri dari pada totokan, namun totokan, Hek-giam-lo ternyata dari aliran lain dan amat luar biasa sehingga biarpun Bu Sin sudah mengerahkan tenaga saktinya, tetap saja ia tidak mampu membebaskan diri. Apalagi Sian Eng yang tingkat tenaganya jauh lebih lemah. Setelah berusaha dengan sia-sia selama beberapa jam, akhirnya mereka menerima nasib. Satu-satunya harapan mereka adalah kakak mereka, Bu Song atau Suling Emas. Hanya Suling Emas yang akan dapat menolong mereka.

   Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar ruangan dalam tanah itu, disusul suara langkah orang berlari-lari. Langkah ini sebetulnya ringan sekali dan andaikata Bu Sin dan Sian Eng tidak sedang rebah miring dengan telinga menempel pada tanah, kiranya jejak kaki ini takkan terdengar mereka. Sian Eng menjadi girang sekali dan hampir saja ia berteriak memanggil nama kakaknya, karena siapa lagi orang yang memasuki tempat ini selain Suling Emas yang hendak menolong mereka? Akan tetapi segera ditahan niatnya berteriak memanggil demi dilihatnya wajah Bu Sin yang kelihatan kaget dan gelisah. Apalagi pada saat itu terdengar suara yang parau menyakitkan telinga.

   "Sin-ni, tak boleh kau mendahului aku, ho-ho-hah"

   "Kai-ong gembel menjemukan"

   Balas suara seorang wanita yang nyaring.

   Bu Sin dan Sian Eng tentu saja menjadi amat kaget karena mengenal suara ini. Suara It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni. Dua orang iblis yang sama jahatnya atau mungkin lebih mengerikan daripada Hek-giam-lo sendiri. Gema suara mereka belum lenyap, akan tetapi bayangan hitam yang bertubuh ramping telah berkelebat ke dalam ruangan itu, dikejar oleh bayangan kakek bertongkat yang agak bongkok. Dalam sekejap mata dua bayangan ini lenyap sudah memasuki terowongan, agaknya mereka itu sedang berlomba mencari sesuatu. Selenyapnya dua bayangan orang sakti itu, berkelebat bayangan ke tiga dan ternyata orang ini adalah Suma Boan. Sejenak pemuda bangsawan ini mencari-cari dengan pandang matanya, ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng rebah di bawah, ia terkejut sekali.

   "Dinda Sian Eng.. kau di sini..? Ah, kau tertotok. Jangan khawatir, aku akan menolongmu.."

   Cepat pemuda itu meraih tubuh Sian Eng dan dipondongnya. Biarpun kaki tangannya lumpuh, namun Sian Eng masih dapat bicara. Suaranya lemah berbisik,

   "..harap kau.. tolong pula Sin-ko keluar dari sini.."

   "Ah, tak mungkin aku menolong dua orang sekaligus, Moi-moi. Terowongan terlalu sempit dan.. dan di sini berbahaya sekali. Kalau tidak bersama Suhu, aku sendiri tidak berani. Mari kita cepat keluar, biar nanti kakakmu ditolong Suhu."

   Setelah berkata demikian, Suma Boan yang memondong tubuh Sian Eng itu berlari keluar dari tempat itu dengan gerak kaki cepat. Ia memang merasa ngeri karena tahu bahwa tempat ini adalah tempat rahasia persembunyian Hek-giam-lo, apalagi tadi gurunya mengejar Siang-mou Sin-ni dan dengan adanya wanita iblis itu di sini, maka tempat ini menjadi lebih berbahaya lagi.

   Hati Bu Sin tidak enak sekali melihat adiknya dipondong Suma Boan. Ia tidak suka dan tidak percaya kepada putera pangeran itu. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan? Kaki tangannya masih dalem keadaan lumpuh tertotok, dan ia tidak dapat mencegah perbuatan Suma Boan itu, karena betapapun juga, pemuda putera pangeran itu bermaksud menolong Sian Eng. Keadaan Sian Eng dan dia berdua memang berbahaya sekali, nyawa mereka terancam bahaya. Setidaknya Suma Boan membebaskan Sian Eng daripada ancaman iblis-iblis jahat yang memasuki terowongan tadi.

   Dan.. dan agaknya di antara adiknya dan putera pangeran itu terdapat hubungan cinta kasih, sungguhpun ia tidak suka mempunyai seorang adik ipar macam Suma Boan, namun jelas bahwa pemuda itu takkan mengganggu Sian Eng kalau memang mencintanya. Dan jauh lebih baik seorang di antara mereka tertolong daripada keduanya harus mati konyol di tempat mengerikan ini. Mendadak terdengar angin bertiup dan dua, sosok bayangan sudah berkelebat memasuki ruangan itu lagi. Kini dua bayangan itu sudah berdiri berhadapan, dan memang mereka adalah Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong, keduanya saling pandang dengan mata penuh kemarahan.

   "Kai-ong gembel busuk, kau menggangguku saja"

   "Heh-heh, siapa yang mengganggu? Kita bersama mempunyai tujuan sama, mencari barang pusaka Hek-giam-lo, akan tetapi ternyata kita tak berhasil. Tidak ada apa-apa di sini kecuali bocah menjemukan ini"

   "It-gan Kai-ong, kau benar-benar menjengkelkan. Kalau tidak ada kau yang mengganggu, barangkali aku akan berhasil. Kau benar-benar sialan"

   Sambil berkata demikian, Siang-mou Sin-ni menerjang maju dengan kaki tangan dan rambutnya, menyerang dengan hebat. Namun It-gan Kai-ong menggerakkan tongkatnya. Segera mereka bertanding di ruangan itu dengan hebat, ditonton oleh Bu Sin yang masih rebah di atas tanah lembab.

   "Tua bangka bosah hidup, lihat ini"

   "Aiiihhhhh.. hebat. Inikah hasilmu dari Bu Kek Siansu?"

   Teriak It-gan Kai-ong karena ia memang terdesak hebat ketika Siang-mou Sin-ni mainkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari Bu Kek Siansu.

   Hebat sekali senjata istimewa berupa khim ini. Ketika ia menggerakkannya, terdengar suara mengaung dan sejenak It-gan Kai-ong terhuyung ke belakang karena suara yang keluar dari khim itu mengacaukan pemusatan tenaganya. Hampir saja ia kena disabet sambaran rambut lawannya yang menotok tujuh tempat jalan darah yang dapat membawa maut. Siang-mou Sin-ni tertawa-tawa nyaring ketika melihat hasil terjangan senjatanya ini, dan ia melompat maju mendesak lebih hebat. Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkat It-gan Kai-ong berubah, kini tongkat itu membentuk lingkaran-lingkaran aneh yang mengeluarkan bunyi pula, bunyi menggereng seperti auman singa. Ketika khim bertemu tongkat, keduanya terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung.

   "Setan alas, Ilmu iblis apa yang kau mainkan tadi?"

   Bentak Siang-mou Sin-ni.

   "Sayang hanya setengahnya kudapat.."

   It-gan Kai-ong terkekeh.

   "Kalau keseluruhannya kumiliki, kau tentu akan mampus di tanganku kali ini, Sin-ni"

   Siang-mou Sin-ni berdiri diam, berpikir. Kiranya ilmu hebat itu adalah hasil daripada perampasan kitab dari tangan Bu Kek Siansu dahulu. It-gan Kai-ong hanya berhasil mendapatkan setengah kitab, yang setengah lagi dirampas Hek-giam-lo. Kalau saja ia bisa memiliki kedua potongan kitab itu.

   "Kai-ong, sekarang bukan waktunya kita menguji kepandaian. Nanti di puncak Thai-san kita boleh bertempur sampai puas. Kita tunda dulu, bagaimana pendapatmu? Ataukah kau hendak melanjutkan? Aku pun tidak takut kalau kau hendak melanjutkan sampai seorang di antara kita mampus"

   "Heh-heh-heh, Siang-mou Sin-ni iblis betina. Apa artinya dapat menangkan kau dan mengemplang remuk kepalamu yang penuh tipu-tipu muslihat itu kalau tidak ada yang menyaksikannya? Kelak di Thai-san tentu kau roboh di tanganku. Heh-heh, ditunda juga tidak apa."

   Siang-mou Sin-ni menoleh ke arah Bu Sin, suaranya terdengar mengejek ketika ia berkata,

   "Bu Sin koko yang tampan, kau nakal sekali, berani dulu kau melarikan diri dari padaku. Hemmm, agaknya memang kau tidak bisa lama-lama berpisah dariku, maka sekarang bertemu kembali di sini."

   "Heh-heh, agaknya sudah jodoh, Sin-ni. Hisap saja darahnya sampai habis, tunggu apa lagi? Ataukah kau sudah bosan? Biar kucoba dia dengan ludahku"

   It-gan Kai-ong meludah ke arah Bu Sin. Andaikata tidak ada yang menghalangi, ludah itu tentu akan membuat kepala Bu Sin berlubang dan sekaligus akan mencabut nyawa pemuda itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni mendengus, rambutnya bergerak dan air ludah itu terpukul ujung rambut, menyambar kembali ke arah It-gan Kai-ong yang miringkan kepala membiarkan air ludahnya sendiri menyambar lewat dan lenyap ke dalam batu karang di belakangnya.

   "Gembel busuk, jangan main-main. Dia ini punyaku, tak boleh kau ganggu dia. Nyawanya berada di tanganku, dia mau mati atau hidup, aku yang menentukan"

   "Ho-ho-hah. Enak kau bicara, Siang-mou Sin-ni. Kau mau borong dia, mau memiliki dia sampai kalian mampus, aku peduli apa? Akan tetapi sebelum ia kau bawa pergi, ia harus menceritakan lebih dulu ke mana perginya Hek-giam-lo. Kalau tidak, mana aku mau sudah begitu saja? Jangan kau kira aku begitu goblok, membiarkan kau sendiri saja mendengar keterangan dari mulutnya tentang Hek-giam-lo"

   "Keparat tua bangka. Aku mau bawa dia pergi atau tidak, kau mau apa?"

   Kembali kedua orang sakti itu sudah saling melotot, siap untuk saling gempur lagi. Bu Sin yang mendengarkan percakapan dan melihat sikap mereka merasa khawatir. Kalau dua orang sakti yang berwatak aneh seperti orang gila ini bertempur karena dia, sembilan puluh prosen ia akan mati.

   "Kalian tidak perlu ribut-ribut di sini. Baru saja Hek-giam-lo pergi keluar membawa robekan kitab."

   Baru saja Bu Sin bicara sampai di sini, It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni sudah berkelebat lenyap dari tempat itu. Akan tetapi kegembiraan hati Bu Sin melihat ini hanya sebentar karena tahu-tahu Siang-mou Sin-ni sudah berada di tempat itu lagi dan berdiri dekat dengannya sehingga ia dapat mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya dan yang selalu membuat ia merasa ngeri dan serem kalau mengingatnya. Tak salah dugaannya bahwa yang datang kembali adalah wanita yang amat ditakuti karena terdengar wanita itu tertawa genit lalu berkata.

   "Anak manis, apakah sekarang kau akan dapat melarikan diri dariku lagi?"

   Sambil berkata demikian ia meraih dan memondong tubuh Bu Sin, kemudian dibawanya lari keluar dari terowongan itu.

   "Perempuan busuk, Perempuan hina. Kau lepaskan aku"

   Bentak Bu Sin dengan marah. Hatinya masih sakit sekali kalau ia teringat akan apa yang dilakukan Siang-mou Sin-ni kepadanya dahulu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya tertawa sambil mengejek,

   "Gembel picak itu benar juga, kalau aku haus, darahmu akan segar juga, hi-hik"

   Bu Sin mengkirik kengerian, akan tetapi apa dayanya? Tak lama kemudian ia melihat sinar terang dan ternyata mereka telah tiba di luar terowongan. Setelah berlari untuk beberapa lamanya, mereka tiba di sebuah hutan dan Siang-mou Sin-ni membebaskan totokan Bu Sin. Pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir kembali seperti biasa, akan tetapi ia belum mampu bergerak. Karena itu, terpaksa ia hanya meramkan mata saja ketika Siang-mou Sin-ni yang tak tahu malu itu membelainya, bahkan menciumnya.

   "Kau masih tampan, aku masih sayang kepadamu. Sayang kalau kau kubunuh."

   Ia mengusap muka pemuda itu.

   "Hi-hik, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Bu Sin, kalau kau menuruti semua kehendakku, aku bisa membikin kau menjadi seorang laki-laki gagah perkasa seperti Suling Emas. Aku akan menurunkan kepandaianku kepadamu. Senang kan?"

   "Perempuan hina"

   Pergi"

   Mendadak Bu Sin yang kini jalan darahnya sudah pulih kembali, menghantam sekuatnya.

   "Blukkk"

   Siang-mou Sin-ni terlempar dan mengeluarkan seruan kaget. Tadi ketika ia melihat pemuda itu memukulnya, ia menerima dengan senyum di bibir karena ia mengira bahwa Bu Sin masih seperti dulu kepandaiannya sehingga pukulannya tidak berbahaya sama sekali. Sama sekali ia tidak tahu bahwa semenjak menerima latihan kakek sakti, tenaga sakti di dalam tubuh Bu Sin sudah meningkat beberapa kali lipat kuatnya. Maka kali ini pukulan Bu Sin membuatnya terlempar, sungguhpun tidak mengakibatkan luka dalam karena Siang-mou Sin-ni sudah menjaga diri dengan lwee-kangnya.

   "Eh-eh.. dari mana kau mendapatkan tenaga besar itu?"

   Tanyanya, masih setengah heran dan terkejut. Namun Bu Sin sudah melompat bangun dan menerjangnya dengan sengit sambil memaki-maki. Ia mengerahkan tenaga sin-kang dan mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh. Ketika ia sudah berada dekat, kepalan tangan kirinya memukul ke arah kerongkongan wanita itu sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang mengandung cengkeraman maut.

   "Hayaaaaa, Bu Sin, kau benar-benar tak bisa menerima cinta kasih orang. Baiklah kalau kau sudah bosan hidup"

   Dengan gerakan lincah dan mudah saja wanita ini mengelak daripada dua pukulan Bu Sin itu, kemudian ia berseru keras dan tubuhnya tahu-tahu sudah mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya.

   Bu Sin yang menjadi penasaran mengejar dan kembali menerjang, akan tetapi iblis betina itu menggoyang kepalanya dan Bu Sin merasa gelap pandang matanya ketika rambut yang hitam panjang itu melayang cepat merupakan selimut menghitam yang harum sekali baunya. Pemuda ini berusaha untuk menghindarkan diri dengan melompat ke samping, namun tiba-tiba gerakannya tertahan dan sama sekali la tak mampu berkutik oleh karena bagaikan ular-ular hidup, rambut-rambut itu telah melibat kaki tangan dan lehernya. Ia merasa seakan-akan ia diringkus oleh banyak tangan yang halus dan harum, dan betapapun ia mengerahkan tenaganya, ia tetap saja tak mampu bergerak.

   "Hi-hi-hi, Orang bagus berhati baja. Kau mau bilang apa sekarang?"

   Wanita itu berdiri di depan Bu Sin, kurang lebih satu meter dekatnya, matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah menyeringai memperlihatkan deretan gigi putih berkilauan dan kecil-kecil.

   "Siang-mou Sin-ni iblis betina, Mau bilang apa lagi? Aku sudah kalah, mau bunuh boleh lekas bunuh, siapa takut mampus?"

   Bentak Bu Sin.

   "Tentu kubunuh.. wah, aku memang haus dan darahmu tentu enak sekali, darah seorang keturunan jenderal, gagah perkasa dan satria utama. Mendekatlah manis, serahkan lehermu kepadaku, biar kupilih jalan darahmu untuk kuhisap.."

   Bu Sin tetap hendak mempertahankan diri terhadap tarikan rambut-rambut itu, namun ia seperti seekor lalat terlibat dalam sarang laba-laba, ia bisa meronta namun tak dapat melepaskan diri. Tarikan rambut-rambut itu makin kuat, dan tenaganya sendiri makin lemah sehingga sedikit demi sedikit ia mulai tergeser maju mendekati bibir merah dan gigi putih berkilau itu. Sementara itu, agaknya senang sekali dengan pergulatan dan perlawanan Bu Sin, wanita iblis itu terkekeh senang.

   "Hi-hik, cobalah, berontaklah kalau mampu lolos, hi-hik. Hayo kerahkan tenagamu, baik sekali.. darahmu menjadi kencang jalannya"

   Bu Sin meronta-ronta dan memaki-maki, namun sia-sia belaka. Kini ia sudah dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni dan ketika wanita itu mendekatkan mulut pada lehernya, diam-diam Bu Sin merasa ngeri sekali. Napas yang panas dan halus terasa pada lehernya, kemudian bibir yang lunak basah dan panas itu menempel kulit leher. Bu Sin hanya dapat meramkan kedua matanya, siap untuk menerima maut karena ia maklum bahwa terhadap wanita ini ia sama sekali tidak dapat melawan. Tiba-tiba bibir yang menempel lehernya itu merenggang dan.. Siang-mou Sin-ni terisak.

   "Tidak.. tidak.. aku tidak bisa membunuhmu, Aku terlalu cinta padamu. Ah, Bu Sin, mengapa kau tidak mau membalas cintaku? Aku sayang padamu. Belum pernah aku mencinta laki-laki seperti kepadamu. Bu Sin, kau balaslah cintaku dan aku akan menjadi isterimu, akan melayanimu, akan menurunkan kepandaian kepadamu."

   "Iblis, Bunuhlah aku, tak perlu kau merayu dengan kata-katamu yang berbisa"

   Siang-mou Sin-ni memeluknya, menciumnya. Bu Sin hanya meramkan mata. Ngeri dan jijik hatinya. Perasaannya seperti seorang yang dibelit dan dibelai seekor ular.

   "Dengar, Bu Sin. Kalau kau menjadi suamiku, aku akan membawamu ke Hou-han, aku akan merampas kedudukan kaisar untukmu. Dengar ini, Kau akan kujadikan kaisar"

   Bu Sin terkejut dan sejenak pikirannya melayang-layang. Sebagai putera seorang bekas jenderal, tentu saja ia bukan seorang pemuda yang tidak bercita-cita muluk. Menjadi kaisar merupakan tawaran yang mendebarkan jantungnya dan hampir melemahkan pertahanan hatinya.

   Alangkah akan mulia dan senang hatinya. Menjadi kaisar, disembah dan ditaati orang senegara, nama ayahnya akan terjunjung tinggi"

   Akan tetapi segera ia ingat akan wanita iblis di sampingnya, dan kegembiraannya lenyap. Biarpun ia menjadi kaisar, kalau wanita ini mendampinginya, ia tentu akan menjadi kaisar yang hanya akan mencelakakan rakyat. Wanita ini bukan manusia, melainkan iblis bertubuh manusia. Teringat ia akan dongeng tentang Kaisar Tiu Ong yang biarpun tadinya merupakan kaisar baik, akhirnya menjadi seorang kaisar lalim karena godaan Tiat Ki, seorang wanita cantik yang kemasukan iblis, seekor siluman rase yang menjelma menjadi wanita cantik jelita yang keji dan ganas. Bu Sin mengkirik saking jijiknya dan semua lamunan tadi lenyap, kemarahannya memuncak.

   "Siluman hina, Bunuh saja aku"

   Bentaknya. Tangis Siang-mou Sin-ni terhenti. Wajahnya merah sekali, tanda bahwa ia juga marah.

   "Tentu kau akan kubunuh,"

   Katanya dengan suara dingin.

   "akan tetapi kubunuh perlahan-lahan, biar kau tahu rasa. Aku akan membunuhmu sekerat demi sekarat, akan kusiksa kau sampai kau merasa menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu. Darahmu kuhisap sedikit demi sedikit"

   Dengan suara makin kejam wanita ini kembali mendekatkan mukanya. Kilauan gigi putih tampak oleh Bu Sin. Kembali lehernya merasakan sentuhan bibir lunak basah dan panas, kemudian terasa leher itu dikecup, terasa nyeri ketika gigi-gigi kecil meruncing itu menggigit dan..

   "Tar-tar-tar"

   Terdengar suara keras di udara dan sepasang bola baja kecil menyambar kepala Siang-mou Sin-ni. Iblis betina ini kaget sekali, merenggutkan mukanya dari leher Bu Sin, menoleh.

   "Siang-mou Sin-ni iblis jahanam, Keji sungguh kau"

   Terdengar bentakan wanita yang marah sekali.

   "Bu Sin koko, jangan takut, aku datang"

   Kembali sepasang bola baja yang berada di ujung cambuk itu menyambar, mengarah jalan darah di punggung Siang-mou Sin-ni. Serangan pertama ke arah kepala tadi tidak dilanjutkan karena agaknya Liu Hwee, gadis yang baru datang itu, takut kalau-kalau membahayakan kepala Bu Sin.

   Melihat datangnya serangan yang amat berbahaya ini, Siang-mou Sin-ni tidak berani memandang rendah. Dari sambaran sepasang bola baja itu ia cukup maklum bahwa gadis aneh ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Apalagi diingat bahwa gadis ini adalah puteri ketua Beng-kauw, tentu saja lihai. Siang-mou Sin-ni marah sekali, memekik liar dan tiba-tiba rambutnya yang tadi membelit-belit tubuh Bu Sin melepaskan pemuda itu menyambar ke belakang, sebagian menangkis senjata lawan, sebagian lagi menyambar ke arah jalan darah membalas serangan. Adapun Bu Sin yang dilepas oleh libatan rambut-rambut itu, terhuyung-huyung. Akan tetapi hanya sebentar, karena ia segera dapat memulihkan tenaganya. Tangannya meraba leher dan ternyata lehernya berdarah sedikit. Untung Liu Hwee datang, kalau tidak"

   "Adik Liu Hwee, mari kita basmi siluman betina jahat ini"

   Bentaknya. Pada saat itu, Liu Hwee sudah memutar senjatanya merupakan bentuk payung hitam yang menangkis semua serangan rambut Siang-mou Sin-ni. Begitu bertemu dengan gulungan sinar senjata berupa payung ini, rambut Siang-mou Sin-ni kena dikebut bertebaran sehingga iblis itu terkejut sekali. Hebat juga puteri Beng-kauw ini.

   "Bu Sin koko, kau pakailah ini"

   Liu Hwee melompat ke arah Bu Sin dan menyerahkan sebatang pedang. Tentu saja Bu Sin girang bukan main. Dalam menerima pedang itu, jari-jari tangannya bersentuhan dengan jari-jari tangan Liu Hwee. Keduanya saling pandang sejenak, dan dalam waktu beberapa detik ini saja, pandang mata mereka sudah penuh dengan pernyataan hati masing-masing. Pandang mata mesra dan dalam pandang mata ini tersimpul semua perasaan hati dan terjadi janji dan sepakat bahwa mereka akan sehidup semati menghadapi Siang-mou Sin-ni yang lihai.

   "Terima kasih, Moi-moi. Mari kita gempur dia"

   Siang-mou Sin-ni berdiri memandang. Ia dapat melihat dan dapat merasakan apa yang terkandung dalam sikap kegembiraan mereka dan pandang mata yang mesra itu. Kemarahannya memuncak dan ia begitu terserang panas hati sehingga ia hanya berdiri tegak, seakan-akan lupa bahwa ia berhadapan dengan dua orang lawan yang harus segera ia terjang.

   "Kalian.. ah, keparat. Bocah she Liu kau.. kau mencinta Bu Sin.."

   Seketika wajah Liu Hwee menjadi merah, matanya berkilat menyambar.

   "Siang-mou Sin-ni, kami pihak Beng-kauw tidak ada permusuhan pribadi dengan dirimu. Dan mengingat bahwa kau pernah menjadi murid mendiang enci Lu Sian, biarlah kumaafkan kata-katamu. Harap kau suka pergi meninggalkan kami"

   Biarpun Liu Hwee baru berusia sembilan belas tahun, akan tetapi sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw, ia mempunyai sikap agung dan berwibawa. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni tidak memperhatikan dia, melainkan memandang ke arah Bu Sin sambil membentak.

   "Dan kau.. kau manusia tak kenal budi, kau.. kau mencinta bocah Beng-kauw ini"

   Seperti juga Liu Hwee, wajah Bu Sin menjadi merah seketika dan jantungnya berdebar-debar. Sudah dua kali ada orang mengatakan bahwa ia dan Liu Hwee saling mencinta. Pertama adalah wanita iblis yang lebih dahsyat daripada Siang-mou Sin-ni yang berkata demikian, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian ibu Suling Emas. Kedua kalinya adalah si iblis wanita ini.

   "Siluman jahat, kami saling mencinta tidak ada sangkut-pautnya dengan kau, dan kau tidak ada harganya untuk menyebut-nyebut hal itu"

   Bentak Bu Sin marah. Siang-mou Sin-ni menjerit keras, jeritan melengking tinggi dan hampir saja Bu Sin tak kuat mempertahankan karena isi dadanya berguncang hebat. Cepat-cepat ia mengerahkan sin-kang yang ia latih dari kakek sakti, dan sebentar saja pengaruh jeritan itu lenyap.

   "Kalian harus mampus, akan kuhancurkan tubuh kalian. Hi-hi-hik, kalian saling mencintai, ya? Memang betul, kalau akan menjadi satu, akan tetapi setelah menjadi daging hancur, hi-hik"

   Wanita itu kini mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu yang-khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu. Sambil memekik keras ia menerjang maju, rambut kepalanya menyambar-nyambar, diseling senjata khim yang digerakkan secara dahsyat sekali.

   "Bu Sin koko, hati-hati.."

   Liu Hwee berseru dengan suara pilu karena diam-diam gadis ini merasa gelisah dan ragu-ragu apakah mereka berdua akan mampu melawan iblis ini yang luar biasa saktinya.

   

Tangan Geledek Eps 34 Bu Kek Siansu Eps 15 Bu Kek Siansu Eps 21

Cari Blog Ini