Cinta Bernoda Darah 14
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Padahal sebetulnya bukan demikian. Benda itu adalah senjata ampuh dari Si Gadis manis merupakan sepasang cambuk lemas yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau Si Gadis manis sudah mainkan senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw. Banyak sudah tamu-tamu yang datang biarpun pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu membawa barang sumbangan berupa tanda mata yang serba indah. Harus diketahui bahwa para undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah semua kerajaan di seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah yang mahal harganya dan jarang terdapat. Semua barang sumbangan ini dikumpulkan dalam sebuah ruangan tersendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan tersendiri.
Kerajaan Sung di utara yang diwakili oleh seorang panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata. Petinya saja terbuat daripada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar naga dan burung dewata"
Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa bulu beruang yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar tinggi bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agaknya segan ia bertemu dengan orang banyak dan menjadi tontonan"
Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim bingkisan berupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar, sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan persekutuan rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara, mengirim sebuah kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw.
Seperti halnya dengan Kerajaan Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam diperkuat dengan jagoan masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong sedangkan Kerajaan Hou-han tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni. Banyak juga di antara para tamu yang membawa hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak jumlahnya, menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di depan Beng-kauwcu sendiri sambil mengucapkan selamat. Di antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran dari kota An-sui itu. Biarpun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan datang atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer, banyak hubungannya, maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw.
Di samping Suma Boan, banyak pula tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini pun membawa sumbangan "kecil"
Sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat munculnya Beng-kauwcu sendiri. Seperti dapat kita ketahui dari pertemuan yang lalu, di antara para tokoh besar persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena urusan pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka bela. Akan tetapi sebagai tamu daripada Beng-kauw, mereka ini diperlakukan sama rata dan mereka pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain agar tidak menjadi pengacau dalam perayaan di negara orang lain.
Betapapun juga, karena memang di dalam hati sudah mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah timbulnya peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua orang atau dua golongan bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling menyindir. Akan tetapi, seperti telah diterangkan tadi, karena mereka memandang muka Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan kemarahan dan saling menantang untuk membereskan urusan melalui kepalan tangan nanti setelah keluar dari Nan-cao.
Pada hari yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indahnya. Suasana pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi pusat perayaan, akan tetapi juga di jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak orang bekerja seperti biasa, tampak pada wajah semua penduduk yang terhias senyum, pada pintu-pintu rumah yang ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu beraneka ragam yang menjadi lambang Terang, sifat daripada Agama Beng-kauw.
Di istana sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di depan istana yang dapat menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para pengiringnya telah hadir, duduk di tempat kehormatan, wajah raja yang sudah berusia lima puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali karena memang patut dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata menerima banyak wakil negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah kerajaan yang terpandang tinggi.
Di sebelah kanan raja ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh, sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa. Pakaiannya serba kuning sederhana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti menyala. Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya.
Dua perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti. Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya. Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya.
Banyak di antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh. Biarpun kini di antara yang enam itu baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di hati para tamu. Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telanjang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biarpun cantik manis dan sedap dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apalagi kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban itu mati lemas kehabisan darah"
Seakan-akan tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka. Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita, memandang kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini. Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata,
"Enci, tidak usah repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku dan.."
Tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu disambungnya kata-kata yang terputus tadi,
"Nah, itu dia.. merekalah yang kucari.."
Tanpa mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng. Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan "blusukan"
Tanpa aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu. Sementara itu, Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih.
"Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw"
Sian Eng yang lebih mengenal aturan daripada Lin Lin, segera menarik tangan adiknya itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu yang diterima oleh mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di jidat dan gagang tongkat. Ia melangkah maju, memandang teliti dan bertanya.
"Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?"
Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera mengundurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin berani.
"Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah membawa lampu"
Raja Nan-cao tidak dapat menahan ketawanya.
"Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada di sini, kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu."
Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut.
"Wah, senang sekali.. tapi, selamanya di sini? Tidak mungkin"
"Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau"
Suling Emas membentak lirih. Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek, lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
"Terima kasih atas keramahan Ji-wi"
Ia lalu melangkah lebar mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng.."
"Hush, Lin-moi. Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan orang lain."
Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok kepadanya.
"Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda dan Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?"
"Sssttt, kau lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan waktunya bicara. Kau lihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?"
Lin Lin teringat akan kakaknya, menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan aseli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?
"Aku akan tanya kepadanya"
Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakaknya. Melihat ini, Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya.
"Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sembrono."
Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song.
"Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat. Dia.."
Ia mengerling ke arah Suling Emas.
"dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita di sini. Kalau betul di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya."
"Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya."
Pada saat itu, dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh.
"Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada bandingnya di seluruh dunia"
Sambil berkata demikian ia mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.
Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biarpun kakek pendek itu kelihatannya malah tidak normal otaknya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula. Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia mengomel.
"Di mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang orang tua yang hebat itu"
Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata lembut,
"Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan ulang tahun Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok di dalam kuli istana."
"Ohhhhh, begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga."
"Gan-sicu, keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu merupakan hadiah yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak, karena membikin kau repot saja,"
Kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya. Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian, terutama seni sastra, sajak dan lukis. Dengan wajah berseri segera berkata,
"Silakan.. silakan.."
Empek Gan tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai, kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi tinta bak yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja tangan kanan itu hitam semua. Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih, makin lama sepasang mata itu makin melotot lebar. Di sana-sini sudah terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu seperti seorang badut yang miring otaknya. Akan tetapi mereka yang sudah mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis, menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya melukis.
Empek Gan mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak cepat sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan mata melotot, menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini. Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sin-kang sepenuhnya sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.
Para tamu yang hanya berani menonton dari tempat duduk masing-masing, agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat menikmati demonstrasi yang memang luar biasa ini. Mula-mula coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak bentuk yang amat hidup dan indah luar biasa dari seekor harimau. Mata harimau yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis dengan taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti seekor binatang hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jari-jari tangan. Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan.
"Bagus.. indah sekali.."
Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan memandang lebih jelas. Gan-lopek tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi. Tentu saja hal ini menimbulkan keheranan besar, bahkan raja sendiri sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang dengan tenang.
Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam itu demikian tepatnya menempel pada kain putih di sebelah atas lukisan harimau, membentuk sebuah lingkaran bulat dan biarpun hanya merupakan titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan itu telah menciptakan sebuah matahari yang gemilang. Gan-lopek kini bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, akan tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di dalam mulutnya. Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.
"Kauwcu yang baik, terimalah persembahanku yang tidak berharga ini"
"Terima kasih, Gan-sicu, terima kasih,"
Kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan itu.
"Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat menikmati keindahannya,"
Kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri. Beng-kauwcu memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera maju, menerima lukisan pada dinding, agak tinggi sehingga semua orang dapat memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek, kini menjadi keheran-heranan. Lukisan itu merupakan seekor harimau yang amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata yang seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar matahari yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar dipercaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja.
Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
"Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan hubungan yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang masih terhitung keluarga Kaisar di Sung Utara, menghaturkan selamat kepada Agama Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi."
Sampai di sini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu berpidato.
"Kami sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya, melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi kenang-kenangan."
Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.
"Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu"
Seru Raja Nan-cao. Sambil tersenyum Suma Boan berkata,
"Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang layak."
Kini raja sendiri yang memberi perintah kepada dua orang pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang paling baik adalah di dinding yang sekarang terhias lukisan harimau buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan Gan-lopek. Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat lukisan itu dan semua orang berseru kagum. Lukisan itu melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat sehingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga mendengar derap dari jauh. Ukuran lukisan kuda ini lebih besar daripada lukisan harimau dan biarpun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan warna aseli. Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia berkata.
"Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu."
Raja yang suka akan lukisan dan sajak, segera berseru,
"Silakan, orang muda yang pintar, silakan."
Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak dengan suara nyaring.
"Kuda sakti, lambang keindahan, kegagahan, dan kecepatan"
Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw, akan maju secepat larinya kuda sakti"
"Bagus"
Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin membusung. Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang menengok ke arah Gan-lopek karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara.. kentut. Ada yang sampai pucat mukanya mendengar ini, karena perbuatan Gan-lopek kali ini benar-benar merupakan sebuah kekurangajaran yang melewati batas. Suma Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut dengan bunyi kentut oleh Gan-lopek.
"Gan-lopek, apa kau memandang rendah kepada sajakku tadi?"
Suma Boan memancing kakek itu yang masih duduk di lantai. Kakek itu bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali, kata-katanya sengaja ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan hatinya ini.
"Ha..ha.., bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu. Ia menuding ke arah gambar kuda. Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.
"Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan aseli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami"
Ketua Beng-kauw biarpun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apalagi dibandingkan dengan Empek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang, sekarang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.
"Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu."
"Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan. Kau yang membuang kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku?"
Suma Boan menudingkan telunjuknya.
"Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur. Siapa di antara semua orang yang hadir di sini tak pernah kentut? Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau. Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku. Kuda itu binatang apakah? Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia. Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan lari tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?"
Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah mengira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa.
"Gan-sicu, kau lucu sekali. Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai memutarbalikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau kami boleh mendengar keterangannya?"
"Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas"
Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat. Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring,
"Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian binatang hutan. Terkenal akan keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biarpun besar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang daripada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu"
Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek.
"Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding dengan dia"
Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula. Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biarpun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apalagi ahli sajak. Biarpun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan tewas. Sebaliknya, dalam mengadu ilmu sastra, biarpun yang kalah tidak akan terluka apalagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.
Akan tetapi, Gan-lopek adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biarpun pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat menyelamatkan diri daripada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang "mati kutu"
Terhadap Suma Boan.
"Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari pada kentut. Terlalu keras dan bau. Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kau panggil ke sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun belum jelas, apalagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?"
(Lanjut ke Jilid 14)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguhpun belum boleh dibandingkan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apalagi merangkai empat buah huruf saja, menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.
"Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar ini."
Kemudian setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring.
"Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?"
"Betul, betul"
Gan-lopek mengangguk-angguk.
"Kalau kau betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar kau pakai dalam sembahyangan roh leluhurmu"
"Gan-lopek, mulailah"
Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata"
Suma Boan menantang.
Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra. Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata,
"Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua. Aku sudah mempertaruhkan kepalaku kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah?"
"Kakek she Gan. Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru"
"Ho-hah, boleh.. boleh.. akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI"
Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan kata-kata "tahi"
Ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila. Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat. Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan.
"Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN"
Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya "makan tahi"
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benar-benar orang sinting dia"
Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti hainya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
"Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kauputar-putarlah otakmu, kaurangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu, hoh-hoh"
Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya. Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-bolik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.
"Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya"
Seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya. Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru.
"Harap hadirin jangan berisik"
Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe yang hadir di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan datam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.
"Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi. Nah, bocah, bagimana jawabanmu?"
"Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat."
Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak diantara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir mereka.
"Akan tetapi, di antara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA"
Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan.
"Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang ke dua bagaimana?"
"Yang ke dua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU"
Kini Empek Gak terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya.
"Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan. Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu"
Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi.
"Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan tahi harimau? Hoa-ha-ha"
"Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini"
Teriak Suma Boan.
"Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi"
Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya.
"Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN"
Rangkaian kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?"
Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu. Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,
"Jawaban itu bohong"
Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.
"Jawaban Suma Boan itu bohong semua. Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda. Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini"
Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira,
"Betul.., Ucapan Nona betul"
Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya, namun memang tidak benar. Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam,
"Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti"
Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut dan menjawab.
"Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat. Kau kira aku mudah kau tipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran. Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab. Aku bisa. Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?"
"Hoah, Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya. Aku bisa menjawab. Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri"
Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.
"Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu"
Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar. Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.
"Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan. Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini.."
Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
"HARIMAU MAKAN KUDA"
Akhirnya Empek Gan berkata lantang,
"Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha"
Ia berpaling kepada Suma Boan.
"Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda"
"Tidak betul, belum lengkap itu. Huruf TAHI belum dimasukkan"
"Sudah betul,"
Kata Empek Gan.
"HARIMAU MAKAN KUDA. Nah, tidak betulkah itu?"
"TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kau tinggalkan"
Orang-orang berteriak-teriak,
"Ya, TAHI-nya bagaimana?"
Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek,
"Empek Gan orang tua tolol. HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?"
"Ha..ha..ha.. Cu-wi sekalian dengarlah. Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan kudanya, adapun TAHI-nya.. kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu"
Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.
Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya.
Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari badan. Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
"Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?"
Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya. Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.
"Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang"
Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk aseli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki maupun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula). Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol.
Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun setalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih, Luar biasa sekali.
"Ho-ho, manusia she Gan. Apakah di sini kau mau memamerkan diri?"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biarpun suara itu parau dan tak enak didengar.
"Heh-heh, It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh.."
Kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan. Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata,
"Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat."
Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa.
"Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol"
Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula.
"Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?"
Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali. Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut "Suling Emas"
Begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.
"Kim-siauw Koko."
Akhirnya ia berkata perlahan. Suling Emas terkejut seperti baru sadar daripada lamunannya, menengok ke belakang.
"Kau? Kau bilang apa tadi?"
"Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja."
"Hemmm, ada apakah, Lin Lin?"
"Aku menagih janji"
"Janji apa?"
"Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat.. eh, kau melihat apa?"
Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang. Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus. Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.
"Lin-moi, ke sinilah.."
Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri encinya.
Bu Kek Siansu Eps 21 Bu Kek Siansu Eps 6 Suling Emas Eps 14