Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 23


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio ini.

   "Baik, aku berjanji!"

   Bentaknya.

   "Nah, silakan memukul dua kali, Sicu."

   Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti orang berdoa.

   Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan sernua sin-kang di tubuhnya, disalurkan ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sin-kang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat. Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi, sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih menyakitkan hati daripada makian atau serangan.

   Dia, seorang yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi, dia tidak percaya bahwa hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan. Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sin-kang untuk menangkis. Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang. Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!

   "Krekkk! Krekkkk!"

   Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu. Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu. Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.

   "Kau.... kau....! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati.... terimalah ini....!"

   Suma Hoat yang merasa ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati daripada melihat ia cacad selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan! Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.

   "Desss....!"

   Telapak tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya.... tubuh Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!

   "Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?"

   Dengan tenang Kian Ti Hosiang menegur perlahan. Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sin-kang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan mematikannya.

   "Oohhh, bocah setan yang kejam....!"

   Kam Siang Kui menggeram.

   "Manusia iblis yang patut dibasmi!"

   Kam Siang Hui juga membentak. Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang,

   "Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!"

   Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi,

   "Bagaimana, Suma Hoat. Apakah engkau akan memegang janji?"

   Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam. Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini? Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab,

   "Locianpwe, aku bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi.... aku tidak yakin apakah akan berhasil...."

   "Berhasil atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupanmu untuk berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu."

   "Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...."

   Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya. Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoinya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoinya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai tembus. Kian Ti Hosiang menoleh merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata,

   "Omitohud.... dosa ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi."

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.

   Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya. Biasanya, melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya, dia bisa tertawa-tawa. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes dari matanya dan biarpun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.

   "Bocah setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat lagi!"

   Terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.

   "Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!"

   Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian,

   "Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!"

   Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan tersenyum.

   "Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biarpun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!" "Keparat bermulut busuk!"

   Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.

   "Plakkk!"

   Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum biarpun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu.

   "Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kau langgar, bedebah!"

   "Ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ia juga jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biarpun sudah agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat....!"

   "Plak-plak!"

   Kini Suma Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka akibat sin-kang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.

   "Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masak-masaknya, manis dan...."

   "Kubunuh engkau!"

   Kam Siang Hui membentak dan

   "srat!"

   Pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.

   "Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu,"

   Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.

   "Suma Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kau hina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!"

   Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.

   "Ahhhh....!"

   Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!

   "Aduhhh.... ampunkan aku.... kedua bibi.... ampunkan aku...."

   Ketika siuman, Suma Hoat merintih-rintih, suaranya mengandung penuh penyesalan. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!

   "Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin...."
Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan sin-kang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.

   "Ahhh.... mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati...."

   Suma Hoat mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa sesak di dadanya.

   "Jai-hwa-sian.... baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menderita luka dalam yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Itu masih belum aneh, yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta ampun. Aihhh.... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang amat mengagumimu, atau saudaramu.... ceritakanlah apa yang terjadi?"

   Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang kara, kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!

   Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil terisak, Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri, kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada wanita, benci di samping dorongan berahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw! Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan. Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.

   "Aihhh...., betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong? Ah.... ah...., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas.... pantas....! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya begitu rupa!"

   Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih.

   "Dia mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat....! Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...."

   Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala.

   "Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian, dan di samping itu, hemmm.... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan bijaksana itu SENGAJA membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan Beng-kauw!"

   Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.

   "Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?"

   "Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya, maka kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang maka agaknya pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!"

   "Eh, mengapa begitu?"

   Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian.

   "Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang ke dua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka, dia sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu."

   Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut.

   "Aihhhh....! Dan seorang yang berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?"

   Dia mengeluh penuh penyesalan. Im-yang Seng-cu menggeleng kepala.

   "Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu."

   "Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?"

   Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya. Ia membalas pegangan itu dan berkata,

   "Kedua bibimu berjuang untuk merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama."

   Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri.

   "Bagus sekali! Terima kasih atas nasihatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!"

   Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali.

   "Aku tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!"

   Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san. Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang akan malam nanti menyerang barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat.

   Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia! Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya.

   Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ada ia melihat sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasang perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka? Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya dan biarpun ia mengepalai banyak sekali pasukan namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suhengnya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan suhengnya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es!

   Apakah suhengnya masih berada di sana? Dan sumoirya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoinya itu pun berada di sana? Teringat akan suhengnya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoinya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suhengnya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suhengnya amat sayang kepada dia dan sumoinya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoinya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!

   "Maya...."

   Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata,

   "Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?"

   "Maya.... aku.... aku...."

   Ji Kun menggagap. Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja padahal biasanya menyebutnya

   "li-ciangkun".

   "Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!"

   Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata,

   "Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kauanggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?"

   Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab.

   "Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu."

   "Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya.... eh, semenjak kita bertemu.... sesungguhnya.... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku.... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!"

   Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Mendengar pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya baru pertama kali ini didengarnya dan menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suhengnya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras,

   "Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....! Kau kira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan menyatakan cinta kcpadaku?"

   "Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!"

   "Sudahlah!"

   Maya berkata jengkel.

   "Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?"

   "Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?"

   Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya! Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak,

   "Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!"

   "Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...."

   "Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!"

   "Maya.... apakah.... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?"

   Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya. Melihat ini, Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya,

   "Siapa dia, Maya? Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!"

   Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah.

   "Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apalagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!"

   Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,

   "Dan jangan lupa menyebutku "ciangkun"

   Kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!"

   Ji Kun tidak menjawab, dan setelah tiba di kamarnya Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suhengnya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan, dan diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah.

   Betapapun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti.... seperti dia mencinta Han Ki! Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun melesat keluar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan. Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya,

   Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya! Yan Hwa tak tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoinya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi! Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biarpun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.

   "Cring-cring....!"

   Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.

   "Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!"

   Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bentak Maya.

   "Aku harus membunuhnya!"

   Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.

   "Perempuan sombong, kaukira begitu mudah?"

   Ji Kun balas membentak.

   "Tranggg.....!"

   Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.

   "Berhenti kataku!"

   Maya menerjang lagi di antara mereka, pedangnya berkelebat menyilaukan mata mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.

   "Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan kepada musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!"

   Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini maka biarpun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.

   "Maya.... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi."

   Yan Hwa menarik napas panjang.

   "Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf."

   Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata,

   "Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Apalagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!"

   "Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita."

   "Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati."

   "Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?"

   Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu! Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya.

   Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun. Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suhengnya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suhengnya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoinya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang? Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya.

   Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya! Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh, karena begitu mereka tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka! Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau!

   Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang campuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka. Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling sembelih saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat. Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biarpun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan belakang.

   Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata mengalami kegagalan karena tanpa terduga-duga, awan-awan gelap nenutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu seringkali terjadi atas diri manusia. Betapapun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia. Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau, karena Maya telah menggerakkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan.

   Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu! Pasukan berkuda dari bala tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat dan dua orang pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya, Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini amat kuat dan terdiri dari orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak akan gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari pasukan ini akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah. Akan tetapi, kalau di dalam perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala, liar yang langsung menerjang mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan mereka panik ketakutan,

   Serigala-serigala yang seperti manusia saja dapat diatur oleh seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak seperti serigala, tentu saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang pasukan berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaanpasukannya. Ia berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika ia menerima laporan bahwa yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri adalah Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh Panglima Wanita Maya. Tentu saja Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut ini yang kabarnya adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang memberontak.

   "Biar kuhadapi sendiri pemberontak itu!"

   Bentaknya dan bersama selir dan muridnya, panglima ini menyerbu di atas kudanya ke depan. Gerakan pedang tiga orang ini hebat bukan main dan entah berapa puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan kemarahan meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng Kok. Jarum-jarum beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja tak dapat dielakkan oleh laki-laki gundul itu sehingga dadanya terkena tiga batang jarum hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan mengeluarkan suara meraung-raung seperti serigala marah. Raungan ini membuat sisa barisan serigala menjadi seperti gila. Mereka meraung-raung pula dan mengamuk hebat dan nekat.

   Pihak pasukan berkuda bala tentara Sung benar-benar menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala ini karena menghadapi penyerbuan Pasukan Maut itu mereka sudah merasa berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua serigala, akan tetapi pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih dari setengahnya. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menghimpit mereka dari kanan kiri dan sepak terjang kedua orang ini benar-benar mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan menggerakkan pedang seolah-olah hendak saling berlumba, berbanyak-banyakan membabat musuh! Mereka menaati pesan Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu karena panglima wanita ini sendiri mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan benar lawan untuk membantu barisan Mancu.

   "Bala bantuan datang!"

   Teriakan ini berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak hebat, dan pasukan Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka. Juga Suma Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan yang dipimpin oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah dapat dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan muridnya tertawa dan mengamuk makin hebat sehingga di pihak musuh, para perajurit menjadi gentar tidak berani mendekati mereka. Sementara itu, Maya dan pihak barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, menjadi terkejut. Biarpun mereka telah mulai mendesak musuh, namun sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih besar.

   Kalau sekarang ditambah bala bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan keadatan yang membahayakan sekali! Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah direncanakan, ditambah bantuan barisan serigala, tentara Sung telah dibikin kacau dan banyak di antara mereka tewas sehingga jumlah mereka kini hampir seimbang, kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi dengan munculnya pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa khawatir apakah pasukannya dan pasukan Mancu akan mampu bertahan. Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, maupun oleh pihak Sung sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang bukan membantu barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya malah menyerang barisan Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan marah.

   Ia membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Biarpun pasukan yang baru datang itu mendapat perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung, akan tetapi melihat Suma Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya, tidak berani menyerang sehingga dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga orang pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga orang ini tiga orang panglima yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu Tek San, dan karena mereka adalah orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak marah,

   "Apakah kalian bertiga sudah menjadi gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?"

   Ong Ki Bu Panglima tinggi besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah seperti Panglima Kwan Kong dalam dongeng Sam-kok, mengajukan kudanya dan menudingkan tombaknya kepada Suma Kiat sambil berkata,

   "Suma Kiat! Engkau sendiri sudah mengangkat tangan secara kejam, membunuhi pahlawan-pahlawan budiman dan gagah perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San, engkau menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara. Kalau kami sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?"

   Muka Suma Kiat menjadi merah, matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari atas kudanya, menyambar ke arah Ong Ki Bu. Panglima Ong ini maklum betapa lihainya Jenderal Suma Kiat, maka ia cepat menyambut sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya yang digerakkan cepat menusuk. Suara tombak menyambar sampai mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu dan ujung tombak lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.

   "Krekkkk! Desss!"

   Tombak itu patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong Ki Bu yang berteriak keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya, terbanting ke atas tanah dan tewas di saat itu juga dengan dada menghitam seperti terbakar api. Dalam kemarahannya tadi, Suma Kiat telah mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!

   "Hayo kalian berdua lekas berlutut dan menarik kembali pasukan!"

   Suma Kiat membentak kepada Panglima Cong Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke arah mayat Ong Ki Bu. Akan tetapi, sebaliknya dari menaati perintah ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan senjata mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi pada saat itu, Bu Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju menyambut dua orang panglima itu. Tidak berlangsung lama pertandingan yang berat sebelah ini.

   Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh lebih lihai dibandingkan dengan selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka kalah jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal dan tewas menyusul rekan mereka Ong Ki Bu. Akan tetapi biarpun tiga orang panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu membuat pasukan Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul mundur. Melihat ini, Suma Kiat menjadi makin marah. Dia bersama selir dan muridnya mengamuk dan terus maju membabati musuh, merobohkan banyak perwira Mancu dan akhirnya Suma Kiat berhadapan dengan dua orang murid Mutiara Hitam yang juga mengamuk secara dahsyat.

   "Ha-ha, bagus sekali! Manusia jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!"

   Can Ji Kun ketawa dan menerjang maju didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya selisih beberapa detik dari pedang di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh panglima itu.

   "Trang-trang....!"

   Suma Kiat terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan mata itu, apalagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika menangkis. Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan ia membentak.

   "Bocah-bocah setan! Siapa kalian?"

   "Buka telingamu lebar-lebar!"

   Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada.

   "Kami adalah murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut nyawamu!"

   Mendengar disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu, di waktu mudanya, ia tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi saudara misannya, juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca cerita Mutiara Hitam), akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia menjadi benci kepada Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga Suling Emas. Matanya melotot dan ia membentak,

   "Kebetulan sekali! Aku tidak berkesempatan membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya!"

   Ia menerjang maju dengan dahsyat, menggunakan pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.

   "Ha-ha! Pedang kami yang akan menghirup darahmu!"

   Ji Kun mengejek dan menyambut serangan itu bersama sumoinya sambil balas menyerang karena di antara kedua orang murid Mutiara Hitam ini khawatir kalau-kalau kalah dulu! Mutiara Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid mereka, dan ilmu pedang itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini ilmu pedang yang dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar biasa. Masing-masing telah memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Merah) sedangkan Ji Kun mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan).

   Biarpun Suma Kiat memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka, dia terkejut juga menyaksikan kehebatan gerakan mereka terutama sekali kaget melihat sinar pedang yang
(Lanjut ke Jilid 23)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23
mengandung hawa mujijat yang mengerikan! Melihat keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk merobohkan para perajurit Pasukan Maut seperti orang membabat rumput saja, cepat menghampiri dan menerjang maju sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun bertanding melawan Suma Kiat. Kini keadaan menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya, biarpun kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat mengalahkannya, namun panglima ini pun akan selalu terdesak.

   Kini, setelah kedua orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingikehebatan ilmu pedang Yan Hwa. Kedatangan pasukan-pasukan Sung di bawah pimpinan tiga orang panglima yang memberontak terhadap Suma Kiat membuat keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi kocar-kacir. Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada perajurit membalikkan tubuh dan melarikan diri. Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh Suma Kiat. Ketika dia melihat betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, dan juga suhengnya itu kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga didesak oleh dua orang pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri mereka.

   "Trangggg....!"

   Tubuh Suma Kiat terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah. Ia memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking marahnya.

   "Hemmm, agaknya engkau inikah Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?"

   Bentaknya. Maya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan hati Suma Kiat.

   "Benar, akulah Maya. Apakah engkau telah lupa, Suma Kiat? Lupa kepada dua orang anak yang menyelundup masuk ke istana ketika menyambut utusan Kerajaan Yucen?"

   Suma Kiat membelalakkan matanya.

   "Engkau....? Engkaukah.... Maya puteri Raja Talibu?"

   Diam-diam ia bergidik.

   Kiranya kini ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas lagi! Dua orang murid Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul keponakan Mutiara Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri dari Raja Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi gentar hatinya, apalagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat seorang penunggang kuda yang berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan dari Mancu! Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang pembantunya sudah tidak dapat membebaskandiri. Ia melihat selirnya dan muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan gigih, dan diam-diam ia pun hendak berlaku nekat, melawan sampai mati ketika tiba-tiba timbul akal yang amat baik di otaknya.

   "Persetan kalian! Mampuslah!"

   Kedua tangan panglima ini bergerak.

   "Awas jarum berbisa!"

   Maya cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan lengan bajunya. Jarum-jarum berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Maya dan para perwira yang mengurung di situ. Biarpun Maya sudah memberi ingat, tetap saja Kwa-huciang, pembantunya, roboh terguling dari atas kudanya. Melihat ini, Maya cepat meloncat mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan tangan kiri Kwa-huciang.

   "Celaka! Pertahankan Kwa-huciang!"

   Maya berseru dan.... tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan tangan yang seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan tangan, menggigit bibir menahan rasa nyeri.

   "Biar kurawat sendiri lukanya, Li-ciangkun, lebih balk tangkap dia!"

   Ia menuding ke depan. Maya baru teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun, terlambat karena Suma Kiat sudah meloncat ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk pangeran itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas ubun-ubun!

   "Ci Goat! Lee-ji! Mundur ke sini!"

   Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang meninggalkan Ok Yan Hwa.

   "Pengecut besar!"

   Maya berseru.

   "Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara laki-laki. Panglima macam apa engkau ini?"

   Suma Kiat tersenyum. Pundaknya masih terluka dan berdarah.

   "Belum waktunya kita bertanding, Maya. Aku sudah lelah dan perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!"

   "Jangan dengarkan dia, Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!"

   Pangeran Bharigan yang sudah dibuat tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh keberanian,

   "Can Ji Kun! Ok Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!"

   Kedua orang murid Mutiara Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak,

   "Tahan!"

   Kedua orang muda itu tidak berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata penuh pertanyaan. Maya menghela napas dan berkata,

   "Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan jauh lebih berharga dibandingkan dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa kehendakmu sekarang?"

   "Ha-ha-ha! Melakukan siasat dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kaukehendaki?"

   "Manusia rendah! Jangan mengira bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan dengan menyelamatkan nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu yang mencemarkan namanya. Engkau bebaskan dia dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah keputusan adil di antara orang gagah, kalau engkau masih memiliki slfat kegagahan!"

   "Ha-ha-ha, bocah yang kurang ajar. Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri? Ayahmu, Raja Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula, bahkan dahulu calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah murid ibuku. Apakah engkau sekarang, dan dua orang murid Mutiara Hitam itu berani bersikap kurang ajar kepadaku?"

   "Tak perlu banyak bicara, Suma Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran Bharigan, dan aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga boleh pergi dari sini tanpa diganggu. Atau.... aku akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kau membunuh Pangeran Bharigan. Nah, pilihlah!"

   

Cinta Bernoda Darah Eps 9 Cinta Bernoda Darah Eps 14 Mutiara Hitam Eps 10

Cari Blog Ini