Istana Pulau Es 38
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 38
Han Ki menarik napas panjang.
"Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?"
"Suma Hoat seorang yang baik dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!"
"Hemmm, betapa tepat wejangan Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang diri belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan keluargamu, andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan puteranya, tentu dia takkan kauanggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kauanggap sebagai dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas dendam!"
"Bukankah itu sudah seharusnya demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?"
Han Ki menggeleng kepalanya.
"Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan, perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?"
Mendengar pendapat yang baru sama sekali ini, yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan juga terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah.
"Akan tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi adalah orang yang rendah dan tidak baik!"
Kembali Han Ki menggeleng kepalanya, memandang sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya bersungguh-sungguh.
"Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi."
"Mengapa tidak tepat? Orang harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha untuk membalas budi itu!"
"Cobalah renungkan dalam-dalam dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan dibalas orang lain pula!"
"Apa salahnya dengan itu? Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!"
"Kalau sudah dijadikan keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi. Bukan begitu?"
Siauw Bwee tercengang, kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan.
"Wahh, kebenaran pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal, sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum."
"Bukan pendapatku, Sumoi. Setiap pendapat dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat hanya memancing pertentangan. Kalau yang kaudengar tadi kausebut sebagai pendapaku dan kauanggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya tidak benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan mata rantai yang tiada kunjung putus itu?"
"Akan tetapi, Suheng! Manusia jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?"
"Membalas dendam dengan cara bagaimana, Sumoi?"
"Tentu saja dengan membunuh manusia laknat itu!"
"Hemmm, Sumoi. Engkau bilang bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang kauanggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biarpun engkau menganggapnya sebagai akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas kematian ayahnya?"
"Aku tidak takut!"
"Bukan soal takut atau tidak takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke dalam mata rantai dendam-mendendam."
Siauw Bwee menundukkan mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan suhengnya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya, memang akibat perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi, Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam membela gurunya.
"Aku tidak dapat menyangkal kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kaulakukan asal saja engkau...."
Melihat keraguan sumoinya, Han Ki bertanya,
"Asal saja aku mengapa, Sumoi?"
"Asal engkau tidak melupakan.... cinta kasih di antara kita...."
Han Ki tersenyum, akan tetapi hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng terhadap sumoinya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan hatinya daripada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoinya ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
"Mana mungkin manusia melupakan cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta berahi belaka yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak pulang Maya-sumoi."
Mereka telah tiba di tepi Pulau Es. Siauw Bwee meloncat ke darat, memandang suhengnya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan,
"Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau.... tentu akan kembali secepatnya ke sini, bukan?"
"Dia tentu dan harus mau!"
Jawab Han Ki sambil mendayung perahunya ke tengah laut dengan cepat menuju ke barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan kegelisahan. Dia maklum akan perasaan hati suhengnya. Dia tahu bahwa suhengnya mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suhengnya tidak mungkin dapat berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa sucinya itu pun mencinta Han Ki. Betapapun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu! Suhengnya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.
"Heeii, berhenti dulu! Kalian mau apa menerobos masuk tanpa permisi?"
Para pengawal penjaga gedung Panglima Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
"Minggir kalian dan biarkan kami masuk!"
Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang pedangnya.
"Apa? Kalian pun hanya pasukan pengawal, sama dengan kami. Biarpun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari Suma-tai-ciangkun!"
"Wuuuuttt.... ciattt!"
Komandan pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya dan tampaklah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul di situ. Ketika para pengawal melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang telah mengurung gedung itu. Biarpun para pengawal telah menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada di antara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan muka pucat, melaporkan kepada Suma Kiat.
"Celaka.... Koksu dengan pasukan besar datang menyerbu....!"
Pada sore hari itu, Suma Kiat yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari Itu. Tamu ini bukan lain adalah Coa Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen.
Akan tetapi, sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya dengan hati berat setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya! Beberapa hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara tidak terduga-duga dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa isterinya berjina dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah darah ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap dia langsung mencabut senjata dan membunuh mereka!
Karena tidak dapat menahan kemarahan, kedukaan dan kekecewaan hatinya setelah dia membunuh isteri tercinta dan putera tunggalnya, Coa Sin Cu lalu pergi ke kota Siang-tan menjumpai rekannya, Suma Kiat dan mencurahkan semua isi hatinya yang penuh kedukaan. Suma Kiat diam-diam tersenyum di dalam hatinya mendengar penuturan sahabatnya yang bernasib malang itu. Hatinya sendiri merasa terhibur karena bukanlah dia pun menderita kecewa dan duka karena putera tunggalnya? Hampir sama persoalannya. Dia pun melihat puteranya, Suma Hoat, bermain gila dengan selirnya terkasih! Akan tetapi dia tidak membunuh putera dan selirnya, dia terlalu mencinta selirnya, dan terlalu sayang kepada puteranya dan dia merasa beruntung sekarang bahwa dia tidak terlanjur membunuh mereka karena kalau hal itu dia lakukan dahulu, agaknya dia pun akan merana dan berduka seperti halnya Coa Sin Cu sekarang ini!
"Aahhh, Coa-bengcu. Seorang laki-laki dapat menanggung segala macam derita hidup! Semua telah berlalu, perlu apa dipikirkan lagi? Pula, kita menghadapi urusan yahg lebih besar dan yang akan dapat merubahkan seluruh jalan hidupmu. Kalau pemerintah Yucen berhasil, tentu jasa kita takkan dilupakan. Setelah kelak engkau memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya bagimu untuk hidup terhormat, mulia dan mewah, mengambil banyak wanita muda yang cantik dan.... ha-ha, memperoleh putera-putera lagi?"
Pada saat itulah, pengawal yang berhasil lari masuk itu tiba di dalam ruangan dengan muka pucat dan napas memburu. Suma Kiat memandang dengan marah, akan tetapi sebelum dia sempat menegur, pengawal itu telah melaporkan akan menyerbuan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Bu-koksu! Mendengar itu, Suma Kiat meloncat dari kursinya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Dengan geram dia berkata kepada para penjaga,
"Kumpulkan pasukan dan siap menghadapi pasukan Koksu!"
Kemudian dia sendiri setelah menyambar senjatanya, diikuti oleh selir dan muridnya, mereka melangkah keluar meninggalkan Coa Sin Cu yang masih duduk dengan muka pucat mendengar berita buruk itu. Dia tidak berani keluar karena takut kalau-kalau mengacaukan tuan rumah, maka dia hanya menyelinap dan bersembunyi di balik pintu sambil mengintai dan mendengarkan. Setelah tiba di ruangan depan dan melihat Bu-koksu bersama pasukannya, Suma Kiat mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap angkuh dan berkata suaranya dingin dan penuh teguran,
"Sungguh amat mengherankan sekali sikap Koksu yang datang berkunjung seperti ini, tanpa pemberitahuan dan secara memaksa. Apa kehendak Koksu?"
Biarpun dalam kedudukannya, dia kalah tinggi dan kalah berkuasa kalau dibandingkan dengan kedudukan Koksu, namun di antara para panglima tinggi, nama Suma Kiat telah amat dikenalnya sebagai seorang yang dekat dengan raja dan memiliki pengaruh dan kekuasaan tinggi. Sudah turun menurun keluarga Suma menduduki tempat penting dan pemerintahan. Oleh karena inilah maka Suma Kiat berani bersikap angkuh terhadap Bu-koksu. Akan tetapi Bu-koksu tersenyum mengejek dan berkata dengan suara penuh nada menyindir,
"Sikapku ini sama sekali tidak mengherankan kalau dibandingkan dengan perbuatanmu, Suma Kiat. Sebagai seorang panglima tinggi yang telah banyak menerima anugerah dari kerajaan, engkau telah berani berkhianat, menyiapkan pemberontakan dan bersekutu dengan musuh!"
Bukan main kagetnya hati Suma Kiat mendengar ini. Dia memandang tajam dan menyangkal dengan suara keras karena dia mengira bahwa tentu Koksu hanya menuduhnya tanpa alasan atau hanya kira-kira saja,
"Bu-koksu! Harap engkau jangan mengeluarkan tuduhan dan fitnahan membabi-buta! Semenjak dahulu, keluarga Suma adalah keluarga panglima yang selalu setia kepada raja!"
"Ha-ha-ha, mungkin dahulu demikian. Biarpun nama keluarga Suma tidaklah terlalu harum, akan tetapi belum pernah memberontak terhadap Raja. Akan tetapi, sekarang agaknya engkau akan menjadi juara dalam mengotorkan nama keluarga Suma! Engkau bersekutu dengan Kerajaan Yucen, menjadi kaki tangan Pek-mau Seng-jin, Koksu pemerintah Yucen!"
"Bohong! Fitnah palsu! Apa buktinya?"
Suma Kiat masih membantah dan menyangkal keras.
"Buktinya? Ha-ha-ha, masih mau bukti lagi setelah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, dua orang kaki tangan Coa-bengcu yang menyelundup menjadi pengawalku itu mengaku sebelum mereka mampus di tanganku? Masih minta bukti setelah aku melihat sendiri anakmu, Suma Hoat membantu Pek-mau Seng-jin? Suma Kiat, pemberontak dan pengkhianat, menyerahlah dengan seluruh keluargamu untuk kami tangkap dan bawa ke pengadilan di kota raja!"
Tentu saja Suma Kiat terkejut sekali mendengar betapa dua orang tokoh pembantu Coa-bengcu itu telah dibunuh setelah disiksa untuk mengaku, akan tetapi dia telah kaget lagi mendengar bahwa Koksu telah melihat puteranya membantu Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen! Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali melawan dan berusaha membebaskan diri dari keadaan berbahaya ini.
"Anjing penjilat, kaukira aku takut padamu?"
Suma Kiat sudah mencabut pedangnya dan menerjang Koksu dengan kecepatan luar biasa. Koksu ini telah tahu akan kelihaian Suma Kiat, maka dia pun cepat menangkis dengan golok besarnya.
Terdengar suara berkerincing nyaring ketika Koksu ini mainkan goloknya. Golok itu lebar dan panjang, punggung golok dihias gelang-gelang yang mengeluarkan bunyi nyaring berdering dan berkerincing. Dengan tenaganya yang besar, tentu saja golok itu merupakan senjata berat yang amat berbahaya. Namun, Suma Kiat adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Ilmu pedangnya Toa-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Badai) amat cepat dan kuatnya, masih dibantu tangan kirinya yang digerak-gerakkan dengan pukulan Hui-tok-ciang (Tangan Racun Api) yang mujijat dan ampuh sekali. Karena itu, Bu Kok Tai, koksu kerajaan yang berilmu tinggi itu memperoleh lawan yang seimbang ketika berhadapan dengan Suma Kiat.
Setelah memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang masih setia kepada Suma Kiat sehingga para pasukan pengawal itu menerjang maju disambut pasukan pengawal Koksu, Siangkoan Lee, Bu Ci Goat juga sudah mencabut senjata masing-masing dan mengamuk melawan para panglima yang dipimpin oleh Ang Hok Cu, siucai lihai yang menjadi murid Bu-koksu. Perang kecil yang mati-matian terjadi di ruangan depan dan halaman gedung itu, akan tetapi, jumlah pengawal yang masih setia kepada Suma Kiat jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah pengawal Bu-koksu, apalagi karena sejumlah pengawal Suma Kiat suaah menaluk ketika melihat gelagat buruk. Bahkan kini mereka membalik dan membantu para pengawal Bu-koksu, menyerang bekas kawan-kawan sendiri dalam usaha mereka mencari keselamatan agar dosa mereka kelak diampuni!
Tentu saja hal ini amat mengurangi semangat perlawanan pihak pasukan Suma Kiat dan sebentar saja mereka berjatuhan dan menjadi korban senjata di tangan pasukan Bu-koksu. Suma Kiat yang bertanding melawan Bu-koksu, menjadi marah sekali. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian sehingga Bu-koksu sendiri terdesak mundur. Namun, beberapa orang panglima dan pasukan segera membantunya mengeroyok sehingga kembali Suma Kiat terdesak hebat dan terancam keselamatannya. Pada saat itu, Coa Sin Cu yang tadinya bersembunyi, merasa bahwa tidak baik baginya kalau terus bersembunyi karena akhirnya dia akan ketahuan. Maka dengan nekat dia mencabut senjatanya dan menerjang keluar membantu Suma Kiat. Melihat munculnya orang ini, Bu-koksu berseru marah dan juga girang.
Sudah lama sekali dia menyuruh orang-orangnya untuk berusaha membasmi gerombolan Coa Sin Cu yang memberontak dan sudah lama dia mendengar bahwa orang ini menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen. Apalagi setelah dua orang pengawalnya, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin, di bawah siksaan berat, mengaku bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Coa Sin Cu, kebencian Koksu terhadap Coa Sin Cu makin menghebat. Kini, sungguh tidak disangkanya bahwa pemberontak itu berada di dalam gedung Suma Kiat. Dengan suara menggereng hebat, Koksu ini meninggalkan Suma Kiat yang dikeroyok oleh Ang Hok Ci dan para panglimanya, tubuhnya yang tinggi besar melayang ke depan dan goloknya yang berat mengeluarkan bunyi berkerincing menerjang kepada Coa Sin Cu. Coa Sin Cu terkejut dan cepat menangkis.
"Trangggg.... trakkkk!"
Golok di tangan Coa Sin Cu patah-patah dan golok besar Bu-koksu terus meluncur membabat leher. Terdengar suara mengerikan dan kepala Coa Sin Cu menggelinding dari tubuhnya. Lehernya putus terbabat golok!
"Keparat....!"
Suma Kiat marah sekali, membentak lalu melengking panjang, pedangnya menyambar ganas dan dahsyat ke depan. Ang Hok Ci yang langsung menghadapinya menggantikan suhunya, berusaha mengelak dan menangkis, dibantu tiga orang panglima lainnya. Akan tetapi mereka menjerit keras dan roboh dengan perut robek oleh sambaran sinar pedang yang dahsyat itu. Ang Hok Ci berkelojotan dan tewas bersama tiga orang panglima yang membantunya.
Sementara itu, Bu Ci Sian dan Siangkoan Lee juga mengamuk, merobohkan banyak pengawal Bu-koksu, akan tetapi mereka berdua juga menderita luka-luka kecil akibat pengeroyokan yang amat ketat itu. Sedangkan Suma Kiat kembali telah berhadapan dengan Bu-koksu dan belasan orang panglima yang mengurungnya dengan hati-hati karena kepandaian Suma Kiat benar-benar amat hebat.
"Suhu.... lebih baik kita pergi....!"
Siangkoan Lee berseru.
"Subo sudah terluka....!"
Tadinya Suma Kiat hendak mengamuk terus, akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa paha kiri Bu Ci Goat berdarah, celananya robek sehingga tampak kulit paha putih halus yang terluka, hatinya menjadi tidak tega terhadap selirnya yang tercinta itu. Dia kembali mengeluarkan suara melengking nyaring, sinar pedangnya menerjang ke depan, mernbuat Bu-koksu dan para pembantunya cepat-cepat muncur dan memutar senjata melindungi tubuh. Saat itu dipergunakan oleh Suma Kiat untuk menyambar lengan selirnya, kemudian memutar pedangnya dan membawa selirnya yang terluka pahanya itu meloncat naik ke atas genteng, diikuti oleh Siangkoan Lee. Karena yang dapat mengimbangi kepandaian Suma Kiat hanya dia seorang diri, Bu-koksu tidak berani mengejar sendirian, hanya memerintahkan anak buahnya menyerang dengan anak panah.
Puluhan batang anak panah meluncur ke arah tubuh tiga orang yang melarikan diri itu, namun kesemuanya dapat diruntuhkan oleh senjata di tangan Siangkoan Lee dan Suma Kiat. Tak lama kemudian bayangan mereka menghilang di dalam kegelapan malam yang telah tiba. Kasihanlah para penghuni rumah gedung Suma Kiat itu, yaitu para pengawal yang tadi melawan dan para pelayan. Mereka dibunuh semua, pelayan-pelayan wanita yang tua dibunuh, yang muda dan cantik diperkosa sampai mati. Kemudian, seisi rumah dirampok habis-habisan. Melihat betapa anak buahnya berpesta pora, memperkosa dengan keji, merampok dan membunuh, Bu-koksu mendiamkannya saja. Dia sedang berduka sekali melihat muridnya tewas, dan kecewa melihat Suma Kiat berhasil lolos.
Saking gemasnya dia bahkan memerintahkan membakar rumah gedung itu, kemudian mengirim Pangeran Ciu Hok Ong yang sudah ditangkapnya ke kota raja untuk diadili dan minta kepada Raja agar mengirim pasukan melakukan pengejaran untuk menangkap Suma Kiat. Pangeran Ciu Hok Ong ditangkap tanpa melakukan perlawanan setelah rahasia persekutuannya dengan Koksu Yucen dibocorkan oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin. Suma Kiat, dengan bantuan muridnya yang setia, berhasil mendapatkan tiga ekor kuda dan dengan cepat dia, selirnya, dan muridnya meninggalkan kota Siang-tan, melarikan diri ke barat. Dapat dibayangkan betapa sengsara keadaan Bu Ci Goat yang terluka pahanya itu, diharuskan melarikan diri siang malam tak pernah berhenti.
Suma Kiat maklum bahwa kini dia telah menjadi buronan kerajaan, dan tidak mungkin baginya muncul di dunia ramai karena tentu dia akan ditangkap sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak. Satu-satunya jalan terbaik hanya pergi menyeberang ke daerah Kerajaan Yucen. Akan tetapi, dia merasa enggan untuk menghambakan diri kepada bangsa Yucen. Bukan demikianlah cita-citanya. Dia adalah seorang dari keluarga Suma yang terkenal angkuh dan tinggi hati. Kalau dia suka bekerja sama dengan Koksu Yucen adalah karena dia ingin mempergunakan kekuatan Yucen untuk menggulingkan kedudukan Kaisar, membantu Pangeran Ciu Hok Ong menjadi kaisar dan dia sendiri memperoleh kedudukan lebih tinggi, sedikitnya tentu menjadi seorang menteri. Kalau sekarang usaha itu gagal, dia tidak sudi merendahkan diri menjadi kaki tangan bangsa Yucen.
"Suhu, apakah tidak lebih aman bagi Suhu dan lebih baik bagi Subo yang sedang terluka kalau kita menyeberang saja dan minta bantuan Pek-mau Seng-jin di Yucen?"
Siangkoan Lee mengajukan usulnya di tengah perjalanan melarnkan diri itu. Sepasang alis yang sudah bercampur putih itu berkerut dan suara Suma Kiat terdengar marah ketika menjawab,
"Siangkoan Lee, ingat baik-baik pesanku. Aku adalah seorang pahlawan yang berjuang untuk rakyat dan negara. Kalau Kaisar lalim, sudah sewajarnya kita memberontak untuk memilih kaisar baru yang lebih baik. Untuk keperluan itu pun tiada salahnya kita mengharapkan bantuan bangsa asing. Akan tetapi itu hanya siasat, bukan berarti kita menghambakan diri kepada bangsa asing! Lebih baik mati daripada menjual negara kepada bangsa asing. Ingat baik-baik pendirianku ini karena engkaulah yang harus melanjutkan cita-citaku. Engkau bukan hanya muridku, bukan hanya pembantuku, melainkan kuanggap sebagai pengganti puteraku sendiri yang akan kuwarisi seluruh ilmu kepandaianku."
Siangkoan Lee terkejut dan juga girang sekali.
"Terima kasih, Suhu...."
Katanya terharu.
(Lanjut ke Jilid 37)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 37
"Teecu bersumpah akan menaati dan melanjutkan cita-cita Suhu sampai mati!"
Dua hari kemudian, rombongan tiga orang ini terkejut ketika mendengar teriakan dari belakang dan derap kaki sekor kuda yang dibalapkan mengejar mereka. Tadinya mereka hendak mempercepat larinya kuda, akan tetapi ketika mendapat kenyataan bahwa pengejarnya hanya satu orang saja, Suma Kiat menahan kudanya dan membalikkan kuda menanti datangnya seorang pengejar itu.
"Ayah....!"
Kiranya pengejar itu bukan lain adalah Suma Hoat! Pemuda ini, dengan muka dan baju basah oleh peluh karena melakukan pengejaran dengan cepat, kini memandang ayahnya, ibu tiri, dan murid ayahnya. Mereka bertiga yang duduk dia atas kuda memandang pemuda itu dengan wajah dingin dan sinar mata mengandung penuh penasaran.
"Ayah...., aku.... aku.... aku mendengar akan penyerbuan Bu-koksu.... aku cepat ke Siang-tan, terlambat.... lalu mengejar Ayah...."
"Tutup mulutmu dan jangan sekali-kali menyebut ayah kepadaku, manusia keparat!"
Suma Kiat membentak penuh kemarahan. Suma Hoat terbelalak kaget, wajahnya pucat.
"Ayah.... mengapa....?"
"Cukup! Sekali lagi menyebut ayah, kubunuh engkau! Manusia laknat, anak durhaka, karena engkaulah kami menjadi begini! Karena Koksu melihatmu bersama Pek-mau Seng-jin maka rahasiaku terbongkar. Agaknya engkau dilahirkan hanya untuk mencelakakan orang tua saja. Mulai saat ini, engkau bukan puteraku lagi dan terkutuklah engkau, akan sengsaralah engkau selama hidupmu!"
"Ayaaahhh....!"
Suma Hoat bergidik ngeri mendengar kutukan ayahnya.
"Cet-cet-cet!"
Tiga sinar menyambar ke arah Suma Hoat. Pemuda ini kaget dan maklum bahwa dia telah diserang dengan senjata rahasia oleh ibu tirinya. Tiada waktu lagi untuk menangkis, maka dia cepat melempar tubuhnya dari atas kuda, berjungkir balik dan berhasil menghindarkan diri dari sambaran tiga sinar yang berupa jarum-jarum beracun itu.
Akan tetapi kudanya meringkik keras lalu roboh berkelojotan, dada dan perutnya menjadi sasaran jarum-jarum beracun. Suma Kiat melarikan kudanya diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee. Suma Hoat hanya dapat memandang dengan hati penuh duka. Dua kali dia bentrok dengan ayahnya. Yang pertama kali dia diusir, kini, setelah dia mengorbankan perasaannya membantu ayahnya mengadakan persekutuan dengan pemerintah Yucen, hal yang sama sekali tidak disukainya dan yang hanya ia lakukan demi menyenangkan hati ayahnya, kembali ayahnya marah dan bahkan mengutuknya! Sejenak pemuda itu hanya berdiri mengikuti bayangan tiga ekor kuda itu dengan wajah pucat, kemudian ia menarik napas panjang, mengeluh di dalam hatinya dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Hancurlah dunianya, habis semua pengharapannya.
Hatinya sudah remuk oleh kegagalan cintanya. Hanya ada tiga orang wanita di dunia ini yang pernah dicintanya, yaitu Ciok Kim Hwa, kemudian Khu Siauw Bwee dan Maya! Namun ketiganya gagal, Ciok Kim Hwa yang membalas cintanya tewas. Siauw Bwee dan Maya yang telah menjatuhkan hatinya itu, tidak dapat membalas cintanya karena mereka telah memiliki pilihan hati masing-masing. Kini, ayah kandungnya, satu-satunya orang yang akan dapat didekatinya, bahkan mengutuknya dan tidak mengakuinya sebagai anak lagi. Apalagi artinya hidup ini baginya? Siapakah yang harus disalahkannya? Koksu Bu Kok Tai? Tidak mungkin. Diam-diam dia merasa kagum kepada Bu-koksu dan merasa iri hati melihat kesetiaan dan kegagahan Bu-koksu. Mengapa ayahnya tidak dapat bersikap seperti Bu-koksu, seorang pendekar dan pahlawan sejati?
Orang-orang gagah seperti Bu-koksu adalah orang-orang segolongan dengan mendiang Menteri Kam Liong, yang terkenal karena kesaktian dan kesetiaannya terhadap nusa bangsa. Tidak seperti ayahnya! Mengapa dia mau saja membantu ayahnya yang bersekutu dengan pihak Yucen? Andaikata dia tidak hendak berbaik kembali dengan ayahnya, tidak hendak menyenangkan hati orang tua itu, tentu saja dia tidak akan sudi membantu persekutuan kotor itu. Suma Hoat menghela napas panjang dan meninggalkan tempat itu dengan wajah pucat, pandang mata sayu dan tubuh lesu. Habis harapannya untuk mendekati ayahnya lagi. Orang tua itu sudah terlampau marah dan dengan ibu tirinya dan Siangkoan Lee di dekat orang tuanya, tidak ada harapan baginya untuk meredakan kemarahan ayahnya.
Ibu tirinya dan Siangkoan Lee amat benci kepadanya, dan mereka tentu akan membakar terus hati ayahnya. Suma Hoat sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa keadaan hidup ayahnya sendiri amatlah sengsara semenjak terjadinya peristiwa itu. Suma Kiat yang semenjak dahulu hidup mewah dan mulia, kini kehilangan segala-galanya dan menjadi berduka sekali. Dia sudah tua dan pukulan-pukulan batin itu membuat tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan. Mereka bertiga melarikan diri dan bersembunyi di pegunungan Tai-hang-san. Suma Kiat lalu mencari tempat yang cocok dan membangun sebuah tempat peristirahatan di Puncak In-kok-san (Lembah Mega), sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Tai-hang-san.
Siangkoan Lee yang pandai mengambil hati gurunya, berusaha menyenangkan hati suhunya itu dengan membangun sebuah bangunan mewah, bahkan menyediakan pelayan-pelayan laki-laki dan wanita muda untuk suhunya. Memang Suma Kiat berterima kasih sekali dan kakek ini mewariskan semua ilmu silatnya kepada Siangkoan Lee, namun tetap saja hati Suma Kiat selalu dihimpit kekecewaan dan kedukaan, terutama sekali kalau teringat akan cita-citanya yang hancur dan putera tunggalnya yang durhaka. Semua kedukaan ini ditambah lagi oleh solah-tingkah Bu Ci Goat. Setelah berada di pegunungan itu, melihat betapa tubuh Suma Kiat yang makin tua makin lemah, tidak mampu lagi melayani nafsu-nafsunya, wanita ini menjadi binal kembali. Semua ini merupakan tekanan dan siksaan batin yang hebat, membuat tubuhnya tidak kuat menahan dan akhirnya kakek itu jatuh sakit.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Maya bersama anak buahnya telah berhasil menyelidiki keadaan musuh di Siang-tan. Biarpun dia kehilangan pembantu-pembantu yang diandalkan, yang tewas dalam menyedihkan itu, namun dia kini tahu akan kekuatan musuh sehingga tidak terburu-buru melakukan penyerbuan ke Siang-tan. Setelah mendapat kenyataan bahwa Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa berhasil lolos pula dan kembali ke Sian-yang, Maya menjadi makin girang. Tentu saja Yan Hwa tidak menceritakan bagaimana dia dan suhengnya dapat lolos! Tidak mau menceritakan betapa untuk kebebasan dia dan suhengnya, dia harus "menebusnya"
Dengan penyerahan diri kepada Suma Hoat, Si Dewa Cabul! Tebusan yang bukan tidak menyenangkan hatinya!
Setelah mengadakan perundingan dengan para pembantunya dan Pangeran Bharigan, lalu diambil keputusan untuk minta bantuan Panglima Bu, panglima angkatan laut yang memberontak terhadap pemerintah, panglima yang dahulu menolong Maya. Sepasukan tentara istimewa diutus minta bala bantuan ini dan sementara menanti datangnya bala bantuan, Maya dibantu oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, melatih pasukan mereka yang menghadapi perang besar. Keadaan pasukan Mancu yang bermarkas di Sian-yang dan pasukan Sung yang bermarkas di Siang-tan itu hampir tiada bedanya. Kalau tentara Mancu menanti datangnya bala bantuan dari utara, adalah pihak Sung juga menanti datangnya bala bantuan dari selatan!
Akan tetapi, ternyata bantuan untuk Mancu datang lebih dahulu dan mendengar dari para penyelidiknya bahwa bantuan dari selatan yang diharap-harapkan Bu-koksu belum tiba, pula mendengar juga akan keributan di Siang-tan karena pengkhianatan dan ditawannya Pangeran Ciu Hok Ong dan diserbunya gedung Panglima Besar Suma Kiat, Maya segera mengerahkan pasukannya menyerang ke Siang-tan. Pasukannya kini menjadi besar dan kuat karena memperoleh bantuan. Tentu saja Koksu Bu Kok Tai terkejut bukan main ketika melihat keadaan bala tentara musuh yang amat besar itu. Mengertilah dia bahwa pihak Mancu telah memperoleh bala bantuan, maka timbul kekhawatirannya. Dia sendiri merasa heran mengapa bala bantuan yang ia harapkan dari selatan masih belum kunjung tiba.
Padahal sudah dia perhitungkan bahwa tentu bala bantuannya akan tiba lebih dulu. Terpaksa Bu-koksu lalu mengerahkan segala kekuatan pasukannya, sebagian menyambut musuh di luar tembok benteng, sebagian lagi menjaga benteng dan siap mempertahankan kota Siang-tan dengan mati-matian. Tiba-tiba datang seorang kurir menghadap Bu-koksu dan menceritakan dengan muka pucat bahwa pasukan bala bantuan dari selatan yang diharapkannya itu di tengah jalan telah dihadang dan diserbu pasukan besar Mancu dan kini menjadi hancur, sebagian besar tewas dan sebagian pula terpaksa melarikan diri kembali ke selatan karena jalannya terputus! Berita yang amat mengejutkan, juga mengherankan hati Bu-koksu. Mengapa mendadak terdapat begitu banyak tentara Mancu yang sempat bergerak di mana-mana?
Namun, dia tidak memusingkan lagi hal itu, melainkan mencurahkan perhatian untuk menghadapi penyerbuan musuh yang telah makin mendekati tembok benteng kota Siang-tan. Sebetulnya, apakah yang terjadi? Benarkah bala bantuan dari selatan itu dihancurkan oleh pasukan Mancu? Memang kelihatannya demikian, akan tetapi sesungguhnya bukan pasukan Mancu yang menghancurkan pasukan bala bantuan itu melainkan pasukan Yucen yang menyamar sebagai pasukan-pasukan Mancu! Inilah siasat yang dijalankan secara cerdik sekali oleh Pek-mau Seng-jin, koksu dari Yucen. Dalam siasatnya untuk melemahkan kedudukan Kerajaan Sung sehingga terancam oleh serbuan-serbuan pasukan Mancu, diam-diam Koksu Yucen mempersiapkan pasukan besar yang menyamar sebagai pasukan Mancu, kemudian menghadang pasukan bantuan itu dan menghancurkannya.
Dia sendiri diam-diam berkunjung ke kota raja Sung di selatan dan menawarkan bantuannya untuk menyelamatkan Siang-tan dan mengusir pasukan-pasukan Mancu dengan syarat agar Kerajaan Sung suka menyerahkan daerah yang luas di daerah utara Siang-tan kepada Kerajaan Yucen. Karena Siang-tan merupakan benteng yang amat penting bagi pertahanan kerajaan di selatan, dalam keadaan terjepit itu, Kaisar tidak dapat menolak dan menerima uluran tangan bantuan ini berikut syaratnya! Pek-mau Seng-jin girang sekali lalu mengerahkan pasukan-pasukannya yang kini telah meninggalkan pakaian penyamaran mereka sebagai pasukan Mancu dengan cepat melakukan perjalanan menuju Siang-tan yang sudah terancam dan terkepung oleh pasukan Mancu.
Bu-koksu memimpin sendiri pasukan yang menyambut penyerbuan pasukan Mancu di luar tembok benteng. Perang yang seru dan hebat terjadi di luar tembok benteng. Perang yang terjadi sampai belasan hari lamanya, berhenti di waktu malam untuk dilanjutkan pada keesokan harinya. Akan tetapi, akhirnya Bu-koksu harus mengakui keunggulan musuh yang mempunyai jumlah pasukan jauh lebih besar. Terpaksa Bu-koksu menarik sisa pasukannya memasuki benteng, menutup pintu-pintu gerbang benteng dan memperkuat penjagaan. Maya memimpin pasukan-pasukannya, diam-diam merasa kagum akan kepandaian Bu-koksu mengatur pasukan sehingga pasukan yang lebih kecil itu mampu bertahan sampai belasan hari. Kini Maya menyusun pasukan-pasukannya, mengurung kota Siang-tan dan mulailah penyerbuan-penyerbuan untuk membobolkan benteng kota.
Namun ternyata bahwa benteng itu kuat sekali, terbuat dari tembok yang tebal dan terjaga ketat dengan barisan-barisan anak panah yang melepaskan anak panah dari tempat terlindung sehingga setiap penyerbuan pasukan Mancu selalu dapat digagalkan dan benteng masih dapat dipertahankan. Kembali belasan hari lewat dan benteng kota Siang-tan masih juga belum dapat direbut oleh pasukan Mancu. Akan tetapi, pihak pasukan yang dipimpin Bu-koksu sudah gelisah sekali. Kota telah dikurung, hubungan luar kota sudah terputus sama sekali dan mereka tidak hanya terancam oleh penyerbuan-penyerbuan lawan, akan tetapi yang lebih mengkhawatirkan lagi, terancam oleh kelaparan karena gudang ransum yang setiap hari dikurung tanpa ada penambahan itu makin menipis isinya.
Keadaan yang mengancam ini membuat semangat perlawanan pasukan Bu-koksu menurun dan akhirnya, tanpa dapat dipertahankan lagi, ketika Maya mengerahkan pasukan intinya menyerbu, bobollah pintu terbesar dan membanjirlah pasukan Mancu menyerbu kota Siang-tan diiringi sorak-sorai yang memekakkan telinga. Kini perang hebat pecah di dalam kota. Suara senjata beradu diseling bentakan dan makian bercampur pekik kesakitan dan keluhan maut mengatasi tangis dan jerit para penduduk kota yang lari ke sana-sini kacau-balau mencari keselamatan keluarga masing-masing. Maya yang menunggang seekor kuda putih, mengamuk dengan pedangnya. Kudanya meringkik-ringkik, lari ke sana-sini, didahului sinar pedang di tangan panglima wanita itu, dan ke mana pun sinar pedangnya menyambar, tentu mengakibatkan robohnya seorang perwira musuh.
Menyaksikan sepak terjang panglima wanita yang hebat ini, Bu-koksu menjadi marah sekali. Dia mencambuk kudanya menghampiri, kemudian sambil membentak marah dia menyerang Maya dengan senjatanya yang juga telah merobohkan banyak anak buah pasukan Mancu. Maya menyambut serangan ini dengan pedangnya dan terjadilah pertandingan dahsyat antara kedua orang pimpinan kedua pasukan yang sedang berperang itu. Akan tetapi pertandingan di antara mereka kurang leluasa karena di situ penuh dengan tentara kedua pihak yang saling terjang, sehingga seringkali mereka terpaksa mundur dan terpisah kembali untuk melayani tentara musuh yang mengepung. Maya sendiri merasa penasaran bahwa sampai lama dia tidak dapat merobohkan Bu-koksu, maka dia lalu berseru menantang,
"Bu-koksu, kalau memang engkau gagah, mari kita bertanding di luar tembok sampai seorang di antara kita roboh binasa!"
"Anjing betina Mancu, siapa takut kepadamu?"
Bu-koksu membentak. Maya mengaburkan kudanya ke luar pintu gerbang yang sudah bobol, dikejar oleh Bu-koksu. Setibanya di lapangan yang luas di luar tembok, Maya berhenti dan begitu Bu-koksu yang mengejarnya tiba, dia langsung mengejar dengan ganasnya dan kembali dua orang perkasa ini bertanding dengan seru dan dahsyat.
Andaikata mereka bertanding ilmu silat biasa, tidak di atas kuda, agaknya betapapun lihainya, Bu-koksu bukanlah lawan Maya dan tak mungkin dia dapat bertahan sampai ratusan jurus. Akan tetapi, bertanding di atas punggung kuda lain lagi halnya. Gerakan ilmu silat tak banyak dipergunakan, yang diandalkan hanya kecepatan menggerakkan senjata dan keahlian menunggang kuda, dan tentu saja kecekatan kuda yang ditunggangi memang peranan penting. Biarpun sudah lama Maya menjadi panglima perang, namun pengalamannya dalam bertanding di atas kuda jauh kalah banyak oleh Bu-koksu dan biarpun gerakan tangannya yang memegang pedang lebih kuat dan cepat, namun kepandaiannya menunggang kuda juga kalah. Karena inilah, pertandingan berlangsung dahsyat dan seru.
Sukar bagi Maya untuk merobohkan lawan yang tangguh itu dan dia hanya mampu membuat lawan itu terluka di paha dan pundak kiri. Luka yang tidak terlalu parah biarpun cukup membuat pakaian perang Bu-koksu berlumuran darah. Betapapun juga, diam-diam Bu-koksu harus mengakui bahwa selamanya belum pernah dia bertemu tanding sehebat nona itu! Lengannya yang memegang golok besar terasa letih sekali karena setiap kali bertemu dengan pedang lawan, lengannya tergetar hebat, tanda bahwa lawannya, seorang nona yang masih amat muda itu memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa! Namun dia tidak mengenal takut, mengambil keputusan untuk berkelahi sampai titik darah terakhir membela negaranya.
"Bu-koksu, bersiaplah untuk mampus!"
Maya berseru keras, kudanya meloncat ke depan dan pedangnya menyambar dengan sinar berkilat.
"Tidak begitu mudah keparat!"
Bu-koksu membentak dan menangkis.
"Tranggg....!"
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk ke sekian ratus kalinya, pedang Maya bertemu dengan golok besar di tangan Bu-koksu. Bunga api berpijar dan kedua senjata itu melekat karena keduanya telah menyalurkan tenaga dan kini mereka mengadu tenaga melalui senjata mereka yang saling melekat itu.
"Tahan senjata....!"
Tiba-tiba tampak bayangan orang berkelebat dari atas tembok benteng dan ternyata orang itu adalah Suma Hoat!
Dengan gerakan seperti seekor burung raksasa terbang melayang turun dari tembok, Suma Hoat mendorongkan kedua tangannya ke arah dua tangan yang memegang senjata. Maya dan Bu-koksu terkejut, tidak tahu siapakah di antara mereka yang dibantu pemuda itu, maka keduanya lalu menarik senjata masing-masing, menahan kuda dan memandang Suma Hoat yang telah berdiri di antara mereka dengan alis berkerut. Sudah sejak tadi Suma Hoat menonton pertandingan hebat antara Bu-koksu dan Maya. Dia berhasil menyelundup masuk ke kota Siang-tan dan menyamar sebagai seorang perwira. Ketika ia melihat betapa Bu-koksu terancam bahaya maut di ujung pedang Maya, dia merasa tidak tega.
Di dalam hati pemuda ini timbul rasa haru dan kagum menyaksikan betapa Bu-koksu mempertahankan negara dengan mati-matian, sikap gagah perkasa yang jauh berbeda dengan sikap ayahnya. Bu-koksu seorang pahlawan sejati! Biarpun Bu-koksu telah menyerbu dan menghancurkan rumah tangga ayahnya, namun Suma Hoat tidak dapat menyalahkan Koksu itu yang hanya memenuhi tugasnya sebagai seorang koksu yang setia kepada kerajaan. Maka begitu menyaksikan koksu itu terluka dan melawan mati-matian menghadapi Maya, dia merasa tidak tega. Apalagi karena yang mengancam hendak membunuh pahlawan itu adalah Maya, gadis yang dicintanya.
"Suma Hoat, apakah engkau hendak membelanya? Kalau begitu, engkau akan mampus pula di tanganku!"
Maya membentak nyaring.
"Maya, harap engkau sadar bahwa engkau telah mengambil jalan sesat. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkaulah yang memimpin pasukan Mancu, padahal engkau bukan seorang gadis Mancu. Engkau malah penghuni Istana Pulau Es! Bagaimana mungkin engkau merendahkan diri sampai begini rupa, membantu pasukan asing menyerang bangsa sendiri?"
"Suma Hoat, mulutmu palsu!"
Tiba-tiba Bu-koksu membentak dan menudingkan golok besarnya.
"Engkau sendiri adalah anjing penjilat Kerajaan Yucen, seorang pengkhianat hina!"
"Koksu, tidak perlu menilai diriku yang memang seorang yang tidak berharga. Akan tetapi engkau adalah seorang pahlawan yang gagah, karena itu aku tidak sampai hati melihat engkau gugur di sini. Sedangkan Nona Maya adalah penghuni Istana Pulau Es, tidak semestinya menjadi pengkhianat. Karena mengingat akan keadaan kalian berdua, maka aku memberanikan diri untuk melerai. Nona Maya, demi nama besar Pendekar Sakti Suling Emas, Pendekar Sakti Mutiara Hitam, demi nama Bu Kek Siansu...."
"Jangan sebut-sebut nama guruku!"
Maya membentak. Diam-diam Bu-koksu terkejut bukan main karena sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa lawannya yang lihai ini adalah penghuni Istana Pulau Es yang hanya didengarnya seperti dalam dongeng, apalagi murid manusia dewa Bu Kek Siansu!
"Nona Maya, aku hanya mengharap agar engkau suka insyaf dan tidak membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri...."
"Cukup! Aku memang sengaja menggunakan pasukan Mancu untuk menghancurkan Kerajaan Sung! Engkau tahu, akulah Puteri Maya, akulah puteri Raja Khitan! Kerajaan Khitan telah hancur karena pemerintah Sung, Mongol, dan Yucen! Aku telah bersumpah untuk membasmi ketiga kerajaan itu! Bukan sekali-kali aku menghambakan diri dan menjadi pengkhianat membantu Mancu, melainkan untuk membalas dendamku. Nah, Suma Hoat, engkau sebagai putera Suma Kiat musuh besarku, telah kuampunkan. Sekarang minggirlah!"
Kembali Maya menyendal kendali kudanya sehingga binatang itu meloncat ke depan dan dia sudah menyerang Bu-koksu dengan kelebatan pedangnya secara bertubi-tubi. Bu-koksu tadinya berdiri tercengang, akan tetapi siapa pun adanya wanita ini, kalau dia berdiri di pihak Mancu berarti musuhnya dan harus dilawan mati-matian.
"Trang-cring-trang....!"
Pedang dan golok beradu bertubi-tubi dan Suma Hoat menjadi bingung, tidak tahu harus membantu siapa.
"Sumoi....!"
Tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua orang yang sedang bertanding itu terpental ke belakang karena tertolak oleh tenaga yang amat dahsyat, membuat tubuh mereka terlempar dari atas punggung kuda. Namun, berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, Bu-koksu dan Maya tidak terbanting roboh, hanya berjungkir balik dan berdiri dengan senjata siap di tangan.
"Suheng....!"
Maya berseru dengan muka berubah pucat ketika melihat siapa orangnya yang membuat dia terpental tadi.
"Kam-siauwte....!"
Bu-koksu juga berseru kaget dan girang, mengharapkan bantuan orang yang dia tahu amat sakti ini. Akan tetapi Han Ki, pemuda yang baru datang itu, tidak mempedulikannya, melainkan menghampiri Maya dan memandang dengan alis berkerut.
"Maya-sumoi, mengapa engkau masih juga melanjutkan kesesatanmu? Tidak malukah engkau? Tidak ingatkah bahwa engkau, adalah keturunan orang-orang gagah perkasa yang lebih baik mati daripada melakukan pengkhianatan? Di dalam tubuhmu mengalir darah Khitan dan Han, bagaimana sekarang engkau dapat membantu Mancu untuk menghancurkan bangsa sendiri?"
"Suheng, engkau boleh melupakan segala dendam, akan tetapi aku tidak! Orang tuaku, kerajaan ayahku, telah hancur oleh Kerajaan Sung. Kalau belum membasmi Kerajaan Sung, aku belum puas!"
"Engkau keliru, Sumoi. Bukan Kerajaan Sung yang menyebabkan kehancuran Kerajaan Khitan, melainkan perang dan pengkhianatan! Dan perang ditimbulkan bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh manusia sendiri, oleh engkau dan aku dan kita semua! Ayah bundamu gugur sebagai pahlawan-pahlawan yang membela bangsa dan negara. Apakah engkau sekarang hendak gugur sebagai seorang pengkhianat?"
Pucat sekali wajah Maya ketika dia memandang suhengnya. Suaranya tersendat-sendat ketika dia berkata,
"Suheng, engkau terlalu! Engkau tahu mengapa aku sampai menjadi begini, engkau tahu mengapa aku sampai meninggalkan Pulau Es. Engkau tahu pula mengapa aku melanjutkan semua ini setelah berjumpa denganmu di medan perang! Mengapa engkau hendak menyalahkan aku saja dan sama sekali tidak ingat bahwa engkaulah gara-gara semua ini? Engkau menolak untuk membawaku sendiri saja ke Pulau Es, engkau ragu-ragu dalam cintamu terhadap diriku.... padahal hanya angkau seorang harapanku....! Engkau telah menghancurkan harapan dan cintaku.... engkau...."
Maya menggigit bibir terisak dan tiba-tiba dia menekuk pedang dengan kedua tangannya.
"Krekkk!"
Pedang itu patah berkeping-keping dan dlbuangnya ke atas tanah.
"Llhat, seperti itulah hatiku, Suheng. Sekarang tinggal hanya dua pilihan bagiku. Kalau engkau suka bersamaku, berdua saja kembali ke Pulau Es, aku akan meninggalkan semua ini dan selamanya akan tunduk kepadamu. Kalau engkau menolak lagi, aku akan melanjutkan perang ini, dan akan mengamuk terus sampai mati!"
"Ohhhh....!"
Seruan ini keluar dari mulut Suma Hoat. Wajah pemuda itu pucat sekali. Kiranya Maya, gadis terakhir yang menjatuhkan hatinya, yang dicintanya, yang diharapkan akan dapat membalas cintanya, kiranya telah mencinta Kam Han Ki, seperti halnya Khu Siauw Bwee! Han Ki sendiri sudah menduga akan pendirian Maya seperti itu. Dia merasa tidak baik untuk berbantahan di depan banyak orang, maka dia hanya berkata,
"Sumoi, mari ikut aku pergi....!"
Tubuhnya berkelebat ke depan. Maya tarkejut dan berusaha meronta malepaskan diri. Akan tetapi, Han Ki telah menotoknya dan berlari pergi cepat sekali, membawa tubuh sumoinya dalam kempitan.
"Kam-taihiap, tunggu....!"
Suma Hoat berteriak, kemudian tubuh pemuda ini juga berkelebat lenyap. Dia mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengejar Kam Han Ki, akan tetapi tentu saja dia tertinggal jauh sekali. Namun, Suma Hoat terus mengejar sambil berseru-seru memanggil. Hatinya menjadi penasaran sekali. Mana mungkin Kam Han Ki menerima cinta kasih dua orang gadis itu? Biarlah Kam Han Ki memilih seorang di antara mereka, dan yang seorang lagi, tidak peduli yang mana karena dia sudah tergila-gila dan jatuh clnta kepada kedua orang gadis itu, kalau ditolak oleh penghuni Istana Pulau Es, biarlah menjadi isterinya!
Perang berlangsung terus biarpun Maya telah pergi. Akan tetapi, tentu saja semangat berjuang para pasukan Mancu telah menurun hebat setelah panglima wanita yang mereka agungkan dan agulkan itu lenyap. Apalagi setelah muncul pasukan Yucen yang membantu bala tentara Sung, pihak Mancu menjadi kewalahan dan terpaksa melarikan diri setelah meninggalkan banyak anak buah pasukan yang roboh. Pangeran Bharigan sendiri terluka, namun luka di tubuh itu tidaklah seperti luka di hati Sang Pangeran karena lenyapnya Maya, panglima yang amat diandalkan, dan juga wanita yang amat dicintanya itu.
Air laut di sekeliling pulau itu tenang sekali dan di sana-sini tampak gumpalan es sebesar bukit, mengambang tidak bergerak. Pulau Es tampak sebagai seorang raksasa putih, atau sebuah patung raksasa terbuat dari batu pualam putih sedang tidur telentang. Sinar matahari yang tertutup awan tipis dan kabut laut masih cukup kuat untuk menimpa permukaan Pulau Es, membuat pulau yang aneh itu berkilauan permukaannya. Bangunan istana di tengah pulau, yang telah lama ditinggalkan penghuni-penghuninya sehingga hampir tertutup dan tertimbun salju tak terurus, kini tampak bersih kembali setelah Han Ki, bersama dua orang sumoinya kembali ke pulau.
Biarpun kadang-kadang hatinya menjadi panas dan cemburu kepada Siauw Bwee kalau teringat akan cinta kasihnya kepada Han Ki, namun begitu bertemu dengan Siauw Bwee di Pulau Es, Maya segera menubruk dan memeluknya. Demikian pula dengan Siauw Bwee yang merasa terharu dan rindu kepada sucinya itu. Dua orang ini pernah tinggal sampai bertahun-tahun di atas Pulau Es sebagai saudara, senasib sependeritaan. Hanya karena cinta dan cemburu saja mereka bermusuhan dan timbul rasa benci di hati mereka. Kini, setelah berpisah lama, perjuangan antara mereka mendatangkan rasa terharu dan timbul kembali rasa kasih sayang di antara mereka.
"Sumoi...., aku banyak salah kepadamu, maafkan aku, Sumoi...."
"Aihhh, Suci, jangan berkata demikian. Akulah yang telah banyak kesalahan kepadamu, Suci. Akulah yang mohon maaf kepadamu...."
Han Ki menarik napas panjang menyaksikan pertemuan antara kedua orang sumoinya itu.
"Nah, begitulah, kedua sumoiku yang baik. Antara saudara sewajarnya saling mengalah dan saling memaafkan kalau ada kesalahan. Kita bertiga senasib, bertahun-tahun melatih diri di pulau ini, sesuai dengan kehendak Suhu. Karena itu, baru bahagialah hidupku melihat kita bertiga dapat kembali di sini."
Begitu dua orang dara itu mendengar suara Han Ki dan kini melepaskan pelukan menoleh ke arah pemuda itu, timbullah kembali persoalan rumit yang mengganggu hati mereka. Hampir berbareng keduanya membentak,
"Akan tetapi, Suheng...."
Han Ki cepat mengangkat kedua tangan ke atas.
"Cukup, bukan waktunya kita bicara. Biarlah kelak kita bicarakan urusan yang menyangkut antara kita dengan tenang dan perlahan-lahan. Sekarang, yang terpenting adalah membereskan dan membersihkan Istana Pulau Es. Lihat betapa kotor dan tak terpelihara semenjak kalian berdua pergi meninggalkannya."
Han Ki menudingkan telunjuknya dan ketika dua orang dara itu memandang dan menyaksikan keadaan istana tua itu mereka menjadi terharu dan tanpa banyak membantah mereka berdua membantu Han Ki membersihkan istana itu. Ketika mereka membersihkan ruangan di mana dahulu tiga buah arca mereka disimpan, Maya dan Siauw Bwee segera bertanya mengapa arca mereka bertiga kini tidak tampak lagi berada di situ. Han Ki menarik napas panjang ketika menjawab,
"Gara-gara kalian berdua meninggalkan aku seorang diri di sini, hatiku merana setiap hari, apalagi kalau aku melihat arca kita bertiga yang masih berkumpul di sini. Pada suatu hari aku tidak dapat menahan gelora hatiku dan kuhancurkan ketiga arca buatanku itu yang kuanggap merupakan penggoda yang selalu memberatkan hati."
"Ihhh, Suheng! Arca yang tidak bersalah apa-apa menjadi korban kemarahan dan kedukaan hatimu. Sungguh tidak adil. Aku yang bersalah mengapa arcaku yang dihancurkan?"
Siauw Bwee mencela.
"Sumoi benar! Akulah yang menjadi gara-gara, mengapa arcaku yang amat baik itu, yang tidak berdosa apa-apa, dihancurkan? Suheng, kau harus membuatkan arcaku lagi yang baru!"
Maya juga mencela. Han Ki tersenyum. Senyum yang sudah lama sekali meninggalkan bibirnya semenjak dia ditinggalkan dua orang sumoinya, senyum gembira.
"Jangan kwawatir, aku telah siap untuk membuatkan gantinya yang lebih indah lagi. Untuk keperluan itu, aku sudah mendapatkan bahannya, yaitu batu pualam putih yang kudapatkan di atas pulau tak jauh dari sini. Inilah batu-batu itu!"
Dia memperlihatkan tiga bongkah batu pualam putih yang bersih dan indah sehingga kedua orang dara itu memandang berseri dan lenyap kekecewaan mereka. Setelah selesai membersihkan Istana Pulau Es, Han Ki menurunkan latihan Ilmu Swat-im Sin-kang, yang menghimpun tenaga sakti yang dingin, merupakan inti dari hawa dingin di Pulau Es.
Cinta Bernoda Darah Eps 8 Cinta Bernoda Darah Eps 13 Cinta Bernoda Darah Eps 8