Istana Pulau Es 7
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Ong-ciangkun berkata heran. Kam Han Ki lalu berkata,
"Ong-ciangkun, Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di sini. Dengarlah. Aku adalah adik misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah bahwa Khu-ciangkun adalah murid dari Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat perintah dari Menteri Kam Liong yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Panglima Suma, harap kalian suka mengindahkan perintahnya!"
Han Ki mengeluarkan segulung surat pula. Dengan tergesa-gesa Ong Ki Bu menerima dan membaca surat perintah itu yang berbunyi:
Menteri Kam Liong mengutus petugas Kam Han Ki untuk menjemput dan memanggil pulang Panglima Khu Tek San ke kota raja. Wajah panglima tinggi besar itu berseri-seri dan ia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha! Lega hatiku sekarang! Tentu saja aku lebih mentaati perintah Menteri Kam Liong! Siapa berani membantah perintah beliau? Dan dengan adanya perintah Menteri Kam Liong, terpaksa aku membatalkan perintah Panglima Suma, tidak ada yang akan menyalahkan aku. Ha-ha-ha, rekan Khu Tek San, dasar orang baik selalu dilindungi Thian! Pemuda perkasa ini datang mengembalikan nyawamu, ha-ha-ha! Engkau tentu tahu betapa tak senang hati kami semua melaksanakan perintah tadi, akan tetapi dia merupakan seorang yang kedudukannya lebih tinggi dari kita, mana kami dapat membantah?"
"Aku mengerti, Sahabat Ong, dan terima kasih,"
Kata Khu Tek San dan setelah dilepas belenggu tangannya dan tangan Maya, Khu Tek San lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kam Han Ki sambil berkata,
"Teecu Khu Tek San mengucapkan terima kasih atas bantuan Susiok (Paman Guru)!"
Kam Han Ki cepat mengangkat bangun orang yang lebih tua akan tetapi karena menjadi murid kakak misannya maka menjadi pula murid keponakannya itu.
"Khu-ciangkun harap jangan berlaku sungkan. Mari kuantar ke kota raja bersama anak yang kautolong itu. Maya namanya, bukan?"
Maya memandang kepada Kam Han Ki penuh perhatian, kemudian menegur Khu Tek San.
"Paman Khu, dia masih begini muda, kenapa Paman berlutut menghormatnya? Sungguh tidak layak, membikin dia besar kepala dan sombong saja!"
"Hushh, Maya, jangan berkata demikian! Dia itu paman guruku!"
Kata Khu Tek San cepat-cepat.
"Hemm, aku berani bertaruh, kepandaiannya tidak seberapa hebat. Mana mampu menandingi Paman?"
Khu Tek San merasa tidak enak sekali, dan Kam Han Ki memandang Maya dengan alis berkerut dan mata marah, akan tetapi ia pun tidak berkata apa-apa, hanya mukanya berubah merah dan sinar matanya saja yang memaki,
"Bocah nakal cerewet kau!"
Akan tetapi, tentu saja di depan Khu Tek San dan para panglima, dia tidak mau cekcok dengan seorang anak perempuan! Maka untuk menutupi kemendongkolan hatinya ia berkata,
"Khu-ciangkun, harap engkau suka mengganti pakaian Panglima Yucen dengan pakaian rakyat biasa agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perjalanan yang jauh ke kota raja."
Khu Tek San membenarkan pendapat ini dan dengan suka hati para rekannya lalu mempersiapkan pakaian sipil untuk Khu Tek San, bahkan menyediakan tiga ekor kuda yang baik untuk mereka. Setelah berpamit dan mengucapkan terima kasih, berangkatlah Khu Tek San, Kam Han Ki dan Maya menunggang tiga ekor kuda menuju ke selatan. Di sepanjang perjalanan ke selatan ini, atas pertanyaan Khu Tek San, Han Ki bercerita bahwa dia diutus oleh Menteri Kam Liong untuk menyelidiki keadaannya karena lama tidak ada berita. Kemudian setelah menyelidiki ke Yucen, Han Ki terlambat karena Khu Tek San telah pergi bersama Maya.
"Aku mendengar cerita tentang Ciangkun dan Maya yang ditolong oleh Mutiara Hitam dan suaminya. Hemm, ternyata hebat sekali kakakku itu!"
Kata Han Ki.
"Karena mendengar bahwa engkau telah pergi ke selatan, maka aku cepat menyusul dan untung bahwa Kam-taijin telah waspada dan membekali segulung surat perintah untukku. Kalau tidak, agaknya terpaksa aku harus meniru perbuatan Kakakku Mutiara Hitam dan memaksa mereka melepaskanmu!"
"Memang telah terjadi hal-hal yang amat aneh."
Kata Khu Tek San yang menceritakan pengalamannya, betapa kurirnya terbunuh oleh orang yang bernama Siangkoan Lee seperti terlihat oleh Maya dan betapa rahasianya di Yucen terbuka sehingga dia hampir celaka kalau saja tidak ditolong Mutiara Hitam.
"Hebatnya, orang yang bernama Siangkoan Lee itu agaknya masih melanjutkan usahanya untuk mencelakakanku! Akan tetapi.... hemmmm, memang tidaklah aneh lagi kalau sudah diketahui bahwa dia adalah murid dan pembantu Suma-goanswe...."
Khu Tek San mengakhiri ceritanya sambil mengangguk-angguk.
"Kenapakah, Khu-ciangkun? Apakah Suma-goanswe musuhmu?"
Han Ki bertanya. Tek San menggeleng kepala.
"Sesungguhnya bukan aku yang mereka musuhi. Mereka memukul aku untuk melukai Suhu."
"Ah, begitukah? Jenderal Suma itu memusuhi Menteri Kam? Mengapa?"
Kembali Tek San menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Hal itu adalah urusan keluarga, aku tidak berhak mencampuri. Susiok tentu dapat bertanya kepada Suhu."
"Keluarga Suma adalah keluarga Iblis! Tentu saja mereka selalu memusuhi orang baik-baik seperti Paman, Khu!"
Maya yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka, tiba-tiba berkata gemas. Kam Han Ki yang masih marah kepada gadis cilik, memandang dan berkata dengan suara dingin,
"Huh, kau bocah tahu apa?"
Maya membalas pandangan Han Ki dengan mata melotot dan suaranya tidak kalah dinginnya,
"Kalau aku bocah, apakah engkau ini seorang kakek? Sombongnya, merasa diri sendiri paling tua dan paling pandai!"
"Eh, Maya, jangan bersikap begitu kurang ajarl"
Khu Tek San cepat mencela bekas puteri Khitan itu.
"Kam-susiok ini adalah adik dari Suhu, dengan demikian berarti masih saudara misan dari mendiang ayahmu, Raja Khitan. Dia ini adalah pamanmu sendiri! Hayo cepat, memberi hormat dan minta maaf."
Maya duduk di atas punggung kudanya, menoleh ke arah Han Ki dan mencibirkan bibirnya! Akan tetapi karena ia tahu bahwa Khu Tek San memandangnya dengan mata terbelalak marah, Ia lalu berkata,
"Dia bukan pamanku! Kulihat dia belum begitu tua untuk menjadi paman, hanya lagaknya saja seperti kakek-kakek!" "Maya! Bagaimana kau berani bersikap kurang ajar seperti ini?"
Khu Tek San membentak dengan muka merah.
"Paman Khu, aku tidak biasa bersikap menjilat-jilat, apalagi terhadap seorang yang sombong seperti dia,"
"Maya!"
Kembali Khu Tek San membentak, matanya mengerling penuh kekhawatiran ke arah Han Ki.
"Sudahlah Khu-ciangkun. bocah seperti ini memang biasanya sukar diurus! Dia ini sudah rusak karena terlalu dimanja,"
Han Ki berkata dengan sikap tenang, akan tetapi sebenarnya pemuda ini merasa betapa perutnya menjadi panas dan ingin sekali dia menempiling kepala gadis cilik yang menggemaskan itu. Kedua pipi Maya menjadi merah saking marahnya dan ia membusungkan dada menegakkan kepala ketika memandang Han Ki sambil berkata,
"Aku sudah rusak karena dimanja, ya? Dan kau sudah bobrok karena sombong!"
"Maya!"
Khu Tek San membentak marah.
"Kenapa sikapmu tiba-tiba berubah seperti ini? Engkau amat sopan dan hormat kepadaku, mengapa kepada Kam-susiok...."
"Karena engkau seorang yang baik dan gagah, Paman Khu. Dan dia ini.... hemm...."
"Dia pamanmu sendiri!"
Khu Tek San memperingatkan.
"Paman apa? Aku tidak mempunyai paman seperti dia!"
"Kalau engkau puteri Raja Khitan, berarti dia ini pamanmu sendiri!"
Maya mencibirkan bibirnya.
"Aku pun bukan puteri Raja Khitan...."
"Apa....?"
Khu Tek San berseru heran, bahkan Han Ki juga menoleh, memandang anak perempuan itu dengan alis berkerut. Memang pemuda ini merasa terheran-heran melihat Maya. Seorang anak perempuan yang "terlalu"
Cantik jelita, yang terlalu berani dan kini juga ternyata terlalu galak! Patutnya menjadi puteri Ratu Siluman!
"Sesungguhnyalah, Paman Khu. Tadinya aku tidak ingin membuka rahasia ini, akan tetapi untuk membuktikan bahwa aku bukanlah keponakan dia ini, terpaksa kukatakan bahwa aku sebenarnya bukan Puteri Raja dan Ratu Khitan! Aku hanyalah seorang keponakan luar saja yang diambil anak sejak kecil. Aku hanyalah anak angkat saja!"
Khu Tek San mengangguk-angguk dan berkata,
"Biarpun demikian, berarti engkau adalah puteri Raja Khitan. Maya! Dan karena itu, engkau tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap Kam-susiok. Dia adalah adik misan Raja Khitan! Selain itu, kalau tidak ada Kam-susiok ini, apakah, kaukira kita dapat selamat?"
"Cukuplah, Khu-ciangkun. Di sebelah depan ada rombongan orang, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan dan menyusul rombongan itu. Aku ingin tahu siapakah mereka yang lewat di daerah sunyi ini,"
Kata Han Ki.
"Baiklah, Susiok."
Khu Tek San lalu mengajak Maya mengejar Han Ki yang sudah membalapkan kudanya. Maya menurut dengan mulut cemberut.
Entah mengapa, dia merasa tidak senang kepada Han Ki semenjak pemuda itu muncul dengan gaya yang dianggapnya sombong dan angkuh, yang dianggapnya tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap dirinya! Pandang mata pemuda itu menyapu lewat begitu saja seolah-olah dia hanyalah sebuah patung yang tiada harganya untuk dipandang dengan perhatian. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya! Pemuda itu sombong dan dia membencinya! Khu Tek San diam-diam merasa kagum sekali ketika tak lama kemudian melihat bahwa benar-benar terdapat serombongan orang di sebelah depan. Ia kagum akan ketajaman mata dan telinga pemuda yang menjadi susioknya itu. Hal ini saja menebalkan dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya!
Mereka bertiga menahan kuda ketika melewati rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera yang terpasang di atas sebuah kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa rombongan itu adalah serombongan piauwsu yang mengawal barang-barang dalam kereta itu. Mereka terdiri dari tujuh orang yang bersikap gagah dan bendera yang berkibar di atas kereta dihias lukisan sebatang golok dengan sulaman benang perak, di bawah golok ditulisi huruf "Gin-to Piauw-kiok" (Perusahaan Pengawal Golok Perak). Melihat datangnya tiga orang penungang kuda, tujuh orang piauwsu itu dengan sikap tenang dan waspada sudah menjaga kereta dan mata mereka memandang ke arah Khu Tek San penuh selidik. Panglima she Khu ini sudah mendengar akan kegagahan para piauwsu "Golok Perak", maka ia cepat menjura dan berkata,
"Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke manakah?"
Kecurigaan tujuh orang itu berkurang ketika mereka menyaksikan sikap Khu Tek San yang ramah dan sopan, juga Khu-ciangkun tampak gagah perkasa, sedangkan Kam Han Ki biarpun membawa pedang di punggungnya namun kelihatan halus sikapnya, halus dan tampan, tidak patut menjadi anggauta perampok, apalagi Maya, gadis cilik itu. Pemimpin mereka, seorang yang dahinya lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil berkata,
"Kami tujuh orang piauwsu dari Gin-to Piauw-kiok hendak pergi ke kota raja, mengantar barang-barang sumbangan untuk istana Kaisar. Tidak tahu siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak, pergi ke manakah?"
Khu Tak San maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama "Istana kaisar"
Untuk menggertak kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka ia tersanyum dan berkata,
"Harap Cu-wi tidak usah khawatir. Aku orang she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama istana Kaisar. Ha-ha-ha!"
Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas.
"Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sumbangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar."
Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan, seorang yang mempunyai kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pembantu Menteri Kam, maka cepat dia bertanya.
"Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi urusan apakah dikota raja maka para pedagang dan pembesar mengirim sumbangan kepada Kaisar?"
"Aihhh! Agaknya Sam wi telah lama meninggalkan selatan!"
Pimpinan piauwsui itu berseru heran.
"Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta pora karena Kaisar akan merayakan permikahan seorang di antara puteri puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri tercantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja Yucen"
"Ouhhh....!"
"Susiok....! Kau..... kau.... kenapakah....."
Tiba-tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena tiba tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai Han Ki.
"Ahhh...., tidak apa-apa...."
Han Ki berkata, ia sudah dapat menguasai kembali hatinya yang terguncang hebat mendengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya berkeringat.
"Mari.... kita melanjutkan perjalanan secepatnya!"
Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba tiba menjadi pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia berkata,
"Rombongan piauwsu ini mengawal barang barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi
(Lanjut ke Jilid 07)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
kewajiban kita untuk membantu mereka menyelamatkan barang barang ini sampai ke istana. Sebaliknya kita melakukan perjalanan bersama mereka."
Alasan itu kuat sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya, mengangguk.
Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar pengakuaan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu. Di sepanjang perjalanan, Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia membenci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapap dia selalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan memperhatikan pemuda yang "dibencinya"
Itu sehingga delapan orang teman seperjalan dan yang lain seolah olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu menaruh perhatian secara diam diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki.
Pemuda itu kelihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak desak olehh Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak permah tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki. Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang mengandung rintihan seolah olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain.
Kadang kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguhpun tak permah ia dapat melihat air matanya.Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah olah ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung Menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu, akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk perasaannya dan ia seolah olah kehilangan gairah hidup. Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu.
Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi, Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja sudah merupakan hal yang langka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini, Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin! ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan? Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia makin gelisah berduka dan putus harapan. Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka, wajahnya selalu murung itu mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya.
Kini, melihat keadaan pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali kali secara berbisik bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begitu bersedih den untuk bertanya, dia tidak berani. Sebagai seorang yang berpengalarman, Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekall pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan ketidaksenangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.
Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang bcsar karena hujan turun sebelum mereka dapat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak guhanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam guha sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan. Hujan telah mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari guha dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setdah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih memburu.
Hawa udara malam itu amat dingin, sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api unggun di dalam guha. Namun, Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah memiliki sin kang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh. Blarpun sedang melamun dan semangatnya seperti melayang layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah dekat dari belakangnya. Langkah yang ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biarpun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa, siap menghadapi segala bahaya.
"Paman Han Ki...."
Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak "percekcokan"
Mereka dahulu, gadis cantik itu tidak permah menegurnya, bahkan tidak pernah mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan memanggilnya paman!
"Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?"
Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh. Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk.
"Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku datang membawa makanan untukmu. Makanlah!"
Han Ki terkejut dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri menunduk, memandangnya dengan sikap seorang ibu terhadap, seorang puteranya, dengan sikap hendak menghibur! Panas rasa perut Han Ki dan ia menjawab ketus.
"Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa makanan itu, kaumakan sendiri!"
Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan memarahkan gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan. Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.
"Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur, wajahmu pucat tubuhmu kurus dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?"
Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya tanya tentang urusan yang, menjadi rahasia hatinya! Kalau dia ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!
"Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya tanya hal yang tiada sangkut pautnya dengan dirimu!"
La membentak lirih agar jangan terdengar oleh orang orang lain di dalam guha.
"Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau diterima dengan duka, atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Daripada menangis, lebih baik tertawa! Daripada berduka, lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!"
Han Ki meloncat bangun seolah olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dengan mata terbelalak dan mulut termganga, hampir tidak percaya bahwa kata kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya.
"Kau.... kau.... sekecil ini.... sudah berpendapat sedalam itu??"
Maya tersenyum, girang mellhat betapa ucapannya scolah olah menyadarkan Han Ki dari alam duka.
"Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah.... eh, Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika aku dilanda malapetaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang tak permah kukenal, telah gugur semua. Kerajaan Khitan hancur, semua milikku, semua keluargaku, terbasmi habis. Adakah kesengsaraan yang lebih hebat daripada yang kualami? Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dengan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?"
Sejenak Han Ki memejamkan matanya dan teringatlah ia akan semua nasihat dan wejangan Bu Kek Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia benar benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!
"Ha ha ha ha! Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasihat keponakannya! Betapa lucunya! Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!"
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang nendang marah.
"Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!"
Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar benar anak ini luar biasa sekali. Sikapnya aneh, kadang kadang bersikap seperti orang dewasa!
"Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku. Sahabat baik! Nah, makanlah!"
Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dengan lahapnya. Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia merebahkan diri telentang dan tidur pulas!
Dia tidak tahu betapa Maya duduk di dekatnya, memandang wajahnya sambil tersenyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke dalam guha untuk tidur ditemani Khu Tek San. Semenjak malam itu, Han K! dapat menguasai dirinva lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dengan kebutuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini hubungannya dengan Maya menjadi baik dan bahkan akrab, sering kali mereka duduk bercakap cakap dan Han Ki menceritakan pengalaman pengalamannya yang luar biasa di dunia kang ouw, atau kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi, tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Kalau teringat kepada kekasihnya, Mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya kelincahan Maya saja yang selalu membuyarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya. Sementara itu, rombongan telah melakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar disebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal sebagai daerah yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-perampok ganas yang menghadang perjalanan yang menghubungkan kota raja dengan daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingatkan para piauwsu. Para piauwsu itu tertawa dan berkata,
"Setelah kami ditemani oleh Khu ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan perampok? Nama Gin to Piauw kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok lim dan kang ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dengan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang kawalan kami, dan keselamatan dua orang keluarga Ciangkun, dapat sama sama kita lindungi!"
Mendengar ini, Khu Tek San hanya mengangguk angguk, di hatinya merasa geli karena ia tahu bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya sebagai orang yang patut dilindungi!
Han Ki yang berada agak jauh dari mereka, dengan pendengarannya yang tajam sekali, juga mendengar kata kata permimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dengan Maya sambil menjalankan kuda perlahan lahan. Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba-tiba terdengar suara lengkingan lengkingan panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat menghentikan kereta kawalan mereka, mencabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda-tanda yang dikeluarkan oleh para perampok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar matahari.
Tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang golok melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar mata mereka bergerak gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan. Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga. meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah membawa kudanya ke kanan. meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon, menunduk. Maya memandang tegang kepada para piauwsu gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat kendali kudanya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki,
Jantungnya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi, dia kecewa rmelihat Han Ki sama sekali tidak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk! Suara suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki laki berjubah berwarna merah, mukanya brewok dan matanya lebar dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi, rambutnya yang panjang diikat ke belakang dan kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek San yang melihat dandanan para perampok, segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah perampok perampok biasa, melainkan pasukan yang terlatih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi gerombolan perampok. Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi gerombolan perampok yang ganas.
"Ha ha ha ha! Segerobak benda benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin to Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertanding secara menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta!"
Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa bergelak. Permimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata.
"Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu piauwsu Gin to Piauwkiok yang selamanya tidak permah bentrok dengan sobat sobat dari liok lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka memperkenalkan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang mermimpin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan."
Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mukanya itu, tangan kirinya bertolak pinggang. la mengangguk angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar melirik lirik ke arah kereta, kemudian ke arah Maya yang berdiri tenang.
"Bagus! Bagus! Gin to Plauw kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan orang-orang yang tak tahu Kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di tukar dengan segerobak benda mati dan seorang gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian, bukan?"
Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, pemimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata,
"Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan keras. Baiklah perkenalkan namamu dan nama gerombolanmu sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi."
Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit.
"Ha-ha ha! Pantas kalau kalian belum mengenalku, memang perang dan kekacauan yang merobah kami menjadi begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!"
"Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh engkau mengganggu barang kawalanku. Hendaknya diketahui bahwa barang-barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar dengan Raja Yucen!"
Kata Chi Kan yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang orang Kerait itu tanpa pertempuran. Akan tetapi, permimpin rombongan piauwski ini kecelik karena orang brewokan itu tertawa bergelak mendengar ucapannya dan menjawab.
"Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak itu dan gadis cilik itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!"
"Perampok busuk!"
Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya. Kakek bangsa Kerait itu sambil tertawa miringkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak cepat menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.
"Krekkk!!"
Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke belakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin to Piauw kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki keampuhan melebihi golok atau pedang!
"Ha ha ha, bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku?"
Orang brewok itu berkata sambil tertawa.
"Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!"
Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan menyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Adapun Khu Tek San yang menyaksikan kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar namanya, teringatlah ia karena ketika ia menjadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar narma ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat itu, maka ia meloncat maju dan membentak
"Manusia sombong, akulah lawanmu!"
Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini. Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu hanyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat sian Kiam sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan Ilmu Silat Lo hai San hoat (1lmu Kipas Pengacau Lautan).
Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat hebat dan sukar dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lohai San hoat. Ilmu silat Lo hai San hoat ini bukanlah ilmu sembarangan. Biarpun hanya dimainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya daripada senjata tajam yang bagaimanapun juga. Gagang dan batang batang kipas itu merupakan alat alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka maupun tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang maupun penangkis yang ampuh, apalagi kalau dimmainkan oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat! Begitu mellhat senjata aneh ini menyarmbar, Ganya berseru kaget dan sebagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan kehebatan lawan.
Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan. Gerakannya cepat dan mantap tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar. Melihat cara lawan mengelak dan balas menyerang. Khu Tek San berlaku hati hati. Dia maklum bahwa lawannya memang benar benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan permutaran pergelangan tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan menangkis cengkeraman tangan kanan Ganya.
"Dukkk!"
Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan kanannya dengan lengan kir lawan. Dua buah lengan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sin kang bertemu, membuat keduanya terhuyung ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San mermandang kagum. Jarang ada orang yang dapat mengimbangi tenaga sin kangnya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat olehnya. Maka ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang amat dahsyat dan seru antara kedua orang gagah itu. Melihat betapa pemimpin mereka sudah bertanding anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disambut oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya.
Perang kecil terjadi dengan ramainya, senjata tajam berdencingan bertemu lawan, teriakan teriakan dan maki makian saling susul menyeling suara berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa. Maya berdiri memandang dengan kagum ke arah Khu Tek San. Hebat memang penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya armat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering diingatnya setelah perjalanan mendekati kota raja.
"Eh, kenapa engkau malah melamun saja?"
Maya yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki, menegur dan mengguncang pundaknya.
"Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!"
Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu, seorang anggauta perampok yang agaknya ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang, kena di,sambar dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke belakang, roboh dan merintih rintih.
"Khu Ciangkun tidak akan kalah!"
Kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti batang rumput. Memang di dalam hatinya, pemuda ini merasa enggan untuk membantu para Piauwsu menghadapi perampok pcrampok itu. Yang akan dirampok adalah benda benda yang akan dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan.... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Karena itu, dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok barang barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah! Kembali Maya mengguncang pundaknya.
"Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!"
Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian daripada anak buah perampok ada yang mendekati gerobak berisi barang barang berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh,
"Mari kita naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!"
Kini lima orang perampok tinggi besar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan!
Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke bawah, menggenggam pasir kasar dan mengayun tangan itu ke arah para perampok. Akibatnya hebat! Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya. itu roboh berpelantingan ke kanan kiri, mengaduh aduh karena pasir pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya. Teriakan teriakan kesakitan ini disusul pula oleh tujuh orang perampok yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir. Han Ki telah berhasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi! Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok perampok itu sudah roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata.
Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah. Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatiannya terpecah ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam diam menjadi terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat lagi daripada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat melihat "lowongan"
Dan memasuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.
"Krekk!"
Tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk mundur! Sebagai bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah perampok yang masih bertempur itu segera melompat ke belakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih mengaduh aduh dan bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan itu, mereka menjadi gemas dan menggerakkan golok golok perak mereka untuk membunuh.
"Cring cring cring....!"
Para piauwsu terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok golok mereka telah tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.
"Para piauwsu harap jangan melakukan permbunuhan! Barang barang telah diselamatkan, lebih baik melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?"
Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah.
"Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa sekarang tidak boleh kami bunuh? Orang orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan malapetaka kepada orang lain,"
Han Ki menggeleng kepala.
"Belum tentu, Chi piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya bukan perampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja pasukan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang barang berharga ke kota raja dan masih banyak kalau kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!"
Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata,
"Cu wi Piauwsu harap jangan banyak membentak lagi. Kalau tadi Siauw susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!' Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biarpun mereka masih penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang perampok itu, tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.
Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar besaran! Namun, keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki terasa makin perih seperti ditusuk tusuk pedang. Hiasan hiasan indah dengan bunga bunga dan kertas kertas berwarna warna! itu seolah olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi! Setelah menghaturkan terima kasih rombongan piauwsu memisahkan diri, Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. Dengan ramah dan gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.
"Suhu..... !"
Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya. Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki laki tua yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal kakek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepasang iblis dari India kakinya digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang mendongnya! Jadi kakek inilah guru penolongnya? Dan kakek inilah saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya?
"Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini.... siapakah dia?"
Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan anak perempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak mengenal Maya. Apalagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.
"Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Adapun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan."
Menteri Kam Liong terbelalak memandang Maya.
"Aiihhh....! Kasihan sekali engkau Anakku....!"
Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu.
"Aku adalah uwamu sendiri, Maya."
Akan tetapi Maya tidak merasa terharu. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak senangnya kepada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini!
"Tidak, aku tidak mempunyai uwa tidak mempunyai saudara atau keluarga., Keluargaku habis terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk menghiburku."
"Maya....!"
Khu Tek San menegur kaget dan marah. Akan tetapi Menteri Kam Liong tersenyum pahit.
Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak dapat menyelamatkan saudara saudaranya di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memandang kagum. Biarpun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi puteri mereka, patut menjadi keponakan Mutiara Hitam karena mermiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik tirinya itu! Hati Tek San tidak enak sekali menyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata,
"Kalau Suhu memperbolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain-main dengan anak teecu Siauw Bwee."
Menteri Kam Liong mengangguk angguk.
"Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di rumah Tek San, Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwakmu?" "Aku ingin tinggal bersama Paman Khu"
Jawab Maya tegas.
"Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki"
Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya sendiri.
Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya mendapat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua menghormat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu. Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya, menggandeng tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh seorang wanita cantik dan scorang anak gadis cilik yang cantik jelita pula.
"Ayahhh....!"
Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun daripada Maya itu dengan sikap manja lari menghampiri ayahnya. Tek San tertawa, disambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi tinggi lalu dipeluk dan dicium pipinya.
"Ha ha ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang"
Kemudian suami ini saling pandang dengan isterinya, penuh kerinduan penuh kemesraan yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya pandang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.
"Maya, inilah bibimu!"
Kata Tek San yang melanjutkan.
"Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan."
"Aihhh....!"
Isteri Khu ciangkun menghampiri dan mengelus rambut kepala Maya. Anak ini menahan nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw Bwee disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri. Dahulu pun ayahnya Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia, tidak punya siapa siapa! Setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya, dia menjadi makin terharu.
"Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee, inilah Cicimu, Maya."
Siauw Bwee diturunkan dari pondongan ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya, menghampirinya dan memegang tangannya.
"Enci Maya....!"
Begitu bertemu hati Maya telah tertarik dan suka seKali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata,
"Adik Siauw Bwee....!"
"Enci Maya, mari kita main main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuhnya seperti katak dan kedua matanya membengkak dan menjendol keluar di atas selalu memandang langit!"
Dua orang anak perempuan itu tertawa tawa dan berlarian menuju ke taman. Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini dapat menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman dan tanpa berkata kata. Tek San melingkarkan lengan kanan di pinggang yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan jalan memasuki kamar. Tak lama kemudian, Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.
"Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian."
Menteri Kam berkata setelah muridnya duduk.
"Memang semua itu telah diatur oleh... hemmm, Suma Kiat!"
Khu Tek San mengangguk angguk.
"Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu, hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?"
Menteri itu menghela napas panjang dan mengangguk.
"Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam diam dia telah bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan bermacam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar benar menjengkelkan dan membahayakan."
"Siasat apalagi, Suhu?"
Tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir. Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar benar amat berbahaya karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di antara para thaikam dan menteri menteri yang tidak setia.
"Dia berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!"
Menteri tua itu menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan muka.
"Hal itu apa sangkut pautnya dengan kita, Suhu?"
"Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawan lawan dan musuh musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan membunuhmu, muridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah marah karena dibakar hatinya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi matamata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa jasa baiknya untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yuceng kemudian membujuk Kaisar agar menyerahkan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!"
Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu. Heranlah hatinya mellhat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerangan yang menyusahkan hati pemuda sakti ini. Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang.
"Karena engkau merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahuilah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah didahului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya, hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sasaran terakhir adalah aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!"
Cinta Bernoda Darah Eps 32 Cinta Bernoda Darah Eps 3 Mutiara Hitam Eps 21