Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 31


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



"Suling Emas.."

   Seruan ini keluar dari mulut Thai-lek Kauw-ong, dan semua kakek itu terkejut seperti disambar kilat. Terutama sekali Bouw Lek Couwsu yang mendengar suara ribut-ribut di sekeliling markasnya, tanda bahwa di luar terjadi perang hebat. Suling Emas tidak mempedulikan empat orang kakek itu yang menatapnya dengan mata terbelalak dan sikap gentar. Ia melirik dan dengan ujung matanya menyapu keadaan para tawanan. Pandang matanya mencari-cari, kemudian bertemu dengan pandang mata Kiang Liong.

   "Di mana Mutiara Hitam..?"

   Tanyanya, suaranya tenang halus, seperti sikapnya.

   "Dia dibawa pergi Suma Kiat, putera Sian-toanio.."

   Kiang Liong menunjuk dengan pandang matanya ke arah mayat Kam Sian Eng.

   Sejenak pandang mata Suling Emas menuju kepada muka Kam Sian Eng yang sudah mati, muka yang cantik dan tersenyum aneh. Sedetik Suling Emas memejamkan mata, seperti terkejap. Yang menggeletak tak bernyawa itu adalah adik tirinya. Kemudian kaki kanannya dibanting perlahan dan.. gunting besar milik Bu-tek Siu-lam terbang dari lantai menuju tangannya. Suling Emas menyambar gunting dan terdengar bunyi nyaring dua kali ketika gunting menyambar belenggu kaki tangan Kiang Liong. Suling Emas melempar gunting ke atas lantai sambil berkata,

   "Pergi kau kejar dan ambil kembali Mutiara Hitam."

   "Baik, Suhu"

   Kiang Liong menyambar gunting dan menggunting pula belenggu Yu Siang Ki, kemudian berkelebat pergi meninggalkan gunting kepada Siang Ki, yang kini sibuk membebaskan teman-temannya. Suling Emas menjura kepada Thai-lek Kauw-ong,

   "Kauw-ong, selamat berjumpa kembali. Agaknya sahabat-sahabat ini adalah Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lomo. Sayang bahwa Sam-wi (Tuan Bertiga) terperosok rendah mengabdi orang Hsi-hsia."

   "Suling Emas, jangan sombong. Kamu kira dapat menangkan kami berempat?"

   Bouw Lek Couwsu berseru dan tongkat kuningan di tangannya sudah bergerak menyerang Suling Emas, disusul gergaji di tangan Pak-sin-ong yang bertemu musuh lamanya. Dahulu ia gagal mengacau di Khitan karena Suling Emas, maka sekarang ia hendak menggunakan kesempatan selagi ada teman-teman sakti, membalas dendam.

   "Suling Emas, hadapilah kematianmu"

   Bentaknya. Thai-lek Kauw-ong yang sudah mengalami kelihaian Suling Emas, membunyikan gembreng dan menerjang maju secara dahsyat. Demikian pula Siauw-bin Lo-mo, biarpun bertangan kosong, kini menerjang maju dengan pukulan tangan kanan sedangkan tangan lainnya siap dengan bumbung berisi racun. Suling Emas menggerakkan sulingnya. Hebat luar biasa gerakannya ini. Sinar kuning menyilaukan mata bergulung-gulung seperti naga bermain di angkasa, dan semua senjata lawan terpukul mundur. Namun ia dikurung rapat dan empat orang pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi.

   Tempat itu kurang luas untuk menghadapi pengeroyokan, apalagi di situ terdapat mayat Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suling Emas tidak mau menginjak mayat adik tirinya, maka terdengar suara melengking panjang dan sinar sulingnya menyambar dengan lingkaran-lingkaran besar. Ketika empat orang pengeroyoknya mundur, ia melesat keluar kamar. Tentu saja empat orang pengeroyoknya tidak membiarkan ia pergi dan cepat menyusul. Kiranya Suling Emas sudah menanti mereka di luar, di tempat yang iuas, sambil memalangkan suling di depan dada dan tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala. Sikapnya gagah bukan main dan biarpun usianya sudah setengah abad lebih, ia tampak gagah dan tampan, tubuhnya masih padat dengan sikap tegak berdiri, dadanya bidang.

   "Hyaaaahhh"

   Bouw Lek Couwsu memekik dan tongkatnya menyambar kepala Suling Emas yang hanya miringkan tubuh menghindarkan diri, namun sulingnya menyambar dengan totokan ke arah lambung Ketua Hsi-hsia ini. Dengan menyontekkan tongkat ke sampingf Bouw Lek Couwsu berhasil menangkisnya.

   Pada setengah detik berikutnya, gergaji Pak-sin-ong menyambar pinggang dan Suling Emas sudah menangkis dengan suling, berusaha menempel gergaji dengan sinkang, akan tetapi karena pada saat itu Thai-lek Kauw-ong sudah menghimpitnya dengan sepasang gembreng yang amat berbahaya itu, terpaksa Suling Emas melepaskan sulingnya dan meloncat ke belakang membiarkan gembreng lewat, siku kirinya menotok pergelangan tangan Bouw Lek Couwsu yang hendak menyerang sehingga kakek ini meloncat ke samping, kemudian Suling Emas sudah meloncat lagi ke depan, selagi Thai-lek Kauw-ong belum menarik kembali gembrengnya pendekar sakti ini sudah memukulkan suling ke arah kepala. Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak mau kepalanya dipecahkan suling, cepat menghindar.

   Suling Emas sekali lagi meloncat ke belakang karena tangan Siauw-bin Lo-mo sudah memukulnya dengan jari tangan miring yang kalau mengenai iganya dapat mematahkan tulang iga. Pertandingan terjadi makin seru dan cepat. Gerakan Suling Emas indah sekali, indah dan cepat namun karena empat orang pengeroyoknya juga bukan orang-orang biasa, ia kalah cepat dan terpaksa bertubi-tubi menangkis serangan yang datang bergantian bagaikan hujan lebatnya. Setelah pendekar sakti ini mainkan ilmunya, Hong-in-bun-hoat, sulingnya mencorat-coret huruf-huruf sakti di udara barulah dia dapat mematahkan semua serangan dan dapat mengimbangi gencarnya serangan, sungguhpun ia masih belum dapat membalas serangan.

   Sementara itu, di luar terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya melawan orang orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah. Pasukan Khitan ini memang mencari Pangeran Mahkota mereka dan akhirnya dapat menyerbu ke markas Hsi-hsia. Akan tetapi agaknya mereka takkan berhasil kalau saja tidak bertemu dengan Suling Emas di luar hutan. Suling Emas yang memimpin mereka memasuki markas tanpa diketahui sehingga mereka dapat menyerbu secara mendadak. Karena jumlah mereka lebih banyak dan karena pasukan Khitan ini lebih berpengalaman dalam perang, maka pihak Hsi-hsia segera terdesak hebat dan banyak jatuh korban.

   Sementara itu, Siang Ki telah berhasil membebaskan Hauw Lam, Talibu, dan Mimi. Setelah mereka beristirahat sebentar untuk memulihkan jalan darah yang membeku karena terlalu lama dibelenggu, mereka lalu keluar dari kamar tahanan yang menyeramkan dengan adanya mayat Bu-tek Siu-lam yang terpotong-potong. Mereka siap membantu Suling Emas, bahkan Pangeran Talibu sendiri cemas melihat ayah kandungnya dikeroyok tadi. Akan tetapi hatinya lega mendengar teriakan-teriakan pasukannya, teriakan-teriakan itu adalah tanda bahwa pihak pasukannya berhasil mendesak dan menang. Ketika mereka tiba di luar, hati mereka makin lega. Kiranya Suling Emas kini bukan hanya seorang diri menghadapi pengeroyokan empat musuh, melainkan dibantu seorang kakek tua renta yang cebol berkepala besar dan tertawa cekikikan.

   Yang paling girang hatinya adalah Hauw Lam karena ia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah kakek aneh luar biasa Bu-tek Lo-jin yang men jadi gurunya hanya untuk beberapa hari lamanya. Pak-sin-ong dan Thai-lek Kauw-ong mengeroyok Suling Emas, adapun Siauw-bin Lo-mo dan Bouw Lek Couwsu mengeroyok Bu-tek Lo-jin. Baik Bu-tek Lo-jin yang hanya memegang sebatang ranting kecil maupun Suling Emas yang bersenjatakan suling dapat mendesak kedua pengeroyok masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, serombongan hwesio jubah merah yang mendengar tanda bahaya yang dikeluarkan Bouw Lek Couwsu, sudah datang dengan senjata di tangan untuk mengeroyok dua orang pendekar sakti itu.

   Mereka ini jumlahnya ada dua puluh orang, murid-murid pilihan yang terpaksa meninggalkan peperangan yang terdesak untuk membantu dan membela guru mereka. Melihat munculnya hwesio-hwesio jubah merah ini, Yu Siang Ki dan Hauw Lam segera meloncat maju menerjang dengan senjata golok yang mereka temukan di luar kamar tahanan. Juga Pangeran Talibu tidak mau ketinggalan. Pangeran ini sudah mengambil sebatang pedang seperti juga Puteri Mimi, dan kedua orang muda bangsawan yang pandai ilmu silat ini pun lalu menyerbu dan membantu Siang Ki dan Hauw Lam. Sebagian dari hwesio-hwesio itu menyambut serbuan empat orang muda, akan tetapi sebagian besar membantu Bouw Lek Couwsu. Melihat datangnya banyak hwesio jubah merah yang otomatis mengeroyok kakek cebol, Suling Emas menjadi marah.

   Ia membuat gerakan panjang, gulungan sinar suling melibat bayangan Thai-lek Kauw-ong yang sungguh luar biasa. Kauw-ong kaget, merasa betapa sinar itu mengandung hawa dingin yang tajam melebihi pedang. Untuk menjaga diri, Kauw-ong lalu berputaran seperti gasing, sepasang gembrengnya menjadi sinar yang membungkus tubuhnya. Akan tetapi, ia kena diakali Suling Emas yang memang hanya menggertak saja. Setelah kakek raksasa yang amat lihai itu berputaran, tiba-tiba Suling Emas mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian kepada Pak-sin-ong. Tubuhnya berkelebat, sulingnya melengking bagaikan sinar kilat menyambar ke arah Pak-sin-ong. Kini Pak-sin-ong tidak ada pembantu karena sahabatnya sedang berputaran seperti gasing. Terpaksa ia menangkis dengan gergaji di tangan kanan sedangkan tali pancingnya menyambar ke arah kaki Suling Emas.

   "Cringg.. krekkkk"

   Gergaji itu patah-patah menjadi beberapa potong. Pak-sin-ong hendak meloncat mundur akan tetapi alangkah kagetnya ketika gerakannya itu terhalang oleh tali pancingnya sendiri yang kini sudah melibat-libat tangan Suling Emas.

   Kiranya pendekar sakti itu telah menangkap pancingnya dan karena talinya diikatkan pada pinggang, Pak-sin-ong tak dapat melarikan diri. Ia menjadi nekat, membetot-betot tali pancing dan mengirim pukulan sambil tiba-tiba menubruk maju. Tubuh yang menubruk itu diterima dengan tusukan suling. Pak-sin-ong mengulur tangan menangkap suling. Gerakannya cepat dan tak terduga-duga sehingga suling itu dapat tertangkap. Mereka saling betot, adu tenaga. Namun Pak-sin-ong kalah kuat sehingga terpaksa mempergunakan kedua tangan melawan tangan kanan Suling Emas. Sambil tersenyum Suling Emas mempertahankan suling dengan tangan kanan, adapun tangan kirinya bergerak cepat, jari-jari tangan yang ampuh dan kuat itu satu kali menusuk ke arah pelipis lawan. Tanpa mengeluarkan suara Pak-sin-ong melepaskan suling dan roboh tak bergerak lagi.

   Ketika Suling Emas siap menghadapi Thai-lek Kauw-ong, ternyata Si Raja Monyet itu telah melompat jauh melarikan diri. Ia tidak mengejar, melainkan menyerbu ke depan membantu kakek cebol yang kini dikeroyok banyak sekali lawan. Para murid Bouw Lek Couwsu tentu saja semua mengeroyok Si Cebol ini untuk membantu guru mereka. Si Kakek Cebol benar-benar hebat luar biasa sehingga mengagumkan hati Suling Emas. Ia dapat menduga siapa adanya kakek ini, tentulah Bu-tek Lo-jin karena siapa lagi di dunia ini ada tokoh sakti memiliki tubuh seperti kanak-kanak dan kepala besar seperti raksasa? Memang kini sudah kelihatan tua sekali sehingga kalau melihat mukanya orang yang pernah bertemu akan menjadi pangling, akan tetapi melihat potongan tubuh dan kepalanya, melihat sikapnya yang ugal-ugalan mudah saja menduga siapa tokoh ini.

   "Locianpwe Bu-tek Lo-jin, terima kasih atas bantuan Locianpwe"

   Kata Suling Emas sambil menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo.

   "Heh-heh-heh. Suling Emas, siapa membantu siapa? Aku hanya ingin menghajar monyet-monyet gundul berpakaian pendeta ini"

   Dan..

   "brettt.. brettt.."

   Celana dua orang hwesio jubah merah robek dan putus tali kolornya. Tentu saja dua orang hwesio itu kededoran dan tersipu-sipu mundur untuk membenarkan celananya yang robek. Kakek cebol itu tertawa bergelak dan tubuhnya kembali berkelebatan di antara sinar senjata para pengeroyoknya yang amat banyak.

   "Hayo Bouw Lek Couwsu, lepaskan celanamu"

   Kembali kakek cebol itu tertawa dan menerjang. Ia tidak pedulikan para hwesio yang menghalanginya. Dengan lincahnya ia melejit dan menyelinap, tahu-tahu ia sudah berhadapan lagi dengan Bouw Lek Couwsu. Kalau tadi ia belum berhasil adalah karena selain Bouw Lek Couwsu sendiri amat lihai, kakek pemimpin Hsi-hsia ini dibantu pula oleh Siauw-bin Lo-mo. Kini menghadapi kakek cebol seorang diri, Bouw Lek Couwsu menjadi pucat dan marah. Tongkat kuningnya yang berat digerakkan menghantam tubuh Bu-tek Lo-jin.

   "Desss.."

   Dan Bouw Lek Couwsu melongo. Jelas tadi ia melihat tongkatnya secara tepat menyambar tubuh cebol itu, akan tetapi mengapa kini hanya tanah saja yang dihantamnya dan ke mana perginya Si Cebol? Tiba-tiba terdengar bunyi kain robek dan Bouw Lek Couwsu cepat membalikkan tubuh karena merasa tubuh belakangnya dingin. Kiranya Bu-tek Lo-jin sudah berdiri di belakangnya dan ketika Bouw Lek Couwsu meraba tubuh belakang, celananya di bagian belakang sudah robek lebar sekali sehingga nampak buah pantatnya yang besar menghitam.

   "Ha-ha-ha-ha, persis pantat monyet, ha-ha-ha,"

   Bu-tek Lo-jin tertawa terbahak-bahak. Bouw Lek Couwsu marah bukan main. Murid-muridnya sudah mengurung dan mengeroyok lagi kakek cebol itu dan seorang murid datang membawa celana baru yang cepat dipakai oleh Bouw Lek Couwsu. Kemudian sambil menggigit bibir saking marahnya, ia memutar tongkatnya lagi menerjang Si Kakek Nakal.

   Pertandingan antara empat orang muda melawan para pendeta jubah merah juga berjalan seru. Para pendeta itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu yang merupakan pengawal pribadi, maka kepandaian mereka cukup tinggi. Kini bermunculan pasukan pengawal. Hsi-hsia yang membantu sehingga empat orang muda itu harus bekerja keras. Banyak sudah orang Hsi-hsia roboh oleh pedang mereka, akan tetapi jumlah pihak lawan makin banyak. Betapapun juga, dengan enaknya Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam mempermainkan dan membabati mereka karena tongkat ilmu kepandaian dua orang muda ini jauh lebih tinggi. Puteri Mimi di samping Talibu sudah mundur karena Sang Pangeran terlalu lelah oleh luka-lukanya. Dia dibimbing Puteri Mimi yang siap melindunginya.

   Tadinya Talibu tidak mau berhenti dalam bertanding melawan musuh, akan tetapi Yu Siang Ki yang melihat betapa gerakan Pangeran ini lemah dan tidak tetap, bahkan wajahnya pucat sekali, maka ia lalu memutar senjata memberi jalan keluar kepada Pangeran ini, minta supaya Sang Pangeran mengaso dijaga Puteri Mimi. Siauw-bin Lo-mo repot sekali menghadapi Suling Emas. Tiga kali ia dibikin jungkir-balik oleh suling di tangan lawan. Untung ke tiga kali itu ia cukup cepat sehingga hanya mengalami jungkir-balik dan babak belur, kalau ia kurang cepat sedikit saja, tentu nyawanya telah melayang. Karena maklum bahwa ia bukan tandingan Suling Emas yang luar biasa saktinya, tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak, tangan kirinya membanting bumbung, juga tangan kanannya meraih bola yang bergantungan pada pinggangnya.

   Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan tanpak asap bermacam-macam warnanya mengebul memenuhi tempat pertandingan itu. Bouw Lek Couwsu berseru memberi peringatan kepada anak buahnya yang lari cerai-berai, namun terlambat sedikit. Lebih dari sepuluh orang Hsihsia dan pendeta jubah merah roboh berkelojotan, ada yang terkena besi, ada yang menghisap asap beracun. Pangeran Talibu dan Puteri Mimi yang mengaso di emper bangunan, dari jauh melihat betapa setelah membantingi bahan-bahan peledak dan asap beracun, Siauw-bin Lo-mo roboh telentang. Akan tetapi mereka tidak melihat di mana adanya Suling Emas, Bu-tek Lo-jin, Yu Siang Ki, dan Tang Hauw Lam. Apakah mereka berempat juga sudah menjadi korban?

   Kiranya ketika terjadi ledakan-ledakan tadi, keadaan amatlah berbahaya sehingga orang-orang lihai seperti Siang Ki dan Hauw Lam sekalipun belum tentu dapat menyelamatkan diri karena mereka sedang menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdua berseru kaget, tubuh mereka terangkat dan terbang melayang ke atas genteng markas Bouw Lek Couwsu. Setelah memandang, kiranya Suling Emas yang menyambar tubuh Siang Ki dan Bu-tek Lo-jin yang membawa "terbang"

   Hauw Lam. Setelah dilepaskan di atas genteng, dua orang muda itu segera bertekuk lutut menghaturkan terima kasih. Bu-tek Lo-jin duduk di atas genteng, merangkul pundak Hauw Lam.

   "Heh-heh, kau lumayan, aku tidak kecewa. Apalagi permainanmu di depan Bouw Lek Couwsu dan sekutunya, hebat"

   "Berkat bimbingan Suhu,"

   Kata Hauw Lam merendah.

   "Heh, bimbingan apa? Aku tidak pernah mengajarmu bersyair"

   "Suhu telah datang, kenapa tidak cepat turun tangan tadi?"

   "Kenapa? Aku belum ada kegembiraan."

   "Bukankah tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya?"

   "Uuuhh, berani bermain api jangan takut terbakar. Berani bermusuhan jangan takut berkelahi dan berani berkelahi jangan takut mati. Perlu apa aku mesti tolong? Eh, Hauw Lam, syairmu tadi yang memuat teka-teki, mengapa kau begitu sembrono? Hatiku sampai berdebar tidak karuan. Bagaimana kalau kebetulan di antara mereka ada yang menebak tepat angka empat? Kau tentu kalah. Hauw Lam maklum bahwa gurunya ini memang ugal-ugalan, maka jawaban dan alasan tadi tidak ia masukkan hati.

   "Teecu (murid) takkan kalah, Suhu. Walaupun ada yang menjawab empat umpamanya, teecu akan salahkan dia karena jawabannya bukan empat."

   "Heeeii, bagaimana ini?"

   "Aah, ini hanya akal anak kecil, Suhu. Di dalam syair itu terdapat angka atau jumlah bermacam-macam. Kura-kuranya empat, emasnya satu, bulannya dengan bayangannya dua, tanggal purnama lima belas. Kalau sekalian angka-angka itu dikali, ditambah, dikurangi atau dibagi, bisa saja kita mencari bilangan dari satu sampai seratus. Tentu saja semua tebakan bisa teecu salahkan"

   Bu-tek Lo-jin mengerutkan kening berpikir-pikir, kemudian setelah mengerti duduknya persoalan ia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kalau begitu kau tipu mereka mentah-mentah"

   "Bukan menipu, Suhu, melainkan ini akal anak kecil. Hanya orang goblok dan tolol saja yang dapat diakali permainan kanak-kanak macam ini. Dan di dunia ini terlalu banyak orang tolol dan goblok."

   "Ha-ha-ha, orang-orang yang punya kedudukan tinggi bisa diakali. Kau lihat nanti, Hauw Lam. Aku tidak mau kalah denganmu. Kau lihat nanti bagaimana aku permainkan mereka dengan akal anak kecil juga. Lihat ini"

   Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin menggunakan jari kelingkingnya mengorek-ngorek ke dalam lubang hidungnya, mengeluarkan upil (tahi hidung) dan mengumpulkan lalu memelintir-lintirnya menjadi semacam pel.

   "Ah, terlalu sedikit,"

   Katanya tertawa.

   "Hayo kau keluarkan punyamu. Kau juga, Suling Emas, dan kau.. eh, jembel muda."

   Hauw Lam mengedipkan mata kepada Siang Ki agar pemuda itu suka memenuhi permintaan kakek itu. Akan tetapi tanpa diberi tanda juga Siang Ki tentu akan mentaatinya karena pemuda ini sudah cukup berpengalaman untuk mengenal seorang sakti yang aneh seperti Bu-tek Lo-jin. Tanpa ragu-ragu ia pun lalu mengorek lubang hidungnya. Suling Emas tersenyum kepada kakek nakal itu. Kalau dia mentaati permintaannya, berarti dia sudah kena dipermainkan juga, maka ia lalu mengambil kotoran tanah yang menempel di bawah sepatunya,

   "Bu-tek Lo-jin, dicampur dengan kotoran ini tentu lebih lezat rasanya,"

   Ia menyerahkan segelintir tanah kotor yang diambilnya dari bawah sepatu.

   "Ha-ha-ha, bagus, bagus. Memang tahi hidung saja kurang banyak,"

   Ia lalu menuding dan menghitung baju-baju merah di bawah.

   "Wah, ada dua puluh orang bersama Bouw Lek si tolol. Biar kutambah lumpur"

   Kakek ini lalu mengumpulkan tanah dari bawah kakinya, dicampur dengan tahi hidung yang ia terima dari Siang Ki, Hauw Lam, dan dia sendiri, ditambah pula dengan debu-debu yang menempel pada genteng. Karena debu-debu itu kering, ia lalu meludahinya, dan mengepal-ngepal campuran ini menjadi sekepal kecil yang warnanya tidak karuan, agak kehitaman, kemerahan dan abu-abu.

   "Asap sudah buyar, lihat, Pangeran dan Puteri kelihatan bingung kehilangan kita. Mari turun"

   Kata Suling Emas yang melayang turun, diikuti dua orang pemuda dan kakek nakal. Suling Emas lebih dulu mengambil sulingnya yang menancap di dahi Siauw-bin Lo-mo yang sudah tewas. Melihat empat orang ini melayang turun, Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bersorak dan lari menghampiri.

   Sorak-sorai terdengar keras sekali dan kini bermunculan perajurit-perajurit Khitan yang sudah berhasil menyapu bersih orang-orang Hsi-hsia. Bouw Lek Couwsu bersama sembilan belas orang murid pilihan kini berdiri bingung, dikurung di tengah-tengah. Pangeran Talibu mengeluarkan aba-aba kepada para perajurit yang segera mengurung tempat itu dan tak seorang pun di antara mereka berani turun tangan. Para perajurit ini bersorak girang melihat bahwa pangeran mereka dan Puteri Mimi dalam keadaan selamat, sungguhpun Pangeran Mahkota itu tubuhnya luka-luka. Seorang komandan pasukan cepat cepat maju menghampiri membawa sebuah jubah indah yang dikenakan pada tubuh Pangeran Talibu yang telanjang bagian atasnya. Kemudian komandan itu mundur lagi setelah memberi hormat. Dengan wajah keruh Bouw Lek Couwsu melangkah maju menghadapi Suling Emas dan teman-temannya.

   "Suling Emas, kau menggagalkan usahaku. Aku sudah kalah, mau bunuh lekas bunuh"

   Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu melempar tongkatnya ke atas tanah. Perbuatan ini diturut oleh anak muridnya yang semua melempar senjata ke atas tanah.

   Orang akan keliru kalau mengira bahwa perbuatan Bouw Lek Couwsu ini merupakan tanda sifat pengecut atau penakut. Tidak, sama sekali bukan begitu. Bouw Lek Couwsu tidak akan dapat menjadi pimpinan orang Hsi-hsia kalau ia penakut atau bodoh. Perbuatan ini malah membuktikan kecerdikannya. Ia tentu saja mengenal siapa Suling Emas. Seorang pendekar sakti yang bernama besar dan yang terkenal memiliki watak satria dan gagah. Seorang satria yang gagah perkasa tak mungkin sudi membunuh musuh yang tidak melawan lagi"

   Sedangkan kalau dia dan murid-muridnya melawan, tak dapat diragukan lagi dia dan murid-muridnya tentu akan binasa semua.

   "Bouw Lek Couwsu, kami tidak akan membunuhmu. Ketahuilah bahwa Kaisar Sung yang bijaksana tidak menghendaki permusuhan dengan bangsa apapun juga. Juga dengan bangsa Hsi-hsia tidak menghendaki permusuhan. Oleh karena itu kau kini melanggar wilayah Sung, maka Pemerintah Sung yang berhak memutuskan. Akan tetapi karena aku sudah tahu akan kehendak Kaisar, biarlah kekalahanmu ini menjadi pelajaran bagimu agar kelak kau tidak berani main-main dengan Kerajaan Sung maupun dengan Kerajaan Khitan. Kau pergilah pulang ke tempat asalmu"

   "Eh-eh-eh, nanti dulu"

   Tiba-tiba Bu-tek Lo-jin berkata sambil terkekeh.

   "Suling Emas, kau membebaskan mereka tanpa mengobati mereka, sama artinya dengan melepaskan kepala memegang buntutnya. Mereka kau bebaskan untuk mati, apa bedanya? Lihat, bukankah mereka semua menderita luka keracunan yang hebat dan tiada obatnya? Ini, lihat leher Bouw Lek Couwsu"

   Ia mendekati dan tangannya menunjuk ke arah leher.

   "Tentu Bouw Lek Couwsu tidak dapat melihat lehernya sendiri, tapi coba tarik napas dalam tidakkah terasa gatal dan sakit?"

   Bouw Lek Couwsu benar-benar menarik napas dalam dan ia kaget bukan main. Memang terasa gatal-gatal dan sakit. Sebagai seorang ahli ia berusaha menggunakan napas untuk memunahkan racun ini, namun makin dilawan makin sakit. Sementara itu, Bu-tek Lo-jin terus mendekati murid-murid Bouw Lek Couwsu, menuding sana-sini, ada yang lehernya sakit, ada yang punggungnya, pundaknya, pahanya pendeknya di mana kakek itu menuding, tentu di situ benar-benar terasa gatal dan sakit apabila dipakai menarik napas panjang. Ributlah mereka dan dua puluh orang itu menjadi cemas sekali.

   "Ha-ha-ha"

   Bouw Lek Couwsu, tahukah engkau luka apa dan racun apa yang bersarang di tubuh kalian semua? Inilah racun hebat yang tak mungkin dapat disembuhkan kecuali oleh obat yang dinamakan batu hitam dari guha kembar. Atau dengan cara lain, bagian yang kena racun itu dipotong. Kalau paha yang terkena, ya. pahanya dipotong, kalau punggung atau leher. yah, pinggangnya dan lehernya dipotong"

   Sepasang mata Bouw Lek Couwsu melotot marah, akan tetapi murid-muridnya menggigil ketakutan. Mana ada cara pengobatan macam itu? Pinggang atau leher dipotong berarti mati.

   "Suling Emas, apakah benar apa yang dikatakan tua bangka gila ini?"

   "Bouw Lek Couwsu, aku bukan seorang ahli tentang racun, akan tetapi harus diakui bahwa Locianpwe Bu-tek Lo-jin adalah seorang ahli tentang pukulan-pukulan beracun. Harap Couwsu suka bertanya kepada beliau."

   Bouw Lek Couwsu dengan sikap angkuh kini menghadapi kakek cebol yang tertawa-tawa,

   "Apakah omonganmu itu betul dan tidak omong kosong belaka?"

   "Heh-heh-heh, memang omong kosong? Apa sih isinya omongan? Tapi yang kosong berisi, yang isi itu kosong, bukan begitu Bouw Lek Couwsu? Kau menyebut aku gila sebetulnya tidak gila, kau yang menganggap diri tidak gila sebetulnya gila. Anjing bukan manusia dan manusia bukan anjing tapi manusia dan anjing sama. Luka-luka kalian adalah akibat dari getaran ledakan yang disertai asap beracun. Kami yang melompat ke atas tidak terkena, akan tetapi kalian yang berada di bawah, terkena tanpa kalian rasakan. Padahal andaikata kami di bawah dan terkena racun juga, tidak mengapa karena aku mempunyai obat pemunahnya. Kebetulan sekali di antara perbekalanku terdapat Pel Batu Sepasang Guha."

   "Omitohud.."

   Bouw Lek Couwsu menyebut nama Buddha, hatinya lega karena ancaman maut yang mencengkeram dia dan anak-anak muridnya ada obat penawarnya.

   "Bu-tek Lo-jin, kalau begitu pinceng mengharapkan kau suka memberikan obat itu kepada kami."

   "Tadi maki-maki sekarang minta-minta. Inilah watak manusia kalau membutuhkan sesuatu. Obat ini mencarinya juga bertaruhan nyawa. Sepasang guha itu tak seorang pun dapat memasukinya. Aku berani mempertaruhkan kepalaku kalau ada orang yang mampu memasuki sepasang guha itu. Hanya dengan kecerdikan luar biasa barulah batu hitam dikumpulkan sedikit demi sedikit. Dicampur dengan sari bumi dan debu angkasa. Bayangkan saja betapa sukarnya mendapatkan obat ini,"

   Bu-tek Lo-jin mengeluarkan sekepal "obat"

   Yang sudah ia bungkus kain kuning. Bouw Lek Couwsu mengilar sekali. Kalau ia tidak ingat betapa lihainya kakek cebol ini, tentu sekali pukul ia membikin mampus padanya dan merampas obatnya.

   "Lo-jin, sekali lagi pinceng mohon pertolonganmu. Kalau perlu dibeli, katakan saja berapa, pinceng akan sanggup menggantinya."

   "Heh-heh-heh, kita sudah saling bertanding, itu berarti kita sudah menjadi sahabat. Di antara sobat, mana ada jual beli? Akan tetapi karena kau sudah menghina sobat-sobatku yang lain, kalau sekarang kau dan semua muridmu mau berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali kepadaku, obat akan kuberikan dengan gratis"

   Tanpa dikomando lagi, sembilan belas orang, hwesio jubah merah itu serentak lalu berlutut ke arah Bu-tek Lo-jin dan mengangguk-anggukkan kepala seperti sekumpulan ayam bulu merah mematuk beras, berulang-ulang, tidak hanya tujuh kali, sampai puluhan kali. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tetap berdiri, mukanya pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Orang telah mempermainkan dan menghinanya di luar batas. Namun ia tidak berdaya melampiaskan kemarahannya.

   "Hemm, paling-paling pinceng akan mati kalau tidak dapat mengobati sendiri, akan tetapi seluruh dunia akan mendengar tentang perlakuan Bu-tek Lojin yang tidak patut"

   "Biarlah, mengingat bahwa engkau adalah seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia, sekali ini kubebaskan dari berlutut. Akan tetapi lain kali kalau engkau pilek atau masuk angin lalu datang minta obat kepadaku, engkau harus berlutut"

   Kata Bu-tek Lo-jin yang agaknya sudah puas mempermainkan mereka. Ia membuka bungkusan kain kuning, mengeluarkan sekepal "obat"

   Itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata seperti lagak penjual obat di pasar mendemonstrasikan obatnya.

   "Obat ini adalah obat paling manjur di dunia dan akhirat. Jangankan manusia sakit keracunan, bengek, mulas, pening dan lain-lain, bahkan dewa sekalipun dapat disembuhkan"

   Ia lalu membagi-bagi menjadi dua puluh butir, dan membagi-bagikan kepada Bouw Lek Cousu dan murid-muridnya sambil berkata.

   "Telan sekarang juga sebelum terlambat"

   Bouw Lek Couwsu menelan pel kemulutnya. Ia merasakan betapa "pel"

   Itu kasar dan agak asin, terus ditelannya. Demikian pula dengan murid-muridnya, tanpa ragu-ragu lagi telah menelan obat mustajab itu. Alangkah lega rasa hati mereka ketika kini mereka menarik napas panjang bagian tubuh yang keracunan itu tidak begitu nyeri lagi. Demikian pula dengan Bouw Lek Couwsu. Kini ia menarik napas panjang sambil mengerahkan sin-kang dan.. rasa nyeri lenyap. Mau tak mau ia jadi berterima kasih sekali lalu menjura kepada Bu-tek Lo-jin.

   "Omitohud, Lo-jin telah menyelamatkan nyawa pinceng dan para murid, sungguh merupakan budi besar. Nah, Cu-wi sekalian, sampai jumpa,"

   Ia menjura ke arah Suling Emas dan teman-teman, memungut tongkatnya lalu membalikkan tubuh, menyeret tongkat dengan lenggang angkuh, diikuti para muridnya. Atas isyarat Pangeran Talibu, para pasukan Khitan membuka jalan, membiarkan rombongan pimpinan Hsi-hsia ini lewat. Begitu mereka pergi, Bu-tek Lo-jin tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya, bahkan ia sampai bergulingan di atas tanah terbahak-bahak dan di antara suara ketawanya ia berkata,

   ".. lucu.. ha-ha-ha.. lucu"

   Mereka yang tidak mengerti, termasuk Pangeran Talibu dan Puteri Mimi, tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek ini memang betul gila. Akan tetapi Hauw Lam yang merasa bangga akan gurunya, segera bercerita dengan suara lantang, bahwa Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya tadi sama, sekali tidak terkena racun, melainkan terkena hawa pukulan tangan Bu-tek Lojin ketika menuding dan sama sekali tidak terancam maut,

   Karena akibat hawa pukulan itu hanya menimbulkan rasa nyeri sebentar saja. Bahwa "obat mustajab"

   Itu adalah upil (tahi hidung) yang dicampur dengan debu genteng dan tanah di telapak kaki. Orang-orang Khitan yang mengerti bahasa Han, lalu menterjemahkannya dalam bahasa Khitan kepada teman-temannya dan meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan Puteri Mimi sampai terpingkal-pingkal dan Pangeran Talibu tertawa geli. Yang membuat keadaan amat lucu adalah ketika mereka teringat betapa tahi hidung disebut batu hitam dari sepasang guha, tentu saja sepasang guha adalah sepasang lubang hidung dan tentu saja tidak ada manusia dapat memasuki lubang hidung. Dan sari bumi adalah kotoran di telapak kaki sedangkan debu angkasa adalah debu di atas genteng.

   Setelah suara ketawa mereda, Suling Emas lalu menyarankan kepada Pangeran Talibu agar bersama Puteri Mimi kembali ke Khitan dikawal oleh pasukan Khitan yang sebagian ditugaskan untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Di depan banyak orang, Suling Emas menyebut pangeran kepada puteranya itu. Pangeran Talibu tidak membantah, lalu mengajak Mimi naik kuda yang disediakan oleh pasukan Khitan, minta diri dari Suling Emas dan Bu-tek Lo-jin, berpamit secara hangat kepada Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam yang dipersilakan sewaktu-waktu datang ke Khitan, kemudian berangkatlah rombongan itu.

   Bu-tek Lo-jin lalu menarik lengan Hauw Lam, diajak menjauhi Suling Emas di tempat tersendiri untuk diajak bicara. Dengan singkat tapi jelas Hauw Lam menceritakan pengalamannya, pertemuannya dengan Mutiara Hitam, pengalaman mereka berdua, kemudian betapa berkat keterangan Mutiara Hitam, ia dapat bertemu dengan ibunya yang kini masih tinggal di istana bawah tanah karena tidak mau meninggalkan tempat itu. Bu-tek Lo-jin mendengarkan penuturan ini dan segera dapat mengambil kesimpulan bahwa muridnya "ada hati"

   Kepada Mutiara Hitam.

   "Eh, kau mencinta Mutiara Hitam?"

   Hauw Lam kaget, mukanya menjadi merah sekali.

   "Bagaimana Suhu tahu?"

   "Heh-heh, kau kira aku begitu tolol? Pembelaanmu di kamar tahanan, dan ketika kau bercerita setiap menyebut namanya, sinar matamu bercahaya. Hayo katakan, kau cinta dia?"

   Hauw Lam menghela napas,

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tak dapat teecu sangkal, Suhu. Teecu mencintanya, akan tetapi.. ah, seperti hendak menjangkau bintang, seperti kumbang merindukan matahari. Terlalu tinggi.."

   "Uaaahh"

   Siapa bilang? Biarpun hanya untuk beberapa hari, engkau murid Bu-tek Lo-jin. Gadis mana yang terlalu tinggi untukmu? Biar puteri Kaisar sekalipun, kalau aku yang melamar untukmu, akan diberikan. Kenapa kau tidak mengawininya? Dia ke mana?"

   Hauw Lam maklum akan sifat gurunya yang ugal-ugalan. Kalau saat itu Mutiara Hitam berada di situ, tentu akan diseret gurunya dan dipaksa menikah dengannya. Ia tidak mau terjadi hal seperti ini, maka ia menjawab.

   "Teecu sendiri tidak tahu, Suhu. Akan tetapi menurut penuturan ibuku, Mutiara Hitam itu sesungguhnya adalah Puteri Khitan, puterinya Ratu Khitan. Ibu tidak dapat menerangkan secara jelas duduknya perkara, tapi.."

   "Sudahlah. Kau pergilah ke Khitan, aku akan melamarnya dari tangan Ratu Khitan. Nah, sampai jumpa di Khitan"

   Kakek itu meloncat bangun, melambai ke arah Suling Emas, berseru.

   "Haii, Suling Emas"

   Aku pergi sekarang"

   Tanpa menanti jawaban ia sudah melesat jauh dan lenyap dari pandangan mata. Suling Emas yang sedang bercakap-cakap dengan Yu Siang Ki, hanya melambaikan tangan ke arah kakek itu. Ia sedang bicara dengan sikap sungguh-sungguh dan serius dengan pemuda itu.

   "Kau sendiri sudah kalah olehnya?"

   Suling Emas melanjutkan percakapan yang tertunda oleh teriakan Bu-tek Lojin tadi.

   "Betul, Locianpwe. Dia amat lihai,"

   Jawab Siang Ki yang tadi bercerita tentang Suling Emas palsu yang menantang-nantang Yu Kang Tianglo.

   "Dia tinggal di Lembah Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan-san, kau bilang tadi? Dan dia pandai menggunakan hui-to (golok terbang)?"

   "Benar, Locianpwe."

   Suling Emas mengangguk-angguk.

   "Hemm, urusan ini penting, harus kubereskan sendiri. Akan tetapi aku masih ada persoalan di kota raja. Siang Ki, sekarang kau buatlah surat, memakai nama Yu Kang Tianglo dan mengajukan tantangan kepada Suling Emas pada bulan depan tanggal lima belas di markas Khong-sim Kai-pang di Kang-hu."

   "Tapi, Locianpwe.."

   Yu Siang Ki tentu saja bingung mendengar perintah yang aneh ini.

   "Lakukan sajalah. Kalau dia datang sebagai Suling Emas biarlah aku yang menjadi Yu Kang Tianglo. Kita lihat saja nanti."

   Yu Siang Ki akhirnya menyanggupi dan menjura sambil berpamit. Pada saat itu Tang Hauw Lam juga datang berpamit hendak. melanjutkan perjalanan. Mereka berpisah. Suling Emas ke kota raja, Yu Siang Ki hendak mengerjakan perintah pendekar sakti itu, adapun Hauw Lam sebelum ke Khitan hendak menyampaikan kepada ibunya lebih dulu tentang maksud pelamarannya kepada Kwi Lan.

   Kwi Lan masih pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh Suma Kiat yang membawanya lari keluar. Pemuda ini meloncat ke atas seekor kuda dan terus mengaburkan kuda lari menuju ke selatan. Perang tanding telah terjadi dengan hebatnya namun Suma Kiat tidak mempedulikan semua itu. Ia membalapkan kudanya dan karena orang-orang Hsi-hsia sudah mengenal siapa pemuda ini maka mereka tidak mengganggunya. Perajurit-perajurit Khitan juga tidak menghalanginya karena pemuda yang membawa lari gadis pingsan itu tidak menyerang mereka. Satu dua orang yang mencoba-coba menghalangi, roboh oleh pukulan tangan kiri Suma Kiat. Akhirnya ia keluar dari tempat pertempuran dan terus membalap ke selatan.

   Setelah hari menjadi petang, berhentilah Suma Kiat di depan sebuah kuil tua. Kuil bobrok ini adalah kuil yang sudah kosong dan hanya dipergunakan mengaso dan bermalam mereka yang kemalaman di jalan. Kebetulan kuil itu kosong. Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan memasuki kuil. Baru saja ia menurunkan tubuh gadis itu di atas lantai, Kwi Lan mengeluh dan bergerak. Suma Kiat cepat menotok jalan darah gadis itu, membuat Kwi Lan yang sudah sadar tidak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lemas. Gadis itu membuka matanya dan teringatlah ia akan semua peristiwa yang dialami. Teringat betapa gurunya dikeroyok dan betapa ia membantu akan tetapi roboh oleh Thai-lek Kauw-ong yang lihai. Kemudian ia melihat cahaya api menerangi kegelapan. Ketika ia melirik, ia melihat Suma Kiat sudah menyalakan lilin.

   Agaknya para penghuni kuil yang kemalaman di jalan lupa membawa sisa lilin mereka dan kini dinyalakan oleh Suma Kiat. Kemudian pemuda ini mendekati Kwi Lan dan duduk di atas lantai, wajahnya keruh dan tampak lelah. Kwi Lan berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka karena baru saja ia tertotok di luar tahunya. Ia tahu bahwa suhengnya ini memiliki watak yang aneh, bahkan tidak normal seperti gurunya. Dan ia sama sekali tidak dapat menerka, apa yang hendak dilakukan pemuda ini terhadap dirinya, mengapa ia dibawa sampai ke tempat ini dan bahkan dibuat tak berdaya dengan totokan. Ia bergidik. Jatuh ke tangan suhengnya ini tidak kurang berbahayanya daripada jatuh ke tangan Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi Kwi Lan membesarkan hatinya dan bertanya, suaranya biasa.

   "Suheng.., bagaimana dengan Bibi Sian?"

   Tiba-tiba saja Suma Kiat menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka dalam pelukan lengannya. Sampai lama pemuda ini menangis, pundaknya bergoyang-goyang, sampai mengguguk. Mau tak mau Kwi Lan agak terharu juga. Betapapun juga, pemuda ini bersama-sama dengan dia sejak kecil dan kini ditinggal mati ibunya. Tanpa ia sadari, sepasang mata Kwi Lan juga mencucurkan air mata. Gurunya tentu sudah mati. Akhirnya tangis Suma Kiat terhenti. Kemudian ia mengangkat mukanya, memandang Kwi Lan dengan sepasang mata merah,

   "Ibu sudah meninggal dunia.."

   Katanya, suaranya parau.

   "Aku ditinggal seorang diri. Karena itu, engkau harus menolongku, Sumoi."

   "Tentu saja, Suheng,"

   Jawab Kwi Lan halus.

   "Sebagai adik seperguruan, tentu saja aku suka menolongmu. Tapi, kau bebaskan dulu aku dari totokan. Amat tidak enak bicara dalam keadaan begini."

   Tiba-tiba, seperti ketika menangis tadi, Suma Kiat tertawa bergelak,

   "Ha-ha-ha"

   Kau kira aku begitu bodoh? Membebaskanmu kemudian engkau menyerangku, ya? Ha-ha, Suma Kiat tidak begitu bodoh, Sumoi. Ha-ha"

   Sambil tertawa ha-ha-he-he, pemuda itu menowel paha Kwi Lan. Gadis ini bergidik. Benar gila suhengnya ini.

   "Aku tidak akan menyerangmu, Suheng. Aku berjanji takkan menyerangmu."

   "Ho-ho-ha-ha, kalau tidak menyerang tentu lari meninggalkan aku. Ha-ha, aku tidak bodoh. Tidak boleh kau meninggalkan aku. Ibu sudah pergi, engkau tidak boleh pergi. ibu sudah mati.. huu-huuukhuuuk.."

   Ia menangis lagi.

   "Ibu mati dan aku tidak bisa menjadi kaisar, menjadi pangeran pun tidak. Aaahhh, aku hanya punya engkau, Hanya engkau yang dapat menjadikan aku pangeran. Ahh, Sumoi, karena itu engkau tidak boleh meninggalkan aku dan terpaksa kutotok."

   "Apa maksudmu, Suheng? Menjadikan kau pangeran?"

   Kwi Lan bertanya, makin heran akan tetapi juga makin gelisah.

   "Tentu saja. Ibu pernah bilang bahwa kau adalah puteri Ratu Khitan. Kalau aku menjadi suamimu, berarti aku mantu Ratu Khitan, seorang pangeran. Kalau kelak aku tidak menggantikan ibumu, menjadi Raja Khitan, setidaknya aku menjadi pangeran. Maka engkau harus menjadi isteriku, Sumoi."

   Kwi Lan terkejut sekali. Celaka, pikirnya. Jalan pikiran orang gila ini aneh sekali. Bagaimana ia dapat lolos? Ia harus cerdik.

   "Ah, mana bisa, Suheng? Kau tidak mencintaku, aku pun tidak cinta kepadamu. Ingat, sejak kecil kita saling bertengkar saja mana mungkin menjadi suami isteri?"

   "Ha-ha-ha, siapa bilang aku tidak cinta padamu? Kau begini cantik manis, begini molek. Eh, Sumoi, tahukah kau bahwa setelah kita dewasa, seringkali aku rindu kepadamu? Engkau cantik jelita,"

   Suma Kiat membelai dagu wanita itu kemudian menunduk dan mencium pipinya. Kwi Lan bergidik. Celaka sekarang.

   "Ah, Suheng. Kau jangan bodoh. Kau tahu bahwa aku bukan seorang wanita yang mudah ditundukkan. Sekali aku bilang tidak mau, sampai mati pun aku tidak mau. Kalau aku tidak sudi menjadi isterimu, kau mau apa? Lebih baik kita tidak bertengkar dan bebaskan aku, dan kita bicara dengan baik, mungkin aku dapat memberi jalan baik kepadamu."

   "Ha-ha, jangan coba untuk menipuku, Sumoi. Engkau boleh tidak sudi menjadi isteriku, akan tetapi aku punya cara untuk memaksamu."

   "Suheng, jangan gila"

   "Heh-heh-heh, memang aku gila. Bukankah Ibu juga dianggap gila oleh orang lain? Mau tidak mau engkau akan menjadi isteriku, Kwi Lan. Heh-heh, kau bukan sumoi lagi sekarang, melainkan Lan-moi-moi yang cantik manis, kekasih hatiku, isteriku yang molek. Ini sebabnya mengapa kau kutotok. Aku akan memaksamu malam ini juga menjadi isteriku. Kalau sudah terlanjur kau menjadi isteriku, masa kau bisa menolak lagi besok? Apa kau ingin menjadi bahan hinaan orang, bukan gadis lagi sebelum kawin? Kalau malam ini engkau menjadi isteriku, engkau akan terpaksa menerima aku sebagai suami. Ha-ha-ha, aku akan menjadi mantu Ratu Khitan. Hebat bukan rencanaku?"

   Kerongkongan Kwi Lan serasa tersumbat. Ia tahu bahwa orang gila ini tidak akan segan-segan melakukan rencana gilanya dan dia akan menjadi korban. Dicobanya menggertak,

   "Suheng. Biarpun sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi kalau kau melakukan niat keji itu, besok kau akan kubunuh. Percayalah, kalau kau benar-benar memperkosa, besok kau akan kubunuh, kucincang hancur tubuhmu"

   Sesaat sinar takut menyelubungi wajah tampan itu. Memang pemuda itu agak takut terhadap Kwi Lan yang ia tahu memiliki kepandaian lebih lihai daripadanya. Mulutnya berkemak-kemik seperti bicara kepada diri sendiri. Melihat ini, Kwi Lan melanjutkan.

   "Tidak ada gunanya, Suheng. Kau dapat memaksaku sekarang, akan tetapi kau takkan dapat menjadi mantu Ratu, tidak menjadi pangeran, melainkan besok kau menjadi mayat yang hancur lebur dagingnya. Lebih baik kita bicara baik-baik, kau bebaskan aku."

   Akan tetapi tiba-tiba wajah itu tersenyum-senyum lagi, seakan telah mendapat sebuah pikiran baru, kemudian Suma Kiat tertawa,

   "Ha-ha-ha, tidak bisa kau membunuh aku. Kau kira aku begitu tolol memaksamu menjadi isteri malam ini dan besok kubebaskan? Ha-ha, salahmu sendiri kau membuka rahasia dan rencanamu. Kalau kau tadi tidak bicara, tentu malam ini kau kujadikan isteri dan besok kubebaskan. Tapi pikiranmu busuk sekali. Biar malam ini sudah menjadi isteri, besok hendak membunuh dan mencincang tubuhku. Iihh, isteri macam apa ini? Aku tidak akan membebaskanmu, Kwi Lan. Tiap tujuh jam kau kutotok kembali dan setiap saat kau akan kupaksa menjadi isteriku sampai.. ha-ha-ha, sampai kau mengandung. Nah, kalau kau sudah mengandung, baru kubebaskan. Setelah kau mengandung keturunanku, masa kau masih mau membandel"

   Sesak jalan pernapasan Kwi Lan. Ia merasa ngeri dan bulu tengkuknya meremang. Alangkah akan ngeri dan sengsaranya kalau rencana gila ini dilaksanakan.

   Dan sesungguhnya, kalau dilaksanakan ia tidak akan dapat berbuat sesuatu. Ia akan hidup seperti mayat, makan dipaksa, minum dipaksa, lalu diperkosa sesuka hati, dan baru akan dibebaskan kalau sudah mengandung. Celaka. Hampir ia menjerit saking ngeri dan cemasnya. Apa akal sekarang? Teringatlah Kwi Lan akan keadaannya ketika terancam oleh Bu-tek Siu-lam di kamar tahanan. Teringat ia akan akal Hauw Lam yang cerdik yang berdaya upaya sedapat mungkin untuk menyelamatkannya. Hauw Lam, Si Berandal. Ah, terbayang wajah sahabat baik ini. Betapa cerdiknya, betapa setia dan betapa besar cinta kasihnya ketika pemuda itu mati-matian membelanya dengan segala macam akal. Pemuda yang cerdik, gagah dan jenaka. Dunia selalu akan berseri kalau berada di samping pemuda itu. Hauw Lam mencintanya. Akan tetapi.. di sana ada Pangeran Talibu. Ah, betapa besar cinta kasihnya terhadap Pangeran itu. Tak mungkin ia mencinta pemuda lain.

   Aihh, mengapa ia teringat yang bukan-bukan? Bagaimana andaikata Hauw Lam yang menghadapi persoalan dan ancaman mengerikan seperti dia sekarang? Ia kembali mengenangkan sikap Hauw Lam. Mengulur waktu. Ya, mengulur waktu memperpanjang ancaman dan memperlebar kesempatan. Tiba-tiba ia menangis. Tadinya ia hanya ingin berpura-pura menangis saja, akan tetapi teringat akan kematian gurunya, akan sikap Pangeran Talibu yang bermesraan dengan Puteri Mimi, ia jadi menangis sungguh-sungguh. Air matanya bercucuran dan ia terisak-isak.

   Suma Kiat kaget melihat ini. Selama hidupnya, belum pernah ia melihat sumoinya menangis seperti ini. Dahulu, semenjak mereka kecil, kalau mereka bertengkar, dialah yang menangis, bukan Kwi Lan. Agaknya Kwi Lan tidak mempunyai air mata untuk menangis. Akan tetapi sekarang menangis terisak-isak begitu menyedihkan. Seketika air mata Suma Kiat juga bercucuran dan ia merangkul Kwi Lan, mengangkat tubuh yang lemas itu sehingga terduduk dan menyandarkannya pada dinding kuil yang kering.

   "Ada apakah, Sumoi? Ada apakah, kekasihku yang manis, isteriku yang denok? Kenapa menangis? Aku tidak akan menyakitimu, manis. Aku akan menjadi suamimu yang penuh kasih sayang. Anak kitak kelak tentu laki-laki dan tampan. Kita didik dia menjadi seperti.. eh, Paman Suling Emas. Ya, anak kita tentu jagoan"

   Hiburan ini bukan mengurangi kesedihan, bahkan menambah, membuat Kwi Lan menangis makin sesenggukan. Betapa tidak kalau hiburan itu mengingatkan ia akan keadaan yang mengerikan ini? Ia dihadapkan ancaman seorang gila dan ia tidak berdaya menyelamatkan diri. Ah, Hauw Lam di mana engkau? Kalau ada pemuda cerdik itu, tentu ada saja akalnya.

   "Suheng.., apa engkau tidak kasihan kepadaku? Benarkah kau tega hendak menyiksaku lahir batin? Suheng, lebih baik kau bunuh saja aku.."

   Suma Kiat merangkul lebih erat,

   "Aihhh mana mungkin, sayang? Bagaimana aku dapat membunuh orang yang paling kucinta di dunia ini? Jangan khawatir, Kwi Lan, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah, aku sayang kepadamu.."

   Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri hati Kwi Lan ketika pemuda itu mulai membelainya, bahkan dengan gerakan halus dan hati-hati penuh kasih sayang. Suma Kiat meraba-raba jubah gurunya yang ia pakai untuk menutupi tubuhnya. Berdiri seluruh bulu di tubuh Kwi Lan dan ia cepat-cepat berkata.

   "Suheng.., dengarlah kata-kataku. Eh.. aduh, tolong kau sandarkan aku di dinding, jangan sentuh aku dan dengarkan dulu baik-baik.. aku.. aku menyerah, akan tetapi ada syaratnya.."

   Suma Kiat menarik kembali tangannya, menyandarkan Kwi Lan di dinding dan memandang penuh perhatian, penuh kemesraan.

   "Apa, manisku? Kau mau bilang apa?"

   Mengulur waktu, harus mengulur waktu, demikian jalan pikiran Kwi Lan, teringat akan kecerdikan dan akal Hauw Lam.

   "Suheng.."

   Suaranya ia buat manis dan halus.

   "setelah kupikir-pikir, memang kau benar. Kita sudah kehilangan Bibi Sian, kalau tidak saling tolong, bagaimana lagi? Dan kupikir-pikir.. eh, engkau bukan seorang pemuda yang buruk. Engkau tampan, cerdik, juga gagah. Tidak kecewa menjadi isterimu. Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi.."

   "Heh-heh-heh, jangan kau menipuku, Kwi Lan. Kalau aku disuruh membebaskanmu, tak mungkin. Aku tahu kelihaianmu. Engkau akan menjadi isteriku dalam keadaan tertotok.."

   "Sesukamulah, Suheng. Aku sudah menyerah. Akan tetapi.. kuminta dengan sangat, jangan.. jangan malam ini. Lupakah engkau, Suheng, bahwa ibumu baru siang tadi meninggal dunia? Bagaimana kita dapat melakukan.. eh.. hal itu malam ini? Ini amat tidak baik dan durhaka, Suheng. Kau boleh totok aku, aku toh tidak mampu lari. Tapi malam ini jangan.., besok saja, terserah kepadamu dan aku menyerah, bahkan kemudian aku tidak akan menolak menjadi isterimu yang sah. Engkau menjadi mantu Kerajaan Khitan, mungkin kelak menjadi Raja Khitan, dan aku permaisurimu. Wah alangkah bahagianya"

   Makin berseri wajah Suma Kiat. Akhirnya ia bersorak dan berjingkrak-jingkrak dalam kuil itu, lalu berjongkok dan..

   "ngokk"

   Ia mencium pipi Kwi Lan dengan hidungnya.

   "Bagus. Terima kasih, Kwi Lan. Terima kasih, kau baik sekali. Tapi.., kalau sekarang, mengapa sih?"

   Tadinya Kwi Lan sudah girang menyaksikan akalnya berhasil, akan tetapi kembali ia berdebar mendengar kalimat terakhir. Sungguh sukar menjenguk keadaan hati pemuda gila ini.

   "Suheng, terus terang saja, wajah Bibi Sian masih terbayang di depan mataku. Tidak mau aku mendurhakai guru melakukan.. hal itu pada hari guru meninggal dunia. Kalau kau memaksa, aku akan mencari kesempatan membunuhmu atau membunuh diri sendiri. Awas, alangkah mudahnya membunuh diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan menahan napas, sekarang pun aku dapat membunuh diri"

   Suma Kiat mengangguk-angguk,

   "Baiklah, Kwi Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa. Aku pun lelah sekali, harus tidur malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok"

   Pemuda itu lalu berbaring di dekat Kwi Lan dan sebentar saja sudah mendengkur.

   Kwi Lan duduk bersandar dinding, matanya kelap-kelip memandang api lilin yang hampir padam. Suram-suram keadaan di dalam kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil mengulur waktu. Berhasil untuk sementara terhindar daripada malapetaka hebat. Selanjutnya bagaimana? Ia tetap tidak melihat kesempatan. Dan tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetik. Benar. Pemuda ini tidur dan kurang lebih tiga jam lagi, pengaruh totokan akan lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia akan dapat bergerak dan alangkah mudahnya untuk membebaskan diri kalau ia sudah dapat bergerak. Jam-jam berikutnya merupakan waktu yang amat sengsara, tegang dan menggelisahkan bagi Kwi Lan.

   Api lilin sudah padam dan karena ia menanti waktu pulihnya tenaga tubuhnya, maka setiap menit berlalu seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi lekas tua kalau menanti jalannya waktu dengan tak sabar. Satu jam, dua jam.., hampir tiga jam. Dan Suma Kiat masih juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan berdebar. Berkali-kali ia berusaha mengerahkan tenaga dari pusar, namun sia-sia. Totokan belum punah. Akhirnya, ia dapat menggerakkan pinggangnya "Ia hampir bebas"

   Kwi Lan memejamkan mata, mengumpulkan seluruh semangat dan tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang lumpuh. Dan.. pada saat itu, jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya, membuat ia roboh miring dan lemas kembali seperti tadi.

   Suma Kiat tertawa dan Kwi Lan menahan isak tangisnya. Hatinya kecewa bukan main. Sudah mati-matian menanti, pada saat terakhir semua harapannya tersapu habis. Ia sudah ditotok kembali dan kini Suma Kiat sudah rebah miring lagi, malah memeluknya dan sebentar saja pemuda itu sudah mendengkur. Untung bahwa ketika rebah tadi, kaki tangannya tertarik sehingga biarpun dipeluk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda itu. Napas pemuda itu terasa meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hatinya penuh kemarahan dan kebencian. Matahari telah menyinarkan cahayanya melalui jendela kuil yang tak berdaun lagi. Kwi Lan memicingkan mata, silau oleh sinar matahari Suma Kiat terbangun, menggeliat dan bangkit duduk lalu tersenyum dan terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.

   "Aduh, cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar cahaya matahari pagi engkau tiada ubahnya setangkai bunga mawar. Rambutmu kusut, sebagian menutupi dahi, matamu sayu oleh kantuk, bibirmu basah
(Lanjut ke Jilid 31)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 31
kemerahan seperti kuncup bunga, mandi embun, ahhh, engkau sekarang tentu akan memegang janjimu, bukan? Kita menjadi suami isteri, disaksikan cahaya matahari pagi.."

   Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk hendak mencium bibir yang merah itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat mundur karena bentakan di belakangnya.

   "Suma Kiat, Engkau benar-benar keji dan jahat"

   Suma Kiat meloncat bangun, membalikkan tubuh dan berhadapan dengan.. Kiang Liong. Pemuda berpakaian putih itu berdiri tegak dengan wajah penuh amarah dan wibawa, di punggungnya nampak menonjol ujung alat musik yang-khim. Seperti diketahui, pemuda ini diperintah oleh Suling Emas untuk mengejar Suma Kiat.

   Ia bertanya-tanya kepada perajurit Khitan dan akhirnya mendapat keterangan bahwa Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda keselatan. Ia mengejar terus, akan tetapi terhalang malam gelap. Pagi-pagi sekali, setelah malam itu ia bermalam di dalam hutan, ia melanjutkan perjalanan dan melihat kuil tua di pinggir jalan dan seekor kuda di luarnya. hatinya girang dan cepat ia meloncat masuk dan masih sempat menegur dan mencegah Suma Kiat yang hendak melakukan perbuatan keji terhadap Kwi Lan. Suma Kiat kaget bukan main dan sejenak ia hanya dapat memandang Kiang Liong dengan melongo dan muka pucat. Kiang Liong sebaliknya menyapu ke dalam dan memandang ke arah Kwi Lan. Hatinya bersorak lega melihat bahwa kedatangannya belum terlambat. Biarpun gadis itu dalam keadaan tertotok, namun tidak lebih daripada itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran bagaimana Kwi Lan dapat terhindar daripada penghinaan yang hebat.

   "Piauw-heng (Kakak Misan).. kau.. menyusul ke sini? Ah, Piauw-heng.. Ibuku telah.. telah meninggal dunia.."

   Dan Suma Kiat menangis.

   "Suma Kiat"

   Kiang Liong membentak marah.

   "Simpan air mata buaya itu"

   Dan katakan, apa maksudmu melarikan Mutiara Hitam dan apa yang hendak kaulakukan tadi?"

   Suma Kiat berhenti menangis, lalu memandang Kiang Liong dengan mata terbelalak dan tidak mengerti agaknya mengapa kakak misannya marah-marah.

   "Dia ini..? Ah, dia ini sumoiku dan calon isteriku, Piauw-heng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya saja kepadanya"

   Kwi Lan cepat berkata.

   "Suma Kiat. Engkau memang gila dan jahat. Kau hendak memperkosaku dan sejak kemarin menotokku, siapa ingin menjadi isterimu? Tunggu saja, kalau sudah bebas aku akan membunuhmu"

   "Heh..? Tapi.. tapi.. malam tadi kau berjanji.. kau akan menyerah pagi ini.. kau.."

   Kiang Liong kini mengerti duduknya perkara. Kiranya Mutiara Hitam telah berhasil meloloskan diri malam tadi dengan jalan memberi janji dan mengulur waktu. Ia menjadi marah sekali, melangkah maju dan tangannya bergerak.

   

Suling Emas Eps 5 Cinta Bernoda Darah Eps 18 Suling Emas Eps 4

Cari Blog Ini