Mutiara Hitam 9
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Bu Kek Siansu, sejak dahulu engkau pandai bicara manis. Lima belas tahun yang lalu kami kalah olehmu dan kami menyiksa diri selama itu di sini. Boleh jadi kami tidak peduli tentang baik dan jahat, akan tetapi kami bukan pengecut yang bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih lima belas tahun untuk menanti hari ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk mengulang lagi pertandingan lima belas tahun yang lalu"
Kata Lam-kek Sian-ong dengan mata mendelik.
"Tidak peduli baik atau jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan kami"
Kata pula Pak-kek Sian-ong yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk kedua lututnya memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu. Bu Kek Siansu mengelus-elus jenggot dan tersenyum ramah.
"Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor akan tetapi menyadari akan kekotorannya lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya akan tetapi tidak mau membersihkan diri dan menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut disesalkan?"
Pak-kek Sian-ong bertukar pandang dengan Lam-kek Sian-ong, kemudian Si Muka Merah itu tertawa.
"Ha-ha, Bu Kek Siansu. kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai melakukan kejahatan. Akan tetapi kami belum kapok untuk mencoba kepandaian, tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun yang lalu"
"Hendak kami lihat apakah benar-benar Bu Kek Siansu seorang manusia tanpa tanding di jagad ini"
Kata Pak-kek Sian-ong penasaran.
"Siancai.. Siancai.. mengapa Ji-wi tidak melihat bahwa hal itu sama sekali tidak ada gunanya? Apakah untungnya dunia kalau kakek-kakek macam kita ini bertanding? Harap Ji-wi ketahui, semenjak Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) tidak ada lagi, dunia bukan makin aman, bahkan kini muncul tokoh-tokoh baru menggantikan kedudukan mereka. Tokoh-tokoh hitam akan mengadakan pertemuan dan sekali mereka itu bersatu padu, bukankah perikemanusiaan terancam bahaya hebat? Ji-wi, segala apa di dunia ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada kegunaannya. Matahari memberi cahaya kehidupan. Tanah memberi kesuburan. Air memberi zat kehidupan. Tetanaman memberi zat makanan. Ji-wi yang telah dikurniai kepandaian tinggi, layaknya kalau tidak digunakan untuk sesuatu kebaikan? Kalau begitu, apa artinya Ji-wi hidup dan lebih-lebih lagi, apa gunanya Ji-wi puluhan tahun mempelajari ilmu kalau hanya untuk main-main dengan aku seorang tua bangka? Harap Ji-wi suka insyaf."
"Heh, Bu Kek Siansu. Manusia tidak lepas dari pada nafsu dan pada saat sekarang ini, nafsu kami satu-satunya mendorong kami untuk mencari kepuasan membalas kekalahan kami lima belas tahun yang lalu."
"Benar kata-kata Ang-bin Siauwte."
Kata Si Muka Putih.
"Yang lain-lain perkara kecil, kami akan menurut selanjutnya kalau kami kalah lagi."
Bu Kek Siansu menarik napas panjang.
"Aku sudah terlalu lama membuang nafsu mencari menang. Sekarang begini saja, Ji-wi boleh memukulku sesuka hati. Kalau tewas oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah dan terserah kepada Ji-wi apa yang selanjutnya akan Ji-wi lakukan. Akan tetapi kalau pukulan-pukulan Ji-wi tidak membuat aku mati karena maut masih segan-segan menjemput tua bangka macam aku, harap Ji-wi menerima kalah dan sukalah melakukan usaha menentang munculnya tokoh-tokoh iblis yang kumaksudkan tadi."
Kembali dua orang kakek itu saling pandang. Betapapun juga, mereka masih merasa gentar menghadapi manusia setengah dewa itu. Biarpun mereka selama lima belas tahun ini menggembleng diri di dalam kurungan, namun mereka maklum bahwa Bu Kek Siansu memiliki kesaktian yang sukar diukur bagaimana tingginya. Kini mendengar usul Bu Kek Siansu, mereka menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu dan ingin membunuhnya. Melainkan mereka haus akan kemenangan. Apapun juga caranya, kalau mereka sudah dianggap menang, akan puaslah hatinya. Apalagi kalau kemenangan ini disahkan dengan terjatuhnya Bu Kek Siansu, si manusia dewa di bawah tangan mereka.
"Baik, aku akan memukulmu tiga kali Bu Kek Siansu"
Kata Si Muka Merah.
"Aku pun memukul tiga kali"
Kata pula Pak-kek Sian-ong.
"Terserah, tiga kali juga baik."
Kata Bu Kek Siansu tenang.
"Kau tidak boleh menangkis"
Kata pula Lam-kek Sian-ong.
"Dan tidak boleh mengelak"
Sambung Pek-kek Sian-ong.
"Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi."
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang semenjak tadi bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua ini, menjadi kaget sekali. Dua orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin pukulan mereka saja tadi sudah menghancurkan batu. Bagaimana sekarang kakek yang sudah amat tua itu dapat tahan menerima tiga kali pukulan dari masing-masing kakek itu, jadi enam kali pukulan tanpa mengelak maupun menangkis? Kwi Lan bangkit duduk saking tertarik menyaksikan keanehan ini. Juga Siangkoan Li sudah duduk di dekatnya sambil memandang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini hendak berlaku demikian licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan halus dan lemah itu.
Ia sangat kagum ketika mendengar ucapan Bu Kek Siansu, bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya karena amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan kakek itu tadi, mulailah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan. Ia semenjak kecil hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan. Setelah ia sadar akan hal ini, mengapa ia tidak mau mencuci diri membersihkan dari kotoran, kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan kejahatan? Mengenai Thian-liong-pang yang sudah terlanjur kotor, tepat seperti yang dianjurkan Kwi Lan, sebaiknya ia turun tangan membersihkannya. Dengan begini barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum ayahnya. Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas dalam, mengerahkan tenaga lalu memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dahsyat menyambar.
"Desss.."
Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-goyang ke belakang depan dan benar-benar kakek ini telah menerima pukulan tanpa menangkis maupun mengelak. Pukulan yang amat keras dan menggeledek.
"Ang-bin Siauwte, bergantian"
Teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju. Lam-kek Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengatur pernapasan. Ia tahu akan akal saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali, karena setiap pukulan memakan tenaga dalamnya, makin lama pukulannya makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam. Dengan bergantian, ia mendapat kesempatan memulihkan tenaga. Diam-diam ia kagum sekali. Setelah lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu Kek Siansu, ia merasa seperti memukul sekarung kapas, tenaganya amblas kemudian membalik. Sungguh hebat.
Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan Lam-kek Sianong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang, kakek bermuka pucat ini memukul dengan jari-jari terbuka dan mengerahkan tenaga Imkang.
"Cesss.."
Kembali tubuh Bu Kek Siansu tergetar bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka kakek ini pucat sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah. Betapapun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah menderita luka dalam yang hebat. Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu kagum bukan main. Ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati Bu Kek Siansu tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasannya.
Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong yang memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek ini telah bersepakat untuk melakukan pemukulan ke dua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa berbahaya pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng. Lam-kek Sian-ong adalah seorang ahli dalam penggunaan tenaga panas, sedangkan sebaliknya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mempergunakan tenaga dingin.
Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya, bagaimana tubuh dapat mengatur dua macam tenaga sakti yang saling berlawanan untuk menghadapi dua pukulan itu? Mustahil kalau seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi buktinya, kakek itu hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya untuk melakukan pemukulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa pasti bahwa kali ini kakek tua renta itu tentu akan terpukul mati.
"Bresss.."
Hebat bukan main pukulan yang dilakukan berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong menghantam dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek Sian-ong menampar lambung dalam saat berbareng.
Tubuh Bu Kek Siansu terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, lalu punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara keras dan yang-khim di punggungnya ternyata telah remuk. Akan tetapi kakek ini tidak roboh binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keadaan hancur sedangkan dinding batu di mana ia
(Lanjut ke Jilid 09)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu. Senyum itu masih belum meninggalkan bibir, akan tetapi matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang.
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala mereka tampak keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah mempergunakan tenaga dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah melukai mereka sendiri. Akan tetapi melihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan Bu Kek Siansu dan.. mungkin juga menyeret mereka berdua ke lubang kuburan. Betapapun juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak berlaku nekat. Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka sudah menghampiri Bu Kek Siansu yang berdiri dengan tubuh menggetar akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.
Akan tetapi tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan Siangkoan Li. Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua gurunya sambil berseru.
"Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan lagi.."
Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil menudingkan telunjuknya dan berkata,
"Kalian ini dua orang tua benar-benar tidak mengenal malu sama sekali"
Mana ada aturan memukul seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan? Coba kalian yang tidak melawan kupukuli apakah kalian juga mau? Kegagahan macam apa yang kalian perlihatkan ini?"
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sianong terkejut. Mereka tidak mengira bahwa semua yang terjadi itu telah disaksikan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid mereka berani mencampuri urusan ini bahkan berani pula mengajak datang seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka. Pada saat itu mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang pada tangan kanan Pak-kek Sian-ong. Mereka berniat untuk melakukan pukulan terakhir dengan menggabungkan tenaga, maka tadi mereka saling berpegang telapak tangan. Kini melihat munculnya Kwi Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu mereka lalu menggerakkan tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang menghalang di jalan.
"Pergilah kalian"
Bentak Lam-kek Sian-ong. Kwi Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar. Mereka dapat mengerahkan tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa.
Angin pukulan dari depan itu seakan-akan mengunci jalan keluar, bahkan ketika mereka mengerahkan tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka salurkan. Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba di tubuh lebih dulu pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok. Benar-benar, pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak mereka menanti datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyentuh tubuh mereka, tentu maut akan datang merenggut nyawa. Akan tetapi, tiba-tiba mereka merasa ada tangan menyentuh punggung mereka. Tangan yang halus dan hangat, merapat di punggung mereka pada saat pukulan tiba. Dan, sebelum tangan kedua orang kakek itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pukulan itu membalik dan kedua kakek itu berseru keras lalu roboh terjengkang.
"Minggirlah, anak-anak"
Terdengar bisikan dari belakang dan Kwi Lan berdua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan diam-diam mereka kagum bukan main. Kini karena yakin akan kelihaian dua orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya memandang ke depan.
Kedua orang kakek itu sudah meloncat bangun lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata terbelalak heran dan kagum. Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang pun sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini. Mulailah terbuka mata mereka dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka terlalu mengagungkan dan mengandalkan kepandaian sendiri. Sinar mata mereka mulai melunak, tidak seliar biasanya dan hal ini tidak terluput dari pandangan mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan tersenyum, kakek sakti ini berkata.
"Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi."
Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama sekali tidak melukai kakek sakti itu, sungguhpun pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik keluar dari mulutnya. Kalau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang akan tewas. Menyaksikan keraguan mereka, Bu kek Siansu berkata lagi,
"Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah Ji-wi merasa menyesal? Baru saja ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biarpun kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut mereka berusaha membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat selagi hidup. Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua."
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong masih saling bergandengan tangan. Mereka kini melangkah maju dan Lamkek Sian-ong berkata,
"Masih sekali pukulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua pesanmu"
"Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri"
Kata pula Pak-kek Sian-ong. Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan mereka ke arah dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka, tentu mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi dada mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.
"Dukkk.."
Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan hebat itu dengan tubuhnya tanpa pengerahan tenaga sama sekali.
Kakek itu telah mengorbankan diri demi keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat ke belakang lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya masih bergoyang-goyang. Dari mata, hidung, mulut, dan telinga mengalir darah segar. Dua orang kakek itu menjerit dan menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu. Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul tanpa melawan, begitu saja membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan mereka berdua. Di mana ada budi kebajikan yang sebesar ini? Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua.
"Siancai.. siancai.. legalah hatiku sekarang.. kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan berat.."
"Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk kami?"
Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.
"Siansu, kami bersumpah akan mentaati pesanmu sampai mati"
Kata pula Pak-kek Sian-ong.
"Anak-anak yang baik,"
Kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua orang anak-anak kecil saja.
"Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali kejalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah."
Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari dalam terowongan itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.
Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek yang biasanya liar itu kini menangis terisak-isak. Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan menyembunyikan mukanya di antara kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi kerangkeng dan terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh menenangkan hatinya dan kini ia hanya memandang dengan penuh keheranan. Siangkoan Li segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu.
"Ji-wi Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu.."
Mendadak Pak-kek Sian-ong membalikkan tubuh menoleh lalu membentak,
"Aku tidak mempunyai murid macam engkau."
Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka.
"Suhu, harap maafkan teecu. Teecu datang menghadap mohon nasihat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang menjadi perkumpulan jahat akan tetapi di sana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus lakukan..?"
Kini Lam-kek Sian-ong yang membalikkan tubuh dan menoleh. Ia masih duduk di atas lantai dan mukanya makin merah ketika ia membelalakkan mata menghardik,
"Engkau orang jahat. Engkau tokoh Thian-liong-pang yang menjemukan. Pergi.. dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari sini"
"Cukup. Engkau membiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan Ayahmu menjadi runtuh berantakan. Kau kira kami tidak mengetahui sepak terjangmu? Kami tidak sudi mempunyai murid macam engkau"
Kata Pak-kek Sian-ong.
"Heh-heh, barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta persetujuan kita untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twako, kau bikin dua orang muda ini kecewa saja"
Si Muka Merah mengejek.
Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li. Tadinya ia menggantungkan harapannya kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa kedua orang suhunya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian ditambah lagi sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi, mengejek dan menghina Kwi Lan. Wajah pemuda ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangan semangat. Ia masih berlutut dan mengangkat mukanya yang pucat memandang kepada dua orang kakek itu mohon dikasihani. Akan tetapi kedua orang gurunya sama sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka merah. Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.
Kwi Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek jembel itu. Ketika mereka melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka kepada dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa. Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani menyatakan perasaannya ketika ia tadi terlempar oleh hawa pukulan mereka. Kini, melihat betapa Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan bersedih bukan main, kemarahannya tak tertahankan lagi. Ia melompat maju dan memaki.
"Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan sekali. Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah atas kehendak kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian. Sekarang, jauh-jauh Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap minta nasihat, akan tetapi kalian malah memaki-maki dan tidak mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?"
Ia lalu memegang lengan Siangkoan Li, ditariknya pemuda itu bangun dari berlutut, digandengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil membujuk.
"Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan menyandarkan pendirianmu kepada orang-orang lain. Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada mereka yang tidak punya apa-apa ini? Untuk apa minta penerangan kepada orang yang berada dalam kegelapan? Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya susah senang pun ditanggung sendiri. Itu baru laki-laki namanya"
"Hi-hi-hik.."
Pak-kek Sian-ong mengeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.
"Ha-ha-ha-ha"
Lam-kek Sian-ong juga tertawa. Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Beberapa kali ia menoleh memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua orang gurunya tadi hanya mencobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap. Akan tetapi dua orang kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.
Mereka berdua kini duduk di dalam rumah makan kecil sederhana di ujung dusun tak jauh dari markas Lu-liang-pai itu. Wajah Siangkoan Li masih pucat dan muram. Kwi Lan membujuk dan menghiburnya dan atas bujukan Kwi Lan yang berkali-kali itu akhirnya Siangkoan Li mau juga makan nasi. Hari telah siang, akan tetapi warung yang sederhana itu masih kosong, tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis yang duduk melenggut di sudut sebelah depan. Biarpun pakaiannya pengemis, namun berani duduk di situ menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang berbelanja.
Kini di atas meja di depannya tidak ada lagi mangkok piring, akan tetapi sisa-sisa di atas meja itu membuktikan bahwa pengemis ini tadi telah makan. Beberapa ekor lalat merubungi sisa makanan di atas meja, akan tetapi pengemis itu tidak peduli dan duduk melenggut, agaknya tertidur setelah kekenyangan makan. Kedua tangannya diletakkan di atas meja dan kalau orang memperhatikannya, tentu akan menjadi heran melihat kedua tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan kuku-kukunya pun terpelihara baik-baik. Akan tetapi sukar untuk melihat mukanya karena sebuah topi butut yang lebar menutupi kepala berikut mukanya. Topi lebar itu pun aneh, berhiaskan setangkai bunga mawar merah.
Kwi Lan dan Siangkoan Li tadi hanya melempar pandang satu kali ke arah pengemis ini, sungguhpun merasa heran namun tidak bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis dan terlalu banyak pengemis-pengemis yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya pengemis ini pun hanya seorang di antara anggauta perkumpulan-perkumpulan itu yang sengaja berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga Siangkoan Li terlalu sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan terlalu sibuk dengan usahanya menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya selanjutnya lupa lagi kepada Si Pengemis yang masih duduk melenggut di atas kursinya.
"Sudahlah, tak perlu kau bermuram durja lagi. Bukankah sudah jelas bahwa kedua orang gurumu itu, betapapun lihainya, tak lain hanya orang-orang yang pernah juga menyeleweng daripada jalan benar? Untuk apa memikirkan mereka? Yang paling perlu, percaya kepada diri sendiri untuk memperbaiki hidup, menghapus semua yang kotor dan mulai dengan lembaran baru yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat jantanmu? Bangkitlah, jangan terbawa hanyut duka nestapa yang tiada gunanya."
Berkali-kali Kwi Lan menghibur.
"Aihhh.., bukan main.."
Tiba-tiba terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi cukup jelas. Kwi Lan cepat menoleh keluar, akan tetapi tidak tampak ada orang di luar. Suara tadi datang dari luar, ataukah.. dari pengemis yang tertidur tadi? Akan tetapi bukan, karena telinganya yang tajam dapat menangkap suara pernapasan pengemis itu yang halus dan panjang, napas orang sedang tidur. Ia menoleh ke arah dalam di mana kakek yang mengurus warung itu sibuk membersihkan dapur. Tidak ada orang lain kecuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak pedulikan lagi. Mungkin suara orang di luar warung dan ucapan tadi tidak ada hubungannya dengan dia. Siangkoan Li menghela napas panjang.
"Kwi Lan, setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi, mendengar semua ucapan kakek ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku menjadi insyaf akan kebodohanku selama ini. Aku terlalu lemah dan menyerah kepada keadaan. Tidak, Kwi Lan, aku tidak lagi sudi menyerah dan tunduk kepada Gwakong yang ternyata telah menyelewengkan Thian-liong-pang. Aku akan berusaha mengangkat kembali nama baik Thian-liong-pang seperti yang telah kuusulkan. Akan tetapi.."
Ia menundukkan muka dengan sedih.
"Mengapa lagi? Apa yang menjadi halangan?"
"Selama dua tahun aku setia kepada Thian-liong-pang yang menyeleweng. Dengan sendirinya aku telah menjadi seorang tokoh dunia hitam, tokoh jahat. Lebih dari itu, kedua orang Guruku pun ternyata bukan orang baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang mau percaya kepadaku? Kurasa usahaku untuk menghimpun tenaga para patriot Hou-han takkan berhasil."
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Biarpun ia kurang pengalaman, namun ia seorang gadis yang cerdik. Ia dapat mengerti keadaan Siangkoan Li dan melihat kebenaran pendapat itu. Selagi ia hendak menjawab dan menghibur, tiba-tiba terdengar suara halus namun keren dan penuh teguran.
"Huh, bagus sekali, Siangkoan Li. Lekas menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun tangan menggunakan kekerasan"
Kwi Lan cepat menoleh dan tampaklah lima orang hwesio muncul di depan warung itu. Lima orang hwesio yang kelihatannya bersikap agung, alim, akan tetapi juga berwibawa. Apalagi yang memimpinnya. Dia seorang hwesio tua yang berjenggot panjang dan putih, matanya bersinar halus namun amat tajam. Empat orang hwesio lainnya yang belum tua benar, berdiri di belakangnya dan sikap mereka hormat, menanti perintah. Mereka berlima semua membawa pedang.
"Celaka, mereka adalah hwesio-hwesio Lu-liang-pai.."
Bisik Siangkoan Li yang segera bangkit berdiri dan melangkah maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang berdiri paling depan.
"Teecu Siangkoan Li telah melanggar wilayah Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa menotok roboh dua orang suhu dari Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi memaafkan karena hal itu teecu lakukan secara terpaksa ketika teecu ingin berjumpa dengan kedua orang Suhu teecu di dalam sumur di belakang kuil Lu-liang-pai."
Siangkoan Li yang mengenal kesalahannya dan kini sedang dalam usaha "memperbaiki jalan hidup"
Mendahului mereka minta maaf. Sikapnya merendah sekali sehingga diam-diam Kwi Lan mendongkol.
"Omitohud.. baik sekali kalau kau menyesali perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu. Sayang, bukan hanya itu saja kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada kami. Beberapa tahun yang lalu, selagi masih kecil, kau telah melanggar daerah larangan, lebih dari itu, malah tanpa ada yang mengetahui kau telah menjadi murid dua orang musuh besar kami yang sedang dihukum. Hal itu berarti kau telah melakukan dua dosa. Kemudian, setelah keluar, kau menjadi orang sesat dalam Thian-liong-pang yang menjadi perkumpulan jahat semenjak Ayahmu mati. Dosa ketiga ini dosa yang paling besar dan untuk itu pinceng dan para anggauta Lu-liang-pai sudah cukup untuk menghukummu. Sekarang, semua dosa ini ditambah dengan pelanggaran ke dalam kuil dan merobohkan dua orang murid kami. Siangkoan Li, hayo lekas berlutut dan menerima hukuman di kuil kami."
Siangkoan Li menjadi bingung dan melihat ini Kwi Lan sudah melompat ke depan dan mencabut pedang Siang-bhokkiam. Gadis ini berdiri dengan tegak, pedang di tangan kanan, sarung pedang di tangan kiri dan telunjuk tangan kirinya menuding ke arah hwesio-hwesio itu.
"Hwesio-hwesio gundul sombong. Siangkoan Li dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu, kalian berhak apakah mengadilinya dan bicara tentang dosa-dosanya? Apakah kalian ini hakim? Ataukah dewa-dewa yang menentukan dosa tidaknya manusia?"
Para hwesio itu nampak kaget, bahkan ada di antara mereka mencabut pedang siap menanti komando. Akan tetapi hwesio tua itu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata.
"Omitohud.. Nona muda siapakah? Kalau tidak salah, pinceng Cin Kok Hwesio Ketua Lu-liang-pai sama sekali belum pernah bertemu dengan Nona. Nona murid siapakah?"
"Hwesio tua, tak perlu aku memperkenalkan diri. Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat Siangkoan Li yang tidak rela melihat kau bersikap begini sombong hendak mengadili dia. Kau tidak berhak"
"Ah, mengapa semuda ini Nona juga tersesat ke dalam jalan gelap? Omitohud, semoga Hudya (Buddha) membimbing Nona ke jalan benar. Ketahuilah Nona, kami bersikap begini adalah karena kami mengingat akan Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat kami. Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka kami menganggap Siangkoan-kongcu ini orang sendiri sehingga kami hendak membawanya ke kuil dan memberi hukuman yang layak. Kalau kami tidak melihat muka mendiang Siangkoan-pangcu, hemm.. agaknya pinceng tidak akan berlaku selunak ini."
Siangkoan Li membuang muka dan mengerutkan keningnya. Ia menjadi makin berduka, diingatkan betapa ayahnya seorang yang dihormati dan dijunjung tinggi dunia kang-ouw, sebaliknya dia, putera tunggalnya, hanya mencemarkan nama orang tuanya saja.
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tua bangka gundul. Kau bicara seolah-olah engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci di dunia ini. Hemm, sekarang mengerti aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong membunuh ketua kalian dan membikin kacau Lu-liang-pai. Kiranya kalian adalah orang-orang yang merasa diri paling suci, paling bersih dan karenanya memandang rendah orang lain yang kalian pandang orang-orang berdosa. Kiranya kalian ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi wakil Thian (Tuhan) dan mewakili para dewa untuk menentukan nasib manusia lain, menghukum dan menganggap mereka berdosa. Pantas kalian hendak dibasmi dua orang kakek itu, dan sekiranya tidak ada Bu Kek Siansu yang benar-benar suci dan mulia, tentu kalian sudah mampus semua dan aku percaya, orang-orang seperti kalian ini malah akan mati dengan tersiksa hebat. Mau masuk sorga tak diterima karena hanya suci anggapan sendiri, mau masuk neraka tak diterima pula karena pada lahirnya kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak tahu malu"
"Kwi Lan, jangan.."
Tiba-tiba Siangkoan Li berseru keras dan meloncat ke depan gadis itu, mencegah gadis itu menggerakkan pedang. Kemudian Siangkoan Li membalikkan tubuh menghadapi para hwesio dan berkata.
"Thaisu, dan para Suhu semua, dengarlah. Kuharap kalian tidak membawa-bawa nama Ayahku yang sudah tidak ada. Semua perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri. Aku tidak merasa berdosa terhadap Lu-liang-pai, setelah kini kupikir baik-baik. Pelanggaran itu bukanlah dosa. Kalau menurut pendapat kalian aku berdosa dan perlu dihukum, boleh. Aku bersedia melayani kalian, akan tetapi aku tidak mau dihukum. Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, juga boleh. Biarlah aku melakukan apa yang dahulu kedua orang Suhuku Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah gagal melakukannya, yaitu memberi hajaran kepada kalian orang-orang Lu-liang-pai yang pura-pura suci. Nah, silakan"
Muka Cin Kok Thaisu yang kelihatan alim itu kini terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda ini akan berani melawan dan mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang kakek yang hebat itu, ia meragu. Apalagi di situ terdapat nona muda yang galak ini, yang tentu bukan orang sembarangan pula maka berani bersikap sekeras itu. Andaikata dia mampu mengalahkan dan menangkap Siangkoan Li, kemudian hal ini terdengar oleh dua orang kakek yang terhukum di belakang kuil, bukankah kemarahan mereka akan bangkit dan jangan-jangan mereka itu melakukan pembalasan dengan membasmi Lu-liang-pai? Bantuan Bu Kek Siansu manusia dewa itu sukar diharapkan karena di mana adanya kakek itu tak seorang pun manusia mengetahuinya.
"Omitohud.., Maksud pinceng hanya untuk menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti kami menolong jiwa Siangkoan-kongcu dam berarti pula kami tidak melupakan persahabatan kami dengan Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak mengambil jalan sesat terus, kami pun tidak bisa berbuat sesuatu, akan tetapi kelak akan tiba masanya terpaksa kami menghadapi Kongcu sebagai musuh, bukan sebagai putera sahabat lagi."
Ia menoleh kepada murid-muridnya dan mendengus.
"Mari kita pergi."
Hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya yang lebar, lalu melangkah keluar sambil berliam-keng (membaca doa), diikuti oleh empat orang muridnya. Kwi Lan dan Siangkoan Li mengikuti mereka dengan pandang mata sampai mereka itu mulai mendaki bukit menuju ke markas Lu-liang-pai.
"Engkau benar, Kwi Lan. Orang harus dapat menentukan langkah sendiri, mempertimbangkan perbuatan sendiri kemudian mempertanggung jawabkannya sendiri pula. Terima kasih atas segala bantuanmu, Kwi Lan. Sekarang terbukalah mataku. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk membangun kembali Thian-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan orang-orang gagah sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat, terjunjung tinggi namanya di dunia kang-ouw. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa tidak sia-sia Ayah mempunyai seorang anak seperti aku."
Ucapan ini bersemangat sekali dan pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan terkepal dan mukanya yang tampan kehilangan kemuramannya, kini tampak berseri dan bercahaya. Kwi Lan tersenyum lebar, menghampiri dan memegang tangan pemuda itu.
"Bagus. Sekarang aku dapat dengan hati ikhlas dan dada lapang melepasmu pergi, Siangkoan Li. Kelak aku pasti akan datang mengunjungi Thian-liong-pang di bawah pimpinanmu."
Pemuda itu memandangnya tajam.
"Apa? Kau.. kau tidak ikut bersamaku?"
Kwi Lan menggeleng kepala.
"Sungguh lucu, bukan? Tadinya engkau yang selalu menyuruh aku pergi akan tetapi aku tidak mau meninggalkanmu. Sekarang aku yang hendak meninggalkanmu akan tetapi engkau yang sebaliknya menghendaki aku membantumu. Sekarang engkau dapat berdiri sendiri, Siangkoan Li, dan urusan Thian-liong-pang bukanlah urusanku, melainkan urusan pribadimu. Betapapun juga, aku girang sekali telah dapat bersahabat denganmu. Engkau seorang pemuda yang amat hebat"
"Kwi Lan.. ahhh.."
"Ada apa? Kenapa kau meragu lagi?"
"Kwi Lan.., terus terang saja. hemm, sekarang ini.. terasa amat berat bagiku untuk berpisah darimu. Tidak.. tidak dapatkah kita.. eh, bersama selalu..?"
"Ehm.. ehm.."
Untung pengemis yang terlupa dan masih tidur di sudut depan itu terbatuk-batuk sambil menggaruk-garuk pundak yang agaknya digigit kutu bajunya sehingga suasana tak enak dan mencekam setelah kata-kata Siangkoan Li itu menjadi buyar seketika. Siangkoan Li ingat bahwa dia berada dalam warung di mana terdapat pengemis itu dan juga pengurus warung yang berada di dalam, maka ia pun lalu tersenyum dan berkata.
"Maaf, Kwi Lan. Kembali aku terseret dalam kelemahan. Engkau benar. Kita harus mengambil jalan kita masing-masing dan kelak bertemu kembali dalam suasana yang lebih baik, setelah tugas kita masing-masing selesai. Nah, selamat tinggal dan selamat berpisah, Kwi Lan"
Jari tangan yang menggenggam tangan Kwi Lan itu seakan-akan memancarkan hawa hangat yang menjalar dari tangan Kwi Lan terus ke dalam hatinya. Ia memandang mesra kemudian menarik kembali tangannya.
"Selamat jalan, Siangkoan Li. Engkau orang baik, tentu kau akan berhasil dalam tugasmu. Sampai berjumpa pula kelak.."
Dengan wajah berseri dan langkah lebar, Siangkoan Li meninggalkan warung itu dan tak lama kemudian ia telah berlari-lari cepat dan lenyap dari pandang mata Kwi Lan yang mengikutinya. Gadis itu termenung sejenak, lalu menghela napas panjang dan memanggil pemilik warung. Setelah membayar harga makanan, ia pun lalu membawa bungkusan pakaiannya dan meninggalkan warung itu.
Kita tinggalkan dulu Kam Kwi Lan yang berpisah dari Siangkoan Li untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke Khitan menemui ibu kandungnya. Marilah kita menengok keluar, ke dunia kang-ouw. Seperti telah disinggung oleh manusia dewa Bu Kek Siansu ketika memberi nasihat kepada Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, di dunia kang-ouw, terutama di kalangan golongan hitam, terjadi perubahan hebat semenjak lenyapnya Thian-te Liok-koai dari permukaan dunia penjahat. Lenyapnya enam orang tokoh besar dunia hitam ini membuat golongan hitam menjadi lemah kedudukannya dan kuncup nyalinya. Apalagi, pemerintah Sung dengan secara tidak langsung dibantu oleh para pendekar, mendapat angin baik dan di mana-mana para pendekar berusaha membasmi golongan hitam sehingga banyaklah golongan hitam tidak berani lagi memperlihatkan diri secara berterang.
Untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, kaum hitam ini menyelundup ke dalam perkumpulan-perkumpulan bersih seperti yang dilakukan ke dalam Thian-liong-pang dan sebagian besar perkumpulan pengemis sehingga banyaklah perkumpulan-perkumpulan baik berubah menjadi sarang mereka yang dikejar-kejar itu. Kemudian timbul desas-desus yang menggembirakan dan membangkitkan semangat golongan hitam yaitu dengan turunnya pentolan-pentolan yang kabarnya malah memiliki kesaktian lebih hebat daripada mendiang Thian-te Liok-kwi"
Disebut-sebut oleh golongan hitam ini nama-nama tokoh yang selama ini tidak terkenal di dunia kang-ouw, pendatang-pendatang baru dari empat penjuru dan yang sebelum muncul sudah memiliki pengikut-pengikut yang memilih jagoan masing-masing untuk dijadikan semacam "datuk"
Mereka.
Orang pertama yang disebut-sebut adalah Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Berambut Wangi), seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang belum tewas. Karena dia merupakan seorang tokoh wanita, tentu saja yang memuja dan menjagoinya adalah golongan hitam kaum wanita yang akhir-akhir ini banyak muncul di dunia sebelah selatan. Semenjak dikalahkan oleh Suling Emas (baca CINTA BERNODA DARAH ), iblis betina ini melarikan diri dan bersembunyi di sebuah pulau kosong di pantai selatan, di mana selain menggembleng diri dengan ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid perempuan yang cantik-cantik dan kesemuanya berambut panjang terurai tidak digelung dan ia menciptakan sebuah barisan wanita yang disebutnya Siang-mou-tin (Barisan Rambut Wangi). Akan tetapi belasan tahun lamanya Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya mencampuri urusan luar, ia sendiri tak pernah terjun ke dunia kang-ouw.
Orang ke dua adalah seorang tokoh dari dunia barat yang tak dikenal orang, namun yang namanya menggemparkan perbatasan dunia barat. Begitu muncul, dia mengacau di antara para dunia pengemis dan dikabarkan bahwa dia telah membunuh dua ratus lebih orang pengemis golongan putih dengan cara yang luar biasa kejamnya, yaitu mempergunakan senjata yang istimewa, sebuah gunting yang besar sekali. Dia ini dijuluki Bu-tek Siu-lam (Si Tampan Tanpa Tanding). Karena munculnya telah melakukan perbuatan membasmi golongan pengemis putih, tentu saja namanya disanjung-sanjung oleh para pengemis golongan hitam yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan di dunia pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dikabarkan selain lebih lihai daripada raja pengemis jahat It-gan Kai-ong, juga lebih kejam dan amat aneh. Orangnya tampan, pakaiannya hebat luar biasa, lagak bicaranya seperti perempuan genit.
Orang ke tiga adalah Jin-cam Khoaong (Raja Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya Pak-sin-ong, seorang tokoh utara berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan. Kabarnya dia itu masih keturunan mendiang Hek-giam-lo itu tokoh Thian-te Liok-kwi (baca CINTA BERNODA DARAH ). Pak-sin-ong (Raja Sakti Utara) atau Jin-cam Khoa-ong ini juga amat kejam, senjatanya sebuah gergaji berkait dan ia bercita-cita untuk menjadi Raja Khitan dan kini menjadi buronan Kerajaan Khitan. Orang ke tiga ini pun mempunyai banyak anak buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan yang tidak suka kepada Ratu Yalina dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh dunia hitam bagian utara yang mengagumi kesaktian kakek ini menyatakan takluk dan menggabungkan diri atau lebih tepat bernaung di bawah pengaruh Pak-sin-ong.
Orang ke empat di antara deretan datuk-datuk dunia hitam ini adalah seorang kakek tua renta yang kurus dan mukanya selalu menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Dia ini adalah paman guru Sin-seng Losu Ketua Thian-liong-pang, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Karena di waktu mudanya dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah seorang bajak laut, maka sekarang pun para pengikutnya sebagian besar tokoh-tokoh bajak laut dan bajak sungai.
Orang ke lima di antara para tokoh adalah seorang raksasa yang mukanya seperti monyet, bahkan julukannya pun Thai-lek Kauw-ong (Raja Monyet Bertenaga Kuat). Tokoh ini muncul dari kepulauan di laut, dan entah berapa ratus tokoh sudah dirobohkan oleh kakek ini semenjak ia mendarat di pantai timur sampai perantauannya ke daratan tengah. Sampai kini belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang senjatanya yang aneh dan lucu, yaitu sepasang gembreng alat musik yang biasa dipakai bersama tambur dan canang untuk mengiringi tarian dan permainan barongsai atau liong. Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti tokoh lain, ia tidak mempunyai murid, juga tidak mempunyai pengikut. Ia malang-melintang seorang diri di dunia kang-ouw dan kesukaan satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan tokoh-tokoh besar.
Pagi hari itu amat ramai di Puncak Cheng-liong-san yang biasanya amat sunyi. Puncak gunung ini merupakan sebuah di antara puncak-puncak yang paling sunyi, tak pernah didatangi manusia karena selain sukar mencapai puncak ini, juga di sekitar gunung ini menjadi sarang binatang buas dan seringkali dijadikan sarang manusia-manusia buas pula. Pagi hari ini pun puncak Cheng-liong-san menjadi pusat pertemuan di antara orang-orang golongan hitam yang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan awal dalam menghadapi pertemuan para tokoh mereka untuk mengadakan pemilihan beng-cu (ketua) yang akan memimpin para tokoh dunia hitam menghadapi para pendekar golongan putih.
Semenjak malam tadi, berbondong-bondong orang kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada rombongan terdiri hanya dari dua tiga orang, akan tetapi ada pula rombongan besar terdiri dari belasan orang, bahkan sambil membawa bendera lambang perkumpulan mereka segala. Pagi hari itu sudah ramailah puncak, penuh dengan orang-orang yang bermacam-macam pakaiannya. Ada yang masih amat muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang berpakaian mewah seperti seorang jutawan, ada yang berpakaian pedagang, ada seperti guru silat, dan banyak pula yang berpakaian pengemis. Biarpun bermacam-macam, sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang jahat yang selalu mendatangkan kekacauan di dunia ini. Tampak bendera mereka berkibar dengan sulaman bermacam-macam lambang.
Ada gambar naga dengan beraneka warna, ada gambar bunga-bunga, dan lain macam binatang. Di antara banyak bendera itu, tampak berkibar megah bendera dengan gambar garuda hitam dan ada pula bendera bergambar ular hitam. Dua buah bendera ini dipegang oleh rombongan pengemis yang pakaiannya berkembang bersih, maka mudahlah diketahui bahwa mereka itu adalah rombongan perkumpulan-perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Memang golongan pengemislah yang terbanyak datang mengunjungi pertemuan kaum sesat ini. Serigala dan harimau, binatang-binatang buas hidup rukun dengan kelompok masing-masing, demikian pula manusia.
Burung memilih kawan dengan persamaan warna bulu, sedangkan manusia memilih kawan dengan kecocokan watak dan kebiasaan mereka. Biarpun orang-orang yang pada pagi hari itu berkumpul di Puncak Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang kang-ouw yang sudah biasa melakuken perbuatan sesat, namun kini setelah berkumpul mereka dapat beramah-tamah, bersendau-gurau dengan hati tulus ikhlas penuh rasa persahabatan satu dengan yang lainnya. Dengan bangga mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang bagi umum merupakan perbuatan jahat, namun bagi mereka merupakan kegagahan dan keberanian yang patut mereka banggakan.
Ramailah suara mereka bercakap-cakap diseling gelak ketawa, mengalahkan dan mengusir burung-burung yang terbang pergi ketakutan. Seperti telah bermufakat padahal hanya kebetulan saja, mereka kini berkumpul mengelilingi sebuah batu besar yang bundar bentuknya dan licin permukaannya sehingga batu itu dapat dipergunakan sebagai pengganti meja besar. Batu-batu kecil diangkat dan digulingkan di seputar "meja"
Ini, dijadikan tempat duduk. Ada pula yang berjongkok atau duduk begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri dan bermacam-macamlah sikap mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dari jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang berkumpul di situ adalah hamba-hamba nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita semerdu ini, serentak mereka menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua percakapan terhenti dan semua mata melotot memandang penuh gairah kepada dua orang wanita muda yang datang berjalan dengan lenggang bergaya tari, menarik dan menggairahkan. Dua orang wanita muda ini bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna merah muda dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa mereka adalah wanita-wanita selatan.
Rambut mereka terurai panjang tak digelung, dan gagang pedang tampak di belakang punggung. Mereka datang sambil tersenyum-senyum manis dan sepasang mata mengerling-ngerling genit. Karena yang menjadi pelopor pertemuan ini adalah dua perkumpulan pengemis Hek-pek Kai-pang dan Hek-coa Kaipang, maka dua perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang sekaligus meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada pihak musuh yang datang menyelundup. Melihat datangnya dua orang wanita muda yang tak terkenal ini, Ketua Hek-coa Kai-pang segera menyambut, menjura dan berkata kepada dua orang wanita itu.
"Selamat datang di antara sahabat. Mohon tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Berdua) ini dari golongan manakah dan berdiri di bawah bendera apa?"
Dua orang wanita muda itu saling pandang lalu tertawa genit sambil menutupi mulut dengan ujung lengan baju mereka yang panjang. Kemudian seorang di antara mereka yang lebih tinggi berkata.
"Kami adalah anggauta-anggauta Siang-mou-tin, diutus oleh Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi di sini."
"Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan Siang-mou Sin-ni dari selatan. Maaf, karena terlalu jauh kami tak sempat mengirim undangan, harap sampaikan maaf kami kepada Sin-ni. Akan tetapi kami girang bahwa Sin-ni berkenan mengutus wakil. Silakan duduk, Ji-wi Kouwnio"
Dua orang wanita itu tersenyum-senyum dan melangkah mendekati mereka. Para tamu yang terdiri dari laki-laki semua itu kini mencium bau harum yang semerbak keluar dari rambut panjang dua orang wanita ini. Mereka berseru kagum dan mulailah mereka, terutama yang muda-muda, berteriak-teriak menawarkan tempat duduk.
"Mari duduk dekatku sini, Nona. Batunya licin dan bersih"
"Di sini teduh. Marilah"
Berlumba mereka itu menawarkan tempat duduk sambil tertawa-tawa, semua mengharapkan untuk dapat duduk di dekat dua orang nona manis yang genit senyum kerlingnya dan harum rambutnya itu.
Bahkan ada pula yang mulai mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan cabul, sesuai dengan watak mereka yang memang sudah biasa bersendau-gurau dengan kata-kata cabul. Namun dua orang wanita itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita sopan mendengar sendau-gurau laki-laki yang cabul dan kurang ajar, tentu menjadi malu dan tidak senang, namun dua orang wanita anggauta Siang-mou-tin ini tersenyum-senyum dan melirik sana-sini memilih tempat. Sesungguhnya bukan tempat yang mereka pilih, melainkan penawarnya. Tak lama kemudian, di bawah sorak-sorai dan tawa gemuruh, mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan segera mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira.
Biarpun tuan rumahnya adalah perkumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini bukanlah tuan rumah yang miskin. Sesungguhnya memang amat janggal terdengarnya.
"Pengemis yang tidak miskin"
Namun ini kenyataan karena sesungguhnya para anggauta Hek-peng Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan masih banyak lagi perkumpulan pengemis golongan sesat, tak pernah pergi mengemis, melainkan mengemis secara paksa alias merampok. Dengan mengandalkan kepandaian dan pengaruh perkumpulan, mereka mendatangi orang-orang kaya lalu "mengemis"
Jumlah tertentu yang harus diberikan oleh si kaya. Demikianlah praktek yang dijalankan oleh perkumpulan-perkumpulan pengemis golongan sesat ini.
Maka mereka itu bukanlah orang miskin dan dalam pertemuan ini, segera dihidangkan arak baik dan makanan-makanan yang cukup lezat dan mahal. Menjelang siang, semua tamu sudah berkumpul, jumlahnya seratus orang lebih. Maka perundingan pun dimulailah. Yang menjadi pokok pembicaraan adalah membentuk persatuan dan persekutuan golongan sesat untuk bersama-sama menghadapi musuh golongan putih dan membalas dendam serta membasmi para pendekar yang pernah menghancurkan golongan mereka.
"Sudah terlalu lama kita ditindas"
Demikian antara lain Ketua Hek-pek Kai-pang berkata.
"Semenjak para datuk kita, di antaranya adalah It-gan Kai-ong raja pengemis kami, tewas, maka kita selalu dikejar-kejar, dihina dan harus sembunyi sembunyi. Maka kini kita harus bersatu untuk menghadapi mereka."
"Agar persatuan kita dapat lebih kuat teratur, kita harus mengangkat seorang bengcu (pemimpin). Pertemuan ini memang merupakan pertemuan pendahuluan dan persiapan untuk memilih bengcu. Tentu saja memilih bengcu harus mencari seorang tokoh yang sakti agar pekerjaan kita jangan sampai gagal"
Kata Ketua Hek-coa Kai-pang.
"Kami dari golongan pengemis mengajukan calon bengcu, yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam"
Semua pengemis yang merupakan anggauta pimpinan pelbagai perkumpulan pengemis, bertepuk tangan menyatakan setuju dan mendukung tokoh yang disebut oleh ketua Hek-coa Kai-pang itu.
Mulailah golongan lain mengajukan calon-calon mereka. Wakil-wakil dari utara mengajukan calon Sin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang sudah terkenal kesaktiannya. Golongan barat diperkuat oleh perkumpulan Thian-liong-pang mengajukan Siauw-bin Lo-mo. Sebaliknya para penjahat yang datang dari timur dan yang mengagumi sepak terjang Thai-lek Kauw-ong yang mengerikan, tentu saja mengajukan tokoh baru ini sebagai bengcu. Ramailah mereka memuji-muji setinggi langit calon masing-masing, menceritakan kehebatan sepak terjang mereka, kelihaian mereka, dan kekejaman mereka yang mereka katakan bahwa lebih hebat daripada Thian-te Liok-kwi yang kini sudah tidak ada lagi, tinggal Siang-mou Sin-ni seorang yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw.
"Bagus, Agaknya kita tidak kekurangan calon yang hebat-hebat. Sudah ada empat orang calon kita yang dalam beberapa hari ini akan hadir di sini. Setelah semua calon berkumpul, barulah dilihat siapa di antara mereka yang paling patut dijadikan bengcu. Sementara itu, mengingat bahwa Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-kwi, jadi merupakan tokoh tua yang patut diingat, sebaiknya kita mendengarkan suara utusannya yang kini hadir di sini."
Kata Ketua Hek-peng Kai-pang sambil melirik dua orang nona manis yang kelihatan makin merapat duduknya dengan dua orang laki-laki muda tampan tadi. Tanpa malu-malu lagi kedua nona itu sudah bersikap sangat mesra terhadap dua orang pasangan mereka.
Mendengar ucapan itu, dua orang nona manis itu kini dengan manja dan perlahan mendorong dada pasangan mereka, kemudian tertawa genit sambil meloncat ke depan. Sekali meloncat, gerakan mereka yang amat ringan dan cekatan itu membuat mereka sudah berdiri di atas batu besar di tengah-tengah. Di tempat tinggi ini mereka kelihatan jelas. Cantik genit dengan bentuk tubuh tampak membayang di balik pakaian sutera tipis. Cantik menggairahkan.
Suling Emas Eps 29 Suling Emas Eps 4 Suling Emas Eps 24