Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 10


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya bersembuny di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya! Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus,

   "Siapa di luar?"

   "Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba memeriksa di dalam!"

   Terdengar jawaban dari luar.

   "Masuklah, daun pintu tidak dikunci,"

   Jawab Si Nenek dengan tenang!

   Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia, melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.

   "Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?"

   Tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan menodong nenek itu! Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu berkata,

   "Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar."

   Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal memberi hormat dan setelah melempar pandang mata marah sekalilagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.

   "Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti pek-humu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan."

   "Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!"

   Kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela kamar itu.

   Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi! Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San.

   Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau dibunuh! Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat! Setengah malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini, di ruangan terbatas, ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.

   "Aku tidak bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!"

   "Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!"

   Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.

   "Rrrrtt.... cring-cring....!"

   Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke samping secara aneh dan tak terdaga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali kepandaiannya.

   Kembali Han Ki terkena pukulan-pukulan, bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam para pangerayoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya, dia hanya terluka dan belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan empat orang pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tubuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah Siangkoan Lee murid Suma Kiat yang tergores pedang dadanya sehingga kulit dadanya robek berdarah! Akan tetapi kehilangan darah dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung.

   Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sinkangnya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi, pingsan! Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggauta keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukuman gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu "enak"

   Bagi Han Ki yang dibencinya!

   Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang Istana, dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia menahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya! Dalam keadaan pingsan dan terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal. Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apalagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan daripada penderitaan batin akibat kasih tak sampai.

   Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya yang tentu dianggap mengacau Istana dan dianggap berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia merasa menyesal sekali. Betapapun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat "mematikan rasa"

   Sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderlita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datangnya maut dalam bentuk apapun juga.

   Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh dan hebat, dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang ia tinggalkan di tengah jalan. Ketika Menteri Kam Liong dan muridnya, Panglima Khu Tek San meninggalkan Istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, membuat hati guru dan murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak enak, mereka berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan tergesa-gesa. Dia ingin segera sampai di rumah dsn menegur puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan Istana bersama Maya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran isterinya mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang!

   "Apa....? Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!"

   Panglima ini berkata dengan suara keras.

   Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguhpun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak. Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya. Akan tetapi, malam itu ternyata terjadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul, karena waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal!

   Tentu saja ia terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi. Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya? Tiada jalan lain bagi Panglima Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong. Seperti telah diduganya, gurunya telah mendengar perihal Han Ki di Istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia, dan kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut kedatangan Tek San dengan muka gelisah.

   "Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan.... ah, betapapun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?"

   "Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu...."

   "Apa....?"

   Menteri tua itu menjadi terkejut.

   "Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok, akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman Istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk. Menteri Kam Liong mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar gurunya berkata lirih,

   ".... mengapa.... mengapa....?"

   Dan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa keturunan keluarga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?

   "Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan bertanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap, sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan."

   Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata,

   "Harap Suhu tunggu saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang menyelidiki ke sana dan melihat keadaan."

   Menteri Kam Liong mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak mungkin karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat. Kalau membantu berarti ia terancam bahaya bermusuhan dengan istana! Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan dalam penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani turun tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan dan dijebloskan kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk membuat laporan. Menteri Kam Liong mengurut jenggotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih,

   "Aku harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diriku...."

   "Suhu....!"

   Tek San berseru kaget. Menteri Kam Liong memandang muridnya yang setia.

   "Tek San, engkau muridku yang amat baik, seperti keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan turunan? Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Tentu saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengampuni Han Ki, akan tetapi apabila tidak berhasil, aku akan mempergunakan kekerasan membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar lenyap di luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kau pulanglah!"

   Dengan hati berat dan penuh kekhawatiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu mengundurkan diri.

   Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gurunya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya menolong! Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya yang disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu! Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke taman istana sampai tertawan. Ketika gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini.

   "Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang dilaksanakanbesok. Si Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar sehingga, Han Ki tak dapat diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama dia menyusul ayahku di Go-bi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Adapun tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan diri saja setelah keributan yang kusebabkan mereda."

   Tek San kaget sekali.

   "Akan tetapi.... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?"

   "Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa, orang-orang Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada malam hari itu.

   "Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok!"

   Kam Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia tidak ragu-ragu akan keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini, mereka bukan melakukan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya.

   "Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu."

   "Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apalagi melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan membantu Suhu. Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok."

   "Akan tetapi.... keluargamu?"

   "Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan."

   "Tapi.... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai...."

   "Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biarpun kekuasaan Suhu lebih besar daripada teecu, karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada seorang panglima daripada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini untuk mengatur siasat malam nanti."

   Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya, dengan isterinya yang berwajah pucat dan mata merah, karena terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!

   Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam, dan Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam, mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat, tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk. Akan tetapi dia mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali sehingga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!

   "Gu Toan,"

   Kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu.

   "Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat."

   "Hamba mengerti, Taijin."

   "Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan engkau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepat-cepat memberi kabar ke Go-bi-san, kau carilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?"

   Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala.

   "Nah, kau berkemaslah,"

   Kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian setia.

   Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai hampir pagi. Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang berkelebat keluar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu. Setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan.

   Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang,
(Lanjut ke Jilid 10)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah. Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka dan kalau kebetulan ada yang melihat tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang manusia. Mereka mengenakan pakaian ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka. Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya.

   Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas sehingga biarpun pakaiannya adalah pakaian menteri, namun karena ringkas sederhana ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw! Adapun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit tebal di bagian bahu, dengan dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa! Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi dan agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apalagi dengan pakaiannya yang berat itu kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah.

   Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke bangunan penjaga di belakang istana yang terjaga ketat. Tepat seperti yang diduga dan diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas. Sebagian lagi melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan, menjaga sannbil main kartu. Melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, mereka terkejut, akan tetapi mereka tidak jadi menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.

   
"Maaf.... hamba.... hamba tidak tahu...."

   Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.

   "Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!"

   Kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.

   "Bu.... buka pintu.... tapi.... hamba tak boleh...."

   Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.

   "Aku memerintahkan, dan di sini hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet?"

   Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.

   "Maaf.... hamba tidak membantah, Ciangkun.... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe...."

   "Bukalah!"

   Kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap daripada suara Khu-ciangkun.

   "Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab."

   Mendengar ini, penjaga itu tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas. Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja.

   Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh "pulas"

   Di tempatnya. Setelah melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan! Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat.

   Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget. Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.

   "Plak!"

   Panglima muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.

   "Tek San! Cepat, kau pondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!"

   Menteri Kam yang biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sikapnya meloncat ke depan, sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari tangannya yang. kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas dan pada saat itu, terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar pintu kamar tahanan.

   "Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!"

   Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana.

   Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!

   "Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga!, Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!"

   "Tek San, ikuti aku!"

   Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas!

   Dengan gerakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri. Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini, makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri! Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali.

   Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata dan di antara tujuh buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan pemiliknya! Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka. Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya sambaran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.

   "Trangggg, tringg.... cringggg....!"

   Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedangkan para panglima pengawal lainnya terhuyung ke belakang.

   "Tek San, bawa dia lari, aku menjaga di belakang!"

   Menteri Kam Liong berteriak sambil memutar suling emasnya menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal. Karena maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya dan kalau mereka tidak cepat-cepat dapat keluar dari kota taja tentu mereka terancam bahaya hebat, Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan, karena Tek San mengerti benar bahwa apabila pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar deri kota raja!

   Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sungkan karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak, demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayahnya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok yang hendak mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.

   Melihat betapa orang-orang yang dibencinya dapat lolos keluar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu keluar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pesukan, juga memerintahkan agar pasukan-pasukan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan keluar dari kota raja! Sementara itu, dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jumlahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, mengamuk sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam Liong benar-benar meangamuk, bahkan hanya untuk membela diri namun terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para pengeroyok tanpa mengenal ampun lagi.

   "Suma Kiat! Jika kau tidak ingin melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!"

   Bentaknya berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.

   "Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa!"

   Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi. Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak rendah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan terakhir dan keluarganya.

   "Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kau bebaskan!"

   Teriaknya pula. Akan tetapi, baik Suma Kiat maupun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah mengurungnya dengan ketat.

   "Tek San! Lari....!"

   Kam Liong berteriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat. Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi korban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas yang amat kuat itu. Kesemuanya ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.

   "Wirrr.... wirrr....!"

   Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang, kanan dan kiri ke arah tiga orang pelarian itu. Namun, pedang di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis sambil berlari terus menuju ke selatan karena mereka bermaksud melarikan diri keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Akan tetapi, dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghujankan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha melarikan diri dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.

   "Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!"

   Kam Liong berkata kepada muridnya.

   "Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan!"

   Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.

   "Suhu....!"

   Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.

   "Hemm, bicaralah!"

   Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.

   "Cet-cet cettt....!"

   Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.

   "Keparat!"

   Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka "termakan"

   Piauw mereka sendiri.

   "Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!"

   Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.

   "Jangan cerewet! Cepat lari!"

   Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.

   "Kejar...."

   "Tangkap....!"

   "Bunuh mereka semua....!"

   Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San! Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.

   "Tring-tranggg....!"

   Khu Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.

   "Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat!"

   Tek San membentak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.

   "Cringgg....!"

   Dua batang pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.

   "Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!"

   "Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!"

   Khu Tek San berseru marah dan menyerang.

   Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali. Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.

   "Tranggg....!"

   Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.

   "Cett!"

   Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.

   "Keparat, hendak lari ke mana kau!"

   Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Jarum-jarum ini kalau dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!

   "Trik-trik!"

   Dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.

   "Suhu, awas...."

   Siangkoan Lee berseru dan Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima, menghadang menteri sakti ini, membantu muridnya.

   "Tek San, lari....!"

   Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu. Biarpun dihadang, dikepung dan dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pengawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika para penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu,

   Diam-diam sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada Menteri Kam Liong, merasa berduka dan gelisah sekali. Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap pemberontak dan malapetaka besar akan menimpa keluarga mereka. Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orapg perajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!

   "Tek San, saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!"

   Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan.

   Sambil mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima lalu memasuki terowongan pintu gerbang. Menteri Kam Liong juga sudah terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang perajurit pengawal, akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan kipasnya ketika menangkis lima pedang sekaligus, mematahkan semua pedang akan tetapi daun kipasnya terobek. Biarpun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan "tercuci"

   Darah puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai.

   Akan tetapi, karena kini ia bergerak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya, Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki. Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi, muridnya belum begitu tua mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu. Setelah merobohkan tiga orang penjaga lagi, yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang.

   Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya berkunang. Adapun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan. Apalagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan paling hebat ini, biarpun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain,

   Namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di beberapa tempat dan, seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur. Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut. Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan.

   Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan selama ini. Guru dan murid itu tidak pernah putus asa, apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. Dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya baagi mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat. Akan tetapi, Kam Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat.

   Biarpun sudah terluka dan merasa jerih untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu gerbang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk naik ke atas pintu gerbang, di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti saat baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba. Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.

   "Tek, San awas anak panah....!"

   Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat memperingatkan muridnya.

   Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil, menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!

   "Suhu....!"

   Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan. Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentallebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh.

   Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee! Pada saat itu, Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.

   "Ayahhhh....!"

   Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.

   "Pek-hu....!"

   Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir menembus punggung. Akan, tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dah Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang.

   

Cinta Bernoda Darah Eps 18 Mutiara Hitam Eps 31 Cinta Bernoda Darah Eps 3

Cari Blog Ini