Cinta Bernoda Darah 8
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Sayang tidak ada kuda. Kalau kudaku masih ada, kau dapat naik kuda, Lin-moi, dan tidak terlalu lelah."
"Kenapa kau jual kudamu kalau begitu?"
"Perlu dijual.. perlu sekali.. saku sudah kosong, apa daya?"
Lin Lin menggerakkan tangan, sejenak menyentuh lengan pemuda itu.
"Aku tahu. Kau terpaksa menjualnya untuk membelikan sarung pedangku ini dan untuk makan dan sewa kamar, untuk biaya-biaya perjalanan, bukan? Liong-ko, kau orang baik."
Hati Bok Liong berdenyut-denyut girang, akan tetapi ia pura-pura mendengus.
"Ah, yang begitu saja, mana patut diomongkan? Pula, dua orang melakukan perjalanan hanya dengan seekor kuda, canggung sekali. Kita berdua sudah sejak kecil berlatih ilmu lari cepat, untuk apa? Kalau kita mau, kita tidak akan kalah oleh larinya seekor kuda."
Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang melakukan perjalanan malam menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar lagi menanti untuk segera dapat bertemu dengan orang yang dianggap musuh besarnya, yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok keadaan Sian Eng, gadis yang mengalami hal yang amat menyeramkan hatinya itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil melarikan diri dari tempat rahasia di bawah kuburan yang menjadi tempat tinggai Hek-giam-lo, yaitu pada saat Hek-giam-lo bertempur melawan Siang-mou Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta dikembalikannya surat rahasia. Akan tetapi malang baginya, di dalam sebuah hutan, selagi ia merasa lega dan mengira telah terlepas daripada cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si iblis itu sendiri muncul di depannya, Hek-giam-lo telah berada di situ, seakan-akan telah lebih dulu datang dan sengaja menanti kedatangannya.
Ia berusaha menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang sakti? Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo, kemudian dibawa lari secepat terbang. Kali ini si kedok iblis itu berlaku amat teliti, tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga kepadanya untuk dapat melepaskan diri daripada pengawasannya. Hek-giam-lo bersikap amat menghormat kepadanya, menyebutnya tuan puteri, akan tetapi di samping sikap menghormat ini terbayang sifat memaksa yang tak dapat dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut dengannya dan mentaati segala permintaannya. Akhirnya gadis ini maklum bahwa tak mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi mencoba. Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.
"Hek-giam-lo, sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku bukanlah puteri raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian Eng. Kau salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah aku pergi."
Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika mereka berjalan melalui sebuah bukit yang sunyi. Hek-giam-lo memang pendiam dan tak banyak ia bicara selama dalam perjalanan, sungguhpun ia amat memperhatikan keperluan Sian Eng dan tak pernah terlambat untuk mencarikan makanan dengan pelayanan penuh hormat. Permintaan berkali-kali dari Sian Eng hanya dijawabnya singkat,
"Paduka puteri raja kami, memang sejak kecil diambil anak oleh Jenderal Kam."
Hanya demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau bicara lagi.
Melalui perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo memondong dan membawanya lari seperti terbang setelah minta maaf lebih dulu, mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu hari tibalah mereka di daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang amat liar. Kemudian, di tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di sebuah rumah perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan baru. Inilah perkampungan baru yang dijadikan pusat suku bangsa Khitan, terletak dalam sebuah hutan liar dikelilingi hutan-butan kecil di antara gunung-gunung di perbatasan Mancuria. Dapat dibayangkan betapa heran dan berdebar hati Sian Eng ketika Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa yang ia tidak mengerti, para penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang jalan yang mereka lalui.
"Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat kepada Paduka,"
Kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira. Sian Eng melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap dan kuat, wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah pada para wanita yang berlutut di pinggir jalan itu.
"Kita sekarang ke mana, Hek-giam-lo?"
"Mari menghadap Sri Baginda, Paman Paduka."
"Pamanku?"
Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke sebuah rumah besar di tengah-tengah perkampungan itu. Di depan rumah besar ini terdapat banyak penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah dan kuat, dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka berbaris rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan Sian Eng lewat. Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris pasukan pengawal.
Kiranya dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan sederhana, sebelah dalamnya amat mewah. Bendera-bendera kecil berkibar di mana-mana, bermacam-macam warnanya. Ketika mereka sampai di ruangan sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini pasukan wanita yang cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam. Namun, baik pasukan laki-laki maupun wanita, semua kelihatannya amat takut dan menghormat Hek-giam-lo. Melalui pelaporan seorang penjaga yang seperti raksasa wanita, besar dan bengis, mereka diperkenankan memasuki ruangan besar di mana telah menanti seorang laki-laki tampan berpakaian indah, duduk di atas sebuah kursi atau singgasana terbuat daripada gading. Laki-laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan bermata tajam. Hek-giam-lo yang menuntun Sian Eng masuk, berkata singkat,
"Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri Baginda, Paman Paduka."
Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar suaranya nyaring.
"Hamba datang menghadap, dengan berkah Sri Baginda, hamba berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut menghadap Sri Baginda."
Laki-laki itu ternyata adalah Raja suku bangsa Khitan yang bernama Kubakan. Ia memandang wajah Sian Eng penuh perhatian. Sian Eng yang tidak sudi berlutut, mengira bahwa raja yang tampan ini tentu akan marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan tetapi kiranya tidak demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata kurang ajar, kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam bahasa Han yang cukup lancar.
"Nona, marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat apakah kau benar keponakanku ataukah palsu."Sian Eng melangkah maju sampai berada dekat dengan raja itu sambil berkata,
"Hek-giam-lo tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja membawaku ke sini. Siapa pun adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan aku."
Raja itu memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa sekali lagi. Dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras.
"Ha-ha-ha, semua orang mengaku keponakanku, ha-ha. Alangkah inginku dapat memeluk keponakanku, dapat meraba lehernya yang halus. Untung kau bukan keponakanku, Nona, kau cukup cantik jelita. Ha-ha, untung.."
Sian Eng terkejut sekali dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua tangan raja yang berbulu lengannya itu bergerak hendak merabanya. Akan tetapi pada saat itu Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang Eng,
"Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak Jenderal Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba sampai di sana. Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja, maka hamba menyelidiki dan berhasil menangkap anak perempuannya ini. Tak salah lagi, dia adalah puteri mendiang Tuan Puteri Tayami."
"Hek-giam-lo, apa yang menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini betul-betul keponakanku? Sudah ada dua orang gadis yang dibawa datang dan perwira-perwira yang membawanya bersumpah bahwa mereka adalah keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat mereka, biarpun mereka berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan yang kucari-cari daripada gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku"
Raja memberi tanda dengan tepukan tangan dan tak lama kemudian dua orang gadis digiring masuk. Dua orang gadis yang cantik jelita akan tetapi wajah mereka pucat dan di kedua pipi yang halus tampak bekas air mata. Mereka ini berdiri di depan raja dan menundukkan muka.
"Ha-ha-ha, mereka ini keponakanku? Akan tetapi biarpun bukan, kedatangan mereka sedikit banyak menyenangkan hatiku, biarpun hanya untuk beberapa malam. Hek-giam-lo, gadis yang kau bawa ini bukanlah puteri Kakak Tayami."
"Tapi Sri Baginda.."
"Kau mau bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah kulihat keponakanku itu. Pada punggungnya terdapat sebuah tanda merah. Coba kita periksa bersama"
Ia memberi isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo menggerakkan tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya yang hebat, yaitu sabit bengkok yang amat tajam itu.
Sinar berkilauan menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri karena merasa betapa tubuhnya dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir ia roboh pingsan ketika mendapat kenyataan bahwa pakaiannya telah terbang ke kanan kiri disambar sinar itu dan beberapa detik kemudian ia telah menjadi telanjang bulat. Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng. Ingin ia berlaku nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu karena keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan tenaga, malah ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap di atas lantai untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat demikian, punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo melihat jelas kulit punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun"
"Ha-ha-ha-ha, kau lihat, Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang seribu sayang. Tapi lumayan juga, dia cantik manis"
"Ampun, Sri Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh."
Terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.
"Tidak apa, kau carilah lagi. Gadis ini pasti akan menyenangkan hatiku. Eh, Nona, kau berdirilah."
Sian Eng terkejut sekali ketika merasa betapa pundaknya diraba orang yang hendak menariknya berdiri. Ia mengangkat muka memandang dan kiranya raja itulah yang sudah turun dari singgasana untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar penuh nafsu. Saking ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat apa-apa lagi. Bagaikan seekor harimau betina, ia melompat dan menerkam ke depan, memukul dengan kedua tangannya ke arah dada dan perut raja itu"
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terpental ke samping, roboh menumbuk dinding. Raja itu sendiri pucat mukanya dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah. Hampir saja ia celaka kalau tidak Hek-giam-lo yang cepat menolongnya tadi. Marahnya bukan main. Lenyap keinginannya untuk mempermainkan Sian Eng, terganti rasa benci yang meluap-luap.
"Hek-giam-lo, kuserahkan dia kepadamu. Hukum dia, juga dua orang puteri palsu ini. Muak aku kepada mereka. Kubur mereka hidup-hidup, jadikan tontonan, biar rakyatku melihat dan berkesempatan menghina mereka yang menyebalkan hati rajanya"
Setelah berkata demikian, raja itu mendengus marah, lalu pergi memasuki kamarnya, diiringkan oleh dayang-dayang cantik jelita dan muda-muda.
Sian Eng sudah bangun kembali dan cepat menyambar pakaiannya yang robek menjadi beberapa potong. Sedapat-dapat ia membungkus tubuhnya dengan pakaian itu dan untung bahwa pakaiannya terbuat daripada kain yang lebar dan panjang sehingga biarpun robek-robek namun masih cukup untuk menutupi ketelanjangannya. Akan tetapi Hek-giam-lo tak memberi kesempatan lagi kepadanya. Dengan pekik mengerikan, iblis ini bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap Sian Eng dan dua orang gadis pucat itu, membawa mereka bertiga seperti orang membawa tiga ekor ayam saja, kemudian melangkah lebar keluar dari gedung itu.
Malam itu terang bulan, namun keadaan di luar perkampungan itu, di pinggir hutan, amat menyeramkan. Apalagi kalau orang melihat ke arah kiri, di mana terdapat tempat terbuka dan sinar bulan menyorot langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang itu pasti akan bergidik melihat apa yang tampak di sana. Tiga buah kepala orang berada di atas tanah. Kepala tiga orang wanita yang masih hidup"
Yang dua buah adalah kepala dua orang wanita cantik bermuka pucat dan terdengar mereka ini menangis terisak-isak dengan air mata bercucuran. Akan tetapi, kepala yang berada di kiri, kepala Sian Eng, biarpun tampak agak pucat juga, namun sama sekali tidak menangis, malah sepasang matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
Memang hebat dan mengerikan sepak terjang Hek-giam-lo, si manusia iblis itu, yang mentaati perintah rajanya. Ia menggali tiga buah lubang-lubang yang sempit dan dalam macam sumur kecil, memasukkan tiga orang gadis tawanan itu ke dalam sumur dan mengubur mereka sebatas leher. Seluruh tubuh tiga orang gadis ini tidak tampak, hanya kepala mereka sebatas leher yang keluar dari tanah. Kemudian iblis ini memasang benderanya di atas pohon dekat tempat itu. Dengan adanya tanda ini, tidak ada seorang pun manusia di perkampungan itu berani mencoba menolong gadis-gadis bernasib malang ini. Siapakah berani melawan Tengkorak Hitam yang menjadi tangan kanan raja?
Setelah Hek-giam-lo pergi, Sian Eng berpikir. Ia mengenang kata-kata Raja Khitan terhadapnya dan teringatlah ia akan Lin Lin. Adiknya itu bukanlah anak kandung ayah bundanya, melainkan anak angkat. Ayahnya tidak pernah bicara tentang orang tua Lin Lin, akan tetapi adik angkatnya itu wataknya aneh sekali dan ketika ia tadi melihat pengawal-pengawal dan dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja Khitan, alangkah besar persamaan Lin Lin dengan para wanita itu. Terutama sekali bulu mata dan hidungnya. Jantungnya berdebar. Jangan-jangan Hek-giam-lo salah ambil, mengira dia Lin Lin. Dan besar kemungkinan Hek-giam-lo menduga bahwa Lin Lin adalah keponakan raja. Betulkah ini?
Tangis kedua orang gadis di sebelah depan dan belakangnya mengganggunya dari lamunan. Ia (Lanjut ke Jilid 08)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
menengok dan perasaan kasihan memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang tidak berdaya dan sedang menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya sendiri pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia dan mereka akan menghadapi kematian yang mengerikan dari penuh sengsara. Dipendam sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin besok hari menerima penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati kelaparan.
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu makin keras menangis dan Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi, itulah suara harimau yang mengaum dari dalam hutan. Bagaimana kalau raja hutan itu datang dan menyerang mereka? Dengan hanya kepalanya di atas tanah, Sian Eng dapat membayangkan betapa harimau itu akan makan kepala mereka seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau pun melarikan diri. Siapa di antara mereka bertiga yang lebih dulu akan digerogoti harimau?
"Hu-hu-huk, Ayah.. Ibu.. tolong.."
Gadis yang berada di sebelah belakang Sian Eng menjerit-jerit.
"Aku.. aku.. takut.. ya Tuhan cabutlah nyawaku.."
Gadis cantik di sebelah depan Sian Eng mengeluh dan menangis. Sian Eng mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak menyalahkan dua orang gadis itu. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah gadis-gadis biasa yang lemah, oh, alangkah sengsaranya mati dalam keadaan ketakutan seperti itu.
"Enci berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia hidup memang hanya untuk menghadapi kematian yang sewaktu-waktu pasti akan tiba, cepat atau pun lambat. Mengapa takut? Mati adalah biasa, semua manusia akan mati, hanya waktu saja soalnya."
Dua orang gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran melihat Sian Eng sama sekali tidak menangis dan sama sekali tidak nampak takut.
"Aku.. aku tidak takut mati.. aku.. aku lebih baik mati. Yang kutakuti adalah kengerian ini dan.. dan penghinaan.. ah, lebih baik aku mati, tapi jangan.. jangan mati dimakan harimau.."
Kata gadis di depannya terisak-isak.
"Sebelum hayat meninggaikan badan, tak boleh berputus asa,"
Kata pula Sian Eng.
"Enci harap tenang saja, kalau belum waktunya kita mati, percayalah, kita takkan mati. Kalau sudah tiba waktunya mati, ah, jangankan sudah setua kita, kanak-kanak pun bisa saja mati."
Hiburan dan kata-kata Sian Eng yang keluar dengan suara penuh ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua orang gadis itu berhenti menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam hutan tidak terdengar lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng untuk mengajak dua orang teman "senasib sependeritaan"
Itu untuk bercakap-cakap. Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa seperti juga dia, dua orang itu diculik oleh tokoh-tokoh Khitan karena disangka sang puteri"
Akan tetapi begitu tiba di depan raja, mereka ditelanjangi dan diperiksa punggung mereka, karena katanya puteri itu mempunyai tanda merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian Eng, mereka tidak memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah puteri Khitan. Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu bercerita betapa selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.
Sian Eng menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam hatinya bergolak. Kalau saja ia mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya Raja Khitan itu. Dan menghadapi penderitaan dua orang gadis itu, ia tidak dapat bicara banyak. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka itu juga merupakan hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam yang mengerikan ini. Tentu saja semalam suntuk mereka tak mampu tidur semenit pun juga dan menjelang pagi, karena teringat bahwa para penyiksa itu tentu akan menghabisi nyawa mereka dengan siksaan-siksaan keji, dua orang gadis itu mulai menangis lagi. Sian Eng tidak mampu lagi menghibur mereka. Gadis ini mengambil keputusan bahwa kalau ia diberi kesempatan satu kali saja terbebas dari kuburan itu, ia akan mengamuk sampai mati. Terdengar derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin dekat. Dua orang wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan air mata mereka bercucuran.
"Adik Sian Eng, selamat berpisah.."
"Mudah-mudahan kematian segera datang menjemputku.."
Kata gadis di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis di depan. Sian Eng terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri tersenyum,
"Enci, kalau seorang di antara kita mati, tentu yang dua akan mati pula. Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan pernah berpisah kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan sekali? Kita akan ada teman selalu, biar di alam sana pun."
Derap kaki kuda sudah dekat sekali, datang dari arah belakang mereka. Tiga orang gadis itu dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi tentu saja tidak mungkin menengok ke belakang, karena tubuh mereka yang terpendam tanah itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh karena itu, biarpun hati mereka sekali memandang, mereka tidak dapat dan tidak tahu siapa gerangan penunggang kuda yang datang ini. Tak lama kemudian, seekor kuda yang besar dan kuat berlari congklang dan berhenti dekat mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam melompat turun. Dua orang gadis itu hanya mengerling sebentar dan segera menutup mata dan menangis lagi. Pakaian orang ini sama dengan Si Iblis Hitam, mengerikan.
Akan tetapi Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang dengan mata tajam dan kening berkerut. Darahnya berdenyut-denyut, jantungnya berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak sekali. Si Jubah Hitam itu sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki muda yang berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata yang sayu di bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar. Yang membuat Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah jubah hitam itu, mengingatkan ia akan laki-laki yang pernah ia lihat punggungnya yang berjubah hitam dan topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor dua buah, yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan gambar pada baju di dada itu. Suling Emas.
Celaka, pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya yang datang ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya, sudah tentu mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya. Dan orang itu semenjak melompat turun dari kudanya, terus memandangnya dengan sinar mata yang tajam penuh selidik. Akan tetapi laki-laki itu segera melompat dekat, tangannya mencabut sebuah benda panjang kuning mengkilap. Sebuah suling, tak salah lagi. Dialah Suling Emas, karena yang dipegangnya itu apalagi kalau bukan suling terbuat daripada emas?
Dengan gerakan cepat, ia mendekati Sian Eng, sinar kuning berkelebat dan sebentar saja tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah Sian Eng dapat membebaskan kedua tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan meronta, terus meloncat ke atas, sama sekali tidak ingat bahwa pakaiannya tidak karuan macamnya karena pakaian itu sudah robek-robek dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya saja. Begitu melompat dan berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya, maka cepat-cepat ia meoggerakkan kedua lengan menutupi dada. Pemuda itu menyumpah,
"Keparat.."
Cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu, melemparnya ke arah Sian Eng. Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian Eng dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki. Kini Sian Eng berdiri terlongong, memandang pemuda itu yang kini tampak lebih gagah dengan pakaian dalam yang ringkas berwarna putih. Akan tetapi laki-laki itu tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan sulingnya, membongkar dan menggali tanah untuk membebaskan dua orang gadis itu. Kembali ia menyumpah karena kedua orang gadis itu malah dimasukkan ke dalam sumur dalam keadaan hampir telanjang bulat.
"Benar-benar setan"
Ia menyumpah dan dengan gemas ia merenggut kain bendera besar tanda Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan menyerahkannya kepada dua orang gadis itu yang merasa berterima kasih sekali dan terus saja mengerodongkan robekan kain hitam itu ke atas tubuh mereka.
"Lekas, kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi. Amat berbahaya di sini."
Ia menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan berkata,
"Nona, kau yang terkuat di antara kalian bertiga, kau di depan dan cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan."
Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa.
"Kau.. kau.. Suling Emas..?"
Akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata. Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia mengangguk.
"Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,"
Katanya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka dan.. kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam, mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi kering membiru"
"Ah, gobloknya aku.."
Suling Emas menarik napas panjang.
"Ihhh, mereka kenapa?"
Sian Eng berseru, cemas dan ngeri. Suling Emas menunding ke arah robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo.
"Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi."
Sian Eng tak sempat menjawab apalagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda. Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.
"Tapi.. jenazah mereka itu..?"
Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.
"Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?"
Jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.
Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas daripada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling Emas. Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja.
Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya terhadap wanita. Sekarang pun, biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi. Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya.
Sekarang, dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biarpun wajah yang tampan itu ketihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup. Malam itu Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya. Malam amat gelap sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak diikat, dibiarkan terlepas begitu saja.
Suling Emas lalu mengumpulkan ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar. Mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk mendekati api. Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat minum. Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti itu, karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda sehari penuh. Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit.
Mereka makan roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk termenung memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api itukah yang mendatangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau teringat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping. Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biarpun tak mungkin mengatakan bahwa dia itu sudah tua. Sukar menaksir usianya. Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi kegelisahannya.
"Kau hendak membawaku ke mana?"
Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya turun dari dunia lamunan dan gagap ia menoleh sambil bertanya.
"Apa..?"
Mendongkol juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia bertanya.
"Dengan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau hendak membawaku pergi?"
"Dengan maksud apa?"
Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia menjawab,
"Tentu saja agar kau bebas daripada ancaman bahaya, dan tentu saja membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan."
Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya pertanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi, Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya. Kembali berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah menoleh kembali menatap api unggun.
"Kurasa bukan itu maksudmu,"
Ia berkata dengan suara tegas dan ketus.
"Suling Emas, kau telah membunuh ayah bundaku. Sekarang kau pura-pura menolongku, tentu dengan maksud tertentu yang.. yang tidak baik"
Suling Emas mengangguk-angguk, tetap memandang api, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar ini.
"Hemmm.. itukah sebabnya mengapa kalian bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata rahasia kepadaku di hutan itu.."
Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di dalam hutan itu. Benar-benar orang aneh dan lihai sekali, Akan tetapi ia tidak takut.
"Memang betul. Biarpun kau berkepandaian tinggi, karena kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah sekarang juga aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus menebus kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang akan mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam"
Sian Eng meloncat bangun dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh besarnya walaupun ia cukup maklum bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini. Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar, menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian jidatnya itu.
"Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian, tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana tempat tinggalnya?"
Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya tadi mengendur,
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi.. tapi.. sebelum meninggal, Ibu bilang.. tentang pembunuh itu.. menyebut-nyebut tentang suling.."
"Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh orang, siapapun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak biasa menyangkal perbuatannya, tidak biasa bersikap pengecut, berani berbuat harus berani bertanggung jawab."
Biarpun Suling Emas tidak menengok dan masih memandang api namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu keluar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang itu dengan bingung.
"Kalau bukan engkau, siapa..?"
Pertanyaan ini keluar dari bibirnya tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui bibirnya.
"Bukan aku"
Jawab Suling Emas pasti.
"Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu."
Sian Eng percaya.
Andaikata orang ini yang membunuh orang tuanya, kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya menjadi agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, karena kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Kedua, ia sudah ditolongnya terlepas daripada bahaya maut di tangan orang-orang Khitan. Ke tiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan daripada bahaya maut di tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas pembunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka, bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat membingungkan?
"Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi.."
"Lin-moi? Siapa?"
"Adikku.."
"Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu."
Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah menjadi penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.
"Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami.."
"Jenderal Kam?."
Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh.
"Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Teruskanlah."
Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok sampai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok dalam keadaan mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah urusan kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas. Panjang ceritanya, memakan waktu seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga kadang-kadang Sian Eng meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang pohon atau kepada sebuah patung.
"Begitulah, kami bertiga berangkat meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka."
Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma untuk bertanya tentang kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh Suma Boan.
"Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko."
Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.
"Tak perlu gelisah. Dia selamat."
"Bagaimana kau tahu?"
Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu.
"Ah, tentu kau telah menolongnya pula, bukan?"
"Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat, luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu, kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas daripada bahaya. Kalian bertiga sungguh tak tahu diri.."
Sian Eng mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.
"Kau sudah menolong kami, patut aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau menolong kami apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah tiga orang yang tak tahu diri?"
Suling Emas bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia membanting ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya seperti orang marah,
"Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum diketahui siapa. Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana seandainya bertemu dengan orang yang membunuh ayah bundamu?"
Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan dengan kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapapun juga, ia tetap tidak menjadi jerih.
"Kalau bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan mengajaknya bertanding mati-matian"
Sian Eng menjawab dengan suara lantang. Suling Emas mendengus.
"Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil.."
Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapapun jugat ia memang merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap begitu alim, pendiam dan serius.
"Memang aku anak kecil, biarlah, memang tidak setua engkau,"
Kata-kata ini untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Suling Emas menoleh, agak tersenyum dan aneh sekali. Mendadak saja kemarahan Sian Eng lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi"
"Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko?"
"Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang, kau bilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka sekali?"
Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai berdebat dan andaikata di situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
"Tak perlu kau marah-marah kepadaku,"
Akhirnya ia berkata.
"kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah."
Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata.
"Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mati"
Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song.
"Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku."
"Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?"
Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
"Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah."
Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun. Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu periahan untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.
"Daging hangus.."
Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu dan membaliknya. Suara senandung menghilang.
"Wah, aku lupa.., Rusakkah dagingnya?"
Suling Emas sudah mendekat.
"Tidak, hanya hangus sedikit.., Pakaian itu.. punya siapa?"
"Kau pakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana."
Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya. Tak mungkin, Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah masak.
"Dagingnya sudah matang"
Ia berteriak pada punggung yang lebar itu. Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas, kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.
"Ini jubahmu, terima kasih,"
Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam. Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.
"Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,"
Katanya singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas. Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius,
"Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan"
Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan.. hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya.
Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biarpun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang. Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andaikata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat.
Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan. Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.
Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik,
"Dia.. Suling Emas.."
Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.
"Harap para Losuhu sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja."
"Omitohud.. tentu saja, Taihiap. Silakan masuk, Nona.. dan anggaplah di sini sebagai tempat tinggalmu sendiri,"
Kata hwesio tua itu dengan ramah tamah.
"Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?"
"Terima kasih, Losuhu. Saya masih mempunyai banyak urusan."
Kemudian ia menoleh kepada San Eng dan berkata.
"Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang aman, dan dengan bantuan para Losuhu di sini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah."
Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.
Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala hwesio yang gendut peramah itu.
"Losuhu, dia itu.. Suling Emas itu.. orang macam apakah dia?"
Pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali. Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.
"Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng sendiri. Tapi, siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu seorang pendekar besar yang berwatak aneh, kalau sedang menolong orang bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berpihak kepada yang benar biarpun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti, Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja."
Lega hati Sian Eng, sungguhpun keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu kepadanya. Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya. Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia.
Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada Suling Emas. Di bagian depan telah kita ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan penuh harapan melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena memang amat ingin ia bertemu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh dari Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara Suma-kongcu dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada di gedung perpustakaan istana. Kita ikuti kembali perjalanan mereka berdua. Mereka telah berhasil melarikan diri dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota raja, dan melanjutkan perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan seenaknya, bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman seakan-akan tidak ada bahaya sesuatu yang mengintai.
Memang Lin Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum berpengalaman, maka ia pun enak saja melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong. Gadis yang masih hijau ini sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam. Adapun Lie Bok Liong, dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang pengalaman, biasanya amat hati-hati, waspada dan berpandangan luas dan jauh, berwatak jujur dan berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu, hatinya rusak, kacau-balau oleh juita di sampingnya. Sudah dua kali ia menempiling jidatnya sendiri karena timbul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin. Malam terlalu indah, bulan terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik jelita. Bok Liong berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan perasaan mawut (berantakan), maka ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia sendiri menjadi kurang hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia menjadi terlampau indah baginya sehingga sementara itu ia lupa akan bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan dari segenap penjuru.
Biarpun Suma Boan atau Suma-kongcu tidak mengejar sendiri karena ia maklum bahwa menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang diri saja ia tidak akan menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu tidak membiarkan penghinaan terjadi di rumahnya begitu saja. Ia diam-diam menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kai-pang dan tak lama kemudian, para tokoh perkumpulan pengemis yang kebetulan berada di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana penghadangan terhadap Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis lihai yang kebetulan dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera membawa teman-temannya melakukan pengejaran. Yang pertama adalah ketua dari perkumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang). Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya sudah putih semua dan senjatanya sebatang tongkat baja.
Selain lihai sekali ilmu tongkatnya, juga ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut bulu harimau. Sebetulnya senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi racun, siapa terkena akan menjadi gatal-gatal yahg menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir dengan kematian yang mengerikan. Hui-houw-pangcu pergi melakukan pengejaran bersama barisannya yang paling ia banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan Terbang). Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi dan yang khusus dilatih untuk membentuk Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini, biarpun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai, namun ia yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan dapat menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.
Tangan Geledek Eps 35 Bu Kek Siansu Eps 25 Suling Emas Eps 35