Mutiara Hitam 25
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
Talibu yang merasa betapa kedua pundaknya berdenyut-denyut dan membuat kedua lengannya hampir lumpuh menahan nyeri, sudah siap menanti penyerbuannya. Ia maklum bahwa dia bukanlah lawan kakek kurus itu dan bahwa ia harus nekat dan melawan mati-matian untuk mempertaruhkan namanya sebagai putera Ratu Khitan yang terkenal. Apalagi setelah teringat bahwa dia adalah putera kandung Ratu Khitan dan pendekar sakti Suling Emas, keangkuhannya timbul dan ia akan melawan terus sampai titik darah terakhir"
Maka begitu lawannya sudah dekat, Talibu menggigit gigi menghilangkan semua rasa nyeri dan melompat maju, menerjang dengan ketangkasannya yang mengagumkan. Kini Talibu menekuk sebelah lututnya, tangan kiri dikepal menghantam pusar, tangan kanan menghantam disusul cengkeraman ke arah anggauta rahasia lawan. Serangan hebat ini tak mungkin dielakkan lagi, karena pada saat itu tubuh Siauw-bin Lo-mo sudah meloncat maju.
Kakek itu tidak gentar melihat serangan aneh ini. Ia cepat menggerakkan tangannya, menangkis tangan kanan Talibu dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan pemuda itu terbuka jari-jarinya dan memapaki tangkisannya dengan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan ke arah telapak tangannya yang hendak menangkap. Inilah hebat dan berbahaya"
Kakek itu secara tergesa-gesa merobah gerakannya, membatalkan niatnya menangkis dan menangkap, akan tetapi agaknya pemuda itu pun sudah menduga akan hal ini, atau memang jurus ilmu silatnya ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua perhitungannya tidak meleset. Kiranya totokan-totokan itu pun tidak dilanjutkan, di tengah jalan membalik dan menotok kedua lutut Siauw-bin Lo-mo. Untuk keperluan inilah agaknya maka pemuda itu memasang kuda-kuda sambil berlutut sebelah kaki.
"Haya.."
Siauw-bin Lo-mo berteriak kaget. Ia dapat menyelamatkan kaki kanannya akan tetapi kaki kirinya tetap saja kena ditotok lututnya sehingga lumpuh seketika. Baiknya ia amat lihai sehingga dengan sebelah kaki ia dapat meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya. Di dalam hati ia harus mengakui bahwa selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu jurus-jurus ilmu silat yang amat luar biasa. Tiga kali pemuda itu menggunakan jurus-jurus itu, dan tiga kali pula ia "termakan."
Kalau pemuda ini lebih mahir dan menyempurnakan ilmu itu selama lima sampai sepuluh tahun saja, tentu ia akan terpukul roboh. Kekagetannya mendatangkan kemarahan yang berkobar.
Talibu yang melihat bahwa jurusnya berhasil melukai kaki kiri lawan, menjadi besar hati dan menyerbu dengan hati girang. Dengan sebelah kaki tertotok lumpuh, kelihaian Siauw-bin Lo-mo tidak banyak berkurang. Inilah kesalahan Talibu yang mengira bahwa lawannya sudah tak berdaya lalu maju menyerbu dengan terjangan ganas, tidak lagi menggunakan jurus-jurus Cap-sha-sin-kun yang sama sekali belum dikenal lawan. Kini ia menerjang dengan pukulan-pukulan keras susul-menyusul. Akan tetapi tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa, tubuhnya merendah dan sebelum Talibu dapat mencegahnya, sebuah tamparan mengenai
"Plakk.., Aduuuuuhhh.."
Tubuh Talibu terguling, lambungnya sakit sekali rasanya, seakan-akan isi perutnya dibakar. Ia berusaha meloncat bangun akan tetapi kembali tangan Siauw-bin Lo-mo menampar yang tepat mengenai sebelah kanan lehernya. Seketika pandang matanya berkunang-kunang, kepalanya pening, kemudian pandang matanya menjadi merah gelap. Telinganya masih dapat menangkap suara Bouw Lek Couwsu.
"Lo-mo, jangan bunuh dia.."
"Jangan khawatir, Couwsu"
Jawab Siauw-bin Lo-mo yang kembali menampar, kali ini mengenai tengkuk Talibu. Pangeran ini masih mendengar suara ketawa lawannya yang amat menusuk perasaan sebelum tamparan itu datang dan dunia menjadi hitam di sekelilingnya.
Kota raja Kerajaan Sung kelihatan aman tenteram. Para pedagang dan pelancong dari luar kota memenuhi kota raja. Rumah-rumah para pembesar dan bangsawan selalu kelihatan gembira dan megah. Pesta-pesta diramaikan bermacam kesenian silih berganti diadakan di halaman gedung-gedung yang luas. Di setiap taman bunga yang terawat indah selalu dihias arca-arca batu dengan ukir-ukiran yang amat indah dan semua ruangan tamu dalam gedung-gedung itu penuh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan hias melukiskan sajak-sajak indah. Banyak pemuda-pemuda dengan pakaian pelajar berjalan hilir-mudik memenuhi jalan-jalan raya. Pendeknya sepintas lalu melihat keadaan kota raja ini orang akan mendapat kesan bahwa penduduknya menikmati hidup aman tenteram dan bersuka ria, berlumba dalam keindahan dan kemajuan seni budaya.
Memang demikianlah yang dikehendaki Kaisar. Pada waktu itu, Kaisar Kerajaan Sung lebih mengutamakan kesenangan untuk diri pribadi dan untuk semua rakyatnya, lebih condong untuk memajukan kebudayaan, sedapat mungkin menjauhi perang karena Kaisar pribadi tidak suka akan kekerasan. Memang niatnya baik sekali, akan tetapi sayangnya Sang Kaisar lupa bahwa untuk menjamin semua keamanan dan ketenteraman ini amatlah diperlukan penjagaan dan untuk menjamin penjagaan yang dapat diandalkan mutlak diperlukan bala tentara yang kuat. Apalagi kalau diingat bahwa Kerajaan Sung dikelilingi bangsa lain yang selalu mengincar untuk mencaploknya. Para bangsawan yang kaya raya itu seakan berlumba mengadakan pesta terbuka di mana siapa saja boleh datang menikmati hidangan dan menonton pertunjukan kesenian. Mereka berlumba melakukan derma dan perbuatan baik, karena Kaisar menganjurkan perbuatan amal dan kebaikan.
Hanya mereka sendirilah yang tahu bahwa amal ini bukan keluar dari lubuk hati sendiri, melainkan merupakan siasat untuk membedaki muka mereka yang hitam, oleh korupsi agar menjadi putih bersih. Dan memang siasat seperti ini banyak berhasil. Bukan saja atasan dan Kaisar senang dengan kedermawanan mereka, juga rakyat kecil yang diberi kesempatan ikut berpesta dan makan serta menonton gratis itu banyak yang merasa bersyukur atas kedermawanan pembesar-pembesar dan bangsawan-bangsawan kota raja. Bahkan pandang mata orang-orang kang-ouw yang biasanya tajam dapat pula dikelabuhi karena terlampau sering mereka ini minum arak wangi dan hidangan-hidangan lezat. Pagi hari itu, pagi hari yang cerah, sebuah pesta diadakan di sebuah taman bunga gedung Pangeran Kiang.
Gedung besar dengan taman bunga yang luas dan indah ini adalah sebuah di antara gedung-gedung besar yang paling terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak mengenal keluarga Kiang ini? Bukan Pangeran Kiang yang kaya raya ini yang banyak dikenal orang, melainkan puteranya, yaitu Kiang-kongcu (Tuan Muda Kiang), sebutan untuk Kiang Liong. Semua orang mengenal Kiang-kongcu. Orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengenalnya karena sepak terjangnya yang gagah dan lihai, apalagi karena dia adalah murid pendekar sakti Suling Emas. Penjahat-penjahat mengenalnya karena takut. Penjilat-penjilat mengenalnya karena tangannya selalu terbuka. Pemuda-pemuda mengenalnya karena ia ramah dan pandai bergaul. Bahkan wanita-wanita mengenalnya karena ketampanannya dan sifatnya yang romantis sehingga banyak yang jatuh hati kepadanya.
Dan pagi hari itu, pesta meriah diadakan di taman bunga rumah keluarga Pangeran Kiang ini. Untuk keperluan apa? Kiang-kongcu tidak tampak berada di rumah. Juga Pangeran Kiang dan isterinya yang sudah berusia lanjut dan tidak bernafsu lagi untuk main pesta-pestaan, tidak hadir. Sebagai wakil tuan rumah adalah seorang pemuda yang pakaiannya mewah dan indah dan memang pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangannya di gedung itu. Dia bernama Suma Kiat dan kepada para tamu ia diperkenalkan oleh Pangeran Kiang sebagai anak keponakan Nyonya Kiang yang baru datang berkunjung setelah berpisah belasan tahun. Padahal sesungguhnya baru pertama kali itu selama hidupnya pemuda ini muncul dan mengaku sebagai putera tunggal mendiang Suma Boan, kakak dari Nyonya Kiang. Muncul begitu saja, akan tetapi isterinya, yaitu Nyonya Kiang, tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang mengaku bernama Suma Kiat ini benar-benar putera mendiang kakaknya, karena mempunyai persamaan wajah yang tidak dapat diragukan lagi.
"Engkau benar, keponakanku.., engkau tentu putera mendiang Kakakku.., ah, melihatmu seperti melihat dia dahulu.."
Demikianlah Suma Ceng, isteri Pangeran Kiang, merangkul dan menangis. Dan demikianlah, pesta meriah di taman bunga diadakan untuk menghormat kedatangan pemuda ini dan untuk memperkenalkannya kepada semua orang. Seperti biasanya, jika ada kesempatan baik seperti ini, banyak pula para anggauta kai-pang (perkumpulan pengemis) yang datang dan mereka duduk berkelompok menyendiri, menikmati hidangan lezat dan arak wangi.
Banyak di antara para tokoh kai-pang ini adalah kenalan baik Kiang-kongcu karena mereka ini sesungguhnya bukanlah orang-orang jembel biasa, melainkan ahli-ahli silat yang berkeliaran di dunia kang-ouw sebagai pengemis. Bahkan dalam pesta di kebun kembang Pangeran Kiang ini, banyak orang-orang aneh sahabat Kiang-kongcu muncul sehingga tidak mengherankan apabila tempat pesta itu didatangi orang-orang yang tidak semestinya ikut berpesta, yaitu beberapa orang hwesio gundul dan tosu-tosu pertapa"
Semua orang aneh ini datang hanya karena pesta diadakan di kebun Kiang-kongcu. Dan bukan hal yang aneh lagi kalau ada pula beberapa orang wanita cantik muncul dalam pesta. Bukan wanita-wanita cantik sembarangan, melainkan ahli-ahli silat pula yang menjadi sahabat Kiang-kongcu. Dua orang enci adik Chi, dan tiga orang murid perguruan Ang-lian (Teratai Merah) yang amat terkenal di kota raja.
Lima orang wanita ini berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, berpakaian ringkas, tampak gagah namun tidak melenyapkan kecantikan mereka. Semua sahabat wanita Kiang-kongcu sudah dapat dipastikan cantik-cantik. Tentu saja mereka berlima memilih sebuah meja dan menjadi sekelompok, akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Kiang-kongcu tidak hadir. Sebetulnya mereka hendak mempergunakan kesempatan ini untuk bertemu dan bercakap-cakap dengan orang yang selama ini menjadi buah mimpi, ingin melepaskan rindu. Kekecewaan mereka hanya sebentar karena sebagai pengganti Kiang-kongcu, di situ terdapat Suma-kongcu atau Suma Kiat yang ternyata dalam hal keramahan dan kepandaian bermanis muka dan memikat hati wanita tidak kalah lihai daripada Kiang-kongcu.
Suma-kongcu ini segera duduk di meja kelompok gadis-gadis ini dan terjadilah percakapan yang asyik dan gembira. Apalagi ketika lima orang gadis itu mendengar bahwa Kongcu ini juga seorang ahli silat yang pandai sekali. Ternganga mulut mereka menyaksikan ketika Suma Kiat menggenggam cawan arak, mengerahkan sinkang dan membuat arak di dalam cawan itu panas beruap dan mendidih"
Biarpun wajah Suma Kiat tidak setampan Kiang-kongcu, namun harus diakui bahwa dia termasuk seorang pemuda yang berlagak dan tidak berwajah buruk. Adapun delapan orang pengemis yang menduduki sekitar meja di sudut adalah para pengemis yang tergolong gagah perkasa. Pengemis golongan sesat tidak berniat mendekati Kiang-kongcu yang mereka anggap sebagai seorang musuh.
Bukankah Kiang-kongcu murid Suling Emas yang menjadi musuh besar pengemis golongan sesat? Delapan orang pengemis yang kini berkumpul di situ adalah pengemis-pengemis golongan baju butut, bahkan di antara mereka terdapat seorang pengemis muda yang memegang sebuah topi butut berhias kembang. Pengemis muda belia yang tampan dan gagah. Dia ini bukan lain adalah Yu Siang Ki, atau Yu-pangcu (Ketua Yu) yang dihormati tujuh orang pengemis lainnya karena dikenal sebagai ketua baru perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Yu Siang Ki yang datang bersama Kwi Lan di kota raja segera berpisah dari dara yang dianggap sebagai adik angkatnya ini, kemudian ia menemui tokoh-tokoh pengemis di kota raja. Ketika mendengar bahwa Ketua Khong-sim Kai-pang ini berniat mencari Suling Emas, para tokoh pengemis segera berunding.
"Yu-pangcu, pendekar sakti Suling Emas adalah seorang sahabat dan semenjak dahulu kami menghormat dan mencintanya. Akan tetapi sayang sekali, tak seorang pun dapat mengatakan di mana dapat bertemu dengan pendekar itu. Dia datang dan pergi seperti dewa, tak pernah meninggalkan jejak. Bahkan sudah bertahun-tahun tidak pernah orang melihatnya. Akan tetapi, yang sudah nyata di kota raja ini terdapat seorang muridnya yang lihai."
Kata Pek-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Putih).
"Apakah Lo-kai maksudkan Kiang-kongcu?"
"Ha-ha, nama besar Kiang-kongcu sudah terkenal sampai jauh."
"Bukan hanya mengenal namanya, Lokai malah secara kebetulan sekali saya sudah mendapat kehormatan berjumpa dengan Kiang-kongcu."
"Ah, begitukah? Kebetulan sekali. Kami mendengar bahwa di taman bunga Pangeran Kiang akan mengadakan pesta umum. Marilah Yu-pangcu ikut bersama kami hadir di pesta itu. Kalau ada jodoh bertemu Kiang-kongcu, agaknya dia akan dapat menerangkan di mana Pangcu dapat bertemu dengan Suling Emas."
Demikianlah, pagi hari itu, Yu Siang Ki hadir bersama tujuh orang tokoh pengemis kota raja. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia tidak melihat Kiang Liong dan mendengar bahwa pesta itu sengaja diadakan oleh keluarga Pangeran Kiang untuk menyambut kedatangan seorang keponakan mereka yang bersama Suma Kiat. Makin besar rasa kecewa dan ketidaksenangan hati Yu Siang Ki ketika ia menyaksikan lagak Suma-kongcu itu, yang duduk menjamu kelompok wanita-wanita cantik yang genit-genit dan mendemonstrasikan kepandaiannya, seperti main sulap membuat arak dalam cawan bergolak, melihat pemuda berpakaian indah itu petantang-petenteng dengan sombongnya ketika dipuji-puji tamu.
"Hemmm, dia amat sombong. Akan tetapi harus diakui bahwa lwee-kangnya hebat sekali."
Bisik pengemis di sebelah kiri Siang Ki. Melihat kepandaiannya, ia memang pantas menjadi saudara misan Kiang-kongcu, akan tetapi melihat kesombongannya, sungguh jauh bedanya"
Siang Ki mengangguk-angguk.
"Kepandaiannya hebat, dan mungkin kesombongannya itu karena ia masih muda dan karena berhadapan dengan wanita-wanita."
Pek-tung Lo-kai yang duduk di sebelah kanan Siang Ki, setelah melirik ke kanan kiri, berbisik.
"Hemmm.. sungguh mengherankan sekali. Begini sedikit orang-orang gagah yang sepatutnya hadir mengingat bahwa semua orang gagah menjadi sahabat Kiang-kongcu, sebaliknya banyak hadir orang-orang tergolong busuk dan banyak pembesar-pembesar penjilat dan perwira-perwira penting. Heran sekali, orang macam apakah Suma Kongcu ini?"
"Lo-kai, bukan urusan kita, tidak perlu kita ambil pusing. Kalau sampai nanti Kiang-kongcu tidak muncul, sebaiknya kita mohon diri dan meninggalkan tempat ini saja."
Berkata demikian Siang Ki mengangkat cawan arak dan hendak diminumnya. Akan tetapi dia menunda niatnya minum arak ketika pada saat itu terdengar suara nyaring suara Kwi Lan. Gadis itu berseru dengan nyaring.
"Suheng"
Mengapa kau berada di sini..?"
Hanya sebentar Siang Ki menunda minumnya. Ia tersenyum, menenggak araknya dan berbisik kepada Pek-tung Lo-kai di sebelah kanannya.
"Wah, tentu akan terjadi keributan.."
Bagaimanakah tahu-tahu Kwi Lan Si Mutiara Hitam muncul di tempat pesta ini?
Telah kita ketahui bahwa dara perkasa ini melakukan perjalanan bersama Yu Siang Ki setelah pemuda Ketua Khong-sim Kai-pang ini berjanji akan menganggapnya sebagai seorang adik angkat. Biarpun sikap Kwi Lan tidak berubah dan masih gembira dan jenaka seperti biasa, namun sikap Siang Ki terhadapnya sudah berubah. Pemuda ini menekan hatinya dan memaksa perasaannya untuk memandang gadis ini sebagai adik angkat, namun ia tak pernah berhasil sehingga sepanjang perjalanan Siang Ki nampak murung dan berduka. Akhirnya mereka tiba di kota raja dan di sini mereka berpisah. Siang Ki hendak menemui tokoh-tokoh pengemis untuk mencari keterangan tentang Suling Emas, sedangkan Kwi Lan mencari keterangan tentang Suma Kiat seperti yang dipesankan gurunya. Diam-diam ia menjadi jengkel sekali. Di dalam kota besar seperti ini, di mana terdapat puluhan orang, bagaimana ia dapat menemukan seorang Suma Kiat?
Selagi ia termenung di sore hari itu, duduk di bangku dalam ruangan depan kamarnya, ia mendengar suara ketawa cekikikan dan dua orang, gadis yang berpakaian ringkas berwajah cantik memasuki ruangan itu dari depan. Melihat cara mereka berpakaian, pedang yang tergantung di pinggang, dan langkah kaki mereka yang ringan, Kwi Lan dapat menduga bahwa mereka adalah dua orang gadis ahli silat. Ia tertarik dan dari sudut matanya ia mengerling. Hatinya sudah tidak senang melihat sikap kedua orang gadis itu yang genit, akan tetapi karena mereka itu tidak ada hubungan dengan dirinya, ia pun diam saja dan hanya memperhatikan ucapan-ucapan mereka ketika mereka lewat di ruangan itu menuju ke kamar sebelah belakang.
"Wah.. sayang sekali kalau dia tidak ada, Cici. Kalau dia tidak ada, untuk apa kita datang menghadiri pesta itu?"
Kata yang bertubuh ramping dengan sanggul rambut tinggi sambil menghela napas kecewa.
"Ihh, yang kau pikirkan dia saja, Moi-moi. Jangan khawatir, biarpun dia tidak ada, namun ada penggantinya. Aku mendengar bahwa keponakan Pangeran Kiang itu pun lihai dan tampan, hi-hik"
"Hemm, aku sangsi apakah ada yang lebih hebat daripada dia. Siapakah namanya, Cici?"
"Entah, hanya aku mendengar bahwa dia disebut Suma-kongcu begitu.."
Suara percakapan mereka lenyap di balik pintu kamar mereka di sebelah belakang. Akan tetapi Kwi Lan sudah mendengar cukup banyak. Nama Suma-kongcu membangkitkan perhatiannya. Bukan tidak boleh jadi bahwa Suma-kongcu yang dibicarakan dua orang gadis genit ini, adalah Suma Kiat, suhengnya yang sedang ia cari-cari. Demikianlah, pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan losmen, diam-diam ia membayangi mereka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang gadis itu memasuki pekarangan gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi ketika melihat bahwa di dalam taman di sebelah kiri rumah gedung itu terdapat banyak tamu bermacam-macam, bahkan ada yang berpakaian pengemis, setelah meragu sampai sejam lebih di luar, akhirnya ia berjalan masuk pula.
"Suheng.., Mengapa kau berada di sini..?"
Tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk menghadapi lima orang wanita cantik, dan di antaranya adalah gadis-gadis yang ia lihat di losmen. Ada rasa girang terkandung dalam seruan Kwi Lan karena hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat menemukan suhengnya seperti yang diperintahkan gurunya. Seruan yang nyaring ini membuat banyak tamu menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak seorang pun di antara tamu itu mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini. Suma Kiat juga menengok dan ia meloncat bangun, menghampiri dan memegang tangan Kwi Lan.
"Aha, Sumoi.., Alangkah girang hatiku melihatmu. Betapa rinduku kepadamu selama ini.."
Suma Kiat yang memegang tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk Kwi Lan dengan pandang mata penuh nafsu.
"Suheng, kau menjadi makin gila"
Bentak Kwi Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan pemuda itu, mulutnya cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Ketika Suma Kiat yang masih tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang tangannya lagi, Kwi Lan menampar tangan pemuda itu dalam tangkisan yang dilakukan dengan keras. Suma Kiat terkejut, tangannya terasa sakit dan agaknya ia baru tahu bahwa sumoinya marah benar-benar.
"Eh.. eh.., Sumoi.., mengapa marah? Tidak bolehkah aku melepas rinduku kepadamu? Sudah amat lama kita tidak saling berjumpa.."
"Bodoh, Tak malukah engkau?"
Bentak Kwi Lan, mukanya kini menjadi merah ketika melihat betapa semua orang memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum dan menahan ketawa.
Suma Kiat tersenyum masam, sadar akan keadaan ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira melihat sumoinya yang memang amat dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal bersama Kwi Lan di istana bawah tanah, ia tidak merasakan sesuatu terhadap sumoinya kecuali ingin menggodanya dan ia suka sekali melihat sumoinya ini marah-marah. Setelah berpisah jauh dan lama, barulah ia merasa betapa tersiksa hatinya, betapa rindunya terhadap Kwi Lan, dan baru ia sadar betapa besar rasa cintanya terhadap gadis itu. Kini, melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba dalam pesta, ia menjadi demikian girang sehingga tidak ingat bahwa sikapnya itu ditonton oleh semua tamu. Ia kini sadar lalu cepat berkata.
"Ah, maaf, Sumoi. Silakan duduk. Mari duduklah di sini dan ceritakan semua pengalamanmu. Oya, biarlah kuperkenalkan kau kepada para tamu."
Tanpa mempedulikan sikap Kwi Lan yang memprotes, pemuda ini memandang ke semua penjuru dan berkata dengan suara lantang.
"Para tamu yang terhormat. Perkenankanlah saya memperkenalkan Sumoiku yang cantik jelita dan perkasa ini, Kam Kwi Lan"
Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para tamu yang terpaksa menunda percakapan, makan dan minum untuk berdiri dan menjura kepada mereka. Dengan tersipu-sipu Kwi Lan terpaksa pula mengangkat kedua tangan ke dada membalas penghormatan mereka, kemudian karena takut kalau-kalau suhengnya yang otak-otakan ini melakukan hal-hal lain yang memalukan, ia cepat-cepat duduk di bangku menghadapi meja berhadapan dengan lima orang wanita yang memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian. Suma Kiat sebaliknya gembira sekali. Setelah Kwi Lan duduk, ia bertepuk tangan memanggil pelayan, berseru.
"Lekas, hidangan terlezat dan arak terbaik untuk Kam-siocia"
Bahkan para pelayan diam-diam mencibirkan bibirnya melihat sikap congkak melebihi pemilik rumah sendiri. Kiang-kongcu saja tidak pernah bersikap seperti itu. Diam-diam mereka membenci tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan kasar. Namun Suma Kiat yang pada saat itu merasa menjadi peran utama karena pesta itu diadakan untuk menghormatinya, apalagi kini melihat sumoinya datang, tidak tahu akan ketidaksenangan mereka ini. Sambil tersenyum-senyum ia duduk di sebelah kanan Kwi Lan, kemudian berkata.
"Oya, belum kuperkenalkan. Sumoi, dua orang nona ini adalah Chi Ci-moi (Enci Adik she Chi), dan tiga orang Nona ini adalah murid-murid kepala dari perguruan Ang-lian Bu-koan. Mereka ini merupakan harimau-harimau betina kota raja, kepandaian mereka amat lihai."
Senang hati lima orang gadis itu mendengar pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan menghormat Kwi Lan. Akan tetapi Kwi Lan bersikap dingin, bahkan terdengar berkata ketus.
"Sudah, kalian berilima pergilah"
Suma Kiat melongo dan lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Seorang di antara Chi Ci-moi itu, yang tertua, kini menjadi merah mukanya dan bertanya, suaranya ketus.
"Apa makaudmu..?"
"Maksudku sudah cukup jelas. Menggelindinglah kalian berilima pergi dari sini, aku hendak bicara berdua dengan Suhengku"
Lima orang wanita itu tak dapat menahan kemarahan hati mereka. Dengan muka merah padam mereka melotot kepada Kwi Lan dan seorang di antara murid kepala Ang-lian Bu-koan membentak.
"Orang tidak boleh menghina kami begini saja"
Kwi Lan yang sejak tadi memang sudah gemas karena sikap suhengnya, kini pun marah.
"Aku suruh kalian pergi, kalian anggap menghina? Hemmm, kalau menghina, kalian ini perempuan-perempuan genit dan cabul tak tahu malu mau apa? Pergilah"
Berkata demikian Kwi Lan menggerakkan kakinya dan meja di depannya terbang ke arah lima orang gadis itu.
Kedua Chi Ci-moi dan tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis sembarangan. Diserang begini biarpun tak secara tersangka-sangka dan dari jarak dekat, mereka masih sempat berjungkir balik ke belakang, kemudian secara berbareng mereka menggerakkan lengan ke depan menahan meja yang menyambar. Mereka terhindar dari hantaman meja, namun tak dapat menghindarkan diri dari serangan arak dan kuah daging sayur yang menyambar ke arah muka dan pakaian mereka dari mangkok-mangkok di atas meja. Muka dan pakaian mereka berlepotan kuah dan arak, dan celaka bagi mereka, kuah-kuah itu baru saja dihidangkan oleh pelayan dalam keadaan masih panas-panas. Tentu saja mereka menyumpah-nyumpah dan mencak-mencak.
"Ah, Sumoi jangan bikin ribut. Mari kita bicara.."
Suma Kiat sudah menyambar lengan adik seperguruannya dan menarik pergi dari taman, memasuki ruangan samping rumah itu. Kwi Lan ingin membangkang, namun ia masih ingat akan pesan gurunya dan tidak menghendaki pertempuran melawan suhengnya sendiri di tempat umum itu, maka ia menurut. Mulutnya cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan. Setelah mereka berdua duduk di ruangan samping. Suma Kiat segera berkata suaranya perlahan setengah berbisik, akan tetapi penuh kesungguhan, matanya memancarkan kecerdikan yang mengagetkan hati Kwi Lan.
"Ah, Sumoi, kau tidak tahu. Ibu yang mengatur, semua ini. Tahukah engkau bahwa kakakmu ini menjadi calon kaisar?"
Kwi Lan memandang, matanya terbelalak. Celaka, kiranya sinar kecerdikan di mata suhengnya itu hanya penonjolan dari kegilaannya yang makin menjadi.
"Suheng, tak sudi aku mendengar ocehanmu yang tidak karuan ini"
"Huh, anak bodoh. Kau tidak percaya? Bukankah Ibu yang menyuruh kau datang ke sini mencariku? Bantuanmu amat kubutuhkan. Kau lihatlah lima orang wanita itu, dan para tamu itu, sebagian besar adalah sekutu kami."
"Sekutu apa?"
Kwi Lan mulai tidak sabar.
"Sekutu untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap bergerak.."
"Ahhh.."
Bukan main kagetnya hati Kwi Lan. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Jadi gurunya yang gila, juga suhengnya yang berotak miring ini, mempunyai rencana yang demikian gila? Ia cerdik maka kini ia menahan kemarahannya dan berbisik.
"Suheng aku belum diberi tahu Bibi Sian tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?"
Ia pura-pura bersungguh-sungguh. Suma Kiat tersenyum, menengok ke sekelilingnya.
"Ketahuilah, Ibu membawa aku ke sini. Ini adalah gedung Pangeran Kiang dan engkau tahu, Isteri Pangeran Kiang bernama Suma Ceng menurut Ibu, dia adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih putera Pangeran bernama Suma Boan."
Sampai di sini Suma Kiat membusungkan dadanya.
"Aku cucu Pangeran. Karenanya aku berhak menjadi kaisar. Dan engkau menjadi puteri, ha-ha-ha, kalau aku menjadi kaisar, kelak engkau menjadi permaisuri, dan menjadi ibu suri.. ha-ha-ha"
"Hushh.. Suheng, bicaralah yang benar. Bagaimana rencana itu? Apa yang telah terjadi?"
"Heh-heh, banyak yang terjadi, Adikku sayang. Bangsa Hsi-hsia telah mengadakan hubungan rahasia dengan banyak pembesar di sini, dan yang hadir di taman itu sebagian besar adalah pembesar-pembesar yang telah sepakat untuk mengadakan persekutuan. Kau lihat hwesio yang duduk di sudut tadi? Dia adalah Cheng Kong Hosiang, dia yang mewakili bangsa Hsi-hsia. Dan Ibu menunjuk aku untuk memimpin pergolakan dari dalam apabila saatnya tiba."
"Hemm, kau kira begitu mudah? Di sini banyak terdapat orang gagah yang tentu akan menentang pengkhianatan ini, Suheng. Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya ini?"
"Siapa bilang tidak mudah? Kerajaan Sung amat lemah, kaisarnya seperti perempuan. Dan menurut kabar yang baru kuperoleh, bangsa Khitan juga siap membantu bangsa Hsi-hsia.."
"Bohong.."
Kwi Lan sendiri menjadi kaget mendengar suaranya yang spontan dan mengandung kemarahan itu. Tanpa disadarinya, ia kini telah menjadi pembela bangsa Khitan. Teringat ini, dan melihat pandang mata Suma Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung.
"Aku mendengar bangsa Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung. Tak mungkin mereka sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia yang biadab, yang menyerang dan menghancurkan Beng-kauw secara menggelap, yang dipimpin oleh hwesio-hwesio gila, manusia-manusia biadab berkedok pendeta"
"Aihh.. kiranya pengetahuanmu cukup luas, Sumoi. Agaknya selama dalam perantauan ini engkau sudah menjumpai banyak pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum tahu apa yang baru saja kudengar. Bouw Lek Couwsu pimpinan bangsa Hsi-hsia kini mendapat jalan untuk memaksa pemerintah Kerajaan Khitan untuk bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia."
"Hemm, aku tidak percaya. Bangsa Hsi-hsia hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya, sedangkan Khitan adalah negara besar.."
"Ha-ha-ha, mereka terpaksa harus memenuhi permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran Mahkota mereka terjatuh ke dalam tangan Bouw Lek Couw."
"Apa..?"
Kwi Lan menekan perasaannya sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol pada wajahnya. Suma Kiat tertawa puas.
"Benar? Pangeran Mahkota yang bernama Talibu, Pangeran Khitan itu kini menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu dan dia itulah yang akan menjamin bahwa Kerajaan Khitan pasti akan suka membantu."
Kwi Lan tersenyum dingin untuk menutupi hatinya yang panas. Ia sudah mendengar dari Siang Ki bahwa Ratu Khitan yang menurut gurunya adalah ibu kandungnya itu memang mempunyai seorang putera angkat bernama Pangeran Talibu yang tampan dan gagah perkasa. Biarpun ia mengandung perasaan iri dan tidak senang kepada anak angkat ibunya itu, namun kini mendengar betapa putera mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu, ia terkejut sekali. Urusan ini ternyata bukan urusan kecil dan sama sekali bukan urusan main-main. Kalau yang dikatakan pemuda gila ini benar, ia harus berusaha sedapat mungkin menolong putera angkat ibunya"
Maka dengan cerdik ia lalu tertawa, tertawa dingin yang sepenuhnya menonjolkan sikap tidak percaya.
"Ah, Suheng. Setelah lama merantau, engkau masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja diakali orang. Sudah jelas kau dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan menelannya begitu saja tanpa mau memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran Mahkota Khitan ditawan orang-orang Hsi-hsia?"
Kwi Lan sengaja mengeluarkan suara ketawa nyaring yang dia tahu menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau bertengkar, ia selalu tertawa seperti ini. Merah wajah Suma Kiat.
"Sumoi, kaulah yang bodoh dan tolol. Kau masih tidak percaya kepada aku, calon Kaisar. Pangeran Talibu benar telah ditawan oleh Bouw Lek Couwsu yang bermarkas di sebelah barat Lok-yang, di lembah Sungai Kuning di kaki Gunung Fu-niyu-san.."
Tiba-tiba Suma Kiat menghentikan kata-katanya dan memandang ke kanan kiri dengan sikap kaget, seakan-akan ia baru ingat bahwa ia telah membuka rahasia besar yang tidak seharusnya ia katakan kepada siapapun juga.
"eh, Sumoi.., jangan bilang kepada siapapun juga.."
Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan itu, di taman. Mereka bergegas keluar, terutama Suma Kiat, mendahului sumoinya melompat keluar dan menghampiri para tamu yang tampak ribut. Di tengah taman itu berdiri seorang pengemis muda yang jangkung tampan, memakai sebuah topi lebar yang butut, akan tetapi dihias bunga memegang sebatang tongkat, berdiri dengan tegak, berhadapan dengan dua orang wanita enci adik she Chi. Dua orang gadis inilah yang ribut-ribut dan memaki-maki.
"Jembel busuk, Jembel kelaparan. Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan, ya? Kami bukanlah gadis-gadis macam iblis tadi yang boleh kau permainkan.."
Bentak gadis muda she Chi, sedangkan encinya sudah meraba gagang pedangnya.
Pengemis muda itu bukan lain adalah Yu Siang Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan sudah ia duga bahwa gadis itu tentu menimbulkan keributan sesuai dengan wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan mempermainkan lima orang wanita cantik yang duduk semeja dengan Suma Kiat, diam-diam ia tertawa. Memang lima orang wanita itu patut diberi sedikit hajaran. Dia sudah mendengar siapa adanya lima orang wanita itu. Akan tetetapi ketika ia melihat Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang disebut suheng oleh Kwi Lan, timbullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi jengkel sekali. Jengkel melihat kenyataan bahwa temannya yang dianggap adik angkat, wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik seperguruan pemuda bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak mempedulikannya, bahkan kini masih bersama pemuda itu.
Ia khawatir sekali. Pada saat itulah ia mendengar betapa lima orang wanita yang merasa terhina oleh Kwi Lan, mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan secara kasar sekali. Yu Siang Ki tentu tidak begitu mudah mencari keributan, apalagi mengingat bahwa di situ adalah tempat tinggal Kiang-kongcu murid Suling Emas. Akan tetapi karena ia merasa khawatir akan keadaan Kwi Lan yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda sombong tadi, kini melihat adanya kesempatan untuk menarik perhatian Kwi Lan keluar dari gedung. Tanpa ragu lagi ia lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya setelah berbisik kepada para pengemis lainnya.
"Jangan heran akan sikapku.."
Sambil memandang lima orang gadis itu, ia membentak, suaranya nyaring.
"Kuharap kalian berlima tahu diri dan tidak membuka mulut sembarangan mengeluarkan kata-kata kotor menghina Kam-lihiap. Tidak sadarkah bahwa tadi Kam-lihiap telah mengampuni jiwa anjing kalian?"
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ucapan ini sungguh hebat dan pedas. Biarpun mereka berlima itu wanita, namun tokoh-tokoh kota raja tahu belaka bahwa ilmu kepandaian mereka tidak boleh dipandang rendah. Apalagi tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan yang amat berpengaruh karena perguruan mereka. Dan kini seorang pengemis muda yang tidak terkenal berani mengeluarkan ucapan yang demikian pedas. Juga lima orang itu terkejut, wajah mereka berubah merah dan tak dapat ditahan lagi kemarahan orang termuda dari Chi Ci-moi yang bernama Chi Bwee, meloncat bangun menghadapi Yu Siang Ki dan memaki-makinya seperti tadi. Siang Ki tersenyum mendengar maki-makian ini, kemudian menambah panasnya api yang ia kobarkan.
"Kam Kwi Lan bukanlah iblis betina, melainkan seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar, tidak seperti kalian ini lima ekor tikus betina yang genit.."
"Jembel busuk mau mampus"
Bentak Chi Leng, enci Chi Bwee yang sudah mencabut pedang dan dengan gerakan kilat pedangnya menyambar dengan sebuah tusukan ke dada Siang Ki.
"Wuuuuttt.."
Tusukan itu mengenai angin karena tubuh Siang Ki doyong ke belakang. Pemuda ini tanpa merobah kedudukan kakinya telah mampu mengelak dengan amat mudahnya. Ia tertawa mengejek.
"Gadis galak dan canggung macam engkau ini berani menghina Kam-lihiap? Sungguh menjemukan"
"Enci, mari kita bunuh jembel ini"
Chi Bwee juga sudah mencabut pedangnya dan membacok. Namun kembali bacokannya mengenai angin.
"Hayo, kalian yang tiga orang lagi tidak ikut maju? Maju dan keroyoklah, perempuan-perempuan macam kalian mana ada kepandaian?"
Siang Ki mengejek terus. Marahlah tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan. Mereka pun dapat menduga bahwa dari gerakan pemuda jembel ini, dua orang enci adik Chi sama sekali bukan tandingannya. Mereka mencabut pedang dan bergeraklah lima orang gadis ini menyerang kalang-kabut. Biarpun dibandingkan dengan Siang Ki, tingkat ilmu silat mereka masih jauh, namun karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan nafsu membunuh, Siang Ki tidak berani memandang rendah. Tangan kirinya menyambar topinya, sambil bergerak dengan lincah ia mengayun topi dan tangan kanan.
"Siuut-siuut-bret-bret.."
Terdengar lima orang itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang digelung rapi itu sudah terlepas semua ikatannya, cerai-berai dan awut-awutan karena pita rambutnya telah putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki.
Mereka hanya merasa betapa pandang mata mereka gelap karena muka mereka tiba-tiba tertutup topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian merasa rambut mereka terlepas ikatannya. Ketika mereka memandang, pita-pita rambut mereka telah berada di tangan Siang Ki yang tertawa-tawa. Bukan main kaget dan marah hati mereka. Kaget karena tidak mengira bahwa jembel muda ini benar-benar luar biasa lihainya dan marah karena peristiwa yang terjadi di depan banyak tokoh kang-ouw itu merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan inilah yang membuat mereka lupa diri, lupa akan pesan guru-guru mereka bahwa menghadapi seorang yang jauh lebih lihai, tiada gunanya berlaku nekat karena takkan dapat menang.
Dengan gerakan ganas mereka sudah menyerbu lagi mengeroyok Siang Ki. Pemuda ini menjadi girang karena usahanya memancing Kwi Lan keluar berhasil. Ia sudah melihat gadis itu muncul keluar di belakang Suma-kongcu, maka hatinya menjadi lega dan ia berniat mengakhiri perkelahian dan meninggalkan tempat itu. Akan tetapi pada saat itu, Suma Kiat sudah datang berlari seperti terbang cepatnya. Pemuda ini marah sekali. Ia tidak mengenal Si Pemuda Jembel, sebaliknya ia sudah beramah-tamah dan menerima janji-janji senyum dan kerling manis lima orang wanita cantik itu, tentu saja tanpa pikir-pikir panjang lagi ia sudah memihak lima orang wanita itu. Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya, tahu-tahu ia sudah terjun ke dalam pertandingan dan mengirim pukulan hebat ke arah Yu Siang Ki.
"Suheng.. jangan.."
Kwi Lan melompat dan mengejar kakak seperguruannya.
Akan tetapi Suma Kiat tidak mempedulikannya dan sudah menghantam ke arah dada Yu Siang Ki. Ketua pengemis yang muda ini sedang sibuk mengelak dan menangkis keroyokan lima batang pedang dengan kebutan topinya, ketika secara mendadak ada angin menyambar keras sekali dari arah depan. Belum tiba pukulannya, anginnya sudah datang menghantam dengan hawa amat panas. Kagetlah ia mengenal pukulan ampuh ini. Cepat ia menangkis dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang memegang topi juga digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang yang menyambar ke arahnya.
"Wuuuuttt.. plakkk.."
Karena Yu Siang Ki membagi tenaga sin-kangnya untuk mengebut pedang dan menangkis, maka tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya. Ia tidak menduga bahwa pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang demikian ganas dan kuat, maka ketika kedua lengan bertemu Yu Siang Ki merasa betapa serangkum hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Suma Kiat tertawa mengejek dan sudah menyambar lagi ke depan, mengirim pukulan lebih ganas kepada Siang Ki yang sedang terhuyung-huyung ke belakang.
"Suheng.. mundur kau.."
Suma Kiat melihat sinar hijau berkelebat dan tahulah ia bahwa Siang-bhok-kiam di tangan sumoinya telah mengancam pundaknya. Namun ia tidak percaya bahwa sumoinya akan berani atau mau melukainya, maka ia tidak ambil peduli dan melanjutkan pukulannya ke arah Siang Ki.
"Brettt.., Aduhhh"
Heeee, Sumoi, gilakah engkau? Berani kau melukai aku?"
Bentak Suma Kiat. Pundak kirinya mengucurkan darah karena tepi pundak telah tertusuk pedang merobek baju dan kulit dagingnya. Ia menutupi luka di pundak kiri dengan tangan kanan, memandang sumoinya dengan mata terbelalak heran. Sungguh di luar dugaannya bahwa sumoinya benar-benar berani melukai pundaknya, dan hal ini dilakukan hanya untuk membela seorang.. pengemis. Dengan pedang di tangan dan muka merah saking marahnya, Kwi Lan menjawab dan menentang pandang mata suhengnya.
"Suheng, Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan Yu Pangcu ini telah membelaku karena di antara kami ada tali persahabatan yang erat. Akan tetapi engkau malah membela perempuan-perempuan tak tahu malu ini dan hendak mencelakainya. Aku sudah minta kau mundur, tapi kau memaksa maju sehingga terluka pedangku. Pendeknya, siapapun juga tidak boleh mencelakakannya"
Sikap Kwi Lan garang sekali, pedangnya melintang di depan dada.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu. Sumoi jadi kau sekarang telah menjadi Inang pengasuh jembel cilik ini? Menjadi pelindung pengemis kelaparan ini?"
Siang Ki telah menyambar tongkatnya yang tadi ia sandarkan di meja. Gerakannya cepat sekali dan kini ia sudah berdiri di depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan pandang mata penuh wibawa, suaranya nyaring ketika berkata.
"Sungguh omongan yang tidak patut keluar dari mulut seorang gagah. Lebih tidak patut lagi keluar dari mulut Suheng dari Kam-lihiap. Aku Yu Siang Ki tidak pernah minta dilindungi Kam-lihiap dan jangan kira bahwa aku takut menghadapi engkau, Suma-kongcu."
Suma Kiat marah sekali, akan tetapi melihat sumoinya masih berdiri dengan pedang di tangan, ia ragu-ragu untuk bergerak maju. Ia sudah cukup mengenal watak sumoinya yang ganas dan diam-diam ia pun maklum bahwa sekali sumoinya marah dan melawannya, belum tentu ia mampu mengalahkan sumoinya itu. Dan kini jelas tampak sikap sumoinya itu membela Si Pengemis ini. Pada saat yang menegangkan itu, di mana kedua pihak agaknya siap untuk bertanding dan selagi semua tamu memandang penuh perhatian dan ketegangan, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun nyaring berwibawa.
"Hemm, apakah yang terjadi di sini?"
Semua orang menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap yang berpakaian putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-kim yang bentuknya seperti kepala naga. Pemuda ini bukan lain adalah Kiang Liong. Dan di samping pemuda itu berjalan seorang gadis cantik jelita berpakaian indah dan gadis ini adalah Puteri Mimi.
Bagaimanakah Kiang Liong bisa muncul pada saat itu dan mengapa pula bersama Puteri Mimi? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengikuti perjalanan Kiang Liong agar jalannya cerita menjadi lancar. Seperti telah kita ketahui, pemuda murid Suling Emas ini telah berhasil diobati dan diselamatkan oleh Song Goat yang cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong di "rebus"
Dalam air yang dimasuki obat, air dalam tahang berubah hitam dan tubuh bagian bawah berubah putih dan normal kembali. Untung bahwa pengobatan ini telah selesai dan berhasil dengan baik ketika Song Goat mendengar suara hiruk-pikuk di luar kedai. Melihat betapa pemilik kedai dan penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk dan mendengar betapa ia disangka siluman, Song Goat tertawa lalu berkata.
"Kongcu, sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh."
Kiang Liong membelakangi gadis itu dan mengenakan pakaiannya, kemudian baru ia menghadapi Song Goat dan menjura sampai dalam.
"Nona Song, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku Kiang Liong selama hidupku takkan melupakanmu dan amat berterima kasih kepadamu. Orang-orang itu benar kurang ajar, berani menganggap Nona sebagai siluman. Terlalu, Biar kuhajar mereka agar kapok"
"Ah, mengapa kau berpemandangan sepicik itu, Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan pikirannya amat sederhana dan bodoh percaya akan tahyul. Kita tidak semestinya marah kepada mereka, sebaliknya aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya orang-orang yang berpikiran sederhana dan bodoh sajalah yang masih dapat diharapkan kebaikannya di dunia yang penuh orang pintar ini. Orang yang sederhana memang bodoh, akan tetapi jujur dan setia, tidak seperti orang-orang pintar yang terlalu pintar sampai lupa akan kejujuran dan kesetiaan. Marilah kita pergi"
Suara gadis itu terdengar penuh kedukaan dan ia sudah berkelebat keluar melalui jendela.
Sejenak Kiang Liong tertegun. Ia banyak mempelajari filsafat dan pelajaran keagamaan, maka mendengar ucapan gadis itu ia tertegun. Gadis yang cantik manis, gadis yang berbudi, gadis yang patah hati. Tanpa berkata sesuatu, setelah menyambar sepasang pit dan yang-kimnya, ia pun melompat keluar jendela menyusul Song Goat. Mereka berdua berlari cepat tanpa bicara. Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah gadis itu dan melihat betapa wajah yang cantik itu terselubung kekeruhan tanda bahwa hati gadis itu berduka. Ia merasa heran sekali dan setelah mereka berlari jauh dari dusun, mendaki sebuah bukit dan melalui padang rumput yang luas. Kiang Liong tak dapat menahan kesunyian di antara mereka.
"Nona Song, harap berhenti dulu."
Song Goat mengerling kepadanya lalu berhenti. Mereka, tanpa bicara menghampiri sebuah pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan amat sejuk hawanya. Enak duduk di bawah pohon teduh ini setelah berlari di bawah sinar matahari yang sudah naik tinggi. Mereka duduk berhadapan, di atas akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Masih tidak bicara. Song Goat menyapu dengan pandang matanya ke depan, melihat pemuda itu memandangnya penuh selidik, kedua pipinya menjadi kemerahan dan menunduk. Kemudian tanpa mengangkat mukanya ia bertanya.
"Kongcu, mengapa kau menyuruh aku berhenti?"
Kiang Liong tersenyum. Makin tertarik hatinya ketika ia menatap wajah yang tunduk itu. Dara cantik manis, memiliki hati yang baik akan tetapi patah-patah dan.., pemalu. Berdebar jantungnya, timbul rasa kasih dan suka di hatinya.
"Nona Song, aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu."
Kini Song Goat mengangkat mukanya dan cepat-cepat ia menundukkan pandang matanya ke tanah ketika melihat sinar mata tajam yang seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya.
"Bicara tentang apakah, Kongcu? Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat melanjutkan perjalananmu. Jalan kita bersimpangan.."
"Ah, Song-kouwnio, apakah kau menganggap aku seorang yang demikian rendah dan tidak ingat budi? Kau sudah merenggut nyawaku dari cengkeraman maut. Engkau telah menyelamatkan aku dan sampai mati sekalipun, budimu yang besar tidak akan dapat kulupakan, Betapa mungkin setelah kini kau menyelamatkan aku, akan kutinggalkan saja kau? Tidak, aku tidak serendah itu, Nona. Pohon-pohon yang disiram, dipupuk dan dirawat akan membalas dengan bunga-bunga indah dan buah-buah lezat. Kuda dan anjing yang dipelihara akan membalas dengan kesetiaan. Mana aku Kiang Liong kalah oleh pohon atau binatang?"
Mau tidak mau Song Goat tersenyum kecil. Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati pikirnya. Hati siapa tidak merasa nikmat mendengar ucapan seperti itu? Pemuda yang berkepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, bahkan lebih tinggi daripada tingkat ayahnya maupun semua tokoh yang pernah dijumpainya. Makin keras debar jantung Song Goat ketika ia mengangkat muka. Mereka bertemu pandang. Pandang mata pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra. Bagaikan sinar matahari, hangat-hangat menembus jantung gadis itu.
"Kiang-kongcu, kalau engkau mau berterima kasih, harus kepada Ayah, karena sedikit kepandaian pengobatan ini kudapat dari Ayah.."
(Lanjut ke Jilid 25)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
"Ah, benar. Betapa kurang hormat aku kepada Song-locianpwe. Di manakah adanya ayahmu, Nona? Bawalah aku kepadanya agar aku dapat menghaturkan terima kasihku."
Tiba-tiba Song Goat yang duduk bersandar pohon itu membungkukkan punggung, menyembunyikan muka di kedua tangan dan menangis tersedu-sedu.
Sikap pemuda ini yang amat halus dan mengenal budi, pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya, menyeretnya kembali kepada peristiwa yang amat menyakitkan hatinya, bergema kembali ditelinganya suara Yu Siang Ki tunangannya yang secara berterang menyatakan pembelaan dan cinta kasihnya kepada Kwi Lan. Rasa sakit hati yang ditahan-tahan, ditekan-tekan dan dibendungnya selama ini sekarang pecah oleh pertanyaan dan sikap Kiang Liong, pecah dan membanjir sebagai tangis yang membuat air matanya berderai melalui celah-celah jari tangannya yang menutupi muka. Sebuah lengan yang kuat melingkar punggungnya dengan halus penuh hiburan. Bisikan suara yang halus terdengar dekat telinganya.
"Kouwnio, mengapa berduka? Mengapa menangis? Hanya manusia kejam berhati iblis saja yang tega membuatmu berduka. Ceritakanlah kepadaku, Nona, dewi penolongku, dan aku sudah siap dengan jiwa ragaku untuk membantumu."
Sentuhan jari tangan yang halus menghibur, bisikan yang mengandung ucapan manis ini seakan-akan menjebolkan bendungan terakhir sehingga membanjirlah air mata dari sepasang mata yang sayu itu. Terisak-isak Song Goat menangis dan tanpa ia sadari lagi kini menyandarkan kepala di dada Kiang Liong, dan baju pemuda itu sampai basah semua oleh air matanya. Kiang Liong yang banyak mengenal watak wanita, tidak mengganggunya dan membiarkan gadis itu menangis tersedu-sedu. Tangis adalah obat terbaik untuk menguras semua duka dan dendam yang meracuni hati.
Dengan penuh kasih sayang ia mengelus-elus rambut yang halus itu, bahkan perlahan-lahan ia menundukkan muka dan mencium ubun-ubun kepala dengan rambut halus dan harum itu sambil memejamkan matanya. Gadis yang luar biasa dan pantas dicinta sepenuh hati, pikirnya akan tetapi ia berlaku hati-hati agar gadis itu tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang pemuda romantis, mudah terjaring cinta, namun ia bukan seorang kasar. Akhirnya reda juga banjir kedukaan yang menggelora di hati Song Goat. Seperti seorang terbangun dari mimpi, gadis itu baru sadar bahwa ia merebahkan diri di atas dada yang bidang itu, baru sadar bahwa ia berada di dalam pelukan Kiang Liong bahkan membatas pelukannya, dan baru tampak olehnya betapa baju yang menutupi dada pemuda itu sudah basah semua oleh air matanya.
"Aiiihhh.."
Ia merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan, lalu duduk menjatuhkan diri.
"Aiiihhh.."
"Kenapa, Nona?"
Kiang Liong bertanya, tersenyum ramah. Dua pasang mata bertemu pandang, kasih sayang dan kemesraan dalam pandang mata Kiang Liong itu mendatangkan rasa jengah yang mendalam sehingga akhirnya Song Goat menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
"Ahh, Kiang-kongcu, maafkan.. maafkan aku.. yang lupa diri.."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuat kau begini berduka dan sakit hati?"
Song Goat merenungi tanah di depan kakinya menarik napas panjang kemudian hanya menggeleng kepala tanpa jawaban. Kiang Liong meraih maju dan memegang tangan yang dingin dan halus itu. Dikepalnya jari-jari tangan Song Goat dan diguncangnya sambil berkata.
"Nona Song, aku berterima kasih kepadamu, aku kagum dan suka kepadamu. Apakah kau masih tidak percaya padaku?"
Song Goat mengangkat mukanya yang berlinang air mata dan kembali dua pasang mata bertemu pandang.
Melihat betapa wajah yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan kemesraan memandangnya. Song Goat berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari jari-jari tangannya bergerak dan membalas tekanan Kiang Liong. Alangkah mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti ini. Alangkah mudahnya menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau saja.. kalau saja.. Song Goat cepat mengusir perasaan ini dan rasa malu membuat leher dan mukanya menjadi merah dan panas, kemudian ia menarik tangannya perlahan-lahan. Kiang Liong melepaskan tangan itu, tidak mau memaksanya sungguhpun ia tahu betapa tangan kecil itu tadi membalas remasannya sebagai jawaban suara hati.
"Nona Song, siapa yang menyakitkan hatimu? Dan di mana adanya ayahmu, Song-locianpwe?"
Dengan muka tunduk Song Goat menjawab lirih.
"Aku.. meninggalkan Ayahku.."
"Kenapa? Di mana dia?"
Kembali Song Goat menghela napas dan kini ia mengangkat muka. Mereka berpandangan dan Song Goat berkata.
"Kiang-kongcu, urusan ini sebenarnya merupakan rahasia pribadi, akan tetapi.. biarlah kau menjadi satu-satunya orang yang akan mendengarnya. Aku percaya kepadamu.. dan biarlah kau seorang yang menjadi penumpahan rasa duka hatiku, karena kalau hal ini tidak kutumpahkan, tentu akan meracuni hatiku, Kiang-kongcu, aku.. aku telah dihina dan dikhianati.. tunanganku sendiri."
Kiang Liong mengerutkan alisnya yang hitam tebal.
"Hemm? Apakah dia seorang yang buta? Kalau tidak buta matanya, tentu buta hatinya sehingga ia tega berbuat keji terhadapmu. Siapa dia, Nona?"
Dengan suara lirih Song Goat lalu menceritakan betapa sejak kecil ia telah dijodohkan oleh ayah dan sahabat ayahnya, dijodohkan dengan putera sahabat ayahnya itu. Belasan tahun ia ikut merantau, mencari tunangannya, kemudian menceritakan betapa ia dan ayahnya berhasil menolong tunangannya, kemudian betapa tunangannya itu di depannya menyatakan cinta kasihnya kepada seorang gadis lain sehingga ia menjadi malu dan kecewa lalu melarikan diri. Kiang Liong mendengarkan dengan sabar dan tidak pernah mengganggunya, akan tetapi setelah selesai cerita gadis itu, ia bertanya, suaranya mengandung ketegangan.
"Nona Song, kau bilang nama tunanganmu itu Yu Siang Ki, Pangcu dari Khong-sim Kai-pang? Apakah dia seorang pengemis muda yang bertopi lebar terhias bunga, dan memegang tongkat. Wajahnya tampan tubuhnya tinggi?"
Song Goat mengangguk.
"Apakah Kongcu sudah mengenal dia?"
"Hemm, kenal baik sih tidak, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik, mengapa tega melakukan kekejian kepadamu? Dan siapakah wanita yang dicintanya?"
"Seorang gadis yang hebat, julukannya Mutiara Hitam, namanya Kam Kwi Lan.."
"Ahhhh.."
Dia..?"
Terbayang di depan mata Kiang Liong seorang gadis yang cantik jelita, lincah dan ganas, dan ia kini tidak merasa heran bahwa tunangan gadis ini telah jatuh cinta kepada Mutiara Hitam. Memang gadis itu terlalu hebat untuk dijadikan sahabat biasa. Pemuda jenaka bernama Tang Hauw Lam yang ia jumpai bersama Mutiara Hitam dahulu itu pun sudah tergila-gila kepada Mutiara Hitam.
"Eh, kau sudah mengenal pula Adik Kwi Lan, Kongcu?"
"Hemm, kenal sih tidak, dia gadis aneh dan binal. Akan tetapi pernah aku bertemu dengannya. Memang dia cantik dan lihai, akan tetapi tunanganmu itu sungguh tak tahu diri, tidak mengenal budi dan tidak bijaksana kalau dia melukai hatimu dengan pernyataan cintanya kepada wanita lain di depanmu."
Song Goat menarik napas panjang.
"Tak dapat kupersalahkan dia, Kongcu. Dia menyatakan cinta kasih kepada Adik Kwi Lan tanpa ia ketahui bahwa ia telah ditunangkan dengan aku. Dan dia menyatakan cinta kasih itu dalam keadaan terdesak untuk menolong keselamatan Adik Kwi Lan."
Cinta Bernoda Darah Eps 18 Cinta Bernoda Darah Eps 32 Cinta Bernoda Darah Eps 33