Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 13


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Akan tetapi, Suheng,"

   Siauw Swee membantah penuh perasaan.

   "Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal malapetaka yang menimpamu , sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!"

   Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas.

   "Sungguhpun demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan suda kan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan."

   Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu.

   "Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputusasaan dan kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apa pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mencelakakan kita!"

   Han Ki tersenyum memandang sumoinya yang penuh semangat itu.

   "Ucapanmu benar, Sumoi. Memang, manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapapun juga, segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga."

   "Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan malapetaka kepada kita?"

   Siauw Bwee bertanya, suaranya mengandung penasaran.

   "Suheng sendiri tertimpa malapetaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang penglima yang setia! Aku sendiri tertimpa malapetaka, ayahku yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?"

   Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana.

   "Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sungguhpun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri. Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun juga merupakan hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kaiau kita hanya tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting lagi."

   "Ah, mana mungkin?"

   Maya membantah. Kalau orang tertimpa malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?"

   Han Ki menggeleng kepala,

   "Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andaikata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan perannya yang penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biarpun seseorang diberi peran seorang raja besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biarpun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan."

   Dua orang anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.

   "Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng."

   Maya mendengus.

   "Maaf, Suheng. Betapapun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!"

   Siauw Bwee berkata.

   Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoinya akan sia-sia belaka. Kesadaran datang bukan oleh palajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman. Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena apakah artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit akan membekas dalam hati sanubari, sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna. Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoinya ini.

   "Sudahlah, daripada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang sehingga dapat bertahan bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat sin-kang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk berlatih."

   Dua orang anak perempuan itu menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi dan untuk pelajaran ini, mereka telah menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.

   Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat mengatasi sucinya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biarpun keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda. Dalam hal mempelajari sin-kang, jelas bahwa Maya melampaui sumoinya, juga dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoinya. Akan tetapi, dalam hal gin-kang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatan-loncatan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui sucinya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.

   Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlumba saling mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan petunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu silat ini. Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah berhasil menotok semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee dan setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh,

   "Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kaulatih setiap hari dengan tekun. Maya-sumoi."

   Maya mengangguk dan menjawab,

   "Baiklah, Suheng."

   Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan ketidakpuasan hatinya.

   "Sekarang engkau, Khu-sumoi,"

   Han Ki menyuruh sumoinya yang ke dua.

   "Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!"

   Kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca, jari tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi dan setelah ia selesai bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han Ki berkata,

   "Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sin-kang di ujung jarimu agar setiap totokan, pada tubuh manusia akan berhasil baik."

   Melihat betapa Han Ki, memuji sumoinya, Maya meloncat ke depan dan berkata,

   "Suheng, aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini!"

   Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat

   "Krakkk! Dada arca itu retak-retak dan Maya, menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.

   "Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!"

   Han Ki berseru marah. Karena dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, melainkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusak Mendengar teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata,

   "Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima hukuman...."

   Han Ki menghela napas panjang. Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan Siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang? Siauw Bwee melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata,

   "Suheng, kalau arca itu rusak, bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang kuat, apalagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama pecah."

   Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoinya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlumba dan bersaing, akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya!

   "Arca ini peninggalan Suhu, kini teiah menjadi rusak, kita harus dapat membuatkan penggantinya."

   Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali! Maya dan Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan Han Ki ternyata amat baik, bentuknya menyerupai manusia benar dan biarpun tidak sehalus arca yang rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya.

   Melihat hasil ukirannya yang tak terduga-duga ini Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk memperdalam kemahiran tangannya. Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoinya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalen Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai, apalagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apalagi sekarang! Namun, di samping ketekunan mereka yag bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapatlah keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa.

   Han Ki adalah seorang pemuda yang tempan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu bersaing, apalagi di depan Han Ki! Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu akan dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?

   Kalau Han Ki sedang, melatih silat kepada dua orang sumoinya, dia selalu merasa kagum, karena selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang sumoinya itu merupakan dua orang gadis remaja yan cantik jelita. Sukar dikatakan siapa antara mereka yang cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi, daya tariknya itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam. Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat daripada serangkaian peristiwa yang amat hebat!

   "Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah dia bernapas!"

   Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya.

   Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang berlatih di belakang istana. Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah berpesan kepadanya bahwa setelah kitabkitab yang ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.

   "Kitab-kitab pelajaran iimu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,"

   Kata gurunya.

   "Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar."

   Karena inilah, maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia pelajari. Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee, seperti orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Swee yang mempertahankan. Keduanya memegang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.

   "Prakkk"

   Burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!

   "Ohhh....! Burungku.... aih, burungku pecah....!"

   Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu yang sudah pecah berantakan di depan lututnya. Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,

   "Ahh, begitu saja menangis. Cengeng....!" "Maya-sumoi!"

   Apa yang kaulakukan itu?"

   Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw Bwee.

   "Aku hanya ingin meminjam, dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!"

   "Tidak! Dia memang hendak merampasnya!"

   Siauw Bwee membantah, terisak-isak.

   "Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa,"

   Han Ki kembali menegur, tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.

   "Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku."

   Han Ki mengerutkan keningnya.

   "Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan dan merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf kepada Khu-sumoi!"

   "Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku."

   Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air matanya. Melihat betapa Maya dimarahai Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.

   "Lihat, Khu,sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,"

   Han Ki kembali menegur. Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur.

   "Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!"

   Maya membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.

   "Suci, kau hendak ke mana?"

   Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.

   "Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin hatinya, tentu dia kembali sendiri."

   Karena di dalam hatinya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas. Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan. Akan tetapi, mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.

   "Kucari kemana-mana tidak ada. Suheng.Jangan-jangan dia...."

   "Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah dimana nak nakal itu!"

   "Suheng, Suci tidak nakal! Ahh.... dia harus dapat ditemukan kembali, Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali...."

   "Tenanglah. Kaupersiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya ssmpai depat."

   Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak nyaring memanggil nama Maya.

   "Mayaaaaa....! Sumoi....! keluarlah....! Di mana engkau....?"

   Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya, mempergunakan khi-kang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia melanjutkan persiapannya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.

   "Maya....! Maya....! Maya....!"

   Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas.

   Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suhengnya dan sumoinya cemas memikirkannya, terutama sekali suhengnya! Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suhengnya tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoinya, yaitu di dalam ruangan bawah istana! Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han Ki membuatkan mainan sumoinya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suhengnya membela sumoinya, bahkan memarahinya di depan sumoinya.

   Hatinya sakit sekali. Biar sekarang dia mencariku setengah mati, aku tidak akan kembali kepada mereka! Akan tetapi, ke mana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng dan sumoinya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia dimarahi suhengnya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ. Kalau dia tumpuk di depan rak senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata.

   Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya. Namun, arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan! Ia berdiri memandang penuh penasaran. Sin-kangnya sudah kuat, masa dia tidak dapat mengangkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekalipun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar. Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di bawah landasan kaki arca itu, lantainya berlubang? Akan tetapi keheranannya berganti kegirangan dan ia berkata,

   "Inilah tempat sembunyi yang baik!"

   Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran karena di bawah lubang terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah! Dengan hati-hati akan tetapi sedikitpun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya menuruni lorong kecil,

   Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di bawah istana dan hal ini selain terbukti dari adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap, melainkan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan melalui lubang-lubang rahasia. Akan tetapi karena penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di atas, yaitu kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur, maka makinia turun ke bawah makin gelaplah cuaca. Maya berhenti dan duduk mengaso. Teringatlah ia kembali akan tujuannya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan tidak mungkin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan tetapi mulai merasa ngeri karena tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap sekali. Hal ini karena adalah penerangan di dapur, yang letaknya di atas tempat itu, di padamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.

   "Dia tidak ada!"

   Kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran.

   "Begini gelap, tentu sukar mencarinya,"

   Kata Siauw Bwee.

   "Besok akan kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu?"

   "Dia tidak nakal, Suheng...."

   Kembali pemuda itu menghela napas,

   "Hemm, dia seringkali mengganggumu dan kau selalu melayaninya, akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi."

   "Marilah, Suheng."

   "Makanlah, aku tidak lapar."

   "Suheng mengkhawatirkan keselamatan Suci?"

   "Tentu saja. Entah di mana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap, bagaimana aku tidak khawatir?"

   "Kalau Suheng tidak mau makan, akupun tidak makan."

   "Makanlah, Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya."

   Han Ki berkelebat keluar untuk mencari lagi sumoinya yang hilang. Siauw Bwee berdiri menghadapi makanan, alisnya berkerut.

   "Dia.... dia mencintai Suci"

   Tiba-tiba ia menjatuhkan diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja, pundaknya bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!

   Semalam itu Siauw Bwee tidak tidur, gelisah didalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan disediakan diruangan belakang di atas meja, tidak tersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bahkan semalaman itu ia tidak kembali keistana, karena dia terus mencari Maya di seluruh Pulau Es, beberapa kali mengelilingi pulau sehingga setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoinya itu di jenguknya sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia belaka. Setelah matahari terbit, ia berdiri termenung ditepi laut. Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri.

   "Ah, ke mana Maya dapat pergi? Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di pulau dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, tentu sumoinya itu bersembunyi di dalam istana! Mengapa dia begini bodoh?"

   Bergegas ia lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar di masukinya dan akhirnya ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat.

   Begitu masuk, ia mencium sesuatu yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak olehnya lubang diatas lantai dekat kaki arca yang pecah! Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu. Maya yang tertidur sambil duduk bersandar dinding batu, terbangun dan melihat betapa tempat yang gelap itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena sinar yang masuk dari atas adalah sinar matahari. Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia terus berjalan turun, menuruni anak tangga batu. Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga batu dan melihat ke depan ternyata bahwa anak tangga itu berakhir di dalam sebuah ruangan yang lebar dan di atas lantai tampak uap mengebul memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat. Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah biasa dapat melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah. Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya!

   Ular-ular berkulit merah berdesis-desis saling belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena ular-ular itu mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk mulut yang kebiruan. Dengan hati penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan pergi dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang dan seluruh tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di atas anak tangga. Ratusan ekor ular merayap perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak tangga itu terbuat dari batu dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru sampai dekat kaki Maya sudah terpeleset jatuh kembali ke bawah. Akan tetapi, uap putih harum amis yang keluar dari mulut wereka makin tebal memenuhi ruangan. Maya tidak melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terpelanting di atas anak tangga.

   "Maya....!"

   Han Ki terkejut dan cemas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga sedangkan di bawahnya, ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik. Cepat pemuda yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu adalah hawa beracun, menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia bernapas lega. Jalan darah sumoinya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas dan mungkin sumoinya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah di tengkuk dan pundak Maya. Maya mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah! Hal ini mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoinya, mengangkat kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.

   "Maya-sumoi....!"

   Maya memandang kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini mengandung sinar yang amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api, wajah yang jelita itu menjadi kemerahan, mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung Hong Kwi di waktu berlumba asmara dengan dia! "Maya...."

   Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya dengan kedua lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka ke dadanya, didekapkan kuat-kuat sambil berbisik,

   
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Suheng.... ah, Suheng....!"

   Kemudian gadis cilik itu menangis! "Suheng.... apakah kau sayang kepadaku....?"

   Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan Mayamembuat ia merasa aneh.
(Lanjut ke Jilid 13)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
"Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,"

   Jawabnya dengan cepat, karena memang tentu saja dia sayang kepada sumoinya, baik Maya maupun Siauw Bwee. Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut Maya berbisik,

   "Peluklah aku erat-erat .... Suheng...., jangan lepaskan lagi....!"

   "Maya....!"

   Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.

   "Suheng.... aku cinta padamu, Suheng.... ahhh....!"

   Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan hendak mencium pipi Han Ki. Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoinya, ia mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu berahi! Cepat ia menotok tubuh sumoinya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia memondongnya dan membawanya lari naik.

   "Suheng....! Suci kenapa....?"

   Siauw Bwee ternyata mencari sucinya dan ber hasil menemukan lubang rahasia. lalu me masukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh sucinya yang terkulai lemas.

   "Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!"

   Kata Han Ki. Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama- sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.

   "Di bawah banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ular-ular itu,"

   Kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas.

   "Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya."

   Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan tela pak tangannya di punggung Maya, menggunakan sin-kangnya untuk membersih kan tubuh sumoinya dari pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya, Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.

   "Ular.... banyak sekali...., ular merah....!"

   Katanya gugup. Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega.

   "Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu."

   "Aku di sini, Sumoi,"

   Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat di wajahnya. Diapun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.

   "Ahhh, kini aku teringat.... lubang rahasia di bawah arca.... lorong di bawah tanah.... dan ular-ular merah! Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?"

   "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya sekali, entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi."

   "Aku ikut, Suheng!"

   Siauw Bwee berkata penuh semangat.

   "Aku juga ikut!"

   Kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.

   "Memang aku akan mengajak kalian akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?"

   "Aku belum!"

   Jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali.

   "Bukan hanya semalam, sudah dua hari dua malam aku tidak makan!"

   "Aku juga belum sama sekali!"

   Siauw Bwee berkata.

   "Aihh! Mengapa Sumoi,?"

   Maya bertanya.

   "Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?"

   Han Ki berkata. Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoinya. Melihat ini, Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.

   "Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!"

   Siauw Bwee balas memeluk.

   "Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau, kau pergi,"

   Jawab Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki .

   "Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?"

   Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab,

   "Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?"

   "Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!"

   Maya berlari ke da pur dan Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki, berkata,

   "Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang nakal?"

   Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiap kan makanan. Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,

   "Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya."

   "Habis, bagaimana baiknya, Suheng?"

   Tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan berahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum matang.

   "Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api."

   Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan bakar dari pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia membawa ranting-ranting dan daun kering serta menyalakan obor rnemasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoinya yang juga membawa ranting-ranting kering. Dengan hati-hati mereka menuruni annk tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan uap yang harum.

   "Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak ada uap putihnya. Ular itu berbahaya sekali!"

   Han Ki berkata.

   "Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi di dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari dan meja, jangan sampai barang barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan sesuatu di sana."

   Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua orang sumoinya melemparkan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang, saling belit dan berlumba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu. Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee, meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.

   "Lihat, mereka lari dari sebuah lu bang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!"

   Dengan hati penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak lama kemudian, di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.

   "Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!"

   Maya berseru dan hendak berlari turun. Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya mencegah,

   "Hati-hati, Sumoi. Biarpun ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab."

   Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya melernpar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan.

   Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagal penyumbat, baru meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan tetapi, baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya tertutup dan disegel' dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya. Agaknya karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka separuh. Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhunya dengan huruf-huruf kembang yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhunya itu!

   "ILMU-ILMU SILAT DALAM KITAB-KITAB INI AMAT KEJI, CIPTAAN TOKOH-TOKOH BUANGAN DI PULAU NERAKA, TIDAK PATUT DIPELAJARI PEMBELA-PEMBELA KEBENARAN DAN KEADILAN."

   Membaca tulisan suhunya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoinya yang memandang dengan heran.

   "Suheng, kitab-kitab apakah itu?"

   Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga sucinya, dia selalu ingin sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.

   "Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?"

   Maya juga bertanya.

   "Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan,"

   Kata Han Ki dan kedua orang sumoinya tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka, setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan berkata.

   "Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu."

   "Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?"

   Tanya Maya.

   "Kitab-kitab itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu tadinya dipasangi tulisan suhu yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan, keadilan."

   "Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?"

   Siauw Bwee bertanya.

   "Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca ditempat keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang merupakan neraka dunia, sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana, dan melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?"

   Sekali ini, kedua orang gadis remaja itu tidak membantah.

   Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk membantah, apalagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhunya sendiri. Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih!

   Dia tidak tahu bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya seperti itu. Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlumbaan di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka melanjutkan dengan perlumbaan mencinta pemuda itu! Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suhengnya, melainkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria. Biarpun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling mengerti.

   Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka! Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoinya itu belajar Ilmu dengan amat tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhunya dengan baik. Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas Pulau Es selama lima tahun, Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun.

   Biarpun mereka bertiga tinggal di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk msreka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan baik, seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoinya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki gin-kang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerakkan tenaga sin-kangnya menjadi tenaga halus yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras dan tajam. Di lain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa, tenaga sin-kangnya mengagumkan, kuat sekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara!

   Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memilikl kecantikan luar biasa dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari. Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianya sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang tua, pendiam dan sering kali bersamadhi. Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoinya telah menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih, dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.

   "Jangan tinggalkan aku .... ohhh, Koko.... jangan tinggalkan aku...., bawalah aku pergi....!"

   Rintihan ini keluar dari mulut seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari pembaringan menghampiri seorang laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu kamar.

   Kamar itu mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih dan harum semerbak. Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju, halus seperti sutera. Rambutnya terural lepas, hitam dan panjang agak berombak, berbau harum sarl bunga. Pakaian yang dipakalnya, yang sedang dibetulkan letakrrya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. Di atas meja dekat pembaringan tampak hiasan-hiasan baju dan hiasan-hiasan rambut daripada emas dan batu kumala, serba indah, dan mahal. Mudah diduga bahwa dara berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang hartawan. Adapun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidak acuh itu adalah seorang laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya juga indah dan pesolek sekali sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.

   "Aku harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat aku lagi. Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi di antara kita."

   Dara itu memandang terbelalak, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri. Benarkah ucapan yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang membahagiakan hatinya semalam suntuk, keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap demikian dingin?

   "Ah, tidak mungkin!"

   Dara itu lari ke depan dan menubruk laki-laki itu, merangkul pinggangnya dari belakang dan menjatuhkan diri berlutut.

   "Koko...., jangan tinggalkan aku...., ahhh, tidakkah engkau mencintaku? Bukankah tadi telah kau bisikkan kata-kata cinta kepadaku? Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu tega meninggalkan aku? Ahh, Koko!"

   "Hemm, cinta telah mati di hatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu."

   "Koko...., aku...., aku cinta padamu...., uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku....?"

   Dara itu menangis.

   "Engkau? Perempuan? Mencinta dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!"

   Laki- laki itu tertawa, akan tetapi suara tawanya mengandung kepahitan.

   "Koko...., sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu tubuhku, cintaku, segala-galanya....?"

   "Haha-ha, itukah buktinya cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu, bukti cinta adalah penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku pergi!"

   "Tidak....! Tidak....! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku mau ikut bersamamu, kemana pun kau pergi!"

   Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas pembaringan. Dia terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting telentang di atas pembaringan dan menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh sambil berkata,

   "Tidak ada cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh. Yang kau berikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan meminta untuk memuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?"

   "Engkau seorang pendekar yang per kasa, yang kucinta....!"

   "Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang, yang dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik (Jai-hwa-sian berarti Dewa Pemetik Bunga), akan tetapi, bukan kupatahkan tangkainya melainkan kupetik atas kerelaan si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian dan engkau seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau Ikut? Mencintaku? Ha-ha, menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis, apa yang terjadi semalam itu hanya menjadi kenangan manis."

   Sekali berkelebat, laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan saja tampak melayang keluar dari jendela kamar yang seketika menjadi sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak tangis tertahan dara itu.

   Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu. Tiga hari yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga, perahunya bertumbukan dengan perahu lain dan terguling. Untung dari perahu yang menumbuknya itu meloncat keluar seorang pemuda tampan dan gagah yang menyambar dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus, dan menurunkan mereka di atas perahu. Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja para pelayan yang berada di perahu lain cepat memberi pertolongan, akan tetapi andaikata tidak ada pemuda itu, agaknya ayahnya dan dia akan mengalami kekagetan dan basah kuyup sebelum tertolong. Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri yang ddidayung pergi dengan cepat, tidak memperdulikan teriakan ayahnya. Akan tetapi, ketika tadi menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan pemuda itu di telinganya,

   "Malam nanti aku menerima terima kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis."

   Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya berdebar tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah dan sikap yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan tentang bisikan itu kepada orang tuanya. Benarkah pemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu? Ah, tidak mungkin! Betapapun juga, hatinya menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu kamarnya. Setelah merebahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi juga kecewa, lega karena yang dlkhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang aneh), tertidurlah Si Dara manis.

   Akan tetapi, belum lama ia pulas, ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat, kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi kini telah rebah di sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini, akan tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka mulut hendak menjerit. Akan tetapi sekali bergerak, jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah di lehernya membuat dia tak dapat mengeluarkan suara. Kemudian, dengan halus dan menarik, pemuda itu mencumbu rayu, membujuk-bujuk dengan halus sehingga ketika totokannya dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau melawan. Jangankan melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya dengan hati rela karena dia merasa yakin bahwa pemuda itu mencintanya, maka tentu akan meminangnya.

   

Mutiara Hitam Eps 23 Mutiara Hitam Eps 9 Cinta Bernoda Darah Eps 4

Cari Blog Ini