Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 31


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



"Trak-trakk!"

   Siauw Bwee melihat betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap ke dalam air. Tak lama kemudian dari atas perahu yang sudah mendekat itu, tampak berkelebat bayangan yang meloncat ke arah balok. Karena keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat tubuh yang langsing dari orang itu. Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum. Gerakan wanita itu benar-benar hebat, seperti seekor burung terbang saja, akan tetapi yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah pedang di tangan orang itu karena pedang ini mengeluarkan cahaya kilat yang hebat, juga membawa hawa yang mengerikan hati.

   Tentu seorang Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena tidak diduganya bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang ke arah mereka adalah seorang wanita. Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama karena tubuh orang yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik di udara dan kini menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan ke arah lehernya! Siauw Bwee maklum bahwa selain pedang itu amat ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan pedang itu tentu kuat sekali, maka dia tidak berani memandang ringan, lalu mengerahkan sin-kangnya yang disalurkan melalui pedang rampasannya, dan berbareng dia menghantam dengan telapak tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan Jit-goat-sin-kang!

   "Trakkk....! Aiiihhh....!"

   Jeritan ini keluar dari mulut dua orang wanita, yaitu Siauw Bwee dan wanita yang menyerangnya, karena keduanya terkejut bukan main akan akibat bentrokan pertama ini. Pedang Siauw Bwee patah menjadi dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu, akan tetapi wanita itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan pedang lawan, tangan kanannya tergetar, apalagi ketika ada pukulan yang amat dingin menghantam dadanya.

   Cepat wanita itu mencelat dengan jalan berjungkir-balik di udara, turun ke ujung balok di belakang Siauw Bwee dan ketika Siauw Bwee cepat membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan pengerahan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang kilat itu telah mengenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang kembali ke atas perahu! Seorang lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menanti dengan pandang mata tajam ditujukan ke arah perahu itu. Akan tetapi, agaknya wanita yang berpedang kilat itu pun terkejut dan ragu-ragu untuk menyerang lagi, apalagi kini balok itu telah tiba di seberang, sedangkan perahu-perahu yang besar itu tidak dapat mepet di tepi sungai yang dangkal.

   Siauw Bwee tentu saja tidak pernah menduga bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang itu tentu saja amat ampuh karena yang dipegangnya adalah sebatang di antaru Sepasang Pedang Iblis! Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, tadinya kedua orang murid Mutiara Hitam, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh Kam Han Ki, menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu. Akan tetapi, di dalam perjalanan, mereka ini selalu berselisih karena selain kehidupan yang mewah dan terhormat di dalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara setelah berkelana lagi, juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk dan berlumba membunuh musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika mendengar betapa pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka kembali lagi dan membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota Sian-yang.

   Hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menjadi lega ketika mereka meloncat ke darat. Untung bahwa malam itu gelap dan agaknya panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi. Dan memang dugaan Siauw Bwee betul. Ok Yan Hwa adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu tinggi. Akan tetapi dia pun bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi bergebrak dengan Siauw Bwee, hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa tenaga sin-kangnya jauh di bawah wanita muda itu! Apalagi ketika menghadapi pukulan dorongan tangan kiri Siauw Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah mati, tidak pernah menyangka bahwa di samping Maya, masih ada lagi gadis muda yang lebih lihai daripada dia!

   Karena suhengnya tidak bersamanya, dan di antara pasukan tidak ada yang dapat diandalkan untuk membantu, maka di dalam kegelapan malam itu dia tidak berani nekat melakukan pengejaran seorang diri saja, apalagi dua orang yang melarikan diri itu selain lihai juga berada di luar kota. Baru menghadapi wanita itu saja, belum tentu dia akan menang, apalagi harus menghadapi dua orang lawan yang sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang di antara anak panahnya telah berhasil melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja dia pun tidak tahu bahwa kakek itu, yang menurut pendengaran para pasukan, adalah supek Si Nona Lihai, sebetulnya jauh kalah kalau dibandingkan dengan murid keponakannya.

   Setelah melihat bahwa pihak pasukan musuh tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee mengajak paman gurunya berhenti, kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak panah yang menancap di pundak Coa Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja Leng Bu dapat mengobati luka di pundaknya yang untung sekali tidak merupakan luka parah karena anak panah itu hanya menembus daging tidak merusak tulang atau urat besar. Setelah diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Biarpun pundaknya terluka, Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat terus ke selatan semalam itu, dan baru pada pagi harinya, mereka memasuki dusun dan berhenti ke dalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat. Di sepanjang jalan malam itu, mereka melewati banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu penduduk dusun-dusun di sekitar kota Sian-yang yang telah direbut pasukan Mancu.

   Ketika mereka tiba di dusun itu pun sebagian besar penduduk telah berkemas dan bersiap untuk lari mengungsi ke selatan. Hanya mereka yang tidak mampu saja, dan mereka yang enggan meninggalkan usaha mereka, seperti tukang warung itu, yang masih berada di dusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi. Warung itu penuh dengan para pengungsi yang ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan kedua orang itu diam-diam mendengarkan percakapan para pengungsi tentang jatuhnya kota Sian-yang. Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur, menelan ludah dan hampir saja tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika melihat gadis itu mengerutkan alis dan melirik ke kiri di mana terdapat beberapa orang tamu pria sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan melanjutkan makan bubur dengan sikap tenang.

   "Benarkah keteranganmu itu bahwa bala tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?"

   Terdengar orang ke dua bertanya sambil berbisik.

   "Tidak salah lagi. Keponakanku adalah seorang anggauta pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah yang menganjurkan kami sekeluarga meninggalkan kota setelah dia ketahui betapa kuatnya pasukan-pasukan musuh,"

   Bisik orang pertama.

   "Aihhh, pantas saja Sian-yang tak dapat dipertahankan, biarpun Koksu sendiri kebetulan berada di sana!"

   Kata orang ke tiga.

   "Aku telah mendengar pula akan kehebatan Pasukan Maut yang kabarnya beranggautakan tentara yang seperti iblis, tidak takut mati dan berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apalagi Panglima Pasukan Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian seperti iblis dari belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!"

   "Hemmm, di antara panglima musuh muncul seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan aku akan ramalan seorang tosu di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa banyak kerajaan runtuh oleh wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan tetapi juga oleh kelihaian mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin terpecah dan mundur ke selatan akan roboh pula karena wanita?"

   "Stttt, Twako, jangan bicara seperti itu....!"

   Terdengar suara memperingatkan. Yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi. Apakah sucinya yang menjadi Panglima Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada persamaan nama belaka? Akan tetapi, melihat kelihaian panglima wanita itu, tidak akan mengherankan kalau wanita itu adalah sucinya, apalagi kalau diingat betapa wanita dari perahu Mancu malam tadi pun amat lihai, sungguhpun tidak selihai sucinya.

   Pula, sucinya adalah puteri dari Kerajaan Khitan, sedikitpun masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Mancu, dan dia tahu betapa sucinya amat membenci Kerajaan Sung karena kerajaan itu dianggap telah menjadi sebab kesengsaraan dan kemusnahan keturunan keluarga Suling Emas. Hati Siauw Bwee ingin sekali menjumpai sucinya, akan tetapi dia telah menimbulkan kekacauan di Sian-yang, bukankah hal ini akan membuat sucinya makin benci kepadanya? Pula, apa perlunya menjumpai sucinya yang telah menjadi Panglima Mancu? Dia tidak ada hasrat bertemu dengan sucinya itu sebaliknya dia ingin sekali segera pergi menyusul suhengnya yang sekarang amat aneh sikapnya dan menurut dugaan Coa Leng Bu, menjadi korban racun perampas semangat dan ingatan. Keadaan suhengnya amat mengkhawatirkan dan suhengnya perlu sekali mendapatkan pertolongannya.

   "Supek, mari kita melanjutkan perjalanan,"

   Katanya lirih kepada Coa Leng Bu. Kakek itu mengangguk, akan tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang keluar dengan mata terbelalak kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali. Coa Leng Bu melirik ke luar dan melihat serombongan orang memasuki warung. Mereka terdiri dari sebelas orang, dan yang menjadi pembuka jalan ke warung itu adalah seorang pendek gemuk yang berkepala botak. Melihat orang ini pemilik warung cepat-cepat menyambut dengan membongkok-bongkok penuh penghormatan.

   "Selamat datang, Koan-taihiap.... sungguh menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga saya tidak dapat menyambut dengan sepatutnya."

   Orang yang disebut pendekar besar Koan itu menggerakkan matanya yang lebar memandang ke sekeliling, alisnya berkerut dan dia berkata,

   "Harus kausediakan tempat. Tamu-tamuku adalah orang-orang yang lebih penting daripada siapapun juga di sini, dan aku sudah terlanjur memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan enak."

   Tukang warung menjadi bingung dan terpaksa dengan kata-kata halus dia mengusir beberapa orang pengungsi yang sudah lama duduk di situ dan yang sudah selesai makan pula.

   Dengan muka bersungut-sungut namun tidak berani membantah, beberapa orang meninggalkan warung itu dan meja bangku bekas mereka dibersihkan oleh tukang warung dan pelayan-pelayannya. Kemudian orang she Koan itu bersama rombongannya yang masih menanti di luar warung, dipersilakan masuk. Orang she Koan dengan sikap amat ramah, hormat bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek tua yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu untuk duduk di bangku kepala. Dapat dibayangkan betapa jaget rasa hati Siauw Bwee ketika mengenal kakek ini dan dia melirik dengan penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun usianya, rambutnya sudah putih semua, panjang seperti juga jenggotnya, namun matanya masih berkilat-kilat jernih seperti mata anak kecil dan kulit mukanya masih merah segar seperti orang muda.

   Pakaiannya seperti seorang sastrawan dan tangannya menggerak-gerakkan sebatang kipas sutera yang terlukis indah. Dia tersenyum-senyum lebar ketika memasuki warung itu. Biarpun sudah bertahun-tahun tak pernah berjumpa, namun Siauw Bwee segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen yang amat sakti! Juga ia dapat menduga bahwa dengan adanya Koksu Yucen di situ, tentulah rombongan itu terdiri dari orang-orang penting dari bangsa Yucen. Dugaannya memang tidak salah karena rombongan itu adalah tokoh-tokoh pengawal dan Panglima Kerajaan Yucen, bahkan di antara mereka terdapat Panglima Dailuba yang terkenal, Panglima Besar Yucen yang pandai sekali akan ilmu perang dan ilmu silat, bertubuh tinggi besar, bermuka lebar dan mukanya brewok, usianya sudah enam puluh tahun namun masih kelihatan tangkas dan kuat.

   Coa Leng Bu sudah bertahun-tahun mengasingkan diri sehingga dia tidak mengenal rombongan itu, akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat mengenal orang pandai. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa biarpun disebut pendekar besar, orang she Koan itu hanyalah ahli silat biasa saja, akan tetapi kakek berambut putih dan rombongannya itu adalah orang-orang yang sakti, maka dia bersikap waspada dan memperhatikan wajah murid keponakannya yang jelas kelihatan berubah.
Pek-mau Seng-jin sendiri sekali pandang sudah dapat menduga bahwa wanita muda yang cantik jelita dan seorang kakek berpakaian sederhana yang duduk menyendiri di sudut itu tentulah bukan orang-orang sembarangan, dan bukanlah pengungsi-pengungsi biasa. Koksu ini adalah seorang yang sakti dan cerdik.

   Pada waktu itu, bangsa Yucen mulai berkembang kemajuannya dan melihat penyerbuan-penyerbuan bangsa Mancu terhadap Kerajaan Sung Selatan, Koksu Yucen sengaja menahan pasukan-pasukannya dan membiarkan mereka berperang. Hal ini menguntungkan Yucen karena dapat menyusun kekuatan yang kelak dapat dipergunakan memukul kedua bangsa yang tentu menjadi lemah oleh perang. Kini bangsa Yucen hanya menjadi penonton, menanti saat baik untuk mengalahkan semua musuh yang sudah lelah karena bertanding sendiri. Kedatangannya di tempat itu selain hendak melihat-lihat keadaan dengan mata kepala sendiri, juga untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan golongan-golongan yang kuat untuk membantu gerakan bangsa Yucen kalau waktunya sudah tiba.

   Kini melihat Siauw Bwee yang sudah tidak dikenalnya lagi karena telah menjadi seorang dara dewasa yang amat cantik jelita, dan melihat Coa Leng Bu yang juga tidak dikenalnya, namun yang ia dapat duga tentu merupakan dua orang yang berilmu tinggi, diam-diam dia memperhatikan dan timbul keinginan hatinya menarik kedua orang itu menjadi pembantunya, atau kalau ternyata kedua orang itu berada di pihak musuh, membasminya di saat itu juga sebelum kelak mereka merupakan penghalang dan pembantu-pembantu musuh yang lihai. Karena dia hanya menduga saja kelihaian dua orang itu dari sikap dan kedudukan tubuh mereka, maka dia ingin menguji. Di atas meja di depannya terdapat taplak meja dari kain. Jari-jari tangan kirinya merobek ujung taplak, lalu dipelintirnya menjadi dua butir kecil dan dengan telunjuknya, ia menyentil kedua butir kain itu ke arah Siauw Bwee dan Coa Leng Bu.

   Dua butir kain itu melesat dengan cepat luar biasa, tidak tampak oleh pandang mata yang lain, kecuali oleh para panglima yang lihai yang maklum akan niat atasan mereka dan hanya memandang sambil tersenyum. Sambaran dua butir gulungan kain itu mendatangkan desir angin yang cukup untuk ditangkap oleh pendengaran kedua orang itu. Coa Leng Bu terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arah lehernya. Cepat dia menjatuhkan sumpitnya dari atas meja dan membungkuk untuk mengambil sumpit itu, padahal gerakan ini adalah gerakan mengelak sehingga benda kecil itu menyambar lewat. Tentu saja Siauw Bwee yang jauh lebih lihai daripada Leng Bu, maklum pula bahwa Pek-mau Seng-jin menyerangnya. Dia mengibaskan tangannya mengusir beberapa ekor lalat dari atas meja sambil mengomel,

   "Ihhh, banyak benar lalat di sini!"

   Bagi orang lain, hanya kelihatan dara jelita itu mengusir lalat, akan tetapi lalat-lalat itu terbang ketakutan, sedangkan di antara jari tangannya terjepit benda kecil yang tadi menyambar ke arah lehernya! Tadinya Siauw Bwee terkejut dan mengira bahwa Koksu Negara Yucen itu agaknya mengenalnya dan menyerang, akan tetapi ketika ia menangkap senjata rahasia itu dan mendapat kenyataan bahwa benda itu hanyalah segumpal kecil kain, dan yang diserang tadi hanyalah jalan darah yang tidak berbahaya dan hanya akan mendatangkan kelumpuhan tanpa membahayakan keselamatannya, maka tahulah dia bahwa kakek berambut putih itu hanya mengujinya, ingin membuktikan bahwa dia dan supeknya adalah orang-orang yang lihai. Maka menyesallah Siauw Bwee. Kalau tahu demikian, tentu dia akan membiarkan saja gumpalan kain itu mengenai lehernya
(Lanjut ke Jilid 30)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30
agar jangan menimbulkan kecurigaan.

   Kini telah terlanjur, maka dia bahkan menjadi mengkal, menoleh ke arah meja rombongan itu dan diam-diam meremas hancur gumpalan kain menjadi debu, kemudian dia meniup tangan kirinya dan.... debu itu melayang ke arah meja rombongan Pek-mau Seng-jin. Para Panglima Yucen terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa dara jelita itu ternyata benar-benar sakti, dan diam-diam mereka pun kagum akan ketajaman pandang mata Pek-mau Seng-jin. Kalau tidak menduga bahwa dara itu lihai, tentu koksu itu tidak sudi sembarangan main-main dengan orang! Pek-mau Seng-jin tersenyum puas. Tak salah dugaannya. Petani sederhana dan dara jelita itu benar-benar bukan orang sembarangan. Biarpun petani itu hanya pura-pura mengambil sumpit yang jatuh, tidak seperti gadis itu yang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, namun jelas bahwa petani sederhana itu bukan ahli silat biasa.

   Sambitannya tadi tidak mengandung tenaga yang mematikan, namun telah disambitkan dengan kecepatan sentilan jari tangan dan meluncur cepat sekali, tak tampak oleh mata dan karena kecil ringan maka desir anginnya lirih sekali. Namun telah dapat disambut oleh mereka dengan cara mengagumkan! Orang she Koan yang sebetulnya hanyalah seorang di antara kaki tangan bangsa Yucen untuk daerah itu dan yang kini bertugas sebagai penunjuk jalan, tidak melihat apa yang baru terjadi. Kini dia disuruh mendekat, dibisiki oleh Pek-mau Seng-jin. Orang itu mengangguk-angguk dan memandang ke arah Siauw Bwee dengan alis berkerut dan sinar mata heran. Bayangkan saja, pikirnya. Koksu minta dia mempersilakan dua orang itu untuk makan bersama sebagai tamu terhormat yang diundang! Koan Tek, demikian nama orang ini, adalah seorang jago silat yang terkenal di daerah itu, maka dihormati oleh pemilik warung makan.

   Dia berwatak kasar dan memandang rendah orang lain dan tentu saja orang yang suka memandang orang yang dianggap berada di bawahnya, selalu menjilat kepada orang-orang atasannya. Mendengar Koksu mengundang dua orang itu yang dianggapnya hanya seorang petani miskin dan seorang gadis cantik, dia merasa penasaran sekali. Sepanjang pengetahuannya, Koksu Yucen dan para panglimanya adalah orang-orang peperangan yang gagah perkasa, tak pernah terdengar mereka itu suka mempermainkan wanita cantik. Apakah sebabnya kini Koksu mengundang kedua orang ini? Akan tetapi, dia tidak berani membantah dan dengan langkah lebar ia menghampiri meja Siauw Bwee. Karena kedua orang itu merupakan orang yang diundang Koksu, maka dia menjura dengan sikap hormat paksaan sambil berkata,

   "Ji-wi diundang untuk makan bersama dengan rombongan kami."

   Coa Leng Bu yang maklum akan kekerasan hati Siauw Bwee, cepat mendahului murid keponakannva itu dan dia berdiri sambil membalas penghormatan Koan Tek.

   "Terima kasih atas undangan Sicu. Kami berdua telah makan dan sudah hendak melanjutkan perjalanan. Harap maafkan kami."

   Dia memberi kedipan mata kepada Siauw Bwee untuk berdiri dan meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, penolakan yang tak disangka-sangka oleh Koan Tek ini membuat dia mendongkol dan marah. Boleh jadi kedua orang ini tidak mengenal rombongan Koksu dari Yucen, akan tetapi dia yang mengundangnya, mengapa mereka tidak memandang mata kepadanya?

   "Loheng, mungkin karena Ji-wi belum mengenal saya, tidak suka menerima undangan kami,"

   Katanya dengan nada agak keras.

   "Perkenalkanlah, saya Koan Tek, di sini dikenal sebagai Koan-taihiap dan orang-orang yang kami undang bukanlah orang-orang sembarangan, berarti bahwa kami telah menjunjung tinggi kehormatan Ji-wi. Maka saya ulangi, harap Ji-wi tidak menolak undangan kami untuk berkenalan dan makan bersama!"

   Biarpun kata-kata itu bersifat undangan, namun nadanya yang keras itu mengandung tekanan, paksaan dan membayangkan ancaman.

   Hal ini membuat Siauw Bwee makin marah. Hati dara muda ini memang sudah mengkal dan marah ketika ia melihat Pek-mau Seng-jin yang mengingatkan dia akan perbuatan koksu itu yang dahulu pernah menawan dia dan Maya kemudian menyerahkan dia dan Maya sebagai hadiah kepada Coa Sin Cu di pantai Po-hai. Mengingat akan hal ini saja sudah membuat tangannya gatal untuk membalas dendam, karena sekarang dia tidak gentar lagi menghadapi koksu yang lihai itu, kemudian kemarahannya tadi ditambah dengan penyerangan Pek-mau Seng-jin, biarpun penyerangan itu merupakan ujian dan tidak mengandung niat jahat. Kini, ditambah oleh kata-kata dan sikap Koan Tek, tentu saja dia tidak mau menaati isyarat mata supeknya agar bersabar. Dia sudah bangkit berdiri dan memandang Koan Tek dengan mata berapi.

   "Engkau ini mengundang ataukah hendak memaksa orang? Kalau mengundang bersikaplah sebagai pengundang yang sopan, setelah ditolak dengan alasan tepat segera mundur. Kalau mau memaksa, terus terang saja, tak usah bersembunyi di balik sikap manis agar aku tidak usah ragu-ragu lagi memberi hajaran kepada orang yang hendak memaksaku!"

   "Ehhh.... sudahlah.... sudahlah....!"

   Coa Leng Bu berkata khawatir. Kakek ini cepat berdiri dan menjura kepada Koan Tek.

   "Harap sicu suka maafkan, kami hendak pergi saja."

   Akan tetapi Koan Tek sudah marah sekali. Dengan mata melotot ia memandang kepada Siauw Bwee dan membentak.

   "Berani engkau kurang ajar kepada Koan-taihiap. Apakah kau sudah bosan hidup?"

   Siauw Bwee menudingkan telunjuknya.

   "Jangankan baru engkau seorang, biar ada seratus orang macam engkau aku tidak takut! Supek, biarlah, orang macam dia ini kalau tidak dihajar tentu akan menghina orang lain saja!"

   Koan Tek hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba ada orang menarik lengannya sehingga dia terhuyung ke belakang. Ketika dia menoleh ternyata yang menariknya adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian sastrawan dan dia ini adalah seorang di antara para pembantu Koksu, maka dia segera melangkah mundur. Kakek itu dengan sikap sopan sekali menjura kepada Leng Bu dan Siauw Bwee sambil berkata,

   "Harap Ji-wi sudi memaafkan Koan-sicu yang bersikap kasar karena memang dia yang jujur selalu bicara kasar. Harap Ji-wi ketahui bahwa kami mengundang Ji-wi dengan niat bersih hendak berkenalan. Di antara kita terdapat nasib yang sama yaitu selagi negara kita diserbu bangsa Mancu, sebaiknya kalau orang-orang gagah seperti kita bersatu menghadapi musuh. Karena itulah maka pemimpin kami, Pek-mau Seng-jin, mengharap Ji-wi sudi datang berkenalan."

   Leng Bu tidak pernah mendengar nama Pek-mau Seng-jin, akan tetapi Siauw Bwee yang tahu bahwa kakek rambut putih itu adalah Koksu Negara Yucen, segera menjawab,

   "Kami berdua tidak ada sangkut-pautnya dengan segala urusan perang! Apalagi harus bersekutu dengan pihak ke tiga. Hemm, kami bukan pengkhianat, bukan pula penjilat, lebih baik kalian tidak mencari perkara dan membiarkan kami pergi!"

   Setelah berkata demikian, Siauw Bwee memegang tangan supeknya dan diajak pergi. Akan tetapi baru saja mereka melangkah hendak keluar, terdengar bentakan harus,

   "Tahan!"

   Dan tampak berkelebat bayangan orang, tahu-tahu Pek-mau Seng-jin sendiri telah berdiri menghadang mereka sambil tersenyum-senyum. Tadi ketika mendengar ucapan Siauw Bwee yang menyinggung "pihak ke tiga", Koksu itu menjadi kaget sekali dan ia maklum bahwa dara itu telah mengetahui keadaannya sebagai pihak ke tiga, yaitu bukan golongan Mancu dan bukan pula golongan Sung. Maka dia menjadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan membuka rahasianya yang akan menyukarkan penyamaran dan penyelidikannya, juga dia menjadi curiga.

   "Nona, siapakah engkau? Dan di golongan manakah engkau berdiri?"

   Ingin sekali Siauw Bwee memperkenalkan diri dan menyerang Koksu itu, akan tetapi dia masih menahan diri karena maklum bahwa Koksu ini disertai rombongan orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja dia tidak takut, hanya dia khawatir akan keselamatan supeknya yang telah terluka pundaknya.

   "Aku dan Supek adalah orang-orang perantauan yang tak perlu berkenalan dengan siapapun juga, tidak mempunyai urusan dengan kalian dan tidak mencari perkara. Sudahlah, harap kau orang tua suka minggir dan membiarkan kami lewat!"

   "Ha-ha-ha, benar-benar lantang suaranya! Nona, aku kagum sekali menyaksikan keberanian dan kelihaianmu. Orang-orang di dunia kang-ouw berkata bahwa sebelum bertanding tidak akan dapat saling menghargai dan berkenalan, oleh karena itu, setelah kebetulan sekali kita saling bertemu di sini, aku menantang Ji-wi untuk saling menguji kepandaian."

   Panaslah hati Siauw Bwee. Betapapun dia ingin menghindari pertempuran, akan tetapi kalau ditantang terang-terangan seperti itu, mana mungkin dia mundur lagi?

   "Hemm, kalian mengandalkan banyak orang untuk menghina?"

   Tanyanya sambil memandang ke arah rombongan itu, tersenyum mengejek. Memang Siauw Bwee memiliki wajah yang arnat cantik jelita, maka biarpun dia tersenyum mengejek wajahnya tampak manis dan menarik sekali.

   "Ha-ha-ha! Selain tabah dan pandai bicara, juga cerdik sekali. Nona muda, aku akan merasa malu mengeroyok seorang yang patut menjadi cucuku. Tidak sama sekali, kami bukanlah rombongan pengecut yang main keroyok, melainkan orang-orang yang dapat menghargai kepandaian orang lain dan melalui kepandaian itu kami ingin berkenalan dan bersahabat. Bagaimana, Nona? Aku berjanji tidak akan mengeroyok melainkan menguji kepandaian satu lawan satu!"

   "Siapa takut? Majulah!"

   Siauw Bwee diam-diam merasa girang karena kini dia memperoleh kesempatan untuk menghajar musuh yang pernah menawannya ini dan tidak takut akan pengeroyokan karena ucapan yang keluar dari mulut seorang Koksu tentu saja dapat dipercaya. Pek-mau Seng-jin kembali tertawa.

   "Hebat! Sebegitu muda sudah memiliki keberanian besar, mengingatkan aku akan kegagahan mendiang pendekar sakti wanita Mutiara Hitam! Tidak, Nona. Dunia kang-ouw akan mentertawakan Pek-mau Seng-jin kalau aku melayani seorang muda seperti engkau. Biarlah aku diwakili oleh...."

   "Perkenankanlah hamba menghadapinya!"

   Tiba-tiba Koan Tek berkata sambil meloncat maju. Dia merasa penasaran dan marah sekali kepada Siauw Bwee yang tadi memandang rendah serta menghinanya. Dia bukan seorang kejam yang suka membunuh orang akan tetapi karena nama besar dan kehormatannya tersinggung, dia ingin memberi hajaran kepada gadis ini. Pek-mau Seng-jin tersenyum. Orang kasar macam Koan Tek ini perlu juga menerima hajaran, pikirnya, karena dia yakin bahwa Koan Tek bukanlah lawan kedua orang ini.

   "Mundurlah, biar aku yang maju lebih dulu!"

   Leng Bu berkata kepada Siauw Bwee. Dia maklum bahwa murid keponakannya itu hendak menyembunyikan nama dan keadaannya, maka dia tidak menyebut nama. Sebaliknya Siauw Bwee pun maklum mengapa paman gurunya ini hendak maju biarpun pundaknya sudah terluka. Tentu paman gurunya ini hendak maju lebih dulu sehingga kalau sampai kalah, Siauw Bwee dapat menggantikannya. Kalau Siauw Bwee yang maju lebih dulu dan sampai kalah, tentu Leng Bu pun tidak akan berdaya lagi. Maka Siauw Bwee segera melangkah mundur dan berkata,

   "Hati-hatilah, Supek. Pundakmu terluka, mengapa memaksa diri?"

   Dengan ucapan ini Siauw Bwee kembali menghina Koan Tek, seolah-olah dia hendak menonjolkan kenyataan bahwa biarpun pundaknya terluka, kakek petani itu masih berani maju menghadapi Koan Tek yang berarti memandang rendah.

   "Petani tak tahu diri, kausambutlah seranganku!"

   Koan Tek berseru nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pukulan keras ke arah dada Leng Bu. Leng Bu tidak dapat terlalu menyalahkan Siauw Bwee yang menyambut tantangan sehingga terpaksa terjadi pertandingan. Dia sendiri tentu saja masih dapat bersabar dan mundur menghadapi tantangan, akan tetapi seorang muda seperti Siauw Bwee, tentu sukar untuk mengelakkan tantangan seperti itu.

   Maka dia mendahului Siauw Bwee menyambut lawan sehingga seandainya ia dapat menang dan mengatasi hal ini, tidak akan terjadi persoalan yang lebih hebat. Dia khawatir apabila Siauw Bwee yang maju, tangan dara yang ampuh itu akan terlalu keras dan terjadi pembunuhan. Selain itu, andaikata rombongan ini berniat buruk, kalau sampai dia kalah, masih ada Siauw Bwee yang jauh lebih lihai untuk menghadapi mereka. Pendeknya, biarpun pundaknya luka, dia hendak maju sebagai pengukur keadaan dan iktikad hati mereka ini. Jotosan tangan Koan Tek itu merupakan serangan yang cukup kuat dan cepat. Leng Bu mengenal juga serangan ini dan tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli gwa-kang yang memiliki tenaga kasar yang besar. Jurus itu adalah jurus Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar Jantung), sebuah pukulan ke arah dada kirinya dengan kepalan tangan diputar ke kanan kiri ketika lengan itu meluncur dari pinggang.

   Pukulan semacam ini dapat menghancurkan batu! Coa Leng Bu yang memiliki tingkat lebih tinggi daripada Koan Tek yang kasar itu, hanya dengan melangkah ke belakang saja sudah cukup untuk menghindarkan pukulan itu. Akan tetapi Koan Tek sudah menyambung serangannya dengan jurus serangan berikutnya, yaitu lengan kirinya meluncur ke depan berbareng dengan kaki kiri, memasukkan dua jari tangan kiri ke arah leher lawan. Itulah jurus Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan), sebuah totokan ke arah kerongkongan yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Saking cepatnya dan kuatnya gerakan ini terdengar angin bercuitan! Kini Leng Bu tidak mau mundur lagi, bahkan melangkah maju memapaki serangan ini! Dengan gerakan ringan sekali dia miringkan tubuh sehingga tusukan jari tangan itu meleset lewat dekat lehernya, berbareng dengan itu Leng Bu menggerakkan telapak tangan kirinya mendorong dada lawan.

   Koan Tek terkejut sekali dan berusaha menangkis dengan lengan kanan, namun tenaga dorongan itu biarpun tertangkis, tetap saja membuat tubuhnya terjengkang ke belakang. Koan Tek cukup lihai biarpun tubuhnya terjengkang, dia masih mengangkat kakinya menendang ke arah bawah pusar! Kembali serangan yang dapat membawa maut. Leng Bu menjadi tak senang menyaksikan betapa lawannya berusaha untuk membunuhnya, cepat kakinya digeser dan ketika tendangan itu lewat, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan sekali dia membentak dan mendorong tubuh Koan Tek terlempar ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya tentu akan terbanting keras kalau saja sebuah tangan yang kurus tidak cepat menyambar tengkuknya sehingga dia tidak jadi terbanting.

   "Hebat....!"

   Kata pemilik tangan kurus yang bukan lain adalah kakek sastrawan pembantu Koksu Yucen. Sementara itu, para tamu warung yang sebagian besar terdiri dari para pengungsi, berserabutan lari keluar dari warung, sedangkan pemilik warung bersama para pelayannya telah bersembunyi di balik meja dan lemari dengan ketakutan.

   "Sungguh mengagumkan sekali dan sepantasnya saya, Tiat-ciang-siucai (Sastrawan Tangan Besi) Lie Bok berkenalan dan ingin mengetahui siapakah nama Enghiong yang perkasa?"

   Si Kakek Sastrawan bertanya dengan muka tersenyum. Melihat sikap yang sopan ini, Coa Leng Bu merasa tidak enak dan dia cepat menjura.

   "Namaku yang rendah adalah Coa Leng Bu dan harap saja Locianpwe suka memaafkan kami dan membiarkan kami pergi karena sesungguhnya, saya dan keponakan saya tidak ingin bertanding dengan siapapun juga."

   "Ha-ha, bukan bertanding melainkan menguji kepandaian untuk bahan perkenalan, Coa-enghiong. Marilah kita main-main sebentar!"

   Leng Bu yang maklum bahwa lawannya sekali ini tentu tidak boleh disamakan dengan Koan Tek yang kasar, cepat menyapu dengan kakinya dan meja kursi di sekeliling tempat itu terlempar ke sudut, disambar hawa tendangan kakinya sehingga ruangan itu menjadi lega. Hal ini saja membuktikan betapa kuat tenaga sin-kang kakek ini sehingga orang yang berjuluk Tiat-ciang-siucai mengangguk-angguk kagum.

   "Bagus sekali! Engkau benar-benar amat berharga untuk menjadi teman berlatih. Nah, sambutlah, Coa-enghiong!"

   Setelah berkata demikian kakek sastrawan itu melangkah maju, tangan kirinya menampar kepala dan tangan kanannya dalam detik berikutnya mencengkeram ke arah perut! Itulah jurus Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Mengeduk Laut) yang dilakukan dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam) cukup kuat. Leng Bu tidak tahu pukulan mana yang merupakan pukulan pancingan dan yang mana yang merupakan serangan sesungguhnya karena kedua tangan yang bergerak hampir berbareng itu memang dapat dipergunakan sesuka Si Penyerang, yang satu dipakai memancing, yang ke dua baru merupakan pukulan sesungguhnya. Dia tidak mau terpancing, maka dia menggunakan kedua tangannya menangkis ke atas dan ke bawah.

   "Plakk! Dukkk!"

   Tiat-ciang-siucai terdesak mundur dua langkah, sedangkan Leng Bu masih berada di tempatnya akan tetapi wajahnya berubah menyeringai karena pundaknya yang terluka tadi terasa nyeri. Jelas bahwa sin-kangnya lebih kuat, akan tetapi selisihnya hanya sedikit dan luka di pundaknya membuat dia menderita. Namun dia tidak mau mundur, bahkan membalas menyerang dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang! Terdengar angin menyambar dari kedua tangannya dan hawa di ruangan warung itu tiba-tiba menjadi panas seolah-olah ada sinar matahari sepenuhnya memasuki ruangan.

   Tiat-ciang-siucai berseru kaget dan cepat ia menggunakan kedua tangannya melindungi tubuh, menangkis bertubi-tubi sehingga dua pasang tangan itu saking cepat gerakannya berubah menjadi banyak. Namun kakek sastrawan itu terdesak mundur oleh hawa panas. Tiba-tiba Leng Bu yang ingin segera memperoleh kemenangan itu sudah mengubah gerakannya, ditujukan ke bawah, menyerang tubuh bagian bawah dan tiba-tiba hawa yang panas itu berubah sejuk. Kembali kakek sastrawan terkejut, dan biarpun dia berhasil menangkis serangan yang seperti hujan datangnya, namun perubahan itu membuat dia bingung dan terhuyung ke belakang.

   "Heiii! Bukankah itu Jit-goat-sin-kang?"

   Tiba-tiba Pek-mau Seng-jin berseru kaget dan kagum.

   Mendengar ini, Coa Leng Bu terkejut. Tak disangkanya kakek berambut putih itu mengenal Jit-goat-sin-kang yang selama ini tersembunyi dari dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sudah terlanjur dikeluarkan, dia lalu menerjang maju dan mengerahkan tenaganya. Dari dorongan telapak tangan kanannya keluar hawa pukulan yang bercuitan ke arah tubuh Tiat-ciang-siucai yang terhuyung. Siucai itu berusaha menahan dengan kedua tangannya, namun tetap saja dia terdorong dan roboh bergulingan. Leng Bu menghentikan serangannya, meloncat mundur dan menjura.

   "Harap maafkan kekasaran saya."

   Tiat-ciang-siucai meloncat bangun, matanya terbelalak.

   "Luar biasa sekali! Saya mengaku kalah!"

   Menyaksikan sikap ini, agak lega hati Coa Leng Bu, karena sikap kakek sastrawan itu menunjukkan sikap seorang kang-ouw yang baik, gagah perkasa, dan jujur, berani menerima kekalahan dengan hati tulus. Pek-mau Seng-jin girang sekali. Biarpun belum dapat dikatakan luar biasa, petani tua bertelanjang kaki itu dapat dijadikan seorang pembantunya yang lumayan. Maka dia memberi tanda dengan mata kepada Panglima Dailuba yang tinggi besar, bermata lebar dan bermuka penuh brewok.

   "Biarlah aku menguji kepandaianmu, Coa-enghiong!"

   Katanya dengan suaranya yang nyaring besar mengejutkan. Panglima ini adalah seorang bangsa Yucen tulen, bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pernbantu utama Pek-mau Seng-jin yang melatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi, panglima ini benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh. Hal ini dapat diduga oleh Siauw Bwee, maka dia berkata,

   "Supek, biarkanlah saya yang maju karena Supek tentu lelah sekali."

   Akan tetapi Coa Leng Bu menggeleng kepala. Sebelum dia kalah, lebih baik gadis itu jangan turun tangan yang tentu akan menimbulkan persoalan yang lebih berat lagi. Sekali gadis itu turun tangan, dia tidak berani tanggung apakah lawan masih dapat keluar dari pertandingan dengan hidup-hidup. Pula, agaknya yang merupakan lawan terberat hanyalah kakek yang bernama Pek-mau Seng-jin itu, maka biarlah kakek itu nanti bertanding melawan Siauw Bwee.

   "Tidak, aku masih belum kalah,"

   Jawabnya dan cepat ia maju sambil berkata,

   "Sahabat, siapakah nama besarmu?"

   Dailuba tertawa bergelak.

   "Namaku sama sekali tidak terkenal, Coa-enghiong. Namaku adalah Thai Lu Bauw, seorang kasar yang hanya mempelajari sedikit ilmu. Mana bisa dibandingkan dengan engkau yang memiliki Jit-goat-sin-kang? Harap kau suka mulai."

   Coa Leng Bu menggeleng kepala.

   "Bukan kami yang menghendaki pertandingan ini, Thai-sicu. Engkau majulah!"

   "Lihat serangan!"

   Gerakan Dailuba berbeda dengan gerakan Tiat-ciang-siucai Lie Bok tadi. Gerakan orang tinggi besar ini lambat sekali ketika tangan kanannya yang dibuka itu menyerang dengan dorongan ke arah dada Leng Bu.

   Akan tetapi, Coa Leng Bu sebagai seorang yang sudah banyak mengalami pertandingan, tidak mau memandang rendah dan dugaannya ternyata tepat karena ketika ia menangkis pukulan itu, dia terdorong sampai dua langkah, sedangkan lawannya terus melangkah maju dan mengirim dorongan lanjutan dengan tangan kiri. Ternyata Si Tinggi Besar ini memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya! Terpaksa Coa Leng Bu menangkis dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang sehingga dua tenaga raksasa bertemu dan keduanya tergoyang. Ketika Leng Bu hendak menarik kembali lengannya, dia kaget bukan main karena lengannya itu lekat pada lengan lawan, seolah-olah tersedot dan tak dapat dilepas lagi dan pada saat itu tangan kanan Dailuba telah datang lagi menampar ke arah kepalanya!

   Tahulah dia bahwa lawannya ini telah melatih sin-kangnya dengan tenaga menyedot dan menempel, maka dia cepat miringkan kepala dan mendahului dengan sodokan tangan kiri ke arah perut lawan.

   "Plakkk!"

   Lengannya yang tertempel itu terlepas, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Leng Bu ketika merasa betapa sodokannya ke perut yang mengenai sasaran dengan tepat tadi seolah-olah tidak terasa oleh lawan, bahkan jari tangannya terasa nyeri. Dailuba menggerakkan kakinya yang panjang dan besar menyerang kaki lawan. Leng Bu cepat meloncat ke atas, akan tetapi angin yang menyambar dari kaki Si Tinggi Besar membuat dia hampir terpelanting!

   Coa Leng Bu menjadi penasaran sekali, lalu dia menyerang dengan cepat, menggunakan jurus-jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang. Namun, melihat betapa Dailuba dapat menahan serangannya dengan gerakan lambat dan seenaknya, kedua lengan besar yang digerakkan lambat itu telah menciptakan hawa yang merupakan perisai sehingga semua pukulan Leng Bu menyeleweng, maka tahulah Leng Bu bahwa tingkat kepandaian lawannya ini masih jauh lebih tinggi daripada tingkatnya. Maka dia merasa terkejut dan khawatir, bukan takut kalah, melainkan takut kalau-kalau Siauw Bwee sendiri tidak akan mampu menanggulangi mereka.

   Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kalau sampai mereka kalah, tentu mereka terpaksa menerima undangan dan perkenalan mereka, padahal dia tahu bahwa Siauw Bwee tidak menghendaki hal itu terjadi. Maka dia lalu mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan Im-yang-sin-kang. Sebetulnya Im-yang-sin-kang masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Jit-goat-sin-kang yang merupakan latihan sin-kang dengan bantuan sinar sakti matahari dan bulan, akan tetapi karena dalam latihan ini Leng Bu belum mencapai puncaknya sedangkan Im-yang-sin-kang dia sudah mahir sekali, maka terpaksa dia menggunakan sin-kang yang baginya lebih kuat itu.

   Padahal, untuk menggunakan sin-kang ini mengandalkan seluruhnya dari tenaga dalamnya sendiri sedargkan pundaknya sudah terluka, maka hal ini merupakan bahaya baginya. Dia sekarang mempergunakannya dalam keinginannya untuk mencapai kemenangan. Ketika lawannya membalas serangannya dengan dorongan kedua telapak tangan, dengan pukulan semacam Thai-lek-sin-kang yang amat kuat, dia menghadapinya dengan Im-yang-sin-kang.

   "Bressss!"

   Tubuh tinggi besar dari Dailuba terlempar ke belakang dan terguling akan tetapi Leng Bu sendiri terjengkang dan dia mengeluh, pundaknya nyeri bukan main.

   "Supek....!"

   Siauw Bwee menghampiri, akan tetapi Leng Bu telah bangun kembali, wajahnya pucat menahan sakit dan dia memegangi pundaknya yang luka, sebelah lengannya menjadi lumpuh. Dailuba juga bangkit berdiri, tampak darah dari ujung bibirnya dan dia menjura.

   "Hebat sekali engkau, Coa-enghiong. Biarpun engkau terluka, engkau masih mampu menahan pukulanku!"

   "Ha-ha-ha, karena Coa-enghiong terluka, biarlah kita anggap pertandingan tadi berakhir dengan sama-sama dan mudah-mudahan menjadi jembatan perkenalan di antara kita!"

   Kata Pek-mau Seng-jin.

   "Tidak,"

   Siauw Bwee menjawab lantang.

   "Kami tetap tidak berkeinginan untuk mengikat tali persahabatan. Kami hendak pergi dan siapa yang menghalangiku, berarti dia hendak memusuhiku!"

   Dia lalu memegang tangan supeknya dan berkata,

   "Marilah, Supek. Kita pergi dari sini dan jangan melayani mereka yang mabok kekerasan ini!"

   "Ha-ha-ha, nanti dulu, Nona. Kalau kalian tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kami, mengapa begini angkuh? Kami hanya ingin berkenalan, kalau engkau menolak berarti engkau menghina kami,"

   Kata Pek-mau Seng-jin sambil menghadang di depan pintu keluar.

   "Kalau engkau menganggap aku menghina, habis kau mau apa?"

   "Taijin, bocah ini lancang sekali. Biarlah hamba menundukkannya!"

   Kata Dailuba yang tak dapat menahan kesabarannya lagi menyaksikan sikap Siauw Bwee demikian berani terhadap orang pertama sesudah Raja Yucen! Dia sudah melompat maju menghadapi Siauw Bwee. Dara ini maklum bahwa tanpa memperlihatkan kepandaian, mereka tidak akan mau mundur begitu saja, maka dia melepaskan tangan Leng Bu dan menghampiri Dailuba.

   "Kau kira aku takut kepadamu?"

   Bentaknya. Dailuba tersenyum mengejek. Gadis ini hanyalah murid keponakan Leng Bu. Sedangkan Coa Leng Bu sendiri tidak mampu mengalahkannya, apalagi murid keponakannya yang hanya seorang dara muda?

   "Nona, aku harus mengaku bahwa aku kagum sekali menyaksikan keberanianmu. Akan tetapi, engkau bukanlah lawan kami dan sesungguhnya aku sendiri merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang bocah perempuan seperti Nona. Sedangkan supekmu sendiri yang cukup lihai tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana engkau berani menghadapi aku?"

   "Tidak perlu banyak cerewet. Kalau kau berani, majulah!"

   Siauw Bwee menantang. Dailuba menjadi marah. Akan tetapi dia adalah seorang panglima besar, tentu saja dia dapat menahan diri dan tidak mau menuruti nafsu amarah. Maka sambil tersenyum dia berkata,

   "Baiklah kalau begitu. Seorang anak bandel seperti engkau ini tentu belum mau mengerti kalau belum mengenal kelihaianku. Nah, kau jagalah sentuhan ini!"

   Sambil berkata demikian, Dailuba menampar pundak Siauw Bwee dan hanya mempergunakan seperempat bagian tenaganya saja. Itu pun ia lakukan dengan hati-hati dan perlahan karena khawatir kalau-kalau tulang pundak nona ini akan remuk terkena tamparannya!

   Siauw Bwee menjadi makin marah. Dia tentu saja tahu bahwa lawannya ini tidak sungguh-sungguh menyerangnya, dan hal ini selain dianggap sebagai sikap memandang rendah, juga merupakan penghinaan! Cepat sekali tangannya bergerak dan tahu-tahu Dailuba berteriak kaget ketika kedua pundak dan kedua lututnya telah kena ditotok oleh jari tangan dan ujung sepatu nona itu sehingga kedua pasang kaki tangannya menjadi lumpuh dan di saat selanjutnya, tubuhnya sudah dilemparkan oleh dara itu dengan menyambar lengannya! Tembok warung itu bobol kena bentur tubuhnya akan tetapi tubuh yang kuat itu tidak terluka dan begitu dia terbanting, totokan-totokan itu telah punah dan Si Tinggi Besar telah meloncat bangun. Merah sekali mukanya dan matanya menjadi merah saking marah. Dia telah dihina di depan Koksu dan para rekannya!

   "Keparat! Tak tahu orang mengalah!"

   Bentaknya sambil menubruk maju.

   "Siapa minta kau mengalah! Keluarkan semua kepandaianmu!"

   Siauw Bwee tersenyum mengejek. Perasaan malu membuat Dailuba lupa diri dan memuncak kemarahannya.

   Belum pernah selamanya dia menerima penghinaan seperti itu, apalagi dilakukan oleh seorang gadis muda di depan Koksu! Dia adalah orang kepercayaan dan tangan kanan Koksu, dan semua panglima tunduk kepadanya! Mana mungkin dia menerima saja dipermainkan seorang gadis begitu saja? Maka begitu ia menubruk maju, dia memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya, tangan kiri menghantam ubun-ubun kepala dan tangan kanan menyodok ke arah pusar. Kedua tangannya melancarkan pukulan maut dan jarang ada lawan tangguh yang mampu menghindarkan diri dari serangan ini. Bahkan Koksu sendiri menjadi terkejut dan menyesal mengapa panglimanya itu hendak membunuh gadis yang demikian lihai, namun dia dapat mengerti akan kemarahan Dailuba dan memandang penuh perhatian.

   "Mampuslah! Wuushhh.... siuuutt!"

   Bentakan Dailuba disusul angin sambaran kedua tangannya.

   "Haaaiiittt.... yyaaaahhhh!"

   Pek-mau Seng-jin sendiri sampai terbelalak kagum menyaksikan gerakan Siauw Bwee yang asing baginya. Kedua kaki dara itu bergerak dengan cepat dan aneh, indah sekali seolah-olah kedua kaki dara itu menjadi roda, bergeser ke sana-sini dengan lincah dan ringan, namun tepat sekali sehingga dua pukulan maut itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Padahal dua pukulan itu sukar sekali dielakkan dan Koksu sendiri maklum bahwa jalan satu-satunya menghadapi dua pukulan maut itu hanya menangkis dengan pengerahan sin-kang.

   Betapa mungkin gadis itu dapat mengelak tanpa meloncat pergi, hanya mengegos ke sana-sini seolah-olah pukulan itu merupakan pukulan biasa yang dipandang rendah saja? Juga panglima tinggi besar itu terkejut, namun rasa marah dan penasaran melampaui kekagetannya dan kemarahan membuat dia tidak mau melihat kenyataan, tidak menyadarkannya bahwa sesungguhnya dia menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berbahaya daripada Coa Leng Bu, bahkan lebih berbahaya daripada semua lawan yang pernah ia hadapi sebelumnya! Kemarahan dan penasaran membuat dia menerjang lagi dengan gerakan cepat dan lebih kuat, menggerakkan kedua tangannya menyerang bertubi-tubi dan setiap pukulan, tamparan, atau totokan dia tujukan ke arah bagian-bagian yang mematikan!

   Siauw Bwee bukan tidak tahu akan hal ini. Dia maklum bahwa lawannya sengaja mengirim pukulan-pukulan maut karena kemarahannya, dan hal ini membuat dia ingin menalukkan orang-orang itu dengan memperlihatkan kepandaiannya. Dia pun bukan seorang gadis bodoh yang hanya menuruti nafsu amarah. Dia mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai seorang Koksu Negara Yucen, dan sudah mendengar bahwa bangsa Yucen pada waktu itu merupakan bangsa yang besar dan kuat. Dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar ini tentu bukan orang sembarangan pula, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi di Kerajaan Yucen. Mengingat bahwa mereka yang tadi berhadapan dengan Coa Leng Bu bersikap gagah dan tidak bermaksud membunuh supeknya itu, maka kini dia pun hanya ingin mencari kemenangan dan segera pergi bersama supeknya melanjutkan perjalanan ke selatan, terutama sekali untuk menyusul suhengnya, Kam Han Ki.

   Kini melihat betapa lawannya menerjang dengan hebat, Siauw Bwee terus menggunakan ilmu gerak langkah kilat yang ia pelajari dahulu dari kaum lengan buntung, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri menyelinap di antara pukulan-pukulan itu. Makin lama, Dailuba menjadi makin penasaran dan memukul makin cepat. Tidak mungkin ada orang hanya main mengelak saja dari hujan pukulannya, padahal baru sambaran angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun, pandang matanya sampai berkunang ketika lewat tiga puluh jurus dia menyerang, gadis itu hanya main elak saja dan tak sebuah pun dari pukulan-pukulannya dapat menyentuh ujung baju gadis itu, apalagi mengenai tubuhnya!

   Dan makin terheran-heran. Supek gadis ini tadi harus mengakui keunggulannya hanya dalam belasan jurus saja. Bagaimana kini gadis ini menghadapi serangan-serangannya sampai tiga puluh jurus lebih tanpa membalas sama sekali, mempermainkannya seperti seorang dewasa mempermainkan anak kecil? Kalau tidak ingat bahwa di situ ada Koksu dan para rekannya yang menjadi penonton, tentu panglima tinggi besar ini sudah mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dia lakukan di bawah pengawasan Koksu dan para rekannya karena tentu hal itu akan membuat dia menjadi makin rendah dan malu. Maka kini ia hanya menggigit bibir dait melanjutkan serangan-serangannya dengan tenaga sin-kang Thai-lek-sin-kang!

   Melihat pukulan-pukulan yang mengandung hawa sin-kang ini, Siauw Bwee maklum bahwa sudah cukup dia memperlihatkan kepandaiannya. Dia meloncat mundur, memasang kuda-kuda dan sengaja menyambut pukulan kedua tangan lawannya tadi. Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Dia tahu akan kehebatan ilmu silat murid keponakannya, akan tetapi menghadapi pukulan-pukulan orang yang bernama Thai Lu Bauw begitu saja, benar-benar amat berbahaya karena tenaga sin-kang Si Tinggi Besar itu amat kuat. Sebaliknya, Dailuba girang sekali melihat gadis itu berani menerima pukulannya tanpa menggunakan langkah-langkah aneh untuk mengelak seperti tadi, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam dorongan kedua lengannya itu.

   Siauw Bwee tidak berniat membunuh lawannya, akan tetapi kalau sampai dia tidak berani menerima pukulan sin-kang ini, tentu orang-orang itu menyangka takut. Oleh karena itu, dia tidak mengelak, bahkan kini dia mendorongkan kedua lengannya ke depan menyambut datangnya pukulan jarak jauh yang amat dahsyat ini. Diam-diam dia menggunakan sin-kang yang dilatihnya bersama Kam Han Ki dan Maya di Pulau Es, sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali yang menyambut hawa pukulan Dailuba.

   "Wussshhhh.... desss!"

   Mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan dilonjorkan, jarak antara kedua pasang tangan itu ada dua kaki, akan tetapi mereka merasa seolah-olah telapak tangan mereka bertemu. Tubuh Dailuba bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan dan tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas sambil menarik kedua lengannya dan.... tubuh Dailuba terbawa oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, jatuh menelungkup!

   Kalau Siauw Bwee menghendaki, di saat itu tentu saja dia dapat memukul kepala lawannya dari atas, akan tetapi untuk membuktikan kemenangannya, dia hanya merenggut penutup kepala lawannya dan meloncat turun dengan ringan di belakang Dailuba. Panglima tinggi besar ini terengah-engah, tubuhnya masih terguncang dan menggigil, kemudian melompat bangun dan memutar tubuh, dengan mata terbelalak memandang Siauw Bwee yang tersenyum sambil memegangi topi yang tadi berada di atas kepalanya.

   "Terimalah kembali penutup kepalamu!"

   Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat dari kain itu ke arah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan tangannya, akan tetapi....

   "wushhhh!"

   Benda itu seperti berubah menjadi burung terbang, mengelak dari sambarannya, melayang ke atas dan jatuh di atas kepalanya.

   "Hebat....! Ahhh, sungguh ajaib! Betapa mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh melampaui tingkat supeknya sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita saling menguji kepandaian kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan dengan Nona setelah kitaa saling mengenal kelihaian masing-masing!"

   Koksu berkata dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Siauw Bwee. Hemm, biar akan menimbulkan geger, sekali ini dia akan memberi hajaran keras kepada orang yang telah pernah menawan dia bersama sucinya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw Bwee menjawab lantang.

   "Pek-mau Seng-jin, biarpun aku masih muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang besar."

   "Apa? Engkau sudah mengenal namaku? Jadi engkau tahu siapa aku ini?"

   Kakek berambut putih itu bertanya, alisnya berkerut. Siauw Bwee tersenyum mengejek sambil mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka, pikir Pek-mau Seng-jin. Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa dia adalah Koksu dari Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah terbuka! Gadis ini harus ditarik sebagai sekutunya, atau.... kalau tidak mau, harus dienyahkan sebagai musuh yang berbahaya! Namun, sikap kakek itu masih tenang saja dan dia bertanya,

   "Nona, engkau sudah mengenalku. Sudah sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah memiliki kepandaian amat tinggi."

   "Aku seorang perantau. Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, kalian memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi permintaan kalian, hanya karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan. Nah, kita lanjutkan atau tidak?"

   "Ha-ha-ha, pantas saja engkau angkuh dan tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali. Biarlah, kita main-main sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biarpun engkau tidak mau menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu kepadaku. Bagaimana?"

   "Aku tidak sudi berjanji apa-apa. Dengan pertandingan yang kaupaksakan ini, kalau aku kalah, terserah kepadamu mau berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan tewas di tanganku, jangan menyalahkan aku!"

   "Aduh sombongnya! Baiklah, Nona. Sudah lama aku tidak ketemu lawan yang setanding. Melihat cara engkau mengalahkan pembantuku, ternyata engkau cukup berharga untuk menjadi kawanku. Bersiaplah engkau!"

   "Majulah!"

   Siauw Bwee sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan kedua tangannya tergantung lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam mengawasi lawan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan yang bagaimanapun juga. Melihat cara persiapan dan kedudukan tubuh dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia tidak berani memandang rendah. Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga dapat bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda teguh seperti yang biasa dilakukan ahli-ahli silat.

   

Cinta Bernoda Darah Eps 28 Mutiara Hitam Eps 25 Cinta Bernoda Darah Eps 9

Cari Blog Ini